SIKOLOGI
BULETIN PSIKOLOGI
Volume
21-,Nomor
2, Desemb
er
2013
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
?e:e=b
j-t,:
: =,-.';rtas Psikofogi Universitas
Gadj ah Mada (LP4 & LPTB),
Pelindung:-='.--=. : =:-'----.s
Psikologi Universitas
Gadjah Mada,' Penanggung ,fawab: Wakif Dekan:-'=:--:=:-=-'-.ran,
P2M dan Kerjasama; Pemimpin Redaksi:Neila
Ramdhani; Wakil!a-:nrrlq
Redaksi: RidwanSaptoto; Sekretaris: Lu'fuatul
Chizanah;Editor:
T. --' .- :-=:---...)cI Faturochman, Supra Wimbarti, Subandi,' Mitra Bebestari: Achmad:. -r--,=- ,:-'.;eritas Islam Indonesia Yogyakarta) ; A. Supratiknya (Univeritas
=,. =--= -:.=::... Yogyakarta) ; Lif f emor Adrianson (Unlversity of Boras Swedia) ,' Bo
::----t:t (-nlversit6 Paris Descartes); Asmadi Alsa, Saifuddin Azwar, Sofia
:*r f -'- T{rrn:-r u rlelLs! u / vr: a.lr rz:nl- i urr Lr, Arzi r E-=r] i I l.a Helmi, FathUI Himam, BagUS
--.-',- -::'versitas
Gadjah Mada);Distribusi
&
Sirkulasi:
Syahrul
Fauzi
&--::
=:----Halaman
Talent Managemenf dalam Perspektif O r ganizational
Change and Deuelopment
Fathul Himam
Marital Flourishing:
Kualitas Perkawinan dalam Teori Eudaimonik Siti Rohmah Nurhaaati EAoin FadiIIa Helmi
Tantangan dalam Mengungkap Beban Kerja Menfal Ni Made Sw asti Wulana nni
Keseimbangan Kerja Keluarga pada Perempuan Bekerja:
Tinjauan Teori Border
Arri
Handayani
9059
68
80
::-i::ri
--:-:' :
;::3:-"a'3:.
, ,
---=---:
---:'(_
:i:-,::'--kan dua kali dalam setahun. Naskah dapat dikirimka:--.-:-ogr dengan alamat: Unit. Publikasi trakultas Psikolog-..=-.--: 55281, telepon (0274)550435 ext 744; emai- :
id. :-r:--akan CV dan kererangan khusus mengenai tu li s=:.
Siti Rohmah NurhaYatil
FIP Universitas Negeri Yogyakarta
Avin Fadilla Helmi2
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Abstract
Marital quality has been desuibed
in
aarious concepts. One of them is marital flourishingsuggested by Fowers and Owenz QA10. This article presents the concept of marital flourishing
and eudaimonic theory that emerged from Aristotle's aieut about happiness. Marital flourishing in
this article is assessed by two dimensions of marital quality.First the goal dimension that diaides
instrumental goals and constitutiae goals.second the goal pursuit that distinguish marital
flourishing between indiaidual goal pursuit and shared goal pursuit. Marital flourishing as the
highest quality of marriage is characterized by the height of communal actiaity between couple and
the height of constitutiae goals. Other types of marital quality and the forms of actiaity that
characterize marital flourishing is also described further in this article.
Keywords: eudaimonic theory, family, marital quality BL1-ETD{ PSIKOLOCI
YOLU\IE 21, NO. 2, DESEMBER 2013: 68 -79
Marital
Flourishing:
dalam Teori
Kajian teoritik kualitas perkawinan
menjadi perhatian
banyak
peneliti(Nortory L983; Fincham
&
Linfield, 1997;Fowers
&
Owenz, 201'0), namun belumada kesepakatan konseptual di antara para
ahli
(Fincham&
Rogge, 2010). Kualitasperkawinan secara konsep dapat dipan-dang sebagai kepuasan perkawinan, keba-hagiaan perkawinary kesuksesan perka-winan, stabilitas perkawinao penyesuaian perkawinan (Knapp
&
Lotf
2010), dan komitmen (Baxter, 2010). Konsep-konsep tersebut secara operasional mengandalkan evaluasi subjektif, sehingga dianggap ku-rang menggambarkan kualitasperkawi-nern yang
sesungguhnya. Pandangan Fort'ers dan Owenz tentang kualitasperka-uinan
menarik
untuk dikaii
seiringFAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADIAH MADA
ISSN: 0854-7108
Kualitas Perkawinan
Eudaimonik
dengan kemunculan
psikolo$i
positif, yang mengedepankan aspek-aspek positif manusia mengenai kebaikan dan keber-maknaan.Teori Hedonistik dan Eudaimonik
Konsep flourishing tidak dapat
dipi-sahkan dengan
dua
tradisi
teori-teori dalam filsafat mauPun psikologi berkaitandengan kebahagiaan
dan
kesejahteraan (well-being), yaitu teori hedonik daneudai-monik (Ruyter, 2007). Teori hedonistik
me-mandang kebahagiaan bersifat subjektif, karena berkaitan dengan evaluasi seseo-rang terhadap dirinya sendiri (Deci & Ryan, 2008). Orang berbahagia
jika
diapercaya dan hanya jika dia Percaya bahwa
dia
bahagia atau mengalami well-being(Ruyter, 2007). Secara operasional
kebaha-giaan
atau
well-being diinterpretasikan sebagai suatu pengalaman dari Perasaan : Korespondensi menganai isi artikel=e-ar';i: stiroma@yahoo. com
: -{=.: ::-.eia-trui avinpsi@ugm.ac.id
i:
ini dapat
MARITAL FTOURISHING
positif yang tinggi, perasaan negatif yang
rendatr, serta kepuasan yang tinggi dalam kehiduparurya (Deci & Ryan,2008).
Perspektif
kedu4 yaitu
teori-teori eudaimonikyang
memandang well-beinglebih
dari
sekedar kebahagiaan, karenaorang yang menyatakan bahagia
(meng-alami perasaan positif) tidak selalu berarti bahwa dia secara psikologis baik (Deci & Ryu.r, 2008). Tradisi eudaimonik dalam
penelitian-penelitian well-being muncul dari filsafat kebahagiaan Aristoteles. Defi-nisi kebahagiaan manusia menurut
Aristo-teles berpusat pada kebermaknaan hidup dengan kehidupan yang baik, kehidupan
yang
merepresentasikan keunggulan manusia (Ryan, dkk., 2006).Teori eudaimonik menganggap
bah-wa
well-being merupakan suatu prosesmemenuhi atau merealisasikan sifat baik
atau daimon seseorang (Deci & Ry"ru 2003).
Daimon merupakan potensi-potensi yang
dimiliki
seseorang. Realisasinya berupa kebaikan dan potensi unik yangmembe-dakan
individu
satu
dengan lainnya. Daimonjugu
merupakan suatukeung-gulary kesempurnaan dalam perjuangan
seseorang dan oleh karena itu dapat
mem-berikan makna dan arah dalam kehidup-annya. Usaha untuk hidup sesuai dengan daimon, atau untuk merealisasikan potensi-potensi
diri
akan dapat meningkatkansuatu kondisi
yang
disebut
sebagai eudaimonik (Waterman, 1993).Menurut Aristoteles, eudaimonik
diter-jemahkan sebagai kebahagiaan maupun
flourishing. S ay angny a, penerjemahan
terse-but sering menimbulkan kesalahfahaman,
diwujudkan melalui pola aktifitas vang baik sepanjang hayat, yang diabdikan
un-tuk tujuan yang baik dan dicapai dengan dasar nilai-nilai kebajikan (Fowers, 20I2b).
Teori Eudaimonik dan Marital Flourishing Woolfolk dan Wasserman (2005) me_
nyatakan bahwa aslinya eudaimonik diko_ notasikan dengan suatu perilaku diberkati
oleh Tuhan. Oleh karena itu Fowers (2012)
menerjemahkan eudaimonik dengan flour_ ishing, yang digunakan
untuk
mendes-kripsikan kualitas kehidupan seseorang sepanjang waktu atau untuk mengevaluasikeseluruhan kehidupan seseorang selama waktu tertentu (Ruyter, 2007).
Individu yang eudaimon atau flourish
adalah mereka yang berkembang secara
penuh dan melakukan berbagai kebaikan
dari
manusia secararutiry baik
secaramoral maupun intelektual, terlibat dalam aktifitas-aktifitas bermoral yang
menun-jukkan keadilary murah hati, penguasaan
diri,
danlain
sebagainya (Kraut, 1979;Kristja'nsson, 2010). Pe4capaian
eudaimo-nik
bersifat sukareladan
merupakan ekspresidiri
sendiri, serta tidak diken-dalikan oleh pengaruh luar. Oleh karenaltu
eudaimonia ditunjukkan dengan cara hidup yang baik, memerlukan perjuangan secara aktif dalam aktifitas yang unggul, pengambilan keputusan secara reflektif,secara sukarela berusaha mencapai tujuan
yang
merepresentasikan realisasi darisifat-sifat manusia
yang
mulia
(Ryuru dkk., 2006; Ryff&
Singer, 2008).Kesuk-sesan
untuk
mencapai tujuan tersebutmembutuhkan keunggulan dari kebajikan
dan kolaborasi dengan orang lain (Fowers, 20r2b).
Kondisi eudaimonik dianggap dapat membentuk human flourishing, yang
ditun-jukkan
antaralain
dengan kebaikan-kebaikan eksternal, seperti keluarga yangbaik, teman-teman yang baik, keturunan
karena
kebahagiaanpada
umufirnya dikonotasikan dengan keadaan afektif sajayang sifatnya superfisial dan sementara
(Fowers, 2008; 2012a). Padahal eudaimonik
merupakan bentuk tertinggi kehidupan manusia (Fowers, 2012a), yang merupakan cara hidup manusia yang lengkap yang
NURHAyATI €i HELMT
yurg baik, penampilan yang baik, serta senang dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang baik. Elemen-elemen tersebut meru-pakan bagian dari jenis kehidupan yang
disebut
sebagai kehidupan
yang flourishing- sebagai kebaikankemanusia-an
(Snow, 2008). Jadi istilah flourishingtidak
dapat dilepaskandari
eudaimonia.Flourishing adalah berkembang secara
penuh yang meliputi keunggulan afektif,
kognitif,
perilaku, sosial
dan
politik(Fowers, 2012b). Flourishing akan muncul
jika ada integrasi dari kebaikan-kebaikary meliputi pencapaian tujuan yang bermak-na yang sesuai dengan bakat, pilihan, dan keadaan yang ada. Meskipun demikiary
tidak
ada bentuk flourishing yang jelasyang dapat
diikuti
oleh semua orang,karena flourishing adalah konsep terbuka tentang kehidupan yang baik, yang dapat
dipenuhi
oleh
orang-orang denganmemadukan berbagai kebaikan (Fowers & Owettz, 2010). ladi flourishing merupakan
sebuah gambaran tentang suafu kehi-dupan yang lengkap yarlg diabdikan pada pencapaian kebaikan
yang
bermanfaatmelalui aktifitas yang bermakna dalam
persahabatan
yang
berkualitas tinggi (Fowers & Owenz, 2010), menyatu, kohe-sif, serta sukses secara sosial (Conly, 1988).Fowers dan Owenz (2010)
menyata-kan bahwa perkawinan merupakan salah
satu bentuk persahabatary yang memiliki karakteristik aktifitas yang terkoordinasi
antara suami isteri untuk mencapai fujuan manusia yang bermakna secara bersama-sama. Aktifitas dan hubungan suami-isteri
tersebut dapat bervariasi dalam keung-gulannya.
Perkawinan dikatakan flourish ketika aktifitas-aktifitas tersebut diarahkan dalam cara-cara yang bermakna dan komunal. Perkawinan yang flourishing merupakan
kualitas tertinggi
sebuah perkawinan.Persahabatan sebagaimana dalam
perka-wrnan sangat penting dalam eudaimonia,
sebagai hubungan yang ditujukan untuk mendukung dan mewujudkan pencapaian
fujuan bermakna secara mutual.
Berdasarkan uraian
di
atas, dapat disimpulkanbahwa
marital flourishing merupakan kualitas perkawinan yang ditandai dengan aktifitas-aktifitas yangbaik dan bermakna secara bersama-sama
antara suami isteri, yang diarahkan pada
pencapaian tujuan manusia yang mulia.
Ada dua jenis kebaikan yang dikejar manusia, yaitu kebaikan instrumental dan
kebaikan konstitutif, sehingga ada dua bentuk aktifitas, yaitu aktifitas
instrumen-tal
dan
aktifitas konstitutif. Aktivitasinstrumental,
hasil
atau outcome dapat dipisahkan dari aktifitas, sehinggatindak-an seseortindak-ang tidak seharga hasilnya. Hasil
akhir
terletakdi
atas tindakan, makasecara otomatis hasil akan berada
di
atasaktifitas. Aktifitas konstitutif, yang tidak memisahkan antara cara dan tujuan kare-na aktifitas menjadi bagian dari
pemben-tukan tujuan akhir (Fow ers)' ZOtZbT.
Menurut Fowers (2010), ada empat perbedaan penting antara aktifitas instru-mental dan konstitutif, yaitu: (1)
Karakte-ristik utama dari aktifitas konstitutif yaitu
tindakan
yang
dilakukantidak
dapatdipisahkan
dari
tujuan seseorang, yang merupakan bagian dari keseluruhan reali-sasi tujuan. Sementaraitu
pada aktifitas instrumental, tindakan seseorang merupa-kan cara unfuk memperoleh sesuafu yang dapat membantu untuk membentuk pola kehidupan atau karakteristik tertentu dariseseorang. (2) Karena aktifitas konstitutif
tidak bisa dipisahkan dari tujuannya, ma-ka tindama-kan tersebut memiliki nilai dalam
dirinya. Sebaliknya aktivitas instrumental
memiliki nilai hanya ketika kegunaannya
untuk
mencapaitujuan.
(3)
Aktifitas konstitutif tidak terpisahkan dari karakter pelakunya karena aktifitasini
membantuMARITAL FLOURISHING
I
I / )
mrang
menjadi identitas
tertentu. lkrgidentifikasi diri sendiri denganakti-fu
dan tujuan sebagaimana ada dalamffitas
konstitutif sangat berbeda denganFk
kalkulatif seseorang dari cara yangdE rrrakannya dalam mencapai tujuan
mstrumental.
Jadi
aktifitas
konstitutifuupakan
bagian dari membentukiden-ii-
dan kehidupan seseorang. Misalnyacrang
yang penyayang adalah orangyrrg
selalu bertindak menyayangi oranglirr-
(1) Ketika aktivitas seseorangmem-krtuk
jenis kehidupan tertentu atau men-cryai tuiuan konstitutif,di
sini terdapat hrfrinuitas dan cumulatiaenessdi
dalam-ar.a yang tidak dapat didapatkan dalamfEangka instrumental.
Berdasarkan bentuk aktifitas tersebut, Arbbteles menyajikan bentuk
instrumen-td
dan konstitutif dari aktifitaspencapai-n
uriuan tersebut dalam sebuah hirarki.6f dalam hirarki tersebut, tujuan
konstitu-It
beradadi
atas tujuan instrumental,h€na
tujuan instrumental sifatnyamem-ktu
pencapaiantujuan
konstitutif ffm-ers, 2012b). Selainitu
terdapat tigatlx
tuiuan menurut Aristoteles (dalamFcers
& Owena 2010), yaitu; (1) Tujuanurg
bagus hanya karenaia
membuatr+En
lain memungkinkan untuk dicapai. Sdagai contoh adalah uang yang tidak&
kebaikan dalam dirinya, tetapi hanyadrk
apa yang dapat kita capai denganhtrannya;
(2)
Beberapa tujuan Yang-rriliki
kebaikan dalam dirinyasekali-grc
iuga
bermanfaat dalam mencaPaitirdr
lain. Sebagai contoh adalahPenge-*''rL
karena ada manfaat di dalamdiri-rir
rurmun juga memiliki nilaiinstrumen-rd
untuk mencapai tujuan lain dan (3)ftiuan
yang memiliki kebaikan dalam&inya
serta berkontribusi padakeselu-dnn
kualitashidup
atau
hubungan,-hingga
ia
adalah tujuan yang terbaik. Aridbteles menyatakan bahwa floutishingII.ETIN PSIKOLGI
adalah tujuan terbaik karena ada kebaikan dalam tujuan tersebut dan karena ketika
seseorang hidup dalam kehidupan yang flourishing, tidak ada yang dapat
ditam-bahkan lagi untuk mencapainya.
Dalam perkawinan yang flourishing, tujuan instrumental menyediakan infra-struktur (misalnya uang atau rumah) yang membuatnya memungkinkan untuk men-capai tujuan konstitutif (misalnya
persa-habatan dalam perkawinan atau keadilan hubungan) yang dapat membentuk perka-winan serta kehidupan yang flourishing
(Fowers & Owenz, 2010). Salah satu tujuan
konstitutif
dalam
perkawinan adalah persahabatan. Aristoteles menggambarkanpersahabatan berkarakter sebagai
hubung-an
yang memiliki perhatian mendalam pada kesejahteraan sahabat dan perasaan yang kuat sebagai"kita"
dan identitaspasangan yang kuat. Tipe individu yang terlibat dalam persahabatan tersebut selalu
melakukan yang terbaik bagi sahabatnya
atau pasangannya. Sementara
itu
tipe persahabatan yang lain*adalahpersaha-batan keuntungan atau kesenangary
kare-na menekankan pada keuntungan instru-mental. Aristoteles melihat persahabatan karakter tidak dapat dipisahkan dengan indiaidual flourishing, Fowers dan Owenz (2010) mengajukan bentuk persahabatan
ini
sebagai karakteristikdari
maritalflourishing
Teofi eudaimonik juga membedakan cara mencapai kebaikan menjadi du4 yai-fu secara individual dan secara
bersama-sama. Sesuafu yang dicari secara
indivi-dual
adalah yang dapatdimiliki
atau dialami oleh individu. Misalnya adalah uang, prestasi, dan kesenangan. Sementaraitu
kebaikan bersama berbeda dengankebaikan individual dalam dua cara,
seba-gai berikut (a) partisipasi dalam aktititas komunal. Sebagai contoh kebaikan bersa-ma bukan hanya ide atau perasaan jangka
NURHAYATI €j HELMI
pendek, tetapi selalu menjadi bagian dari
aktifitas yang berkelanjutan; (b) karena
pencapaian tujuan bersama tidak dapat dicapai secara individual, hal tersebut juga
tidak dapat dibagi dan dikompetisikan. Sebagai contoh persahabatan, kerjasama, keintiman,
dan
demokrasitidak
dapat dibagi diantara orang-orang yang terlibat di dalamnya (Fowers, 2012b).Pada dasarnya, salah satu premis inti
dari teori eudaimonik adalah manusia
seba-gai spesies sosial. Aristoteles mengklaim bahwa manusia aslinya bersifat sosial dan pengalaman merasa
memiliki
dalamhubungan
yang
bermakna merupakan carauntuk
berkembang secara penuh sebagai manusia. Salah satu manifestasi dari kedalaman sosialitas manusia adalahmenggabungkan orang
lain
di
dalamkonsep
diri.
Aspek sosialitas manusia memperjelas pentingnya pencarian tujuan bersamadi
dalam kehidupan sosial danmemiliki peran utama dalam
marital flourishing.Tujuan individu merupakan bagian
penting
dari
kehidupary namun teorieudaimonik menyatakan bahwa cara untuk membedakan perkawinan yang flourishing dengan perkawinan
yang
memuaskan adalah perkawinan yang flourishingmemi-liki
proporsi tujuan bersama yang besar (Fowers & Owenz,2010).Berdasarkan jenis dan cara kebaikary Aristoteles menyajikan struktur hirarki
dari
kebaikanyang terdiri
dari
dua dimensi. Fowersdan
Owenz
(2010)menyebutnya sebagai dimensi agensi dan
dimensi komuni. Menurut Bakan (dalam Sheldon & Cooper, 2008), agensi merujuk
pada organism sebagai
individu
yang terpisah, sementara komuni memerlukan partisipasi individu dalam unit sosial yang lebih besardi
manaindividu
menjadibagiannya. Fowers
dan
Owenz (2010)menvatakan, dimensi agensi terdiri dari
tujuan atau kebaikan instrumental dan konstitutif, sementara dimensi komuni
meliputi tujuan atau kebaikan individual
dan
bersama. Kedua dimensi tersebut digambarkan dalam sebuah tabel yang menghasilkan empat kuadran sebagaima-na dalam Tabell.
Tabel 1
Dimensi pencapaian tujuan eudaimonik
dalam perkawinan
Dimensi
Agensi
TujuanTujuan
konstitusiInstrumental Dimensi
Komunal
Dimensi komunal
Tujuan individual
Pekerjaan yang bagus
Kemajuan karir
Rumah yang teratur Tujuan bersama |adwal
keluarga Tabungan keluarga Saling menghibur
Sumber: Fowers & Owenz (2010)
Menurut teori teori eudaimonik, ada tiga pertanyaan untuk menentukan
kua-litas perkawinan, yaitu: (a) apakah akti-fitas-aktifitas dan tujuan pasangan terjadi
di
semua kuadran? Perkawinan yang flourish membutuhkan keempat kuadrary sehingga melalaikan salah satu kuadrandapat mengancam kehidupan
perkawin-an. (b)
apakah proporsidari
aktifitas pencapaian tujuan ditandai sebagai kons-titutif dan atau bersama? Perkawinan yangflourishing merupakan kualitas tertinggi
perkawinan,
yang
ditunjukkan dengan pencapaian aktifitas dan tujuan konstitutif bersama tingkat tinggi. Satisfying marriagesmemiliki aktifitas-aktitas bertujuan yang
relatif sama tinggi pada empat kuadran. Languishing marriages akan ditandai
MARITAL FLOURISHING
ngan iumlah pencapaian tujuan
instru-mental individual
yang
relatif
tinggi dibandingkan perkawinan yangmemuas-kan dan flourishing. Sementara itu
destruc-tiae marriages
memiliki
aktifitaspenca-paian tujuan instrumental individu al yang
mendominasi, menguasai, memaksa,
mengeksploitasi, atau menindas pasangan. (c) pada tingkat mana pengalaman sukses pasangan
dalam
mencapai fujuannya?Kemajuan dan kesuksesan dalam menca-pai tujuan merupakan dukungan penting
bagi kualitas perkawinan. Kemajuan dan
kesuksesan
atau
kegagalan pencapaian tujuan merupakan pertanda penting darikualitas perkawinan. Perkawinan yang ftourishing ditandai dengan tingkat
kesuk-sesan yang relatif tinggi dalam pencapaian
fujuan bersama-sama dengan terwujudnya indiaidual flourishing pasangan. Satisfying marriages berada pada pada level yang relatif sedang
tinggi
dalam pencapaiantujuan bersama-sama dengan terwujudnya
indiaidual flourishing pasangan. Sementara
itu
langushing marriages atau destructiz:emarriages
memiliki tingkat
pencapaiantujuan bersama-sama dengan terwujudnya
indiuidual flourishing pasangan yang
rendah. Salah satu premis teori eudaimonic
menyatakan bahwa kebajikan (airtue) atau kekuatan karakter merupakan karakte-ristik yang membuat pencapaian tujuan menjadi nyata (Fowers & Owenz,2010).
Menurut Fowers dan Owenz (201,0),
teoi
eudaimonik tentang kualitas perka-winan secara jelas memperluas danmem-perdalam
teori
kualitas
perkawinandengan
memasukkankriteria
tujuan pasangan terhadap perkawinannya. Jarak kualitas perkawinan bukan hanya antaratidak
memuaskan sampai dengan me-muaskan, namun dari flourishing marriagespada satu
sisi
dan destructioe marriagespada sisi yang lain. Teori ini juga
menya-takan bahwa kualitas perkawinan harus
BULETIN PSIKOLGI
memiliki dimensi hedonic sekaligus eud.ai_
monic. Sebagaimana diuraikan sebelum_
flya,
fujuan instrumental yang bersifathedonik merupakan infrastruktur penting
di
sebuah perkawinan. Tipe tujuan yangdikejar
oleh
pasangan mempengaruhi bentukdari
aktifitas yang berorientasi tujuan serta interaksi dari pasangan, yangpada
akhirnya
membentuk kualitasperkawinan pasangan tersebut. Tujuan_
tujuan pasangan membuat peneliti dapat
memusatkan perhatian
pada
berbagai macam tujuanakhir
seperti prokreasi, kelangsungan ekonomi, tujuan-tujuan dari keluarga besar, pemenuhan tradisi agama atau budaya, serta kepuasan.Suatu
teori
dipandang bagus jikamemiliki
nilai
heuristik dalam mengor_ ganisasikan dan mensistematisasikan area penelitian. Dimensi komuni (yangmem-bedakan tujuan individual atau bersama) dan dimensi agensi (yang membedakan
tujuan
instrumentalatau
konstitutif) dipandang oleh Fowers dan Owenz (2010)memberikan
cara
untuk
menyatukan sejumlah konstruk-konstruk yang relevan namun terpisah menjadi sebuah teori yang utuh.D imen si m ar i t al f! our ishin g
Aktifitas pencapaian tujuan konstitutif bersama menjadi aktivitas penting dalam marital flourishing, yaitu orientasi komunal
dalam hubungan, couple identity, akomo-memaafkary dan komitmen.
Orientasi komunal dalnm hubungan.
Orientasi komunal menggambarkan tingkat
individu
dalam mengasumsikan tanggungjawab kesejahteraan pasangandalam suatu hubungan dan memiliki sifat
positif untuk
memberikankan manfaatkepada pasangannya ketika kebutuhan
akan manfaat tersebut muncul. pemberian
NURHAYATI A HELMI
hubungan komunal dibedakan dengan orientasi pertukaran. Keunfungan atau
manfaat dalam orientasi komunal bukan merupakan bagian dari hubungan pertu-karan.
Di
dalam hubungan komunal, pemberian manfaat atau keuntungan lebih didasarkan pada respon terhadapkebu-tuhan pasangan (Clark
&
Mills,
1979)'Meskipun tidak didasarkan pada pertu-karan keunfungan atau manfaat,
hubung-an
komunal bukantidak
memberikanreward pada-pasangannya (Clark & Mills,
1g9g). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa orang-orang yang memiliki
hu-bungan komunal dengan Pasangannya
memiliki
perhatianyang lebih
besarterhadap kebutuhan Pasangan (Clark, ef aI., 1986; L989) dan membantu Pasangan lebih banyak ketika kebutuhan tersebut telah diketahui (Clark, dkk., 1987' 2010),
serta mengalami kepuasan dalam
Per-kawinan (Mills, dkk., 2004).
Orientasi komunal terbukti berhubu-ngan positif dengan emosi positif ketika berkorban untuk Pasangan, merasa
dihar-gai oleh Pasangan atas pengorbanannya, serta mengalami kepuasan dalam
hubung-an denghubung-an Pashubung-anghubung-an pada saat melakukan pengorbanan (Sheldon
&
Coopet, 2008;Kogan, et a1.,201,0).
Couple ldentitY
Menurut Fowers dan Owenz (2010),
perluasan
diri
melalui beberapa proses dyadik merupakan jalan untuk terjadinya proses pembentukantujuan
bersama'Perluasan
diri
merupakan sifat manusiayang mengaburkan batasan antara diri dengan orang lairy yang terwujud antara lain melalui couple identity' Couple identity merujuk pada tingkat individu berfikir
bahwa hubungan yang dijalaninya sebagai sebuah
tim,
dan tidak
memandangnYa sebagai sebagai dua individu yang terpi-sah (Stanley&
Markman, 1992). Hal inimerupakan bagian dari identitas sosial.
Brewer dan Gardner (1996)
menyebut-nya sebagai identitas relasional. Identitas
relasional datang dari hubungan Pasangan intim seperti orangtua-anak, suami-isteri,
sahabat, serta keanggotaan dalam kelom-pok kecil yang saling bertatap muka satu sama lain. Bewer (1991) menjelaskan bah-wa identitas sosial adalah kategorisasi dari
diri
padaunit
sosial yang lebih inklusifyang mendepersonalisasi konsep diri, dari
'saya' menjadi 'kita',
Komitmen
Komitmen secara umum didefinisikan
sebagai intensi
untuk
mempertahankan hubungan sepanjang waktu (Stanley, et aI.,2010). Menurut Stanley
dan
Markman(1992). Ada dua konstrak komitmen yaitu
personal dedication dan constraint
commit-ment.
Personal dedication merujuk pada
kei-nginan
individu untuk
menjaga danmeningkatkan kualitas hubungan demi
keuntungan bersama Pasangan tersebut.
Hal
ini
dapat ditunjukkan melalui suatukeinginan dan perilaku tidak hanya untuk
melanjutkan hubungary tetapi juga
me-ningkatkan pengorbanan, berinvestasi, menghubungkan
tujuan pribadi
padahubungan tersebut, serta mengupayakan
kesejahteraan Pasangannya.
Constraint commitmenf merujuk pada
kekuatan yang memaksa individu untuk mempertahankan hubungan, apakah dari tekanan internal mauPun eksternal' Pak-saan-paksaan tersebut mendukung stabi
litas hubungan. Jika hubungan tersebut rusak atau berhenti, maka mereka akan
membayar lebih mahal, baik secara eko-nomi, sosial, personal, maupun psikologis.
Model komitmen lain diajukan oleh
Johnsory et al. (1999)r fang membagi aspek komitmen menjadi tiga, yaitu komitmen pribadi, komitmen moral, dan komiten
MARITAL FLOURISH/NG
struktural. Komitmen pribadi adalah
ting-kat keinginan seseorang untuk bertahan dalam hubungan; komitmen moral
meru-pakan tingkat perasaan seseorang unfuk
secara moral wajib melanjutkan
hubung-an;
dan
komitmen strukfural merujukpada tingkat perasaan seseorang untuk
terpaksa melanjutkan hubungan atau
ka-rena adanya hambatan
untuk
mening-galkan hubungan.
Komitmen berhubungan kuat dengan
apayang disebut dalam penelitian Agnew
et aI. (1998) sebagai saling ketergantungan kognitif, yaitu suafu kecenderungan untuk
memusatkan
pada hasil
bersama danmemandang
diri
sendiri sebagai bagiandari
kumpulan (suami-isteri). Dengandemikian komitmen memiliki keterkaitan dengan aktifitas mencapai tujuan bersama (Fowers & Owenz, 201,0).
Akomodasi
Akomodasi menurut Rusbult dan kawan-kawan (1991), adalah kesediaan
individu, pada saat pasangannya secara
potensial bertindak destruktif untuk (a)
menghambat kecenderungan bereaksi secara destruktif,
dan
(b)
sebaliknyabereaksi secara konstruktif. Teori tentang
proses akomodasi muncul dari penelitian Rusbult dan kawan-kawan (1952) tentang tipologi meninggalkan
-
bersuara-
setiamengabaikankan sebagai respon terhadap
ketidakpuasan dalam hubungan intim.
Respon individu dapat dibedakan ke
dalam
dua
dimensi,yaitu
konstruktiflawan destruktif, dan aktif lawan pasif. Respon yang termasuk konstruktif adalah
bersuara (misalnya mendiskusikan
masa-lah, mencari bantuary atau mendorong
pasangan untuk berubah) dan setia (me-nunggu dan berharap segala sesuatunya
akan menjadi baik atau berdoa agar ada perubahan
yang baik).
Sementara itu respon destruktif adalah meninggalkanJL-I.ETIN PSIKOLGI
(berpisatr, meninggalkan rumatr, secara
aktif
melawan pasangar! dan bercerai) dan mengabaikan (mengabaikan pasang_dfl,
mengindariunfuk
mendiskusikanmasalah, mengkritik pasangan atas sesua_
tu
yang tidak ada hubungannya dengan masalah).Konstruktifitas dan destruktifitas me_
rujuk pada akibat respon pada hubungarL bukan terhadap individu. Menurut Fowers dan Owenz (201,0), eskalasi dari respon yang destruktif menunjukkan rendahnya
kualitas perkawinary dan respon kons-truktif pada perilaku negatif akan
mening-katkan kualitas perkawinan. Akomodasi
merupakan salah
safu
cara pasanganmenempatkan hubungan
di
ataskepen-tingan pribadinya.
Hasil penelitian Fletcher dan
kawan-kawan
(1999) menyimpulkan bahwasuksesnya hubungan yang baik berkaitan dengan proses akomodasi. Diam dalam
waktu-wakfu tertenfu atau menunjukkan realitas perasaan negatif dalam cara yang
konstruktif
dan
diplontatis akan mem-berikan hasil yang positif. Menurut Lipkus dan Bissonnette (1996), beberapa individumungkin melakukan akomodasi karena
mereka merasa memperoleh manfaat un-fuk meningkatkan kesejahteraan pasangan
dan kualitas perkawinan.
Memaaftan
Memaafkan didefinisikan
olehMcCullough, et al. (7997) sebagai sekum-pulan perubahan motivasi
di
manasese-orang menjadi (a) menurun motivasinya
untuk membalas melawan pasangan yang
menyinggun& (b) menurun motivasinya
unfuk
mempertahankan kerengganganhubungan dengan pelaku, dan (c)
me-ningkat motivasinya untuk berdamai dan beritikad
baik
pada pelaku, meskipuntindakan pelaku menyakitkan.
Memaaf-kan
bukan
sekedar motivasi, namunNURHAYATI & HELMI
digambarkan sebagai transformasi yang
terjadi ketika motivasi seseorang untuk
balas
dendam
dan
memPertahankankerenggangan hubungan
dari
Pasangan yang telah menyinggungnya berkurang, dan motivasi unfuk mencapai perdamaian meningkat.McCullough dan kawan-kawan (7997) menyatakan bahwa definisi tersebut mirip
dengan konsep
akomodasi menurutRusbult dan kawan-kawan (1991).
Peru-bahan motivasi secara struktural dan fungsional juga mirip dengan hubungan
antara empati dan motivasi intrinsik untuk membantu orang lain yang membufuhkan. Orang yang memaafkan akan termotivasi untuk mencapai hubungan yang
konstruk-tif
dengan Pasangannya (Mc-Cullougtudkk.,1997). Memaafkan tidak hanya sering
terjadi dalam konteks hubungan yang memuaskan dan intim, tetapi juga difaha-mi sebagai faktor psikologis yang
berhu-bungan dengan pengembalian kedekatan hubungan.
Hal
ini
akan memfasilitasiperilaku
rekonsiliasi seperti kerjasama setelah adanya pelanggaran hubungan (McCullough, dkk., 1997 ; 1998).Secara khusus, Fowers dan Owenz
(2010) menyatakan bahwa memaafkan dan akomodasi merupakan bagian dari proses transformatif
di
dalam suatu hubungan, karena menempatkan hubungan sebagai prioritasdi
atas kepentingan individual.Proses transformatif tersebut penting artinya di dalam menjaga hubungan yang
berkualitas
tinggi
melalui
perubahan-perubahan dari kehiduPan'
Marital flourishing sebagai sebuah kon-sep
baru
tentang kualitas perkawinan memberikan cara pandang yang berbedaterhadap perkawinan. Perkawinan
dipan-dang berkualitas
jika
terdapat aktifitas-aktifitas yang baik secara komunal antarasuami dan isteri untuk mencapai tujuan
sesuai dengan hakekat kemanusiaan yang
76
mulia. Oleh karena
itu
adanya tujuan-tujuan yang bersifat konsitutif serta tujuan bersama (shared goal) seperti komitmery memaafkary harmoni, keadilan, danako-modasi merupakan indikator dari
perka-winan yang dikatakan flourishing. Meski-pun Fowers dan Owenz selaku pencefus
konsep flourishing
di
dalam perkawinan menekankan pada tujuan konstitutif danshared goal, namun fujuan instrumental
dan individual seperti pekerjaan atau karir
yang
bagustetap
memegang Perananpenting
di
dalam sebuah perkawinan ka-rena dapat berperan sebagai infrastruktur.Penutup
Teoi eudaimonik tentang kualitas
per-kawinan memungkinkan peneliti untuk
melihat kualitas perkawinan secara lebih objektif dan komprehensif. Teori ini juga
menyediakan
cara
untuk
menyatukan sejumlah konstruk-konstruk yang relevandengan kualitas p'erkainan melalui sebuah kerangka
teoritis
yang utuh.
Namundemikian, teori
ini
masih prematur danbelum
teruji. Oleh
karenaitu
masih diperlukan dilakukan sejumlah penelitianyang dapat memperkuatnYa.
Menurut Fowers dan kawan-kawan (2010), tujuan konstitutif hampir mirip
dengan konsep tujuan intrinsik dalam self determination theory (Decy
&
Ryan, 2000).Aktifitas-aktifitas yang dimotivasi secara
intrinsik
didefinisikan sebagai perilakuyang menarik
bagi individu dan
akan berlaku apabilatidak
ada konsekuensi-konsekuensiyang
secara operasional dapat dipisahkan. Aktifitas yangdimo-secara intrinsik dibedakan dengan
aktifitas yang dimotivasi secara ekstrinsik. Pada aktifitas
yang
dimotivasi secara ekstrinsikindividu
dikendalikan oleh reward yang mengikuti aktifitas tersebut.Aktifitas-aktifitas intrinsik dilakukan oleh
MARITAL FLOURISHII{G
ndir.idu secara alami dan spontan ketika cja mereka merasa bebas untuk mengikuti rrinat pribadinya.
Salah satu persamaan antara fujuan konstitutif
dan
tujuanintrinsik
adalah bahrva aktifitasyang
dilakukan untuk rnencapai tujuan tersebut sesuai denganidentitas dan minat pribadinya serta di-lakukan secara otonom.
Daftar Pustaka
Agnew, C.R.,
Van
Lange,
P.A.,Rusbulf
C.E.,&
f-angston, C.A. (1998). Cognitive interdependence:Commitment and the mental repre-sentation of close relationship. Jour-nal of Personality and Social Psycho-Iogy, 74(4),939-954.
Baxter,
L.A.
(2010).The
dialogue of marriage. lournal of Family Theory and Reuiew, 2,370-387Brewer,
M.8.,
&
Gardner,W.
(1996). Who is this "we"? Levels ofcollec-tive identity and
self
representa-tions. lournal
tf
Personality and Social P sy chology, 7 1(1), 83-93Brewer, M.B. (1991). The social self: on
being the same and different at the
same
time.
Personality and SocialP sy cholo gy Bulletin, 17 ( 5), 475-482.
Clark, M.S., & Mills, J.
G979).Interper-sonal attraction
in
exchange andcommunal relationship. lournal of Personality
and
Social Psychology,37(1),12-24.
Clark,
M.S.,&
Mills,
I.
(1993). Thedifference between communal and
exchange relationships: What
it
isand
is
not.
Personality and Social Psychology Bulletin, 19 (6), 684-691.BLILETIN PSIKOLGI
Clark,
M.S., Lemay, E.P.,
Graham,S.M., Pataki" S.P.,
&
Finkel,
E.J.(2010). Ways
of
giving
benefits inmarriage:
Norm
use, relationshipsatisfactiory and attachment-related
variability.
Psychological Science,21(7),944-95L
Clark, M.S.,
Mills,
J.,&
Corcorary D. (1989). Keeping track of needs andinputs
of
friends and
strangers.Personality
and
Social PsychologyBulletin, 1 5(4), 533-542.
Clark,
M.S.,Mills, J.,
&
Powell, M.(1986). Keeping track
of
needs in two types of relationship. Journal of Personalityand
Social Psychology,51(2),333-338
Clark, M.S., Ouellette, R., Powell, M. &
Milberg,
S.
(1987).
Recipient'smood,
relationship
type,
andhelping. lournal
of
Personality andS o cial P sy cholo gy, 5 a "0), 9 4-103
Conly, S. (1988). Flourishing and the
failure
of
the
ethics
of
virtue. Midwest Studiesin
Philosophy,XllI,
83-96
Deci, E.L.,
&
Ryury R.M. (2000). The"what" and
"*hy"
of
goal
pur-suits: Human needs andthe
self-determination behavior.
Psycholo-gical Inquiry, 11 (4), 227 -268
Deci, E.L.
&
Ryu.u R.M. (2008).Hedo-nia,
eudaimonia,and
well-being:an introduction. lournal of Happiness
Studies, 9, 1.-1.'1.
Fincham, F.D., & Linfield, K.I. Q997).
A
new look at
marital quality:
can spouses feel positive and negativeabout
their
marriage?.lournal
tf
NURHAYATI A HELMI
Fincham,
F.D.,
&
Rogge,R.
(2010). Understanding relationshipquali-ty: Theoretical challenges and new
tools
for
assessment.lournal
tf
Family Theory and Reztiew,2,
227-242.Fowers,
B.I
et|Izb).
An
Aristotelianframework
for
the
human
good.lournal
tf
Theoreticaland
philo-sophical P sy cholo gy, 32(1), 1.0-29. Fowerg 8.I.,
&
Owenz, M.B. (2010).A
eudaimonic theory
of
maritalqua-lity.
lournalof
Family Theory and Reaiew, 2,334-352.Fowers,
B.l.
(2010). Instrumentalism and psychology: beyond using andbeing
used. TheoryI
Psychology,200),1,02-124
Fowers, B.J. Q012a). Placing virtue and
the
human good
in
psychology,lournal
of
Theoretical andPhiloso-phical P sy cholo gy, 32(1), 1,-9.
Fowers, B.J., Mollica, C.O.,
&
Procacci,E.N.
(2010). Consfitutive
andinstrumental goal orientations
with
eudaimonic
and
hedonic
well-being. The lournal of PositiaePsycho-logy, 5(2),139-153.
Johnsory
M.P.,
Caughlin, J.P.,
& Hustory T.L. (1999). The tripartitenature
of
marital
commitment:personal,
moral,
and
structuralreasons
to
stay married. lournal of Marriage and F amily, 61(1), 1.60-1TT.Knapp, S.J.,
&
Lott, B. (2010). Forming the central framework for a scienceof
maritalquality:
an interpretive altemative to marital satisfaction asa proxy for marital quality. lournal
of Family Theory €t Reaiew,
2,
916-n
333.
Kogan, A., Impett, E.A., Oveis, C., Hui,
8.,
Gordon,A.M.,
&
Kelhrer, D.(2010).
When giving
feels
good:The intrinsic benefits of sacrifice
in
romantic relationships
for
thecommunally motivated.
psycholo_gical S cience, 21(12), 19tB-I924.
Kraut, R.
(1979).Two
conceptions ofhappiness.
Philosopical
Reoiew, 88(2),767-1,96.Kristja'nssory
K.
(2010). positive psy-chology, happiness, and virtue: Thetroublesome conceptual
issues.Reztiew of General Psychology, j.4(4),
296-310.
Lipkus, I.M., & Bissonnette V.L. (199G).
Relationships among belief in a just
world
willingness
to
accommo-date, and marital well-being. perso-nality and Social Psychology Bulletin,22(10),1043-1056.
'
McCullough,
M.E.,
Rachal,K.C.,
&Worthington Jr., E.L. (1997).
Inter-personal forgiving in close
relation-ship. lournal of Personality and Social
P sy cholo gy, 7 3 (2), Z21.-996.
McCullough,
M.E.,
Rachal,
K.C., Sandage, S.J., Worthington Jt., E.L.,Browry S.W.,
&
HightT.L.
(1993).Interpersonal
forgiving
in
closerelationship: II. Theoretical
elabora-tion
and
measurement. lournal of Personalityand
Social psychology,75(6), 1586-1603.
Mills,
I,
Clark,
M.S.,Ford,
T.E.,
&Johnson,
M.
(2004). Measurementof.
communal strength.
personal Relationship, 11, 213-230.MARITAL FTOURISH/NG
Rusbult, C.E., Verette, 1.,
&
Whitney,G.A.
(199L). Accommodation pro-cesses in close relationships: theoryand
preliminary empirical
evi-dence. lornal of Personality and Social
P sy cholo gy, 60(1), 53-78.
Rusbult, C.E., Zembrodt, I.M., & Gunry
L.K.
(1982). Responsesto
dissatis-faction in romantic involvements: a multidimensional scaling analysis.
lournal
tf
Personalityand
SocialP sy cholo gy, 43 G), 1.230-1242.
Ruyter,
D.
(2007). Ideals, Educatioru and Happy Flourishing. EducationalTheory, 57,23-35.
Ryutu
R.M.,
Huta,
V.,
&
Deci,
E.L. (2006)Living well: a
self-determi-nation theory perspective on eudai-monia. lournal of Happiness Studies,9,139-170.
Ryff, C.D., & Singer, B.H. (2008). Know thyself and become what you are: a
eudaimonic approach to
psycholo-gical
well-being. lournal ofHappi-ness Studies,9,13-39.
Sheldoru K.M.,
&
Cooper, M.L. (2008).Goal striving
within
agentic andcommunal
roles:
separate
butfunctionally
similar
pathways toenhanced
well-being.
lournal
,f
personality, 7 6( 3), 4lS-449.
Snow, N.E. (2003). Virtue and
Flourish-irg.
lournal
of
Social philosophy,39(2),225-245
Stanley, S.M.,
&
MarkmaryH.I.
e9g2). Assessing commitmentin
personalrelationship. lournal of Marriage and
F amily, 54(3), 595-608.
Stanley,
S.M.,
Rhoades,
G.K.,
& Whitton, S.W. (2010). Commitment:functions, formatiory
and
thesecuring
of
romantic attachment.lournal of family theory €t Reaiew, 2,
243-257.
Waterman, A.S. (1993).
Two
concep-tions
of
happiness: Contrasts of personal expressiveness(eudaimo-nia)
and hedonic enjoyment.lour-nal of Personality and Social psycho-logy, 64(4), 678-691.
Woolfolk, R.L.,
&
Wassermary R.H. (2005). Count no one happy:eudai-monia
and
positive
psychology.lournal
of
Theoreticaland
philoso-phical
Psychology,2S(1),
81-90.