• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pemerintah Harus Campur Tangan

Interpretasi akhir atas hasil temuan membawa peneliti pada klimaks. Istilah klimaks ini dilekatkan atas jenuhnya data (saturated) setelah proses konfirmasi beberapa kali pada beberapa narasumber terkait menunjukkan hasil atau temuan-temuan yang sama. Beberapa konsep baru muncul dan menjadi perhatian serta pemikiran panjang penulis pada tahap akhir penelitian yaitu penulisan disertasi. Tiga hal penting yang diperoleh di tahap akhir, yang kemudian patut untuk disimak lebih lanjut adalah: (i) pentingnya memahami paradoks kreativitas dalam industri atau bisnis berbasis kreativitas, (ii) pentingnya strategi mengelola paradoks kreativitas tersebut dalam menjalankan bisnis agar tujuan tercapai, dan (iii) peran pemerintah yang diharapkan untuk mengembangkan industri atau bisnis berbasis kreativitas di Indonesia, khususnya industri film Indonesia. Sebelum penulis menjelaskan tentang peran pemerintah yang diharapkan, terlebih dahulu akan dirangkum beberapa hal penting yang menjadi kesimpulan dari penelitian ini.

Kesimpulan

(2)

memulai proses awal; bagaimana ia mengelaborasi semua ide-ide kreatif di dalam timnya, bagaimana ia kemudian mengawal dan menjaga seluruh proses kreatif tersebut dalam pembuatan filmnya, sampai monitoring tahap akhir penyelesaian produksi film.

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Penulis melakukan abstraksi dan elaborasi beberapa faktor yang muncul dan harus ada dalam pengelolaan kreativitas proses pembuatan sebuah film–sesuai Gambar 7.4, yaitu (i) ide cerita yang baru, (ii) riset yang memadai, (iii) skrip yang menarik, (iv) pemilihan aktor/aktris yang sesuai, (v) sinematografi yang memuaskan, serta (vi) strategi pemasaran yang inovatif. Faktor-faktor tersebut menurut penulis, menentukan keunggulan dan kompetitif atau tidaknya sebuah film. Jika keenam faktor tersebut dipenuhi, penulis yakin bahwa film yang dibuat akan menjadi film yang unggul dan kompetitif. Di mana pemenuhan kreativitas film tersebut akan nampak kebaruan dan orisinalitasnya, dan secara penetrasi pasar penulis yakin film yang dihasilkan dengan memperhatikan atau menjalankan keenam faktor tadi akan mampu masuk ke pasar dalam negeri dan mendapatkan apresiasi yang cukup dari penonton.

(3)

Paradoks kreativitas bukan hanya ditemui di sepanjang proses produksi sebuah film, namun juga ketika film tersebut selesai diproduksi dan akan diputar, ditayangkan di layar lebar. Selanjutnya, pemimpin tetap memiliki peran yang paling besar ketika bernegosiasi dengan banyak pihak, seperti distributor maupun calon ekshibitor. Meskipun demikian, hasil negosiasi tetap dapat memunculkan paradoks-paradoks, baik antara pembuat film dengan ekshibitor maupun antara pembuat film dengan penonton. Strategi pemasaran yang tepat serta pendanaan yang memadai turut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pembuatan film.

Jelaslah kini, bahwa peran pemimpin, yaitu pembuat film atau produser, dalam proses produksi sampai ekshibisi film sangat besar dan menentukan. Bagaimana ia mengelola paradoks-paradoks kreativitas yang senantiasa muncul, serta memilih strategi-strategi yang tepat untuk mencapai tujuan bisnis (praktik bisnis) filmnya menjadi hal yang penting.

Peran Pemerintah

Hal terakhir yang penulis temukan dari penelitian ini adalah peran pemerintah yang dinanti-nantikan oleh pembuat film. Pemerintah harus tetap berperan sebagai regulator, namun sifatnya bukan lagi seperti di era Orde Lama atau Orde Baru yang menerapkan kebijakan sensor ketat atas pornografi –namun tak diterapkan secara adil— atau sensor untuk kepentingan politik. Pemerintah di era Pasca Reformasi ini harus tetap berperan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung tumbuh-kembangnya industri film Indonesia.

(4)

baru oleh pemerintah di bulan Februari 2016 ini, dilihat Mira sebagai peluang investor asing masuk ke dalam negeri. Ini bagus karena akan mendorong rasa ingin belajar dari sineas-sineas lokal. Di samping itu, menurutnya pemerintah juga harus menambah sekolah-sekolah film di dalam negeri (Majalah Tempo, 21 Februari 2016).

Pemerintah juga diminta beberapa movie-maker, seperti Lala Timothy, Angga Dwi Sasongko, dan Motulz, untuk menambah jaringan bioskop kelas menengah ke bawah. Pemerintah dapat turut mendukung perfilman nasional dengan cara mendirikan bioskop-bioskop di daerah – melalui anggaran pemerintah daerah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata—yaitu bioskop kelas B dan C. Bukan seperti bioskop berkelas A

yang dimiliki ―Grup XXI‖ dan ―CGV Blitz‖, melainkan bioskop kelas menengah dan bawah. Diharapkan, jika bioskop yang dibangun oleh pemerintah daerah itu dapat dibiayai dengan anggaran yang tidak terlalu besar, namun ada minimal satu bioskop di setiap provinsi atau kota madya, maka tiketnya bisa dijual lebih murah. Hal ini disebabkan bioskop-bioskop daerah tersebut dapat diperlakukan sama seperti museum yang berfungsi melestarikan budaya nasional.

Masyarakat di daerah dapat menyaksikan film-film Indonesia yang berkualitas dari masa ke masa, tanpa harus dibebani dengan biaya yang mahal. Mereka bisa mendapatkan pengetahuan tentang sejarah bangsa, dan literasi serta cita-rasa (selera) masyarakat tentang film Indonesia pun

dapat ditingkatkan. Selera penonton yang selama ini dikatakan ―cemen‖ dan cheesy, pelan-pelan barangkali bisa diubah dan diperbaiki. Masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok daerah pun dapat turut menikmati film-film Indonesia berkualitas yang sedang tayang di bioskop-bioskop ternama, tidak lama sesudah film tersebut turun dari layar lebar

―XXI‖ dan ―CGV Blitz‖. Pemerintah juga dapat berperan dalam memberikan dan meningkatkan literasi tentang film di sekolah-sekolah, karena salah satu fungsi film adalah media pendidikan. Murid-murid di tingkat SD, SMP, dan SMA, dapat mencari dan menambah pengetahuan tentang budaya bangsa melalui film nasional. (Kompas, 4 Maret 2016).

(5)

sedemikian modern, sensor habis-habisan di bioskop dan televisi tidak akan berguna. Kemunculan beberapa situs seperti Netflix dan Hooq adalah salah satu penyebabnya, di situs-situs tersebut pengguna telepon pintar bebas menikmati berbagai jenis film dalam dan luar negeri tanpa sensor. Beberapa movie maker seperti Riri dan Mira mengusulkan sensor dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan bimbingan orangtua.

Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa peran pemerintah masih belum maksimal, belum sepenuhnya berpihak pada pembuat film nasional. Berdasarkan hasil wawancara dengan wakil pemerintah yaitu Asisten Deputi Riset dan Pengembangan BEK, penulis mendapatkan interpretasi bahwa peran pemerintah saat ini masih di tahap awal, masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Kebijkaan oleh pemerintah masih perlu ditambah. Pemerintah masih terkesan sebagai the outsider. Pemerintah harus lebih menegakkan Undang-Undang Perfilman yaitu UU Nomor 33 Tahun 2009, khususnya pasal yang mengatur tentang proporsi minimal 60% untuk film Indonesia ditayangkan di layar lebar dalam negeri. Aturannya sudah ada, namun pelaksanaannya tidak konsisten. Film asing masih tetap mendominasi layar lebar di tanah air. Pemberian sangsi bagi pengusaha bioskop yang melanggar aturan tersebut adalah hal yang patut dipertimbangkan untuk dilakukan, demi keberpihakan pada industri film Indonesia.

Di samping itu. penulis melihat masih adanya dominasi pengusaha bioskop di tahap ekshibisi (penayangan) film Indonesia di layar lebar. Dominasi tercermin baik di tahap negosiasi pembagian keuntungan hasil penjualan tiket sesudah dipotong pajak, maupun saat negosiasi ―jatah‖ penayangan atau masa tunggu sampai film diturunkan dari layar lebar. Penulis berpendapat, posisi pengusaha bioskop sebagai ekshibitor lebih kuat dan punya power, daripada pembuat film yang sudah berjuang keras untuk memproduksi karya kreatifnya. Penulis berpendapat, atas aturan-aturan itu, pemerintah juga harus campur tangan.

(6)

sebagai regulator tidak atau belum menunjukkan peran yang signifikan, di sisi lain pengusaha bioskop justru menjadi sangat dominan dan diuntungkan sekalipun tidak memiliki peran sebagai regulator.

Rekomendasi

Penulis mengusulkan beberapa rekomendasi yang patut dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah segera, demi menyelamatkan dan mengembangkan industri perfilman Indonesia. Rekomendasi-rekomendasi itu adalah:

1. pemerintah memberi insentif pajak berupa pembebasan pajak pada pembuat film yang telah berhasil meraih penghargaan di kancah internasional. Ini sama seperti para atlet yang mengharumkan nama Indonesia di kompetisi olahraga di luar negeri,

2. kebijakan pertama tersebut diikuti dengan langkah berikutnya dari pemerintah, yaitu memberi insentif untuk film Indonesia yang artistik dan memenangkan festival film di luar negeri, tapi belum tentu laku di dalam negeri. Pemerintah bisa membeli hak edar film-film pemenang festival tersebut untuk memberikan apresiasi yang sepadan atas jerih-payah pembuatnya,

3. langkah kedua juga diterapkan untuk kasus lain, yaitu film berjenis pendidikan dan film untuk anak-anak yang sangat langka. Pemerintah juga harus memberi insentif dalam bentuk penghapusan pajak atau pembelian hak edar atas karya film pendidikan dan film anak yang masih sangat kurang diminati para pembuat film, karena jumlah penonton yang minoritas. Film seperti ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ atau ―Garuda di

(7)

menekuninya, sehingga memperoleh hasil yang baik dari ketekunan tersebut.

4. pemerintah harus menegakkan aturan tentang proporsi 60% dari film yang diputar di layar lebar adalah film Indonesia, dengan demikian aturan ekshibitor tentang masa tayang waktu 1-3 hari uji-coba (karena film asing sudah antre) untuk menentukan film mana yang harus segera diturunkan dari layar lebar tidak relevan lagi,

5. pemerintah dapat mulai meningkatkan literasi film pada penonton/masyarakat, dengan cara menayangkan film Indonesia yang berkualitas dari masa ke masa di sekolah-sekolah (dimasukkan sebagai media pendidikan),

Referensi

Dokumen terkait

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa program pascasarjana berikut ini adalah mahasiswa yang sedang aktif

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

The methodology presented here is useful for situations where massive sensor data need to be compressed in a way that allows a progressive retrieval with increasing

Water is continuously distributed in natural conditions; thus, this paper proposed a new method of water body extraction based on probability statistics to improve the accuracy of

Saat Indonesia merdeka, desa menjadi satu bagian dalam negara yang memiliki karateristik yang sama sebagai lingkungan politik, sosial, ekonomi dan budaya seperti dalam

To assess the phenological changes in Moist Deciduous Forest (MDF) of western Himalayan region of India, we carried out NDVI time series analysis from 2013 to 2015 using Landsat 8

Dengan bangga, apresiasi tinggi juga kami alamatkan kepada para fasilitator lokal atau fasilitator negeri, yang mengambil peran sangat besar dalam membantu mem- fasilitasi negeri