• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epistemologi tasawuf dalam kitab al Muntakhabatu fi rabitati al qalbiyyati wa silati al ruhiyyah karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Epistemologi tasawuf dalam kitab al Muntakhabatu fi rabitati al qalbiyyati wa silati al ruhiyyah karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

ILYASIN YUSUF NIM: E31209006

PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

▸ Baca selengkapnya: gus nico al ishaqi

(2)

ii

Surabaya, 01 Agustus 2016 Pembimbing,

(3)

iii

Tim Penguji Skripsi Surabaya, 11 Agustus 2016

Mengesahkan

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Dekan,

Dr. Muhid, M.Ag NIP. 196310021993031002

Tim Penguji: Ketua,

Dr. Suhermanto Dja’far, M.Hum NIP. 196708201995031001

Sekretaris,

Fikri Mahzumi, M.Fil.I NIP. 198204152015031001

Penguji I,

Drs. H. Abu Sufyan, M.Ag NIP. 195208061979031002

Penguji II,

(4)

iv Nama : Ilyasin Yusuf

NIM : E31209006

Prodi/Jurusan : Filsafat Agama/Pemikiran Islam dan Filsafat

Fakultas : Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Surabaya, 28 Juli 2016 Saya yang menyatakan,

(5)
(6)

xii

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research), yakni

penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) utama. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi

– Selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kyai Asrori – yang berhubungan dengan

epistemologi pengetahuan seperti kitab al-Muntakhaba>tu fi Rabi>t}ati al-Qalbiyyati

wa S{ilati al-Ru>h}iyyahyang berjumlah lima jilid dan karya Kyai Asrori yang lain. Sedangkan sumber-sumber sekunder yaitu data-data pendukung yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini, berupa buku, ensiklopedia, kamus, majalah, jurnal serta karya-karya pengarang lain yang membahas teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

Hasil penelitian menemukan bahwa Epistemologi pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori yaitu Kyai Asrori menempatkan akal manusia sebagai bagian dari sumber pengetahuan. Bagi Kyai Asrori tanda-tanda kesempurnaan akal dapat diklasifikasikan menjadi dua, tanda yang tampak secara lahir dan secara batin. Tanda-tanda yang tampak secara lahir seperti diam, rendah hati, ahklak yang baik, jujur dan beramal shaleh, sedangkan secara batin berupa tafakkur (berfikir), memetik pelajaran, khusyu’, takut akan disiksa Allah dan mengingat kematian. Selain akal menjadi sumber pengetahuan, Kyai Asrori juga menyatakan bahwa hati juga mempunyai korelasi dengan akal. dengan banyak mengutip pendapat ulama’ shufiyah, Kyai Asrori mengatakan bahwa akal itu adalah hati dan hati adalah akal. sedangkan metode untuk mendapat pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori ialah menjadikan keyakinan sebagai

nalar untuk memahami sesuatu yang disebut dengan al-Fiqhu. Metode al-Fiqhu

diawali dari sebuah pemahaman rasio yang kemudian dikorelasikan dengan hati hingga akan membentuk sebuah keyakinan. Rahasia ilmu yang tersingkap dan

tersibak, sehingga gambarannya terlihat jelas oleh mata hati itu dinamakan

(7)

xiii

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

F. Tinjauan Pustaka ... 14

G. Metode Penelitian... 19

H. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II BIOGRAFI DAN KARYA PEMIKIRAN K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI A. Biografi K.H. Ahmad Asrori Ishaqi ... 23

B. Pendidikan dan Genealogi Keilmuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... .... 29

C. Karya-karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... .... 33

D. Sekilas Tentang Kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah... .... 35

BAB III DISKURSUS DUALISME PENGETAHUAN A. Dualisme Dalam Filsafat ... 39

1. Melacak Akar Historis Paham Dualisme... ... 39

2. Platon dan Dualisme Metafisis... ... 41

3. Cartesian Dualism; Memahami Dualisme Antropologis... ... 48

B. Dualisme Dalam Tasawuf... .... 50

BAB IV EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN DALAM TASAWUF K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI A. Epistemologi Tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi ... 58

1. Konsep Pengetahuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... ... 61

(8)

xiv

b. Metode Mendapat Pengetahuan... ... 67

B. Konsep Dualisme Dalam Tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaq... ...69

1. Dualisme Sebagai Implikasi Ontologis... .... 69

a. Pembahasan al-Ahad dan al-Wahid ... ...71

b. Pembahasan al-Wujud dan al-Kaun ... 77

c. Alam Arwah dan Alam Jasad ... 80

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran-saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mengamati perjalanan pemikiran umat manusia, dapat ditemukan adanya

sebuah paham dualitas dalam kehidupan. Hal itu didasari oleh awal mula manusia

diciptakan Tuhan, terdapat gaya saling tarik menarik dan bergerak kearah dua

kutub yang saling berlawanan, yaitu negatif dan positif. Kutub pertama

merepresentasi yang secara sadar menghambat gerak laju progresifitas dan

melakukan perbuatan-perbuatan negatif, jahat dan melanggengkan penyelewengan

dengan menegakkan tirani atas rakyat. Sedangkan yang kedua menolak arus

penyelewengan tadi, yakni melawan tirani dan segala bentuk ketidakadilan yang

dinilai diskriminatif demi tegaknya perdamaian, keadilan serta persaudaraan di

muka bumi. Untuk dapat bertahan dalam kehidupan ini, kedua kubu pun harus

baku hantam saling mengalahkan untuk menempati posisi yang paling dominan,

dan itu keyataan yang terjadi dari masa ke masa.1

Hal senada juga terjadi pada perkembangan dunia pengetahuan, di mana

pengetahuan saat ini adalah upaya untuk menempatkan posisi paling dominan,

dalam arti bahwa pengetahuan yang dominan selalu mengambil ruang atas

pengetahuan yang lain. Sebagai contoh, tentang pengetahuan universal akan

dianggap lebih ilmiah dibanding pengetahuan partikular. Pemahaman yang

demikian ini nampaknya diilhami oleh pengetahuan dualisme. Paham ini

1Ali Syari‟ati,

(10)

berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,

yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi

bukan muncul dari roh dan roh bukan muncul dari benda. Keduanya, sama-sama

merupakan hakikat dan berdiri sendiri serta bisa diselidiki secara ontologis. Relasi

antar keduanya yang mendasari dunia.2 Pandangan semacam ini bertolak dari

paham naturalisme dan materialisme yang hanya menempatkan materi atau alam

empiris saja untuk memberikan keterangan atas kenyataan.

Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat mengatakan bahwa dualisme adalah

pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang

terpisah serta tidak dapat direduksi dan unik.3 Lebih jelasnya paham dualisme

merupakan suatu cara penyingkapan hakikat suatu realitas dengan menegaskan

perbedaan-perbedaan dari kualitas-kualitas mendasar di dalamnya.

Perbedaan-perbedaan ini tidak dapat direduksi, sama-sama azasi, unik dan masing-masing

bersifat berdiri sendiri meski secara bersamaan juga saling mengandaikan satu

sama lain. Adanya pemahaman tentang jiwa dan raga, misalnya, menunjukkan

dualitas yang berlaku dalam diri manusia. Begitu pula maskulinitas dan feminitas,

ide dan materi, ruang dan waktu, gerak dan diam, semua itu menunjukkan adanya

prinsip-prinsip yang berbeda dan bahkan saling berlawanan satu sama lain, namun

prinsip-prinsip yang berlawanan itu saling membutuhkan satu sama lain, saling

melengkapi dengan cara tertentu hingga pada akhirnya menjelma dan membentuk

setiap realitas yang ada.

2

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 131.

3

(11)

Jika menelusuri asal muasal paham dualisme, paling tidak, akan ditemukan

dalam kajian filsafat Yunani yakni dalam filsafat Platon4 yang dikenal dengan

adanya dua prinsip utama dalam realitas, yaitu ide dan materi. Dualisme Platon

menganggap bahwa salah satu dari kedua hal ini yakni ide dan materi. Keduanya

merupakan benar-benar ada dan nyata adanya, sama-sama hakiki dan memiliki

modus eksistensi sendiri-sendiri. Di antara dua hal yang hakiki itu tidak dapat

dipungkiri bahwa salah satunya akan menempati, mengambil posisi yang paling

dominan dan lebih diunggulkan. Adalah alam ide yang dianggap lebih tinggi dari

alam materi dalam konteks filsafat Platon. Alam materi menurut Platon tidak lebih

hanya sebatas tiruan saja dari alam ide, alam ide yang kemudian membentuk alam

materi. Ide bersifat kekal, tidak berubah sedang materi selalu mengalami

perubahan-perubahan. Nampak jelas dalam filsafat Platon adanya dua entitas yang

berkaitan dan saling membutuhkan, yaitu dengan cara mempertahankan keduanya

dan memberikan hak yang berbeda atas keduanya. Platon beranggapan bahwa

tidak mungkin seandainya yang satu mengucilkan yang lain, artinya: bahwa

mengakui yang satu, harus menolak yang lain. Juga tidak mungkin keduanya

berdiri sendiri tanpa membutuhkan yang lain.5

Kendati demikian diskusi tentang dualisme ternyata tidak hanya selesai

dalam filsafat Platon. Kajian tentang dualisme tersebut telah mengambil perhatian

banyak filosof pasca Platon, selanjutnya, kajian ini dilanjutkan oleh Rene

4

Platonn dilahirkan di Athena 428, kita menyebutnya di Indonesia dengan Platon, hal ini disebabkan oleh pemikiran filsafat yang masuk pada negara kita melalui bahasa Belanda, sedangkan kata Yunaninya adalah Pla/twn (Platonn) rasanya ini (baca: sebutan Platon dengan Platonn) lebih sesuai kalau kita melihat kata-kata turunannya Platonnisme, Platonnic, Setyo Wibowo, “Idea Platonn Sebagai Cermin Diri”, Basis, 11-12 (November-Desember, 2008), 4-5.

5

(12)

Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern,

memandang terdapat dua hakikat dengan istilah dua kesadaran yaitu ruhani dan

dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode

(1637) dan Meditation de Prima Philosopia (1641),6 dalam buku ini pula

disebutkan bahwa pikiran lebih dominan dalam menentukan eksistensi seseorang

yang dituangkan melalui metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes

(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). “Aku” yang sedang ragu ini

disebabkan oleh “aku” berpikir. Kalau begitu “aku” berpikir pasti ada dan benar.

Jika berpikir ada berarti “aku” ada sebab yang berpikir itu “aku”. Cogito ergo sum

atau “aku” berpikir maka “aku ada. Paham ini kemudian dikenal dalam filsafat

dengan aliran rasionalisme, yaitu aliran filsafat yang mengatakan bahwa sumber

pengetahuan dapat diperoleh melalui akal (reason).7 Di samping Descartes ada

juga Benedictus De Spinoza (1632-1677 M) dan Gitifried Wilhem Von Leibniz

(1646-1716 M).8 Lebih jauh, seolah Descartes mengajak untuk “mi‟raj” dari

dualisme metafisis menuju dualisme antropologis, yaitu menitik-beratkan kepada

manusia sebagai pusat kajian.

Telah menjadi pemahaman bersama bahwa filsafat merupakan suatu

pandangan rasional tentang segala-galanya, terlebih bagi orang-orang Yunani,

oleh karena itu para filosof di kemudian hari seperti Rene Descartes, Immanuel

Kant, Hegel, Edmund Huserl dan para ilmuwan seperti Newton, Einstein

6

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1980), 18. Lihat juga di Nico Syukur Dister dalam FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman (ed),

Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 56-57.

7

K. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 45.

8

(13)

mempunyai leluhur-leluhur yang sama di negeri Yunani. Mereka meyakini bahwa

merekalah yang menelorkan cara berpikir ilmiah. Mereka termasuk pendasar

pertama kultur Barat, bahkan kultur sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah

semakin menjadi unsur hakiki dalam suatu kultur universal yang merangkum

semua kebudayaan di seluruh dunia.9 Dengan kata lain, tanah Yunani adalah

tempat persemaian di mana pemikiran ilmiah mulai tumbuh dan berkembang.

Negeri Yunani telah melahirkan filosof seperti Platon, dimana nantinya

akan menjadi referensi utama bagi filsafat Barat. Menurut hemat penulis dengan

meminjam istilah Alfred Whitehead seperti yang dilansir oleh K. Bertens dalam

bukunya, Sejarah Filsafat Yunani mengatakan “All Western philosophy is but a

series footnotes to Platon “.10 Karena sampai hari ini masih berjumpa dengan

tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”,

“waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, “Allah” dan “dunia”, yang semua

itu menjadi tema sentral dalam filsafat Yunani.11 Begitu juga halnya saat

memasuki dunia Timur, dalam hal ini adalah dunia pemikiran Islam dapat kita

jumpai pula gagasan-gagasan para filosof muslim yang masih kental dengan

aroma filsafat Platon. Salah satunya adalah Abu Bakar al-Razi (w. 925/935)

filosof Muslim terkemuka setelah al-Kindi, al-Razi dianggap sebagai Platonnis

Islam terbesar. Jejak dualisme Platon sangat kental dalam pemikiran filsafat

al-Razi, yang menandaskan materi dan jiwa sebagai prinsip kekal yang pada

dasarnya terpisah satu sama lain. Ia berpendapat bahwa jiwa dan materi dapat

9

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999), 23.

10

Ibid., 23.

11

(14)

dipersatukan atas dorongan cinta (‘ishq), tubuh dianggapnya tidak musnah bahkan yang dalam konsep eskatologi setelah terjadinya kematian, ia kembali lebur

kedalam hakikat materi semula.12 Tidak hanya itu, al-Razi bahkan meyakini

terjadinya reinkarnasi setelah kematian. Hal ini menjadi konsekwensi logis yang

lahir dari pemikiran tentang keabadian materi.13

Setelah al-Razi, aroma filsafat Yunani kuno masih terus diperbincangkan

oleh para filosof Muslim yang lain seperti, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina dan

menemukan momentunya dalam pemikiran Ibn „Arabi tentang konsep wah}dat al-wuju>d. Dalam diskursus kalam, konsep wah}dat al-wuju>d dikenal sebagai gagasan Ibn „Arabi yang paling berpengaruh, meskipun ia sendiri tidak menggunakan

terminologi itu secara langsung dalam beberapa karyanya. Namun demikian,

setidaknya ada cukup alasan untuk menyebut wah}dat al-wuju>d sebagai ide

terbesar dari pemikirannya secara umum.

Annamarie Schimmel dalam bukunya Dimensi Mistik Dalam Islam

mengutip salah satu syair Ibn „Arabi, ia mengatakan bahwa :

Bilamana kasihku tampak

Dengan mata apa aku melihat Dia?

Dengan matanya, bukan dengan mataku

Karena tak seorang pun melihatnya, kecuali Dia sendiri.14

(Bandung: Mizan, cet .II, 2002), 34-39.

14

(15)

Ungkapan Ibn „Arabi di atas, sebagaimana dapat pula dijumpai

pernyataan-pernyataan serupa dalam karya-karyanya yang lain, kiranya cukup

menegaskan kepada kita akan gagasan-gagasan yang mengarah pada

kemanunggalan wujud (wah}dat al-wuju>d). Tiada wujud lain kecuali Wujud-Nya

semata; maka memang menjadi niscaya apabila “tak seorang pun melihat-Nya

kecuali Dia sendiri”. Cara pandang Ibn „Arabi ini menyiratkan adanya dualitas

dalam pemikirannya tentang realitas tajally al-H}aqq, di mana al-H}aqq diposisikan

sebagai subjek dan alam makhluk sebagai maz}z}ar tajally berada dalam posisi

sebagai objek. Keduanya memiliki kualitas yang berbeda dan tidak dapat

direduksi satu sama lain namun saling mengandaikan, di sini nuansa

neo-Platonisme dalam cara pandang Ibn „Arabi sangat nampak.

Meskipun dualisme Platonik sangat membekas dalam pemikiran Ibn

„Arabi, tetapi terdapat perbedaan yang mencolok dalam pemikiran Ibn „Arabi

yaitu ungkapannya tentang H}uwa la> H}uwa (Dia [Allah] dan sekaligus bukanlah

Dia). Ungkapan ini berhubungan dengan keberadaan makhluk dan bagaimana

hubungannya degan al-H}aqq. Ibn „Arabi menyatakan bahwa sesungguhnya pada

makhluk itu Tuhan dan sekaligus bukan Tuhan. “Dia bukan Dia”.15 Dia (H}uwa)

pada saat yang bersamaan juga sekaligus bukan Dia (La> H}uwa). Jadi terdapat

dikotomisasi subjek-objek yang larut di dalam hubungan yang unik, di mana

posisi subjek dan objek menjadi sedemikian dekat bahkan tanpa jarak.

Diskursus pengetahuan puncak sufistik atau wah}dat al-wuju>d Ibn „Arabi

mendapat sambutan khusus dari Mulla Sadra. Ia mengatakan wuju>d atau

15

(16)

eksistensi hanya milik Allah dan seluruh objek yang ada bersumber dari wuju>d

Allah tersebut. Wuju>d bagi Mulla Sadra bukanlah “genus” atau “class” dari

sesuatu dan bukan jenis universal di mana individu partikular merujuk kepadanya.

Wuju>d mencakup segala sesuatu, ia mengandaikan ketakterbatasan. Konsep

wujud ini merupakan konsep paling jelas, begitu jelasnya konsep wuju>d ini

sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas dari padanya.16

Konsep kesatuan wujud (wah}dat al-wuju>d) yang terdapat dalam pemikiran

Ibn „Arabi dan Mulla Sadra tersebut tidak bisa dijelaskan melalui penalaran

rasionalitas murni seperti yang terdapat dalam konstruksi epistemologi filsafat

Barat. Karena di dalam konstruksi epistemologi filsafat Barat mengandaikan

adanya dikotomi subjek dan objek. Sedangkan dalam konsep kesatuan wujud

(wah}dat al-wuju>d) berupaya untuk menghilangkan dikotomi tersebut. Konsep ini

hanya bisa didekati berdasarkan intuisi (dhawq) atau pengalaman mistik yang

berdasarkan olah batin-religius untuk mengetahui realitas batin dari wuju>d.17 Oleh

karena itu dualisme di dalam keduanya (filsafat Barat dan tasawuf) terdapat

perbedaan yang sangat signifikan, filsafat Barat mengandaikan subjek-objek

terpisah dan memiliki otonominya masing-masing, sementara dalam tasawuf

relasi subjek-objek memiliki hubungan yang sangat unik dan dekat seolah tanpa

jarak, atau dalam istilah lain penulis menyebutnya dualisme dalam kesatuan.

Berangkat dari dasar pemikiran di atas, yang menjadi minat penulis untuk

meneliti lebih lanjut dan mendalam tentang konsep tasawuf K.H. Ahmad Asrori

Ishaqi – selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kyai Asrori – adalah mengingat

16Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra” dalam

Teosofi (Volume 3 Nomor 2, 2013), 442.

17

(17)

Kyai Asrori memiliki kedekatan secara pemikiran dengan Ibn „Arabi, seperti yang

ditulis oleh Abdul Kadir Riyadi dalam bukunya Antropologi Tasawuf; Wacana

Manusia Spiritual dan Pengetahuan dalam bab penutup menguraikan dengan

jelas bahwa Kyai Asrori menulis kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyah

wa S{ilati al-Ru>hiyyah yang dapat diklasifikasikan dalam genre tasawuf falsafi.

Kyai Asrori sendiri adalah seorang ulama‟ kharismatik dan mursyid Thariqat

Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Kedinding Lor, Surabaya. Dalam kitab

tersebut ia mengawali tentang pembahasan tentang al-Nu>r al-Muh}ammadi

(Cahaya Muhammad) yang mengulas tentang hakikat kedirian Nabi Muhammad

sekaligus menegaskan bahwa kenabian merupakan aspek dari puncak

keparipurnaan manusia. Sementara kedirian nabi Muhammad adalah cahaya, dan

cahaya adalah hal pertama yang diciptakan oleh Tuhan.18 Selanjutnya Kyai Asrori

mengulas tentang dimensi lahiriyah nabi Muhammad. Ia menyebutnya dengan

istilah al-Su>rah al-Muh}ammadiyyah. Istilah ini tidak bermaksud untuk

menguraikan dimensi fisik, melainkan hakekat dari luar yaitu ilmu dan akal.

Keduanya saling mengisi dan mempunyai hubungan yang sinergis antara satu

dengan yang lain.19

Kyai Asrori sebagai mursyid Tarekat, dengan memiliki kedekatan

pemikiran kepada Ibn „Arabi tentu hal yang tidak lazim dikalangan pengikut

Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) dan menarik untuk dikaji lebih

mendalam untuk digali pesan-pesan moral yang hendak disampaikan kepada

18

Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf; Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014). 280.

19

(18)

pengikut Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) mengingat tarekat yang

berkembang di Indonesia adalah tasawuf sunni yang lebih menekankan kepada

aspek-aspek spiritual belaka dan kurang memberi ruang kepada akal, untuk

mencapai pengetahuan tertinggi yaitu ma’rifah billa>h. Dalam pada itu, penulis

dalam skripsi ini mengambil judul Epistemologi Tasawuf dalam Kitab

al-Muntakhaba>tu fi Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah Karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi dalam upaya turut meramaikan khazanah keilmuan filsafat dan

tasawuf.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Maksud dari identifikasi masalah ini untuk mengantarkan pada batasan

masalah yang akan ditulis dalam penelitian ini sehingga perbedaan dengan kajian

sebelumnya akan tampak. Sebagai sebuah studi kepustakaan, penelitian ini

difokuskan pada pertautan dualisme dalam filsafat dan tasawuf. Sedang objek

kajian dalam penelitian ini adalah epistemologi dalam tasawuf Kyai Asrori

Al-Ishaqi dengan mengacu pada sumber primer kitab al-Muntakhaba>tfi Rabi>t}ati

al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah yang ditulis langsung oleh Kyai Asrori

menjelang akhir hayatnya.

Dalam rangka menghindari melebarnya pembahasan dalam penelitian ini,

penulis akan membatasi masalah dengan hanya menjelaskan epistemologi

(19)

C. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan identifikasi dan batasan masalah di atas, dan

supaya penulisan skripsi ini terarah, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana epistemologi pengetahuan dalam tasawuf K.H. Ahmad Asrori

Ishaqi?

2. Bagaimana konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam tasawuf K.H.

Ahmad Asrori Ishaqi?

D. Penegasan Judul

Judul penelitian ini tersusun dari beberapa istilah yang

pengertian-pengertiannya perlu didefinisikan untuk menjadi pedoman dan menghindari

kerancuan dalam pembahasan lebih lanjut. Untuk memberikan gambaran lebih

jelas mengenai judul tersebut kiranya penulis perlu menjelaskan dan menegaskan

arti dari istilah-istilah tersebut sebagaimana berikut:

1. Dualisme merupakan pandangan filosofis yang megaskan eksistensi dari dua

bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat di reduksi, unik. Contoh:

Adikodrati/Kodrati. Allah/Alam Semesta. Roh/Materi. Jiwa/Badan. Dunia

yang kelihatan/Dunia yang tidak kelihatan. Dunia inderawi/Dunia intelektual.

Substansi yang berpikir/Substansi material. Realitas aktual/Realitas

kemungkinan. Dunia noumenal/Dunia fenomenal. Kekuatan

kebaikan/Kekuatan kejahatan. Alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua

bidang (dunia) itu.20

20

(20)

2. Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan, ilmu

pengrtahuan) dan logos (pengetahuan, informasi). Dapat dikatakan,

pengetahuan tentang pengetahuan. Adakalanya disebut “teori pengetahuan”.21

Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat, epistemologi bermaksud

mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari

pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud secara kritis menkaji

pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari

dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban

rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Epistemologi atau

filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional

untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam

interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka,

epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan

kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan,

sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan,

kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjwabkan secara

nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur, dan dalam hal ini

tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai

cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan

tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi (seperti dibuat oleh

psikologi kognitif), tetapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan

mana yang keliru berdasarkan norma epistemik. Sedangkan kritis berarti

21

(21)

banyak mempertaanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan

manusia mengetahui. Yang di pertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara

kerja atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam

pelbagai kegiatan kognitif manusia.22

3. KH. Ahmad Asrori Ishaqi adalah seorang mursyid Tarekat Qodiriyah wa

Naqsabandiyah (TQN) di Kedinding Lor, Surabaya. Ia dilahirkan di Surabaya

pada tanggal 17 Agustus 1951. Ia putra keempat dari sepuluh bersaudara.

Ayahnya bernama KH. Muhammad Usman al-Ishaqi dan ibunya bernama

Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Jika dirunut, KH. Asrori

bersambung dengan Nabi Muhammad saw pada urutan ke-38.23 Sebagai

mursyid tarekat Kyai Asrori bisa dibilang sangat berpengaruh dan

kharismatik, hal itu karena Kyai Asrori sikapnya yang netral dan non-partisan

terhadap kelompok agama tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu,

pada akhirnya membuatnya disegani oleh berbagai kalangan masyarakat dari

strata sosial dan kelompok yang berbeda-beda. Kyai Asrori meninggal pada

tahun 2009, tepatnya pada hari selasa pagi tanggal 18 agustus bertepatan

dengan tanggal 26 Sya‟ban 1430 H. Ia banyak meninggalkan karya, salah

satunya adalah kitab Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyah wa S{ilati

al-Ru>hiyyah yang ditulis menjelang akhir hayatnya, sampai hari ini kitab

tersebut masih dikaji oleh pengikut TQN.24

22

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Penegtahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18-19.

23Rosidi, “Konsep Maqa>ma>t

dalam Tradisi Sufistik KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy” dalam

Teosofi (Volume 4, Nomor 1, Juni 2014), 31.

24

(22)

Dengan uraian di atas dan untuk kepentingan penulisan skripsi ini, penulis

berusaha untuk mendeskripsikan tentang epistemologi pengetahuan dan konsep

dualisme sebagai imlikasi ontologis dalam tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan pokok penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mencari dan

menemukan jawaban deskriptif-interpretatif berdasarkan sumber-sumber yang ada

terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam dua butir rumusan

masalah. Untuk lebih jelasnya, tujuan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan konsep epistemologi pengetahuan dalam pemikiran

tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

2. Untuk mendeskripsikan konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam

tasawuf Kyai K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengisi ruang-ruang kosong dan

memberikan khazanah pemikiran bagi masyarakat akademis di lingkungan

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ushuluddin

khususnya, maupun masyarakat umum dalam memahami pemikiran

epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk memperoleh identifikasi yang

jelas mengenai epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad

(23)

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang epistemologi pengetahuan dan konsep dualisme dalam

tasawuf Kyai Asrori ini, sejauh pengamatan penulis, boleh dibilang masih langka.

Namun demikian, ada beberapa penelitian sebelumnya tentang Kyai Asrori yang

masih relevan dengan penelitian ini dan layak disebut di sini, yaitu:

1. Skripsi berjudul “Analisis Materi Dakwah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi

Tentang Ikhlas”, di susun oleh Khasan Sandili pada tahun 2014 diajukan di

Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang. Penelitian ini

difokuskan pada masalah tentang konsep ikhlas menurut Kyai Asrori dan

relevansinya dalam dakwah di era sekarang ini. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa ikhlas merupakan satu kesatuan antara taufiq, t}a’at,

kesungguhan hati, dan s}abar. Apabila seseorang bisa melakukan itu semua,

maka itulah yang di sebut ibadah murni (ikhlas). Adapun relevansinya dalam

dakwah di era sekarang ialah sebagai jembatan untuk di ambil nilai-nilai

dakwahnya dalam memahami kembali betapa pentingnya nilai ikhlas, karena

dalam konsep dakwah tersebut terdapat materi tentang muh}asabah, di situlah

kadar keikhlasan seseorang di uji, sejauh mana perbuatan atau amalan-amalan

seseorang benar-bemar bisa ikhlas semata-mata karena Allah. Dalam

penelitian ini sama sekali tidak membahas tentang konsep dualisme dalam

tasawuf Kyai Asrori.

2. Skripsi berjudul “Metode Ceramah KH. Asrori Al-Ishaqi dalam Berdakwah

tentang “Hakekat Dzikir” seri 1-5”, di susun oleh Irna Murniati pada tahun

(24)

IAIN Walisongo Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode

ceramah yang di gunakan oleh KH. Asrori Al-Ishaqi adalah metode ceramah

yang berdasar pada realita kehidupan mad’u dengan tujuan untuk membuka

wacana dan pemahaman mad’u tentang perbuatan yang selama ini telah di

lakukan sekaligus untuk memahami hakekat dan fungsi dzikir dalam

kehidupan mereka. Keberhasilan metode ceramah sebagai proses dakwah

KH. Asrori Al-Ishaqi dalam tinjauan komunikasi disebabkan oleh adanya

kesahajaan dalam berkomunikasi serta keteladanan pribadi da>’i dalam diri

KH. Asrori Al-Ishaqi. Hal ini dalam konteks komunikasi berarti telah

terpenuhinya aspek-aspek komunikator yang memahami kondisi komunikan

sehingga mampu memberikan materi berupa informasi yang berhubungan

erat dengan keadaan dan kebutuhan perubahan dalam diri dan kehidupan

komunikan. Penelitian ini juga tidak membahas konsep dualisme dalam

tasawuf Kyai Asrori.

3. Tesis berjudul “Pemikiran KH. Achmad Asrori Ishaqi (Studi Atas Pola

Pengembangan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Usmaniyah

Surabaya)”, yang di susun oleh R. Achmad Masduki Rifat pada tahun 2011

diajukan pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Penelitian

ini di fokuskan pada pemikiran tasawuf KH. Asrori Ishaqi secara umum dan

pola pengembangan tarekat yang ia pimpin. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pemikiran tasawuf Kyai Asrori tidak terlalu jauh berbeda dengan para

pendahulunya, akan tetapi ia hanya sekedar menegaskan apa yang pernah di

(25)

al-Thusi, al-Sakandary dan beberapa ulama‟ s}ufiyyah lain yang berhaluan sunni. Namun, yang menjadi titik tekan dalam penelitian adalah pola penataan

organisasi tarekatnya yang menggabungkan antara sistem klasik dan modern.

Kyai Asrori mengikuti pengembangan ala neo-sufisme yang di gagas oleh

Fazlurrahman, yang di tandai oleh kecenderungannya dalam mengembangkan

organisasi tarekat secara modern, rasional dan moderat. Penelitian ini juga

tidak mengupas konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.

4. Artikel berjudul “Konsep Maqa>ma>t Dalam Tradisi Sufistik KH. Ahmad

Asrori Al-Ishaqi” di tulis oleh Rosidi dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan

Pemikiran Islam, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa menurut Kyai Asrori seorang sa>lik yang menempuh

pendakian maq>ama>t tidak harus melakukannya secara berurutan seperti

kebanyakan para sufi memahami. Seorang sa>lik boleh memilih maqa>m apa

yang mampu di lakukannya, karena hal ini merupakan ekspresi subjektif atau

kondisi kebatinan para sufi/sa>lik yang menempuh pendakin maqa>ma>t. Dalam

artikel ini juga tidak membahas soal dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.

Selain beberapa penelitian tersebut di atas, ada pula penelitian lain yang

membahas dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori, menurut hemat penulis,

penelitian tersebut sangat membantu dan mempermudah memetakan konsep

dualisme tasawuf Kyai Asrori. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Tesis berjudul “Dualisme Dalam Kesatuan Untuk Mencapi Ma‟rifat

Perspektif KH. Ahmad Asrori Ishaqi”, yang di susun oleh Muhammad

(26)

Sunan Ampel Surabaya. Penelitian ini fokus kepada konsep dualisme dalam

kesatuan dan metode mencapai ma‟rifat menurut Kyai Asrori. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa konsep dualisme dalam kesatuan mencapai

ma‟rifat menurut Kyai Asrori terdapat dalam konsep tentang tuhan, melalui

al-Ah}ad dan al-Wah}i>d serta al-Wuju>d dan al-Kaun. Ia menyatakan bahwa al-Wujud adalah tidak ada wujud selain wujud Allah Swt, sehingga wujud

semua makhluk itu masuk dalam wujudnya Allah. Sedang, al-Kaun segala

yang ada dan yang akan ada yang telah ditakdirkan dan diketahui oleh Allah.

Sementara al-Ah}ad adalah bahwa Allah adalah Esa dalam Dzatnya, sebelum

penampakan Asma>’-Asma>’ dan sifat-sifat Allah. Sedangkan al-Wah}i>d adalah

Esa dalam Asma>’-Asma>’ dan sifat-sifat Allah setelah penampakan Asma’ dan

sifat Allah pada makhluknya. Namun, pada penelitian ini tidak mengupas

tentang epistemologi pengetahuan dalam tasawuf Kyai Asrori. Dari sini

penulis merasa perlu untuk meneliti lebih jauh konsep atau epistemologi

pengetahuan dan dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori secara sepesifik dalam

upaya untuk menemukan makna terdalam dari konsep dualisme dari sudut

pandang tasawuf Kyai Asrori.

2. Buku berjudul “Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spritual dan

Pengetahuan” yang di tulis oleh Abdul Kadir Riyadi pada tahun 2015. Buku

ini juga membahas beberapa pokok permasalahan tentang Kyai Asrori,

terutama tentang kitab al-Muntakhaba>t karya Kyai Asrori sendiri. Namun,

buku ini tidak begitu fokus membahas tentang Kyai Asrori, tetapi lebih

(27)

tokoh-tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibn‟ Arabi, Mulla Sadra dll. Tentu penulis

buku tersebut bukan secara kebetulan mencantumkan Kyai Asrori dalam

tulisannya, menurut hemat penulis, karena Kyai Asrori, jika di tinjau dari

kitab al-Muntakhaba>t akan tampak pikiran-pikiran filosofisnya dalam dunia

tasawuf.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari jenis penelitian kepustakaan

(library research). Penelitian kepustakaan adalah proses “menghimpun data

dari berbagai literature, baik di perpustakaan maupun di tempat-tempat lain”.

Lebih dari itu, yang dimaksud literatur bukan hanya buku-buku yang relevan

dengan topik penelitian, melainkan juga berupa bahan-bahan dokumen

tertulis lainnya, seperti majalah-majalah, koran-koran dan lain-lain.25

Penggunaan jenis penelitian kepustakaan didasarkan atas

pertimbangan bahwa, dokumen-dokumen yang berhasil digali dan

dikumpulkan dapat menjadi subjek yang mampu mendefinisikan dirinya

sendiri, lingkungan, dan situasi yang dihadapinya pada suatu saat serta

tindakan-tindakan subjek itu sendiri.26 Dalam konteks yang lain,

dokumen-dokumen yang terpublikasikan dipahami dapat memberikan gambaran

tentang potret dan dinamika studi Islam yang selama ini berkembang. Secara

praksis, penelitian ini diarahkan untuk menggali dokumen-dokumen atau

25

Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogjakarta: Universitas Gajah Mada Press, 1995), 30.

26

(28)

teks-teks yang dipublikasikan secara luas berkenaan dengan epistemologi

pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian disebut juga sebagai sumber yang tertulis atau

sumber di luar kata dan tindakan.27 Sumber utama penelitian ini digali dari

karya otoritatif yang ditulis oleh K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yaitu kitab

al-Muntakhaba>t.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan merupakan proses pengadaan data penelitian atau

”prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang

diperlukan”.28

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang

digunakan adalah metode dokumenter, yaitu pengumpulan data dari

dokumen-dokumen yang ada, dan pada tahap selanjutnya diakumulasi dan

dikompilasi dengan tujuan menyusun dokumen-dokumen secara

deskriptif-interprtatif.

4. Metode Analisa Data

Data yang berhasil dikumpulan dan telah diuji, kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode analisis deskriptif-interpretatif. Metode analisa

deskriptif dapat dinyatakan sebagai istilah umum yang mencakup berbagai

teknik deskriptif, yaitu penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan

mengklasifikasi data yang diperoleh. Pelaksanaan metode-metode deskriptif

27

J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 113.

28

(29)

tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi

meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data tersebut.29 Dalam

pelaksanannya, penelitian ini menggunakan dua tahapan Pertama,

menemukan dan mengkoding data-data seadanya (fact finding) yang

mengemukakan hubungan satu dengan yang lain didalam aspek-aspek yang

diselidiki. Kedua, melakukan analisis dan interpretasi guna memecahkan

masalah dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang

ditemukan, mengukur dimensi suatu gejala, menetapkan standar, menetapkan

hubungan antara gelaja-gejala yang ditemukan antara satu dengan yang lain.

Secara praktis, teknik analisa data dalam penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut: data-data yang diperoleh dikatagorisasi melalui

pencatatan data yang digunakan peneliti dalam upaya mempermudah

katagorisasi data berdasarkan pada fokus penelitian. Setelah katagorisasi data

dilakukan, teknik analisa dilanjutkan dengan membuat narasi deskriptif dan

interpretasi atas data. Pada tahapan ini, analisa data menguraikan secara

deskriptif-interpretatif tentang epistemologi pengetahuan dan dualisme

tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.

H. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, penegasan judul, tujuan dan

29

(30)

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua, akan di uraikan tentang diskursus dualisme pengetahuan yang

meliputi dualisme dalam filsafat dan tasawuf.

Bab ketiga, akan di paparkan mengenai biografi dan karya pemikiran K.H.

Ahmad Asrori Ishaqi yang meliputi kelahiran, latar belakang pendidikan,

karya-karya.

Bab keempat, akan di deskripsikan tentang epistemologi pengetahuan

menurut K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yang meliputi konsep pengetahuan menurut

Kyai Asrori, konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.

Bab kelima, berisi penutup yang diharapkan kepada penyampaian akhir

dari data-data yang telah ditemukan pada bab-bab sebelumnya guna menjawab

(31)

23

BAB II

BIOGRAFI DAN KARYA PEMIKIRAN K.H. AHMAD ASRORI

ISHAQI

A.Biografi K.H. Ahmad Asrori Ishaqi

Nama lengkapnya adalah Ahmad Asrori bin Utsman al-Ishaqi. Ia

merupakan putra dari pasangan K.H. Ustman al-Ishaqi1 dengan Nyai Hj. Siti

Qomariyah. Ia di lahirkan pada tanggal 17 Agustus 1951 di Sawahpulo, yaitu

suatu kampung yang terletak kurang lebih 1 kilometer arah utara Masjid/Makam

Sunan Ampel Surabaya atau kira-kira 1 kilometer sebelah selatan Komando

Armada Timur (Koarmatim) Surabaya. Ada beberapa versi lain terkait tanggal

kelahiran Kyai Asrori, yaitu di antaranya seperti yang tertera di KTP yang

dikeluarkan oleh Kecamatan Semampir Surabaya tahun 1991. Di sana tertulis

bahwa tanggal kelahiran Kyai Asrori adalah 20 Nopember 1951. Sedang pada

KTP yang lain tertulis 1 Juni 1951.2

1

Pendiri dan pemrakarsa berdirinya Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah (TQN) Kemursyidan Surabaya, yang pada saat ini lebih dikenal dengan TQN Al-Usmaniyah adalah Kyai Usman Al-Ishaqi. Di bawah kepemimpinannya, tarekat ini berkembang luas tidak hanya di Jawa dan Madura saja, tetapi juga telah merambah Singapura dan Malaysia. Ia dilahirkan di Jatipurwo (Sawahpulo) pada bulan Jumada al-Akhir tahun 1344 Hijriyah. Nama al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, Sunan Giri, karena KH. Utsman Al-Ishaqi masih keturunan Sunan Giri. Almarhum Kyai Utsman Al-Ishaqi adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta‟in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Selengkapnya lihat, Haji Abdul Ghoffar Umar, al-Lu’lu’u wa al-Marja>n fi Mana>qibi Shaikh Muh}ammad ‘Ustman (Gresik: tnp, 1984), 4. Lihat juga dalam, Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), 181-182.

2 Rosidi, “Konsep

(32)

Kyai Asrori adalah putra keempat dari sepuluh bersaudara. Beberapa

sumber menjelaskan bahwa Kyai Asrori merupakan keturunan dari Shaikh

Maulana Ishaq atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Giri yang ke-15,

sekaligus juga secara geneologis nasabnya dari Rasulullah SAW. Berada pada

urutan yang ke-38.3

Tidak sebagaimana saudara-saudaranya yang masih tinggal di sekitar

pondok pesantren Roudlatul Muta‟allimin, ia justru memilih kampung Kedinding

Lor kecamatan Kenjeran Kota Surabaya untuk menjadi tempat tinggalnya. Di

kampung yang berada di sebelah timur sungai Kali Kedinding ini, Kyai Asrori

kemudian mendirikan pondok pesantren yang diberi nama „Al-Fithrah‟ yang

berarti kesucian asal.

Kompleks Pondok Pesantren al-Fithrah menempati areal tanah yang sangat

luas untuk ukuran Surabaya. Masjid sebagai pusat kegiatan pondok pesantren dan

tarekat berada di tengah-tengah. Di belakang masjid ada rumah pengasuh, Kyai

Asrori sekeluarga, tempat Pisowanan yang cukup luas, kompleks asrama

pesantren perempuan dan beberapa kamar tamu yang diperuntukkan kepada para

pengamal tarekat yang tinggal cukup jauh dari Surabaya, khususnya yang berasal

dari Singapura dan Malaysia. Kamar-kamar ini tergolong mewah dan sangat

3

(33)

bersih sebagai wujud penghormatan Kyai Asrori kepada mereka yang juga sangat

menghormatinya ketika Kyai Asrori sedang ada kegiatan tarekat di Luar Negeri.

Di sebelah selatan Masjid, berdiri tegak kompleks asrama Pesantren

laki-laki, kantor pusat pondok pesantren, tempat wudhu‟ yang sangat luas dan koperasi

kecil yang melayani kebutuhan santri secara internal. Sementara di Sebelah timur

masjid, terdapat bangunan yang cukup panjang yang digunakan sebagai Madrasah

Tsanawiyah di siang hari dan di malam hari digunakan untuk Madrasah Diniyah.

Madrasah ini juga digunakan sebagai tempat transit bagi para pengamal tarekat

yang berjumlah ribuan yang berasal dari Jawa Tengah ketika ada

kegiatan-kegiatan ketarekatan di Kedinding Lor.

Sedangkan di sebelah utara masjid ada sebuah kantor kecil dan koperasi

pondok pesantren yang bersifat eksternal yang melayani masyarakat luas. Di

koperasi ini dijual berbagai kebutuhan sehari-hari para santri dan masayarakat

sekitarnya. Khusus pada hari Minggu, di belakang koperasi ada toko kecil dan

bersifat terbuka yang hanya buka mulai ba‟da shalat dhuhur sampai masuk shalat

ashar yang menjual berbagai kaset dan VCD yang berisi rekaman

ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh Kyai Asrori dan rekaman berbagai

kegiatan tarekat seperti istighasah, manaqiban, haul Akbar Syekh Abdul Qadir

al-Jilani dan lain-lain. Di situ juga disediakan buku-buku pedoman amalan-amalan

tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah al-Utsmaniyah, kalender yang berisi

kegiatan Kyai Asrori dan kegiatan tarekat pada umumnya selama satu tahun ke

depan, silsilah keturunan Kyai Utsman sampai kepada Rasulullah SAW, dan

(34)

informasi tersebut baik cetak maupun elektronik memiliki label Al-Khidmah,

suatu organisasi yang dibuat Yayasan pondok pesantren Al-Fithrah yang

berfungsi mewadahi dan membantu terselenggaranya segala kegiatan tarekat dan

kepentingan para pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah

al-Utsmaniyah.

Saat masih muda tanda-tanda ketokohan Kyai Asrori telah nampak.

Setelah menimba ilmu dibeberapa pesantren yang tersebar di Nusantara, yaitu

Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kyai Asrori muda melakukan

dakwahnya kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Meskipun dalam skala yang

lebih kecil, sekilas metode dakwah semacam ini sangatlah unik karena mirip

dengan metode dakwah yang pernah dilakukan oleh Wali Songo, yakni

mengakulturasikan budaya Islam dengan budaya setempat yang telah mengakar

kuat di tengah masyarakat. Mereka tidak langsung membabat habis budaya lokal

yang kala itu bisa dibilang “tidak Islami” seperti wayangan, gendingan,

gendorenan, dan lain sebagainya. Budaya-budaya lokal tersebut justru dijadikan

sebagai medium pendekatan untuk melakukan Islamisasi terhadap masyarakat

pribumi. Alhasil, pada perkembangan berikutnya Islam tersebar luas di seantero

Nusantara.

Kyai Asrori dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain

musik, nongkrong, dan sebaginya, melalui jalur itulah Kyai Asrori

mentransformasi pengetahuannya yang diselipkan melalui obrolan-obrolan ringan

saat berkumpul. Nampak jelas Kyai Asrori dalam berdakwah mencoba untuk

(35)

dalam diri mereka, secara psikologis mereka tentu juga akan lebih siap untuk

menerima hal-hal baru yang lebih bermanfaat.

Seiring berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda

yang tertarik dengan metode atau konsep yang dilakukan oleh Kyai Asrori, hingga

pada akhirnya, Kyai Asrori mengajak mereka untuk mengadakan majelis mana>qib

dan pengajian di Gresik, Jawa Timur. Majelis yang pertama kali ini dilaksanakan

di kampung Bedilan, yang di kemudian hari dilaksanakan secara rutin pada setiap

bulannya ditempat tersebut. Majelis ini diisi dengan pembacaan mana>qib shaikh

„Abd Qadir al-Jilani, pembacaan mawlid dan tanya jawab seputar

masalah-masalah kegamaan. Pada awalnya, majelis ini diberi nama jemaah KACA,

akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun agar lebih familiar, Kyai Asrori

menyebut anggota jemaah KACA dengan sebutan “orong-orong”. Secara harfiah,

Orong-orong adalah hewan melata yang biasa keluar tengah malam. Secara

filosofis, pemberian nama semacam itu disesuaikan dengan anggota jemaah yang

rata-rata sebelumnya memiliki kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam

perkembangannya, nama orong-orong ini di kemudian hari menjadi lebih populer

dibandingkan dengan nama KACA. Pun jemaah orong-orong ini pulalah yang

bermetamorfosis dan menjadi embrio kelahiran jemaah al-Khidmah.4

Telah menjadi pemandangan umum bahwa Kyai Asrori muda adalah sosok

Kyai yang kharismatik, santun dan netral serta sikapnya yang non-partisan

terhadap kelompok keagamaan tertentu atau partai politik tertentu. Sikap moderat

Kyai Asrori inilah yang membuat ia disegani oleh berbagai kalangan masyarakat

4Rosidi, “Konsep

(36)

dari strata sosial dan kelompok yang berbeda-beda. Majelis-majelis yang

didirikannya bersifat inklusif dan terbuka bagi siapapun serta kelompok apapun.

Karena tidak adanya kesan ekslusivisme ini, tidak mengherankan jika

majelis-majelis yang dipimpinnya, para pejabat sipil, maupun pemerintahan yang

natabenenya mempunyai padangan keaagamaan atau politik yang berbeda-beda

seringkali terlihat harmonis serta mau duduk bersama dalam sebuah majelis.

Pada tahun 1989, Kyai Asrori menikah dengan Moethia Setjawati. Dari

pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang putra dan dan tiga orang putri. Secara

berurutan dari yang paling sulung, mereka adalah Siera an-Nadia, Saviera

es-Salafia, Mohammad Ayn el-Yaqin, Mohammad Nur el-Yaqin, dan Sheila

ash-Shabarina.5 Kyai Asrori wafat pada usia 58 tahun. Ia wafat pada tahun 2009,

tepatnya hari Selasa, 18 Agustus 2009 bertepatan dengan tanggal 26 Sya‟ban 1430

H. Dalam usia 58 tahun, setelah menderita sakit sekurang-kurangnya selama tiga

tahun. Ia dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah pada

pukul 10.30 WIB sebagaimana dilansir oleh media online detik.com yang dimuat

pada hari selasa, 18 Agustus 2009. Ia meninggal dunia karena sakit komplikasi.

Sebelum meninggal, dia juga masih sempat menjalani operasi dan chek up di

Singapura.6

Pada bulan itu, Kyai Asrori masih sempat memimpin Haul Akbar di

Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen

sebagai alat bantu pernapasan yang disediakan oleh seorang dokter pribadinya dan

5Rosidi, “Konsep

Maqamat dalam., 33.

6

(37)

diletakkan disampingnya. Selama menderita sakit berkepanjangan, Kyai Asrori

tetap istiqamah dalam menghadiri majelis-majelis zikir yang telah puluhan tahun

ia bina diberbagai daerah. Hal ini menunjukkan kegigihan Kyai Asrori dalam

menyiarkan amalan-amalan para ulama al-Salaf al-S{alih. Hal itu sekaligus

merupakan wujud nyata kecintaannya kepada para jemaahnya. Haul pada 2009

silam di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah tersebut menjadi kebersamaanya

yang terakhir kali bersama ratusan ribu santri dan jemaahnya.7

Meninggalnya Kyai Asrori merupakan kedukaan yang sangat mendalam

bagi para murid Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang ia pimpin dan telah

tersebar hampir diseluruh Indonesia dan beberapa negara di Asia tenggara.

Meninggalnya Mursyid Tarekat yang ramah ini sekaligus meninggalkan

kesedihan yang tiada tara bagi para pecinta dan pengagumnya yang tergabung

dalam Organisasi jemaah al-Khidmah yang dibentuknya sejak 2005 silam.

B.Pendikan dan Geneologi Keilmuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi

Sejak masa kanak-kanak, Kyai Asrori hidup dalam lingkungan Pesantren.

Ayah Kyai Asrori, K.H. Utsman al-Ishaqi adalah merupakan pendiri dan pengasuh

Pesantren Raudlotul Muta‟allimin Jatipurwo Semampir Surabaya.

Kyai Asrori belajar dasar-dasar agama dari sang ayah. Sejak anak-anak,

kecerdasan Kyai Asrori al-Ishaqi memang sudah nampak. Kyai Asrori dikenal

sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (Islam). Untuk mengobati

kehausannya itu, Kyai Asrori melanglang buana ke berbagai pesantren terkenal

di Jawa pada saat itu. Dapat dikatakan, Kyai Asrori termasuk dari sekian santri

7Rosidi, “Konsep

(38)

yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “luruh ilmu kanti

lelaku” (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau santri kelana.

Pada usia 15 tahun, oleh ayahnya Kyai Asrori diminta untuk belajar di

Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Pesantren ini yang didirikan oleh K.H.

Romli Tamim. Dipesantren ini juga K.H. Ustman al-Ishaqi nyantri (menjadi

santri) bahkan menjadi salah satu murid kesanyangan dari K.H. Romli Tamim.8

Di Pesantren ini Kyai Asrori tidak mau diperlakukan secara istimewa, ia ingin

menjadi santri biasa dan ingin diperlakukan seperti santri-santri yang lain. Hal

inilah yang awalnya menjadi alasan Kyai Asrori tidak mau nyantri di Pesantren

Darul Ulum Jombang. Akan tetapi, dengan desakan dan permintaan dari ayahnya

akhirnya Kyai Asrori menjadi santri di Pondok Pesantren ini.9

Selama menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum, K.H. Ahmad

Asrori sangat tekun atau rajin belajar, dan berada di barisan paling depan ketika

ngaji kepada K.H. Romli Tamim. Kendati demikian, K.H. Ahmad Asrori menetap

di Pondok Pesantren ini hanya satu bulan.10 Setelah dari Pondok Pesantren Darul

Ulum, Kyai Asrori melanjutkan perjalanan intelektualnya di Pondok Pesantren

Bendo Pare Kediri di bawah asuhan K.H. Hayatul Maki. Akan tetapi Kyai Asrori

8

K.H. Romli Tamim pada saat itu merupakan seorang Mursyid terkemuka Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah terkemuka di Jawa Timur. Di tangannya tarekat ini mengalami puncak keemasan. Pengaruhnya tidak terbatas hanya wilayah Jombang dan sekitarnya, akan tetapi juga meliputi wilayah-wilayah pesisir utara pulau Jawa dan pulau Madura.

9Muhammad Rahmatullah, “Dualisme Dalam Mencapai Ma‟

rifat Perspektif K.H Ahmad Asrori Ishaqi”, Tesis, (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015) 62.

10

(39)

juga tidak bertahan lama di Pondok Pesantren ini. Di Pondok Pesantren ini, ia

hanya belajar kurang lebih selama satu tahun.11

Selepas menjadi santri di Pondok Pesantren K.H. Hayatul Maki, Kyai

Asrori melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak,

Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Ma‟shum.12

Di pesantren ini, Kyai Asrori

hanya selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, ia belajar di salah satu pesantren

di desa Buntet, Cirebon yang diasuh oleh K.H. Abdullah Abbas.13 Di Pesantren

ini, Kyai Asrori hanya belajar selama setengah tahun. Setelah belajar dipelbagai

Pondok Pesantren, akhirnya Kyai Asrori mengakhiri perjalanan intelektualnya,

dan kembali belajar kepada ayahnya, K.H. Ustman al-Ishaqi di Pondok Pesantren

Raudlatul Muta‟allimin Surabaya. Adapun geneologi keilmuan K.H. Ahmad

Asrori al-Ishaqi adalah sebagai berikut:

11

Ibid, 62.

12 K.H. Ali Ma‟sum adalah putra pertama dari pasangan K.H. Ma‟sum dengan Nyai Hj.

Nuriyah pada tanggal 02 Maret 1915 di Desa Soditan Lasem Kabupaten Rembang. Selengkapnya baca, A. Zuhdi Mukhdlor, K.H. Ali Ma’sum: Perjuangan dan Pemikiran -Pemikirannya (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989), 6-7.

13

(40)

Shaikh Abdul Qadir al-Jailani

= Hubungan guru murid (secara langsung) = Hubungan sahabat

= Hubungan guru murid (secara tidak langsung)

14

(41)

C.Karya Pemikiran K.H. Ahmad Asrori Ishaqi

Kyai Asrori sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis. Banyak

sekali buku-buku atau kitab yang telah dikarangnya, antara lain sebagai berikut:

1. al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah

Kitab ini merupakan magnum opus pemikiran Kyai Asrori. Kitab ini terdiri

dari lima jilid dan telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam kitab

ini Kyai Asrori membahas tentang al-Nu>r al-Muh}ammadi Pengertian dari

Nur Muhammad adalah suatu yang nampak dan menjadi sumber semua yang

lahir. Allah pertama kali menciptkan Nur (cahaya) Nabimu sebelum

menciptakan apapun. Lalu dengan kekuasaan Allah, Nur berputar sesuai

dengan kehendak Allah pada keadaan itu belum ada Qolam, „Arasy dan

Kursi, Malaikat, Ruh, Surga, Neraka, Langit, Bumi, Matahari, Rembulan,

Manusia dan Jin. Kedudukan Rasulullah di dudukkan sangat dekat dengan

Allah selama dua belas ribu tahun

2. al-Anwa>r al-Khus}usiyyah al-Khatmiyyah

Kitab ini berisi bacaan-bacaan yang wajib ditunaikan oleh para pengamal

tarekat yang telah diberikan baiat oleh Kyai Asrori dalam kehidupan sehari

hari.

3. al-Ikli>l fi al-Istigha>thah wa al-Adhka>r wa al-da’a>wah fi al-Tahli>l

Kitab ini sebagaimana ungkapan penghimpunnya, Kyai Asrori memuat 3 hal

utama yaitu :

Pertama, ayat-ayat Alquran dan untaian shalawat dan salam kepada

(42)

Kedua, Istighatsah, zikir, dan do‟a-do‟a.

Ketiga, perantara-perantara dan sebab-sebab untuk meraih rahmat, ampunan

dan berkah dari Allah SWT dijadikan sebagai silaturruhiyah (penyambung

tali spiritual) dengan para pendahulu yang telah meninggal dunia.

4. al-Muntakhaba>tu fi> ma> Huwa al-Mana>qib

5. al-S{ala>watu al-Husayniyyah

6. Nuqt}atu wa Ba>qiyatu S{alih}atu wa ‘Aqi>batu Khayratu wa

al-Kha>timatu al-H{asanah

7. Basha>’iru al-Ikhwa>n fi> Tabri>di al-Muri>di>n ‘an Hara>rati al-Fitani wa

Inqaz}ihim ‘an Shabaka>ti al-H{irma>n

8. al-Risa>latu al-Sha>fiyatu fi> Tarjama>ti al-Thamrati al-Rawd}ati al-Shahiyati bi

al-Lughati al-Madu>riyah

9. Laylatu al-Qadar

10. Mir’a>tu al-Jinani fi> al-Istigha>thati wa al-Adhka>r wa al-Da’awa>ti ‘ind Khatmi

al-Qur’a>n ma’ Du’ai Birr al-Walidyn wa bi Haqq Umm al-Qur’a>n

11. al-Fath}atu al-Nu>riyah

12. al-Nafaha>tu fi> ma> Yata’allaqu bi al-Tara>wih}i wa al-Witri wa al-Tasbi>h}i wa

al-H{ajah

13. Bahjatu al-Wisha>ti fi> Dhikri al-Nubdhah min Mawli>di Khayri al-Bariyyah

14. al-Waqi>’atu al-Fad}i>latu wa Yasin al-Fad}i>lah

15. Fayd}u Rah}ma>nu li man Yad}illu tah}ta Saqafi Uthmani fi

(43)

D. Sekilas Tentang Kitab Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah

Kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah

ditulis langsung oleh Kyai Asrori menjelang wafat dan pada saat TQN telah

berkembang pesat. TQN sendiri kini memiliki pengikut yang tersebar diberbagai

daerah di Nusantara bahkan mancanegara. Jumlah pengikutnya tidak diketahui

dengan pasti karena tidak ada pendataan yang baik juga karena karena banyaknya

simpatisan yang tidak terdaftar sebagai murid tarekat. Namun, yang pasti mereka

tersebar di wilayah pantai utara Pulau Jawa, Sumatra hingga Malaysia, Singapura,

Thailand dan Australia.

Kitab ini masih asing ditelinga banyak orang karena disamping hanya

diedarkan di kalangan internal pengikut Tarekat dan Pesantren al-Fitrah juga

karena belum ada yang mencoba menggali pesan-pesan dan gagasan yang

tertuang dalam kitab tersebut. Padahal, kitab ini sangat layak disandingkan dengan

kitab-kitab lain yang berkualitas seperti al-Fath}u al-Rabba>ni karya Shaikh Abdul

Qadir al-Jailani.15

al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah di tulis

dalam Bahasa Arab, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kitab

ini terdiri dari lima jilid, masing-masing setiap jilid terdapat lebih dari 300

halaman. Dari judulnya sudah dapat dipahami bahwa kitab ini berupa kumpulan

dari tulisan-tulisan para sufi yang terpilih. Namun, Kyai Asrori juga memberikan

pandangannya sendiri yang biasa ditulis di bagian bawah kitab dan selalu di

15

(44)

dengan kata kultu, atau “pandangan saya.”16 Pandangan Kyai Asrori inilah yang

sebenarnya menjadi rujukan otoritatif dalam melakukan penelitian akademik,

karena dalam pandangan tersebut akan ditemukan beberapa ide dan gagasan

penting dalam tasawuf Kyai Asrori.

Walaupun kitab ini merupakan sebuah seleksi dari pandangan sufi

terkemuka, tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kualitas kitab ini. Cuplikan

yang dikutip berikut pandangan Kyai Asrori sendiri sama-sama mencerminkan

kematangan pemikiran penulisnya. Juga menjelaskan apa yang ia kehendaki baik

melalui kitab ini maupun melalui tarekat yang ia besarkan.

Pertama-tama yang menjadi catatan bagi kita adalah bahwa kitab ini

merupakan kitab tasawuf dan bukan kitab tarekat. Perbedaan mendasar antara

keduanya sangat jelas bahwa kitab tasawuf berbicara soal ilmu pengetahuan dan

teorisasi tentang pengalaman spiritual, sedang kitab tarekat adalah

petunjuk-petunjuk praktis dalam beribadah, berdzikir maupun bermunajat.

Sebagai karya filosofis, kitab ini mengawali pembahasannya mengenai

al-Nur al-Muhammadi (Cahaya Muhammad). Ini mengingatkan kita kepada tokoh

sufi terkemuka Ibn Arabi dan al-Jilli yang gemar mengangkat persoalan serupa.

Pembahasan tentang Cahaya Muhammad ini pada intinya berbicara mengenai

hakekat kedirian nabi Muhammad sekaligus menegaskan bahwa kenabian

merupakan puncak dari keparipurnaan manusia. Kedirian nabi Muhammad itu

16

(45)

sendiri adalah merupakan cahaya, dan bahwa cahaya adalah hal paling pertama

yang di ciptakan Tuhan.17

Menyusul pembahasan mengenai cahaya Muhammad sebagai esensi

kenabian, Kyai Asrori pindah ke dalam pembahasan kedua mengenai dimensi

lahiriah nabi Muhammad yang ia sebut sebagai al-Surah al-Muhammadi. Namun

yang ia maksud dari dimensi fisik ini bukanlah ciri-ciri luaran nabi melainkan

hakekat dari luaran itu yang tidak lain menurut Kyai Asrori adalah ilmu dan akal.

Jadi, jika dalam pembahasan pertama Kyai Asrori menekankan pada

keparipurnaan manusia dalam konsep kenabian dan cahaya, dalam pembahasan

kedua ini ia menekankan pada kesempurnaan manusia dalam konsep ilmu dan

akal. ketiga konsep ini – kenabian atau cahaya, ilmu adan akal saling terkait

secara mendasar karena semuanya menjadi simbol bagi kematangan manusia.

Ketiganya juga merujuk kepada esensi yang sama yaitu akal.

Oleh karena itu bukan sebuah kebetulan bahwa kitab al-Muntakhaba>tu fi>

Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah adalah upaya untuk

menyempurnakan tarekat dengan ilmu atau melandasi amaliah para pengikutnya

dengan dengan cahaya akal. Dan sejatinya, melalui kitab ini Kyai Asrori mencoba

menarik gerbang tarekat ke wilayah epistemologis yang didasari pada pemahaman

terhadap pesan-pesan kenabian. Bukan kebetulan pula bahwa kitab yang ditulis

menjelang wafatnya itu merupakan ajakan untuk mentransformasi pelaku dzikir

menjadi pelaku pikir. Sukses mengantarkan tarekat tampaknya membuat Kyai

17

(46)

Asrori ingin mendorong para pengikutnya untuk segere “Hijrah” ke alam ilmu

pengetahuan.

Sungguh menakjubkan bahwa seorang kyai tradisional yang selama

hidupnya lebih dikenal sebagai mursyid dan ahli dzikir, justru menjelma menjadi

seorang penggemar filsafat, terutama aliran pemikiran Ibn Arabi. Hal itu terbukti

dalam karyanya itu bahwa yang ia kutip pertama kali adalah Ibn Arabi. Kutipan

itu muncul dalam kalimat paling awal sebelum ia mengutip nama-nama besar lain

layaknya Shaikh al-Junaid, al-Ghazali, dan Shaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Selebihnya, kiranya penelitian-penelitian akademik tentang kitab

al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah tidak hanya

berhenti atau selesai dalam tulisan ini. Tetapi, lebih dari itu para pegiat ilmu

tasawuf dapat melakukan pengembangan yang lebih sempurna tentang kitab ini.

Alhasil, dapat menambah diskursus keilmuan filsafat dan tasawuf di era

(47)

39

BAB III

DISKURSUS DUALISME PENGETAHUAN

A. Dualisme dalam Filsafat

1. Melacak Akar Historis Paham Dualisme

Bab pertama dalam skripsi ini penulis telah mendeskripsikan tentang

pengertian dan perjalanan paham dualisme secara sederhana, namun untuk

mengetahui lebih mendalam tentang dualisme, kiranya penulis perlu

membahasnya ke dalam bab khusus untuk mengetahui lebih detail bagaimana

paham ini dapat berkembang dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, dalam

bab ini penulis akan mengurai munculnya aliran dualisme dari konstruksi

filsafat Barat dan dualisme dalam tasawuf. Secara etimologi istilah dualisme

berasal dari kata Latin, duo yang berarti dua.1 Dalam Kamus Lengkap

Psikologi yang ditulis oleh J.D. Chaplin mengartikan dualisme sebagai posisi

falsafi yang menyatakan bahwa terdapat dua substansi asasi yang berbeda dan

terpisah di dunia ini, yaitu jiwa dan zat (mind and matter).2 Senada dengan

pengertian Lorens Bagus yang memaknai dualisme dengan pandangan

filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah.3

Dalam diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham

idealisme. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua

Referensi

Dokumen terkait