• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Risiko yang Memengaruhi Kejadian Komplikasi Gagal Ginjal pada Penderita DM Tipe II Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor Risiko yang Memengaruhi Kejadian Komplikasi Gagal Ginjal pada Penderita DM Tipe II Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi mampu membuat insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah hormon yang dibuat oleh pankreas, yang bertindak seperti kunci untuk membiarkan glukosa dari makanan yang kita makan lulus dari aliran darah ke dalam sel-sel dalam tubuh untuk menghasilkan energi. Semua makanan karbohidrat dipecah menjadi glukosa dalam darah. Insulin membantu glukosa masuk ke dalam sel (IDF, 2014).

DM ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Kadar glukosa darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut : diabetes ≥ 7.0 mmol/L, toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance) 6-7 mmol/L, normal < 6 mmol/L; kadar glukos 2 jam setelah pemberian 75 g glukosa ke dalam plasma adalah: diabetes ≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa terganggu 7,8-11,1 mmol/L; normal < 7,8 mmol/L (Davey, 2005).

2.1.2 Gejala dan Diagnosis DM 2.1.2.1 Gejala DM

(2)

a. Gejala Akut DM

Pada permulaan gejala yang ditujukan meliputi serba banyak yaitu : • Banyak makan (polifagia)

Banyak minum (polidipsia)

Banyak kencing (poliuria)

Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala : • Banyak minum

Banyak kencing

• Nafsu makan berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5-10kg dalam

waktu 2-4 minggu) Mudah lelah

• Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh

koma yang disebut dengan koma diabetik. b. Gejala Kronik DM

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah sebagai berikut : • Kesemutan

• Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum • Rasa tebal di kulit, sehingga kalau berjalan seperti bantal

• Kram

• Capai

(3)

• Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata

• Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita • Gigi mudah goyah dan mudah lepas

• Kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi, dan

• Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam

kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Davey, 2005, Hayes, 1997, IDF, 2014, dan PERKENI, 2011).

2.1.2.2 Diagnosis DM (PERKENI, 2011)

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh (WHO, 1994). Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

(4)

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa = 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa

lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.

(5)

f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.

g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

2.1.3 Klasifikasi DM

DM diakui sebagai sekelompok gangguan heterogen dengan elemen umum hiperglikemia dan intoleransi glukosa, karena kekurangan insulin, efektivitas gangguan kerja insulin, atau keduanya. DM diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan presentasi klinis dari gangguan menjadi empat jenis (IDF, 2014).

1. DM Tipe 1

DM tipe 1 dulu disebut diabetes yang menyerang pada anak-anak. DM tipe 1 juga disebut (diabetes mellitus yang tergantung insulin (insulin dependent diabetes mellitus/IDDM)) adalah gangguan atoimun dimana sistem pertahanan tubuh

(6)

Timbulnya DM tipe 1 sering tiba-tiba dan dramatis dan dapat mencakup gejala seperti :

• haus yang abnormal dan mulut kering • sering buang air kecil

• kelelahan ekstrim / kekurangan energi • kelaparan konstan

• penurunan berat badan mendadak • lambat penyembuhan luka

• Infeksi berulang

• penglihatan kabur (IDF, 2014)

Insiden DM tipe 1 cenderung meningkat, dikarena perubahan faktor risiko lingkungan, peningkatan tinggi, perkembangan berat badan, meningkatkan usia ibu saat melahirkan, beberapa aspek diet, dan paparan beberapa infeksi virus dapat memulai autoimunitas atau mempercepat suatu kerusakan sel beta yang sudah berlangsung, tetapi yang paling utama adalah faktor lingkungan (IDF, 2014).

2. DM Tipe 2

(7)

rutin dilakukan. Hal ini sering, namun tidak selalu, berhubungan dengan kelebihan berat badan atau obesitas, yang dengan sendirinya dapat menyebabkan resistensi insulin dan menyebabkan kadar glukosa darah tinggi. Orang dengan DM tipe 2 sering awalnya mengelola kondisi mereka melalui olahraga dan diet. Namun, seiring waktu kebanyakan orang akan memerlukan obat oral (IDF, 2014).

Pasien DM tipe 2 khasnya menderita obesitas, pada orang dewasa dengan usia lebih tua dengan gejala ringgan sehingga penegakan diagnosis bisa saja baru dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut sering sekali setelah ditemukan komplikasi seperti retinopati atau penyakit kardivaskular. Intensitivitas jaringan terhadap insulin (resisten insulin) dan tidak adekuatnya respon sel β pankreas terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi glukosa hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh jaringan. Ketosis tidak sering terjadi karena pasien memiliki jumlah insulin yang cukup untuk mencegah linolisis. Walaupun pada awalnya bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral, banyak pasien yang akhirnya memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi penyandang DM tipe 2 yang membutuhkan insulin (David, 2007).

Ada beberapa faktor yang mungkin dalam pengembangan DM tipe 2, diantaranya :

• Obesitas, diet, dan aktivitas fisik • Meningkatkan usia

• Resistensi insulin

(8)

• Kurang dari lingkungan intrauterin optimal • etnis (IDF, 2014)

Berbeda dengan DM tipe 1, orang-orang dengan DM tipe 2 tidak tergantung pada insulin eksogen dan tidak ketosis rawan, tetapi mungkin memerlukan insulin untuk mengendalikan hiperglikemia jika hal ini tidak dicapai dengan diet saja atau dengan obat hipoglikemik oral (IDF, 2014).

Meningkatnya prevalensi DM tipe 2 berhubungan dengan budaya dan sosial perubahan yang cepat, populasi penuaan, meningkatkan urbanisasi, perubahan pola makan, aktivitas fisik berkurang, dan gaya hidup tidak sehat lainnya dan pola perilaku (IDF, 2014).

3. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

Gestational diabetes mellitus ( GDM ) adalah suatu bentuk diabetes yang terdiri dari kadar glukosa darah tinggi selama kehamilan. Ini berkembang pada satu dari 25 kehamilan di seluruh dunia dan berhubungan dengan komplikasi bagi ibu dan bayi. GDM biasanya hilang setelah kehamilan tetapi wanita dengan GDM dan anak-anak mereka pada peningkatan risiko mengembangkan DM tipe 2 di kemudian hari. Sekitar setengah dari wanita dengan riwayat GDM terus mengembangkan DM tipe 2 dalam waktu lima sampai sepuluh tahun setelah melahirkan.

(9)

glukosa kembali normal setelah persalinan walaupun 60% berkembang menjadi diabetes dlam waktu 16 tahun, dengan risiko jangka panjang sehubungan dengan keadaan tersebut (David, 2007).

Mempertahankan kontrol kadar glukosa darah secara signifikan mengurangi risiko pada bayi. Kadar glukosa ibu meningkat dapat mengakibatkan komplikasi pada bayi termasuk ukuran besar saat lahir, trauma kelahiran, hipoglikemia dan penyakit kuning. Wanita yang telah memiliki GDM memiliki peningkatan risiko mengembangkan DM tipe 2 di kemudian hari. GDM juga dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas dan metabolisme glukosa abnormal selama masa kanak-kanak dan dewasa pada keturunannya .

Etiologi GDM Mekanisme tidak sepenuhnya dipahami dengan baik, tetapi hormon kehamilan tampaknya mengganggu kerja insulin (WHO, 2014).

(10)

2.2 Faktor Risiko DM

Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan kadar glukosa darah, yang disebabkan oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan bersama-sama (FKUI, 1995). Adapun faktor risiko DM sebagai berikut : 1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (PERKENI, 2011)

a. Umur > 45 tahun

Pada umur >45 tahun sudah terjadi proses penuan dimana banyak fungsi organ tubuh sudah terganggu dan menyebabkan sistem metabolikpun terganggu, sistem metabolik terganggu berdampak pada kerja insulin yang dihasilkan oleh pankreas (FKUI,1995).

Menurut data United State Department of Health Human Services tahun 2010 di Amerika kelompok umur 45-64 tahun peringkat keenam dari 10 penyakit penyebab kematian dengan jumlah kematian 17.287, kelompok umur > 65 tahun peringkat keenam dengan jumlah kematian 49.191(National Center for Health Statistics, 2013). b. Jenis kelamin

(11)

laki-laki Hispanic atau Latino peringkat kelima dengan jumlah kematian 3.372 (National Center for Health Statistics, 2013).

Pada jenis kelamin perempuan untuk kulit putih menempati peringkat ketujuh dengan jumlah kematian 2.576, Indian Amerika atau asli alaska peringkat keempat dengan jumlah kematian 425, Hispanic atau Latino peringkat keempat dengan jumlah kematian 3.184, kulit hitam atau Amerika Afrika peringkat keempat dengan jumlah kematian 6486, Asian atau Pasifik peringkat keempat dengan jumlah kematian 906 (National Center for Health Statistics, 2013).

c. Riwayat Keluarga DM

Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang yang mengidap DM (apalagi kalau kedua orang tuanya mengidap DM jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap DM daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik penyandang DM, hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap DM nantinya (FKUI, 1995).

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (PERKENI, 2011) a. Glukosa Darah

(12)

di hati tidak dapat dihambat (karena insulin kurang/relatif kurang) sehingga kadar glukosa darah dapat semakin meningkat (FKUI, 1995).

b. Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c)

Pada orang normal hanya sebagian kecil fraksi hemoglobin yang akan mengalami glikosilasi, yaitu sekitar 5%. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses non enzimatik dan bersifat irreversibel. Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proposional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadr glukosa darah berada dalam kisaran normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka hasil tes HbA1c akan

menunjukkan nilai normal. Nilai HbA1c merupakan prediktor terhadap kemungkinan

timbulnya komplikasi DM (FKUI,1995). c. Profil Lipid

Pada orang normal memiliki kadar kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL >45 mg/dl, dan kadar trigliserida <150 mg/dl. Maka bagi penderita DM akibat tergangunya kerja insulin mengakibatkan tidak terkontrolnya profil lipid seperti pada orang normal (FKUI,1995).

d. Aktivitas Fisik

Dianjurkan melakukan aktivitas fisik secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE (continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran

(13)

Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya joging. Aktivitas fisik seperti ini juga dianjurkan WHO (FKUI,1995).

e. Hipertensi

Tekanan darah normal <140/90 mmHg pada orang normal. Akibat mekanisme terjadinya plak pada pembuluhan darah karena menumpuk glukosa darah pada pembuluh darah menyebabkan aliran darah terhambat dan meningkatkan tekanan darah, sehingga tekanan darah menjadi >140/90 mmHg (FKUI, 1995).

f. Lama Menderita DM

Secara epidemiologi DM seringkali tidk terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya DM adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. Komplikasi DM terjadi 15-25 tahun setelah didiagnosis pada 35-45% pasien dengan diabetes tipe 1 dan < 20% pada diabetes tipe 2 (FKUI, 1995, dan Davey, 2005). g. Pola Makan (Diet)

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :

(14)

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Kalori yang disarankan untuk penderita DM Tipe II Komplikasi Gagal Ginjal 2015

kalori/hari (FKUI,1995, dan Budianto, 2009). h. Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan minum obat pada pasien DM sangat berpengaruh pada pengontro kadar glukosa darah pasien, selain mengendalikan faktor lainya yang dapat dikendaliakan. Hal ini sangat membantu agar tidak terjadi komplikasi pada pasien DM akibat tidak terkontrolnya kadar glukosa darah (FKUI, 1995).

2.3 Gagal Ginjal Kronik (GGK) 2.3.1 Definisi GGK

Gagal ginjal kroni (chronic renal failure (CRF)) didfinisikan sebagai nilai laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73mselama > 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Banyak penyakit dapat menyebabkan gagal ginjal kronis, termasuk glomerulonefritis (30%), nefritis interstisial dan nefropati refluks (20%), penyakit ginjal polikistik (10%), daiabetes mellitus (10%), hipertensi/penyakit renovaskular (10%), uropati obstruktif, dan penyakit lain yang tidak diketahui (20%) (Davey, 2005, Suwitra, 2014).

2.3.2 Patofisologi GGK

(15)

kalium dan asam, dan fungsi hormonal dalam bentuk produksi eritroprotein serta metabolisme vitamin D. Pada CRF, gangguan dapat terjadi pada fungsi manapun atau bahkan pada semua fungsi tersebut diatas (Davey, 2005).

Penyebab utama gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritis kronik, nefropati diabetik, nefritis interstisialis kronis, dan hipertensi. glomerulonefritis kronik penyakit ini disebakan oleh antibodi terhadap ujung C-terminal dari rantai α3

kolagen tipe 4 pada membran basal glomerulus dan membran basal alveolus di paru. Nefropati diabetik terutama yang memiliki kontrol glikemik yang buruk, telah memiliki ginjal yang membesar dengan peningkatan laju filtrasi glomerulus (LFG) pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Hiperfiltrasi ini merupakan akibat dari hipertensi intraglomerular yang disebabkan oleh konstriksi arteriol eferen. Abnormalitas ginjal yang selanjutnya terbentuk adalah mikroalbuminuria 20-200 μg/menit), yang berada dibawah ambang deteksi alat carik celup pada umumnya.

Mikroalbuminuria merupakan prediktor kuat nefropati yang terjadi kemudian, dan terkait dengan hipertensi ringan dan resistensi insulin ringan (Rubeinstein,2003 dan O’Callagan, 2006).

(16)

dengan infiltrat sel mononuklear. Hipertensi yang menyebabkan komplikasi gagal ginjal karena adanya mikroalbuminuria dan proteinuria dipstik merupakan tanda awal nefropati hipertensif (Rubeinstein,2003 dan O’Callagan, 2006).

2.4 Diabetes Mellitus Komplikasi Gagal Ginjal (Nefropati Diabetik) 2.4.1 Definisi Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik merupakan akibat dari kerusakan pembuluh darah, dengan jaringan parut pada sistem filtrasi bagian utama dari ginjal. Hal ini mungkin disebabkan oleh penebalan (dan dengan demikian melemahkan) membran di dinding pembuluh darah, sebagai hasil dari kadar glukosa darah tinggi . Protein bisa bocor dari pembuluh darah tersebut (W. Guthrie, 2004 dan WHO, 2014).

2.4.2 Patofisiologi Nefropati Diabetik

Terjadinya nefropati diabetik besar pengaruh disebabkan tekanan darah dan kadar glukosa darah tidak terkontrol. Keadaan ini terjadi 15-25 tahun setelah didiagnosis pada 35-45% pasien dengan diabetes tipe 1 dan < 20% pada diabetes tipe 2. Bertahun-tahun menderita tekanan darah tinggi dapat merusak filter halus pada ginjal, menjurus pada pembuangan produk sisa dari darah menjadi kurang efisien (Davey,2005, dan FKUI, 2014)

(17)

Disamping tekanan darah tinggi, glukosa darah yang tidak terkontrol juga mampu menganggu fungsi ginjal bahkan merusaknya dimana hiperglikemik menyebabkan glikosilasi protein, yang memacu terbentuknya ikatan silang protein. Ikatan silang dapat bersatu dengan molekul kolagen pada membran basal glomerulus atau memicu sel mensangial untuk menyekresi kelebihan matriks ekstraselular. Peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus yang menyebabkan penebalan difus pada membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari). Albuminuria persisten (albumin urin >300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR yang normal, namun setelah terjadi proteinuria berlebih ( protein dalam urin >0,5 g/24 jam, GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal (Davey,2005, dan O’Callagan, 2006).

Memeriksa protein dalam urin membantu dalam deteksi dini penyakit ginjal termasuk nefropati diabetik (catatan: bahwa bagaimanapun protein dalam urin tidak selalu disebabkan oleh kerusakan ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh beberapa stressor lain, seperti infeksi atau latihan intens). Jika ada sejumlah kecil protein (callled microproteinuria), kondisi dapat dikontrol dengan mengontrol gula darah dan tekanan darah, terutama dengan obat yang disebut ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor. Tapi jika ada sejumlah besar protein dalam urin (proteinuria

(18)

Ketika kerusakan ginjal nonreversible telah terjadi, hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal, dan akhirnya menyebabkan kematian. Di negara-negara maju, ini adalah penyebab utama dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis ginjal (pembersihan darah melalui penggunaan mesin) atau, sebagai upaya terakhir adalah trnsplant ginjal, sekarang menawarkan harapan peningkatan kualitas dan kuantitas hidup. Peningkatan teknik jaringan - mattching dan obat imunosupresi baru (obat untuk menjaga penerima dari menolak transplantasi) telah mengakibatkan transplantasi lebih berhasil (W. Guthrie, 2004, dan WHO, 2014).

Penyebab tersering penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi penggantian ginjal diabetes mellitus 40%, hipertensi 25%, glomerulonefritis 15%, penyakit ginjal polikistik 4%, urologis 6%, dan tidak diketahui dan lain-lain 10% (O’Callagan, 2006).

2.5 Epidemiologi DM

2.5.1 Distribusi DM Menurut Orang

(19)

Ras dan etnis juga merupakan faktor risiko untuk DM. Kebanyakan populasi minoritas di Amerika Serikat, termasuk Hispanik Amerika dan non-Hispanik kulit hitam, memiliki prevalensi diabetes yang lebih tinggi dari mereka kulit putih non- Hispanik. Meskipun prevalensi DM bervariasi antara populasi dan suku, DM tidak banyak pada orang Amerika India dan Alaska pribumi. Di Amerika negara Bagian, dengan didiagnosis DM dua kali lebih tinggi pada non-Hispanik putih dibandingkan etnis lainnya. Orang Asia Amerika berada pada risiko lebih tinggi terkena DM tipe 2, meskipun memiliki rata-rata indeks massa tubuh jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kulit putih non – Hispanik. DM berkembang lebih tinggi pada usia muda di ras dan etnis populasi minoritas, yang menempatkan kaum minoritas pada risiko yang lebih tinggi terkena komplikasi pada usia yang lebih muda (CDC, 2012).

Prevalensi DM 2007-2009 menurut national center for chronic disease prevention and health promotion pada umur >20 tahun di amerika menurut ras dan

etnis amerika dan alaska asli 16,1%. Asian amerika 8,4%, hispanic 11,8%, hitam non hispanic 12,6%,putih non hispanic 7,1% (CDC, 2012).

Orang Afrika Amerika adalah 1,7 kali lebih mungkin terkena DM dibandingkan dengan non – Hispanik kulit putih, dan dalam beberapa penduduk asli Amerika, satu dari dua orang dewasa menderita diabetes (Agbayani, 2013).

2.5.2 Distribusi DM Menurut Tempat dan Waktu

(20)

Taiwan 5, %, Thailand 7, %, Vietnam 2,9%. Pada tahun 2014 Australia 5,1%, China 9,3%, Indonesia 5,8%, Jepang 7,6%, Korea 6,7%, Malaysia 16,6%, Mongolia 7,3%, Filipina 5,9%, Singapur 12,8%, Taiwan 9,9%, Thailand 8,5%, Vietnam 5,3% (IDF, 2010 dan IDF, 2014).

2.6 Pencegahan Diabetes Mellitus (DM) (PERKENI, 2011)

2.6.1 Pencegahan Primer

2.6.1.1 Sasaran Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.

2.6.1.1.1 Faktor Risiko Diabetes

Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : • Ras dan etnik

• Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)

• Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan

meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.

• Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat

(21)

• Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir

dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : • Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). • Kurangnya aktivitas fisik.

• Hipertensi (> 140/90 mmHg).

• Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)

Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan

meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM tipe2. 2.6.1.1.2 Intoleransi Glukosa

• Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya

diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus mengalami peningkatan.

Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of

Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association

(ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi glukosa akan menjadi diabetes.

• Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular

(22)

• Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah

puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini :

• Glukosa darah puasa antara 100–125 mg/dL

• Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199 mg/dL.

• Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi. 2.6.2 Materi Pencegahan Primer

Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengeloaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.

2.6.2.1 Penyuluhan

Penyuluhan ditujukan kepada:

a. Kelompok Masyarakat yang Mempunyai Risiko Tinggi dan Intoleransi Glukosa Materi penyuluhan meliputi antara lain:

1. Program Penurunan Berat Badan

(23)

2. Diet Sehat

• Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.

• Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.

• Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan

seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.

• Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.

3. Latihan Jasmani

Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.

• Latihan jasmani yang dianjurkan:

• Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik

sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

(24)

2.6.2.2 Pengelolaan

Pengelolaan yang ditujukan untuk: • Kelompok intoleransi glukosa

• Kelompok dengan risiko (obesitas, hipertensi, dislipidemia,dll.)

1. Pengelolaan Intoleransi Glukosa

• Intoleransi glukosa sering berkaitan dengan sindrom metabolik, yang ditandai

dengan adanya obesitas sentral, dislipidemia (trigliserida yang tinggi dan atau kolesterol HDL rendah), dan hipertensi.

• Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan perubahan

gaya hidup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan latihan jasmani yang cukup dan teratur.

• Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan

gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya DM tipe 2 dibandingkan dengan penggunaan obat obatan.

• Penurunan berat badan sebesar 5-10% disertai dengan latihan jasmani mampu

(25)

• Bila disertai dengan obesitas, hipertensi, dan dislipidemia, dilakukan

pengendalian berat badan, tekanan darah dan profil lemak sehingga terc apai sasaran yang ditetapkan

2. Pengelolaan berbagai Faktor Risiko a. Obesitas

b. Hipertensi c. Dislipidemia

2.6.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.

Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya.

(26)

2.6.3 Pencegahan Tersier

• Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah

mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. • Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan

menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati.

• Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan

keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

(27)

2.7 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(28)

2.8 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas, selanjutnya kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Risiko yang tidak dapat

Dimodifikasi :

1 Riwayat Keluarga dengan DM

Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi: 1. Glukosa Darah

2. Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c)

3. Profil Lipid (Kolesterol dan Trigliserida)

4. Aktivitas fisik 5. Hipertensi

6. Lama Menderita DM Tipe II 7. Pola Makan (Diet)

8 Kepat han Min m Obat

Faktor lain yang terkait dengan Risiko DM:

1 Riwayat Penyakit Kardiovaskuler

Kasus

Diabetes Mellitus Tipe II Komplikasi Gagal

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2.  Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tahapan dan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen penawaran, dengan

Input apa yang berpengaruh terhadap pendapatan petani pada usahatani padi. sawah sistem SRI dan

Berdasarkan Tabel 5 bahwa perlakuan dengan jarak tanam yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap parameter bobot kering gulma.. Pada umur pengamatan 14 hst dan 28 hst

[r]

Salah satu metode penentuan harga jual yang diterapkan untuk perusahaan kontraktor adalah Cost-Type Contract, dimana cara perhitungan harga jual dengan memasukkan semua biaya

Seiring dengan kebutuhan jaman dibutuhkan perencanaan hotel transit, dipilih pada lahan bekas bangunan Kereta Api yang dijadikan sebagai bangunan konversi, letaknya yang

Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebakan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan, cairan masuk kebula yang terbentuk pada luka bakar derajat III dan

Minuman serbuk dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah daripada minuman cair karena sedikit sekali mengandung air dengan bobot dan volume yang rendah,