• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH DAN BEBANNYA PADA APBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH DAN BEBANNYA PADA APBN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

ANALISIS

PEMEKARAN WILAYAH

DAN BEBANNYA PADA APBN

Oleh

Tim Analisa APBN

Bagian Analisa APBN

Sekretariat Jenderal DPR.RI 2007

(2)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Bab I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Peningkat an j umlah daerah, baik it u provinsi maupun kabupaten/kota akibat pemekaran wilayah paska pemberlakuan ot onomi daerah (desent ralisasi) secara signif ikan memberi beban pada Anggaran Pendapat an dan Belanj a Negara (APBN), Karenanya diperlukan t ambahan pendapat an negara unt uk memenuhi kebut uhan anggaran t erhadap daerah yang dimekarkan tersebut. Bagi pemerint ah pusat pemekaran wilayah it u berimplikasi pada t ambahan beban bagi APBN karena harus menyediakan dana unt uk pembangunan kant or, gaj i pegawai, dan biaya operasional inst ansi vert ikal di daerah, sej alan dengan pelaksanaan ot onomi daerah dan dilakukannya desent ralisasi f iskal. Perlu perhatian selanj ut nya t erhadap dampak pemekaran wilayah t ersebut adalah t erhadap pelayanan publik, penyaluran dana bagi hasil, dan peluang pelimpahan sebagian paj ak pusat ke daerah.

Pemekaran daerah dilakukan pada hakekat nya unt uk meningkat kan ef isiensi dan ef ekt ivit as penyelenggaraan pemerint ahan dan pembangunan di daerah sehingga dapat meningkat kan kesej aht eraan masyarakat . Jika demikian, pemekaran daerah it u t idak menj adi beban bagi APBN apabila ada manf aat nyat a dan j elas bagi peningkat an kesej aht eraan masyarakat . Namun, apabila pemekaran daerah t ersebut t ernyat a memperburuk pelayanan publik di daerah, pemekaran daerah akan menj adi kont raprodukt if bagi ot onomi daerah. Oleh karena it u perlu dilakukan evaluasi yang konprehensif.

Permasalahan

Secara konsept ual pemekaran daerah di era berlakunya ot onomi daerah t ent unya disertai dengan desent ralisasi f iskal pula yang berakibat penambahan anggaran negara, namun disisi lain pemekaran daerah mengurangi beban pemerint ah pusat dalam bidang urusan pelayanan kepada masyarakat daerah, penggunaan sumberdaya yang lebih ef isien, pemant apan perencanaan pembangunan, peningkat an part isipasi masyarakat ,

(3)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

penggunaan belanja pembangunan menjadi sorotan utama karena sifatnya yang langsung menyent uh pada peningkat an kualit as pelayanan. Sebelum diberlakukannya desent ralisasi f iskal, belanj a daerah sebagian besar dit ent ukan oleh pemerint ah pusat . Namun dalam era desent ralisasi f iskal, alokasi t ransf er dana dari pusat kepada daerah bersif at bebas (bl ock grant ) at au t idak dit ent ukan secara spesif ik penggunaannya. Bagaimana kondisi f iskal daerah sebelum dan pada era desent ralisasi, baik dari sisi struktur pendapatan daerah, perencanaan dan pelaksanaannya

Metodolologi

Met ode yang digunakan dalam penulisan ini adalah met ode diskript if . Adapun data Penelit ian bersumber dari dat a sekunder, berupa realisasai APBD t ahun anggaran 2001 sampai dengan t ahun anggaran 2007. Unt uk memperkuat hasil analisis dari t emuan dat a sekunder, agar diperoleh inf ormasi yang lebih mendalam t ent ang kebij akan yang dilakukan daerah digunakan dat a berupa hasil penelitian, pendapat pakar para pakar di beberapa harian, hasil seminar, dan pemberitaan yang terkait dengan topik .

(4)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

BAB II

PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DAN PEMBENTUKAN

DAERAH OTONOM

1. Prinsip Otonomi Daerah

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, menganut prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam art i daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengat ur semua urusan pemerint ahan diluar yang menj adi urusan Pemerint ah Pusat .Pemerint ah Daerah memiliki kewenangan membuat kebij akan daerah unt uk memberikan pelayanan, peningkat an peran sert a, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Selain it u ot onomi daerah j uga didasarkan pada prinsip ot onomi yang nyat a dan bert anggung j awab . Prinsip ot onomi yang nyat a adalah suat u prinsip bahwa unt uk menangani urusan pemerint ahan dilaksanakan berdasarkan t ugas,wewenang, dan kewaj iban yang senyat anya t elah ada dan berpot ensi unt uk t umbuh hidup dan berkembang sesuai dengan pot ensi dan kekhasan daerah sedangkan ot onomi yang bert anggung j awab adalah ot onomi yang dalam penyelenggaraanya harus benar-benar sej alan dengan t uj uan dan maksud pemberian ot onomi, yang pada dasarnya unt uk memberdayakan daerah dan meningkat kan kesej aht eraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip ot onomi darah t ersebut penyelenggaraan ot onomi it u sendiri harus senant iasa berorient asi pada peningkat an kesej aht eraan masyarakat berdasarkan kepent ingan dan aspirasi yang t umbuh dalam masyarakat . Penyelenggaraan ot onomi daerah j uga harus menj amin keserasian hubungan ant ara daerah dengan daerah lainnya art inya mampu membangun kerj asama unt uk mencapai tujuan bersama sekaligus mencegah ketimpangan antar daerah.

Hal pent ing lainnya bahwa penyelenggaraan ot onomi darah harus mampu menj amin hubungan yang serasi ant ar Pemerint ah Daerah dan Pemeint ah Pusat , art inya mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

2. Maksud dan Tujuan Pembentukan Daerah Otonom

a. Maksud dan Tujuan Pembentukan daerah otonom baru adalah: 1. Tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Mewujudkan hakekat otonomi daerah

3. Mendukung dan mendorong daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan , pembangunan dan pembinaan masyarakat serta

4. Mendekatkan dan meningkatkan pelayanan yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.

b. Unt uk menwuj udkan maksud dan t uj uan t ersebut , pembent ukan daerah harus mempert imbangkan berbagai f akt or sepert i kemampuan ekonomi, pot ensi daerah luas wilayah, kependudukan dan pert imbangan aspek sosial polit ik,sosial budaya, pert ahanan dan keamanansert a pert imbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah it u dapat menyelenggarakan dan mewuj udkan t uj uan dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.

II. Syarat-syarat Pembentukan Daerah Otonom Menurut Undang–undang Nomor 32 tahun 2004

1. Dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 32 2004 disebutkan bahwa pembentukan daerah ot onom baru dit et apkan dengan undang undang pembent ukan daerah ot onom baru berupa penggabungan daerh atau pemekaran wilayah. Pemekaran dari suatu daerah menj adi 2 ( dua ) daerah at au lebih dapat dilakukan set elah mancapai bat as minimal usia penyelenggaraan pemerint ahan sebagaimana diat ur dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam penj elasan Pasal 4 ayat (4) t ersebut , bat as minimal usia penyelenggaraan pemerint ahan suat u daerah unt uk dapat dimekarkan adalah :

a. Provinsi 10 ( sepuluh ) tahun ; dan b. Kabupaten/kota 7 (tujuh) tahun

2. Pasal 5 UU Nomor 32 Tahun 2004 menent ukan bahwa pembent ukan daerahot onom harus memenuhi t iga sayarat yang meliput i syarat administ ratif, fisik dan teknis.

(6)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Pembent ukan daerah ot onom baru harus memenuhi syarat -syarat administrative sebagai berikut :

1. Syarat administratif Pembentukan Provinsi diatur dalam pasal 5 ayat (2) a. Persetujuan DPRD kabupaten /kota

Persetujuan DPRD dalam ket ent uan ini diwuj udkan dalam bent uk keput usan DPRD yang diproses berdasarkan pernyat aan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat .

b. Perset uj uan Bupat i / walikot a yang akan menj adi cakupan wilayah provinsi.

c. Persetujan DPRD provinsi induk

Perset uj uan DPRD dalam ket ent uan ini diwuj udkan dalam keput usan DPRD yang diproses berdasarkan pernyat aan aspirasi sebagian masyarakat setempat.

d. Persetujuan Gubernur

Perset uj uan Gubernur dalam ket ent uan ini di wuj udkan dalam bent uk keput usan Gubernur bersarkan hasil kaj ian t im yang khusus dibent uk oleh pemerint ah provinsi yang bersangkut a t erhadap perlunya dibent uk provinsi baru dengan mengacu pada perat uran perundang-undangan. Tim yang dimaksud dapat mengikut sert akan t enaga ahli sesuai dengan kebutuhan

e. Rekomendasi menteri dalam negeri

2. Syarat Administ rasi Pembent ukan Kabupat en / kot a diat ur dalam pasal 5 ayat (3) UU nomor 32 Tahun 2004)

a. Persetujuan DPRD Kabupaten/Kota

b. Persetujuan Bupati/Walikota yang bersangkutan c. Persetujuan DPRD Provinsi

d. Persetujuan Gubernur serta

e. Rekomendasi Menteri dalam Negeri

b. Syarat Teknis diatur dalam pasal 5 ayat (4) UU nomor 32 tahun 2004 Syarat teknis yang menjadi dasar pembentukan yang mencakup : 1. Faktor Kemampuan Ekonomi

(7)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Ukuran kedua adalah Penerimaan daerah yang bersangkut an . Hal ini dapat dilihat dari rasio penerimaan Daerah Sendiri t erhadap pengeluaran rut in serta rasio Penerimaan Daerah Sendiri terhadap PDRB.

2. Potensi Daerah

Pot ensi daerah diukur dari lembaga keuangan sarana dan prasarana , ekonomi, sarana pendidikan , sarana sekolah, sarana t ransport asi dan komunikasi, saran pariwisata serta ketenaga kerjaan

3. Sosial Budaya

Diukur dari t empat / kegiat an inst it usi soaisl sert a sarana olah raga yang ada didaerah tersebut

4. Sosial Politik

Diukur dari part isipasi masyarakat dalam berpolit ik sert a j umlah organisasi kemasyarakatan

5. Kependudukan

Diukur dari jumlah penduduk 6. Luas Daerah

Dilihat dari luas daerah dengan sub indicat or rasio j umlah penduduk urban t erhadap j umlah penduduk (khusus unt uk pembent ukan kot a), luas wilayah secara keseluruhan, sert a luas wilayah yang secara ef ekt if yang dapat dimanfaatkan

7. Pertahanan dan Keamanan

Pert ahanan dan keamanan dilihat dari t ingkat keamanan dan ket ert iban dimasyarakat

8. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah

Yang dimaksud dengan f akt or lain dalam hal ini adalah pert imbangan kemampuan keuangan, t ingkat kesej aht eraan masyarakat sert a rent ang kendali yang diukur dari j arak kecamat an ke pusat pemerint ahan sert a rat a-rata lama waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan.

c. Syarat Fisik diatur dalam Pasal 5 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 Syarat fisik meliputi :

1. Paling sedikit memiliki 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi 2. Paling sedikit 5 ( lima ) kecamatan untuk pembentukan kabupaten

(8)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

4. Telah menetapkan lokasi calon ibukota dan

(9)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Bab III

OTONOMI DAERAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

1. Kebijakan Otonomi Daerah

Kebij akan desent ralisasi dan ot onomi daerah yang dit uangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 t ent ang Pemerint ahan Daerah sebagai penggant i UU No. 22 Tahun 1999 pada dasarnya merupakan amanah UUD 1945 sebagai upaya mewuj udkan cit a-cit a nasional unt uk mempercepat t erwuj udnya kesej aht eraan masyarakat melalui peningkat an pelayanan, pemberdayaan dan peran sert a masyarakat , pembangunan daerah, sert a peningkat an daya saing daerah dengan memperhat ikan prinsip demokrasi, pemerat aan, keadilan, keistimewaan atau kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.

Selama lebih dari lima t ahun pelaksanaan ot onomi daerah sej ak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, t erj adi perubahan yang cukup posit if dalam penyelenggaraan pemerint ahan daerah. Berbagai kebijakan t elah dihasilkan oleh Daerah dalam pengembangan kemandiriannya. Hal ini dit andai dengan munculnya kreat ivit as dan inovasi yang dilakukan oleh Pemerint ah Daerah dalam memecahkan masalah-masalah lokal yang menj adi t ugas ut amanya ant ara lain di bidang pendidikan, kesehat an, perij inan dan lain sebagainya. Sedangkankan dari sisi demokrasi, di Daerah t elah dilaksanakan serangkaian pemilihan Kepala Daerah t anpa adanya hambat an yang cukup berarti. Walaupun ada kasus-kasus di beberapa Daerah yang belum teratasi tetapi hal itu menjadi bagian dari pembelajaran.

Disadari bahwa pelaksanaan Ot onomi Daerah masih belum memuaskan t erut ama berkait an dengan pembangunan inf rast rukt ur di Daerah yang banyak dikeluhkan baik oleh para invest or maupun warga masyarakat . Di beberapa Daerah kit a t emui bangunan sekolah yang rusak, rumah sakit yang kurang memadai, j alan rusak, j embat an roboh, dan sebagainya. Jika hal ini dibiarkan dapat menyebabkan rendahnya mut u pendidikan dan kesehat an masyarakat , t erhambat nya j alur dist ribusi barang dan j asa sehingga t erj adi ekonomi biaya t inggi yang menyebabkan produk dari Daerah t idak dapat bersaing

(10)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

dan pada akhirnya arus investasi ke Daerah terutama di luar Pulau Jawa akan terus berkurang.

2. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Banyaknya persoalan yang dihadapi Daerah akibat t erbat asnya inf rast rukt ur t idak dapat begit u saj a menj adi t anggungj awab sepenuhnya Pemerint ah Daerah, mengingat Daerah merupakan bagian dari suat u sist em NKRI yang memiliki kewenangan dan pendanaan yang t erbat as. Daerah-daerah yang t idak memiliki sumber daya alam menj adi sangat t ergant ung dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil yang dikucurkan Pusat, walaupun dalam praktiknya dana-dana tersebut tidak cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Daerah.

Selain masalah kurangnya dana yang dimiliki Daerah, Pemerint ah Daerah j uga dihadapkan pada beberapa persoalan regulasi dan manaj emen yang perlu segera diat asi. Salah sat u penyebab t imbulnya “ kebingungan” Daerah dalam mengimplement asikan otonomi daerah adalah tidak lengkapnya regulasi atau peraturan pelaksanaan yang dapat dij adikan acuan Daerah. Selain it u, masih ada perat uran perundang-undangan sekt oral yang t idak sej alan dengan kebij akan ot onomi daerah. Sedangkan dari Aspek Manaj emen, dirasakan kurangnya dukungan kepemimpinan dan manaj emen dalam mengurus implement asi ot onomi daerah yang t ercermin dari lemahnya pengawasan, pembinaan, sert a monit oring dan evaluasi yang dilakukan Pemerint ah at au oleh Provinsi sebagai wakil pemerint ah Pusat t erhadap pelaksanaan ot onomi di daerah. Hal ini menyebabkan munculnya serangkaian permasalahan di Daerah, misalnya adanya penaf siran yang berbeda-beda t ent ang ot onomi daerah, munculnya produk-produk Perda di beberapa daerah yang bermasalah, dominasi legislat ive t erhadap eksekut if , dan t umpang t indihnya insit usi pengawasan f ungsional yang ada di Daerah (misalnya BPK, BPKP, It j en Depdagri, Bawasda Propinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota).

Pengelolaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang menggunakan Formula sepert i Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kurang t ransparan. Hal ini berpot ensi unt uk disalaht af sirkan dan menj adi rawan unt uk dijadikan obyek dari oknum tertentu untuk disalahgunakan.

(11)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

3. Aspek Otonomi Daerah

Untuk mengetahui prospek otonomi daerah dalam pembangunan nasional dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya:

Dari aspek ideol ogi, nilai-nilai yang t erkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara yang mengamanat kan pengakuan ket uhanan, semangat persat uan, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan sert a kesej aht eraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sej alan dengan t uj uan ot onomi daerah yait u dalam rangka pendemokrat isasian dan pemberdayaan masyarakat.

Dari aspek pol it ik, pemberian ot onomi kepada Daerah merupakan wuj ud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada pemerint ah daerah, unt uk mengembalikan harga diri pemerint ah dan masyarakat daerah yang selama ini dieksploit asi Pusat . Kepercayaan Pusat dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan mencipt akan hubungan yang harmonis ant ar pusat dan daerah, yang pada akhirnya akan mendorong dukungan daerah terhadap kebijakan-kebijakan Pusat.

Dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah dalam meningkat kan dan mengembangkan perekonomian di daerah. Peningkat an t ersebut akan membawa pengaruh signif ikan t erhadap peningkat an kesej aht eraan masyarakat . Ot onomi daerah dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional maupun global sehingga ot onomi t idak lagi dit uding sebagai penghambat kegiat an ekonomi, indust ri dan perdagangan dengan menjamin mobilitas barang, jasa, manusia, dan modal.

Dari aspek sosial budaya, kebij akan ot onomi daerah merupakan pengakuan t erhadap keanekaragaman daerah sekaligus sebagai upaya melest arikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya daerah. Pengakuan t ersebut pada akhirnya akan menumbuhkan rasa kesetaraan, sejajar dan keadilan antar daerah.

Dari aspek pert ahanan dan keamanan, kebij akan ot onomi daerah menumbuhkan kepercayaan Daerah t erhadap Pusat yang dapat mengeliminir gerakan-gerakan separat is yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesaturan Republik Indonesia.

(12)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Bab IV

PERKEMBANGAN ANGGARAN BELANJA KE DAERAH

1. Perkembangan Anggaran Belanja ke Daerah Dalam APBN

Sej ak dimulainya era ot onomi daerah dan desent ralisasi f iskal pada t ahun 2001, pelaksanaan ot onomi daerah dan desent ralisasi f iscal kini t elah berj alan lebih dari lima t ahun. Selama kurun wakt u t ersebut kebij akan desent ralisasi f iskal diarahkan unt uk, (1) meningkat kan ef esiensi pemanf aat an sumber daya nasional, (2) meningkat kan akunt abilit as, t ransparansi dan part isipasi mayarakat (3) mengurangi kesenj angan f iskal ant ara pusat dan daerah dan ant ar daerah (4) meningkat kan pelyanan publik sert a (5) meningkatkan efisiensi melalui anggaran berbasis kinerja.

Sej alan dengan kebij akan desent ralisasi f iskal dan ot onomi daerah dimaksud, maka besarnya penyerahan sumber-sumber pendanaan oleh pemerint ah pusat kepada pemerint ah daerah, yang diimplement asikan dalam bent uk t ransf er belanj a ke daerah. Dari t ahun ket ahun t erus menglami peningkat an baik dari segi cakupan, j enis dana yang didaerahkan, maupun dari segi besaran alokasi dana yang didaerahkan.

Selanj ut nya dalam rangka meningkat kan akunt abilit as publik dan pelayanan publik t ingkat lokal, maka sesuai dengan azas demokrasi, pada t ahun 2004 DPR.RI dan Pemerint ah t elah melakukan revit alisasi kebij akan desent ralisasi f iskal yang dit andai dengan disahkannya Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 t ent ang Perimbangan Keuangan ant ara Pemerint ah Pusat dan Pemerint ah Daerah sebagai penggant i Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999.

Dibidang dana perimbangan, revit alisasi kebij akan desent ralisasi f iskal sebagaimana yang t ermuat dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 meliput i ant ara lai (1) dimasukannya persent ase bagi hasil PPh Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 ant ara Pemerint ah pusat dan pemerint ah daerah (2) Penyempurnaan bagi hasil sumber daya alam, dengan penambahan bagian daerah dari sekt or pert ambangan panas bumi (3) Penambahan variabel kebut uhan f iskal dalam perhit ungan dana alokasi umum (DAU) sert a (4) penyempurnaan def inisi dan krit eria dana alokasi khusus (DAK) dengan ant ara lain mengalihkan DAK yang bersumber dari dana reboisasi ke dalam dana bagi hasil

(13)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

(DBH). Dengan adanya upaya penyempurnaan tersebut maka pengelolaan fiskal oleh pemerintah daerahn menjadi semakin meningkat.

Seiring dengan t erj adinya peningkat an pengelolaan f iskal oleh pemerint ah daerah, terjadi pula peningkatan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah secara signif ikan dalam beberapa t ahun t erakhir, t erut ama pada t ahun 2006. Apabila pada t ahun 2004 realisasi belanj a ke daerah mencapai Rp 129,7 t rilyun (5,6 persen t erhadap PDB), maka pada t ahun 2005 j umlah t ersebut meningkat sebesar Rp 150,5 t rilyun (5,5 persen t erhadap PDB) . Sement ara it u dalam RAPBN-P 2006 alokasi belanj a ke daerah diperkirakan mencapai Rp 219,4 t rilyun (7,0 persen dari PDB) yait u meningkat sebesar Rp 68,9 trilyun atau 45,8 persen dari realisasinya dalam tahun 2005.

Peningkat an alokasi anggaran belanj a ke daerah ini ant ara lain berkenaan dengan lebih t ingginya penerimaan dalam negeri , yang membawa konsekuensi pada lebih t ingginya DBH dan DAU. Selain it u, peningkat an alokasi anggaran belanj a ke daerah t ersebut j uga berkait an dengan adanya penyesuaian persent ase DAU, yait u dari semula 25 persen dari pendapat an dalam negeri (PDN) net o sampai dengan t ahun 2003 , menj adi 25,5 persen dari PDN net o dalam t ahun 2004 dan t ahun 2005 dan selanj ut nya menj adi 26 persen dari PDN net o dalam t ahun 2006. Peningkat an alokasi anggaran ke daerah yang cukup signif ikan t ersebut diharapkan semakin meningkat kan kemampuan keuangan daerah dalam pembiayaan pembangunan daerah. Sehingga memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam pengelolaan pengelolaan keuangan daerah yang semakin besar ini, pemerint ah daerah harus mampu menj abarkannya dengan mengikut i kaidah-kaidah ef isiensi, ef ekt if it as, f leksibilit as, t ransparansi dan akunt abilit as sesuai dengan at uran pengelolaan keuangan negara. Alokasi anggaran belanj a ke daerah t ersebut t erdiri dari dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian

2. Pemekaran Daerah

Sej ak dit et apkannya PP Nomor 129 Tahun 2000 t ent ang Persyarat an Pembent ukan dan Krit eria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, j umlah daerah ot onom baru menunj ukkan peningkat an yang cukup signif ikan. Berdasarkan Grafik V.16 dapat diket ahui bahwa sej ak t ahun 1999 sampai dengan t ahun 2007, j umlah daerah ot onom baru mengalami peningkat an sebanyak 166 daerah baru, sehingga pada t ahun 2007 j umlah daerah ot onom secara keseluruhan menj adi 492 daerah, yang t erdiri dari 33 provinsi, 369 kabupat en, dan 90 kot a. Dengan menambahkan sat u kabupat en dan lima

(14)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta, maka j umlah keseluruhan kabupaten/ kota di Indonesia adalah sebanyak 465 kabupaten/kota (370 kabupaten dan 95 kota).*

Pembent ukan daerah ot onom baru dapat menimbulkan permasalahan, j ika t idak didukung oleh kemampuan ekonomi dan keuangan yang memadai. Berdasarkan hasil evaluasi sement ara t erhadap 147 daerah ot onom baru, diket ahui bahwa daerah ot onom baru menghadapi berbagai macam permasalahan, ant ara lain penyerahan pembiayaan, personil, peralat an dan dokumen (P3D), bat as wilayah, dukungan dana kepada daerah ot onom baru, mut asi PNS ke daerah ot onom baru, pengisian j abat an dan t at a ruang. Pemekaran daerah j uga mempunyai dampak yang cukup besar t erhadap APBN, yaitu dampak t erhadap DAU, penyediaan DAK bidang prasarana pemerint ahan, dan pembangunan inst ansi vert ikal. Dampak pemekaran daerah t erhadap DAU adalah menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah lain yang t ersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di Indonesia karena bert ambahnya j umlah daerah. Penurunan t ersebut

(15)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

pada gilirannya dapat membebani APBN, karena adanya kebij akan hold harmless sehingga dibutuhkan dana tambahan (dana penyeimbang/dana penyesuaian). Dampak pemekaran daerah terhadap DAU dapat dilihat dalam Tabel V.15.

Unt uk membant u penyediaan sarana dan prasarana pemerint ahan di daerah ot onom baru, mulai t ahun 2003 t elah dialokasikan DAK bidang prasarana pemerint ahan yang digunakan unt uk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerint ahan daerah pemekaran. Kegiat an yang dibiayai diarahkan unt uk pembangunan/ perluasan gedung kant or pemerint ahan daerah. Daerah yang menerima adalah daerah yang t erkena dampak pemekaran (daerah ot onom baru dan daerah induk). Perkembangan j umlah DAK bidang prasarana pemerintahan yang diserahkan ke daerah dapat dilihat Grafik V.17.

Berdasarkan Grafik V.17. tersebut dapat diketahui bahwa DAK bidang prasarana

pemerintahan yang dialokasikan ke daerah pada tahun tahun 2003 adalah sebesar Rp88,0 miliar unt uk 22 kabupat en/ kot a, at au t iap daerah rat a-rat a menerima Rp4,0 miliar. Jumlah DAK bidang prasarana pemerint ahan t ersebut t iap t ahun t erus meningkat sej alan dengan meningkat nya j umlah daerah ot onom baru. Pada t ahun 2007 DAK bidang prasarana pemerint ahan t elah mencapai Rp539,0 miliar unt uk 159 kabupat en/ kot a, at au t iap daerah rat a-rat a menerima Rp 3,4 miliar. Konsekuensi lain dari pemekaran daerah t erhadap keuangan negara adalah penambahan kant or-kant or vert ikal unt uk mendanai

(16)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

urusan-urusan pemerint ahan yang menj adi kewenangan pemerint ah pusat , yait u pert ahanan, keamanan, agama, kehakiman, dan keuangan. Penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka pembukaan kant or inst ansi vert ikal t ersebut ant ara lain unt uk Kant or Kepolisian, Kodim, Kant or Agama, Pengadilan, Kej aksaan, Bea Cukai, Paj ak, Kant or Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Badan Pert anahan Negara, dan Badan Pusat Statistik.

Dengan dibukanya kant or-kant or t ersebut , pemerint ah pusat harus menyediakan dana unt uk sarana dan prasarana gedung kant or, belanj a pegawai, dan belanj a operasional lainnya. Alokasi anggaran kement erian/ lembaga unt uk daerah ot onom baru berdasarkan Rencana Kerj a dan Anggaran Kement erian/ Lembaga (RKA KL) t ahun 2005 s.d. 2007 ditunjukkan dalam Tabel V.16.

(17)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Berdasarkan Tabel V.16, dapat diket ahui bahwa pemekaran daerah mempunyai dampak yang cukup besar t erhadap keuangan negara, sehingga pemekaran daerah ke depan perlu dilaksanakan secara selekt if dan hat i-hat i. Pemekaran daerah diharapkan dapat memberikan manfaat nyat a dalam mendukung upaya peningkat an pelayanan publik dan kesej aht eraan rakyat . Oleh karena it u, dalam revisi PP Nomor 129 Tahun 2000, persyarat an kelulusan pembent ukan daerah baru menj adi lebih diperket at dengan menet apkan nilai mut lak (harus memenuhi nilai minimal) bagi 4 fakt or dominan yait u: kependudukan, kemampuan ekonomi, pot ensi daerah, dan kemampuan keuangan. Selain it u, ket ersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pelayanan minimal j uga menj adi syarat mut lak dalam penilaian usulan pembent ukan daerah baru.Secara umum, arah kebij akan penat aan daerah akan lebih dit ekankan pada prinsip efisiensi dan efekt ivit as penyelenggaraan pemerint ahan daerah dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menyusun inst rumen persyarat an pembent ukan daerah ot onom yang berorient asi kepada peningkat an kualit as pelayanan dan kesej aht eraan rakyat dengan mempert imbangkan aspek-aspek demokrat isasi, pert ahanan dan keamanan, dan seterusnya;

b. Menyusun inst rumen evaluasi yang t epat unt uk menget ahui kemampuan daerah otonom dan efektivitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;

c. Melaksanakan monitoring dan evaluasi secara terprogram untuk mengetahui perkembangan kemampuan daerah otonom dan efektivitas dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat;

d. Merancang skenario pembinaan t erhadap daerah-daerah ot onom sesuai dengan hasil evaluasi;

(18)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

e. Merancang pola kelembagaan yang berbasis pelayanan, dalam art i t idak set iap

daerah ot onom harus membent uk sendiri-sendiri kelembagaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat , akan t et api dapat pula melaksanakan kerj asama ant ar daerah dengan membent uk kelembagaan yang j angkauannya t idak t erbat as pada satu daerah otonom tertentu.

Dengan demikian, diharapkan t uj uan ut ama pelaksanaan ot onomi daerah dan desent ralisasi f iskal dalam meningkat kan kesej aht eraan masyarakat , mendekat kan pelayanan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah dapat tercapai.

2. Dampak Pemekaran daerah Bagi APBN

Dengan diberlakukanya ot onomi daerah memberikan ruang kepada daerah unt uk melakukan pemekaran daerahnya menj adi beberapa daerah ot onom. Sej ak t ahun 2001 sampai dengan saat ini t elah t erbent uk 3 propinsi baru, 80 kabupat en baru dan 18 kot a baru sehingga j umlah keseluruhan propinsi menj adi 33 propinsi, 348 kabupat en, dan 86 kot a. Sedangkan yang masih proses pembahasan undang-undang ada 17 daerah baru dimana 12 diantaranya merupakan usulan hak inisiatif DPR.

Peningkat an j umlah derah ot onom t ersebut berdampak pada anggaran negara dan daerah karena memerlukan t ambahan pendanaan. Bagi pemerint ah pusat , menampah beban APBN karena harus menyediakan dana unt uk pembangunan gedung kant or, gaj i pegawai, dan biaya operasional inst ansi vert ikal di daerah. Biaya ini sebenarnya t idak akan menj adi beban apabila ada manf aat nyat a dan j elas bagi peningkat an kesejahteraan masyarakat.

Tuj uan pemekaran daerah Menurut Noldy Tuerah dosen Universit as Sam Rat ulangi Manado, adalah unt uk peningkat an kesej aht eraan masyarakat , mendekat kan pelayanan, kemandirian daerah, dan pemerat aan pembangunan ekonomi. Sehingga out put yang diharapkan adalah t erpenuhinya pelayanan dasar, pelayanan publik lebih luas dan mudah diakses, cepat, transparan dan akuntabel.

Dalam kasus pemekaran kabupat en Humbang Hasundut an, dampak pemekaran t erhadap penyelenggaraan pemerint ah sepert i pemangkasan birokrasi melalui pemberian wewenang kepada sat uan kerj a perangkat daerah dan pemerint ah kecamat an, pelayanan akt a cat at an sipil secara langsung ke kecamat an, penebit an kart u t anda

(19)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Demikian j uga yang terj adi pada kabupaten Minahasa, pemekaran telah berdampak dalam pembanguanan daerah tersebut. Seperti pelayanan umum yaitu dengan penyederhanaan birokrasi melalui Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA), peningkatan pelayanan kesehatan, dan pendidikan.

Permasalahan pembent ukan daerah baru kurangnya memperhat ikan f akt or ekonomi dan keuangan sehingga dapat menyebabkan kont ra produkt if t erhadap ot onomi daerah. “ Pemekaran daerah berdampak t erhadap keuangan negara dal am hal pembagian DAU, penyediaan DAK bidang prasarana pemerint ahan, dan pembangunan inst ansi vert ikal ,” kat a Mardiasmo, Direkt ur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam acara workshop nasional keuangan daerah

Dampak pemekaran daerah t ersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di Indonesia yait u melalui pengurangan riel porsi DAU, karena bert ambahnya j umlah daerah (f akt or pembagi). Penurunan t ersebut pada gilirannya dapat membebani APBN, karena adanya kebij akan hold harmless sehinggga dibut uhkan dana t ambahan (dana penyeimbang/dana penyesuaian).

Demikian j uga pemerint ah harus menyediakan DAK bidang prasarana pemerint ahan unt uk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerint ah daerah sebagai akibat dari pemekaran. Unt uk t ahun 2006 penyediaan DAK bidang prasarana pemerint ahan mencapai Rp. 448,68 miliar atau meningkat 64,95 persen dari tahun 2005 yang hanya Rp. 272,00 miliar. Daerah penerima t ahun 2006 berj umlah 137 kabupat en/ kot a dan 1 propinsi. Sedangkan beban APBN lainya adalah pembukaan kant or-kant or inst ansi vert ical unt uk membiayai urusan-urusan pemerint ahan yang menj adi kewenangan pemerint ah pusat sepert i kant or kepolisian, kodim, kant or agama, pengadilan dan kejaksaan.

3. Potret APBD Sebelum dan Saat desentralisasi Fiskal

3.1 Penerimaan Daerah

Isu ut ama dari PAD dikait kan dengan pelaksanaan ot onomi daerah adalah bahwa PAD merupakan pencerminan dari l ocal t axing power yang menurut sebagian pihak seyogyanya cukup signif ikan besarnya. Namun, pengalaman menunj ukkan bahwa PAD kabupaten/kota secara umum hanya memiliki peran yang marjinal terhadap APBD.

(20)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Memasuki era desentralisasi, rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan kabupaten/ kota mengalami penurunan. Dilihat dari kabupaten/ kota secara keseluruhan, kontribusi PAD terhadap total penerimaan sebelum desentralisasi mencapai 10,2 persen, turun menjadi 8,1 persen pada era desentralisasi, atau mengalami penurunan sebesar 2,1 persen. Kemampuan fiskal daerah untuk membiayai pengeluaran pada era desentralisasi menunjukkan penurunan apabila dibandingkan sebelum desentralisasi.

Kont ribusi PAD t erhadap t ot al penerimaan unt uk Kabupat en/ Kot a di Jawa sebelum desent ralisasi rat a-rat a sebesar 13,1 persen dari t ot al PAD, pada era desent ralisasi kont ribusi t ersebut menj adi sebesar 10,6 persen at au mengalami penurunan sebesar 2,5 persen. Unt uk kabupat en/ kot a diluar Jawa, kont ribusi PAD t erhadap t ot al penerimaan sebelum desent ralisasi sebesar 8,4 persen, pada era desent ralisasi kont ribusi t ersebut menj adi 6,5 persen at au mengalami penurunan sebesar 1,9 persen.

Dilihat dari sisi komposisi pada pos-pos PAD, paj ak daerah dan ret ribusi daerah Kont ribusi pos-pos PAD t erhadap t ot al PAD sebelum dan pada era desent ralisasi mengalami pergeseran sebagai pos PAD yang menyumbang kont ribusi t erbesar. Unt uk kabupat en/ kot a di Jawa, ret ribusi daerah yang sebelum desent ralisasi memberikan kontribusi rat a-rat a t erbesar yakni sebesar 46 persen, t urun menj adi 34,1 persen. Sedangkan paj ak daerah yang sebelumnya berada urut an kedua dengan kont ribusi rat a-rata sebesar 38,4 persen, naik keurutan pertama dengan kontribusi menjadi 45,6 persen.

Lain halnya kabupat en/ kot a di luar Jawa, paj ak daerah sebelum desent ralisasi memberikan kont ribusi t erhadap t ot al PAD rat a-rat a sebesar 55 persen, t urun menj adi 48,4 persen pada era desent ralisasi. Ret ribusi daerah yang sebelum desent ralisasi menempat i urut an kedua dengan kont ribusi rat a-rat a sebesar 31,4 persen, t urun keurut an ket iga dengan kont ribusi sebesar 23, 1 persen. Lain-lain pendapat an yang sah naik keurutan 3 dengan kontribusi sebesar 26 persen.

(21)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Tabel 1. Rata-rata Kontribusi PAD Terhadap Total Penerimaan

Sebelum dan Pada Era Desentralisasi

Sebelum Desentralisasi (%) Era Desentralisasi (%) Daerah

98/99 99/00 Rata-2 2001 2002 Rata-2 Jawa 14,2 12,0 13,1 8,0 13,2 10,6 Luar Jawa 8,5 8,2 8,4 6,0 7,0 6,5 Jawa + Luar Jawa 10,6 9,8 10,2 6,7 9,4 8,1

Sumber : DJPKPD, Departemen Keuangan (diolah)

3.2 Perencanaan APBD

Pola perencanaan sebelum ot onomi lebih menit ik berat kan pada pert umbuhan nasional dan mengacu pada program sekt oral yang t elah dit et apkan oleh pusat , sehingga kurang menampung aspirasi/ kebut uhan daerah. Kondisi ini membawa konsekuensi kepada penerapan pola alokasi dana yang lebih menit ik berat kan pada t arget sekt oral, bukan didasarkan atas penetapan prioritas yang diusulkan oleh daerah.

Di awal pelaksanaan ot onomi daerah, dimana dana disalurkan pemerint ah pusat ke pemerint ah daerah secara bl ock grant , penyusunan anggaran dilakukan melalui pendekat an perencanaan pembangunan part isipat if . Perencanaan part isipat if ini melibat kan masyarakat pada t ingkat paling bawah, sehingga pembangunan yang dipriorit askan adalah kebut uhan masyarakat yang benar-benar dibut uhkan dalam rangka memecahkan masalah yang diidentifikasi bersama dengan potensi lokal yang dimiliki.

Kabupat en Temanggung misalnya, Kabupat en yang t erlet ak dit engah-t engah Propinsi Jawa Tengah ini dalam perencanaan anggarannya mengembangkan “ Gerakan Pembangunan yang Berawal dari Pedusunan (GERBANG DUSUNKU)” . Unt uk membiayai program Gerbang Dusunku, melalui Keput usan Bupat i Nomr 050/ 14 Tahun 2004 t elah disusun program Dana Gerbang Dusunku (disingkat dengan DAGERDU). Program ini unt uk memberikan bant uan dana kepada masyarakat desa sampai t ingkat dusun, unt uk membant u masyarakat sampai dengan t ingkat dusun membangun sarana dan prasarana

(22)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

dasar (infra strutur) seperti jalan, jembatan, pengairan/ irigasi, air bersih, sarana pendidikan, kesehatan, dll. sesuai prioritasnya.

3.3 Belanja Daerah

Sesuai dengan Perat uran Pemerint ah Nomor 5 Tahun 2000 t ent ang Pengelolaan dan Pert anggungj awaban Keuangan Daerah, pada pasal 8 disebut kan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekat an kinerj a. Anggaran berdasarkan kinerj a merupakan suat u sist em anggaran dengan mengut amakan upaya pencapaian hasil kerj a at au out put dari perencanaan lokasi biaya at au input yang dit et apkan. Dengan sist em anggaran t ersebut , ef isiensi dan ef ekt ivit as pengelolaan keuangan daerah diharapkan menj adi lebih baik, transparan, demokratis, dan akuntabel.

Sepert i yang t erj adi di Kot a Denpasar, Kot a dengan andalan sekt or pariwisat a sebagai sumber penerimaan daerah ini dalam menyongsong ot onomi daerah mulai t ahun 2001 t elah mencanangkan kegiat an yang disebut dengan Pengembangan Kemampuan Pemerint ah Kot a (PKPK). Kegiat an ini bert uj uan unt uk meningkat kan kemampuan aparat dan kelembagaan pemerint ahan sehingga dalam j angka panj ang mampu mewuj udkan Good governance, dan dalam j angka pendek mampu melaksanakan t ugas dan f ungsi pemerint ahan, memberikan pelayanan umum kepada masyarakat , sert a mendorong partisipasi swasta dalam membangun daerah.

Mulai t ahun anggaran 2003, t elah menerapkan anggaran berbasis kinerj a pada dinas-dinas di j aj aran Pemerint ah Kot a Denpasar sesuai Keput usan Ment eri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 t ent ang Pedoman Pengurusan, Pert anggungj awaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanj a Daerah Pelaksanaan Tat a Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhit ungan APBD. Sampai dengan t ahun anggaran 2003, Belanj a daerah diklasif ikasikan kedalam belanj a rut in dan belanj a pembangunan. Secara keseluruhan, t ot al kedua belanj a t ersebut pada era ot onomi t elah mengalami kenaikan sebesar 2 kali lipat dibanding sebelum otonomi daerah dilaksanakan.

Pada era ot onomi, rat a-rat a belanj a kabupat en/ kot a di Jawa naik 203 persen dibandingkan sebelum ot onomi. Dari kenaikan t ersebut , belanj a rut in mengalam

(23)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

persen. Sementra itu belanj a daerah untuk Kabupaten/ kota di luar pulau Jawa mengalami kenaikan sebesar 194 persen. Belanja rutin naik sebesar 200 persen, sedangkan belanja pembangunan naik menjadi 184 persen. Bunga Rampai Hasil Penelitian 2004 Potret Fiskal Daerah Sebelum dan Pada Era Desentralisasi

Dilihat dari komposisi belanj anya, komposisi belanj a rut in dan pembangunan ant ara sebelum ot onomi dan era ot onomi daerah t idak banyak mengalami perubahan. Unt uk kabupat en/ kot a di Jawa, sebesar 75 persen dialokasikan unt uk belanj a rut in, dan sisinya sebesar 25 persen untuk belanja pembangunan. Sedangkan kabupaten/kota di luar Jawa, sebesar 66 persen dari t ot al belanj a digunakan unt uk belanj a rut in, sedangkan sisinya untuk belanja pembangunan.

Pada era ot onomi daerah, Pos belanj a rut in yang mengalami peningkat an adalah pos belanj a barang. Di era ot onomi, porsi pos ini mengalami kenaikan baik unt uk daerah di Jawa maupun luar Jawa.

Unt uk Kabupat en/ Kot a di Jawa, porsi pos belanj a barang sebesar 8, 1 sebelum ot onomi daerah, naik menj adi 9,8 persen set elah era ot onomi. Naiknya porsi pos belanj a barang tersebut mengurangi porsi untuk belanja perjalan dinas dari 2,1 persen sebelum otonomi menjadi 0,6 persen pada era otonomi.

Unt uk Kabupat en/ Kot a di luar Jawa, porsi belanj a barang sebelum ot onomi sebesar 9,4 persen naik menj adi 12,1 persen pada era ot onomi. Naiknya porsi belanj a barang tersebut akibat dari berkurangnya pos belanja pegawai.

Kemandirian f iskal daerah yang dilihat dari rasio PAD t erhadap belanj a rut in pada era ot onomi secara keseluruhan mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan sebelum ot onomi. Rat a-rat a rat io PAD t erhadap belanj a rut in Kabupat en/ Kot a di Jawa sebesar 18,6 persen sebelum otonomi, pada era otonomi turun menjadi 12,7 persen atau mengalami penurunan sebesar 5, 9 persen. Unt uk Kabupat en/ Kot a di Luar Jawa rat a-rata rat io PAD t erhadap belanj a rut in sebelum ot onomi sebesar 12,5 persen, pada era otonomi menjadi 10,1 persen, atau mengalami penurunan 2,4 persen.

(24)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Alokasi belanja pembangunan Kabupaten/ Kota di Jawa paling besar adalah untuk sektor transportasi. Sektor ini sebelum otonomi menyerap 24,03 persen dana pembangunan dan pada era ot onomi t et ap menj adi priorit as ut ama walauapun porsinya t urun menj adi 22,02 persen. Sekt or Aparat ur pemerint ah sebelum ot onomi menduduki priorit as 4, pada era ot onomi naik menj adi priorit as 2. Sement ara it u, sekt or hukum menj adi sekt or paling rendah prioritasnya.

4. PP No 129/2000

Tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerint ah daerah ini t elah menimbulkan t ekanan t erhadap APBN akibat adanya sej umlah dana yang harus dit ransf er kepada pemerint ah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerint ah pusat unt uk membuat krit eria yang j elas dan t egas dalam menyet uj ui pemekaran pemerint ah daerah baru.

Berhubungan dengan krit eria t ersebut , pemerint ahan Gus Dur pada akhir 2000 t elah mengeluarkan PP No 129/ 2000 t ent ang Persyarat an Pembent ukan dan Krit eria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam PP t ersebut dinyat akan bahwa daerah dapat dibent uk at au dimekarkan j ika memenuhi syarat -syarat ant ara lain: kemampuan ekonomi, pot ensi daerah, sosial budaya, sosial polit ik, j umlah penduduk, luas daerah, sert a pert imbangan lain yang memungkinkan t erselenggaranya ot onomi daerah.

Namun, krit eria t ersebut dirasakan kurang bersif at operasional. Misalnya, dalam bent uk st andardisasi berapa besar nilai set iap indikat or sehingga suat u daerah layak unt uk dimekarkan.

Lemahnya dasar penent uan krit eria ini t elah menimbulkan celah t erj adinya pot ensi 'kerja sama' antara daerah yang ingin dimekarkan dan aparat pemerintah pusat termasuk DPR. Selain it u, prosedur pemekaran yang berdasarkan hasil penelit ian yang dibuat oleh daerah yang ingin dimekarkan t ersebut , mengandung pot ensi yang besar pula unt uk suatu 'tindakan manipulasi'.

Sudah menj adi rahasia umum bahwa dengan adanya pemekaran pemerint ah daerah, maka akan t imbul posisi dan j abat an baru. Dan, ini berimplikasi lebih j auh lagi dengan munculnya sist em birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan j abat an ini t ent unya t idak t erlepas dari adanya aliran dana dari pemerint ah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.

(25)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

5. Dana Transfer

Mot ivasi unt uk membent uk daerah baru t idak t erlepas dari adanya j aminan dana t ransf er dari pemerint ah pusat kepada pemerint ah daerah. Dalam era desent ralisasi ini, bent uk dana t ransf er ini dikenal sebagai dana perimbangan yang t erdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sert a Dana Bagi Hasil baik bagi hasil paj ak maupun bagi hasil sumber daya alam. Aliran dana inilah yang akan dit ransf er kepada pemerint ah daerah t ermasuk pemerint ah daerah baru berdasarkan krit eria dan formula tertentu.

Komponen t erbesar dalam dana t ransf er pemerint ah pusat kepada pemerint ah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah t erhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersif at t idak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhit ungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal t ersebut menyebabkan adanya kepast ian daerah menerima DAU ini, sehingga secara polit is memberikan mot ivasi unt uk memekarkan daerah. Tent unya sebagai daerah baru, penerimaan DAU t ersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerint ah sepert i kant or pemerint ahan, rumah dinas, sert a pengeluaran lain yang berkait an dengan belanja pegawai.

Pengeluaran yang berkait an dengan aparat ur pemerint ahan ini j elas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekit ar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat t ent unya akan menj adi berkurang dikarenakan pada t ahun-t ahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih dif okuskan pada pembangunan sarana pemerint ahan. Karena it u, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menj adi opport unit y loss t erhadap penyediaan inf rast rukt ur dan pelayanan publik kepada masyarakat . Ini t ent unya merupakan jumlah yang tidak sedikit.

Pada 2003, sebanyak 22 kabupat en/ kot a baru sebagai hasil pemekaran sepanj ang 2002 t elah menerima DAU sebesar Rp1, 33 t riliun. Jumlah ini t erus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, t elah menerima DAU Rp2,6 t riliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini t ent unya j uga akan mengurangi j umlah DAU yang dit erima daerah induk sehingga memiliki pot ensi yang besar pula t erj adinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban t erhadap APBN bert ambah lagi dengan adanya

(26)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.

Salah sat u bent uk pengeluaran langsung oleh pemerint ah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanif est asikan dalam bent uk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Dana Reboisasi. Salah sat u j enis dari DAK Non DR digunakan unt uk membiayai pembangunan prasarana pemerint ahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya unt uk membangun prasarana pemerint ahan daerah pemekaran at au set iap daerah pemekaran akan mendapat kan dana sebesar Rp4 miliar. Jumlah ini t erus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar.

Terlihat j elas bahwa set iap ada daerah pemekaran, beban APBN akan semakin bert ambah besar. Apalagi j ika daerah yang dimekarkan t ersebut adalah pemekaran pemerint ah provinsi. Fakt a t elah menunj ukkan set iap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.

Penj elasan singkat di at as mengembalikan kit a kepada konsep dasar dalam ilmu ekonomi, yait u opport unit y cost . Jelas, bahwa adanya pemekaran t elah menimbulkan opport unit y cost yang sangat besar pada penyediaan inf rast rukt ur dan pelayanan kepada masyarakat . Kit a semua menyadari bahwa pembangunan di daerah bukanlah pembangunan aparat pemerint ah daerah t et api merupakan pembangunan masyarakat daerah secara keseluruhan. Pemerint ah pusat perlu mengambil t indakan segera unt uk menghent ikan t unt ut an pemekaran daerah yang sangat t idak t erkendali ini. Jika pemekaran daerah t idak didasarkan pada krit eria yang t egas dan t erukur, maka kondisi hanya menciptakan komoditas dagangan politik belaka.

Sudah saat nya pemerint ahan di Indonesia mengalokasikan dananya yang sangat t erbat as t ersebut kepada sekt or-sekt or yang bersent uhan langsung dengan peningkat an st andar kehidupan masyarakat.

6. Kendala Implementasi Kebijaksanaan Otda di Indonesia

Selama hampir seperempat abad kebij aksanaan Ot onomi Daerah di Indonesia mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 t ent ang Pokok-Pokok Pemerint ahan di Daerah. Ot onomi Daerah disini diart ikan sebagai hak, wewenang dan kewaj iban daerah unt uk mengat ur dan mengurus rumah t angganya sendiri sesuai dengan perat uran perundang-undangan yang berlaku.

(27)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

daripada hak, yaitu kewaj iban Daerah untuk ikut melancarkan j alannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesej ahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Pelaksanaan Ot onomi Daerah t ersebut membawa beberapa dampak bagi penyelenggaraan Pemerint ahan Daerah. Diant aranya yang paling menonj ol adalah dominasi Pusat t erhadap Daerah yang menimbulkan besarnya ket ergant ungan Daerah t erhadap Pusat . Pemerint ah Daerah t idak mempunyai keleluasaan dalam menet apkan program-program pembangunan di daerahnya. Demikian j uga dengan sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat.

Beranj ak dari kondisi t ersebut t imbul keinginan Daerah agar kewenangan pemerint ahan dapat didesent ralisasikan dari Pusat ke Daerah. Akhirnya t anggal 7 Mei 2001 lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t ent ang Pemerint ahan Daerah yang menegaskan kembali pelaksanaan Ot onomi Daerah. Ot onomi Daerah disini diart ikan sebagai kewenangan daerah ot onom unt uk mengat ur dan mengurus kepent ingan masyarakat set empat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t ersebut maka dimulailah babak baru pelaksanaan Ot onomi Daerah di Indonesia. Kebij akan Ot onomi Daerah ini memberikan kewenangan ot onomi kepada Daerah Kabupat en dan Kot a didasarkan kepada desent ralisasi saj a dalam wuj ud ot onomi yang luas, nyat a dan bert anggung jawab.

Kewenangan Daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerint ahan, kecuali kewenangan di bidang polit ik luar negeri, pert ahanan keamanan, peradilan, monet er dan f iskal, agama, sert a kewenangan bidang lainnya yang akan dit et apkan dengan Peraturan Pemerintah.

Namun demikian lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t idak sert a mert a dapat menyelesaikan permasalahan dominasi kekuasaan Pusat yang dirasakan Daerah selama ini. Berbagai permasalahanpun muncul sebagai ekses implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut . Sebagian pihak menganggap bahwa kebij aksanaan Ot onomi Daerah yang diat ur oleh UU 22/ 1999 adalah kurang t epat , sehingga perlu segera dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut.

Kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplemen-t asikan kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut secara umum dapat kit a klasif ikasikan dari beberapa aspek ant ara lain;

(28)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

aspek politik, aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek aparatur pemerintahan baik Pusat maupun Daerah dan aspek masyarakat.

Dari segi aspek polit ik kebij aksanaan Ot onomi Daerah sebenarnya sudah mendapat dukungan secara nasional dengan dit et apkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Namun demikian dalam perj alanan pelaksanaan UU t ersebut sepert inya kurang mendapat perhat ian dan dukungan polit ik di t ingkat nasional. Hal ini t erlihat dari belum dilakukannya penyesuaian beberapa Undang-Undang yang t idak sej alan dengan kebij aksanaan Ot onomi Daerah. Mengingat kebij aksanaan Ot onomi Daerah ini menyangkut seluruh aspek kehidupan dan penyelenggaraan pemerint ahan maka sudah seharusnya UU 22/1999 dijadikan acuan bagi Undang-Undang lainnya.

Sebagai t indak lanj ut dari aspek polit ik t ersebut adalah aspek regulasi at au perat uran perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 22/ 1999 sebagai regulasi induk kebij aksanaan Ot onom Daerah yang diamanat kan pasal 18 UUD 1945 t ent u harus diat ur lebih lanj ut dengan Perat uran Pemerint ah dan Keput usan Presiden sert a perat uran perundang-undangan lainnya. Unt uk mengat ur lebih lanj ut t ent ang kewenangan ant ara Pusat , Propinsi dan Kabupat en/ Kot a t elah dit erbit kan Perat uran Pemerint ah Nomor 25 Tahun 2000 t ent ang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Ot onom, dimana PP t ersebut memberikan kejelasan dari batasan kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun demikian regulasi implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut masih sangat t erbat as, padahal masih sangat banyak hal yang harus segera diat ur dengan Perat uran Pemerint ah at au Keput usan Presiden. Disamping it u j uga t erdapat inkonsist ensi Pemerint ah Pusat dalam mengeluarkan regulasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan Ot onomi Daerah t ersebut , sepert i Keput usan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 t ent ang Pelaksanaan Ot onomi Daerah di Bidang Pert anahan. Keppres t ersebut menganulir kewenangan di bidang pert anahan yang sudah menj adi kewenangan Daerah dengan mengembalikannya menjadi kewenangan Pusat.

Dari aspek kelembagaan unt uk mengimplement asikan kebij aksanaan Ot onomi Daerah mengharuskan adanya rest rukt urisasi kelembagaan pemerint ahan baik di Pusat maupun Daerah. Secara bertahap hal ini telah dilakukan antara lain dengan melakukan peleburan t erhadap inst ansi vert ikal yang berada di Daerah menj adi Perangkat Daerah sert a pelimpahan pegawai negeri sipil Pusat ke Daerah. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala yang disebabkan ant ara lain perbedaan persepsi dalam menaf sirkan regulasi yang ada. Sehingga t imbulnya ekses sepert i

(29)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

kapasitas dan kondisi Daerah setempat. Hal ini juga mengakibatkan timbulnya pembengkakan kebutuhan belanja pegawai.

Kendala berikut dalam implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah adalah t erbat asnya kapasit as sumber daya manusia aparat ur baik di Pusat dan Daerah. Ket erbat asan kapasit as ini menimbulkan perbedaan persepsi dalam menaf sirkan dan memahami konsep dan semangat Ot onomi Daerah. Kondisi ini akan menghambat percepat an implement asi kebij aksanaan Ot onomi Daerah. Sebagian di ant aranya merasa t akut akan kehilangan kekuasaan dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam menerapkan Ot onomi Daerah. Kondisi SDM aparat ur t ersebut sebenarnya t idak t erlepas dari sist em kerj a dan regulasi yang berlaku selama ini, sehingga mengakibat kan mereka sepert i kehilangan kreatifitas dan inovasi dalam melaksanakan tugasnya.

Sedangkan dari aspek masyarakat sendiri kendala yang t ampak adalah kondisi masyarakat yang sudah cukup lama t erabaikan. Berbagai program pemerint ah selama ini sebagian kurang menyent uh kepent ingan masyarakat karena direncanakan secara top down . Sehingga kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut disambut secara beragam oleh masyarakat . Walaupun t anggapan masyarakat cukup beragam, namun secara umum masyarakat cukup ant usias dalam menymabut kebij aksanaan Ot onomi Daerah. Hanya saja sebagian kurang yakin apakah Pusat sudah spenuh hati dalam mengimplementasikan kebijaksanaan ini.

Dari pengalaman melaksanakan kebij aksanaan Ot onomi Daerah semenj ak Januari 2001 dapat disimpulkan beberapa kendala yaitu antara lain :

a. Belum memadainya regulasi at au perat uran pelaksanaan kebij aksanaan Ot onomi Daerah.

b. Terdapat nya inkonsist ensi Pemerint ah Pusat dalam melaksanakan kebij aksanaan Otonomi Daerah.

c. Belum t erdapat nya persamaan persepsi dalam menaf sirkan kebij aksanaan Ot onomi Daerah dari berbagai kalangan.

d. Terbatasnya kemampuan SDM dalam melaksanakan kebijaksanaan Otonomi Daerah. Kendala-kendala t ersebut akan dapat diat asi, j ika semua komponen bangsa t urut memberikan dukungannya. Memvonis bahwa UU 22/ 1999 harus segera direvisi merupakan suat u langkah yang kurang t epat . Hendaknya dilakukan monit oring dan evaluasi yang komprehensif t erhadap pelaksanaan kebij aksanaan Ot onomi Daerah t ersebut . Mengingat wakt u pelaksanaan UU 22/ 1999 yang kurang dari sat u t ahun,

(30)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

kiranya akan lebih baik jika diupayakan dulu mengoptimalkan implementasi kebijaksanaan Otonomi Daerah tersebut.

7. Evaluasi Daerah Pemekaran

Ada sej umlah persoalan t erkait pemekaran daerah t ersebut . Di ant aranya, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralat an, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah ot onomi baru belum memiliki bat as wilayah yang j elas. Selanj ut nya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah ot onomi baru. Kemudian, 84, 2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran.

Pemekaran harus bet ul-bet ul diperhat ikan dengan sungguh. Jadi, pemekaran bukan unt uk kepent ingan birokrasi t api unt uk pendekat an pelayanan kepada masyarakat . Selain it u perlu dikaj i berapa daerah pemekaran yang ideal unt uk negara kepulauan seperti Indonesia .

Hasil t im kaj ian Dewan Pert imbangan Ot onomi Daerah menyebut kan, dari 16 daerah yang diusulkan DPR, hanya lima daerah yang layak dimekarkan. Daerah-daerah lainnya masih memerlukan klarif ikasi berbagai syarat , sepert i administ rasi, aspek t eknis, dan fisik kewilayahan.

Belum seluruh calon daerah memenuhi syarat , berdasarkan pengamat an DPOD di lapangan, ada daerah yang sudah layak dimekarkan, ada yang masih perlu klarifikasi, Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, usulan dari DPR tentang pemekaran beberapa daerah it u t ak bisa dibahas karena harus menunggu revisi Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran daerah. Tetapi, karena usulan dari DPR, pemerintah harus ikut membahas.

11 calon daerah yang diusulkan DPR belum bisa dimekarkan. Alasannya, banyak calon daerah yang belum memenuhi skor minimal pot ensi dan kemampuan ekonomi. Bahkan, uj ar dia, ada sat u daerah induk yang akan dimekarkan menj adi dua, yang nant inya bisa mematikan daerah induk.

(31)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Bab IV

PENUTUP

Ot onomi daerah merupakan suat u keniscayaan yang sangat st rat egis dan t epat dalam penyelenggaraan pemerint ahan daerah unt uk menghadapi berbagai t ant angan dan peluang global. Unt uk it u diperlukan suat u kondisi yang kondusif dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah, antara lain :

Perlunya penguat an f ungsi koordinasi dari seluruh pemerint ahan daerah unt uk mewuj udkan Pembangunan Nasional t erint egrasi dan sinergis yang didasari semangat kebersamaan dan kerjasama. Koordinasi menjadi alat sinkronisasi program pembangunan di daerah, pembangunan lint as wilayah dan lint as sekt oral yang mendukung Pembangunan Nasional Jangka Panj ang. Selain it u, perlu kej elasan pembagian peran ant ar t ingkat an pemerint ahan yang proporsional disert ai sumber-sumber pembiayaan yang mencukupi disert ai dengan opt imalisasi part isipasi masyarakat dan swast a dalam pembangunan nasional.

Perlu adanya keseimbangan dalam mengedepankan ot onomi daerah ant ara t uj uan yang bersif at subt ansi dan yang bersif at administ rat if . Secara subt ant if t uj uan ot onomi daerah sesungguhnya adalah mensejahterakan masyarakat dengan langkah-langkah yang lebih konkrit berupa pengent asan kemiskinan, meningkat kan sumber daya manusia melalui peningkat an kualit as pendidikan dan kesehat an, pemberant asan korupsi, peningkat an kinerj a pelayanan publik di Daerah. Namun hal ini akan sulit diwuj udkan t anpa adanya kewenangan yang proporsional dan dana yang memadai bagi Pemerint ah Daerah.

Perlu adanya konsist ensi kebij akan yang bermuara pada penyelenggaraan ot onomi daerah dengan memberikan kepast ian hukum sehingga menghilangkan mult i t af sir at as kebij akan dan meredam kepent ingan sekt oral (ego sekt oral) t ermasuk pengawasan oleh inst ansi f ungsional di Daerah yang akhir-akhir ini sering dipolit isasi oleh pihak-pihak tertentu.

(32)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Pemerintah Daerah perlu secara terus menerus mengembangkan kapasitas baik kelembagaan eksekutif maupun legislatif, perencanaan dan pengelolaan keuangan, kemitraan dengan masyarakat dan pihak swasta dalam membangun daerah. Selain itu, pengembangan kapasitas kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan dengan memberikan kesempat an yang luas dalam menyampaikan aspirasi dalam menyusun kebijakan-kebijakan terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat.

Dengan mempert imbangkan segi ef isiensi dan ef ekt ivit as pelayanan publik, peningkat an kerj asama ant ar daerah unt uk mengelola pelayanan publik perlu f asilit asi baik oleh Asosiasi (Badan Kerj asama Daerah) at aupun oleh Pemerint ah. Tuj uan kerj asama ant ar Daerah juga dapat ditingkatkan untuk menjadi wadah pertukaran ide, informasi, gagasan bahkan pertukaran produk unggulan daerah.

Perlu adanya kesediaan Pemerint ah unt uk membuka ruang part isipasi yang lebih luas dengan melibat kan seluruh st akeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebij akan ot onomi daerah. Dengan memf ungsikan segenap asosiasi pemerint ahan daerah (BKKSI, APEKSI, ADKASI, ADEKSI dan APPSI) sebagai wadah perj uangan aspirasi bersama daerah yang dapat merepresent asikan kepent ingan daerah, sehingga Daerah t idak berj uang sendiri-sendiri at au mencari keunt ungan sendiri yang akhirnya dapat ditunggangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

(33)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

DAFTAR PUSTAKA

1. Nota Keuangan RAPBN 2008

2. Tri Wibowo, St udi Ef ekt ivit as Desent ral isasi Fiskal Terhadap Kinerj a Ekonomi Daerah, Badan Analisa Fiskal Depertemen Keuangan , Jakarta 2004

3. Kompas, Dampak Pemekaran Daerah 18 Desember 2006

4.

DJAPK http://www.djapk.depkeu.go.id/index_detaill.asp?id=160

5. KCM, Depdagri Perketat Persyaratan Jadi Daerah Otonom, 6 Pebruari 2006

6. Makalah,

Konsent rasi Polit ik Lokal dan Ot onomi Daerah, Ruang Seminar FISIPOL

UGM Yogyakarta, 13 Agustus 2001.

7. Kompas,

Kendala Implement asi Kebij aksanaan Ot da Di Indonesia

, Agust us 2001

8. KCM, Depdagri Evaluasi 148 Daerah Pemekaran, Senin 22 Mei 2006

9. Kompas, Kapasit as Pemda Menyelesaikan Masalah Mendasar Belum Memadai, 2 desember 2006

10. Badan Kerj asama Kabupat en Seluruh Indonesia (Bkksi) Prospek Ot onomi Daerah Dalam Pembangunan Nasional 25 Agustus 2004

11. Suara karya Kamis, 7 Desember 2006 12. Kompas, 14 Februari 2007

(34)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

BELANJA KE DAERAH, 2002 - 2006

(miliar rupiah)

2002 (PAN) 2003 (PAN) 2004 (APBN-P) 2005 (APBN-P) 2006 (APBN) BELANJA UNTUK DAERAH 98.204,1 120.314,3 130.005,0 149.580,7 220.069,5 I. Dana Perimbangan 94.656,6 111.070,4 123.149,6 142.338,1 216.592,4

1 Dana Bagi Hasil 24.884,1 31.369,5 37.368,4 49.222,6 59.358,4

a. Perpajakan - 22.578,9 17.740,1

22.081,2 - PPh - 5.161,9 4.785,3 5.685,3 - PBB - 8.708,5 9.772,6 12.734,5 - BPHTB - 2.171,0 3.182,2 3.661,4

b. Sumber Daya Alam - 15.328,2 19.628,3 27.141,4 - Minyak Bumi - 6.831,5 9.739,2 13.580,8 - Gas Alam 6.419,7 7.704,6 10.889,7 - Pertambangan Umum - 1.145,4 1.408,2 1.731,1 - Kehutanan - 731,6 536,3 619,8 - Perikanan - 200,0 240,0 320,0 -2 Dana Alokasi Umum 69.159,4 76.977,9 82.130,9 88.765,6 145.664,2 3 Dana Alokasi Khusus 613,1 2.723,0 3.650,3 4.349,9 11.569,8

a. Dana Reboisasi - - 811,8 335,9

b. Non Dana Reboisasi - 2.723,0 2.838,5

4.014,0

-II. Dana Otonomi Khusus Penyesuaian 3.547,5

9.243,9 6.855,4

7.242,6 3.477,1 1 Dana Otonomi Khusus - 1.539,6 1.642,6 1.775,3 -2 Dana Penyesuaian - 7.704,3 5.212,8 5.467,3

(35)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

(36)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.

The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.

Gambar

Tabel 1. Rata-rata Kontribusi PAD Terhadap Total Penerimaan   Sebelum dan Pada Era Desentralisasi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat gambar teknik serta bentuk dan bahan suatu benda kerja, dapat direncanakan langkah-langkah yang paling baik. Apabila jenis proses dan mesin

No.5 tahun 1996 Pasal 3 Ayat 1 dan 2 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja

dan Projek Arsitektur yang berjudul “ Orchid Botanical Garden di Kabupaten Semarang ” ini dapat memberikan manfaat bagi kepada pembaca.. Kritik dan saran yang

Biota Marine biota would be significantly affected by Reclamation process, Vessel activity and Maintenance dredging activity Marine biota would be significantly affected by

Hasil penelitian lanjutan terhadap 166 ibu melahirkan tahun 2018 yang pada saat hamil dan melahirkan tanpa faktor risiko (tanpa komplikasi kehamilan/persalinan, tidak

Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya yang mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalankan

*.,i sulit untuk muncul dalam kondisi yang sangat tinggi secara bersamaan, karena secara Seminar Nasional dan Rapat Tahunan 81i5 - PTN Witayah Barat Bidang llmu

siswi yang mengalami PMS kategori sedang sebanyak yaitu 76 responden (50,0%), dengan kata lain ada hubungan tingkat kecemasan dengan Sindroma Pramenstruasi pada siswi