• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah bank indonesia Periode Demokrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah bank indonesia Periode Demokrasi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bank Indonesia sebagai bank sentral negara Indonesia mempunyai peran penting dalam membangun perekonomian dan menjaga stabilitas perekonomian Indonesia, yang secara resmi di nasionalisasikan sebagai bank sentral pada tanggal 1 juli 1953 dan berubah nama dari DE JAVASCHE BANK milik pemerintah kolonial Belanda menjadi BANK INDONESIA milik pemerintah Indonesia. dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara sebagai gubernur bank indonesia hingga tahun 1958, setelah pencopotan Sjafruddin Prawiranegara sebagai gubernur Bank Indonesia terjadi perubahan kebijakan moneter Bank Indonesia dalam mengatur perekonomian yang seolah disetir penuh oleh pemerintah dan Bank Indonesia hanya dijadikan alat dan kasir pemerintah.

Terbelenggunya independensi Bank Indonesia pada masa pemerintahan orde lama khususnya pada masa demokrasi terpimpin menjadi permasalahan yang menarik untuk dibahas. Dimana kebijakan pemerintah akan sangat berpengaruh pada dinamika perekonomian dan kebijakan Bank Indonesia sebagai bank sentral baik internal maupun eksternal. Ir. Soekarno sebagai presiden pada masa demokrasi terpimpin dan Jusuf Muda Dalam sebagai Menteri Urusan Bank Sentral mempunyai peran dalam menentukan kebijakan perekonomian Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

1. Siapa saja tokoh yang pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia setelah Sjafruddin Prawiranegara mundur pada tahun 1958 sampai tahun 1966 ?

2. Bagaimana kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang diambil pada masa demokrasi terpimpin ?

3. Bagaimana peran Jusuf Muda Dalam sabagai penggagas Bank Tunggal ? 1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sebab dan dampak dari pergantian kepemimpinan Gubernur Bank Indonesia.

2. Untuk memahami pengaruh dari kebijakan moneter dan kebijakan fiskal terhadap dinamika perekonomian dalam negeri.

3. Untuk mengetahui tujuan dari pembentukkan bank tunggal dan peran Jusuf Muda Dalam sebagai Menteri Urusan Bank Sentral.

(2)

Lahirnya Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral pada tanggal 1 juli 1953 menjadi simbol kedaulatan Indonesia dalam bidang kehidupan moneter dan perekonomian. Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945 dan 4 tahun kemudian Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Hasil kesepakatan KMB salah satunya mengenai Persetujuan Keuangan dan Perekonomian dan disepakati pula bahwa yang ditunjuk sebagai bank sirkulasi adalah De Javasche Bank (DJB), sedangkan Bank Negara Indonesia (BNI) ditugaskan sebagai bank pembangunan. hasil kesepatan tersebut terwujud dengan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Dalam pasal 1 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 dinyatakan:

“Dengan nama Bank Indonesia didirikan suatu bank yang bermaksud menggantikan De Javasche Bank N.V. dan bertindak sebagai Bank Sentral Indonesia”

Berdasarkan pasal 38 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, Antara lain menyatakan:

(1) Menyimpang dari anjuran-anjurana dan asal-usul yang diharuskan dalam Undang-undang pokok ini maka presiden dan Direktur-direktur De Javasche Bank yang memangku jabatannya sebelum undang-undang ini mulai berlaku jika mereka itu warga negara Indonesia, menjadi gubernur dan direktur-direktur Bank Indonesia untuk bagian masa-jabatannya yang belum berakhir.

(2) Direktur-direktur De Javasche Bank yang bukan warga negara Indonesia, meletakan jabatannya pada hari mulai berlakunya Undang-undang ini.

(3) Komisaris-komisaris De Javasche Bank yang memangku jabatannya sebelum hari Undang-undang ini mulai berlaku, meletakan jabatannya pda hari itu. Komisaris baru tidak diangkat lagi.

Direksi Bank Indonesia Pada 1 juli 1953 terdiri sebagai berikut: Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai gubernur; Mr. Loekman Hakim dan Mr. Indra Kasoema sebagai direktur merangkap Gubernur pengganti. Jabatan direktur bank selain warga negara Indonesia diganti berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 65 tanggal 10 Maret 1954, berdasarkan keputusan tersebut maka Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo dan T.R.B Sabarudin diangkat sebagai Direktur Bank Indonesia.

(3)

dana yang diperoleh dari sektor lembaga keuangan termasuk bank. Tugas-tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral adalah mengatur, mengkoordinasi, mengawasi serta memberikan tindakan kepada dunia perbankan. Bank Indonesia juga mengurus dana yang dihimpun dari masyarakat agar disalurkan kembali ke masyarakat. Benar-benar efektif penggunaannya sesuai dengan tujuan pembangunan. kemudian di samping mengurus dana perbankan, Bank Indonesia juga mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan secara keseluruhannya.

Peranan lain Bank Indonesia adalah dalam hal menyalurkan uang terutama uang kartal (kertas dan logam) di mana Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk menyalurkan uang kartal. Kemudian mengendalikan jumlah uang yang beredar dan suku bunga dengan maksud untuk menjaga kestabilan nilai rupiah. Di samping itu, hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah adalah sebagai pemegang kas pemerintah. Begitu pula hubugan keuangan dengan dunia internasional juga ditangani oleh Bank Indonesia seperti menerima pinjaman luar negeri. (Kamsir, 2008:179)

Independensi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral pada masa demokrasi terpimpin belum tercantum ke dalam Undang-undang pokok Bank Indonesia, sehingga campur tangan pemerintah sangat lah besar. Padahal seharusnya, demi tercapainya stabilitas moneter maka diperlukan independensi bank sentral dari kekuasaan pemerintah. Jika pemerintah memberikan otonomi (independensi) kepada bank sentral, fungsi bank sentral tidak hanya sebagai alat dan kasir pemerintah, tetapi dapat pula menjadi penyedia keuangan bagi negara yang dapat memberikan nasihat kepada pemerintah dan jika perlu dapat juga menolak permintaan kredit dari pemerintah berdasarkan tanggung jawab bank sentral terhadap pemeliharaan nilai mata uang.

Seperti tercantum dalam Laporan Tahunan Bank Indonesia 1950/1951. Menurut Sjafruddin, seharusnya pemerintah hanya diberi hak untuk mengawasi bank sentral agar menjalankan tugas sesuai dengan undang-undang dan mengawasi pimpinan bank sentral agar tidak menyimpang dari undang-undang. Untuk maksud tersebut, pemerintah dapat menempatkan beberapa komisaris pada bank sentral untuk mewakili tugas pengawasan. Otonomi (independensi) bank sentral bukan berarti bahwa kebijakan bank sentaral dapat bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, justru kebijakannya harus selaras dengan politik keuangan dan ekonomi pemerintah. Begitulah peranan bank sentral yang seharusnya dilakukan pada saat itu. (Kusuma 2014:128)

(4)

Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaannya. Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.

2.2.1 Kondisi Politik dan Perekonomian Tahun 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar pada bidang politik dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan tugas dan kebijakan Bank Indonesia (BI).

Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi, yang dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang beredar sebagai akibat ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk mengatasinya, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pengetatan moneter berupa:

1. Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif

Pembatasan kredit secara kuantitatif dilakukan dengan cara membatasi jumlah kredit yang dapat diberikan oleh badan-badan kredit (bank) sampai pada tingkat tertentu. Dalam rapat tanggal 8 April 1959, Dewan Moneter menetapkan bahwa bank-bank dilarang mengucurkan kredit melebihi jumlah kredit yang telah diberikan oleh bank tersebut pada akhir Agustus 1958. Bank-bank diberikan waktu tiga bulan sejak 16 April 1959 untuk menyesuaikan pemberian kreditnya. Selain itu, bank-bank juga diwajibkan menyetor 75% dari kelebihan uang tunainya ke dalam "Rekening Istimewa" di Bank Indonesia.

(5)

beton, guni/jute, kertas, dan tiplate). Dalam hal ini, badan-badan kredit dapat memberikan dana sampai 50% dari harga bukti ekspor yang harus dibayarkan dalam rangka pembelian barang-barang tersebut.

Pada kenyataannya, bank-bank sulit untuk melakukan penyesuaian jumlah kredit yang diberikan. Hal ini disebabkan karena bank-bank sulit untuk menarik kembali kredit yang telah diberikannya. Terbukti pada akhir Maret 1959, jumlah kredit bank- bank tercatat sebesar Rp 1.270,6 juta lebih tinggi dari plafon yang ditetapkan yaitu Rp 5.177,8 juta.

Selain pembatasan kredit secara kuantitatif, pemerintah juga mengeluarkan ketentuan pembatasan kredit secara kualitatif. Hal ini dilakukan dengan pembatasan pemberian kredit pada sektor-sektor tertentu serta menjuruskan kredit pada usaha produktif dan ekspor. Sejak September 1959, bank-bank dilarang memberikan kredit atas semua transaksi impor, kecuali untuk barang-barang yang diimpor oleh dan melalui Perusahaan Dagang Negara (PDN), beras oleh Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM), dan cambrics oleh Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Sehingga importir wajib menyetor jaminan khusus pada banknya sebesar 100% dari nilai lawan (dalam rupiah) tiap-tiap transaksi impor.

2. Kebijakan devaluasi rupiah

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 1959, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah dari Rp 11,40 menjadi Rp 45 per USD (basic rate). Kebijakan ini mempengaruhi lalu lintas pembayaran luar negeri. Angka rata-rata pendapatan ekspor tahun 1959 jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, walaupun masih berada di bawah tahun angka rata-rata tahun 1954-1956. Selain itu, tindakan ini juga memaksa dilakukannya revaluasi pada pos kekayaan emas dan devisen yang ada pada Dana Devisen BI dan bank-bank devisen lainnya. Dari seluruh tambahan uang sebesar Rp 13.988 juta yang ditimbulkan oleh sektor luar negeri, bagian terbesar didapat dari pos kekayaan emas dan devisen yang telah mengalami mutasi tambahan sebesar Rp 12.350 juta.

3. Kebijakan sanering

Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada 25 Agustus 1959, adalah sebagai berikut:

(6)

tidak akan diperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).

2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).

Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Mulai dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya keuntungan pemerintah sebesar Rp 8.521 juta (dari penurunan nilai uang kertas bank Rp 1.000 dan Rp 500, menurut tindakan moneter tertanggal 25 Agusutus 1959 (Perpu No. 2 Tahun 1959), yang digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah, sampai menurunkan tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga berakibat pada kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang dianggap gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI, sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada presiden. 4. Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.

Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang.

Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.

Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.

2.3 Kelembagaan Bank Indonesia

(7)

Pada periode 1959-1966 terjadi beberapa kali perubahan. Tanggal 31 Juli 1959 Bank Indonesia dipimpin oleh Mr. Loekman Hakim yang dibantu oleh Mr. Indra Kasoema, Mr.Boerhanoedin dan Mr. R.B. Gandasoebrata. Sedangkan pada tanggal 31 Oktober 1960, kepemimpinan Bank Indonesia dijabat oleh Mr. R. Soetikno Slamet dan dibantu oleh 4 orang direksi yaitu; Mr. Boerhanoedin, Mr. R.B. Gandasoebrata, R. Soerjadi, Drs.Ek, dan Mr. R. Soegiarto. Dalam tahun 1962 dengan keluarnya Keputusan Presiden No.91/1962 terjadi perubahan struktural Kabinet bidang keuangan, antara lain penonaktifan Dewan Moneter dan diangkatnya Gubernur Bank Indonesia sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. Mr. Soemarno yang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, kedudukannya setara denga sebutan Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS).

Pada November 1963, regrouping terhadap kabinet kerja kembali dilakukan. Dalam regrouping itu ditetapkan Bidang Keuangan Kabinet diubah menjadi Kompartemen Keuangan dan ditambahkan seorang menteri, yaitu Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta (MUPBMS). pada periode kabinet ini, Jusuf Muda Dalam ditunjuk sebagai Menteri Urusan Bank Sentral menggantikan Mr. Soemarno.

2.3.2 Independensi Bank Indonesia dalam Sistem Ekonomi Terpimpin

Sejak dikeluarkannya Penpres No. 6/1960, Independensi BI mulai goyah. Hal ini disebabkan oleh kuatnya intervensi pemerintah dalam tugas dan tata kerja BI sebagai bank sentral. Kedudukan BI juga berubah. BI telah menjadi bagian dari aparat pemerintah, yaitu sebagai pelaksana dalam bidang keuangan. Masuknya BI dalam kabinet menyebabkan posisinya berada dalam kendali presiden dan kedudukannya semakin tidak independen. Sementara itu, dalam UU No. 11/1953, pemisahan kewenangan antara BI dan pemerintah di bidang keuangan dan moneter juga belum diatur secara jelas.

2.3.3 Doktrin Bank Berdjoang dan Pembentukan Bank Tunggal

(8)

Dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan musyawarah tersebut menghasilkan Doktrin Bank Berdjoang sebagai landasan bagi perbankan dalam menjalankan tugasnya pada masa penyelesaian revolusi. Inti dari doktrin tersebut adalah “Panca Sakti Bank Berdjoang" yang menegaskan bahwa bank adalah alat revolusi, bukan lembaga keuangan yang mencari keuntungan semata-mata.

Konsekuensi dari konsepsi Bank Berdjoang adalah penyesuaian tugas bank umum pemerintah agar dapat membantu pemerintah dalam menangani keadaan perekonomian negara secara efisien. Untuk itu diadakan pembagian tugas di antara bank umum pemerintah dalam melayani sektor ekonomi tertentu. Pembagian tersebut merupakan langkah awal bagi spealisasi bank dalam bidang usaha tertentu dan sekaligus bagian dari proses integrasi bank-bank.

Pada tanggal 11 April 1965, Presiden Soekarno dalam amanat politiknya di hadapan Sidang Umum MPRS menyatakan bahwa struktur perbankan Indonesia sebagai penyedia dana bagi proyek-proyek pemerintah, secara bertahap akan diarahkan kepada sistem Bank Tunggal. Dengan sistem tersebut kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan dapat dijalankan secara efektif, efisien dan terpimpin demi suksesnya pelaksanaan program perjuangan pemerintah.

2.4 Bank Indonesia dalam Sistem Bank Tunggal

Bank Indonesia dalam Sistem Bank Tunggal Dalam Sistem Bank Tunggal, bank-bank pemerintah termasuk Bank Indonesia beroperasi dengan nama Bank Negara Indonesia Unit. Bank Indonesia sebagai Unit I, Bank Koperasi, Tani dan Nelayan Unit II, Bank Negara Indonesia Unit III, Bank Umum Negara Unit IV dan Bank Tabungan Negara Unit V. Meski secara formal telah terintegrasi menjadi satu badan dalam bank tunggal, tapi dalam prakteknya bank- bank tersebut masih terbagi atas unit-unit yang mengerjakan tugasnya masing- masing sebagaimana halnya sebelum integrasi. Semua harapan dan rencana tersebut ternyata hanya bersifat teori karena tidak dapat terlaksana dengan baik.

Meskipun pada saat itu secara formal hanya terdapat tiga bank pemerintah di Indonesia, yaitu: Bank Negara Indonesia (Bank Tunggal), Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia, tapi sebenarnya bank-bank pemerintah masih terdiri dari tujuh bank yaitu :

• Bank Indonesia (Bank Negara Indonesia Unit I)

(9)

• Bank Negara Indonesia (Bank Negara Indonesia Unit III)

• Bank Umum Negara (Bank Negara Indonesia Unit IV)

• Bank Tabungan Negara (Bank Negara Indonesia Unit V)

• Bank Dagang Negara

• Bank Pembangunan Indonesia

Bank Indonesia dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I masih tetap melakukan fungsinya sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Sebagaimana ditetapkan pada 1964, Bank Indonesia (BNI Unit I) pada masa Bank Tunggal melayani secara langsung beberapa bidang usaha dengan kriteria sebagai berikut:

1. Proyek-proyek Mandataris di luar anggaran pembangunan (APBN).

2. Usaha-usaha penting yang mendapat pembiayaan dari anggaran pembangunan, tetapi untuk sementara waktu belum mendapatkan pengesahan.

3. Perusahan-perusahaan Negara yang memenuhi kebutuhan bagi kepentingan umum dan mengalami defisit karena tingginya biaya produksi. Dalam kasus semacam ini pemerintah memberikan subsidi kepada perusahaan tersebut agar mengurangi biaya yang ditanggung oleh bank.

4. Perusahaan-perusahaan vital dan perusahaan lainnya yang memerlukan biaya besar tetapi jangka waktu pembayaran kembalinya cukup lama, lebih dari tiga tahun. Proyek semacam ini khususnya terjadi di perusahaan pertambangan negara seperti pertambangan timah, minyak, batubara dan pertambangan umum seperti emas, nikel, bauksit, dll.

5. Kredit-kredit yang sifatnya perintisan (pilot project) yang umumnya kurang memenuhi persyaratan bank-teknis dan kredit-teknis namun penting secara sosial ekonomi.

Dengan mengacu kepada bidang-bidang usaha yang dilayani oleh Bank Indonesia tersebut, baru kemudian diadakan pembagian tugas di antara bank-bank pemerintah lainnya. untuk melayani perusahan-perusahan dalam lingkungan departemen, baik dalam pendanaan maupun penerimaan simpanan.

(10)

mendanai proyek-proyek pemerintah. Demikian halnya dengan Bank Indonesia, peranannya sebagai pemberi kredit telah bergeser dari pemberian kredit kepada swasta pada dasawarsa 1950-an menjadi pemberi kredit kepada perusahan-perusahaan negara dan proyek-proyek pemerintah.

Dalam sistem Bank Tunggal banyak ketentuan-ketentuan yang sulit untuk dilaksanakan secara teknis, maka hanya berlaku sebatas teori atau rencana saja tanpa pernah terlaksana. Contohnya sebagaimana dikemukakan dalam Penpres No. 16/1965, bahwa masing-masing Presiden Direktur dan para direktur bank yang diintegrasikan akan diperbantukan kepada pimpinan bank sentral dengan kedudukan masing-masing sebagai gubernur pengganti dan direktur. Tapi pada kenyataannya hal tersebut tidak pernah terwujud. Bahkan kantor pusat Bank Tunggal yang ditetapkan berada di kantor pusat Bank Negara Indonesia Unit I yaitu bekas kantor pusat Bank Indonesia tetap berfungsi seperti semula sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.

Sebenarnya pada awal pembentukan Bank Tunggal telah ditetapkan Struktur Organisasi Bank Tunggal pada fase peralihan yang berlaku per 17 Agustus 1965. Tetapi struktur yang dihasilkan oleh Konferensi Dinas "Tujuan dan Struktur Organisasi Bank Tunggal" di Jakarta, 3 - 5 Agustus 1965 tersebut tidak pernah terlaksana. Dicantumkan dalam struktur tersebut bahwa Menteri Urusan Bank Sentral adalah pimpinan dari Bank Tunggal (Bank Negara Indonesia) padahal pada saat yang sama Menteri tersebut masih memimpin Bank Indonesia yang kemudian menjadi Bank Negara Indonesia Unit I bagian dari Bank Tunggal.

Sejauh ini hanya diketahui bahwa pada saat melebur dalam Bank Tunggal dan menjadi Bank Negara Indonesia Unit I, Bank Indonesia dipimpin oleh Jusuf Muda Dalam, Menteri Urusan Bank Sentral; para Gubernur Pengganti terdiri dari M. Djoeana Koesoemahardja S.H., R. Hertatijanto S.H., Brigjen. Soehardi dan Rachmat Saleh, S.E. sedangkan para Direktur terdiri dari R. Sulaksana Soeparto S.H., Oey Beng To S.E., S. Kertopati, R.A. Kartadjoemena S.H. dan Sulwan S. Astradiningrat. Demikian halnya dalam ketentuan landasan hukum Bank Tunggal, dalam pasal 4 Penpres No. 17/1965 menyatakan bahwa:

Sampai ada ketentuan lebih lanjut, maka Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 (Undang-Undang No. 11 tahun 1953; Lembaran Negara tahun 1953 No. 40) dengan segala

(11)

Hal tersebut sangat tidak mungkin dilaksanakan, mengingat segala keterbatasan Undang-Undang tersebut untuk mengatur berbagai jenis tugas bank-bank dalam Bank Tunggal. Secara implisit berarti Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia adalah integrasi bank-bank pemerintah yang dipimpin oleh Bank Indonesia. Tetapi sebagaimana tercermin dalam ketetapan pelaksanaan Bank Tunggal, tidak ada sama sekali aturan yang mengacu kepada Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tersebut.

Terhambatnya pelaksanaan Bank Tunggal tidak hanya disebabkan oleh ketidak- jelasan konsep Bank Tunggal atau kerancuan teknis pelaksanaannya saja. Tetapi faktor perkembangan politik Indonesia yang semakin memanas pada 1965 juga turut berpengaruh. Peristiwa 30 September 1965 yang terjadi beberapa saat setelah dicanangkannya Bank Tunggal merupakan salah satu faktor politik yang paling berpengaruh dalam menghambat terlaksanaanya Bank Tunggal. Peristiwa berdarah yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut kemudian memicu perubahan seluruh tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik Indonesia. Bahkan Jusuf Muda Dalam sebagai pimpinan Bank Tunggal juga terlibat dalam peristiwa politik tersebut.

Peristiwa 30 September 1965 merupakan pemicu runtuhnya bangunan Sistem Terpimpin Soekarno yang kemudian diikuti dengan runtuhnya berbagai produk sistem lainnya, termasuk sistem Bank Tunggal. Pada periode setelah peristiwa tersebut telah diadakan berbagai perubahan fundamental baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi. Dalam pasal 55 Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/66 disebutkan bahwa dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan dalam rangka pengawasan dan penyehatan tata perbankan pada khususnya, maka harus segera ditetapkan Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Bank Sentral. Sementara sambil menunggu disahkannya kedua undang-undang tersebut, pada 1966 telah ditetapkan bahwa Bank Negara Indonesia Unit I berfungsi kembali sebagai Bank Sentral, sedangkan unit-unit yang lain juga ditetapkan untuk menjalankan usahanya sebagaimana undang-undang pembentukannya terdahulu.

(12)

Bank Indonesia, yang telah diintegrasikan ke dalam Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I, tetap melakukan tugasnya sebagai bank sentral. Pada sistem Bank Tunggal, banyak ketentuan yang sulit direalisasikan. Terhambatnya pelaksanaan Bank Tunggal ini disebabkan oleh ketidakjelasan konsep Bank Tunggal itu sendiri, serta munculnya peristiwa berdarah G30S/PKI, yang melibatkan pimpinan Bank Tunggal, Jusuf Muda Dalam.

2.4.1 Peradilan Jusuf Muda Dalam

Pada akhir 1965 dan awal 1966, Indonesia penuh dengan gejolak, tekanan ekonomi yang semakin berat terus mengimpit kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dampak peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI dan tentara secara politis telah menggiring pada suatu proses peluruhan kekuasaan pemerintahan terpimpin. Demonstrasi mahasiswa (angkatan 66) menuntut adanya perbaikan keadaan ekonomi, sosial, dan politik mulai menggoyahkan kekuasaan pemerintah. (Marwati, 1984)

Pada 11 Maret 1966, turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menertibkan keadaan. Salah satunya dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melakukan tindakan pengamanan terhadap 15 menteri kabinet, termasuk Menteri Urusan Bank Sentral yakni Jusuf Muda Dalam, dengan alasan untuk melindungi mereka dari amarah rakyat karena dianggap terlibat dengan PKI. Surat penangkapan dan penahan atas Jusuf Muda Dalam secara resmi baru dikeluarkan oleh Tim Pemeriksa Pusat Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada 18 April 1966.

Referensi

Dokumen terkait

Klien juga akan mencapai tingkat kesehatan ■ ang le bih baik dan mampu mempertahankan kondisi kesehatan seperti sebelum sakit (Potter & Perry, 1997). Berdasarkan

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

c.) guru dalam kegiatan pembelajaran sangat terbantu dengan adanya buku paket Kewirausahaan. d.) adanya metode pembelajaran observasi yang mana tujuan dari kegiatan ini

Moving Picture Expert Group (MPEG) Surround, an international standard developed based on spatial audio coding, specifies Reverse Two-To-Three (R-TTT) module to extend stereo

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang pengaruh iklan layanan iklan layanan KB versi dua anak lebi baik terhadap perilaku, terdapat indikator variabel iklan layanan

Pengetahuan tentang Kangaroo Mother Care diharapkan dapat menjadikan ibu memiliki sikap yang baik mengenai perawatan bayi dengan berat badan rendah baik dirumah ataupun dirumah

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Pengaruh struktur kepemilikan institutional, struktur kepemilikan manajerial, struktur kepemilikan publik, debt

Ada beberapa perusahaan daerah yang bergerak dalam bidang pelayanan bidang Cipta Karya, seperti di sektor air minum, persampahan dan air limbah.Kinerja keuangan dan