1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi
arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut.
Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu
pengertian yang lama ancien regime (masa pemerintahan - pemerintahan kuno) dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern.2
Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi
ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari
orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun
badan-badan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut (monarki).
Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya
Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam
sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan
pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru
Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat
pada tanggal 17 September 1787.
3
Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang
konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang
pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatas terhadap
2
Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3
2
kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak
sewenang-wenang”. Lalu lahirlah istilah pembatasan kekuasaan yang dimaknai bahwa
kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum
dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.4
Teori Klasik mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power) dikenal dengan nama “Trias Politika” dari Montesquieu yang merupakan seorang
filsuf Perancis. Nama atau Istilah “Trias Politika” itu diberikan oleh Imanuel Kant
yang merupakan filsuf Jerman. Inti dari teori “Trias Politika” adalah menjelaskan
bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu:
Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudisial.
5
Pemisahan
kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya negara absolut dan untuk
melindungi hak-hak warga negara, karena menurut Montesquieu apabila ketiga
kekuasaan tersebut berada di satu tangan maka kebebasan akan berakhir.6
Dalam konstitusi Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 19457
4
I dewa Gede Atmadja. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum. Setara Press. Malang. 2015. Hal 1.
dapat dikatakan bahwa teori pembagian
kekuasaan di dalam UUD 1945 tidak menganut teori “Trias Politika”. Hal ini
terlihat dari pembagian kekuasaan yang ada pada UUD 1945, yakni adanya
“check and balances” antara lembaga negara yang mendapat mandat langsung
5
Jimlly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006. Hlm 7.
6
Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 95. 7
3
melalui pemilihan umum, yaitu Badan Legislatif serta Presiden dan Wakil
Presiden. Bahkan ditambah juga dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan
kewenangannya, dimana kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.8
Lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga dilengkapi
dengan lembaga negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang
demokratis, seperti Komsi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Keuangan dan Bank Indonesia (Bank Sentral) dan Komisi mandiri lainnya.
Dengan terwujudnya negara hukum maka kekuasaan negara akan terikat pada
hukum9 dan dengan asas negara hukum maka setiap aktivitas negara harus
berdasarkan norma hukum yang berlaku termasuk dalam pembentukan suatu
Lembaga Negara.10
Pada Badan Legislatif, penataan kelembagaan negara melalui amandemen
konstitusi ketiga yang kemudian akhirnya melahirkan Dewan Perwakilan
Daerah11
8
Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 96.
, hal ini tidak serta merta muncul jatuh dari langit atau lahir sendirinya.
Hal ini merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945
merupakan produk sosiologi politik setelah melalui proses pergumulan panjang
dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari
9
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Jakarta. Permata Aksara. 2013. Hlm 128. 10
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang. Setara Press. 2012. Hlm 168. 11
4
tuntutan reformasi 1998. DPD memiliki fungsi yang berbeda dengan Dewan
Perwakilan Rakyat, DPD diatur dalam Bab VII A UUD 1945. Tentang pemilihan
DPD diatur pada Pasal 22C UUD 1945 dan kewenangan DPD diatur pada pasal
22D UUD 1945.12
Wewenang dalam hukum tata negara dapat dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum13 dan wewenang untuk mengatur dan membuat aturan pada
dasarnya domain kewenangan lembaga legislatif.14
Pasal 22D Ayat (1)
Dalam UUD 1945,
kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan terkait urusan daerah dimiliki
oleh DPD dan diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, yaitu:
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 22D Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
12
Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia. 2009. Hal 71. 13
Victor Imanuel W. Nalle, Konsep Uji Materil, Malang, Setara Press. 2013. Hlm 21. 14
5
Pasal 22D Ayat (3)
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Tugas-tugas dan wewenang konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat
berorientasi kepada kepentingan-kepentingan di wilayah atau daerah. Hal ini
merupakan dasar atau rujukan lebih lanjut tentang DPD. Pengaturan DPD masih
memerlukan rincian lebih lanjut dalam bentuk Undarng-Undang sebagaimana
diamanatkan dari UUD 1945 itu sendiri.15
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 22D UUD 1945 telah diatur lebih
lanjut dalam beberapa Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah 16 yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
200917
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD, DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan dari tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
15
Op. Cit. Solly Lubis. Hukum Tata Negara . hal 94. 16
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Nomor 92 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4310). Untuk seterusnya penulisan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan disingkat menjadi MPR, Dewan Perwakilan Rakyat disingkat menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi DPRD.
17
6
Undang tersebut dianggap tidak sesuai oleh DPD dengan yang diamanatkan dalam
UUD 1945 tentang ketentuan kewenangan DPD dalam proses pembentukan
Undang, baik kewenangan dalam proses pengajuan Rancangan
Undang-Undang dan kewenangan dalam proses pembahasan Undang-Undang-Undang-Undang.
DPD ingin memiliki kedudukan yang sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden dalam hal kedudukan mengajukan dan membahas proses
Rancangan Undang-Undang. Permohonan pengujian Undang-Undang yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini melahirkan sebuah babak baru bagi
DPD untuk memperjelas dan mempertegas hak konstitusionalnya sebagai lembaga
Legislatif di Indonesia. Dan akhirnya lewat Putusan Mahkamah Konstitusi
perkara nomor 92/PUU-X/2012 ini, Mahkamah Konstitusi memperluas
kewenangan DPD khususnya kedudukan DPD dalam pembentukan
Undang-Undang.
Putusan ini ditetapkan pada tanggal 27 Maret 2013 dan putusan ini
merubah arah politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah
Konstitusi ini memperkuat posisi lembaga DPD dan mengubah fungsi dari DPD
sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak dan kewenangan untuk menjadi
lembaga yang setara dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pembentukan peraturan perUndang-Undangan khusunya di konteks kepentingan
daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
7
rancangan Undang-Undang tertentu terkhusus dalam lingkup urusan daerah yaitu
menyusun program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD bahkan ikut
membahasnya dari tahap awal hingga di tahap akhir tetapi DPD tetap tidak
memberi persetujuan atau pengesahan sebuah rancangan Undang-Undang.
Lalu di dalam kehidupan legislatif Indonesia, muncul Undang-Undang
baru mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dari Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 menjadi Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang-Undang-Undang yang lahir pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 92/PUU-X/2012 maka perlu dilakukan penelitian untuk menilai seberapa
jauh kesesuaian isi atau kesesuaian substansi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam rumusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD18
B. Perumusan Masalah
dan seberapa jauh Undang-Undang ini mengacu pada UUD.
Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, maka sesuai dengan
hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang yang diuraikan dalam penulisan
perumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan
Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 ?
18
8
2. Bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara
Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009?
3. Bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui fungsi Legislasi Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum
keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
2. Untuk mengetahui Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara
Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009.
3. Untuk mengetahui seberapa jauh kesesuaian isi atau substansi putusan
Mahkamah Konstitusi dalam rusmusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
9
sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan
pengertian bagi pembaca mengenai tugas dan kewenangan DPD di Indonesia. Jadi
secara teoritis manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya ilmu
pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya
ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas
tentang DPD sebagai salah satu lembaga negara yang melaksanakan Fungsi
Legislasi selain daripada Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Secara Praktis
Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terkhusus untuk
peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbang pemikiran
ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini juga tidak terlepas dari penempatan
hukum tata negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum di Indonesia,
dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi
supremasi hukum (supremacy of law). Dan penulisan ini diharapkan mampu membantu pembaca untuk mengetahui tentang perkembangan fungsi legislasi di
Indonesia terkhusus tentang DPD.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan Penulis, “Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ” yang diangkat menjadi judul skripsi
ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10
sepengetahuan penulis bahwa topik permasalahan ini merupakan isu yang
menghangat pembahasannya dalam masyarakat. Penulisan skripsi ini oleh penulis
adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada
yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi
pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan
pembahasannya ke arah Fungsi Legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tersebut. Dengan
demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipetanggungjawabkan secara
ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Sejarah DPD Sebagai Lembaga Negara
DPD Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128
anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil
sumpahnya. Pada awal pembentukan DPD, masih banyak tantangan yang
dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap
jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah
parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh
dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak
dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini pada masa itu.19
Keberadaan Lembaga DPD sesungguhnya sudah lama terpikirkan sejak
sebelum masa kemerdekaan. Gagasan ini sudah pernah dikemukakan oleh Moh.
19
11
Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggota DPD berasal dari setiap
provinsi sebanyak 4 orang. Dengan demikian, jumlah anggota DPD saat ini
seharusnya 136 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.20
Pemikiran dari Moh. Yamin yang menggambarkan roh konstitusi kita
sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan
masyarakat negara modern. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan
perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah
berkembang maju atau dinamis dari periode ke periode, dan pada tahun 1998,
dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar
dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah
dilakukan sebanyak empat kali di mana tampaknya akan terus berproses dalam
rangka penyempurnaan telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga,
yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili wilayah. Dalam
konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat
jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mewakili
rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga DPD, yang
anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan.
Dilihat dari sejarah politik Indonesia modern, sebenarnya keberadaan
20
12
lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah bukanlah gagasan atau
ide baru, karena sebelumnya Indonesia pernah memiliki senat semasa Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Keberadaan senat ini dibentuk
karena bentuk negara Indonesia saat itu adalah negara federasi, dan pada saat itu
struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS), selain keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur
dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, juga ditentukan keberadaan
Senat yang diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97.21
21
Konstitusi Republik Serikat Bab II Pasal 80-97 dan Bab II Pasal 98-121 .
Setiap senat
mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota
dalam senat (Pasal 80 ayat 1 dan 2). Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah
daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan
rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. Pasca dibentuknya
Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950,
dengan sendirinya senat kemudian di hapus. Pada masa Orde Baru struktur
kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Golongan dan
Utusan Daerah.Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut
didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang
sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu
sejak awal UUD 1945 menganut prinsip “semua harus terwakili” yakni dengan
melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (politocal
representation), perwakilan teritorial atau perwakilan daerah dan perwakilan
13
perkembangannya keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dalam
sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai
penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis,
bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan
daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena
konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan selalu menimbulkan
manipulasi serta kericuhan politik. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya
menjadi bagian dari agenda reformasi, dimana struktur kelembagaan MPR
dirubah melalui proses amandemen terhadap UUD 1945.22
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi selain diatur di dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, turut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
200323 junto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah
Konstitusi24
22
Fathudin Kalimas. “DPD (DPD) dalam Kontruksi Ketatanegaraan Indonesia” . 2012. Diakses dari :
. Salah satu diantara beberapa syarat diatur dalam peraturan-peraturan
tersebut diatas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
dan mengikat. UUD 1945 sebagai bentuk peraturan perundangan yang tertinggi
yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan
dalam negara. Sehingga peraturan perUndang-Undangan yang lebih rendah tidak
23
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
24
14
boleh bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi.25
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan
baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak-benaran dari
suatu pengetahuan, gejala atau hipotesis.26
Metode dapat diartikan sebagai jalan atau suatu cara untuk mencapai
sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ;
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.27
Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan
penulis adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode
penelitian hukum sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis
melakukan penelitian terhadap peraturan perUndangan yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan melakukan penelitian terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan bahan hukum
25
Kompas. 2013. Amandemen UUD 1945 dan UU MK Terkait Kewenangan MK? . Diakses dari :
26
Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali pers, 2006, hal 7. 27
15
yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Impelentasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang
Nomor17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD”.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif,
yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan
atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum
lain.28
Metode Pendekatan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat
permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah Implementasi dari putusan
Mahkamah Konstitusi dan akibat wewenang Mahkamah Konstitusi dalam uji
materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
3. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan
penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library
Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur
untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar
analisis terhadap substasi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan
penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data
sekunder yang meliputi peraturan perUndang-Undangan, buku-buku, majalah,
28
16
surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan
dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif
yang berpedoman kepada bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 92/PUU-X/2012 dalam proses legislatif yang ada. Analisa deskriptif
artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang
sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku di Indonesia tentang implementasi kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan
yang bersifat khusus berdasarkan dari data-data yang diperoleh dari penelitian.
Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai implementasi
kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik suatu kesimpulan umum
yang akan digunakan dalam pembahasan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus
diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan
skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang
terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
17
mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan
kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.
BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN
PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA, terdiri dari pembahasan mengenai :
Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan DPD di Indonesia
dan kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan UUD 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG MPR, DPR, DPD,
DAN DPRD NOMOR 27 TAHUN 2009 DI LEMBAGA MAHKAMAH
KONSTITUSI , yang terdiri dari : Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27
Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses
Pembentukan Undang di Indonesia, petitum dalam pengujian
Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dan amar
putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR, DPR,
DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012)
BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan
DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014, yang secara khusus membahas tentang :
Terciptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di
Indonesia , Kedudukan Dan Peran DPD Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR,
DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014.