BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam membelanjakan uangnya, beberapa orang lebih memperhatikan nilai manfaat yang diperoleh dari barang atau jasa yang telah dibeli, beberapa lainnya cenderung untuk membeli / mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan tanpa memperhatikan lagi skala prioritasnya (Aryani, 2006). Kecenderungan berbelanja hanya untuk memenuhi keinginannya itulah yang disebut sebagai spending habit.
attitude yang dikemukakan Yamauchi & Templer (1982)
merujuk pada power-prestige.
Perbedaan money attitude sendiri dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain perbedaan faktor demografis seperti usia (Bailey & Lown, 1993) dan jenis kelamin (Prince, 1991); faktor sikap seperti kerja dan kepuasan hidup (Mitchell & Mickel, 1999); dan juga faktor Emotional Intelegence (Engelberg & Sjoeberg, 2006). Faktor lain yang terbukti memiliki pengaruh terhadap money attitude adalah faktor etnis (Masuo et al., 2004). Sejauh ini, di Indonesia belum ditemui penelitian sejenis, padahal berbeda etnis berbeda pula pengajaran sikap terhadap uang.
Etnis Tionghoa dan etnis Jawa merupakan contoh dua etnis di Indonesia yang masih berpegang teguh pada ajaran leluhur. Etnis Tionghoa mengajarkan pada anaknya cara mengelola uang baik untuk pengeluaran
maupun investasi. Prinsip “uang harus menghasilkan
uang” terus ditanamkan dalam pola pikir
bahwa pada anak muda masyarakat setempat yang bukan keturunan Tionghoa dapat dilihat memiliki sikap yang berbeda terhadap uang. Bagi masyarakat Jawa, uang dipandang dengan sikap yang berbeda. Uang dipandang sebagai alat untuk bersosialisasi, atau untuk bersedekah, namun, bisa didapati money attitude yang sama seperti etnis Tionghoa pada anak muda etnis Jawa yang disebabkan adanya pencampuran kebudayaan keduanya baik dalam keluarga atau dalam lingkungan, mengingat persebaran etnis Jawa merupakan yang terbesar di Indonesia (Hasbullah, 2012). Salah satu contohnya adalah anak muda keturunan Jawa yang menganggap uangnya sebagai alat investasi masa depan sehingga cenderung membelanjakan uangnya sesuai perencanaan dan kebutuhan pentingnya saja.
extrovert mewakili orang yang bersifat terbuka (sociable,
easy going, optimistic), atau juga dapat dikatakan
individu berkepribadian extrovert memiliki derajat introvert yang kecil (Eysenck & Eysenck, 1985).
Penelitian yang ada sebelumnya hanya menguji secara terpisah ada tidaknya pengaruh etnis terhadap money attitude (Masuo et al., 2004) dan keterkaitan antara money attitude dengan spending habit (Roberts & Sepulveda, 1998; Cummin et al. et al., 2005), sedangkan penelitian mengenai ada atau tidaknya pengaruh baik antara etnis dan derajat extrovert terhadap spending habit baik secara langsung (diintegrasikan secara langsung) maupun dengan dimensi power prestige dari money attitude sebagai variabel mediasinya, belum ada, sehingga hal itulah yang menjadi motivasi penelitian ini dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah etnis dan derajat extrovert berpengaruh secara signifikan terhadap power prestige?
2. Apakah etnis dan derajat extrovert berpengaruh secara langsung terhadap spending habit?
1.3.Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji pengaruh etnis dan derajat extrovert terhadap power prestige
2. Untuk menguji pengaruh etnis dan derajat extrovert secara langsung terhadap spending
habit
3. Untuk menguji apakah power prestige dapat menjadi variabel mediasi bagi etnis dan derajat extrovert terhadap spending habit
1.4.Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman dalam bidang personal finance khususnya dalam pembahasan