• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 Pokok Bahasan Pertama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "4 Pokok Bahasan Pertama"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pokok Bahasan I

KEBIJAKAN PUBLIK YANG PARTISIPATIF, SEBAGAI PENGANTAR ANALISA KEBIJAKAN PUBLIK

Sub Pokok Bahasan

Halaman

1.1. Latar Belakang Permasalahan 2

1.2. Makna Otonomi Daerah 3

1.3. Demokratisasi, Partisipasi, Dan Negara Dalam Era Otonomi

Daerah 4

1.4. Kebijakan Publik Yang Partisipatif 6

(2)

Pokok Bahasan I

Judul Pokok Bahasan

Kebijakan Publik Yang Partisipatif

Tujuan Interaksional

Pada akhir materi, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan mengenai :

1. Latar Belakang Permasalahan Berkaitan Dengan Pelaksanaan Otonomi Daerah

2. Makna Otonomi Daerah

3. Demokratisasi, Partisipasi, Dan Negara Dalam Era Otonomi Daerah

4.

Kebijakan Publik Yang Partisipatif Pokok Bahasan

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Salah satu dampak muncul era refomasi adalah diberlakukannya Undang Undang (UU) No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudiaan diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Terlepas dari berbagai perubahan perundang-undangan, menarik untuk dikemukakan bahwa dalam konsideran menimbang dari UU. No 22 Tahun 1999 (ayat c) disebutkan bahwa "

Dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun

luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu

menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang

luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional,

yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber

daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai

dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

keadilan, serta potensi keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik lndonesia".

(3)

pembuatan kebijakan publik, seperti Peraturan Daerah, maka aspek dan prinsip-prinsip tersebut harus direnungkan kembali agar tidak salah langkah.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas ada beberapa makna dan konsekuensi yang perlu dijabarkan di dalam materi ini teutama menyangkut aspek: (1) Apa makna Otonomi Daerah; (3) Apa makna Prinsip Demokrasi dan Partisipasi; (3) Apa makna Kebijakan Publik; dan (4) Bagamana konsekuensi makna Ototlomi Daerah, Demokrasi, dan Partisipasi dalam proses Pembuatan Kebijakan Publik.

1.2. Makna Otonomi Daerah

Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa UU No. 32 Tahun 2004 mengatur tentang otonomi daerah. Pemerintah daerah berhak menyelenggarakan pemerintahannya di semua bidang kecuali bidang: (a) Politik Luar Negeri; (b) Hankam; (c) Peradilan; (d) Moneter dan fiskal; (e) Agama; dan kewenangan di bidang lain (Pasal 10 ayat 1-3, UU No. 32 Tahun 2004). Bidang lain yang tetap akan diatur oleh pemerintah pusat tersebut ternyata mencakup banyak bidang seperti: perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, sistem lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendayagunaan SDA, teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Dengan demikian masih banyak bidang yang tetap ditangani oleh pemerintahan pusat.

Dari segi penyelenggaraan pemerintahan daerah juga terdapat perubahan yang mengarah kepada nuansa yang seharusnya lebih demokratis. Pihak legislatif berhak memilih kepala daerah dan membuat peraturan daerah secara bebas sesuai dengan aspirasi masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan perundangan yang sudah ada dan tetap berada pada negara kesatuan Indonesia. Pihak eksekutif dapat menyelenggarakan pemerintahannya dan bertanggungjawab ke DPRD (representasi dari rakyat). Dari segl keuangan, yang di dasarkan kepada Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan daerah, maka pihak pemerintah daerah mempunyai sumber keuangan yang diperoleh lewat: (1) Pendapatan Ash Daerah (pajak daerah, retribusi, hasil perusahaan daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah); (2) Dana Perimbangan (90% dari bagian PBB; 80% dari perolehan hak atas tanah dan bangunan; penerimaan sebagian hasil Sumber Daya Alam yang meliputi 30% hasil gas alam, 15 % dari minyak bumi; dan 80 % dari hasil hutan, tambang lain, dan perikanan; dana alokasi umum; dan dana alokasi khusus); (3) Pinjaman daerah; dan (4) Pendapatan lain yang sah.

(4)

efisiensi administrasi; (3) mewujudkan kemandirian daerah; (4) memacu pembangunan sosial-ekonomi; dan (5) membentuk pemerintahan yang demokratis yang mendorong munculnya inovasi dan partisipasi masyarakat (Sarundayang, 1999), namun tujuan utamanya seharusnya adalah tetap yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Permasalahannya apakah ke lima tujuan tersebut dapat tercapai dan apabila dapat tercapai seberapa besar porsi yang diperoleh kelompok "mayoritas sosial" yang miskin, terindas, dan terpinggirkan? Untuk menjawaban hal tersebut perlu dikemukakan sebelumnya tentang makna otonomi daerah yang sebenarnya dapat terwujud dengan adanya proses desertralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah.

Koesoemahatmadja (1979) membedakan dua jenis desentralisasi yaitu: (1)

dekonsentrasi

yang merupakan pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada bawahan untuk dilaksanakan guna melancarkan tugas pemerintah pusat. Di sini partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tidak ada, dan (2) desentralisasi ketatanegaraan atau

desentralisasi politik

yang merupakan pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonomi di lingkungannya. Di sini partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (kebijakan publik) harus ada.

Pemahaman tersebut mempunyai dua makna yaitu:

pelimpahan

wewenang,

sering disebut sebagai

“delegation”

yang berarti pelimpahan wewenang atau penyerahan tanggungjawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan tetapi pengawasannya masih ada di tangan pemerintah pusat. Makna yang kedua adalah

”devolution”

atau pelimpahan kekuasaan yang berarti adanya pelimpahan tanggungjawab penuh kepada pihak bawahan atas daerah (Fadillah Putra 1999). Berdasar pemahaman ini maka makna desentralisasi seharusnya merupakan penyerahan tanggungjawab penuh kepada daerah. Dalam hal ini maka seharusnya pula makna Otonomi Daerah adalah merupakan penyerahan tanggungjawab penuh kepada daerah yang akan mengelola pemerintahannya sesuai dengan aspirasi rakyatnya yang disampaikan dan dilaksanakan secara demokratis, walaupun harus tetap dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia. (Undang-undang No 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa makna desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan, oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka negara kesatuan. Sedangkan makna otonomi diistilahkan sebagai pengelolaan pemerintahan daerah secara luas dan nyata. Namun dalam pasal-pasal selanjutnya masih banyak bidang-bidang yang tetap dikuasai dan diatur oleh pemerintahan pusat).

(5)

pemerintahannya. Permasalahannya apakah kalau ketiga unsur utama tersebut dapat dipenuhi dalam proses desentralisasi atau otonomi daerah, maka kelompok “majoritas sosial” dapat terangkat martabatnya? Jangan-jangan yang justru terjadi adalah semakin parahnya proses peminggiran dan eksploitasi dari kaum “minoritas sosial”. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dilihat dalam kaitannya dengan dinamika politik di aras lokal. (Istilah “mayoritas sosial” menunjuk kepada kelompok besar kaum miskin, terpinggirkan, tertindas, dan dilupakan. Sedangkan “minoritas sosial” adalah kelompok kecil masyarakat yang menguasai sumber daya dan kekayaan, termasuk di dalamnya adalah kaum konglomerat, penguasa politik, dan kelompok lain yang sering menggunakan kekuasaannya untuk menindas mayoritas sosial (Esteva dan Prakash, 2000).

1.3. Demokrasi, Partisipasi, dan Negara Dalam Era Otonomi Daerah

Secara harafiah kata “demokrasi” berarti suatu pemerintahan dari, untuk dan oleh rakyat, namun sejumlah ahli memberi maka demokrasi yang berbeda-beda. Bachrach (1980:24-98) menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu dimana kebebasan mutlak dijamin. Dahl (1971:2) mengatakan bahwa suatu sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benar-benar atau hampir mutlak bertanggungjawab kepada semua warga negaranya

(accountability).

Pandangan-pandangan para ahli ini seringkali bersifat normatif dan seringkali tidak dapat diterapkan dalam dunia nyata terutama di Indonesia.

Schumputer (1947:269) memberi makna demokrasi yang relatif lebih realistis. Sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan dimana hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari sini metode demokratis dapat dilakukan dalam arti suatu rencana institutional (pengambilan keputusan) untuk mencapai keputusan politis dilakukan oleh individu yang memperoleh kekuasaan tadi. Dengan demikian maka demokrasi mengandung tiga dimensi makna yang saling terkait yaitu; persaingan, partisipasi (Dahl 1971:4-9), dan kebebasan.

(6)

adalah adanya control dari masyarakat

(popular control)

dan, adanya kesama-derajatan dalam politic (political

equality).'

Dengan demikian maka demokrasi sebenarnva sangat terkait dengan bagaimana proses pengambilan keputusan tersebar terjadi. Di sini yang kemudian menjadi penting adalah apakah rakyat ikut berpartisipasi di dalammnya, baik di dalam penentuan Kebijakan Publik (Peraturan Daerah), maupun di dalam aspek teknis pelaksanaannya. Persoalan yang kemudian muncul adalah apakah makna partisipasi itu sendiri.

Kalau makna parsipasi diletakkan pada sebuah garis (kontinuum) maka di sisi sebelah kiri dapat digambarkan rakyat tidak hanya tidak berperan namun dimanfaatkan keadaannya untuk melegitimasi sebuah keputusan yang rakyat sendiri menjadi sengsara. Disisi sebelah kanan dapat digambarkan rakyatlah yang mempunyai wewenang penuh dan menentukan. Dengan gambaran itu maka partisipasi dapat diklasifikasikan kedalam empat makna partisipasi, yaitu:

(1) Partisipasi Ayam Potong

Disini digambarkan seperti seorang koki yang bertanya kepada ayam. Hei ayam kamu mau dimasak apa? Cap Jhae? atau Ayam Goreng?, atau Ayam Panggang?. Disini si ayam memang boleh memilih dan boleh sepenuhnya mengambil keputusan namun pilihannya sudah dibatasi yaitu hanya ada satu pilihan yaitu mati di potong.

(2) Partisipasi Mobilisasi

Disini rakyat diminta kerelaannya untuk menyumbangkan tenaga (sering disebut kerja bakti atau gotong royong), pemikiran, dana (iuran wajib), tanah (kalau ada pelebaran jalan) atau material yang lain. Rakyat tidak tahu untuk apa mereka di mobilisasi, namun yang penting mereka harus bersedia membantu program. Penolakan terhadap program yang kemudian disebut sebagai “Pembangkangan” dapat berarti anti Pancasila. Dengan melakukan hegemoni Negara bisa memaksakan kehendak.

(3) Parisipasi Pengambilan Keputusan

Dalam bentuk partisipasi yang ketiga ini, rakyat sudah diikut sertakan secara penuh baik di dalam proses pengambilan keputusan (terutama perencanaan), maupun di dalam pelaksanaan keputusan tersebut. Kelemahan dalam pola ini adalah masih kuatnya peran negara mencampuri kehendak rakyat di dalam mengambil keputusan.

(4) Partisipasi Pelimahan Kewenangan

(7)

Gambaran partisipasi dalam era otonomi daerah, terutama terkait dengan pola partisipasi yang keempat (pemberian kewenangan), mau-tidak mau harus dikaitkan dengan keberadaan negara (pemerintahan baik di aras lokal maupun regional). Oleh sebab itu ada baiknya kalau dikemukakan apa makna dari suatu negara.

Weber memahami fungsi negara sebagai organisasi yang mempunyai kewenangan dan monopoli untuk menggunakan kekuatan fisik (militer) di dalam suatu teritorial (Norbu, 1992:190). Kewenangan itu dibutuhkan untuk mengatur apabila teritori tersebut mengalami kekacauan. Hanya dengan kekuatan fisik maka kekacauan dapat ditekan. Walaupun begitu alasan modernisasi, efisiensi, dan kepatuhan hukum oleh masyarakat tidak dapat mengabaikan pandangan normatif bahwa pemerintahpun harus bekerja sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan (HAM) sehingga kedaulatan negarapun bersifat terbatas (Coker 1921).

Lebih dari itu Arief Budiman (1996) menganggap bahwa pada mulanya kelompok-kelompok masyarakat berada dalam kondisi chaos karena saling bertentangan demi mencapai tujuannya, Disini yang berlaku adalah hukum alam siapa kaut akan menang (kondisi masyarakat seperti ini disebut sebagai Natural society). Kemudian mereka bersepakat untuk menitipkan kedaulatan dan kekuasaannya kepada suatu organisasi untuk mengatur agar dapat hidup makmur dan tenteram (kondisi masyarakat semacam ini disebut sebagai Political society). Dengan demikian kekuasaan negara sebenarnya hanya merupakan titipan dari rakyatnya yang harus dijalankan untuk kepentingan rakyatnya secara luas. Dalam kenyataannya banyak negara bangsa yang kemudian melupakan asal-usalnya dan malah menekan dan menindas rakyatnya. Demikian pula di Indonesia, terutama pada era Otonomi Daerah, maka seharusnya kita memahami bahwa negara hanya melaksanakan titipan kekuasaan dari rakyat, sehingga semua kebijakan yang keluar dari negara harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat. Permasalahannya bagaimana kebijakan publik tersebut terjadi.

1.4. Kebijakan Publik Yang Partisipatif

(8)

(1) Sistem Politik di Indonesia

Salah satu mekanisme untuk memperoleh pemahaman tentang aspirasi dan kehendak rakyat adalah lewat mekanisme sistem politik yang berlaku di Indonesia. Didalam hal ini rakyat menyampaikan aspirasinya lewat parpol atau wakil-wakil rakyat yang membuat kebijakan publik. Oleh sebab itu salah satu kunci dapat terwujudnya kebijakan publik yang partisipatif adalah apabila parpol dan sistem politik yang ada dapat berjalan sesuai dengan aturan dan makna yang ada.

Parpol dapat dimaknai sebagai sekelompok warganegara yang terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan (negara/pemerintahan) dan melaksanakan kebijakan umum (Friedrich, 1967, dan Soltau, 1961). Dengan definisi tersebut maka sudah selayaknya Parpol bertujuan untuk menguasai negara dengan berbagai cara. Namun di dalam tatanan sistem politik, maka Parpol dapat dikatakan sebagai perantara antara negara dan rakyat yang berfungsi untuk menyampaikan aspirasi (tuntutan dan dukungan) dari rakyat dan mensosialisasikan kebijakan publik yang sudah dibuat oleh negara (Easton, 1953).

Gambar 1.1.

Sistem Politik di Indonesia

Untuk fungsi universal yang bersifat merebut atau mempertahankan kekuasaan (negara atau pribadi) nampaknya Parpol dan wakil-wakil rakyat kita sudah begitu ahli sehingga melupakan fungsi universal Parpol yang berkaitan dengan sistem politik. Di dalam hal ini maka

NEGARA

(Legislative, Executive, and Yudicative) (check and balances)

PEMILU PEMILIHAN KEPALA

PEMERINTAHAN PARPOL KEBIJAKAN

PUBLIK

(9)

peran parpol telah seringkali melupakan makna kedaulatan rakyat dan lebih menonjolkan kepentingan elite politik. Yang lebih parah lagi adalah peran DPR yang sering kali tidak hanya melupakan partainya namun juga melupakan rakyat yang diwakilinya. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Dengan demikian maka masalah utama yang dihadapi negara kita baik di aras lokal maupun nasional adalah tidak terwujudnya suatu pemerintahan yang baik (

good

governance)

dan tidak berkembangnya kedaulatan rakyat. Beruntunglah kita bahwa adanya perubahan UUD 45 secara formal telah lebih menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat karena kedaulatan rakyat tidak lagi berada di tangan MPR (Pasal 1 ayat 2 UUD 45) dan yang lebih melegakan adalah adanya hak langsung dari rakyat untuk memilih presiden sampai putaran kedua (Pasal 6A UUD 45). Dalam kaitannya dengan kebijakan publik yang partisipatif maka baik parpol maupun sistem politik yang ada memang tidak berjalan. Dengan demikian perlu dicari cara-cara baru yang dapat mengganti atau menyempurnakan sistem tersebut.

Salah satu cara adalah dengan mengembangkan tingkat pendidikan politik rakyat sehinga dapat dan bersedia berpartisipasi secara benar terutama di dalam proses-proses penyusunan kebijakan publik. Di dalam pendidikan politik ini peran LSM, intelektual, parpol, dan pemerintah daerah menjadi sangat penting. Selain itu mekanisme penyusunan kebijakan publik seharusnya lebih membuka kesempatan bagi publik untuk melakukan partisipasi, dan melakukan pengujian rencana kebijakan yang ada.

(2) Proses Kebijakan Publik Yang Partisipatif

Irfan Islamy (2002) mengemukakan bahwa kebijakan publik tidak lain adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara untuk mengatur rakyatnya. Namun demikian di dalam mengeluarkan kebijakan tersebut tidak berarti bahwa kebijakan tersebut hanya melulu kebijakan (pemikiran, pendapat, dan keinginan) para birokrat atau wakil-wakil rakyat namun opini publik atau pendapat rakyat harus memperoleh porsi yang sama besarnya. Dengan demikian maka dalam setiap tahap penyusunan kebijakan publik seharusnya opini publik harus dimasukkan.

(10)

Dapat saja dikemukakan tentang proses kebijakan publik di buat lewat proses-proses penyerapan aspirasi seperti lewat kegiatan Bulan Bakti LKMD, atau Rakorbang baik di tingkat desa, maupun kabupaten. Belum lagi ada Rakorbang Dinas dan lain-lain. Namun fakta menunjukan bahwa banyak Perda yang menyangkut kepentingan publik akhirnya memperoleh tantangan atau reaksi negatif dari rakyat. Sebagai contoh adalah Perda tentang Pedagang Kaki Lima, Perda tentang Parkir, Kenaikan harga Air (PDAM), dan Perda tentang pungutan-pungutan yang bertujuan meningkatkan PAD, selalu memperoleh respon negatif (ditentang).

(11)

BAHAN BACAAN UTAMA

Gambar

Gambar 1.1.Sistem Politik di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu unsur evaluasi dalam proses pembelajaran adalah adanya sistem yang dapat memantau proses tersebut.Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah sistem berupa aplikasi untuk

Penelitian ini yang berjudul internalisasi nilai karakter jujur dan tanggung jawab siswa di sekolah berfokus pada pembahasan tentang menanamkan nilai-nilai karakter jujur dan

13. Melaksanakan pertemuan berkala dengan kepala seksi di lingkungan bidang pelayanan untuk memantau dan membahas masalah pelayanan.. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas yang ada

a) Matahari dan planet-planet lainnya masih berbentuk gas, kabut yang begitu pekat dan besar. b) Kabut tersebut berputar dan berpilin dengan kuat, di msns pemadatan

Perspektif masyarakat lokal dan pemangku kepentingan mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk mengelola situasi DAS Krueng Peusangan saat ini sejalan dengan hasil skenario model

Setelah mempunyai anak, sifat sifat Zhao Shengtian dan Li Xiaolan berubah secara alami.Perubahan sikap mereka itu terjadi karena pengaruh dari anak mereka, Zhao

Bahwa pengaturan tentang penyediaan, penyerahan dan penegelolaan prasarana,sarana dan utilitas pada perumahan dan permukiman kedalam peraturan daerah bertujuan

Tabel 4 dapat dilihat rata-rata pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi TT sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang imunisasi TT adalah 50,20 sedangkan rata-rata