• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur Kepentingan Umum di dalam Undang U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Unsur Kepentingan Umum di dalam Undang U"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Beberapa Aspek dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum

Bambang Prabowo Soedarso

Endra Wijaya

Fadlan Arifa Rahman

Retno Kusumaningsih

Rizza Zia Agusty

Rocky Marbun

Rr. Restisari Joeniarto

Editor: Deni Bram dan Putri Ayu Maharani

(3)

ii Judul:

Beberapa Aspek dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Penulis:

Bambang Prabowo Soedarso Endra Wijaya Fadlan Arifa Rahman Retno Kusumaningsih Rizza Zia Agusty

Rocky Marbun Rr. Restisari Joeniarto

Editor: Deni Bram Putri Ayu Maharani

Kover dan tata letak: Endra Wijaya

Diterbitkan atas kerja sama antara:

Alamat Lentera Hukum Indonesia: Jln. Bukit Duri Utara, No. 31, RT. 010, RW. 001

Bukit Duri, Tebet. Jakarta Selatan, 12840. Tlp.: 021-34723369.

E-mail: lenterahukumindonesia@yahoo.co.id

Hak cipta pada penulis. Cetakan ke-1: Maret 2013.

ISBN: 978 – 602 – 18033 – 6 – 3

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk

atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah dengan menyebutkan buku ini

sebagai sumbernya.

(4)

iii

SAMBUTAN

MENTERI PERUMAHAN RAKYAT PADA ACARA KONSULTASI PUBLIK: “KONSEP RESTORATIVE JUSTICE VS.

HIDDEN AGENDAKONGLOMERAT”

Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat, taufik dan hidayah yang dianugerah-kan-Nya kepada kita semua, sehingga kita dimungkinkan berkumpul di tempat ini dalam kondisi sehat wal’afiat untuk bersama-sama meng-hadiri acara konsultasi publik: “Konsep Restorative Justice Vs. Hidden

Agenda Konglomerat,” di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus

1945 Jakarta.

Para hadirin yang saya hormati.

Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan

restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul pada era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda de-ngan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konven-sional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Terlepas dari kenyataan tersebut, bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis, namun demikian pandangan ini pada kenyataannya juga berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.

Apalagi kalau dibandingkan dengan adanya hidden agenda dari konglomerat, di mana diakui atau tidak hidden agenda ini akan selalu kita jumpai dalam setiap proses pembangunan, terutama yang dilaku-kan oleh para pemilik modal besar di manapun, di negara manapun, ter-masuk di Indonesia.

Sehingga apabila dalam konsultasi publik ini dipilih tema “Kon

-sep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat,” maka saya

berharap Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mampu ikut membantu merumuskan konsep kebijakan yang dapat

meminimal-kan hidden agenda untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh bangsa

(5)

iv Hadirin yang saya hormati.

Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah telah tercatat sebagai salah satu hak asasi manusia warga negara Indonesia. Melalui keikutsertaan Kementerian Perumahan Rakyat di dalam Panitia Ren-cana Aksi Hak Asasi Manusia Nasional diharapkan hal ini dapat mendorong perkembangan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Mencermati perkembangan pembangunan perumahan dan ka-wasan permukiman di Indonesia yang demikian pesat serta kebutuhan akan perumahan yang semakin meningkat, maka ini memberikan tugas baru kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah pada khususnya dalam hal penyediaan tanah untuk pembangunan rumah bagi masyarakat ber-penghasilan rendah.

Sektor perumahan dan kawasan permukiman telah menjadi sa-lah satu sektor penting dalam perekonomian nasional. Peran penting sektor perumahan dan permukiman dalam perekonomian nasional ter-kait dengan efek multiplier yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional.

Namun demikian, permasalahan yang menghadang perkem-bangan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di Indo-nesia ialah keterbatasan lahan yang akan digunakan sebagai lokasi pembangunan perumahan. Kondisi itu mengakibatkan kebutuhan pe-rumahan bagi utamanya masyarakat berpenghasilan rendah akan se-makin sulit dipenuhi tanpa campur tangan Pemerintah termasuk Peme-rintah Daerah serta pemangku kepentingan yang lain.

Hadirin yang saya hormati.

Keterbatasan lahan dalam rangka pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersebut merupakan tantangan bagi Pemerintah terutama Pemerintah Daerah, terlebih setelah ditetap-kannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pem-bagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan urusan perumahan menjadi urusan wajib Pemerintah Daerah. Hal ini artinya bahwa Pemerintah Daerah harus menjadikan urusan penyediaan rumah bagi warganya sebagai program prioritas.

(6)

v

Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, di mana kedua undang-undang tersebut telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah untuk pembangunan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Hadirin yang saya hormati.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, ini menegaskan kembali peran Pemerintah dan Pemerintah Da-erah untuk menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum.

Kepentingan umum yang dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut salah satunya ialah digunakan untuk pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 10 huruf o beserta pen-jelasannya. Hal ini kemudian memberikan arti bahwa Pemerintah dan negara haruslah memperhatikan kebutuhan akan rumah bagi masyara-kat berpenghasilan rendah yang tersandung pada permasalahan lahan.

Selain untuk memberikan kepastian lahan yang dapat digunakan sebagai lokasi pembangunan perumahan bagi masyarakat berpeng-hasilan rendah tersebut, pengaturan ini juga sebagai upaya per-lindungan bagi masyarakat dari adanya hidden agenda pihak kong-lomerat yang biasanya melakukan land banking untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Terkait dengan land banking oleh konglomerat yang biasanya

melakukan “pengumpulan tanah” dalam skala besar yang pada

akhir-nya tidak diberdayakan sesuai izinakhir-nya, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penertiban dan Pendaya-gunaan Tanah Terlantar telah berupaya meminimalisasi hal tersebut. Maksud dan tujuan dari upaya meminimalisasi itu ialah agar pen-dayagunaan tanah dapat digunakan sebesar-besarnya bagi warga negara Indonesia.

Pasal 15 Peraturan Pemerintah itu menyebutkan pula bahwa tanah-tanah yang terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyara-kat melalui reforma agraria dan program strategis negara, yang antara lain dapat digunakan sebagai pengembangan sektor perumahan.

(7)

vi Hadirin yang saya hormati.

Implementasi dari kebijakan Pemerintah mengenai penyediaan tanah untuk kepentingan umum tidak sepatutnya dijadikan alat untuk menguasai tanah demi kepentingan pribadi dan/atau golongan, akan tetapi seyogianya menjadi dasar bagi para pemangku kepentingan un-tuk lebih peduli kepada terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh warga negara Indonesia, utamanya masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Dalam praktiknya, pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum memerlukan perhatian, kontrol, dan pengawasan dari berbagai pihak agar cita-cita yang diamanatkan dapat tercapai.

Konsultasi publik merupakan proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai kese-pahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Untuk itulah, acara konsultasi publik ini diharapkan dapat mem-berikan secercah harapan dan kesamaan persepsi mengenai pengadaan tanah serta pengaturannya dalam memerangi perilaku menyimpang dari oknum yang tidak bertanggung jawab (hidden agenda).

Akhirnya, dengan mengucap bismillahirahmannirahim, saya

buka acara konsultasi publik yang mengangkat tema “Konsep

Res-torative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat” ini. Semoga Allah

SWT bersama dan melindungi kita selalu.

Wallaahul muwaafiq Ilaa aqwaamit thariq, wassalamualaikum

warrakhmatullah wabarakaatuh.

Jakarta, 13 Desember 2012 Menteri Perumahan Rakyat,

(8)

vii

SAMBUTAN PENERBIT

LENTERA HUKUM INDONESIA

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan suatu masalah yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, termasuk kalangan dari bidang hukum. Dalam sistem hukum di Indo-nesia, masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur melalui beberapa peraturan perundang-undangan, dan yang terakhir ialah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut tidak luput pula dari kritik dan tanggapan dari beberapa pihak. Kritik terhadap undang-undang itu, antara lain, tertuju pada keberadaan unsur kepentingan umum yang diatur di dalamnya, yang oleh sebagian pihak dianggap

berpotensi menjadi “kendaraan kaum pemilik modal” untuk mendapat

-kan keuntungan secara ekonomis melalui kepemili-kan atas lahan tertentu.

Masalah tersebut di atas tentunya cukup menarik apabila dikaji lebih lanjut. Kesempatan untuk mengkaji itulah yang kemudian tidak disia-siakan dan diambil oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Melalui rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-52 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, kampus ini menyelenggarakan sebuah diskusi ilmiah yang mengambil tema “Konsultasi Publik Per -tanahan: Konsep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat,”

yang diadakan di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tanggal 13 Desember 2012.

Untuk lebih menyebarluaskan materi yang didiskusikan dalam acara tersebut, kemudian Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta bekerja sama dengan Lentera Hukum Indonesia berinisiatif un-tuk menerbitkan beberapa makalah yang telah dipresentasikan dalam diskusi ilmiah tadi dalam bentuk buku. Buku itulah yang kini hadir di hadapan pembaca sekalian.

(9)

viii

Jakarta yang telah bersedia bekerja sama melakukan penerbitan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat. Selamat membaca!

Jakarta, Maret 2013 Ketua Yayasan

Lentera Hukum Indonesia,

(10)

ix

SAMBUTAN

DEKAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

Tanah merupakan objek penting yang sekaligus sering menjadi rebutan bagi banyak pihak, baik itu pihak masyarakat, pemerintah, ataupun pengusaha (pelaku bisnis). Benturan kepentingan antara pihak-pihak itu terkait dengan objek berupa tanah sering pula menjadi sengketa hukum yang akhirnya harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Oleh karena potensi konfliknya sangat besar, maka wajar apabila kemudian masalah pertanahan ini menjadi objek yang diatur oleh peraturan undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan ini ialah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan un-tuk Kepentingan Umum.

Secara garis besar, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur objek tanah dalam hubungannya dengan proses pembangunan untuk kepentingan umum. Walaupun demi pembangunan untuk ke-pentingan umum, tetapi dalam praktiknya di lapangan, prosesnya justru sering menghadapi kendala.

Kendala tersebut, salah satunya, ialah disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan di antara pihak-pihak yang terkait dengan objek tanah dimaksud. Misalnya saja, di satu sisi, anggota masyarakat yang memiliki sebidang tanah tentu menginginkan agar tanahnya yang akan dijadikan sebagai lahan pembangunan diberikan ganti kerugian dengan harga yang tinggi. Namun di sisi yang lain, bisa saja pihak pemerintah justru keberatan dengan tuntutan ganti kerugian yang diminta oleh masyarakat.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga pihak pelaku bisnis (pemilik modal) ikut serta dalam konflik kepentingan terkait dengan objek tanah tersebut, mengingat tanah ialah salah satu aset yang harga-nya dapat terus meningkat sehingga sangat menguntungkan dari sisi bisnis.

(11)

x

pembangunan untuk kepentingan umum. Untuk hal itulah, maka pada tanggal 13 Desember 2012, bertepatan dengan peringatan Dies Natalis

ke-52, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta telah menyelenggarakan kegiatan diskusi dan konsultasi publik dengan tema

“Konsultasi Publik Pertanahan: Restorative Justice Vs. Hidden Agenda

Konglomerat.”

Selanjutnya, materi-materi presentasi para narasumber pada ke-giatan diskusi dan konsultasi publik tersebut, yang ditambah dengan beberapa tulisan ilmiah pelengkap, telah disatukan dalam bentuk buku yang berjudul Beberapa Aspek dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang kini sudah pula hadir di hadapan pembaca sekalian.

Buku ini diterbitkan atas kerja sama antara Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan Lentera Hukum Indonesia. Untuk itu, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, saya menyampaikan terima kasih kepada pihak Lentera Hukum Indonesia atas kerja samanya yang baik. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Jakarta, Maret 2013 Dekan,

(12)

xi

DAFTAR ISI

Sambutan Menteri Perumahan Rakyat pada Acara Konsultasi Publik:

“Konsep Restorative Justice Vs. Hidden Agenda Konglomerat” iii

Sambutan Penerbit Lentera Hukum Indonesia vii

Sambutan Dekan Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ix

Daftar Isi xi

Politik Hukum Pertanahan di Indonesia

~ Bambang Prabowo Soedarso 1

Tanah dalam Sistem Hukum di Indonesia

~ Fadlan Arifa Rahman 7

Konsep Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan

~ Rizza Zia Agusty 18

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

~ Rr. Restisari Joeniarto 26

Unsur Kepentingan Umum di dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Kaitannya dengan Hak Gugat yang Dimiliki oleh Masyarakat

~ Endra Wijaya 41

Kajian Yuridis Terhadap Sistem Konsinyasi dalam Sengketa Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

(Tinjauan Perspektif Utilitarianisme dan Critical Legal Studies)

~ Retno Kusumaningsih dan Rocky Marbun 48

(13)

41

UNSUR KEPENTINGAN UMUM DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG

PERADILAN TATA USAHA NEGARA, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

DALAM KAITANNYA DENGAN HAK GUGAT

YANG DIMILIKI OLEH MASYARAKAT1

Endra Wijaya2

A. Pendahuluan

Aktivitas (tindakan) dari pihak pemerintah terus-menerus mengalami dinamika, dan semakin hari makin bertambah kompleks. Banyak dari tindakan pemerintah itu bersinggungan pula dengan ke-pentingan masyarakat, sehingga potensi timbulnya perselisihan antara pemerintah dan masyarakat juga semakin terbuka lebar.

Untuk mengantisipasi atau merespons perselisihan antara peme-rintah dan masyarakat, maka dirumuskanlah norma-norma hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat, yang hal ini tidak lain ialah Hukum Administrasi Negara (HAN). Dalam perspektif HAN, dalam menjalankan hubungannya dengan masyarakat, pihak pe-merintah selalu diawasi aktivitasnya, salah satunya, melalui lembaga kontrol yuridis yang disebut Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN).3

Maksud dibentuknya Peradilan TUN tersebut, pada prinsipnya, bertujuan untuk mengupayakan terjadinya keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan

1

Disampaikan pada acara diskusi dalam rangka Dies Natalis ke-52 Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. Acara diselenggarakan di kampus Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, pada hari Kamis, tanggal 13 Desember 2012.

2

Penulis ialah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, serta peneliti pada Yayasan Lentera Hukum Indonesia.

3

(14)

42

masyarakat atau kepentingan umum.4 Dari itu dapat dipahami pula bah-wa kehadiran Peradilan TUN sebenarnya erat berkaitan dengan unsur kepentingan umum (kepentingan masyarakat luas).

Sehubungan dengan perihal kepentingan umum, maka di dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur me-ngenai unsur kepentingan umum tersebut, misalnya saja seperti yang dimuat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Ke-pentingan Umum.

Menariknya, unsur kepentingan umum ini sering pula “diper

-tentangkan” dengan perlindungan kepentingan (hak-hak) perseorangan,

atau ia sering juga dicurigai sebagai “kendaraan”-nya pihak tertentu yang ingin memperoleh keuntungan secara ekonomis dari suatu lahan milik orang lain (kepentingan konglomerat). Lalu, bagaimanakah hu-kum positif di Indonesia meresponsnya?

B. Tinjauan terhadap Unsur Kepentingan Umum di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Pada prinsipnya, Peradilan TUN5 dibentuk dengan tujuan untuk: mengawasi pelaksanaan kewenangan pejabat TUN, agar ia tidak me-lakukan perbuatan yang dapat merugikan masyarakat;6 dan untuk menyelesaikan sengketa TUN antara badan/pejabat TUN dan masya-rakat, yaitu sengketa yang timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah, yang diwujudkan dalam bentuk keputusan TUN, yang di-anggap melanggar hak-hak masyarakat.7

4

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Nega ra da n Upaya Administratif di Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), hlm. 25.

5

Pengaturan masalah Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan ke Dua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

6

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 158.

7

(15)

43

Selain itu, secara filosofis, jika dihubungkan dengan falsafah negara Pancasila, maka Peradilan TUN ini dibentuk dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat secara serasi, seimbang, dan selaras antara ke-pentingan perseorangan dengan keke-pentingan masyarakat atau kepen-tingan umum tersebut.8

Dalam rangka mencapai tujuan semacam itulah, maka aktivitas dari pihak badan/pejabat TUN yang diwujudkan dalam bentuk kepu-tusan TUN (beschikking) akhirnya menjadi objek “pengawasan” dari pengadilan-pengadilan yang berada dalam lingkungan Peradilan TUN (Pengadilan TUN dan Pengadilan Tinggi TUN).

Untuk dapat menjadi objek sengketa TUN, suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menjelaskan unsur-unsur yang sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi agar suatu produk hukum dari badan/pejabat TUN dapat dijadikan objek sengketa oleh individu atau badan hukum perdata. Unsur-unsur tersebut ialah:

1. suatu penetapan tertulis;

2. yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN; 3. yang berisi tindakan hukum tata usaha negara;

4. yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berla-ku;

5. yang bersifat konkret, individual, dan final;

6. yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Selain ketentuan Pasal 1 angka 9 tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, juga terdapat lagi pasal lain yang mengatur mengenai objek seng-keta TUN, yaitu:

1. Pasal 3, yang pada intinya mengatur mengenai dapat digugat-nya sikap diam badan/pejabat TUN yang tidak mau menjawab permohonan yang diajukan, padahal ia wajib menjawabnya. Sikap diam dari badan/pejabat TUN yang demikian dapat

8

(16)

44

dijadikan sebagai objek sengketa TUN (keputusan TUN yang fiktif negatif).

2. Pasal 2, yang pada intinya mengatur pengecualian dari bebe-rapa bentuk produk hukum, sehingga produk-produk hukum tersebut tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa TUN. Produk hukum yang dimaksud, antara lain, berupa keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP, dan keputusan Komisi Pemilihan Umum mengenai hasil pemilihan umum.

3. Pasal 49, yang pada intinya juga mengatur pengecualian dari beberapa bentuk keputusan TUN, sehingga produk-produk hukum yang berbentuk keputusan TUN tersebut tidak bisa di-jadikan sebagai objek sengketa TUN. Dalam kaitannya dengan keberadaan Pasal 49 ini, maka keputusan TUN yang tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa TUN ialah keputusan-keputusan TUN yang dikeluarkan dalam keadaan perang, bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa yang mem-bahayakan, dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ber-laku.

Sehubungan dengan judul yang diangkat dalam tulisan kali ini, maka fokus pembahasan lebih lanjut akan penulis arahkan kepada ma-salah unsur kepentingan umum yang tercantum di dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menegaskan bahwa: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan

me-nyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan

yang disengketakan itu dikeluarkan:

a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum

berdasar-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (huruf miring dari penulis).

(17)

45

Ketentuan yang dimuat di dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah menjadikan beberapa keputusan TUN bu-kan sebagai objek sengketa TUN, sehingga apabila ia diterbitbu-kan oleh badan/pejabat TUN dan ia dianggap menimbulkan kerugian bagi ma-syarakat, maka masyarakat itu akan kehilangan hak gugatnya terhadap keputusan TUN tersebut.

Oleh karena itulah, menurut Philipus M. Hadjon, ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ini sebenarnya telah membatasi (mempersempit) kompetensi absolut Peradilan Administrasi (Peradilan TUN).9 Yang seharusnya sebuah keputusan TUN dapat digugat, tetapi karena ia dikeluarkan dalam keadaan yang dimaksud Pasal 49 huruf a dan b, maka akhirnya ia tidak bisa diganggu-gugat melalui jalur Peradilan TUN.10

C. Tinjauan terhadap Unsur Kepentingan Umum di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Pendekatan yang berbeda terhadap unsur kepentingan umum terkait dengan hak gugat yang dimiliki oleh masyarat melalui sistem Peradilan TUN justru hadir di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 23 ayat (1) yang menjelaskan bahwa: “Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) masih terdapat keberatan, Pihak yang Berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

dikeluarkannya penetapan lokasi” (huruf miring dari penulis).

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, ternyata unsur

kepentingan umum bukanlah menjadi sesuatu yang tidak bisa “digang

-gu -gugat.” Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 23 ayat (1) tersebut,

maka dapat dipahami bahwa suatu penetapan yang dikeluarkan oleh pejabat TUN dalam konteks untuk kepentingan umum tetap dapat digugat oleh masyarakat (yang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebut dengan “Pihak yang Berhak”).

9

Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara) (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 14.

10

(18)

46

Menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan terhadap hasil penetapan pejabat TUN (dalam hal ini ialah penetapan dari gubernur mengenai lokasi pembangunan), yang gugatannya itu diajukan ke Pengadilan TUN. Padahal, penetapan seperti itu ialah penetapan yang padanya melekat sifat untuk kepentingan umum.

Hal seperti yang telah dijelaskan di atas tentunya merupakan titik pembeda antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah memposisikan keputusan TUN yang dikeluarkan dalam keadaan untuk kepentingan umum sebagai suatu produk hukum yang tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa TUN (sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).

Dalam perspektif teori HAN, apa yang diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut telah men-cerminkan perwujudan salah satu “fungsi ganda” dari HAN, yaitu sebagai pelindung masyarakat dari tindakan pihak pemerintah, sebagaimana pendapat dari Sjachran Basah yang menyatakan bahwa:11

“... hakikat Hukum Administrasi Negara bersifat ganda, yaitu: pertama,

memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya; ke dua, melindungi warga negara terhadap sikap-tindak administrasi itu sendiri.”

D. Catatan Penutup

Terlepas dari kritik yang telah diajukan oleh beberapa pihak terhadap keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dari perspektif HAN, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini sebenarnya dapat dianggap sebagai produk hukum yang telah menyediakan me-kanisme perlindungan bagi warga masyarakat, setidaknya dalam bentuk disediakannya mereka peluang untuk dapat menggugat penetapan pejabat TUN mengenai lokasi pembangunan yang dikeluarkan dalam rangka kepentingan umum.

Namun demikian, keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini, terutama dalam kaitannya dengan hak masyarakat untuk me-ngajukan gugatan ke Pengadilan TUN, masih menyisakan persoalan yang perlu dicari solusinya.

11

(19)

47

Persoalan tersebut, antara lain, berhubungan dengan masalah jumlah ganti kerugian. Dalam mekanisme hukum acara Peradilan TUN, jumlah ganti kerugian dibatasi, yaitu minimal Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara

Hal yang telah disinggung di atas tentu harus diperhatikan dalam konteks gugatan melalui Pengadilan TUN seperti yang dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, karena justru sengketa (keberatan) yang diajukan oleh masyarakat (Pihak yang Berhak) potensial mengandung tuntutan ganti rugi yang jumlahnya melebihi apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991. Apabila masalah ini tidak dicarikan solusinya, dikha-watirkan akan banyak gugatan TUN dari masyarakat awam yang akan

“kandas” saat masuk ke Pengadilan TUN, karena apa yang mereka

tuntut dalam petitum-nya ternyata bertentangan dengan mekanisme yang berlaku pada sistem hukum acara Peradilan TUN. * * *

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.

Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Lotulung, Paulus Effendie. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi

Hukum terhadap Pemerintah. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer,

1986.

Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif

di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press, 2011.

Setiadi, Wicipto. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara: Suatu

Perbandingan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.

Wijoyo, Suparto. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi

(Peradilan Tata Usaha Negara). Surabaya: Airlangga University

Press, 2005.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Upaya Pre-emtif di sini adalah upaya- upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya pelanggaran, sebagaimana hasil penelitian penulis,

Satuan ini merupakan perangkat pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan dan sebagai garda atau barisan terdepan

Reader yang melakukan perilaku menolong dilandasi oleh Intrinsic Motivation yaitu dengan alasan karena merasa bahwa seseorang atau sekelompok orang tersebut memerlukan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis karakteristik balok bambu tali menggunakan alat sambung kombinasi pasak dan tali, serta alat sambung baut, pada posisi

Rasional proses maksudnya bahwa kita membikin iklan tidak semata-mata mengandalkan intuisi saja,namun ada juga satu hal yang kita lakukan, kita harus tau

Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi

- Untuk BMKG Pusat, hasil laporan monitoring dalam bentuk soft-copy yang dikirimkan melalui e-mail pengguna operasional dan disajikan dalam website produk satelit BMKG serta