• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO KABUPATEN TUBAN : ANALISIS HUKUM ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMANFAATAN TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO KABUPATEN TUBAN : ANALISIS HUKUM ISLAM."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO

KABUPATEN TUBAN (Analisis Hukum Islam)

SKRIPSI

Oleh:

DWI NOVI KUSTIYA NINGSIH NIM. C02212011

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH) SURABAYA

(2)

PEMANFAATAN TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO

KABUPATEN TUBAN (Analisis Hukum Islam)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Fakultas Syariah dan Hukum

Oleh:

DWI NOVI KUSTIYA NINGSIH NIM. C02212011

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH) SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “ Pemanfaatan Tanah Pertanian Sebagai Barang Gadai Oleh Penerima Gadai Di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban (Analisis Hukum Islam) adalah hasil penelitian lapangan

(field research) untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana praktik akad

gadai yang diikuti dengan pemanfaatan tanah pertanian oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban, dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai yang diikuti dengan pemanfaatan tanah pertanian oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara (interview), observasi dan dokumentasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif verifikatif dengan pola pikir deduktif yaitu penyimpulan data yang bertitik tolak dari segi hukum Islam kemudian ditarik menuju fakta-fakta di lapangan yang sifatnya khusus yaitu mengenai pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang.

Hasil penelitian dari 3 kasus praktik pemanfaatan tanah pertanian oleh penerima gadai di desa Gununganyar menyimpulkan bahwa akad gadai hanya berlangsung secara lisan dengan asumsi rasa saling percaya antara kedua belah pihak dan perjanjiannya tidak ada bukti tertulis. Jumlah uang yang dijadikan hutang sekitar 5-20 juta, dengan jaminan tanah pertanian yang berupa tanah sawah dan tanah tegalan dengan luas antara ± 400 m2 - ± 6420 m2. Perlakuan tanah pertanian sebagai barang jaminan sepenuhnya dimanfaatkan dan dikelola oleh penerima gadai (murtahin), dan penerima gadai (murtahin) tidak memberi pinjaman uang jika rahin tidak menyerahkan tanah pertaniannya sebagai jaminan. Dari pemanfaatan tanah pertaniaan yang dilakukan oleh penerima gadai menghasilkan sejumlah keuntungan yang berkisar antara 57.2 % - 358.5 % terhadap jumlah hutang. Menurut analisis hukum Islam pemanfaatan tanah pertanian oleh murtahin adalah bertentangan dengan hukum Islam. Sebab

pertama, murtahin menutup akses ra>hin untuk menggarap tanah miliknya

sendiri. Kedua murtahin memanfaatkan tanah pertanian tersebut sehingga memperoleh sejumlah keuntungan.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada pemberi utang (murtahin)

disarankan: pertama, hendaknya murtahin tetap memberi akses dan tidak menutup akses kepada pemilik tanah untuk memanfaatkan tanahnya. Kedua,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 4

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Kajian Pustaka ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Kegunaan Penelitian... 8

G. Definisi Operasional... 9

H. Metode Penelitian... 10

I. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM ... 15

A. Pengertian Gadai ... 15

B. Dasar Hukum Gadai ... 17

C. Rukun dan Syarat Gadai... 20

D. Hak dan Kewajiban Ra>hin dan Murtahin ... 24

(10)

F. Pemanfaatan Barang Gadai ... 27

BAB III TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI DAN PEMANFAATANNYA OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO KABUPATEN TUBAN .. 33

A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 33

1. Keadaan Geografis ... 33

2. Keadaan Demografis ... 34

B. Gadai Tanah Pertanian dan Pemanfaatannya oleh Penerima Gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban ... 38

BAB IV GADAI TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI DAN PEMANFAATANNYA OLEH PENERIMA GADAI DI DESA GUNUNGANYAR KABUPATEN TUBAN (Analisis Hukum Islam). 52 A. Analisis Praktik Gadai Tanah Pertanian dan Pemanfaatannya oleh Penerima Gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban ... 52

B. Analisis Hukum Islam terhadap Tanah Praktik Gadai Tanah Pertanian dan Pemanfaatannya oleh Penerima Gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban ... 61

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

(11)

DAFTAR TABEL

Tab el Halaman

3.1 Jenis Pemanfaatan Tanah... 34

3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ... 35

3.3 Mata Pencaharian Penduduk ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1 Tanah Sawah milik Daryahmi (ra>hin) ... 42

3.2 Tanah Sawah milik Suniti (ra>hiin) ... 45

3.3 Tanah Tegalan milik Suwarsih (ra>hin) ... 49

(13)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis

(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf latin. Pedoman

transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut: A. Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. ا Tidak dilambangkan ط t}

2. ب B ظ z}

3. ت T ع

4. ث Th غ Gh

5. ج J ؼ F

6. ح h} ؽ Q

7. خ Kh ؾ K

8. د D ؿ L

9. ذ Dh ـ M

10. ر R ف N

11. ز Z ك W

12. س S ق H

13. ش Sh ء

14. ص s} ل Y

15. ض d}

Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers, Disertations

(14)

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong) Tanda dan Huruf

Arab Nama Indonesia

ــــــــــــ fath}ah A

ــــــــــــ kasrah I

ــــــــــــ d}ammah U

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika

hamzah berh}arakat sukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakat

sukun. Contoh: iqtid}a>’ (ضتقاءا) 2. Vokal Rangkap (diftong)

Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia Keterangan

ْ ىػػػَػػػػػػػػػػػػػػػػػ fath}ah dan ya’ ay a dan y

ْ وػػػػػَػػػػػػػػػػػػػػػػػػ fath}ah dan wawu aw a dan w Contoh : bayna (نب)

: mawd}u>’ (عوضوم)

3. Vokal Panjang (mad) Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia Keterangan

ػػػَػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػا fath}ah dan alif a> a dan garis di atas

ىػػػِػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػ kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas

وػػػػُػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػػ d}ammah wawu dan u> u dan garis di atas

Contoh : ra>hin (نهار(

C. Ta>’ Marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua:

1. Jika hidup (menjadi mud{a>f ) transliterasinya adalah t.

2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

Contoh : shari>’at al-Isla>m ( ماسااةعىرش)

(15)

D. Penulisan Huruf Kapital

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gadai tanah pertanian merupakan muamalah yang biasa dilakukan di desa-desa. Gadai tanah pertanian ini bisa berupa sawah, tegalan/ladang dan juga kebun. Gadai ini terjadi ketika seseorang yang mempunyai tanah pertanian sedang membutuhkan uang, kemudian ia berhutang kepada orang lain dengan menyerahkan tanah pertanian miliknya sebagai jaminan untuk penguat bahwa hutangnya dapat dibayarkan kembali.

Dalam praktiknya, tanah pertanian yang diserahkan oleh orang yang berhutang (pegadai / ra>hin) itu dimanfaatkan oleh pemberi hutang (penerima gadai / murtahin) dalam artian dikelola dan diambil hasilnya, seolah- olah tanah itu menjadi milik penerima gadai selama piutangnya belum dibayar oleh pegadai.

(17)

2

sepenuhmya oleh Masrup selaku murtahin. Setelah jatuh tempo 2 (dua) tahun Suwarsih membayar hutangnya kepada Masrup, sementara tanah tegalannnya masih sedang ditanami (belum panen). Penggarapan tanah oleh Masrup terus dilanjutkan sampai musim panen tiba.1

Praktik yang sama terjadi juga antara Mohammad dengan Turkemat. Karena adanya kebutuhan sangat mendadak, Mohammad berhutang kepada Turkemat sebesar Rp. 3.000.000.,-00 (tiga juta rupiah) yang akan dibayarnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Turkemat meminta jaminan kepada Mohammad, dan Mohammad menyerahkan sawahnya seluas 378 m2 kepada Turkemat. Selama waktu 1 tahun itu Turkemat menggarap sawah tersebut dengan ditanami dan dijadikan perkebunan bunga mawar. Setelah jatuh tempo satu tahun Mohammad membayar hutangnya kepada Turkemat, sementara sawahnya masih sedang ditanami bunga mawar. Penggarapan sawah oleh Turkemat terus dilanjutkan sampai musim pemetikan bunga mawar tiba. 2

Dua fakta mengenai praktik pemanfaatan tanah gadai diatas tampak tidak berselaras dengan hadits Nabi berikut ini:

َالَ

َا يَْغَال

َ قَ

َ رلا

ََْ ن

ََِم

َْنَ

َاصا

َ

َِحَ

ِبََِ

َ لا

َِذ

ي

ََارَِ

َاَ َ

َالَ َ

َ غَْ

َ مَ

ََاو

َاعَالَْي

ََِ

َ غَْرَ م

َ َُ

اور

َ

مكاحا

َ

يقهييلاو

َ

نباو

َ

ابح

َن

َ

نع

ََ

يا

َ

ةريرى

َ

َ

Artinya: “Barang gadai itu tidak dikunci dari pemilik yang telah menggadaikannya. Hasil atau manfaatnya adalah kepunyaan dia, dan kerugiannya menjadi tanggungjawab dia“ (HR. Al- Hakim, al- Baihaqi, da|n Ibn Hibban dari Abu Hurairah).3

1

Surwarsih, Wawancara, Tuban, 20 April 2016.

2

Mohammad, Wawancara, Tuban, 20 April 2016.

3

(18)

3

َااَ

َ ظل

َْهَ ر

َ

َ ريَ

َاك

َ ب

ََِبَا

َافَاقَِت

َِ

ََ

َِإَاذا

َ

َاكا

ََان

ََامَْر

َ َْو

ًََنا

ََاوَال

َ اب

َ

َادلا

َِّرََ

اي

َْشَار

َ ب

ََِبَا

َافَاقَِت

ََِ

َِإَاذا

َ

َاكا

ََان

ََامَْر

َ َْوًَن

اَ

َاوَاع

َاىلَ

َ لاَِذ

ي

ََا يَْر

َاك

َ ب

ََاوَاي

َْشَار

َ ب

َ

َ لا

َْفَاق

َ ةَ

ُ

اور

َ

ىراخبلا

َ

ىذمرلاو

َ

وباو

َ

دواد

َ

نع

َ

يا

َ

ةرير

َ

Artinya: “Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan

sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR. Al-Bukhori, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).4

Ketidakselarasan dengan hadits yang pertama tampak pada beralihnya pemanfaatan tanah kepada pihak yang mengutangi sehingga ada kesan bahwa tanah gadai ditutup dari pemiliknya, dengan artian bahwa pemilik tanah gadai tersebut tidak bisa memanfaatkannya. Sedangkan dengan hadits kedua ketidakselarasan itu tampak pada pengambilan manfaat sepenuhnya oleh pemberi utang tanpa memperhitungkan biaya yang ditanggungnya berkenaan dengan perawatan tanah gadai tersebut.

Apa yang tampak kurang berselaras dengan hadits – hadits di atas penting diteliti lebih lanjut karena boleh jadi pemanfaatan tanah gadai oleh pemberi utang itu terjadi atas kehendak atau izin penerima utang tanpa pemberi utang memintanya atau bisa juga terjadi karena kehendak dari pemberi utang yang membuat penerima utang tidak punya pilihan lain kecuali menyetujuinya.

Penelusuran terhadap kemungkinan–kemungkinan tersebut akan memperjelas problem yang terdapat pada kasus–kasus itu sehingga dapat di analisis secara lebih cermat dari sudut hukum Islam. Demikianlah maka kajian

4

(19)

4

terhadap pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban ini dilakukan.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan problem dalam pemanfaatan tanah gadai pertanian di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban berkaitan dengan pencetus inisiatif pemanfaatan tanah gadai pertanian tersebut oleh pemberi utang, yakni apakah atas inisiatif penerima utang tanpa pemberi utang memintanya ataukah atas inisiatif pemberi utang yang membuat penerima utang tidak punya pilihan lain kecuali menyetujuinya. Problem ini dengan sendirinya akan mengarahkan tujuan pada pengungkapan apakah pemanfaatan tanah gadai pertanian itu merupakan wujud dari upaya mencari keuntungan yang dilakukan oleh orang yang mengutangi ataukah murni mencerminkan spirit tabarru’ dari orang yang

berhutang. Hasil dari pengungkapan tersebut menjadi kunci yang menceritakan hukum pemanfaatan tanah gadai pertanian tersebut menurut hukum Islam.

C. Rumusan Masalah

(20)

5

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai yang diikuti dengan pemanfaatan tanah pertanian oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang sedang akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.5

Dari penelusuran pustaka yang peneliti lakukan, ditemukan sejumlah penelitian terdahulu sebagai berikut.

Pertama, penelitian yang berjudul: “ Praktik Gadai Sawah Ditinjau dari

Hukum Islam (Studi di Desa Harjawinangun Kecamatan Balapulang

Kabupaten Tegal)”. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana sistem hutang

piutang dengan jaminan atau gadai dimana dalam pengembaliannya diukur dengan hutang emas pada masa hari itu. Jika kreditur hutang Rp. 3.000.000 maka dihitung per gramnya berapa dalam mengembalikannya dengan perhitungan emas. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa akad gadai tanah sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam.6

Kedua, penelitian yang bejudul: “Pemanfaatan Tanah Sawah Gadai

untuk Penanaman Tembakau yang Terjadi di Desa Bajur Kecamatan Waru

Pamekasan”. Penelitian ini mengkaji tentang pemanfaatan tanah sawah pada

5

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 8.

6 Isti’anah, “ Prak

(21)

6

musim kemarau para petani menanami sawahnnya dengan tembakau yang membutuhkan modal banyak, maka para petani mensiasatinya dengan cara menggadaikan sawah milik mereka sendiri kepada pengusaha kaya atau warga yang merantau/ TKI dengan sejumlah uang Rp. 10.000.000 per sawah untuk modal penanaman tembakau. Selain itu dalam perjanjiannya dicantumkan bahwa sawah tersebut dapat diambil manfaatnya dengan ditanami tembakau juga oleh keluarga penerima gadai. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa menurut analisis hukum Islam pemanfaatan tanah sawah gadai diperbolehkan berdasarkan hukum Islam karena disamping ra>hin tidak kehilangan kepemilikkan atas tanahnya, murtahin juga diperkenankan untuk memanfaatkan tanah sawah gadai telah memenuhi rukun dan syarat gadai. 7

Ketiga, penelitian yang berjudul: ” Gadai Tanah Pada Masyarakat Bugis

dalam Perspektif Hukum Islam”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

pandangan hukum Islam terhadap praktik gadai tanah serta pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sudah sah atau sudah betul, tetapi dari pemanfaatan barang gadai tidak dibenarkan dalam hukum Islam karena terdapat penyelewengan atau melenceng dari aturan-aturan dalam syariat hukum Islam. Tradisi pemanfaatan tanah gadai sawah dalam masyarakat Bugis Kecamatan Watang Sidenreng ditinjau dari maslahah dan mafsadahnya ternyata terdapat mafsadah atau madharatnya bagi ra>hin. Walaupun ra>hin sudah merelakannya dan

7 Arfan Santoso. “ Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Tanah Sawah Gadai untuk

(22)

7

murtahin tidak mensyaratkan adanya persyaratan tersebut karena tidak sesuai

dengan azas-azas keadilan yang dimiliki ra>hin.8

Antara penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang peneliti lakukan, mempunyaai sedikit kesamaan, yaitu sama-sama mengkaji tentang

ra>hin atau gadai. Sedangkan yang membedakan penelitian tersebut dengan

penelitian yang peneliti lakukan, yaitu dalam pembahasan penelitian ini peneliti lebih fokus pada praktik tentang pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang terjadi atas kehendak atau izin penerima utang tanpa pemberi utang memintanya atau bisa juga terjadi karena kehendak dari pemberi utang yang membuat penerima utang tidak punya pilihan lain kecuali menyetujuinya dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap pemanfaatan tanah pertanian tersebut.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memahami praktik akad gadai yang diikuti dengan pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban.

2. Untuk meninjau dan menganalisis hukum Islam terhadap praktik akad gadai yang diikuti dengan pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang

8Supriadi, “ Gadai Tanah Pada Masyaraka

(23)

8

gadai oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi maanfaat, baik manfaat teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah informasi dalam khazanah keilmuwan dalam bermuamalah, khususnya dalam pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya tentang pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan berguna sebagai acuan dalam memberikan kontribusi pemikiran kepada masyarakat, khususnya kepada ra>hin dan murtahin di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam melakukan pemannfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban.

G. Definisi Operasional

(24)

9

1. Pemanfaatan tanah dalam penelitian ini adalah penggarapan tanah pertanian berupa sawah dan tegalan yang di tanami (jagung, padi, palawija, dan lainnnya) dan di ambil hasilnya oleh pemberi utang.

2. Pemberi utang adalah orang yang menggarap tanah pertanian sebagai barang gadai dan memanfaatkan tanah pertanian tersebut dengan menanami tanah tersebut dan mengambil hasilnya.

3. Hukum Islam adalah peraturan yang berkenaan dengan kehidupan yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits, serta pendapat para ulama’, 9 dalam hal ini Al-Quran dan Hadits dijadikan dasar untuk memperoleh analisis terhadap pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatasn Soko Kabupaten Tuban.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat adalah studi lapangan, maka jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (Field

Research). Penelitian lapangan adalah salah satu bentuk metodologi

penelitian yang menekankan pada lapangan sebagai suatu objek studi. 2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban, yang beralamat di Jln. Masjid No. 1.

3. Data yang dikumpulkan

9

(25)

10

Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah:

a. Pelaku akad (ra>hin dan murtahin).

b. Akad yang dilakukan dalam transaksi

c. Jumlah utang (nominal) yang diberikan pemberi utang. d. Barang yang yang dijaminkan.

e. Perlakuan terhadap barang jaminan oleh pemberi utang (murtahin). f. Kehendak dari masing-masing pelaku akad yang eksis dibalik

pemanfaatan tanah pertanian oleh pemberi utang.

Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua, data yang dikumpulkan dalam penelitiaan ini adalah:

a. Ayat suci Al-Quran yang menjelaskan tentang pemanfaatan barang gadai.

b. Hadits yang menjelaskan tentang pemanfaatan barang gadai. c. Pendapat para ulama’ tentang pemanfaatan barang gadai. 4. Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber pada:

a. Ra>hin (penggadai tanah pertanian)

b. Murtahin (penerima gadai pertanian)

c. Dokumen-dokumen

d. Al-Quran atau kitab-kitab tafsir yang menjelaskan tentang pemanfaatan barang gadai.

(26)

11

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Observasi, yakni mengumpulkan data dengan mengamati, melihat, memperhatikan dan mencatat secara sistematis obyek yang diteliti, yaitu dengan cara mengukur tanah pertanian yang digunakan barang jaminan tersebut dan mengamati akad yang dipraktikkan dan pemanfaatan tanah pertanian tersebut.

b. Interview (Wawancara), yakni pengumpulan data dengan melalui

komunikasi tanya jawab secara sepihak berdasarkan penyelidikan.10 Dalam penelitian ini wawancara digunakan untuk mengumpulkan data tentang:

1) Pelaku akad (ra>hin dan murtahin).

2) Akad yang dilakukan dalam transaksi

3) Jumlah utang (nominal) yang diberikan pemberi utang. 4) Barang yang yang dijaminkan.

5) Perlakuan terhadap pemanfaatan barang jaminan.

c. Dokumentasi, yaitu mengambil gambar obyek yang dijadikan barang jaminan.

d. Studi pustaka, yaitu data yang dikumpulkan bersumber pada buku-buku, artikel, jurnal.

6. Teknik Pengolahan Data

10

(27)

12

Adapun teknik yang digunakan dalam pengolahan data antara lain:

a. Editing adalah memeriksa kelengkapan, dan kesesuaian data. Teknik ini

ini digunakan untuk meneliti kembali data-data yang telah diperoleh.

b. Organizing adalah menyusun data yang telah diperoleh untuk dijadikan

karangan paparan yang telah direncanakan sebelumnya untuk memperoleh bukti-bukti secara jelas tentang praktik akad gadai yang diikuti dengan pemanfaatan tanah pertanian oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban.

7. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data dekriptif verifikatif. Deskriptif yaitu memaparkan data yang berhasil dihimpun sehingga tergambar masalah secara rinci. Verifikatif yaitu menganalisis data tentang kesesuaiannya dengan hukum Islam. Analisis ini dilakukan dengan pola pikir deduktif yaitu penyimpulan data yang bertitik tolak dari segi hukum Islam kemudian ditarik menuju fakta-fakta di lapangan yang sifatnya khusus yaitu mengenai pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh pemberi utang.

I. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini, sebagaimana berikut:

(28)

13

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang landasan teori, pada bab ini membahas tentang pengertian gadai, dasar hukum gadai, rukun dan syarat gadai, hak dan kewajiban antara ra>hin dan murtahin, status barang gadai, pemanfaatan barang gadai.

Bab ketiga, membahas tentang hasil penelitian yang berisi tentang gambaran umum Desa Gununganyar, keadaan geografis, keadaann demografis, gadai tanah pertanian dan pemanfaatannya oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban.

Bab keempat berisi tentang hasil analisa mengenai pemanfaatan tanah pertanian sebagai barang gadai oleh penerima gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban menurut tinjauan hukum Islam.

(29)

BAB II

GADAI DALAM HUKUM ISLAM

A.Pengertian Gadai

Istilah gadai dalam bahasa Arab disebut dengan rahn yang secara etimologi mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan.1 Dalam istilah lain kata rahn disebut juga al-habsu yang artinya menahan2. Adapula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.3

Adapun secara terminologis ada beberapa definisi rahn, yaitu sebagai berikut:

1. Menurut Ulama Malikiyah, rahn adalah:

ٌَئْياش

َ

ٌَل وامات م

َ

َ ذاخْؤ ي

َ

َْنِم

َ

َاامَ

َِِكِل

َ

ًَاق ثاوا ت

َ

َِِب

َ

َِْفَ

َْياد

ٍَنَ

ٍَمِزال

Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara actual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).4 2. Menurut Ulama Hanafiyah, rahn adalah:

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. 1(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Al-Quran, 1983), 148.

2

Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah, Jilid 12, (Bandung: PT Alma’arif, 1987), 150.

3

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet.7, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), 105.

4

(30)

16

َ لْعاج

َ

َاْياع

َ

َاااَ

َ

ٌَةامْيِق

َ

َاامَ

ٌَةايِل

َ

َِف

َ

َِرْظان

َ

َِعْر شلا

َ

ًَةاقْ يِثاو

َ

ٍَنْيادِب

َ

َ ثْياِِ

َ

َ نِكْ ُ

َ

َ ذْخاأ

َ

َ دلا

َِنْي

َ

َااه ل ك

َ

َْواأَ

َااه ضْعا ب

َ

َْنِم

َ

َاكْلِت

َ

َِْياعْلا

Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.5

3. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan rahn dengan:

َ لْعاج

َ

ٍَْياع

َ

ًَةاقْ يِثاو

َ

ٍَنْيادِب

َ

َِفْوا تْساي

َ

َااهِْم

َ

َادِْع

َ

َِر ذاعا ت

َ

َِِئاافاو

Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya tersebut.6

Definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hanabilah ini mengandung

pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut

mereka (Syafi’iyah dan Hanabilah), termasuk pengertian harta.

4. Menurut Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya rahn adalah menahan salah satu harta milik (ra>hin) sebagai jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan atau menerima gadai

(murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh

atau sebagian utangnya.7

5

Ibid.

6

Ibid.

7Muhammad Syafi’I Antonio,

(31)

17

5. Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang berharga menurut pandangan syara' sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia (pemilik barang) bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. 8

Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa gadai (rahn) adalah akad penyerahan barang untuk dijadikan jaminan sebagai penguat bahwa hutangnya dapat dibayarkan kembali, dimana barang yang dijadikan jaminan tersebut mempunyai nilai ekonomis. Sebenarnya pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, orang yang memberikan hutang/berpiutang, maka orang yang berhutang memberikan suatu jaminan bahwa utang itu akan dibayarnya.

B.Dasar Hukum Gadai

1. Al-Quran

Para Ulama fiqih mengemukakan pendapat bahwa gadai (rahn)

dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Quran dan sunnah Rasul. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282-283 Allah berfirman:













...













8
(32)

18

















Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar..

...

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.9

Dalam ayat di atas walaupun disebutkan “ dalam perjalanan” namun tetap menunjukkan keumumannya. Yakni baik dalam perjalanan maupun dalam keadaan mukim. Walaupun secara literal ayat tersebut mengindikasikan bahwa gadai dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi gadai.

Selain itu, pengertian yang dapat dipahami dari ayat di atas adalah Allah Swt memerintahkan pada seseorang yang mengadakan perjanjian utang piutang dengan orang lain tetapi tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya orang yang berhutang memberikan sesuatu barang berharga yang dimilikinya sebagai jaminan atas hutangnya. Hal ini

9

(33)

19

dimaksudkan agar orang yang menghutangkan tidak mengalami kerugian. Selain itu, menyerahkan barang tanggungan atau jaminan kepada orang yang memberi hutang sebagai jaminan hutangnya untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai meyakini bahwa pemberi gadai tidak memiliki itikad buruk. Dan penerima gadai meyakini bahwa pemberi gadai akan melakukan pembayaran untuk melunasi hutang yang diberikan oleh penerima gadai serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.

2. Hadits Rasulullah Saw

َاِب لاَ نااَاام هْ اعَ هَايِضارَاةاشِئَااعَْناع

َ

َاص

َاىلَ

َ ه

ََاعَال

َْيََِ

َاوَاس

َ لَامَ

ٍَإ

َْشَا ت

َار

ٍَىِدَو ها يَْنِمًَامَااعاطَى

َََ

َااَاىِإ

َاراوٍَلاج

َ

ٍَدْيَداحَْنِمًَاعْرادَ اا

َ

Aisyah r.a berkata Rasulullah Saw pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju

besi kepadanya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).10

3. Ijma’ Ulama

Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa gadai boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir ditempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hokum oleh pemberi piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang/dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-marhun

(menjadi agunan utang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tersebut.

10

Al-Bukha>ry, “S}ah}ih} al-Bukha>iry” di dalam: Barna>mij al-hadits asy-Syarif at-Tis’ah (CD

(34)

20

C.Rukun dan Syarat Gadai

Menurut Jumhur Ulama rukun gadai (rahn) adalah sebagai berikut:11

1. Orang yang berakad yaitu orang yang menggadaikan (ra>hin) dan orang yang menerima gadai (murtahin).

2. Shighat (lafal ija>b dan qabu>l).

3. Barang yang digadaikan (marhu>n).

4. Hutang (marhu>n bih).

Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat gadai (rahn) sesuai dengan rukun gadai (rahn) itu sendiri. Dengan demikian maka syarat-syarat gadai

(rahn) meliputi:

1. Ra>hin dan Murtahin

Kedua orang yang akan melakukan akad harus memenuhi kriteria

ahliyah (kecakapan bertindak secara hukum). Menurut Ulama Syafi’iyah,

pelaku akad yang memenuhi kriteria ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz. 12 Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh.

Sedangkan, menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja, oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan

11

Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah: Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, (Jakarta: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2010), 335.

(35)

21

syarat akad rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan dari walinya.13

2. Shighat (ija>b dan qabu>l)

Syarat-syarat Shighat adalah sebagai berikut: a. Berhadap-hadapan.

b. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ija>b.

c. Harus menyebutkan barang.

d. Ketika mengucapkan shighat harus disertai nait (maksud). e. Pengucapan ija>b dan qabul harus sempurna.

Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan

qabul, maka transaksinya batal.

f. Ija>b qabul tidak terpisah

Antara ija>b dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak. g. Antar ija>b dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.

h. Tidak berubah lafazh.

i. Tidak dikaitkan dengan sesuatu. j. Tidak dikaitkan dengan waktu. 14

Ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa akad gadai tidak boleh digantungkan kepada syarat-syarat tertentu dan tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan

13

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah..., 254.

14Rachmat Syafe’i.

(36)

22

masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalamcontoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karena syaratnya itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya

ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang

saksi. Sedangkan syarat yang batal,misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya.15

3. Barang yang digadaikan (marhu>n).

Menurut kesepakatan ulama fiqih , syarat-syarat marhun yaitu: a. Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. b. Barang jaminan itu bernilai harta dan bermanfaat, karena itu khamar

tidak boleh dijadikan sebagai barang jaminan, disebabkan khamar tidak bernilai harta dan tidak bermanfaat dalam Islam.

c. Barang jaminan itu jelas dan tertentu.

15

(37)

23

d. Barang jaminan itu milik sah orang yang berutang. e. Barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain.

f. Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.

g. Barang jaminan itu bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.16

4. Hutang (marhu>n bih)

Marhun bih adalah hak piutangnya murtahin yang berada dalam

tanggungan ra>hin yang dijamin dengan marhu>n.17 Menurut Ulama Hanafiyah syarat-syarat marhun bih adalah sebagai berikut:

a. Harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya.

b. Harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dipenuhi dan dibayar dari

marhun.

c. Hak yang menjadi marhun bih harus diketahui dengan jelas dan pasti.

Sementara itu, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanabilah mensyaratkan

tiga hal terhadap marhun bih.

a. Marhun bih harus berupa tanggungan utang yang positif dan wajib,

seperti pinjaman utang.

b. Utang yang dijadikan marhun bih sifatnya harus sudah lazim (sudah terjadi dan mengikat).

c. Utang yang dijadikan marhun bih harus diketahui dengan jelas spesifikasinya yaitu kadar dan sifatnya, oleh kedua belah pihak.18

16

Ibid.

17

(38)

24

D.Hak dan Kewajiban Ra>hin dan Murtahin

1. Hak Ra>hin

a. Ra>hin berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikannya

sesudah ia melunasi pinjaman hutangnya.

b. Ra>hin berhak meminta ganti rugi atas kerusakan atau hilangnya barang

yang digadaikan.

c. Ra>hin berhak meminta sisa hasil penjualan barang gadai sesudah

dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.

d. Ra>hin berhak meminta kembali barang gadai jika diketahui adanya

penyalahgunaan.

e. Ra>hin berhak atas manfaat atau hasil dari barang gadai

2. Kewajiban Ra>hin

a. Ra>hin berkewajiban melunasi hutang yang diterimanya dalam tenggang

waktu yang ditentukan, termasuk biaya lain yang disepakati.

b. Ra>hin berkewajiban merelakan penjualan barang gadai bila dalam

waktu yang telah ditetapkan tidak mampu melunasi pinjaman.

c. Apabila barang yang dijual hasilnya tidak sesuai dengan hutangnya, maka ra>hin wajib menambahnya.

d. Menanggung biaya pemeliharaan barang apabila ada biaya perawatanya.19

3. Hak Murtahin

18

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Addilatuhu 6: Penerjemah. Abdul Hayyie al-Katani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 137.

19

(39)

25

a. Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila ra>hin tidak dapat membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan diambil sebagian untuk melunasi hutangnya ra>hin dan sisanya (kalau ada) dikembalikan kepada ra>hin.

b. Murtahin mempunyai hak menahan barang gadai selama pinjaman belum

dikembalikan kepada ra>hin. Maksudnya adalah murtahin hanya berhak menahan saja dari orang yang punya barang, agar ra>hin tidak memindahkan tangan kepada orang lain. Namun apabila murtahin harus menjual barang jaminan tersebut harus ada persetujuan dari pemberi gadai dan apabila hasil penjualan barang tersebut lebih besar dari utang

ra>hin maka murtahin wajib memberikan sisa (kalau ada) uangnya

kepada ra>hin.

c. Murtahin berhak mendapatkan biaya yang telah dikeluarkan untuk

menjaga keselamatan barang gadai. 4. Kewajiban Murtahin

a. Murtahin wajib menahan diri dari memanfaatkan barang gadai kecuali

ata izin pemilik barang (ra>hin).

b. Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang gadai bila

itu disebabkan oleh kelalaiannya.

c. Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada ra>hin tentang

rencana penjualan barang gadai dan hasil penjualannya.

d. Murtahin wajib memberikan sisa (kalau ada) hasil penjualan barang

(40)

26

e. Murtahin berkewajiban merawat atau menjaga barang gadai.

E.Status Barang Gadai

Status barang gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak hutang piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian suatu barang dengan kredit.

Mayoritas ulama telah berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya. Ini berarti jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya maka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di tangan penerima gadai sampai orang yang menggadaikan (ra>hin) melunasi seluruh utangnya.20

F. Pemanfaatan Barang Gadai

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi sebagai berikut:

َ الَ

َ مْ غ

َ

َِْيالاعاو

َ

َْر غ

َ

َ م

َ

)

اور

َ

مكاحا

َ

يقهييلاو

َ

نباو

َ

ابح

َن

َ

نع

ََ

يا

َ

ةريرى

َ

َ

Artinya: “…pemilik barang jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu “ (HR. Al- Hakim, al- Baihaqi, da|n Ibn Hibban dari Abu Hurairah).21

20

Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah klasik ..., 201.

21

(41)

27

Hukum memberi utang adalah sunnah, karena mengandung suatu kebaikan yaitu tolong menolong orang yang sedang ditimpa kesukaran dan kesulitan. Dalam sebuah hadits Rosulullah Saw, menyatakan:

لك ض ْرق رج أًعْفن ف اًبر

“Tiap-tiap utang yang sengaja untuk mencari nafkah, maka hukumnya

riba.”22

Dari keterangan hadits tersebut ketika kita memberikan pinjaman kepada orang lain disunnahkan untuk melebihi pembayarannya atau membayar dengan lebih baik. Akan tetapi, apabila orang yang memberi utang itu meemberikan syarat supaya pembayarannya itu dilebihkan, maka kelebihan itu menjadi riba dan haramlah ia memakan kelebihannya itu.

Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk tindakan menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah. Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat para ulama.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, baik itu dalam bentuk penggunaan, menaiki, menempati, atau mengenakan, kecuali dengan izin ra>hin. Karena murtahin hanya memiliki

hak al-habsu saja bukan memanfaatkan. Apabila murtahin memanfaatkan

barang gadai, lalu barang gadai itu rusak ketika digunakan, maka ia mengganti nilai barang itu secara keseluruhan, karena berarti ia telah menggashab.

22

(42)

28

Apabila rahin memberi izin kepada murtahin untuk memanfaatkan barang gadai, maka menurut sebagian ulama Hanafiyah, murtahin boleh memanfaatkannya secara mutlak. Namun ada sebagian lagi yang melarangnya secara mutlak, karena itu adalah riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan tidak pula sesuatu yang mengandung syubhat riba. Dan ada sebagian lagi yang mengklasifikasi, yaitu apabila di dalam akad disyaratkan murtahin boleh memanfaatkan barang gadai, maka itu adalah haram, karena itu adalah riba. Namun jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka itu boleh, karena hal itu berarti adalah bentuk tabarru’ (derma) dari ra>hin kepada murtahin.

Pensyaratan seperti halnya ada sifat yang jelas, juga ada yang berdasarkan kebiasaan yang berlaku, karena suatu kebiasaan yang berlaku sama seperti sesuatu yang disyaratkan.23 Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak, maka pihak pemberi utang (pemegang barang jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang.

Jumhur ulama fiqh , selain Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan itu tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh

23

(43)

29

menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah Saw, yang berbunyi.

َالَ

َ ي

َ قالْغ

َ

َ نْ رلا

َ

َْنِم

َ

ااص

َ

َِِبِح

َ

يِذ لا

َ

َ اِار

ََ

ال

َ

َ مْ غ

َ

َِْيالاعاو

َ

َ مْر غ

َُ

اور

َ

مكاحا

َ

يقهييلاو

َ

نباو

َ

ابح

َن

َ

نع

ََ

يا

َ

ةريرى

َ

َ

Artinya: “Barang gadai itu tidak dikunci dari pemilik yang telah

menggadaikannya. Hasil atau manfaatnya adalah kepunyaan dia, dan kerugiannya menjadi tanggungjawab dia“ (HR. Al- Hakim, al- Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah).24

Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama

Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya,

pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu

merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik

barang. Bahkan menurut mereka, rida dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu. Di samping itu dalam masalah riba, izin dan ridha tidak berlaku. Hal ini sesuai dengan hadis yang disebutkan di atas.

Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. Ulama

24

(44)

30

Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendirian bahwa

apabila hewan ternak itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka

murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak,

karena membiarkan hewan itu tersia-sia, termasuk ke dalam larangan Rasulullah Saw.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan itu berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan itu. Hal ini selaras dengan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:

َ رْه ظلاا

َ

َ ريَ

َ باك

َ

َِِتاقافا ِب

ََ

ااذِإ

َ

ااك

ََان

َ

َْو ْرام

َاًن

َ

َ ابالاو

َ

َِّرادلا

َ

َ بارْشاي

َ

َِِتاقافا ِب

َ

ااذِإ

َ

ااك

ََان

َ

اًنْو ْرام

َ

َاىلاعاو

َ

َِذ لا

ي

َ

َ باكْرا ي

َ

َ بارْشاياو

َ

َ ةاقْف لا

َُ

اور

َ

ىراخبلا

َ

ىذمرلاو

َ

وباو

َ

دواد

َ

نع

َ

يا

َ

ةرير

َ

Artinya: “Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan

sesuai dengan bianya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR. Al-Bukhori, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).25

Akan tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya.

Di samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya menjadi

25

(45)

31

barang jaminan itu, jika diizinkan murtahin. Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggunng jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan hadits di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggungjawab membayar ganti ruginya.

Ulama Syafi’iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari

pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila pemilik barang itu ingin memanfaatkan barang jaminan itu, tidak perlu ada izin dari pemegang barang jaminan. Alasannya, barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak milikny. Akan tetapi, pemanfaatan barang gadai tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang telah dikemukakan sebelumnya.

(46)

BAB III

TANAH PERTANIAN SEBAGAI BARANG GADAI DAN

PEMANFAATANNYA OLEH PENERIMA GADAI DI DESA

GUNUNGANYAR KECAMATAN SOKO KABUPATEN TUBAN

A.Gambaran Umum Obyek Penelitian

1. Keadaan Geografis

Desa Gununganyar adalah desa yang terletak di Kecamatan Soko Kabupaten Tuban. Secara Topografi ketinggian desa Gununganyar adalah berupa dataran Ngrejeng sedang yaitu sekitar 34 m di atas permukaan air laut dan memilki luas 435 Ha. Secara administratif, Desa Gununganyar terletak di wilayah Kecamatan Soko Kabupaten Tuban dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga.

Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ngrejeng. Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngarum. Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Nguruhan. Di sisi Timur berbatasan dengan Desa Pekuwon.

Jarak tempuh Desa Gununganyar ke kecamatan adalah 6 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 20 menit. Sedangkan jarak tempuh ke kabupaten adalah 35 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam.

(47)

34

masyarakat di Desa Gununganyar, dari kedua dusun tersebut terbagi menjadi 4 Rukun Warga ( RW ) dan 21 Rukun Tetangga ( RT ).

2. Keadaan Demografis

[image:47.595.140.504.231.531.2]

a. Jenis pemanfaatan tanah

Tabel 3.1

Jenis Pemanfaatan Tanah

No Jenis Pemanfaatan Tanah Luas

1 2 3 4 5 6

Perumahan Pekarangan Persawahan Tegalan

Jalan, Kuburan

Bangunan (Sekolah, Masjid, TPA)

±83 Ha ± 2 Ha ± 150 Ha ± 189 Ha ± 6 Ha ± 5 Ha

Jumlah ± 435 Ha

(Demografi desa, pada tanggal 27 Mei 2016)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah pertanian yaitu tanah sawah dan tanah tegalan merupaka tanah yang paling luas dimanfaatkan. Maka dari itu penduduk desa ini lebih banyak menggunakan tanah pertanian untuk dijadikan barang jaminan didalam transakai pegadaian.

b. Jumlah penduduk

Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2016, jumlah penduduk Desa Gununganyar adalah terdiri dari 1029 KK, dengan jumlah total 3.188 jiwa, dengan rincian 1.611 laki-laki dan

(48)

[image:48.595.141.510.107.571.2]

35

Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia

No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah Prosentase

1 0-5 90 67 157 4,93%

2 6-12 134 160 294 9,20%

3 13-18 153 124 277 8,70%

4 19-40 595 562 1157 36,30%

5 41-56 197 177 374 11,73%

6 57 442 487 929 100%

Jumlah Total 1.611 1.577 3.188

(Demografi desa, pada tanggal 27 Mei 2016)

Dari data di atas nampak bahwa penduduk usia produktif pada usia 19 - 56 tahun 2016 Desa Gununganyar sekitar 1.531 atau hampir 48,03 %. Hal ini merupakan modal berharga bagi pengadaan tenaga produktif dan SDM.

Dari jumlah 1026 KK di atas, sejumlah 399 KK tercatat sebagai Keluarga Pra Sejahtera; 195 KK tercatat Keluarga Sejahtera I; 167 KK tercatat Keluarga Sejahtera II; 126 KK tercatat Keluarga Sejahtera III; 139 KK sebagai sejahtera III plus. Jika KK golongan Pra-sejahtera dan KK golongan I digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 64 % KK Desa Gununganyar adalah keluarga miskin.

(49)

36

[image:49.595.137.510.244.584.2]

Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Desa Gununganyar Rp. 35.000,- per hari. Secara umum mata pencaharian warga masyarakat Desa Gununganyar dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu pertanian, jasa/perdagangan, industri dan lain-lain. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian.

Tabel 3.3

Mata Pencaharian Penduduk

No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase

1 Pertanian 1923 42,06 %

2 Jasa/Perdagangan

1. Jasa Pemerintahan 2. Jasa Perdagangan 3. Jasa Angkutaan 4. Jasa Ketrampilan 5. Jasa Lainnya

19 orang 242 orang

17 orang 23 orang 43 orang

0,82 % 11,15 %

0,78 % 1,03 % 1,95 %

3 Sektor Industri 297 orang 13,51 % 4 Sektor lain 630 orang 28,71 % Jumlah 3.194 orang 100 % (Demografi desa pada tanggal 27 Mei 2016).

Dari data di atas tampak bahwa mata pencaharian penduduk desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban adalah Petani dengan prosentase tertinggi yaitu 42,06 %.

d. Pendidikan

(50)

37

panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya ketrampilan kewirausahaan dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu program pemerintah dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Prosentase tingkat pendidikan Desa Gununganyar dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 3.4 Pendidikan

No Keterangan Jumlah Prosentase 1 Buta Huruf Usia 10 Tahun

ke atas

417 orang 12,74 %

2 Pra Sekolah 108 orang 3,31 % 3 Tidak Tamat SD 351 orang 10,76 % 4 Tamat SD 1.724 orang 52,85 % 5 Tamat SMP 326 orang 9,97 % 6 Tamat SMA 301 orang 9,21 % 7 Tamat Perguruan

Tinggi/Akademi

35 orang 1,07 %

Jumlah Total 3.271 orang 100 %

[image:50.595.139.512.248.648.2]
(51)

38

(SDM) yang memadai dan mumpuni, keadaan ini merupakaan tantangan tersendiri.

Rendahnya kualitas tingkat pendidikan di Desa Gununganyar, tidak terlepas dari terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, di samping tentu masalah ekonomi dan pandangan hidup masyarakat. Sarana pendidikan yang tersedia di Desa Gununganyar adalah di tingkat pendidikan dasar ( SD), dan SLTA ( SMA ).

B. Praktk Gadai Tanah Pertanian dan Pemanfaatannya oleh Penerima

Gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak bisa lepas dari kehidupan sekelilingnya. Manusia harus menyesuaikan dengan lingkungannya, berhubungan dengan tetangganya dan harus berinteraksi terhadap masyarakat secara umum. Mereka saling membutuhkan, saling mengisi dan memberi terhadap segala macam kebutuhan yang mereka hadapi.

(52)

39

Berdasarkan latar belakang sosial ekonomi masyarakat desa Gununganyar yang tergolong rendah, dan sebagian besar masyarakat desa ini memiliki lahan pertanian, maka ketika mereka memiliki kebutuhan yang sangat mendadak dan mendesak, maka dengan cara berhutang kepada orang yang status ekonominya lebih baik dan menjadikan tanah pertanian tersebut sebagai barang jaminan adalah jalan yang dipilih mereka untuk memenuhi kebutuhannya.

Kebiasaan menggadaikan tanah pertanian yang terjadi di masyarakat desa Gununganyar sudah dilakukan turun temurun dan sudah menjadi tradisi (adat). Gadai ini dilakukan ketika seseorang itu membutuhkan uang dan tidak ada yang meminjamkan seketika itu juga. Karena pada realita yang ada mayoritas penduduk desa Gununganyar ini bermata pencaharian sebagai petani, dan harta yang paling berharga di desa Gununganyar ini adalah lahan pertanian yang berupa tanah sawah dan tanah tegalan sehingga barang tersebut layak untuk dijadikan barang jaminan ketika terjadi transaksi hutang piutang.

Praktik gadai semacam ini terjadi di Desa Gununganyar, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban. Masyarakat desa khusunya penerima gadai (pemberi utang) yang melakukan transaksi gadai dengan memanfaatkan tanah pertanian sebagai jaminan ± 50 % dari jumlah penduduk. Namun dalam penelitian ini disajikan data praktiknya dari tiga kasus yang terjadi pada tahun 2014-2015.

Pertama, praktik gadai yang terjadi antara Daryahmi dan Mu’in.

(53)

40

adalah seorang petani, jika musim tanam padi terkadang beliau juga menjadi buruh tandur. Pendidikan terakhir beliau tamatan Sekolah Dasar (SD). Untuk kekayaannya Daryahmi mempunyai satu lahan sawah dan seekor sapi, maka selain bertani beliau juga merawat hewan peliharaannya tersebut. Sedangkan

Mu’in (murtahin) adalah warga desa Gununganyar yang juga bertempat tinggal

di dusun Krajan RT.004/RW.002, berusia 35 tahun yang mempunyai seorang istri dan 2 anak (laki-laki dan perempuan). Beliau adalah seorang sopir truck yang mengangkut bahan bangunan di Gresik, selain itu juga menjadi seorang petani jika musim bertani. Pendidikan terakhir beliau adalah Sekolah

Menengah Pertama (SMP), dan untuk kekayannya Mu’in mempunyai tiga

lahan sawah dan satu lahan tegal selain itu juga mempunyai hewan peliharaan sapi, maka apabila di Gresik pekerjaan sedang sepi beliau bertani dan menggarap sawahnya tersebut.

Pada tahun 2014 Daryahmi berhutang kepada Mu’in sebesar Rp. 10.000.000.,-00 (sepuluh juta rupiah). Beliau berhutang kepada Mu’in dikarenakan ditagih hutang oleh orang lain yang sangat mendesak dalam jumlah yang banyak yaitu 15 juta. Mereka menjalin akad hanya secara lisan dan tidak ada bukti tertulis. Daryahmi berkata kepada Mu’in dengan pernyataan seperti ini “aku nyilih duwetmu 10 juta gawe nyauri utangku nang

wong liyo 15 juta, engko sampean tak ke’i sawah, iku gawe jaminan utangku

trus engko sampean garapen sawahku, aku iso nyauri utangku setahun maneh

neng sampean” artinya (saya pinjam uang 10 juta kepadamu untuk melunasi

(54)

41

sebagai jaminan hutang saya dan nanti kamu garap/kelola sawah tersebut, dan saya akan melunasi hutang dalam waktu setahun lagi).1 Kemudian Mu’in merespon ija>b nya Daryahmi tersebut dengan mengucapkan “iyo iki tak silih

i dwetku 10 juta gawe tambah nyauri utange sampean 15 juta iku, matursuwun

jaminan sawah e nggeh” artinya ( iya ini saya beri pinjaman uangku sebesar 10

juta untuk menambahi perlunasan hutangmu 15 juta itu, terimakasih untuk jaminan sawahnya). Kemudian Mu’in menyerahkan uangnya sebesar 10 juta kepada Daryahmi secara tunai tanpa ada kwitansi, dan Daryahmi pun menerima uang tersebut dan menyerahkan sawah beserta penggarapan atau

pengelolaannya kepada Mu’in.

Tanah sawah yang dijadikan jaminan tersebut seluas ±400 da yang terletak disebelah selatan desa Tunjungan, tanah sawah tersebut dijadikan barang jaminan kurang lebih 1 tahun sesuai dengan kesepakatan awal antara ra>hin

dan murtahin. Dengan kondisi sawah yang sangat

Gambar

Gambar                                                                    Halaman
 Tabel 3.1
 Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
Tabel 3.3 Mata Pencaharian Penduduk
+5

Referensi

Dokumen terkait

(5) Program studi adalah unsur pelaksana bidang akademik pada jurusan atau Program Pascasarjana yang yang melaksanakan pendidikan akademik sarjana, magister, dan doktor;

[r]

Berdasarkan hasil observasi di PT Mitra Beton Perkasa Kudus, permasalahan yang terjadi pada perusahaan tersebut adalah penurunan kinerja karyawan terhadap disiplin

7) Memperdalam rasa memiliki perusahaan artinya rasa memiliki karyawan kepada perusahaan dapat meningkat setelah mengikuti pelatihan. Hal ini sangat penting karena

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Keterampilan Mengajar Guru Dengan Motivasi Belajar. Variabel Penelitian ini mengunakan variabel bebas,

(2) Jika pengecualian ditarik balik mengikut subperenggan (1), pengecualian yang diberikan di bawah subperenggan 3(1) berkenaan dengan apa-apa amaun pendapatan

Secara konsept ual pemekaran daerah di era berlakunya ot onomi daerah t ent unya disertai dengan desent ralisasi f iskal pula yang berakibat penambahan anggaran

 PC yang telah dirakit diuji tampilan dan berfungsi dengan baik  PC dapat digunakan sesuai dengan kriteria unjuk kerja  pada unit kompetensi HDW.OPR.10 1.(1).A atau