IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.92/PUU-X/2012 KE DALAM UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2014 TENTANG
MPR, DPR, DPD DAN DPRD
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
NIM. 110200506 TODY VALERY
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
i
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.92/PUU-X/2012 KE DALAM UNDANG-UNDANG NO.17 TAHUN 2014 TENTANG
MPR, DPR, DPD DAN DPRD
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
NIM. 110200506 TODY VALERY
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
Disetujui Oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
NIP. 195909211987031002 Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Nazaruddin, SH., M.A
NIP. 195506111980003100 NIP. 197506122002121002
Yusrin S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin, berkat, dan rahmatnyalah Penulis dapat menyelesaikan Penulisan skripsi ini dengan baik.
Adapun skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu kewajiban untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan khusus buat Orang tua Penulis, yaitu, Almarhum Ayah saya M.Marpaung, SH., dan Ibu saya, R. Silalahi, yang telah membesarkan dan mendidik juga selalu memberikan doa, motivasi dan dorongan untuk Penulis, sehingga Penulis boleh sampai di titik ini. Semoga Tuhan Allah selalu memberikan kebahagiaan dan kesehatan terkhusus untuk Ibu. Terimakasih juga Penulis sampaikan kepada Abang Saya dr. Taor Leonardo Marpaung Sp.An, Kakak Ipar Saya dr. Margareth Duma Sari Sirait M.Kes, Kakak Saya Mariska Mariani Marpaung dan Keponakan Saya Trixie Syalomita Marpaung, yang selalu memberikan semangat kepada Saya.
Dengan segala kerendahan hati, Penulis sampaikan terimakasih yang tulus kepada:
1... P
rof. Dr. Runtung,SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2... P
rof. Dr. Budiman Ginting,SH,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3.... S
yafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas
iii
4.... D
r. OK. Saidin,SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumamtera Utara.
5.... B
apak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen
Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6... B
apak Drs. Nazaruddin,SH.,M.A, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing,
mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
7.... B
apak Yusrin Nazief, SH.,H.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dan
selaku Sekretaris Departemen yang telah meluangkan waktu dan
pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa
skripsi ini agar menjadi lebih baik.
8.... D
osen-dosen di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Armansyah, SH.,M.Hum., Bapak
Dr. Mirza Nasution,SH.,M.Hum, dan Bapak Edy Murya., SH. Serta para
pegawai di Deapartemen Hukum Tata Negara.
9.... B
apak Prof. Dr. H Ediwarman S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing
iv
10. ... S
emua Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada Penulis. Terimakasih
banyak atas segala ilmu yang telah di berikan selama ini kepada penulis.
11. ... S
ahabat saya Lamria Christy Cecilia Sitompul, terimakasih atas dukungan
dan doanya buat saya. Sahabat saya juga yaitu Daniel Panjaitan dan
Tantri Sembiring.
12. ... K
elompok Kecil Letare di UKM KMK UP FH USU, Nathan Romlen,
Jessica Grace, Tri Yanto Yeremia, dan PKK saya Marupa H. Sianturi.
13. ... K
omponen Pelayanan KMK UP FH, Yayasan Inikris dan NHKBP Jalan
Pelajar.
14. ... G
roup GM/DC, Abangda Pranata, Adinda Frido, Adinda Fraendo,
Abangda Franky, Abangda John, Adinda Gemala, Adinda Maya, Miss
Theresya, Adinda Anton dan Adinda Natanael. Juga untuk Nantulang
Fraendo, Nantulang Jefri, Nantulang Pranata dan Inang Uda Dian,
Samuel , Abangda Boy dan Abangda Hendra.
15. ... T
v
Utara, Fransisca Kosasih, Ibreina Saulisa, Nathan Romlen, Margaretha
Sianturi, Betari Karlina dan Dyna Sri Wahyuni.
16. ... T
eman-teman saya di departemen Hukum Tata Negara, Dyna Sri
Wahyuni, Tri Yanto Yeremia, Ulan Elmas, Juanda Tampubolon, Benny
Suryadi, Safrizal, Garry F.A.S, Herry P. Kaban, Tri Marilando, dan
Farah Muriana.
17. ... S
ahabat seperjuangan saya M. Virsa AKA (Nate Virsa Kailani) dan
Rahmansyah Putra (Daytime lantern) atas dukungan dan semangat yang
kalian berikan dan semoga setelah sarjana kita tetap sevisi dalam Anime
dan Manga.
18. ... T
eman-teman saya, Hadi Tampubolon, Tulus Nababan, Joshua Sinuhaji,
Hendro Siboro, Irene, Cathlin Toinando, Milyardi, Citra, Elvira
Fransisca, Raymond Saptahari, Erma, Daniel Sinaga, Novliana, Susi,
Patricia Naomi, Dian Simangungsong, David, Rasyid, Ari Pareme,
Kristy Emelia, Okta, Maruli Sinaga, Olivia Sirait, Rick Gamelia, Ezer
Sembiring, Eko Sianga, Swandi, Monica Tarigan, Andreas Sinulingga,
Mathias, Roland Barus, alumni Lowrey Musik, Band De’Traff, Tim
Skripsi Malam dan teman-teman lainnya yang tidak dapat Penulis
vi
19. ... P
ara pegawai administrasi dan bagian tata usaha serta
karyawan-karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
20. ... D
an para pihak lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwat tulisan ini masih memiliki kekurangan, maka dari itu Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, mahasiswa, serta praktisi dalam bidang Hukum Tata Negara.
Penulis
Tody Valery
vii
HALAMAN PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.... Latar Belakang ... 1
B. ... Rum usan Masalah ... 7
C. ... Tujua n Penulisan dan Manfaat Penelitian ... 8
D... Keasl ian Penulisan ... 9
E. ... Tinja uan Kepustakaan ... 10
F. ... Meto de Penelitian ... 14
G.... Siste matika Penulisan ... 16
BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA ... 18
viii
B. ... Kewe nangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi ... 21
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PUTUSAN NOMOR 92/PUU-X/2012 ... 33
A. ... Subje ctum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia ... 33 B. ... Petitu
m dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia ... 39 C. ... Amar
putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012) ... 48
BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014 ... 55
A... Terci ptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia ... 55 B. ... Kedu
ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A.... Kesi
mpulan ... 70
B. ... Saran
... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
ABSTRAK Tody Valery1 Nazaruddin **
* Yusrin Nazief***
Judul skripsi ini adalah “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD”. Yang melatar belakangi penulisan skripsi ini adalah dengan munculnya pengaturan hukum tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 .
Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah
bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 , bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang MD3 Nomor 27
x
Tahun 2009 dan bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normative dan yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data berupa putusan Mahkamah Konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang dan penulis berhadapan langsung dengan objek penelitian.
Fungsi Legislasi DPD dalam peraturan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 diperkuat lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diputuskan pada tanggal dua puluh tujuh, bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas.
Sedangkan Fungsi Legislasi DPD pada Undang-Undang yang baru masih dianggap belum baik dari pihak DPD sendiri. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang lahir pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi terkait Fungsi Legislasi DPD.
ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A.... Kesi
mpulan ... 70
B. ... Saran
... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
ABSTRAK Tody Valery1 Nazaruddin **
* Yusrin Nazief***
Judul skripsi ini adalah “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD”. Yang melatar belakangi penulisan skripsi ini adalah dengan munculnya pengaturan hukum tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 .
Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah
bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 , bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang MD3 Nomor 27
x
Tahun 2009 dan bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normative dan yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data berupa putusan Mahkamah Konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang dan penulis berhadapan langsung dengan objek penelitian.
Fungsi Legislasi DPD dalam peraturan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 diperkuat lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diputuskan pada tanggal dua puluh tujuh, bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas.
Sedangkan Fungsi Legislasi DPD pada Undang-Undang yang baru masih dianggap belum baik dari pihak DPD sendiri. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang lahir pasca putusan Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi terkait Fungsi Legislasi DPD.
1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi
arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut.
Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu
pengertian yang lama ancien regime (masa pemerintahan - pemerintahan kuno) dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern.2
Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi
ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari
orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun
badan-badan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut (monarki).
Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya
Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam
sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan
pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru
Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat
pada tanggal 17 September 1787.
3
Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang
konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang
pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatas terhadap
2
Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3
2
kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak
sewenang-wenang”. Lalu lahirlah istilah pembatasan kekuasaan yang dimaknai bahwa
kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum
dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.4
Teori Klasik mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power) dikenal dengan nama “Trias Politika” dari Montesquieu yang merupakan seorang
filsuf Perancis. Nama atau Istilah “Trias Politika” itu diberikan oleh Imanuel Kant
yang merupakan filsuf Jerman. Inti dari teori “Trias Politika” adalah menjelaskan
bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu:
Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudisial.
5
Pemisahan
kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya negara absolut dan untuk
melindungi hak-hak warga negara, karena menurut Montesquieu apabila ketiga
kekuasaan tersebut berada di satu tangan maka kebebasan akan berakhir.6
Dalam konstitusi Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 19457
4
I dewa Gede Atmadja. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum. Setara Press. Malang. 2015. Hal 1.
dapat dikatakan bahwa teori pembagian
kekuasaan di dalam UUD 1945 tidak menganut teori “Trias Politika”. Hal ini
terlihat dari pembagian kekuasaan yang ada pada UUD 1945, yakni adanya
“check and balances” antara lembaga negara yang mendapat mandat langsung
5
Jimlly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006. Hlm 7.
6
Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 95.
7
3
melalui pemilihan umum, yaitu Badan Legislatif serta Presiden dan Wakil
Presiden. Bahkan ditambah juga dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan
kewenangannya, dimana kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.8
Lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga dilengkapi
dengan lembaga negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang
demokratis, seperti Komsi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Keuangan dan Bank Indonesia (Bank Sentral) dan Komisi mandiri lainnya.
Dengan terwujudnya negara hukum maka kekuasaan negara akan terikat pada
hukum9 dan dengan asas negara hukum maka setiap aktivitas negara harus
berdasarkan norma hukum yang berlaku termasuk dalam pembentukan suatu
Lembaga Negara.10
Pada Badan Legislatif, penataan kelembagaan negara melalui amandemen
konstitusi ketiga yang kemudian akhirnya melahirkan Dewan Perwakilan
Daerah11
8
Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 96.
, hal ini tidak serta merta muncul jatuh dari langit atau lahir sendirinya.
Hal ini merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945
merupakan produk sosiologi politik setelah melalui proses pergumulan panjang
dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari
9
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Jakarta. Permata Aksara. 2013. Hlm 128. 10
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang. Setara Press. 2012. Hlm 168. 11
4
tuntutan reformasi 1998. DPD memiliki fungsi yang berbeda dengan Dewan
Perwakilan Rakyat, DPD diatur dalam Bab VII A UUD 1945. Tentang pemilihan
DPD diatur pada Pasal 22C UUD 1945 dan kewenangan DPD diatur pada pasal
22D UUD 1945.12
Wewenang dalam hukum tata negara dapat dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum13 dan wewenang untuk mengatur dan membuat aturan pada
dasarnya domain kewenangan lembaga legislatif.14
Pasal 22D Ayat (1)
Dalam UUD 1945,
kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan terkait urusan daerah dimiliki
oleh DPD dan diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, yaitu:
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 22D Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
12
Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia. 2009. Hal 71. 13
Victor Imanuel W. Nalle, Konsep Uji Materil, Malang, Setara Press. 2013. Hlm 21. 14
5
Pasal 22D Ayat (3)
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Tugas-tugas dan wewenang konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat
berorientasi kepada kepentingan-kepentingan di wilayah atau daerah. Hal ini
merupakan dasar atau rujukan lebih lanjut tentang DPD. Pengaturan DPD masih
memerlukan rincian lebih lanjut dalam bentuk Undarng-Undang sebagaimana
diamanatkan dari UUD 1945 itu sendiri.15
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 22D UUD 1945 telah diatur lebih
lanjut dalam beberapa Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah 16 yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
200917
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD, DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan dari tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
15
Op. Cit. Solly Lubis. Hukum Tata Negara . hal 94. 16
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Nomor 92 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4310). Untuk seterusnya penulisan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan disingkat menjadi MPR, Dewan Perwakilan Rakyat disingkat menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi DPRD.
17
6
Undang tersebut dianggap tidak sesuai oleh DPD dengan yang diamanatkan dalam
UUD 1945 tentang ketentuan kewenangan DPD dalam proses pembentukan
Undang, baik kewenangan dalam proses pengajuan Rancangan
Undang-Undang dan kewenangan dalam proses pembahasan Undang-Undang-Undang-Undang.
DPD ingin memiliki kedudukan yang sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden dalam hal kedudukan mengajukan dan membahas proses
Rancangan Undang-Undang. Permohonan pengujian Undang-Undang yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini melahirkan sebuah babak baru bagi
DPD untuk memperjelas dan mempertegas hak konstitusionalnya sebagai lembaga
Legislatif di Indonesia. Dan akhirnya lewat Putusan Mahkamah Konstitusi
perkara nomor 92/PUU-X/2012 ini, Mahkamah Konstitusi memperluas
kewenangan DPD khususnya kedudukan DPD dalam pembentukan
Undang-Undang.
Putusan ini ditetapkan pada tanggal 27 Maret 2013 dan putusan ini
merubah arah politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah
Konstitusi ini memperkuat posisi lembaga DPD dan mengubah fungsi dari DPD
sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak dan kewenangan untuk menjadi
lembaga yang setara dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pembentukan peraturan perUndang-Undangan khusunya di konteks kepentingan
daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
7
rancangan Undang-Undang tertentu terkhusus dalam lingkup urusan daerah yaitu
menyusun program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD bahkan ikut
membahasnya dari tahap awal hingga di tahap akhir tetapi DPD tetap tidak
memberi persetujuan atau pengesahan sebuah rancangan Undang-Undang.
Lalu di dalam kehidupan legislatif Indonesia, muncul Undang-Undang
baru mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dari Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 menjadi Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang-Undang-Undang yang lahir pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 92/PUU-X/2012 maka perlu dilakukan penelitian untuk menilai seberapa
jauh kesesuaian isi atau kesesuaian substansi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam rumusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD18
B. Perumusan Masalah
dan seberapa jauh Undang-Undang ini mengacu pada UUD.
Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, maka sesuai dengan
hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang yang diuraikan dalam penulisan
perumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan
Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 ?
18
8
2. Bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara
Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009?
3. Bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui fungsi Legislasi Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum
keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
2. Untuk mengetahui Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara
Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009.
3. Untuk mengetahui seberapa jauh kesesuaian isi atau substansi putusan
Mahkamah Konstitusi dalam rusmusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
9
sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan
pengertian bagi pembaca mengenai tugas dan kewenangan DPD di Indonesia. Jadi
secara teoritis manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya ilmu
pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya
ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas
tentang DPD sebagai salah satu lembaga negara yang melaksanakan Fungsi
Legislasi selain daripada Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Secara Praktis
Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terkhusus untuk
peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbang pemikiran
ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini juga tidak terlepas dari penempatan
hukum tata negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum di Indonesia,
dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi
supremasi hukum (supremacy of law). Dan penulisan ini diharapkan mampu membantu pembaca untuk mengetahui tentang perkembangan fungsi legislasi di
Indonesia terkhusus tentang DPD.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan Penulis, “Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ” yang diangkat menjadi judul skripsi
ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10
sepengetahuan penulis bahwa topik permasalahan ini merupakan isu yang
menghangat pembahasannya dalam masyarakat. Penulisan skripsi ini oleh penulis
adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada
yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi
pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan
pembahasannya ke arah Fungsi Legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tersebut. Dengan
demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipetanggungjawabkan secara
ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Sejarah DPD Sebagai Lembaga Negara
DPD Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128
anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil
sumpahnya. Pada awal pembentukan DPD, masih banyak tantangan yang
dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap
jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah
parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh
dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak
dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini pada masa itu.19
Keberadaan Lembaga DPD sesungguhnya sudah lama terpikirkan sejak
sebelum masa kemerdekaan. Gagasan ini sudah pernah dikemukakan oleh Moh.
19
11
Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggota DPD berasal dari setiap
provinsi sebanyak 4 orang. Dengan demikian, jumlah anggota DPD saat ini
seharusnya 136 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.20
Pemikiran dari Moh. Yamin yang menggambarkan roh konstitusi kita
sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan
masyarakat negara modern. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan
perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah
berkembang maju atau dinamis dari periode ke periode, dan pada tahun 1998,
dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar
dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah
dilakukan sebanyak empat kali di mana tampaknya akan terus berproses dalam
rangka penyempurnaan telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga,
yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili wilayah. Dalam
konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat
jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mewakili
rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga DPD, yang
anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan.
Dilihat dari sejarah politik Indonesia modern, sebenarnya keberadaan
20
12
lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah bukanlah gagasan atau
ide baru, karena sebelumnya Indonesia pernah memiliki senat semasa Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Keberadaan senat ini dibentuk
karena bentuk negara Indonesia saat itu adalah negara federasi, dan pada saat itu
struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS), selain keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur
dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, juga ditentukan keberadaan
Senat yang diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97.21
21
Konstitusi Republik Serikat Bab II Pasal 80-97 dan Bab II Pasal 98-121 .
Setiap senat
mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota
dalam senat (Pasal 80 ayat 1 dan 2). Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah
daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan
rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. Pasca dibentuknya
Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950,
dengan sendirinya senat kemudian di hapus. Pada masa Orde Baru struktur
kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Golongan dan
Utusan Daerah.Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut
didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang
sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu
sejak awal UUD 1945 menganut prinsip “semua harus terwakili” yakni dengan
melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (politocal
representation), perwakilan teritorial atau perwakilan daerah dan perwakilan
13
perkembangannya keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dalam
sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai
penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis,
bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan
daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena
konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan selalu menimbulkan
manipulasi serta kericuhan politik. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya
menjadi bagian dari agenda reformasi, dimana struktur kelembagaan MPR
dirubah melalui proses amandemen terhadap UUD 1945.22
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi selain diatur di dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, turut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
200323 junto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah
Konstitusi24
22
Fathudin Kalimas. “DPD (DPD) dalam Kontruksi Ketatanegaraan Indonesia” . 2012. Diakses dari :
. Salah satu diantara beberapa syarat diatur dalam peraturan-peraturan
tersebut diatas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
dan mengikat. UUD 1945 sebagai bentuk peraturan perundangan yang tertinggi
yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan
dalam negara. Sehingga peraturan perUndang-Undangan yang lebih rendah tidak
23
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
24
14
boleh bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi.25
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak-benaran dari
suatu pengetahuan, gejala atau hipotesis.26
Metode dapat diartikan sebagai jalan atau suatu cara untuk mencapai
sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ;
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.27
Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan
penulis adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode
penelitian hukum sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis
melakukan penelitian terhadap peraturan perUndangan yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan melakukan penelitian terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan bahan hukum
25
Kompas. 2013. Amandemen UUD 1945 dan UU MK Terkait Kewenangan MK? . Diakses dari :
26
Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali pers, 2006, hal 7. 27
15
yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Impelentasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang
Nomor17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD”.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif,
yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan
atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum
lain.28
Metode Pendekatan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat
permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah Implementasi dari putusan
Mahkamah Konstitusi dan akibat wewenang Mahkamah Konstitusi dalam uji
materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
3. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan
penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library
Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur
untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar
analisis terhadap substasi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan
penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data
sekunder yang meliputi peraturan perUndang-Undangan, buku-buku, majalah,
28
16
surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan
dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif
yang berpedoman kepada bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 92/PUU-X/2012 dalam proses legislatif yang ada. Analisa deskriptif
artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang
sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku di Indonesia tentang implementasi kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan
yang bersifat khusus berdasarkan dari data-data yang diperoleh dari penelitian.
Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai implementasi
kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik suatu kesimpulan umum
yang akan digunakan dalam pembahasan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus
diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan
skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang
terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
17
mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan
kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.
BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA, terdiri dari pembahasan mengenai : Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan DPD di Indonesia dan kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD NOMOR 27 TAHUN 2009 DI LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI , yang terdiri dari : Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang di Indonesia, petitum dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012)
BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014, yang secara khusus membahas tentang : Terciptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia , Kedudukan Dan Peran DPD Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014.
18 BAB II
PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA
A.Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah
DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam bidang legislasi,
pertimbangan dan pengawasan. Secara konstitusional, DPD diharapkan dapat
memperjuangkan aspirasi daerah. Kewenangan DPD diatur dalam pasal 22C dan
pasal 22D UUD 1945, dan sesungguhnya peluang dalam mengoptimalkan peran
DPD masih ada. Kewenangan DPD dapat mengajukan Rancangan
Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah29
DPD juga ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, .
29
19
pendidikan dan agama30 dan terakhir dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.31
Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, fungsi DPD lainnya adalah
fungsi pertimbangan, dimana fungsi ini berkenaan dengan rancangan
undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.32 I Dewa
Gede Palguna juga mengatakan bahwa DPD juga memiliki fungsi konsultasi atau
fungsi pertimbangan. DPD diberi wewenang untuk melakukan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat terhadap rancangan undang-undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.33
Pengaturan wewenang DPD dalam UUD 1945 diatur secara beriringan
dengan tugas DPD yang diatur dalam Pasal 224 sampai dengan Pasal 226
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Sebagai kelanjutan dari fungsi
pertimbangan, DPD memiliki tugas dan wewenang dalam fungsi pertimbangan
30
Pasal 22 D Ayat (2) UUD Negara RI 1945. 31
Pasal 22 D Ayat (3) UUD Negara RI 1945. 32
Sri Soemantri Martosoewignjo, Makalah Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jakarta,
28 Januari 2003, Yogyakarta, 24 Maret 2003, dan Semarang. 33
I Dewa Gede Palguna, Makalah Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan Dewan
20
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 224 ayat
(1) huruf d, yaitu34
Terkait fungsi pengawasan, Ruang lingkup fungsi pengawasan DPD
dilakukan terhadap menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan
Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak,pendidikan, dan
agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, dengan
demikian hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD diteruskan kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan akhir.
: “memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama”
Terbatasnya ruang lingkup fungsi dan wewenang yang dimiliki DPD,
menyebabkan keberadaan DPD sebagai lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia merupakan subordinasi dari DPR.35 Hal pengawasan
yang dimiliki DPD ini diatur pada pasal 224 Ayat (1) huruf f dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, yaitu36
menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
:
34
Lihat Pasal 224 Ayat (1) huruf d pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 35
Salmon E.M. Nirahua, Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia,Jurnal Hukum, Volume 18, nomor 4 (Oktober, 2011), Hal 14.
36
21
B.Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang Dasar, Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Legislatif mencerminkan suatu fungsi, yaitu legislate, atau membuat Undang-Undang.37
Pengaturan dalam UUD 1945 sebelum amademen menegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden. Hal ini diatur
pada Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, yang menentukan sebagai
berikut: “ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR”. Tetapi dalam pasal 21 Ayat (1) UUD 1945 sebelum
amademen, juga menentukan bahwa “Anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dari ketentuan dua pasal
ini, jelas terlihat bahwa kekuasaan membentuk undang-undang jelas berada di
tangan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat hanya pada batas memberikan
persetujuan. Namun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan
undang-undang pada Presiden.
Badan tersebut mengutamakan unsur “berkumpul” untuk
membicarakan masalah-masalah publik dan merundingkan, mengutamakan
keterwakilan anggota-anggotanya. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan
tersebut, baik yang bersifat kebijakan maupun Undang-Undang yang mengikat
seluruh masyarakat
38
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI
yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai tanggal 19 Oktober 1999.
37
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2009, hlm 315. 38
22
Pengesahan naskah Perubahan Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19
Oktober 1999. Pasca amandemen yang pertama, UUD 1945 terjadi perubahan
pada fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum amandemen pada UUD
1945, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam
proses pembentukan Undang-Undang.
Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan fungsi legislasi
tercantum dalam Pasal 20 Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UUD 1945 yaitu: (1)
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang; (2)
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) Jika rancangan undang-undang
itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pada Pasal
20A Ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi yaitu fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan
membentuk undang-undang.39
Pasca Amandemen ketiga lahirlah lembaga baru yang bernama DPD.
Kewenangan DPD dimuat dalam Pasal 22D UUD 1945 dimana DPD mempunyai
fungsi, tugas dan kewenangan dalam bidang legislasi, namun cakupan bidang
legislasi dari DPD sebatas hanya yang berkaitan dengan daerah. Membaca dari
39
23
Pasal 22D UUD 1945, lembaga Perwakilan Rakyat pasca amandemen bukan
merupakan lembaga perwakilan bikameral.40
Melihat kewenangan dalam Pasal 22D UUD 1945 ditambah dengan
sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian bahwa
menurut peneliti dari Australian National University bahwa DPD merupakan
contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem
bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang
amat terbatas dan legitimasi tinggi.41
Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat dukungan dan diperkuat oleh DPD. DPD ini merupakan
lembaga perwakilan penyalur aspirasi rakyat berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumner daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.42
DPD juga sebagai kekuatan politik penyeimbang Dewan Perwakilan
Rakyat di bidang legislatif. Keberadaan DPD di bidang legislatif sendiri sudah
mempunyai arti penting. Walaupun perannya sebagai kekuatan politik
penyeimbang, peran ini tetap bisa dilakukan secara politik. Misalnya saja dengan
mengeluarkan keputusan-keputusan politik yang merespon kebijakan Dewan
Perwakilan Rakyat yang terkait dengan isu DPD.
40
Sardi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi. Jakarta. Rajawali Pers, 2013, Hlm. 254. 41
Ibid, 42
24
Kenyataannya DPD sama sekali tidak diberi kewenangan di bidang
legislasi, dapat dikatakan DPD sebagai pemberi saran atau pertimbangan43. Fungsi
legislasi DPD sangat lemah dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
DPD hanya diberikan kewenangan dalam bidang legislasi terkait dengan hal-hal
yang bersifat kedaerahan, dan hanya sebatas bisa mengajukan dan ikut membahas
namun tidak ikut pada saat pengambilan keputusan akhir dalam pembicaraan
tingkat II. Kehadiran DPD tidak lain adalah untuk memperjuangkan aspirasi
masyarakat daerah. Posisi DPD dalam proses legislasi Rancangan
Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai sebatas berpartisipasi dalam
tahapan pengajuan rancangan undang-undang dan memberikan masukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak ada unsur keharusan dalam partisipasi atau
pemberian masukan dan pengajuan sebuah Rancangan Undang-Undang oleh DPD
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap rancangan yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam
program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional
merupakan perintah Pasal 16 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, dimana perencanaan penyusunan
Undang-Undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.44
Hubungan Dewan Perakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di
bidang legislasi dalam sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia dari sisi
43
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press. Jakarta. 2005. Hlm 150.
44
Adika Akbarrudin, 2013, “Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca
Amandemen UUD 1945”, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 8 Nomor 1.
25
yuridis dapat kita lihat dalam pengaturan UUD 1945. Seiring dengan perjalanan
perubahan UUD 1945 eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat semakin kuat dalam
sistem katatanegaraan Republik Indonesia dan dalam bidang legislasi, ini dapat
dilihat dari perubahan Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang ketentuan
Dewan Perwakilan Rakyat.45
UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen menyebutkan bahwa
kekuasaan membentuk Undang-Undang sudah berada ditangan Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden hanya diberikan hak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengaturan semacam ini dapat dilhat
dalam Pasal 20 Ayat (1) seperti ditegaskan seagai berikut : “ Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang “. Sedangkan pasal 5
Ayat (1) juga dijelaskan “Presiden berhak mengajukan Rancangan
Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan pada ketentuan Pasal
ini, jelas tergambar bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk
undang-undang yang semula berada ditangan Presiden beralih kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Dengan demikian amademen UUD Negara RI Tahun 1945 telah terjadi
pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.46
Perubahan ini berakibat terhadap penguatan dominasi Dewan Perwakilan
Rakyat dalam proses legislasi setelah amademen Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945, seperti ditegaskan Pasal 20 Ayat (1) Namun, kekuasaan Presiden
45
Ibid, 46
26
dalam pembentukan undang- undang dibatasi. Presiden hanya diberikan hak untuk
mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(Pasal 5 Ayat (1)) Disamping itu penguatan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam pembentukan undang-undang, juga terlihat dengan adanya pasal tersendiri
mengenai fungsi Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD 1945 Pasca
Amandemen.47
Dalam hal Pengundangan Undang-Undang yang tidak disahkan oleh
Presiden. Jika Rancangan Undang-Undang tidak disahkan oleh Presiden, dalam
tenggang waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi suatu Undang-Undang
dan wajib diundangkan.48 Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 Ayat (5) dalam hal
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama, apabila tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak Rancangan Undang-Undang
disetujui maka Rancangan Undang tersebut sah menjadi
Undang-Undang.49
Pengaturan kewengan legislasi daerah pada UUD 1945 diatur lebih lanjut
pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimana Undang-Undang ini
merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur kedudukan DPD, karena
Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur tentang kedudukan Majelis
47
Ibid,.
48
Sardi Isra, Op. Cit., Hal. 230. 49
27
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999.
Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 memiliki
beberapa kelemahan dalam aturan mengenai kedudukan fungsi legislasi DPD,
yaitu pasal 41 huruf a yang berbunyi “pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu”. Frasa “pengajuan usul” dalam pasal 41 huruf a Undang-Undang Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 menjadikan implikasi hukum yang berbeda dalam
kedudukan fungsi legislasi DPD. Kata usul bisa diartikan bahwa usul Rancangan
Undang-Undang dari DPD masih perlu dilakukan serangkaian proses atau
mekanisme dalam internal lembaga Dewan Perwakilan Rakyat untuk
menjadikannya sebagai Rancangan Undang-Undang. Selain itu dalam Pasal 43
ayat (2) yang berbunyi “DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR”. Menjelaskan bahwa DPD hanya ikut pembahasan hanya sampai tingkat I.50
Menurut Saldi Isra bahwa sejumlah kalangan berpendapat
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 telah membonsai peran DPD dalam proses
pembentukan Undang-Undang. Dan ini pelemahan-pelemahan yang ada pada
50
28
DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimuat dalam tabel berikut,
[image:41.595.106.516.248.731.2]yakni51 :
Tabel 1. pelemahan-pelemahan yang ada pada DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003.
Nomor Aturan Kelemahan
1 Pasal 41
DPD mempunyai fungsi:
a. mengajukan Usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengna bidang legislasi tertentu;
b. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.
Dewan Perwakilan Daerah dianggap hanya “ikut” dalam pembahasan dan tidak ikut memutuskan
2 Pasal 42 Ayat (1)
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
Kata “dapat” membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif, Dewan Perwakilan Daerah tidak menjadi salah satu institusi yang mengajukan Rancangan Undang-Undang. Ayat selanjutnya dalam pasal ini membuat wewenang Dewan Perwakilan Daerah semakin kecil
51
29
3 Pasal 42 Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksuda pada Ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk membahas sesuai tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Ketentuan ini memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan kapan Dewan Perwakilan Daerah bisa diundang dan menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah di dalam peraturan internah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
4 Pasal 42 Ayat (3)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang dimaksud pada Ayat (1) dengan Pemerintah
Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang
yang sesungguhnya dimulai.
5 Pasal 43 Ayat (1)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya
30
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dilakukan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun oleh Pemerintah
6 Pasal 43 Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (1) bersama dengan Pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang
yang sesungguhnya dimulai. Ketentuan ini juga memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah dengan memuatnya di dalam peraturan internal Dewan Perwakilan Rakyat.
7 Pasal 43 Ayat (3)
Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah, dan
31
Pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah atas Rancangan Undang-Undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga
mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah
8 Pasal 43 Ayat (4)
Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (3) dijadikan sebgai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah
Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah Sumber : Buku Pergeseran Fungsi Legislasi Oleh Saldi Isra
Dalam rezim yang sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,
yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan tidak terlalu membahas mekanisme pembentukan
peraturan perundang-undangan menyangkut DPD secara terperinci.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 masih tidak memberi kejelasan terhadap peran
dari DPD, karena banyak celah-celah kosong yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
mengatakan bahwa Prolegnas hanya disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat bidang legislasi.
32
Prolegnas. Artinya walaupun prolegnas yang berhubungan dengan kewenangan
DPD, lembaga ini tetap tidak dapat menyusun prolegnas.52
Menjawab berbagai persoalan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sekaligus
menggantikan Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan lahir juga
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (P3) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 .
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, isi
dalam Undang-Undang ini memuat tentang partisipasi DPD dalam proses
legislasi, yaitu seperti pada pasal 146 ayat (1) menyatakan bahwa: “Rancangan
Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/ atau naskah akademik
yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada
Dewan Perwakilan Rakyat”.53
Menurut Saldi Isra, seharusnya untuk fungsi legislasi yang terkait dengan
kewenangan DPD, pengaturannya bersifat Inter-chamber dan merupakan muatan
peraturan di tingkat Undang-Undang. artinya seharusnya bahwa tata tertib yang
terkait dengan fungsi kedua kamar tersebut dibuat bersama-sama oleh kedua
lembaga legislatif tersebut. sehingga memungkinkan untuk menutup celah
kewenangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang
organiknya serta memaksimalkan koordinasi kedua lembaga tersebut.54
52
Akhmad Haris Supriyanto, “Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem
Ketatanegaraan Demokratis” Artikel Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2014, Hal.6.
53
Ibid, 54
33 BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PUTUSAN
NOMOR 92/PUU-X/2012
A. Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Subjectum litis lebih dikenal sebagai pihak-pihak yang berperkara atau
bersengketa.55 Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 200356
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK No.06/PMK/2005 disebut
bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang atau hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara.57
Dari Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 beserta
Penjelasan dapat diketahui bahwa perorangan warga negara Indonesia, termasuk
kelompok orang warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang warga negara
Indonesia yang mempunyai kepentingan yang sama dapat tampil menjadi
pemohon, asalkan dapat membuktikan bahwa dirinya sendiri-sendiri atau
bersama-sama memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang di
55
Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 (Oktober, 2010), hlm 19. 56
Lihat Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003. 57
34
Mahkamah Konstitusi.58
Dalam pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD 1945, permohonan
pengujian diajukan oleh DPD yang diwakili oleh H. Irman Gusman, La Ode Ida,
dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang merupaka anggota DPD dengan surat
permohonan tanggal 14 Mei 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dengan diregistrasi Nomor 92/PUU-X/2012.
Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara
atau objek sengketa.59 kewenangan MK, objek perkaranya tergantung jenis
perkaranya. Menurut ketentuan di dalam Pasal 30 Undang-Undang No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi60, wajib dibuat dengan uraian yang sangat
jelas, yaitu61
a. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; :
b. Sengketa Kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Pembubaran partai politik;
d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
58
Ibid, hlm 49. 59
Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 (Oktober, 2010), hlm 19. 60
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara No.98 Tahun 2003. Tambahan Lembaran Negara No.4316.
61
35
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam penjelasan permohonan pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012, bahwa objek yang menjadi kajian di dalam sidang adalah
tentang pengujian Undang-Undang terhadap UUD. Pemohon menyatakan bahwa
ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 ini mereduksi
kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan suatu
Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) dalam hal mengajukan
Rancangan Undang-Undang dan Pasal 20 Ayat (2) & Pasal 22D Ayat (2) dalam
hal membahas Rancangan Undang-Undang.
Pasal-pasal didalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 yang diuji
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Daerah antara lain62
I. Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang dianggap
bertentangan oleh Pemohon dengan Pasal 22D Ayat (1) Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada pemohon
untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang, yaitu : :
a. Pasal 102 Ayat (1) huruf d yaitu :
“melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR”.
62
36
b. Pasal 102 Ayat (1) huruf yaitu :
“memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas Rancangan Undang tahun berjalan atau di luar Rancangan Undang-Undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional”.
c. Pasal 143 Ayat (5) yaitu : “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan
oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden”;
d. Pasal 144 yaitu :“Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR”;
e. Pasal 147 Ayat (1), yaitu :
“Pimpinan DPR setelah menerima Rancangan Undang-Undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) memberitahukan adanya usul Rancangan Undang-Undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna”;
f. Pasal 147 Ayat (3) yang berbunyi:
“Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Rancangan Undang-Undang usul dari DPR”.
g. Pasal 147 Ayat (4), yang berbunyi :
“Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Rancangan Undang-Undang-Undang-Undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus”.
II. Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang bertentangan
dengan Pasal 20 Ayat (2) dan Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar
37
untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang, yaitu63
a. Pasal 150 Ayat (3):
:
“Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
• Presiden, apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR. • DPR, apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden”;
b. Pasal 147 Ayat (7): “Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum
menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
pembahasan Rancangan Undang-Undang tetap dilaksanakan”;
c. Pasal 150 Ayat (5): “Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d, dan/atau pendapat
mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap
dilaksanakan”;
d. Pasal 71 Huruf a: “membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama”;
e. Pasal 71 Huruf d: “membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;