dari sebuah demokrasi. Untuk itu Mandatory edisi kali ini
berniat mencermati tema “Politik Perlawanan” sebagai
bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi liberal.
Penulis
Apa yang ada dalam benak kita saat merenungkan makna dan arti demokrasi? Dan apa pula yang hinggap dalam pikiran kita saat merefleksikan perjalanan proses demokratisasi di negara ini? Para pelakon menyajikan atraksi politik yang penuh dengan hingar bingar semenjak arus deras reformasi bergulir.
Selama kurang lebih 7 tahun sejak runtuhnya Orde Baru banyak peristiwa besar terjadi, Banyak perubahan besar dihembuskan, banyak janji p o l i t i k d i s e r u k a n , d a n perjalanan bangsa ini semakin sulit untuk ditebak kemana akan menuju.
Buku ini berbicara tentang para aktor politik diranah demokrasi yang menjadi impian bangsa kita. Seperti apa mereka dalam bertarung, saling menyodok, dan apa pula sebenarnya lakon yang harus kita simak, maka
Institute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga independen, nonpartisan, dan nonprofit, yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta. Fokus kegiatan IRE adalah mengembangkan Governance Reform, Civic Culture dan Desa Asosiatif melalui penguatan gagasan, sikap kritis, serta tindakan taktis elemen masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara. IRE bekerja di bawah Yayasan IRE FLAMMA dengan struktur organisasi dan personalia sebagai berikut. Dewan Pengurus: Heru Nugroho, Suharko, Bambang Hendarta, Fajar Sudjarwo, Susetiawan. Dewan Penasehat: Cornelis Lay, Pratikno, Lambang Trijono. Dewan Eksekutif: Sutoro Eko (Direktur), Arie Sujito (Deputi Direktur untuk Program), Sukasmanto (Deputi Direktur untuk Administrasi dan Keuangan). Keuangan: Sugeng Yulianto (Manajer), Meilda Wiguna (Akuntan), Suparmo (Kasir). Administrasi Kantor: Rino Haniasti (Sekretaris), Heri Purwanto (IT), Latifah (Pustakawati), Triyanto (staff Kantor), Sutanto (GA). Divisi Riset dan Advokasi: Sunaji Zamroni (Manager), AAGN Ari Dwipayana, Abdur Rozaki, Anang Sabtoni, Bambang Hudayana, Krisdyatmiko, Abdul Gafar Karim (non-aktif), Budi Irawanto (non-aktif), Poppy S. Winanti (non-aktif), Mefi Hermawanti (non-aktif), Nanang Indra Kurniawan (non-aktif). Divisi Informasi dan Publikasi: Titok Hariyanto (Manager), Eric Hiariej, Hesti Rinandari, Joko Purnomo, Ahmad Subhan, Ashari, Zainal, IRE Press: Mahmud NA, Sunaryo Hadi Wibowo
Edisi 2/Tahun 2/2005
M
A N D A T O R Y
Diterbitkan oleh:
IRE (Institute for Research and Empowerment)
Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A Yogyakarta 55281 Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]
140 Halaman, i-viii, 15 x 23 cm, tabel, bagan , ilustrasi, dan foto ISSN: 1829-8389
JurnalMANDATORY diterbitkan sebagai pengejawantahan sebuah bentuk
tanggung jawab Institute for Research and Empowernment (IRE) Yogy-akarta sebagai NGO yang berbasis akademis. Jurnal Mandatory diter-bitkan dengan tujuan memberikan ruang untuk memperdebatkan waca-na secara lebih akademis, berdasarkan pengelaborasian teori, paradig-ma, hingga pengalaman empiris para pelaku dan pemikir di bidang demokrasi, governance reform dan civil society.
Susunan Redaktur
Dewan Redaksi : Sutoro Eko Yunanto, Arie Sujito, AAGN Ari
Dwipayana, Titok Hariyanto, Krisdyatmiko, Abdur Rozaki
Redaktur Pelaksana : Eric Hiariej, Joko Purnomo, Novia Cici Anggraini
Ilustrasi dan Lay-out : Faisal Ismail dan W indu (Bangjo)
Distribusi : Wibowo, Mahmud NA
Sekretaris : Rino Haniasti
Keuangan : Sugeng Yulianto
Alamat Redaksi : Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A
Yogyakarta 55281. Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]
Redaksi Jurnal Mandatory menerima kiriman tulisan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Tulisan yang dikirim merupakan karya asli dan belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain
2. Tulisan yang dikirim hendaknya merupakan kajian ilmiah, seperti hasil penelitian lapangan, kajian teori, studi kepustakaan dan gagasan kritis-konseptual, baik dalam bahasa Indonesia mau-pun bahasa Inggris
3. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penu-lis yang bersangkutan. Redaksi berhak mengedit tupenu-lisan tanpa mengubah arti
4. Persyaratan teknis :
a. Panjang tulisan : 4000 kata, dengan pilihan huruf :Times New Roman12, spasi ganda
b. Ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi cata-tan kaki dan daftar pustaka)
c. Menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas dan mudah dipahami. Kalimatnya jelas, padat dan tidak mengandung makna ganda
d. Naskah yang hendak dikirim dialamatkan kepada: Redaksi Jurnal Mandatory
Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A Yogyakarta 55281 Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]
5. Redaksi memberikan honorarium untuk setiap tulisan yang dimuat
D
alam edisi yang lalu, Mandatory mendiskusikan krisis demokra-si liberal. K ridemokra-sis ini, diantaranya, bersumber dari obsedemokra-si ber-lebihan demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan in-stitusi dalam memaknai dan menjelaskan arti penting pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak peka pada isu-isu seperti partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tam-paknya model ini percaya inklusi politik, kesejahteraan dancivility akan datang dan terbentuk dengan sendirinya jika lembaga-lembaga sudah berhasil dibangun.Terbukti kemudian lembaga-lembaga selalu perlu diketuk agar benar-benar membunyikan demokrasi. Jika tidak, lembaga baru sekali-ber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak konservatisme. Contohnya, sebagai metode seleksi pemimpin ia justru memperkuat posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Bukankah dengan jalan demokrasi, Sultan Yogya misalnya, ingin mengembalikan feodalisme? Dengan lain perkataan, lembaga-lembaga demokrasi secanggih apapun selalu rentan sabotase. Tapi apa persoalan yang sesungguhnya di balik ini semua?
Pertama-tama sejarah menunjukkan demokrasi adalah soal perju-angan politik. Demokrasi adalah soal perimbperju-angan kekuatan antara ke-lompok yang pro dan anti demokrasi untuk memperebutkan hak meme-rintah. Mulanya, penulis seperti Barrington Moore, Jr. percaya kekuatan penting di balik demokratisasi adalah borjuasi. Tapi kemudian keyakin-an ini dibkeyakin-antah oleh studi Therborn dkeyakin-an Rueschemeyer (et., al) ykeyakin-ang menemukan semangat demokratisasi dalam diri kelas pekerja. Sementara beberapa penulis lain seperti Laclau dan Mouffe lebih percaya pada peran kelompok-kelompok pinggiran yang berada di luar formasi
sial dominan seperti perempuan, aktivis lingkungan, aktivis homosek-sual dan kelompok etnis minoritas.
Yang jelas, siapapun yang dianggap paling progresif, semua pe-mikir ini sepakat bahwa demokrasi adalah soal perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Demokrasi—dalam bentuk kehadiran lembaga-lembaga formal seperti pemilu, sistem multipartai dan kebe-basan pers— akan tampak seperti lelucon, jika penindasan dan ketidak-adilan masih terus berlanjut. Sebaliknya perlawanan akan selalu menjadi bagian penting dari masa depan dan prospek sebuah demokrasi.
Untuk itu Mandatory edisi kali ini berniat mencermati tema “Politik Perlawanan” sebagai bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi liberal. Artikel pertama merupakan analisa tentang gerakan oposisi baru yang sedang berkembang. Amalinda Savirani menunjukkan dalam tuli-sannya yang berjudul“Oposisi Indonesia dalam E ra E veryday Politics” bahwa gerakan oposisi tidak lagi hanya memfocuskan pada isu-isu besar dalam lingkup gerakan anti rezim. Namun demikian, gerakan oposisi juga ber-ada dalam ranah yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Menyangkut isu-isu sepele dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang kuat.
Pada artikel kedua dengan judul“Memetakan L okasi bagi “Politik Identitas” dalam Wacana Politik Poskolonial”, Arie Setyaningrum dalam analisanya menunjukkan bahwa formasi (pembentukan) identitas seba-gai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipenga-ruhi oleh efek-efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang diaki-batkan oleh kolonialisme. Dalam pandangan akhirnya, politik identitas dilihat sebagai sebuah penyikapan terhadap dilema struktural di dalam mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan sosial.
Artikel ketiga, keempat dan kelima merupakan artikel-artikel yang mendasarkan pada studi kasus yang terjadi di Indonesia. Artikel ketiga yang ditulis oleh Gerry van Klinken dengan judul“The Forest, The State,
and Communal Conflict in West Kalimantan, Indonesia”, merupakan sebuah
pencarian jawaban atas pertanyaan tentang persoalan konflik komunal yang terjadi di K alimantan Timur. Ruthviana Mefi Hermawanti dalam artikelnya yang berjudul “The Role of Internasional N on-Governmental Orga-nizations (N GOs) In Third Word D isaster Relief and The Failure of
Globaliza-tion: The Cases of A ceh and West Timor”, melakukan pelacakan atas relasi
Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu–Hilir”, menghadirkan rekam-an pengalamrekam-an aksi advokasi yrekam-ang dilakukrekam-an oleh sekelompok pihak yang memiliki konsern pada persoalan lingkungan dalam kasus K onflik Umbul Wadon.
Pada artikel keenam, yang ditulis Nuraini Juliastuti dengan judul “D ayang Sumbi Bertemu Cinderella: Kode Feminitas dalam Seni V isual Indone-sia” bercerita tentang kompleksitas perkembangan wacana perempuan dan interkoneksitasnya dengan hal-hal lain dalam seri visual Indonesia. Dengan memperhatikan karya seniman perempuan Indonesia, Nuraini menggambarkan tentang tubuh yang dipakai sebagai medan pertarung-an, tentang wacana yang bermunculpertarung-an, serta tentang hal-hal yang mem-pengaruhi seniman dalam berkarya.
Jurnal ini ditutup dengan Tulisan Leo Agustino tentang demokrasi. Menggambarkan optimisme penulis terhadap berbagai keuntungan pada sebuah negara yang menjalankan prinsip-prinsip Demokrasi.
Oposisi Indonesia dalam Era Everyday Politics
Oleh: Linda Savirani† 1
Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial
Oleh: Arie Setyaningrum † 13
The Forest, the State, and Communal Conflict in West Kalimantan, Indonesia
Oleh: Gerry van Klinken † 35
The Role of International Non-Governmental Organizations (NGO) In Third World Disaster Relief and the Failure of Globalization: The Cases of Aceh and West Timor
Oleh: Ruthviana Mefi Hermawanti † 63
Konflik Umbul Wadon:
Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu-Hilir
Oleh: Mimin Dwi Hartono † 89
Dayang Sumbi Bertemu Cinderella:
Kode Feminitas dalam Seni Visual Indonesia
Oleh: Nuraini Juliastuti † 107
Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Leo Agustino † 125
Pengantar
Pascaperubahan politik di tahun 1998, gerakan oposisi di Indo-nesia mengalami disorientasi persis sesudah rezim otoritarian yang dilawannya hancur berkeping-keping. Sebagian besar kajian mengargumentasikan bahwa disorientasi ini disebabkan karena gerakan prodemokrasi In-donesia merupakan gerakan oposisi miskin strategi, miskin program, dan yang terpenting adalah miskin konstituen. Para aktivis prode-mokrasi ini disebut oleh sebuah kajian sebagai “demokrat yang mengambang”, yakni aktivis yang memimpin gerakan tanpa program, tanpa strategi yang rapi (Priyo-no, et all, 2000), persis sama dengan kondisi masyarakat Indonesia yang pernah diberi cap “massa mengambang” oleh kebijakan politik Orde Baru di masa lalu. Dalam tulisan ini penulis ingin melebarkan persoalan gerakan oposisi di Indonesia, yang lebih dari sekedar gerakan tanpa strategi dan tanpa basis konstituen, melainkan dikaitkan dengan perlunya
Amalinda Savirani
*“... we thus look for the political in the wrong place, on the wrong floor, and on the wrong pages of the newspapers...” (Beck, 1994:18)
Oposisi Indonesia
dalam Era Everyday Politics
* Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM dan Program
cara pandang baru dalam memaknai apa itugerakan oposisi. Gerakan oposisi sebagaimana yang juga menjadi perhatian generasi baru gerak-an sosial yaknithe new social movement. Yang membedakan gerakan oposi-si baru ini menyangkut target,scope isu, dan sifat gerakan. Gerakan opo-sisi dalam pengertian alternatif ini tidak selalu menyangkut gerakan de-ngan target mematahkan rezim otoritarian atau menciptakan kehidup-an ykehidup-ang lebih baik. Ia juga bukkehidup-an memfokuskkehidup-an diri pada isu-isu besar, seperti isu peningkatan kehidupan demokrasi, melainkan menyangkut semua aktivitas kemasyarakatan sehari-hari, menyangkuteveryday life. Ka-renanya, ia berlingkup sempit, kadang kala bersifatad-hoc, sesaat, impul-sif, dan terkesan tanpa orientasi jangka panjang yang jelas.
Cara pandang alternatif ini didasari oleh perspektif dalam ilmu politik, yakni, menyangkut cara pandang terhadap operasi kekuasaan, bahwa operasi kekuasaan yang paling esensial sesungguhnya berlang-sung dalam kehidupan sehari-hari, menyangkut langberlang-sung kehidupan orang banyak, menyangkutthe everyday life of politics. Politik sehari-hari ini telah menciptakan realitas baru perpolitikan yang rautnya sama sekali berbeda dengan pemahaman politik (formal) yang kita kenal selama ini. Realitas baru ini disebut sebagaithe secondary level of political practices (Warren, 1992). Di tingkat ini politik bukan sesuatu yang abstrak dan yang tidak memi-liki kaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Politik adalah sesuatu yang sangat dekat dengan warganegara. Oposisi berbasis persoalan yang riil dan bersifat sehari-hari inilah, yang menurut hemat penulis, wajah masa depan oposisi Indonesia. Kemunculaneveryday politics ini adalah bagian dari konsekuensi modernitas kehidupan manusia yang salah satu-nya ditandai oleh apa yang disebut sebagai “individualisasi” (Beck, 1995). Tulisan akan dimulai dengan analisa tentang eksistensi kelompok oposisi di Indonesia baik di tingkat pemerintahan yang pernah dimiliki bangsa ini, maupun di tingkat masyarakat. Yang terakhir ini yang kemudi-an menoreh catatkemudi-an penting dalam sejarah, yakni ketika ia menjadi pen-dorong perubahan politik di negeri ini. Setelah itu akan dipaparkan limitasi-limitasi pemahaman oposisi yang berada di aras formal di tingkat negara dan masyarakat. Limitasi cara pandang lama sesungguhnya telah dikoreksi dalam generasi baru pemikiran gerakan sosial yaknithe new
social movement yang telah digumamkan lebih dari satu dekade yang lalu.
politics. Pergeseran yang berlangsung di ranah yang berbeda-beda ini pada dasarnya menggaungkan satu hal yang sama, yakni ada yang beru-bah sekaligus melahirkan keperluan untuk melihat dengan cara baru.
Anatomi Gerakan Oposisi Klasik Indonesia
Mendengar kata “oposisi”, ingatan orang Indonesia pasti akan terbawa pada aktivitas gerakan-gerakan demonstrasi di jalanan, atau pada tokoh-tokoh intelektual yang sering melemparkan pandangan kritisnya ter-hadap jalannya roda pemerintahan. Pemahaman tentang oposisi yang lebih bergerak di tingkat masyarakat ini dapat dipahami, karena peran oposisi di tingkat parlemen tidak pernah penting dalam sejarah Indonesia kecuali pada periode pemerintahan liberal pada tahun ‘50-an. Kala itu negeri ini menganut sistem pemerintahan parlementarian, sebuah sistem yang menginstitusionalisasi aktivitas oposisi dalam parlemen. Pascape-riode itu, ketika sistem ketatanegaraan kembali menjadi republik, sistem oposisi dalam tubuh parlemen pun lenyap untuk selamanya dalam ke-hidupan politik negeri ini.
Ketiadaan sistem oposisi yang kuat sesungguhnya bukan hanya hilang akibat dari pergantian sistem ketatanegaraan. Di negara dengan sistem ketatanegaraan parlementarian yang sudah mapan sekalipun, yakni di negara-negarawelfare state seperti Skandinavia dan di negara-negara maju lainnya, aktivitas gerakan oposisi terus berkurang, khususnya sejak Perang Dunia (PD) II (Ionescu & de Madariaga, 1968: xv). Situasi ini disebabkan peningkatan peran dan tugas pemerintah (eksekutif) yang lebih membutuhkan perhatian dan kajian yang lebih mendalam. Kajian terhadap peran negara pun terus meningkat diiringi dan diikuti oleh penurunan drastis kajian tentang peran legislatif, termasuk oposisi di dalamnya (Ionescu & de Madariaga, 1968: 12). E lemen kontrol yang menjadi fungsi dasar dari oposisi dipahami sebagai pengganggu pelaksa-naan tugas sehari-hari pemerintah.
salah satunya berasal dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kembali ke konteks Indonesia, oposisi di tingkat masyarakat dan lembaga formal pemerintahan, sejak Orde Baru lahir, dikontrol ketat, meski tidak menghalangi kelahiran generasi oposisi pada tahun ‘70-an, ‘80-an, yang dimotori mahasiswa dan persnya (Raillon, 1985), dengan agenda dasarnya adalah “mengoreksi kebijakan pemerintah”. Reaksi pemerintah Orde Baru tarik ulur terhadap gerakan oposisi ini. Salah satunya adalah memberangus gerakan ini pada 1974 lewat peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 15 Januari (Malari). Antiklimaks lain yang menjadi titik balik bagi gerakan oposisi Indonesia adalah ketika pada awal ‘90-an Presiden Soeharto mengatakan secara terbuka bahwa semua gerakan yang mengritik pemerintahannya akan “digebuk”. Sejak itu, kekerasan mewarnai banyak kebijakan pemerintah terhadap masyarakat-nya. Di sela-sela periode ‘80-an dan ‘90-an, kita mendengar eksistensi kelompok oposisi di berbagai arena, seperti mantan tentara dalam Petisi 50, atau gerakan-gerakan mahasiswa di kampus yang berlindung di balik kebebasan akademis.
Kajian tentang gerakan oposisi di Indonesia sempat hirukpikuk dinamikanya sesaat sesudah rezim otoritarian hancur di Indonesia. Seba-gian besar kajian ini memuji prestasi gerakan oposisi di Indonesia (Uhlin, 1999). Meski pada beberapa tahun berikutnya, nada skeptis mulai dite-mukan dalam kajian-kajian yang melihat bahwa tidak banyak yang berubah pascaperubahan politik. Meski harus diakui bahwa dari segi kuantitas, perubahan politik telah menciptakan kepercayaan diri masyarakat Indonesia yang ditandai dengan maraknya gerakan-gerakan kemasyarakatan, sembari berargumentasikan bahwa telah ada yang berubah sejak rezim berganti yakni menguatnya masyarakat, dan karena-nya ada potensi besar perubahan politik makro negeri ini (Kusuma & Agustina, 2004).
“Demokrat Mengambang” (Priyono,et. all., 2003:xv). Yang tidak terlalu jauh berbeda dengan “massa mengambang” yakni depolitisasi peran politik warga negara indonesia di masa Orde Baru yang melarang eksis-tensi partai politik dan semua jenis aktivitas politik sampai ke desa. Sela-in itu, keterlibatan sedikit orang, dengan latar belakang sosial dan pendi-dikan yang kuat dalam gerakan oposisi Indonesia ini memunculkan oto-kritik, bahwa oposisi Indonesia kental dengan watak elitisismenya (Budi-man & Tornquist, 2003). Gerakan ini berputar di kalangan yang sangat terbatas, dan tidak pernah benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat.
L esson learneddari kedua kajian ini adalah perlunya mendefinisikan ulang
target, gerak langkah gerakan prodemokrasi di Indonesia dari yang lama yang memfokuskan diri pada strategi melawan negara dan politik, semba-ri melakukan lobi-lobi, menjadi gerakan yang membesemba-ri perhatian pada masyarakat bawah, dengan tetap melakukan perlawanan pada negara. Penekanan pada basis konstituen yang kuat dan solid membedakan kedua pola gerakan ini.
Kajian kontemporer tentang gerakan oposisi di Indonesia ini, da-lam hemat penulis, masih meletakkan dirinya pada sebuah tipologi gerak-an ygerak-ang disebut Touraine (1985) sebagai “historical movement”, sebuah jenis gerakan dengan target dasar mengubah kualitas kehidupan dengan cara melakukan kontrol dan kritik pada pemerintah yang sedang ber-langsung (lihat Tourine 1985: 776). Dalam konteks gerakan sosial baru, Touraine mengargumentasikan bahwa pilihan ini memiliki keterbatasan karena dasar analisa dalam gerakan ini berfokus pada analisa kelas. Pada-hal, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak kajian, ada kompleksitas yang melatari motivasi orang mau bergabung dengan oposisi, dan bukan semata-mata karena kepentingan kelasnya. Soal kedua dalam kajian ten-tang gerakan oposisi kontemporer adalah, bahwa bentuk gerakan oposisi masih mewujud pada bentuk klasikal; dari segi isu berkutat pada gerak-an koreksi pada rezim, denggerak-anscope yang bisa lokal dan nasional. Menurut hemat penulis ini perlu diperluas, menyangkut sesuatu isu yang sepele dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang kuat, dan bersifat sehari-hari.
Oposisi danNew Social Movement
atauthe new social movement (NSM) lebih kaya. NSM tidak berpretensi mengubah masyarakat. Didasari oleh pemahaman tentang limitasi analisa kelas dan kompleksitas individu bergabung dengan sebuah gerakan sosial, koreksi-koreksi terhadap teoretiasai gerakan sosial telah meramaikan ka-jian ini sejak 1985.
NSM ditandai dengan reorientasi gerakan sosial yang tidak lagi berbentuk gerakan-gerakanunionatau perserikatan, partai politik, mela-inkan berwujud gerakan akar rumput, bersifathorisontal grass root politics. Agen yang terlibat dalam gerakan ini mengalami perluasan dari aktor-aktor gerakan “klasik” berbasiskan kelas, asosiasi, kelompok kepentingan. Pemahaman yang lebih dalam bahwa pengalaman sosial bersifat
multi-facet, dan ini lebih tentang pengalaman individual, daripada pengalaman
kolektif; dan di tengah konteks perubahan yang makin tidak terduga arahnya, agen dan jenis gerakan yang berlangsung saat ini jauh lebih kompleks dari yang pernah dirumuskan konsep leninisme tentang gerakan opososi atau gerakan sosial. Leninisme mereduksi semua hal menjadi semata-mata persoalan politik (Melluci, 1988: 219). Aktor sosial, perso-alan sosial, pengetahuan tentang situasi sosial dibaca semata-mata seba-gai persoalan politik. Cara pandang ini, menurut Melluci, masih meme-ngaruhi cara kita membaca gerakan sosial yang selalu harus melibatkan prestasi gerakan yang serba hebat, seperti meruntuhkan sistem politik, dan sistem ekonomi dominan.
Bentuk baru dari gerakan sosial ini, pertama, lebih berorientasi sebagai gerakan kultural, karena gerakan inilah yang menjadi pabrik ide, simbol, yang dengan-nya individu memahami hidupnya. Pabrik-pabrik ini terentang mulai dari universitas sampai rumah produksi dengan kerja-kerja ide-nya yang tervisualisasi di lewat layar kaca. Gerakan inilah yang sentral dalam gerakan sosial baru. Kedua,new social movement, berbasiskan pada isu-isu konsumsi sehari-hari, yang menyangkut kehidupan orang banyak, seperti isu perumahan, air bersih, kesehatan, transportasi umum, atau singkatnya isu tentang pelayanan publik yang langsung menyangkut kepentingan warganegara (Melluci, 1988:228). Target gerakan-gerakan ini menyangkut perbaikan kualitas penyedia pelayanan tersebut di atas yang meliputi pemerintah dan swasta. Ambisi gerakan ini beredar pada arena itu, tanpa tendensi menjatuhkan rezim yang menguasai pengambilan kebijakan transportasi di kota besar, seperti Jakarta misalnya.
yang tidak netral. Dari sistem informasi ini pemahaman terbangun, me-lalui mana orang mempersepsikan kenyataan, sebuah sistem informasi yang kemudian menjadi sangat strategis untuk dimanfaatkan guna mem-bangun strategi kebudayaan, yang pada gilirannya menjadi rujukan. Ke-dua, sistem ini menjadi bagian dari sistem global dengan batas-batas fisik yang makin kabur. Ketiga, proses terakhir ini diiringi oleh individu-alisasi, sebuah proses yang bukan berarti menyangkut isolasi atau terce-rabutnya individu dari individu yang lain (Melucci, 1988: 205).
Konseptualisasi individualisasi ini dipikirkan oleh kalangan ilmuwan sosial, seperti Ulrich Beck, Anthony Giddens, dll., ketika membahas konsekuensi-konsekuensi perkembangan kehidupan kekinian yang disebut-nya sebagai “reflexive modernization”, yakni sebuah perkembangan moderni-tas tingkat lanjut yang karakternya sama sekali berbeda dengan modernimoderni-tas yang lahir di awal masa pencerahan. Modernitas lanjutan ini bersifat longgar dan berskala besar, yang bentuk konkretnya adalahindustrial
society. Kelahiran yang terakhir ini bukan sesuatu yang terencana tidak
terkontrol. Banyak juga kalangan yang menyebut tipe modernitas ini sebagairadical modernity.Ia mematahkan janji gagasan ini di awal kela-hirannya di abad pencerahan, yakni perubahan-perubahan yang sistematis dan berujung pada kehidupan manusia yang lebih cemerlang di masa depan. Yang terjadi malah sebaliknya,radical modernityini menghancurkan suatu entitas masyarakat yang dilahirkannya sendiri, yakni masyarakat industrial. Penghancurannya tidak melalui revolusi, melainkan akibat dari kemenang-an ykemenang-ang diperoleh oleh masyarakat industri ini (Beck, 1995: 2-5).
Individualisasi adalah salah satu produk dari perkembangan mo-dernitas ini. Ia bukan berarti fenomena kesepiannya individu akibat terce-rabutnya individu dari lingkungan sosialnya. Tipe individualiasi ini ter-konstruksi melalui proses kompleks dengan konteks masyarakat industri. Individualisasi juga bukan terjadi karena kebetulan, bukan berskala indi-vidual, dengan tidak terjadi secara sukarela, dan tidak juga melalui berba-gai tahapan perkembangan kehidupan sosial, melainkan terjadi pada saat yang sama dalam konteks kelimpahan ekonomi yang berlangsung sejak tahun ‘70-an (Beck, 1995: 13).
pene-kan, dll’.Sub politicsini dikenal juga sebagaisecondary reality of political
practices. E ntitas baru ini kemudian menyaingi kepolitikan lama dan tidak
menghilangkan eksistensi yang lama, melainkan berlangsung kompeti-tif antara level dan tipe kepolitikan. Politik sebagaimana yang kita paha-mi, yakni menyangkut kerja kekuasaan dalam arena pemerintahan se-hari-hari, di tingkat masyarakat telah ditandingi oleh fenomena seperti bekerjanya politik global, kelahiran jaringan baru di luar politik yang kita kenal sehari-hari. Pemecahan masalah kehidupan sehari-hari ber-langsung di wilayah-wilayah baru ini, bukan hasil kesepakatan antarne-gara, antarpemerintah sebagai pemegang otoritas lama. Pengaturan politik informal dalam banyak kasus di negara lain terbukti lebih men-jawab persoalan ketimbang cara lama. Dikaitkan dengan konstitusi misalnya, yang selama ini dianggap sebagai dasar bagi pengaturan ke-hidupan politik, justru dipermasalahkan dalam logika politik baru ini,
we quarrel about the rule of the games themselves.
Oposisi Baru dan Perluasan Makna Politik
Kelahiransubpoliticsini mendasarkan dirinya pada makna politik yang tidak lagi sebagai alat regulatif. Dalam ilmu sosial kajian politik dengan corak makna yang berbeda telah dimulai sebagaimana yang dilakukan oleh Giddens dan di periode sebelumnya oleh Foucault, dan ilmuwan politik lain. Merekalah yang meletakkan kerangka pikir tentang makna politik baru yang menandai perubahan karakter dan topografi ilmu politik.
Kekuasaan bagi Giddens adalahkapasitas mentransformasi,yang se-cara ideal digunakan untuk menciptakan perbedaan di dunia ini. Semua tindakan yang memungkinkan bagi proses transformasi masuk dalam kategori kekuasaan. Lebih lanjut lagi, buat Giddens, tindakan sosial (social
action) yang dilakukan oleh individu dapat dipastikan akan membawa
implikasi pada penciptaan perbedaan dalam kehidupan. Karena itu, ber-dasarkan definisi ini, setiap individu berarti memiliki kapasitas transfor-matif dan karenanya memiliki kekuasaan,all individuals human agent have
power.Yang membedakan operasi kekuasaan satu individu dengan
indivi-du yang lain adalah pemilikan sumberdaya (resources). Giddens membe-dakan dua sumberdaya ini, yakniallocative resources’pemilikan akan se-suatu yang bersifat fisik’ danauthoritative resources’kemampuan mengon-trol terhadap aktivitas orang lain’ (Giddens, 1992).
kekuasaan”, atau setidaknya berperan sebagai institusi perantara (mediasi) bagi bekerjanya kekuasaan. Sekolah, misalnya, lewat penerapan aturan-aturan, menjadi institusi perantara bagi mekanisme pengontrolan individu untuk menciptakan ketertiban. Ketertiban ini kemudian mengakar dalam kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya menyumbang bagi pemben-tukan aktivitas kolektif warga di sekolah. Gagasan kekuasaan yang berlo-kus pada institusi sosial sebagai institusi perantara tempat dimana ope-rasi kekuasaan berlangsung, menjadi dasar pemahamaneveryday politics, orsubpolitics. Unit-unit sosial seperti sekolah, kantor, tempat ibadah, rumah, bagi Giddens sama pentingnya dengan lembaga-lembaga tradisional seperti lembaga perwakilan, lembaga kepresidenan, atau lembaga-lem-baga di masyarakat seperti LSM.
Pemikir kedua yang penting dalam sumbangannya terhadap beker-janya kekuasaan adalah Michel Foucault, seorang pemikir Perancis yang juga menyumbang pemikiran penting dalam ilmu sosial, yang kemudian bermanfaat bagi ilmu politik. Gagasan utama Foucault tentang kekuasaan menyangkut relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Di dalam semua pengetahuan yang dimiliki peradaban manusia saat ini beroperasi kekuasa-an. Pengetahuan yang kemudian berkembang luas, tersistematisasi lewat sistem kodifikasi, selanjutnya dikuatkan lewat wacana, yang pada gi-lirannya menjadi “kekuasaan”. K arena itu yang lebih penting bagi Fou-cault adalah bagaimana proses sesuatu bisa berubah menjadi kekuasa-an, yang lebih menyangkutteknik,atau cara yang lahir dari aktivitas ilmu pengetahuan.Power exercised on the body is conceived as not as a property, but as a strategy,karena itu, power is not appropriations (positive meaning), but to dispo-sitions, maneuvers, tactics, techniques, that one should decipher in it a networks of
relations(Foucault, 1972: 26). K arena relasi ini, perhatian bagi operasi
kekuasaan yang terpenting bagi Foucault adalah diskursus pengetahuan, yakni cara bagaimana ide dan pemahaman akan sesuatu direpresentasi-kan dan direproduksi melalui bahasa yang dengannya manusia memaknai kenyataan (Foucault, 1972). Definisi ini yang kemudian menjelaskan bagaimana Foucault memaparkan bekerjanya gagasanpower tidak semata-mata melalui lembaga-lembaga formal politik seperti birokrasi, sistem pemilu, kerusuhan sosial, melainkan juga melalui institusi-institusi mikro, seperti rumah sakit jiwa dan penjara.
dan melalui mereka juga.Kedua, kekuasaan bekerja sampai ke jantung masyarakat. Kekuasaan tidak terletak pada relasi antara Negara dan masyarakatnya, atau relasi antarkelas, dan tidak bereproduksi di tingkat individual, unit-unit tunggal, perilaku, atau bentuk umum produk hukum sebuah Negara. Tidak adaanology danhomology kalau kita bicara kekuasaan. Yang ada adalah mekanisme khas danmodality.Ketiga, kekuasaan tidak bersifatunivocal. Kekuasaan sebatas mendefinisikan poin-poin konfrontasi yang mungkin muncul, memfokuskan pada instabilitas, masing-masng fokus itu memiliki resiko konflik, pertentangan.
Gagasan kekuasaan ini menyaring dengan sendirinya subjek kaji-an politik. Analisa Foucaultikaji-an tidak akkaji-an mengurusi pertkaji-anyakaji-an ’bagai-mana nasib gerakan oposisi masa depan di Indonesia?’ Atau, ’bagaima-na memperkuat gerakan oposisi agar lebih efektif dalam pencapaian targetnya?’ Yang lebih menjadiconcern analisa Foucaultian adalah
bagaima-nadiscoursetentang ’peran oposisi sebagai pendukung penciptaan sistem
pencalonan presiden? Bagaimana relasi pengetahuan medis dan kekuasa-an ini terbkekuasa-angun? Bagaimkekuasa-ana sejarahnya? Dst.
Catatan Akhir
Menurut hemat penulis, dua cerita tentang cara pandang dalam ge-rakan sosial baru dan pemahaman makna politik yang meluas diperlu-kan untuk membaca geradiperlu-kan oposisi, khususnya di Indonesia. Geradiperlu-kan oposisi tidak sebatas gerakan antirezim otoritarian, melainkan berbasis isu sehari-hari yang sering kali tidak memiliki kaitan dengan gerakan penumbangan rezim, atau gerakan dengan target perbaikan kehidupan masyarakat. Format gerakan oposisi menjadi sesuatu yang amat dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, berbasis individual, bersifat cair, ad-hoc. Relevansi ideologi dan format gerakan oposisi ini makin penting kalau kita sepakat bahwa kekuasaaan pada dasarnya adalah soal
teknik penundukan,sebagaimana Foucault memahaminya. Teknik
Referensi
Budiman, A & Tornquist, O (ed.). 1992.A ktor D emokrasi: Catatan
Ten-tang Gerakan Perlawanan di Indonesia,Jakarta: ISAI
Cohen. 1985. “Strategy or Identity: New Theoretical Paradigms and Contemporary Social Movement”, dalam Social Research 52 (4): 663-716.
Giddens, A. 1992.The Constitution of Society: Outline of the Theory of Struc-turation,University of California Press.
Hajer & Wagenaar (ed.). 2003.,D eliberative Policy A nalysis,Oxford.
Ionescu, G & de Madariaga, I. 1968.Opposition,Pelican Book, Penguin.
Kendall & Wickham (1999),Using Foucault’s Methods,Sage Publications.
N Kusuma & Fitria Agustina (ed.). 2004.Gelombang Perlawanan R akyat,
Seri Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: INSIST Press
Priyono, AE, et all (ed.). 2003. Gerakan D emokrasi di Indonesia
Pasca-Soeharto, Jakarta: DE MOS.
Scott, James. 1990,D omination and the A rt of Resistance: Hidden
Tran-scripts,New Haven and London: Yale University Press.
Touraine, A. 1985, “An Introduction to the Study of Social Move-ments”, dalamSocial Research52 (4), 749-787.
Uhlin, A. 1998.Oposisi Berserak: A rus D eras Gelombang D emokratisasi
Pengantar
Kemenangan kelompok konservatif, Partai Re-publik, dalam pemilu di Amerika Serikat tahun 2004— yang memilih kembali George W Bush sebagai presiden—cukup mengejutkan sebagian orang. Bagi mereka, kemenangan Bush merupa-kan suatu ironi dalam demokrasi Amerika yang berumur lebih dari dua abad itu. Salah satu argu-men mereka, karena sebagian besar dari pemilih
(voters) yang memberikan suara-nya bagi Bush
jus-tru datang dari kelompok kelas pekerja (working
class) yang selama ini justru kurang diuntungkan
oleh kebijakan-kebijakan Bush, yang dulu merupakan pemilih tradisio-nal bagi partai yang pro terhadap pergerakan buruh, yakni Partai De-mokrat, oposisi Bush. Hal yang sama juga terjadi di Australia, dimana Partai Buruh kalah dalam pemilu yang dimenangkan kembali oleh John Howard dan Partai Liberal berhasil mempertahankan kekuasaannya se-lama hampir satu windu. Di Inggris, meskipun Partai Buruh
memenang-Memetakan Lokasi
bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial
Arie Setyaningrum
** Arie Setyaningrum adalah staf pengajar pada jurusan Sosiologi-Fisipol dan peneliti
kan kembali pemilu, akan tetapi banyak pengamat politik yang menga-takan bahwa Partai Buruh Inggris sudah tidak lagi mencerminkan kar-akteristik partai politik-kiri. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang berorientasi pada pasar, yang dulu justru diperjuangkan oleh kel-ompok konservatif. Sementara di belahan bumi selatan, negara-negara Dunia Ketiga baru mulai merayakan “demokrasi” liberal di tengah-tengah ketidakpastian peta politik-ekonomi global yang secara potensial membawa resiko di dalam relasi vertikal antara “state – citizens”, maupun resiko sosial lainnya yang bersifat horisontal (seperti misalnya, konflik antaranggota masyarakat).
Resiko sosial baik dalam relasi vertikal maupun horisontal suatu negara-bangsa kini juga ditandai oleh tuntutan atas ruang politik yang lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme. Meskipun, praktek multikulturalisme bukan berarti tidak melahirkan resiko sosial lain yang tersendiri, misalnya potensi konflik dalam kemunculan politik etnisitas, hegemoni budaya-kelompok mayoritas atau sebaliknya, opresi (penin-dasan) budaya-kelompok minoritas, dan lain-lain. Kemenangan rezim politik di berbagai belahan dunia masa kini merupakan wujud dari keme-nangan “politik representasi” (the politics of representation). Politik represen-tasi merupakan konstruksi politik yang memungkinkan sekelompok orang mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sebagai bagian dari suatu kolektivitas tertentu dimana praktek dalam proses identifikasi itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik. Kemenangan rezim Bush dan sekutu-sekutunya bukan hanya merupakan kemenangan simbolis, melainkan juga kemenangan politik secara riil dari sekelompok orang yang mengusung wacana politik persebaran ketakutan melalui isu ancam-an-ancaman baru bagi terjadinya benturan dalam peradaban manusia, sebagaimana yang direpresentasikan melalui praktek terorisme (Noam Chomsky, 2004). Bekerjanya politik representasi juga kita saksikan di Indonesia, khususnya dalam kesempatan pemilu dimana SBY meme-nangkan citra-nya sebagai “representasi orang-biasa” dan meruntuhkan citra Megawati sebagai “representasiwong-cilik”.
sirkuit kebudayaan yang melahirkan “representasi” merupakan suatu relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang meli-batkan regulasi (pengaturan-pengaturan) dan siklus konsumsi-produksi di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, serta interaksi ketiganya (re-gulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas kita.
Dalam konteks Amerika Serikat pascatragedi 11 September 2001, dukungan para kelas pekerja bagi rezim Bush diperoleh melalui politik representasi atas isu-isu yang dianggap “mengancam” identitas kolektif sekelompok orang, misalnya ancaman terhadap nasionalisme Amerika dan ancaman-ancaman yang dianggap dapat mengikis otoritas kolekti-vitas tradisional lainnya (keluarga atau agama/gereja). Hal ini misalnya ditandai dalam persaingan kampanye kandidat presiden antara John Kerry (Partai Demokrat) dan George Bush (Partai Republik) dalam menyikapi isu-isu pro-kontra terhadap gerakan politik kaum homoseksu-al, atau bahkan pro-kontra terhadap isu mengenai praktek aborsi yang selama ini banyak didukung oleh kelompok feminis yang melihat tubuh perempuan sebagai sarana bagi komodifikasi politik dan intervensi nega-ra.1 Banyak kelas pekerja di Amerika saat ini menganggap bahwa
ancam-an bagi dominasi peradabancam-an mereka dikarenakancam-an ambiguitas yancam-ang dila-hirkan oleh demokrasi liberal sehingga memungkinkan munculnya otori-tas baru2 yang dianggap mengancam eksistensi otoritas lama seperti
1 Kritik terhadap ironi demokrasi di dalam pemerintahan Bush banyak dimuat oleh
media cetak di Amerika Serikat sepertiL os A ngeles TimesdanThe Washington Post
selama kurun waktu kampanye Pemilu Presiden 2004 yang secara
terang-terang-an meng-counterdan mengkritik kampanye politik Bush yang
meng-konstruksi-kan dirinya sebagai simbol dari kepentingan “the ordinary people“ (rakyat biasa). Kritik terhadap persebaran politik ketakutan di dalam tradisi kultural dan praktek politik Amerika juga didokumentasikan oleh sutradara film dokumenter-indepen-den, Michael Moore, dalam film-nya “Bowling for Columbine” yang dibuat pada tahun 2002. Sementara itu, jaringan media elektronik (TV) di Amerika yang bersifat oligarkis justru dianggap “kurang merepresentasikan” konvergensi wacana demokrasi partisipatif dan menjadi sarana/alat politik rezim yang paling berpenga-ruh di dalam pembentukan “public attitude”. Akibatnya, informasi yang mengalir bagi publik menjadi tidak seimbang karena semakin mempersempit ruang-gerak kultur opisisi. Untuk kritik lebih lanjut mengenai bias peran media elektronik AS dapat kita telusuri di media elektronik-internet dari kelompok oposisi-media watch independentdi portal sepertiFair/Fairness and A ccuracy in R eporting: http// www.fair.org.
2 Ancaman dari otoritas baru ini, misalnya dimunculkan oleh gerakan politik kaum
institusi agama maupun keluarga. Oleh karena itu, para pendukung Bush justru sebagian besar berasal dari latar belakang kelas pekerja-tradisonal (seperti petani) yang mendukung upaya untuk melanjutkan proyek pene-muan kembali “patriotisme” Amerika. Wacana mengenai ancaman ter-hadap kolektivitas (khususnya nasionalisme) di Amerika Serikat bukan hanya menjadi komoditas politik di dalam negeri mereka saja, melain-kan juga diproyeksimelain-kan pada hubungan luar negeri mereka.
Di Indonesia, transisi demokrasi yang salah satunya ditandai oleh pemilu presiden (pilpres) secara langsung juga telah memungkinkan ruang yang lebih luas bagi dimulainya suatu mekanisme bekerjanya politik pencitraan (politics of image) bagi dukungan populis untuk suatu kekuasa-an ykekuasa-ang dikekuasa-anggap mampu membuka rukekuasa-ang bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi publik.3 Sementara itu, agenda pembangunan demokrasi
di banyak negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat), yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang ketidakadilan dan ke-tidaksetara-an (global spaces of injustice and inequality). Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepenting-an untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dkepenting-an praktek demokrasi ykepenting-ang memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga itu. Secara khusus, intervensi ini mewakili kepen-tingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang me-mungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupa-kan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktek-praktek demokrasi yang distorsif.
tuntutan semacam itu akan mengikis loyalitas lama (tradisional) kita pada otoritas tradisional yang selama ini diyakini menjadi dasar fundamental dalam relasi sosial.
3 Kemenangan SBY di dalam pilpres menurut pengamat komunikasi politik E ffendi
Ghazali merupakan keberhasilan dari mekanisme “politik pencitraan” (politics of image). Politik pencitraan memperoleh mekanismenya melalui pemanfaatan media secara simbolik yang dapat memobilisasi dukungan populis bagi suatu
kepenting-an politik. Dalam harikepenting-anKompas—medio Oktober 2004, E ffendi Ghazali
Meskipun di dalam realitas politik kontemporer tersebut kita masih mendapati relasi kekuasaan yang bersifat “biner” (dikotomis), akan tetapi kompleksitas bekerjanya kekuasaan di dalam relasi sosial saat ini tidak dapat hanya dipahami secara sederhana sebagai dua polarisasi. Gambar-an di muka menunjukkGambar-an bagaimGambar-ana konstruksi mengenai identitas memiliki signifikansi untuk memobilisasi tujuan-tujuan politik. Dengan demikian, identitas menjadi bagian yang signifikan di dalam relasi yang
Merepresentasikan Identitas
Sebagai Kepentingan Artikulatif Poskolonial
Kebanyakan literatur, baik politik maupun sosiologi, melakukan ka-tegorisasi identitas ke dalam dunia kategori utama, yakni: identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasiona-litas dan kewarganegaraan—citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas poli-tik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Dikarenakan identitas juga menyakut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berka-itan erat dengan konstruksi mengenai “perbedaan” (difference). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identi-tas” (politics of identity); identitas politik merupakan konstruksi yang me-nentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.4
Dalam konteks dimana identitas dimobilisasi bagi kepentingan artikulatif, tersedia peluang-peluang bagi munculnya klaim-klaim ter-hadap “identitas sosial-politik baru” yang secara politis memunculkan kondisi yang dilematis dari perkembangan masyarakat kontemporer. Di satu sisi, wilayah (ruang) politik bagi klaim identitas baru tersebut dapat melahirkan peluang-peluang konflik. Sementara di sisi lain, penga-turan-pengaturan politik, yang menjamin berlangsungnya suatu proses kesetaraan melalui demokrasi liberal, dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pengakuan publik dan pengorganisasian politik dari klaim-klaim identitas baru tadi, yang secara potensial memunculkan kon-flik. Situasi semacam inilah yang membuat kita perlu merefleksikan kem-bali kaitan antara identitas sosial dan identitas politik yang secara dinamis memengaruhi upaya-upaya mengartikulasikan kepentingan politik seke-lompok orang. Sehingga pengategorian “identitas” tidak dapat lagi secara
4 Pembahasan lebih lanjut mengenai dinamika interaksi identitas sosial dan
identi-tas politik sebagai sumber konstruksi politik identiidenti-tas dapat kita temukan dalam pandangan Linda Martin Alcoff (Alcoff, Linda Martin. 2003. “Identities:
Mod-ern and PostmodMod-ern”, in Alcoff, L.M, and Mendietta, E . (eds),Identities: Race,
sederhana kita pahami sebatas polarisasi identitas “sosial atau politik”. Ini tidak lain dikarenakan identitas sosial atau budaya seseorang, misalnya yang didasari oleh sistem kelas (bawah, menengah, atas), seksualitas (hetero-seksual, homoseksual), agama (Islam, Kristen, dan lain-lain), merupakan sumber bagi pembentukan identitas politik dan karenanya signifikan bagi mobilisasi politik identitas.
Alasan mengapa kita perlu memproblematisasi konsep mengenai identitas dalam konteks poskolonial dilandasi oleh argumen bahwasanya formasi (pembentukan) identitas sebagai suatu kepentingan politik ber-akar di dalam agensi sosial yang dipengaruhi oleh efek-efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang akibatkan oleh kolonialisme. Kon-sekuensi dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globali-sasi. Sebagaimana hal-nya efek kolonialisme, globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”.5 Sama halnya dengan
konsep yang dikembangkan mengenai kondisi-kondisi apa yang berlang-sung di dalam “posmodernitas”, maka “poskolonialitas” menandai suatu keadaan (situasi) dunia kontemporer yang menggarisbawahi“a
move-ment beyond”—suatu gerakan yang melampaui situasi (kondisi) masyarakat
sebelumnya.6
Studi (pendekatan) poskolonial yang diaplikasikan di sini bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (
ex-colonies), meskipun penggunaan istilah “poskolonial” sendiri
diterjemah-kan secara beragam dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Aditerjemah-kan tetapi, kerangka konsep poskolonial maupun penggunaannya difokus-kan pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik” (Ash-croff, Griffith dan Tiffin, 1998:187). Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman
5 Pandangan yang mengkaitkan formasi pembentukan politik identitas sebagai
kon-sekuensi dari keberlanjutan kondisi-kondisi poskolonial dikemukakan oleh
Ar-turo E scobar (E scobar. 1995,E ncountering Development, The Making and Unmaking
of the T hird World. Princeton-NJ: Princeton University Press); dan Lila Abu-Lughod (Abu-Abu-Lughod. 1995. “Going beyond global-babble”, in A.D King (ed), Culture, Globalisation and the World-System. Basingstoke: Mac-Millan Publisher)
6 Penjelasan lebih lanjut yang membandingkan “kondisi posmodernitas” dengan
“poskolonialitas” dikemukakan oleh E lla Shohat (Shohat, E lla. 1992. “Notes on
kolonial. Pendekatan poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana me-ngenai relasi“the West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) lain-yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner (con-tohnya:developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain).7 Efek
kolo-nialisme juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas ke-tidakaman-an (insecurity) dan ketidakstabilan yang melahirkan resistensi. Oleh karena itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga merupakan hasil dari tatanan inter-nasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan kolonial Eropa. Dengan kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak terkontaminasi oleh sistem Barat yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak lagi bersifat otentik dan karenanya melahirkan “hibriditas sekaligus ambivalensi” da-lam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat). Penempatan istilah “hibrid” menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk menggam-barkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk sementara sekaligus juga meniada-kan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Bhabha menambahmeniada-kan bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan politik mereka.
Hibriditas sekaligus ambivalensi itu kita temukan dalam karakter-istik masyarakat dan relasi sosial Dunia Ketiga yang dipengaruhi proyek-proyek modernitas Barat, misalnyaattitude—penyikapan terhadap
“pem-7 Stuart Hall mengajukan kritik terhadap konsep “the West and the Rest“ sebagai
representasi wacana pembangunan, melainkan juga orang—manusia— nya. Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini, misalnya, dipelo-pori oleh Vandana Shiva yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek modernitas Barat.8
Meskipun upaya yang dirintis oleh Vandana Shiva pada awalnya hanya merupakan gerakan yang bersifat lokal, akan tetapi globalisasi yang me-mungkinkan suatu gerakan ditransformasikan melalui diseminasi wacana dan difasilitasi oleh teknologi telah membuat gerakan alternatif semacam itu kini mulai melintasi batas-batas nasional (transnasional).
Identitas politik di dalam konteks poskolonial berkenaan dengan representasi subjek atau kesadaran seseorang yang dikonstruksikan oleh berbagai aspek di dalam relasi sosial, seperti: kelas, gender, ras, seksuali-tas, dan etnisitas. Kelas, ras, dan etnisiseksuali-tas, misalnya, dapat dikonsipirasi untuk suatu proyek pembentukan identitas nasional. Gender juga memi-liki pengaruh sinergis sebagai sumber imajer bagi konstruksi identitas nasional, misalnya lewat pengungkapan dan simbol-simbol gender yang dibagi bersama sebagai ikatan kolektif, contohnya konsep mengenai
“Motherland-Fatherland”. Sehingga konstruksi identitas berawal dari
sum-ber-sumber imajiner yang menentukan posisi atau lokasi kita dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, karena identitas berkenaan dengan “posisi—lokasi” subjek di dalam lokus sosial, maka identitas bukanlah suatu objek atau substansi yang bersifat esensial, melainkan situasional (Mendieta, 2003: 408). Menurut Foucault (1980), kemunculan negara-bangsa modern sebagai suatu unit identitas kolektif di dalam sistem dunia dimunculkan melalui domestifikasi dan regimentasi suatu organ sosial (social body) dimana nasionalisme dibangun dari kekuatan bio-politik,
8 Vandana Shiva mengatakan bahwa rasionalitas scientifik-moderen Barat
meman-dang “alam” sebagai objek eksploitasi dan konsumsi yang konsekuensi-nya meng-ancam keseimbangan ekologis dan relasi sosial. Ia mengatakan bahwa pengetahu-an “indigenous” menempatkpengetahu-an relasi pengetahu-antara alam dpengetahu-an mpengetahu-anusia sebagai suatu kelpengetahu-ang- kelang-sungan yang bersifat simbiotik dan refleksif. Ia juga mengidentifikasikan suatu kualitas relasi gender dalam rasionalitas Barat yang patriarkis, dimana alam dan manusia merupakan objek bagi penaklukan, sebaliknya nilai-nilai masyarakat India menekankan kualitas feminin melalui sifat-sifat, seperti “merawat
yakni politik dari organ sosial yang dibentuk oleh gender, kelas, dan ras. Regimentasi organ sosial dialami (berproses) dalam transformasi struk-tural sebagai hasil interaksi dalam globalisasi dan kondisi poskolonial.
Globalisasi disini merupakan proses integrasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya sebagai ‘konstelasi pos-nasional’ dimana suatu komu-nitas menghadapi kekuatan dan tantangan dari dinamika konstelasi terse-but (Habermas, 2001). Appadurai Arjun (1997) bahkan lebih jauh me-ngatakan bahwa efek ambiguitas dari globalisasi telah memunculkan suatu “etnisitas baru” khususnya dalam masyarakat trans-nasional yang menantang kondisi-kondisi maupun praktek politik di suatu negara (wilayah lain). Misalnya melalui kemunculan komunitas politik trans-nasional seperti international-NGO atau perjuangan politik kelompok diaspora (seperti: Gerakan Aceh Merdeka, atau Gerakan Papua Merde-ka). Appadurai juga mengatakan bahwa efek ambigu dari globalisasi telah memperluas bentuk-bentuk resistensi baik secara lokal maupun yang bersifat global dikarenakan tidak semua kelompok dapat secara penuh terlibat (engaged) di dalam proses globalisasi. Hal ini misalnya kita temui dalam munculnya kelompok antiglobalisasi, kelompok--kelompok yang memperjuangkan penghapusan hutang Dunia Ketiga dengan asumsi bahwa kemakmuran Dunia Pertama diperoleh melalui penjarahan kolonialisme di Dunia Ketiga.
Lokasi Bagi Politik Identitas
Realitas sebagaimana yang diungkapkan di muka, membawa kita pada suatu refleksi bahwasanya saat ini menteorisasi “kekuasaan” sebagai suatu dimensi penindasan yang bersifat tunggal (a singular dimension of oppres-sion), seperti penindasan di dalam struktur kelas, gender, atau ras, tidak lagi mampu menjelaskan kompleksitas dalam dunia kontemporer. Oleh karena itu diperlukan suatu penjelasan mengenai relasi antara berbagai dimensi penindasan dengan strategi-strategi resistensi. Salah satu pen-jelasan mengenai kondisi dominasi dalam dunia kontemporer diajukan oleh Friedric Jameson (1991), yang menyarankan bahwa pola-pola dominasi dalam dunia kontemporer dapat kita bedakan dari pola-pola sebelumnya (masa lalu) melalui dominasi dalam kehidupan sosial mau-pun budaya oleh logika pengorganisasian yang bersifat“spatial” (ruang-/sekat-sekat), dan bukan karena waktu (time) atau perubahan zaman.
“I think that it is at least empirically arguable that our daily life, our psychic experience, our cultural language, are today dominated by categories of space rather than categories of time, as in the preceding of high modernism.” (Jame-son, 1991: 16)
Menurut Jameson, ada tiga fase mendasar dalam perkembangan “logika spasial” suatu masyarakat di bawah kapitalisme. Fase pertama,
market capitalism didominasi melalui logika spasial yang berlangsung di
dalam jaringan (networks). Di dalam fase kedua, yaknimonopoly capitalism,
pengertian mengenai “ruang” ternafikan (ditiadakan) dan digantikan oleh praktek riil yang menentukan relasi sosial. Sedangkan, dalam fase ketiga,
multinational (postmodern) capitalismmenunjuk kepada logika spasial yang
secara simultan bersifat homogen dan terfragmentasi—semacam suatu
“schizo-space” (ruang/sekat dimana terjadi halusinasi/kontradiksi). Lebih
jauh Jameson menambahkan bahwa “ruang/sekat schizo” menjadi pe-nanda dari zaman terkini dimana loyalitas lama terhadap kelas, atau gender, fragmentasi ras, dislokasi, kekacauan, keterpecahan, ketersebaran “bercampur-aduk” dengan loyalitas baru terhadap kelas, gender, keter-libatan rasial, dan kemandegan sosial-budaya. Tidak ada seorang-pun meyakini, landasan macam apa yang mereka sedang perjuangkan, atau tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan semacam ini, Jame-son mengatakan bahwa “subjek telah mati”. Sebagaimana yang dikatakan-nya:
lokal-grassroot dengan nasional atau internasional. Dilema semacam inilah yang sedang berlangsung saat ini dalam mempertanyakan ruang internasional
yang lebih kompleks.”(Jameson, 1991:413)
Dalam menanggapi fenomena lumpuh-nya politik saat ini, Jame-son mengembangkan suatu konsep mengenai “ruang dan tindakan politik” yang disebut sebagai “cognitive mapping” (pemetaan kognitif). Pemetaan kognitif merupakan suatu bentuk dari budaya politik radikal dimana objek fundamental-nya adalah “the world space of multinational
capital” (ruang dunia kapital multinasional). Pemetaan kognitif merupakan
suatu kesadaran terhadap proses-proses global yang sedang berlangsung, sekaligus ketidakmampuan subyek di dalam meraih totalitas (seperti nilai-nilai atau ideologi yang mutlak). Pemetaan kognitif pula yang me-mungkinkan orang menyadari posisi mereka di dunia, dan karenanya memberikan sumber bagi resistensi dan penciptaan sejarah diri mereka sendiri. Jadi, logika kapital-lah yang menciptakan suatu perkembangan di dalam ruang ke-tidakadil-an. Oleh karena itu, menurut Jameson, diper-lukan “pemetaan terhadap ruang-ruang ketidakadilan semacam itu”, sehingga dapat menciptakan peluang bagi tumbuhnya “budaya-budaya oposisi” (oppositional cultures) dan gerakan sosial baru melawan kepentingan kapital sebagai suatu “situs (ruang) resistensi”.
Masalahnya, di dalam budaya oposisi, setiap orang “merepresen-tasikan” sekelompok orang yang lainnya pada saat yang bersamaan. Artinya, identitas dari posisi subjek dan gerakan politik dipahami secara simultan. Pada bagian awal digambarkan suatu ketakketerkaitan di dalam perilaku pemilih dalam pemilu, dimana sekelompok orang yang di-stereotipe-kan sebagai “kelas pekerja” justru memberikan suara bagi kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelas mereka. Disini, identitas menggantikan posisi subjek karena keadaan yang objektif atas identitas kemudian diartikulasikan oleh para politisi, akademisi, dan roha-niwan.9 Oleh karena itu, Jameson lebih jauh menganjurkan pentingnya
upaya untuk menemukan kembali “ruang resistensi”, yaitu sebagai:
“… Suatu ruang imajiner yang mampu membenturkan masa lalu lewat cara-cara baru dan membacanya sebagai suatu misteri yang belum terpecahkan oleh
9 Pendapat semacam ini dipelopori oleh pemikiran Gayatri Spivak tentang
ruang (sekat) struktural. Misteri ini, sebagaimana yang dapat kita temukan dalam tubuh, kehidupan kosmis, realitas kehidupan perkotaan, dan berbagai
struktur lainnya yang ditandai oleh pengorgarnisasian yang bersifatintagible
(non-material) di dalam kebudayaan, dorongan ekonomi, maupun dalam
ben-tuk-bentuk linguistik.”(Jameson, 1991: 364-5)
Di sini Jameson menekankan spesifikasi “ruang atau sekat” seba-gai sesuatu yang melahirkan posisi kesadaran subjek secara berbeda-beda. Sementara itu, E dward Soja, seorang pemikir politik beraliran postmodernisme, melihat bahwasanya “ruang” tersebut bukan sebagai sesuatu yang bebas dari kepentingan, melainkan dipenuhi oleh politik dan ideologi yang membawa konsekuensi kepada posisi kesadaran subyek:
“We must be insistently aware of how space can be made to hide consequences from us, how relations of power and dicipline are inscribed into the apparently innocent spatiality of social life, how human geographies become filled with politics and identity.” (Soja, 1989: 6)
Baik Friedric Jameson maupun E dward Soja sama-sama berargu-men bahwa “geografi dan sejarah kapitalisme” saling bersinggungan
(intersect) di dalam suatu proses sosial yang kompleks, yang menciptakan
kelanjutan suatu proses historis dalam ruang (sekat-sekat) sosial yang kontradiktif. Jadi, menurut keduanya, ruang atau sekat sosial semacam inilah yang menentukan batasan-batasan dari suatu “identitas”. Kemudian, apa sesungguhnya yang kita maksudkan sebagai “identitas” itu sendiri? Dan mengapa “identitas” menjadi sesuatu yang signifikan bagi tujuan-tujuan politik?
peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan kolektif yang saling berkompetisi dan, karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah bersifat deskriptif, melainkan bersifat normatif.
“Identity categories constitute multiple competing possible identities in which particular groups define themselves in a distinctive sense of belonging, identity
categories are never solely descriptive, but normative”(Butler, 1992: 15).
Pengenaan identitas kolektif sebagai sumberdaya sekaligus sarana politik di dalam realitas modern, secara sederhana kita temukan di dalam fenomena terbentuknya “negara-bangsa” (nation-state) dalam era posko-lonial, dimana beragam latarbelakang komunitas ras, suku-bangsa (et-nis), agama membentuk komunitas negara-bangsa. Konsepsi semacam inilah yang dikembangkan oleh Bennedict Anderson (1983) melalui tesis-nya mengenai“imagined communities” atau komunitas imajiner, dimana ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik bukan hanya suatu konstruksi politik semata, melainkan juga sebagai konstruksi budaya. Disini, ikatan terhadap kolektivitas bukan lagi didasari oleh kontak-kon-tak langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat de-ngan komunitas di lingkude-ngan sekitar (neighbourhood) atau di dalam suatu organisasi. Melainkan “diciptakan” oleh makna yang diproduksi melalui simbol-simbol dan praktek-praktek budaya yang saling dibagi bersama. Seperti penulisan sejarah, lagu-lagu kebangsaan, bendera, atau pengakuan bagi hari-hari besar nasional.
Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan kolektivitas yang peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struk-tur kelas, gender dan seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam gaya hidup (bentuk-bentuk konsumsi). Perkembangan di dalam dunia kontemporer saat ini menunjukkan bahwasanya identitas politik sangat-lah beragam dan klaim-klaim terhadap identitas “bukan” lagi menjadi monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan paternalistik dalam relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan negara. Tetapi juga menjadi wilayah bagi muncul-nya rezim-rezim “klaim-klaim kolektivitas baru” lintas kelas, ras, etnis, atau agama, misalnya, kelompok homoseksual. Klaim kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskur-sus politik-kebudayaan, misalnya pembedaan kelompok-kelompok libe-ral-fundamentalis, dan sebagainya.
yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?” Pertanyaan sederhana akan tetapi amat sulit untuk mencari jawaban yang dapat menjelaskan kom-pleksitas di dalam kaitan antara identitas sebagai sumberdaya dan sarana politik secara komprehensif. Ini tidak lain karena terminologi mengenai identitas politik tidak pernah definitif, apalagi konstruksi mengenai kate-gori-kategori di dalam identitas bersifat “cair dan fleksibel”.10 Rosalind
Brunt mendeskripsikan politik identitas sebagai:
“… politik sekelompok orang yang berangkat dari penekanan terhadap peng-akuan (dalam derajat tertentu) terhadap aktivitas politik dan upaya yang melibatkan suatu proses terus-menerus untuk menandai siapa diri kita dalam relasi kita dengan orang lain” (Brunt, 1989: 151).
Meski demikian, pandangan semacam itu ditentang oleh Jenny Bourne (1987), yang melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek politik yang bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu wujud eksploitasi keluar (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri subjek (manipulasi kesadaran), sebab yang dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk menekankan“Who
I am— Siapa Saya!” (Bourne, 1987:1). Pandangan yang dikemukakan
oleh Bourne ini sebenarnya secara implisit menafikan konsepsi menge-nai individu sebagai subjek atau manusia yang rasional, yang memiliki pengetahuan yang bukan hanya disituasikan (dikonstruksikan), melainkan juga pengetahuan untuk menciptakan situasi (konstruksi), dan memiliki kehendak bagi dirinya sendiri. Suatu perdebatan yang sebenarnya sudah lama berlangsung, yakni berkenaan dengan posisi subjektivitas sebagai suatu konstruksi sosial ataukah sebagai suatu esensi dari kondisi yang sudah ada dan tak terbantahkan (pre-given essence). Misalnya, apakah homo-seksualitas-heteroseksualitas merupakan konstruksi sosial atau diwarisi secara natural?
Posisi subjektivitas dalam relasi-nya dengan kondisi objektif se-sungguhnya bersifat dialektis, sesuatu yang gagal dipahami oleh Marx dalam penjelasannya mengenai “alienasi” (keterasingan) yang dialami oleh kaum buruh dengan barang-barang yang telah mereka produksi.
10 Arjun Appadurai berpendapat bahwasanya identitas bukan hanya suatu produk
dari kebudayaan, melainkan proses kebudayaan yang memobilisasikan perbe-daan-perbedaan di dalam relasi sosial (Lihat penjelasan: Appadurai, 1996
.”Dis-juncture and D ifference in the Global Cultural E conomy, dalam Modernity at
Kegagalan analisis Marx baru dapat dibuktikan hampir satu abad kemu-dian, ketika proses ambigu di dalam kapitalisme juga melahirkan kelas-kelas sosial baru, dimana kapitalisme bukan hanya mengubahmode of production ‘cara-cara memproduksi’, tetapi juga mengubahmode of
con-sumption ‘cara-cara mengonsumsi’ (George Ritzer, 2000). Menurut Liz
Bondi (1993), kegagalan diagnosis Marx termuat di dalam penjelasannya mengenai posisi subjektif di dalam relasinya dengan kondisi objektif, dimana kesadaran (conscioussness) merupakan suatu produk dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh relasi-relasi kelas, dan bukan sebagai suatu tindakan manusia (human action) yang rasional. Liz Bondi juga melanjut-kan bahwa gagasan yang diusung oleh Sigmund Freud memiliki asumsi yang setara (paralel) dengan gagasan Marx. Menurutnya, Freud melihat kesadaran (consciousness) sebagai sesuatu yang “dikonstruksikan” sebagai suatu respon atas ketidaksadaran (un-consciousness),dimana ketidaksadaran merupakan produk dari tekanan (represi) dari harapan atau kehendak-kehendak, khususnya yang kita alami di masa kanak-kanak. Jadi, dalam pemikiran Freud, ketidaksadaran individu “tidak dapat sepenuh-nya kita kenali secara langsung”, sehingga keberadaannya melahirkan bentuk-bentuk kesadaran yang manipulatif, tidak pernah sepenuhnya rasional, atau tidak pernah merasa betul-betul aman (secure). Liz Bondi menyim-pulkan bahwa pandangan Marx dan Freud telah menempatkan indivi-du sebagai suatu makhluk yang tidak dapat utuh, dan selalu tercerabut (Bondi, 1993: 87-91).
Meski demikian, Liz Bondi menegaskan bahwa pandangan sema-cam itu menjadi “tantangan” bagi formulasi perspektif humanisme-liberal Barat yang didasari oleh filsafat Cartesian mengenai “cogito”, yang menempatkan individu sebagai makhluk yang sepenuhnya mandiri ( auto-nomous), subyek yang sepenuhnya berdaulat (sovereign subject), dan karena-nya manusia memiliki kestabilan dan sulit teralienasi. Perspektif terse-but melihat kesatuan yang utuh dan mandiri di dalam diri individu, yang menciptakan basis bagi setiap orang (manusia) untuk mengidenti-fikasikan diri mereka satu sama lainnya sebagai makhluk yang “setara”
(equals) (ibid:85-7). Konsekuensi dari pandangan humanisme-liberal ini
kemudian menjadi dasar argumentasi bagi “tuntutan emansipatorik” (emansipatory necessities) sebagai “nilai-nilai kesetaraan” bagi seluruh manu-sia, dan karena itu pula mendorong upaya “hak-hak bagi kesetaraan”
(equal rights). Perspektif semacam inilah yang dominan di dalam sudut
sema-cam ini justru telah menjadi suatu mekanisme subordinasi, karena meng-anjurkan bentuk-bentuk universalitas yang menindas keberbedaan. Se-dangkan bentuk-bentuk “keberbedaan yang tertindas” (suppressed differen-ces) itu sendiri adalah perbedaan-perbedaan yang dilahirkan sebagai konse-kuensi dari ‘siapa yang menduduki posisi kekuasaan dan siapa saja yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan pengetahuan’.11
Ien Ang (2001), melihat pandangan demokrasi liberal-Barat sebagai suatu kualifikasi bagi kualitas kesetaraan yang memuat unsur-unsur di dalam hegemoni budaya Barat yang lahir dari sudut pandang kelas me-nengah (borjuis) kulit putih, sehingga klaim universalitas di dalam keseta-raan itu meniadakan peran politik kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan.12 Sementara itu, melanjutkan pemikiran yang
dikembang-kan oleh Liz Bondi; menurutnya, pandangan-pandangan yang dikemuka-kan oleh Marx dan Freud justru dapat membuka kemungkinan-kemung-kinan baru untuk mempertahankan klaim-klaim normatif bagi humanis-me-liberal, ketimbang sebagai suatu proyek egalitarian yang ambisius (1993: 86). Menurutnya, “identitas” yang membentuk kesadaran tentang diri kita sebagai individu maupun makhluk sosial dikonstruksikan melalui proses-proses kultural dan bukan bersifat “pre-given”. Konstruksi ini me-nyiratkan suatu proses kultural yang tidak memerlukan atribut-atribut
11 Pandangan semacam ini banyak dikemukakan oleh Michel Foucault yang melihat
relasi antara kekuasaan bukan sebagai suatu kategori biner, melainkan “distruk-turkan-oleh dan sekaligus menstrukturkan” pengetahuan (Lihat Michel
Fou-cault, 1980.Power/Knowledge,New York: Harvester Press)
12 Ien Ang melihat bahwasanya politik multikulturalisme yang dipraktekkan di
Barat atau yang dilandasi oleh humanisme liberal-Barat, hanyalah suatu “pera-yaan bagi keberbedaan” saja, karena sesungguhnya ruang-ruang bagi negosiasi politik dari berbagai kelompok yang multi-kultural itu “tetap” secara hegemonik dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang dominan. Studi Ien Ang ini diper-oleh melalui rekonstruksi kesadaran subjektif-nya yang tercerabut (displaced) dari ruang geografis dimana ia memperoleh identitas-nya sebagai “warga kosmopoli-tan” tanpa suatu akar identitas yang jelas. Dilahirkan sebagai seorang peranakan Cina, lahir di Surabaya dan mengalami masa kanak-kanak di zaman gelora “nasi-onalisme” Orde Lama yang memberi-nya identitas nasional pertama sebagai “orang Indonesia dan orang Cina yang tidak bisa berbahasa Cina”. Kemudian terusir dari “tanah kelahiran-nya” akibat tragedi politik penumpasan PKI dan membuatnya hidup sebagai “pengungsi-politik” di Belanda, dan saat ini justru hidup dan men-jadi warganegara Australia. Pengalaman itu, menurutnya, memberi suatu identitas yang tidak dapat lagi ia pertahankan melalui ikatan-ikatan kolektivitas lama.
(Lihat Ien Ang, 2001.On N ot Speaking Chinese: L iving Between A sia and the West.