Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
ILYASIN YUSUF NIM: E31209006
PRODI FILSAFAT AGAMA - JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
▸ Baca selengkapnya: gus nico al ishaqi
(2)ii
Surabaya, 01 Agustus 2016 Pembimbing,
iii
Tim Penguji Skripsi Surabaya, 11 Agustus 2016
Mengesahkan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Dekan,
Dr. Muhid, M.Ag NIP. 196310021993031002
Tim Penguji: Ketua,
Dr. Suhermanto Dja’far, M.Hum NIP. 196708201995031001
Sekretaris,
Fikri Mahzumi, M.Fil.I NIP. 198204152015031001
Penguji I,
Drs. H. Abu Sufyan, M.Ag NIP. 195208061979031002
Penguji II,
iv Nama : Ilyasin Yusuf
NIM : E31209006
Prodi/Jurusan : Filsafat Agama/Pemikiran Islam dan Filsafat
Fakultas : Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 28 Juli 2016 Saya yang menyatakan,
xii
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research), yakni
penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) utama. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
– Selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kyai Asrori – yang berhubungan dengan
epistemologi pengetahuan seperti kitab al-Muntakhaba>tu fi Rabi>t}ati al-Qalbiyyati
wa S{ilati al-Ru>h}iyyahyang berjumlah lima jilid dan karya Kyai Asrori yang lain. Sedangkan sumber-sumber sekunder yaitu data-data pendukung yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini, berupa buku, ensiklopedia, kamus, majalah, jurnal serta karya-karya pengarang lain yang membahas teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
Hasil penelitian menemukan bahwa Epistemologi pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori yaitu Kyai Asrori menempatkan akal manusia sebagai bagian dari sumber pengetahuan. Bagi Kyai Asrori tanda-tanda kesempurnaan akal dapat diklasifikasikan menjadi dua, tanda yang tampak secara lahir dan secara batin. Tanda-tanda yang tampak secara lahir seperti diam, rendah hati, ahklak yang baik, jujur dan beramal shaleh, sedangkan secara batin berupa tafakkur (berfikir), memetik pelajaran, khusyu’, takut akan disiksa Allah dan mengingat kematian. Selain akal menjadi sumber pengetahuan, Kyai Asrori juga menyatakan bahwa hati juga mempunyai korelasi dengan akal. dengan banyak mengutip pendapat ulama’ shufiyah, Kyai Asrori mengatakan bahwa akal itu adalah hati dan hati adalah akal. sedangkan metode untuk mendapat pengetahuan yang terdapat dalam tasawuf Kyai Asrori ialah menjadikan keyakinan sebagai
nalar untuk memahami sesuatu yang disebut dengan al-Fiqhu. Metode al-Fiqhu
diawali dari sebuah pemahaman rasio yang kemudian dikorelasikan dengan hati hingga akan membentuk sebuah keyakinan. Rahasia ilmu yang tersingkap dan
tersibak, sehingga gambarannya terlihat jelas oleh mata hati itu dinamakan
xiii
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14
F. Tinjauan Pustaka ... 14
G. Metode Penelitian... 19
H. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II BIOGRAFI DAN KARYA PEMIKIRAN K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI A. Biografi K.H. Ahmad Asrori Ishaqi ... 23
B. Pendidikan dan Genealogi Keilmuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... .... 29
C. Karya-karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... .... 33
D. Sekilas Tentang Kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah... .... 35
BAB III DISKURSUS DUALISME PENGETAHUAN A. Dualisme Dalam Filsafat ... 39
1. Melacak Akar Historis Paham Dualisme... ... 39
2. Platon dan Dualisme Metafisis... ... 41
3. Cartesian Dualism; Memahami Dualisme Antropologis... ... 48
B. Dualisme Dalam Tasawuf... .... 50
BAB IV EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN DALAM TASAWUF K.H. AHMAD ASRORI ISHAQI A. Epistemologi Tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi ... 58
1. Konsep Pengetahuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi... ... 61
xiv
b. Metode Mendapat Pengetahuan... ... 67
B. Konsep Dualisme Dalam Tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaq... ...69
1. Dualisme Sebagai Implikasi Ontologis... .... 69
a. Pembahasan al-Ahad dan al-Wahid ... ...71
b. Pembahasan al-Wujud dan al-Kaun ... 77
c. Alam Arwah dan Alam Jasad ... 80
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 84
B. Saran-saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengamati perjalanan pemikiran umat manusia, dapat ditemukan adanya
sebuah paham dualitas dalam kehidupan. Hal itu didasari oleh awal mula manusia
diciptakan Tuhan, terdapat gaya saling tarik menarik dan bergerak kearah dua
kutub yang saling berlawanan, yaitu negatif dan positif. Kutub pertama
merepresentasi yang secara sadar menghambat gerak laju progresifitas dan
melakukan perbuatan-perbuatan negatif, jahat dan melanggengkan penyelewengan
dengan menegakkan tirani atas rakyat. Sedangkan yang kedua menolak arus
penyelewengan tadi, yakni melawan tirani dan segala bentuk ketidakadilan yang
dinilai diskriminatif demi tegaknya perdamaian, keadilan serta persaudaraan di
muka bumi. Untuk dapat bertahan dalam kehidupan ini, kedua kubu pun harus
baku hantam saling mengalahkan untuk menempati posisi yang paling dominan,
dan itu keyataan yang terjadi dari masa ke masa.1
Hal senada juga terjadi pada perkembangan dunia pengetahuan, di mana
pengetahuan saat ini adalah upaya untuk menempatkan posisi paling dominan,
dalam arti bahwa pengetahuan yang dominan selalu mengambil ruang atas
pengetahuan yang lain. Sebagai contoh, tentang pengetahuan universal akan
dianggap lebih ilmiah dibanding pengetahuan partikular. Pemahaman yang
demikian ini nampaknya diilhami oleh pengetahuan dualisme. Paham ini
1Ali Syari‟ati,
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi
bukan muncul dari roh dan roh bukan muncul dari benda. Keduanya, sama-sama
merupakan hakikat dan berdiri sendiri serta bisa diselidiki secara ontologis. Relasi
antar keduanya yang mendasari dunia.2 Pandangan semacam ini bertolak dari
paham naturalisme dan materialisme yang hanya menempatkan materi atau alam
empiris saja untuk memberikan keterangan atas kenyataan.
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat mengatakan bahwa dualisme adalah
pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang
terpisah serta tidak dapat direduksi dan unik.3 Lebih jelasnya paham dualisme
merupakan suatu cara penyingkapan hakikat suatu realitas dengan menegaskan
perbedaan-perbedaan dari kualitas-kualitas mendasar di dalamnya.
Perbedaan-perbedaan ini tidak dapat direduksi, sama-sama azasi, unik dan masing-masing
bersifat berdiri sendiri meski secara bersamaan juga saling mengandaikan satu
sama lain. Adanya pemahaman tentang jiwa dan raga, misalnya, menunjukkan
dualitas yang berlaku dalam diri manusia. Begitu pula maskulinitas dan feminitas,
ide dan materi, ruang dan waktu, gerak dan diam, semua itu menunjukkan adanya
prinsip-prinsip yang berbeda dan bahkan saling berlawanan satu sama lain, namun
prinsip-prinsip yang berlawanan itu saling membutuhkan satu sama lain, saling
melengkapi dengan cara tertentu hingga pada akhirnya menjelma dan membentuk
setiap realitas yang ada.
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 131.
3
Jika menelusuri asal muasal paham dualisme, paling tidak, akan ditemukan
dalam kajian filsafat Yunani yakni dalam filsafat Platon4 yang dikenal dengan
adanya dua prinsip utama dalam realitas, yaitu ide dan materi. Dualisme Platon
menganggap bahwa salah satu dari kedua hal ini yakni ide dan materi. Keduanya
merupakan benar-benar ada dan nyata adanya, sama-sama hakiki dan memiliki
modus eksistensi sendiri-sendiri. Di antara dua hal yang hakiki itu tidak dapat
dipungkiri bahwa salah satunya akan menempati, mengambil posisi yang paling
dominan dan lebih diunggulkan. Adalah alam ide yang dianggap lebih tinggi dari
alam materi dalam konteks filsafat Platon. Alam materi menurut Platon tidak lebih
hanya sebatas tiruan saja dari alam ide, alam ide yang kemudian membentuk alam
materi. Ide bersifat kekal, tidak berubah sedang materi selalu mengalami
perubahan-perubahan. Nampak jelas dalam filsafat Platon adanya dua entitas yang
berkaitan dan saling membutuhkan, yaitu dengan cara mempertahankan keduanya
dan memberikan hak yang berbeda atas keduanya. Platon beranggapan bahwa
tidak mungkin seandainya yang satu mengucilkan yang lain, artinya: bahwa
mengakui yang satu, harus menolak yang lain. Juga tidak mungkin keduanya
berdiri sendiri tanpa membutuhkan yang lain.5
Kendati demikian diskusi tentang dualisme ternyata tidak hanya selesai
dalam filsafat Platon. Kajian tentang dualisme tersebut telah mengambil perhatian
banyak filosof pasca Platon, selanjutnya, kajian ini dilanjutkan oleh Rene
4
Platonn dilahirkan di Athena 428, kita menyebutnya di Indonesia dengan Platon, hal ini disebabkan oleh pemikiran filsafat yang masuk pada negara kita melalui bahasa Belanda, sedangkan kata Yunaninya adalah Pla/twn (Platonn) rasanya ini (baca: sebutan Platon dengan Platonn) lebih sesuai kalau kita melihat kata-kata turunannya Platonnisme, Platonnic, Setyo Wibowo, “Idea Platonn Sebagai Cermin Diri”, Basis, 11-12 (November-Desember, 2008), 4-5.
5
Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern,
memandang terdapat dua hakikat dengan istilah dua kesadaran yaitu ruhani dan
dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode
(1637) dan Meditation de Prima Philosopia (1641),6 dalam buku ini pula
disebutkan bahwa pikiran lebih dominan dalam menentukan eksistensi seseorang
yang dituangkan melalui metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes
(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). “Aku” yang sedang ragu ini
disebabkan oleh “aku” berpikir. Kalau begitu “aku” berpikir pasti ada dan benar.
Jika berpikir ada berarti “aku” ada sebab yang berpikir itu “aku”. Cogito ergo sum
atau “aku” berpikir maka “aku ada. Paham ini kemudian dikenal dalam filsafat
dengan aliran rasionalisme, yaitu aliran filsafat yang mengatakan bahwa sumber
pengetahuan dapat diperoleh melalui akal (reason).7 Di samping Descartes ada
juga Benedictus De Spinoza (1632-1677 M) dan Gitifried Wilhem Von Leibniz
(1646-1716 M).8 Lebih jauh, seolah Descartes mengajak untuk “mi‟raj” dari
dualisme metafisis menuju dualisme antropologis, yaitu menitik-beratkan kepada
manusia sebagai pusat kajian.
Telah menjadi pemahaman bersama bahwa filsafat merupakan suatu
pandangan rasional tentang segala-galanya, terlebih bagi orang-orang Yunani,
oleh karena itu para filosof di kemudian hari seperti Rene Descartes, Immanuel
Kant, Hegel, Edmund Huserl dan para ilmuwan seperti Newton, Einstein
6
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1980), 18. Lihat juga di Nico Syukur Dister dalam FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman (ed),
Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 56-57.
7
K. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 45.
8
mempunyai leluhur-leluhur yang sama di negeri Yunani. Mereka meyakini bahwa
merekalah yang menelorkan cara berpikir ilmiah. Mereka termasuk pendasar
pertama kultur Barat, bahkan kultur sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah
semakin menjadi unsur hakiki dalam suatu kultur universal yang merangkum
semua kebudayaan di seluruh dunia.9 Dengan kata lain, tanah Yunani adalah
tempat persemaian di mana pemikiran ilmiah mulai tumbuh dan berkembang.
Negeri Yunani telah melahirkan filosof seperti Platon, dimana nantinya
akan menjadi referensi utama bagi filsafat Barat. Menurut hemat penulis dengan
meminjam istilah Alfred Whitehead seperti yang dilansir oleh K. Bertens dalam
bukunya, Sejarah Filsafat Yunani mengatakan “All Western philosophy is but a
series footnotes to Platon “.10 Karena sampai hari ini masih berjumpa dengan
tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”,
“waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, “Allah” dan “dunia”, yang semua
itu menjadi tema sentral dalam filsafat Yunani.11 Begitu juga halnya saat
memasuki dunia Timur, dalam hal ini adalah dunia pemikiran Islam dapat kita
jumpai pula gagasan-gagasan para filosof muslim yang masih kental dengan
aroma filsafat Platon. Salah satunya adalah Abu Bakar al-Razi (w. 925/935)
filosof Muslim terkemuka setelah al-Kindi, al-Razi dianggap sebagai Platonnis
Islam terbesar. Jejak dualisme Platon sangat kental dalam pemikiran filsafat
al-Razi, yang menandaskan materi dan jiwa sebagai prinsip kekal yang pada
dasarnya terpisah satu sama lain. Ia berpendapat bahwa jiwa dan materi dapat
9
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999), 23.
10
Ibid., 23.
11
dipersatukan atas dorongan cinta (‘ishq), tubuh dianggapnya tidak musnah bahkan yang dalam konsep eskatologi setelah terjadinya kematian, ia kembali lebur
kedalam hakikat materi semula.12 Tidak hanya itu, al-Razi bahkan meyakini
terjadinya reinkarnasi setelah kematian. Hal ini menjadi konsekwensi logis yang
lahir dari pemikiran tentang keabadian materi.13
Setelah al-Razi, aroma filsafat Yunani kuno masih terus diperbincangkan
oleh para filosof Muslim yang lain seperti, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina dan
menemukan momentunya dalam pemikiran Ibn „Arabi tentang konsep wah}dat al-wuju>d. Dalam diskursus kalam, konsep wah}dat al-wuju>d dikenal sebagai gagasan Ibn „Arabi yang paling berpengaruh, meskipun ia sendiri tidak menggunakan
terminologi itu secara langsung dalam beberapa karyanya. Namun demikian,
setidaknya ada cukup alasan untuk menyebut wah}dat al-wuju>d sebagai ide
terbesar dari pemikirannya secara umum.
Annamarie Schimmel dalam bukunya Dimensi Mistik Dalam Islam
mengutip salah satu syair Ibn „Arabi, ia mengatakan bahwa :
Bilamana kasihku tampak
Dengan mata apa aku melihat Dia?
Dengan matanya, bukan dengan mataku
Karena tak seorang pun melihatnya, kecuali Dia sendiri.14
(Bandung: Mizan, cet .II, 2002), 34-39.
14
Ungkapan Ibn „Arabi di atas, sebagaimana dapat pula dijumpai
pernyataan-pernyataan serupa dalam karya-karyanya yang lain, kiranya cukup
menegaskan kepada kita akan gagasan-gagasan yang mengarah pada
kemanunggalan wujud (wah}dat al-wuju>d). Tiada wujud lain kecuali Wujud-Nya
semata; maka memang menjadi niscaya apabila “tak seorang pun melihat-Nya
kecuali Dia sendiri”. Cara pandang Ibn „Arabi ini menyiratkan adanya dualitas
dalam pemikirannya tentang realitas tajally al-H}aqq, di mana al-H}aqq diposisikan
sebagai subjek dan alam makhluk sebagai maz}z}ar tajally berada dalam posisi
sebagai objek. Keduanya memiliki kualitas yang berbeda dan tidak dapat
direduksi satu sama lain namun saling mengandaikan, di sini nuansa
neo-Platonisme dalam cara pandang Ibn „Arabi sangat nampak.
Meskipun dualisme Platonik sangat membekas dalam pemikiran Ibn
„Arabi, tetapi terdapat perbedaan yang mencolok dalam pemikiran Ibn „Arabi
yaitu ungkapannya tentang H}uwa la> H}uwa (Dia [Allah] dan sekaligus bukanlah
Dia). Ungkapan ini berhubungan dengan keberadaan makhluk dan bagaimana
hubungannya degan al-H}aqq. Ibn „Arabi menyatakan bahwa sesungguhnya pada
makhluk itu Tuhan dan sekaligus bukan Tuhan. “Dia bukan Dia”.15 Dia (H}uwa)
pada saat yang bersamaan juga sekaligus bukan Dia (La> H}uwa). Jadi terdapat
dikotomisasi subjek-objek yang larut di dalam hubungan yang unik, di mana
posisi subjek dan objek menjadi sedemikian dekat bahkan tanpa jarak.
Diskursus pengetahuan puncak sufistik atau wah}dat al-wuju>d Ibn „Arabi
mendapat sambutan khusus dari Mulla Sadra. Ia mengatakan wuju>d atau
15
eksistensi hanya milik Allah dan seluruh objek yang ada bersumber dari wuju>d
Allah tersebut. Wuju>d bagi Mulla Sadra bukanlah “genus” atau “class” dari
sesuatu dan bukan jenis universal di mana individu partikular merujuk kepadanya.
Wuju>d mencakup segala sesuatu, ia mengandaikan ketakterbatasan. Konsep
wujud ini merupakan konsep paling jelas, begitu jelasnya konsep wuju>d ini
sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas dari padanya.16
Konsep kesatuan wujud (wah}dat al-wuju>d) yang terdapat dalam pemikiran
Ibn „Arabi dan Mulla Sadra tersebut tidak bisa dijelaskan melalui penalaran
rasionalitas murni seperti yang terdapat dalam konstruksi epistemologi filsafat
Barat. Karena di dalam konstruksi epistemologi filsafat Barat mengandaikan
adanya dikotomi subjek dan objek. Sedangkan dalam konsep kesatuan wujud
(wah}dat al-wuju>d) berupaya untuk menghilangkan dikotomi tersebut. Konsep ini
hanya bisa didekati berdasarkan intuisi (dhawq) atau pengalaman mistik yang
berdasarkan olah batin-religius untuk mengetahui realitas batin dari wuju>d.17 Oleh
karena itu dualisme di dalam keduanya (filsafat Barat dan tasawuf) terdapat
perbedaan yang sangat signifikan, filsafat Barat mengandaikan subjek-objek
terpisah dan memiliki otonominya masing-masing, sementara dalam tasawuf
relasi subjek-objek memiliki hubungan yang sangat unik dan dekat seolah tanpa
jarak, atau dalam istilah lain penulis menyebutnya dualisme dalam kesatuan.
Berangkat dari dasar pemikiran di atas, yang menjadi minat penulis untuk
meneliti lebih lanjut dan mendalam tentang konsep tasawuf K.H. Ahmad Asrori
Ishaqi – selanjutnya dalam tulisan ini disebut Kyai Asrori – adalah mengingat
16Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra” dalam
Teosofi (Volume 3 Nomor 2, 2013), 442.
17
Kyai Asrori memiliki kedekatan secara pemikiran dengan Ibn „Arabi, seperti yang
ditulis oleh Abdul Kadir Riyadi dalam bukunya Antropologi Tasawuf; Wacana
Manusia Spiritual dan Pengetahuan dalam bab penutup menguraikan dengan
jelas bahwa Kyai Asrori menulis kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyah
wa S{ilati al-Ru>hiyyah yang dapat diklasifikasikan dalam genre tasawuf falsafi.
Kyai Asrori sendiri adalah seorang ulama‟ kharismatik dan mursyid Thariqat
Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Kedinding Lor, Surabaya. Dalam kitab
tersebut ia mengawali tentang pembahasan tentang al-Nu>r al-Muh}ammadi
(Cahaya Muhammad) yang mengulas tentang hakikat kedirian Nabi Muhammad
sekaligus menegaskan bahwa kenabian merupakan aspek dari puncak
keparipurnaan manusia. Sementara kedirian nabi Muhammad adalah cahaya, dan
cahaya adalah hal pertama yang diciptakan oleh Tuhan.18 Selanjutnya Kyai Asrori
mengulas tentang dimensi lahiriyah nabi Muhammad. Ia menyebutnya dengan
istilah al-Su>rah al-Muh}ammadiyyah. Istilah ini tidak bermaksud untuk
menguraikan dimensi fisik, melainkan hakekat dari luar yaitu ilmu dan akal.
Keduanya saling mengisi dan mempunyai hubungan yang sinergis antara satu
dengan yang lain.19
Kyai Asrori sebagai mursyid Tarekat, dengan memiliki kedekatan
pemikiran kepada Ibn „Arabi tentu hal yang tidak lazim dikalangan pengikut
Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) dan menarik untuk dikaji lebih
mendalam untuk digali pesan-pesan moral yang hendak disampaikan kepada
18
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf; Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014). 280.
19
pengikut Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) mengingat tarekat yang
berkembang di Indonesia adalah tasawuf sunni yang lebih menekankan kepada
aspek-aspek spiritual belaka dan kurang memberi ruang kepada akal, untuk
mencapai pengetahuan tertinggi yaitu ma’rifah billa>h. Dalam pada itu, penulis
dalam skripsi ini mengambil judul Epistemologi Tasawuf dalam Kitab
al-Muntakhaba>tu fi Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah Karya K.H. Ahmad Asrori Ishaqi dalam upaya turut meramaikan khazanah keilmuan filsafat dan
tasawuf.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Maksud dari identifikasi masalah ini untuk mengantarkan pada batasan
masalah yang akan ditulis dalam penelitian ini sehingga perbedaan dengan kajian
sebelumnya akan tampak. Sebagai sebuah studi kepustakaan, penelitian ini
difokuskan pada pertautan dualisme dalam filsafat dan tasawuf. Sedang objek
kajian dalam penelitian ini adalah epistemologi dalam tasawuf Kyai Asrori
Al-Ishaqi dengan mengacu pada sumber primer kitab al-Muntakhaba>tfi Rabi>t}ati
al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah yang ditulis langsung oleh Kyai Asrori
menjelang akhir hayatnya.
Dalam rangka menghindari melebarnya pembahasan dalam penelitian ini,
penulis akan membatasi masalah dengan hanya menjelaskan epistemologi
C. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan identifikasi dan batasan masalah di atas, dan
supaya penulisan skripsi ini terarah, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana epistemologi pengetahuan dalam tasawuf K.H. Ahmad Asrori
Ishaqi?
2. Bagaimana konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam tasawuf K.H.
Ahmad Asrori Ishaqi?
D. Penegasan Judul
Judul penelitian ini tersusun dari beberapa istilah yang
pengertian-pengertiannya perlu didefinisikan untuk menjadi pedoman dan menghindari
kerancuan dalam pembahasan lebih lanjut. Untuk memberikan gambaran lebih
jelas mengenai judul tersebut kiranya penulis perlu menjelaskan dan menegaskan
arti dari istilah-istilah tersebut sebagaimana berikut:
1. Dualisme merupakan pandangan filosofis yang megaskan eksistensi dari dua
bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat di reduksi, unik. Contoh:
Adikodrati/Kodrati. Allah/Alam Semesta. Roh/Materi. Jiwa/Badan. Dunia
yang kelihatan/Dunia yang tidak kelihatan. Dunia inderawi/Dunia intelektual.
Substansi yang berpikir/Substansi material. Realitas aktual/Realitas
kemungkinan. Dunia noumenal/Dunia fenomenal. Kekuatan
kebaikan/Kekuatan kejahatan. Alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua
bidang (dunia) itu.20
20
2. Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan, ilmu
pengrtahuan) dan logos (pengetahuan, informasi). Dapat dikatakan,
pengetahuan tentang pengetahuan. Adakalanya disebut “teori pengetahuan”.21
Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat, epistemologi bermaksud
mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari
pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud secara kritis menkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari
dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban
rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Epistemologi atau
filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional
untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka,
epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan
kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan,
sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan,
kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjwabkan secara
nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur, dan dalam hal ini
tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai
cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan
tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi (seperti dibuat oleh
psikologi kognitif), tetapi perlu membuat penentuan mana yang betul dan
mana yang keliru berdasarkan norma epistemik. Sedangkan kritis berarti
21
banyak mempertaanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan
manusia mengetahui. Yang di pertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara
kerja atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam
pelbagai kegiatan kognitif manusia.22
3. KH. Ahmad Asrori Ishaqi adalah seorang mursyid Tarekat Qodiriyah wa
Naqsabandiyah (TQN) di Kedinding Lor, Surabaya. Ia dilahirkan di Surabaya
pada tanggal 17 Agustus 1951. Ia putra keempat dari sepuluh bersaudara.
Ayahnya bernama KH. Muhammad Usman al-Ishaqi dan ibunya bernama
Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Jika dirunut, KH. Asrori
bersambung dengan Nabi Muhammad saw pada urutan ke-38.23 Sebagai
mursyid tarekat Kyai Asrori bisa dibilang sangat berpengaruh dan
kharismatik, hal itu karena Kyai Asrori sikapnya yang netral dan non-partisan
terhadap kelompok agama tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu,
pada akhirnya membuatnya disegani oleh berbagai kalangan masyarakat dari
strata sosial dan kelompok yang berbeda-beda. Kyai Asrori meninggal pada
tahun 2009, tepatnya pada hari selasa pagi tanggal 18 agustus bertepatan
dengan tanggal 26 Sya‟ban 1430 H. Ia banyak meninggalkan karya, salah
satunya adalah kitab Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyah wa S{ilati
al-Ru>hiyyah yang ditulis menjelang akhir hayatnya, sampai hari ini kitab
tersebut masih dikaji oleh pengikut TQN.24
22
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Penegtahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18-19.
23Rosidi, “Konsep Maqa>ma>t
dalam Tradisi Sufistik KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy” dalam
Teosofi (Volume 4, Nomor 1, Juni 2014), 31.
24
Dengan uraian di atas dan untuk kepentingan penulisan skripsi ini, penulis
berusaha untuk mendeskripsikan tentang epistemologi pengetahuan dan konsep
dualisme sebagai imlikasi ontologis dalam tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan pokok penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mencari dan
menemukan jawaban deskriptif-interpretatif berdasarkan sumber-sumber yang ada
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam dua butir rumusan
masalah. Untuk lebih jelasnya, tujuan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan konsep epistemologi pengetahuan dalam pemikiran
tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
2. Untuk mendeskripsikan konsep dualisme sebagai implikasi ontologis dalam
tasawuf Kyai K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengisi ruang-ruang kosong dan
memberikan khazanah pemikiran bagi masyarakat akademis di lingkungan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ushuluddin
khususnya, maupun masyarakat umum dalam memahami pemikiran
epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk memperoleh identifikasi yang
jelas mengenai epistemologi pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang epistemologi pengetahuan dan konsep dualisme dalam
tasawuf Kyai Asrori ini, sejauh pengamatan penulis, boleh dibilang masih langka.
Namun demikian, ada beberapa penelitian sebelumnya tentang Kyai Asrori yang
masih relevan dengan penelitian ini dan layak disebut di sini, yaitu:
1. Skripsi berjudul “Analisis Materi Dakwah KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi
Tentang Ikhlas”, di susun oleh Khasan Sandili pada tahun 2014 diajukan di
Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang. Penelitian ini
difokuskan pada masalah tentang konsep ikhlas menurut Kyai Asrori dan
relevansinya dalam dakwah di era sekarang ini. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa ikhlas merupakan satu kesatuan antara taufiq, t}a’at,
kesungguhan hati, dan s}abar. Apabila seseorang bisa melakukan itu semua,
maka itulah yang di sebut ibadah murni (ikhlas). Adapun relevansinya dalam
dakwah di era sekarang ialah sebagai jembatan untuk di ambil nilai-nilai
dakwahnya dalam memahami kembali betapa pentingnya nilai ikhlas, karena
dalam konsep dakwah tersebut terdapat materi tentang muh}asabah, di situlah
kadar keikhlasan seseorang di uji, sejauh mana perbuatan atau amalan-amalan
seseorang benar-bemar bisa ikhlas semata-mata karena Allah. Dalam
penelitian ini sama sekali tidak membahas tentang konsep dualisme dalam
tasawuf Kyai Asrori.
2. Skripsi berjudul “Metode Ceramah KH. Asrori Al-Ishaqi dalam Berdakwah
tentang “Hakekat Dzikir” seri 1-5”, di susun oleh Irna Murniati pada tahun
IAIN Walisongo Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode
ceramah yang di gunakan oleh KH. Asrori Al-Ishaqi adalah metode ceramah
yang berdasar pada realita kehidupan mad’u dengan tujuan untuk membuka
wacana dan pemahaman mad’u tentang perbuatan yang selama ini telah di
lakukan sekaligus untuk memahami hakekat dan fungsi dzikir dalam
kehidupan mereka. Keberhasilan metode ceramah sebagai proses dakwah
KH. Asrori Al-Ishaqi dalam tinjauan komunikasi disebabkan oleh adanya
kesahajaan dalam berkomunikasi serta keteladanan pribadi da>’i dalam diri
KH. Asrori Al-Ishaqi. Hal ini dalam konteks komunikasi berarti telah
terpenuhinya aspek-aspek komunikator yang memahami kondisi komunikan
sehingga mampu memberikan materi berupa informasi yang berhubungan
erat dengan keadaan dan kebutuhan perubahan dalam diri dan kehidupan
komunikan. Penelitian ini juga tidak membahas konsep dualisme dalam
tasawuf Kyai Asrori.
3. Tesis berjudul “Pemikiran KH. Achmad Asrori Ishaqi (Studi Atas Pola
Pengembangan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Usmaniyah
Surabaya)”, yang di susun oleh R. Achmad Masduki Rifat pada tahun 2011
diajukan pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Penelitian
ini di fokuskan pada pemikiran tasawuf KH. Asrori Ishaqi secara umum dan
pola pengembangan tarekat yang ia pimpin. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pemikiran tasawuf Kyai Asrori tidak terlalu jauh berbeda dengan para
pendahulunya, akan tetapi ia hanya sekedar menegaskan apa yang pernah di
al-Thusi, al-Sakandary dan beberapa ulama‟ s}ufiyyah lain yang berhaluan sunni. Namun, yang menjadi titik tekan dalam penelitian adalah pola penataan
organisasi tarekatnya yang menggabungkan antara sistem klasik dan modern.
Kyai Asrori mengikuti pengembangan ala neo-sufisme yang di gagas oleh
Fazlurrahman, yang di tandai oleh kecenderungannya dalam mengembangkan
organisasi tarekat secara modern, rasional dan moderat. Penelitian ini juga
tidak mengupas konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
4. Artikel berjudul “Konsep Maqa>ma>t Dalam Tradisi Sufistik KH. Ahmad
Asrori Al-Ishaqi” di tulis oleh Rosidi dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa menurut Kyai Asrori seorang sa>lik yang menempuh
pendakian maq>ama>t tidak harus melakukannya secara berurutan seperti
kebanyakan para sufi memahami. Seorang sa>lik boleh memilih maqa>m apa
yang mampu di lakukannya, karena hal ini merupakan ekspresi subjektif atau
kondisi kebatinan para sufi/sa>lik yang menempuh pendakin maqa>ma>t. Dalam
artikel ini juga tidak membahas soal dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
Selain beberapa penelitian tersebut di atas, ada pula penelitian lain yang
membahas dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori, menurut hemat penulis,
penelitian tersebut sangat membantu dan mempermudah memetakan konsep
dualisme tasawuf Kyai Asrori. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tesis berjudul “Dualisme Dalam Kesatuan Untuk Mencapi Ma‟rifat
Perspektif KH. Ahmad Asrori Ishaqi”, yang di susun oleh Muhammad
Sunan Ampel Surabaya. Penelitian ini fokus kepada konsep dualisme dalam
kesatuan dan metode mencapai ma‟rifat menurut Kyai Asrori. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa konsep dualisme dalam kesatuan mencapai
ma‟rifat menurut Kyai Asrori terdapat dalam konsep tentang tuhan, melalui
al-Ah}ad dan al-Wah}i>d serta al-Wuju>d dan al-Kaun. Ia menyatakan bahwa al-Wujud adalah tidak ada wujud selain wujud Allah Swt, sehingga wujud
semua makhluk itu masuk dalam wujudnya Allah. Sedang, al-Kaun segala
yang ada dan yang akan ada yang telah ditakdirkan dan diketahui oleh Allah.
Sementara al-Ah}ad adalah bahwa Allah adalah Esa dalam Dzatnya, sebelum
penampakan Asma>’-Asma>’ dan sifat-sifat Allah. Sedangkan al-Wah}i>d adalah
Esa dalam Asma>’-Asma>’ dan sifat-sifat Allah setelah penampakan Asma’ dan
sifat Allah pada makhluknya. Namun, pada penelitian ini tidak mengupas
tentang epistemologi pengetahuan dalam tasawuf Kyai Asrori. Dari sini
penulis merasa perlu untuk meneliti lebih jauh konsep atau epistemologi
pengetahuan dan dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori secara sepesifik dalam
upaya untuk menemukan makna terdalam dari konsep dualisme dari sudut
pandang tasawuf Kyai Asrori.
2. Buku berjudul “Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spritual dan
Pengetahuan” yang di tulis oleh Abdul Kadir Riyadi pada tahun 2015. Buku
ini juga membahas beberapa pokok permasalahan tentang Kyai Asrori,
terutama tentang kitab al-Muntakhaba>t karya Kyai Asrori sendiri. Namun,
buku ini tidak begitu fokus membahas tentang Kyai Asrori, tetapi lebih
tokoh-tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibn‟ Arabi, Mulla Sadra dll. Tentu penulis
buku tersebut bukan secara kebetulan mencantumkan Kyai Asrori dalam
tulisannya, menurut hemat penulis, karena Kyai Asrori, jika di tinjau dari
kitab al-Muntakhaba>t akan tampak pikiran-pikiran filosofisnya dalam dunia
tasawuf.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari jenis penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan adalah proses “menghimpun data
dari berbagai literature, baik di perpustakaan maupun di tempat-tempat lain”.
Lebih dari itu, yang dimaksud literatur bukan hanya buku-buku yang relevan
dengan topik penelitian, melainkan juga berupa bahan-bahan dokumen
tertulis lainnya, seperti majalah-majalah, koran-koran dan lain-lain.25
Penggunaan jenis penelitian kepustakaan didasarkan atas
pertimbangan bahwa, dokumen-dokumen yang berhasil digali dan
dikumpulkan dapat menjadi subjek yang mampu mendefinisikan dirinya
sendiri, lingkungan, dan situasi yang dihadapinya pada suatu saat serta
tindakan-tindakan subjek itu sendiri.26 Dalam konteks yang lain,
dokumen-dokumen yang terpublikasikan dipahami dapat memberikan gambaran
tentang potret dan dinamika studi Islam yang selama ini berkembang. Secara
praksis, penelitian ini diarahkan untuk menggali dokumen-dokumen atau
25
Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogjakarta: Universitas Gajah Mada Press, 1995), 30.
26
teks-teks yang dipublikasikan secara luas berkenaan dengan epistemologi
pengetahuan dan dualisme tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian disebut juga sebagai sumber yang tertulis atau
sumber di luar kata dan tindakan.27 Sumber utama penelitian ini digali dari
karya otoritatif yang ditulis oleh K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yaitu kitab
al-Muntakhaba>t.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan merupakan proses pengadaan data penelitian atau
”prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan”.28
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode dokumenter, yaitu pengumpulan data dari
dokumen-dokumen yang ada, dan pada tahap selanjutnya diakumulasi dan
dikompilasi dengan tujuan menyusun dokumen-dokumen secara
deskriptif-interprtatif.
4. Metode Analisa Data
Data yang berhasil dikumpulan dan telah diuji, kemudian dianalisis
dengan menggunakan metode analisis deskriptif-interpretatif. Metode analisa
deskriptif dapat dinyatakan sebagai istilah umum yang mencakup berbagai
teknik deskriptif, yaitu penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan
mengklasifikasi data yang diperoleh. Pelaksanaan metode-metode deskriptif
27
J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 113.
28
tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data tersebut.29 Dalam
pelaksanannya, penelitian ini menggunakan dua tahapan Pertama,
menemukan dan mengkoding data-data seadanya (fact finding) yang
mengemukakan hubungan satu dengan yang lain didalam aspek-aspek yang
diselidiki. Kedua, melakukan analisis dan interpretasi guna memecahkan
masalah dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang
ditemukan, mengukur dimensi suatu gejala, menetapkan standar, menetapkan
hubungan antara gelaja-gejala yang ditemukan antara satu dengan yang lain.
Secara praktis, teknik analisa data dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut: data-data yang diperoleh dikatagorisasi melalui
pencatatan data yang digunakan peneliti dalam upaya mempermudah
katagorisasi data berdasarkan pada fokus penelitian. Setelah katagorisasi data
dilakukan, teknik analisa dilanjutkan dengan membuat narasi deskriptif dan
interpretasi atas data. Pada tahapan ini, analisa data menguraikan secara
deskriptif-interpretatif tentang epistemologi pengetahuan dan dualisme
tasawuf K.H. Ahmad Asrori Ishaqi.
H. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, penegasan judul, tujuan dan
29
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, akan di uraikan tentang diskursus dualisme pengetahuan yang
meliputi dualisme dalam filsafat dan tasawuf.
Bab ketiga, akan di paparkan mengenai biografi dan karya pemikiran K.H.
Ahmad Asrori Ishaqi yang meliputi kelahiran, latar belakang pendidikan,
karya-karya.
Bab keempat, akan di deskripsikan tentang epistemologi pengetahuan
menurut K.H. Ahmad Asrori Ishaqi yang meliputi konsep pengetahuan menurut
Kyai Asrori, konsep dualisme dalam tasawuf Kyai Asrori.
Bab kelima, berisi penutup yang diharapkan kepada penyampaian akhir
dari data-data yang telah ditemukan pada bab-bab sebelumnya guna menjawab
23
BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA PEMIKIRAN K.H. AHMAD ASRORI
ISHAQI
A.Biografi K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Nama lengkapnya adalah Ahmad Asrori bin Utsman al-Ishaqi. Ia
merupakan putra dari pasangan K.H. Ustman al-Ishaqi1 dengan Nyai Hj. Siti
Qomariyah. Ia di lahirkan pada tanggal 17 Agustus 1951 di Sawahpulo, yaitu
suatu kampung yang terletak kurang lebih 1 kilometer arah utara Masjid/Makam
Sunan Ampel Surabaya atau kira-kira 1 kilometer sebelah selatan Komando
Armada Timur (Koarmatim) Surabaya. Ada beberapa versi lain terkait tanggal
kelahiran Kyai Asrori, yaitu di antaranya seperti yang tertera di KTP yang
dikeluarkan oleh Kecamatan Semampir Surabaya tahun 1991. Di sana tertulis
bahwa tanggal kelahiran Kyai Asrori adalah 20 Nopember 1951. Sedang pada
KTP yang lain tertulis 1 Juni 1951.2
1
Pendiri dan pemrakarsa berdirinya Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah (TQN) Kemursyidan Surabaya, yang pada saat ini lebih dikenal dengan TQN Al-Usmaniyah adalah Kyai Usman Al-Ishaqi. Di bawah kepemimpinannya, tarekat ini berkembang luas tidak hanya di Jawa dan Madura saja, tetapi juga telah merambah Singapura dan Malaysia. Ia dilahirkan di Jatipurwo (Sawahpulo) pada bulan Jumada al-Akhir tahun 1344 Hijriyah. Nama al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, Sunan Giri, karena KH. Utsman Al-Ishaqi masih keturunan Sunan Giri. Almarhum Kyai Utsman Al-Ishaqi adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta‟in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Selengkapnya lihat, Haji Abdul Ghoffar Umar, al-Lu’lu’u wa al-Marja>n fi Mana>qibi Shaikh Muh}ammad ‘Ustman (Gresik: tnp, 1984), 4. Lihat juga dalam, Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), 181-182.
2 Rosidi, “Konsep
Kyai Asrori adalah putra keempat dari sepuluh bersaudara. Beberapa
sumber menjelaskan bahwa Kyai Asrori merupakan keturunan dari Shaikh
Maulana Ishaq atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Giri yang ke-15,
sekaligus juga secara geneologis nasabnya dari Rasulullah SAW. Berada pada
urutan yang ke-38.3
Tidak sebagaimana saudara-saudaranya yang masih tinggal di sekitar
pondok pesantren Roudlatul Muta‟allimin, ia justru memilih kampung Kedinding
Lor kecamatan Kenjeran Kota Surabaya untuk menjadi tempat tinggalnya. Di
kampung yang berada di sebelah timur sungai Kali Kedinding ini, Kyai Asrori
kemudian mendirikan pondok pesantren yang diberi nama „Al-Fithrah‟ yang
berarti kesucian asal.
Kompleks Pondok Pesantren al-Fithrah menempati areal tanah yang sangat
luas untuk ukuran Surabaya. Masjid sebagai pusat kegiatan pondok pesantren dan
tarekat berada di tengah-tengah. Di belakang masjid ada rumah pengasuh, Kyai
Asrori sekeluarga, tempat Pisowanan yang cukup luas, kompleks asrama
pesantren perempuan dan beberapa kamar tamu yang diperuntukkan kepada para
pengamal tarekat yang tinggal cukup jauh dari Surabaya, khususnya yang berasal
dari Singapura dan Malaysia. Kamar-kamar ini tergolong mewah dan sangat
3
bersih sebagai wujud penghormatan Kyai Asrori kepada mereka yang juga sangat
menghormatinya ketika Kyai Asrori sedang ada kegiatan tarekat di Luar Negeri.
Di sebelah selatan Masjid, berdiri tegak kompleks asrama Pesantren
laki-laki, kantor pusat pondok pesantren, tempat wudhu‟ yang sangat luas dan koperasi
kecil yang melayani kebutuhan santri secara internal. Sementara di Sebelah timur
masjid, terdapat bangunan yang cukup panjang yang digunakan sebagai Madrasah
Tsanawiyah di siang hari dan di malam hari digunakan untuk Madrasah Diniyah.
Madrasah ini juga digunakan sebagai tempat transit bagi para pengamal tarekat
yang berjumlah ribuan yang berasal dari Jawa Tengah ketika ada
kegiatan-kegiatan ketarekatan di Kedinding Lor.
Sedangkan di sebelah utara masjid ada sebuah kantor kecil dan koperasi
pondok pesantren yang bersifat eksternal yang melayani masyarakat luas. Di
koperasi ini dijual berbagai kebutuhan sehari-hari para santri dan masayarakat
sekitarnya. Khusus pada hari Minggu, di belakang koperasi ada toko kecil dan
bersifat terbuka yang hanya buka mulai ba‟da shalat dhuhur sampai masuk shalat
ashar yang menjual berbagai kaset dan VCD yang berisi rekaman
ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh Kyai Asrori dan rekaman berbagai
kegiatan tarekat seperti istighasah, manaqiban, haul Akbar Syekh Abdul Qadir
al-Jilani dan lain-lain. Di situ juga disediakan buku-buku pedoman amalan-amalan
tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah al-Utsmaniyah, kalender yang berisi
kegiatan Kyai Asrori dan kegiatan tarekat pada umumnya selama satu tahun ke
depan, silsilah keturunan Kyai Utsman sampai kepada Rasulullah SAW, dan
informasi tersebut baik cetak maupun elektronik memiliki label Al-Khidmah,
suatu organisasi yang dibuat Yayasan pondok pesantren Al-Fithrah yang
berfungsi mewadahi dan membantu terselenggaranya segala kegiatan tarekat dan
kepentingan para pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah
al-Utsmaniyah.
Saat masih muda tanda-tanda ketokohan Kyai Asrori telah nampak.
Setelah menimba ilmu dibeberapa pesantren yang tersebar di Nusantara, yaitu
Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kyai Asrori muda melakukan
dakwahnya kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Meskipun dalam skala yang
lebih kecil, sekilas metode dakwah semacam ini sangatlah unik karena mirip
dengan metode dakwah yang pernah dilakukan oleh Wali Songo, yakni
mengakulturasikan budaya Islam dengan budaya setempat yang telah mengakar
kuat di tengah masyarakat. Mereka tidak langsung membabat habis budaya lokal
yang kala itu bisa dibilang “tidak Islami” seperti wayangan, gendingan,
gendorenan, dan lain sebagainya. Budaya-budaya lokal tersebut justru dijadikan
sebagai medium pendekatan untuk melakukan Islamisasi terhadap masyarakat
pribumi. Alhasil, pada perkembangan berikutnya Islam tersebar luas di seantero
Nusantara.
Kyai Asrori dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain
musik, nongkrong, dan sebaginya, melalui jalur itulah Kyai Asrori
mentransformasi pengetahuannya yang diselipkan melalui obrolan-obrolan ringan
saat berkumpul. Nampak jelas Kyai Asrori dalam berdakwah mencoba untuk
dalam diri mereka, secara psikologis mereka tentu juga akan lebih siap untuk
menerima hal-hal baru yang lebih bermanfaat.
Seiring berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda
yang tertarik dengan metode atau konsep yang dilakukan oleh Kyai Asrori, hingga
pada akhirnya, Kyai Asrori mengajak mereka untuk mengadakan majelis mana>qib
dan pengajian di Gresik, Jawa Timur. Majelis yang pertama kali ini dilaksanakan
di kampung Bedilan, yang di kemudian hari dilaksanakan secara rutin pada setiap
bulannya ditempat tersebut. Majelis ini diisi dengan pembacaan mana>qib shaikh
„Abd Qadir al-Jilani, pembacaan mawlid dan tanya jawab seputar
masalah-masalah kegamaan. Pada awalnya, majelis ini diberi nama jemaah KACA,
akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun agar lebih familiar, Kyai Asrori
menyebut anggota jemaah KACA dengan sebutan “orong-orong”. Secara harfiah,
Orong-orong adalah hewan melata yang biasa keluar tengah malam. Secara
filosofis, pemberian nama semacam itu disesuaikan dengan anggota jemaah yang
rata-rata sebelumnya memiliki kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam
perkembangannya, nama orong-orong ini di kemudian hari menjadi lebih populer
dibandingkan dengan nama KACA. Pun jemaah orong-orong ini pulalah yang
bermetamorfosis dan menjadi embrio kelahiran jemaah al-Khidmah.4
Telah menjadi pemandangan umum bahwa Kyai Asrori muda adalah sosok
Kyai yang kharismatik, santun dan netral serta sikapnya yang non-partisan
terhadap kelompok keagamaan tertentu atau partai politik tertentu. Sikap moderat
Kyai Asrori inilah yang membuat ia disegani oleh berbagai kalangan masyarakat
4Rosidi, “Konsep
dari strata sosial dan kelompok yang berbeda-beda. Majelis-majelis yang
didirikannya bersifat inklusif dan terbuka bagi siapapun serta kelompok apapun.
Karena tidak adanya kesan ekslusivisme ini, tidak mengherankan jika
majelis-majelis yang dipimpinnya, para pejabat sipil, maupun pemerintahan yang
natabenenya mempunyai padangan keaagamaan atau politik yang berbeda-beda
seringkali terlihat harmonis serta mau duduk bersama dalam sebuah majelis.
Pada tahun 1989, Kyai Asrori menikah dengan Moethia Setjawati. Dari
pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang putra dan dan tiga orang putri. Secara
berurutan dari yang paling sulung, mereka adalah Siera an-Nadia, Saviera
es-Salafia, Mohammad Ayn el-Yaqin, Mohammad Nur el-Yaqin, dan Sheila
ash-Shabarina.5 Kyai Asrori wafat pada usia 58 tahun. Ia wafat pada tahun 2009,
tepatnya hari Selasa, 18 Agustus 2009 bertepatan dengan tanggal 26 Sya‟ban 1430
H. Dalam usia 58 tahun, setelah menderita sakit sekurang-kurangnya selama tiga
tahun. Ia dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah pada
pukul 10.30 WIB sebagaimana dilansir oleh media online detik.com yang dimuat
pada hari selasa, 18 Agustus 2009. Ia meninggal dunia karena sakit komplikasi.
Sebelum meninggal, dia juga masih sempat menjalani operasi dan chek up di
Singapura.6
Pada bulan itu, Kyai Asrori masih sempat memimpin Haul Akbar di
Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen
sebagai alat bantu pernapasan yang disediakan oleh seorang dokter pribadinya dan
5Rosidi, “Konsep
Maqamat dalam., 33.
6
diletakkan disampingnya. Selama menderita sakit berkepanjangan, Kyai Asrori
tetap istiqamah dalam menghadiri majelis-majelis zikir yang telah puluhan tahun
ia bina diberbagai daerah. Hal ini menunjukkan kegigihan Kyai Asrori dalam
menyiarkan amalan-amalan para ulama al-Salaf al-S{alih. Hal itu sekaligus
merupakan wujud nyata kecintaannya kepada para jemaahnya. Haul pada 2009
silam di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah tersebut menjadi kebersamaanya
yang terakhir kali bersama ratusan ribu santri dan jemaahnya.7
Meninggalnya Kyai Asrori merupakan kedukaan yang sangat mendalam
bagi para murid Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang ia pimpin dan telah
tersebar hampir diseluruh Indonesia dan beberapa negara di Asia tenggara.
Meninggalnya Mursyid Tarekat yang ramah ini sekaligus meninggalkan
kesedihan yang tiada tara bagi para pecinta dan pengagumnya yang tergabung
dalam Organisasi jemaah al-Khidmah yang dibentuknya sejak 2005 silam.
B.Pendikan dan Geneologi Keilmuan K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Sejak masa kanak-kanak, Kyai Asrori hidup dalam lingkungan Pesantren.
Ayah Kyai Asrori, K.H. Utsman al-Ishaqi adalah merupakan pendiri dan pengasuh
Pesantren Raudlotul Muta‟allimin Jatipurwo Semampir Surabaya.
Kyai Asrori belajar dasar-dasar agama dari sang ayah. Sejak anak-anak,
kecerdasan Kyai Asrori al-Ishaqi memang sudah nampak. Kyai Asrori dikenal
sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (Islam). Untuk mengobati
kehausannya itu, Kyai Asrori melanglang buana ke berbagai pesantren terkenal
di Jawa pada saat itu. Dapat dikatakan, Kyai Asrori termasuk dari sekian santri
7Rosidi, “Konsep
yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “luruh ilmu kanti
lelaku” (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau santri kelana.
Pada usia 15 tahun, oleh ayahnya Kyai Asrori diminta untuk belajar di
Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Pesantren ini yang didirikan oleh K.H.
Romli Tamim. Dipesantren ini juga K.H. Ustman al-Ishaqi nyantri (menjadi
santri) bahkan menjadi salah satu murid kesanyangan dari K.H. Romli Tamim.8
Di Pesantren ini Kyai Asrori tidak mau diperlakukan secara istimewa, ia ingin
menjadi santri biasa dan ingin diperlakukan seperti santri-santri yang lain. Hal
inilah yang awalnya menjadi alasan Kyai Asrori tidak mau nyantri di Pesantren
Darul Ulum Jombang. Akan tetapi, dengan desakan dan permintaan dari ayahnya
akhirnya Kyai Asrori menjadi santri di Pondok Pesantren ini.9
Selama menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum, K.H. Ahmad
Asrori sangat tekun atau rajin belajar, dan berada di barisan paling depan ketika
ngaji kepada K.H. Romli Tamim. Kendati demikian, K.H. Ahmad Asrori menetap
di Pondok Pesantren ini hanya satu bulan.10 Setelah dari Pondok Pesantren Darul
Ulum, Kyai Asrori melanjutkan perjalanan intelektualnya di Pondok Pesantren
Bendo Pare Kediri di bawah asuhan K.H. Hayatul Maki. Akan tetapi Kyai Asrori
8
K.H. Romli Tamim pada saat itu merupakan seorang Mursyid terkemuka Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah terkemuka di Jawa Timur. Di tangannya tarekat ini mengalami puncak keemasan. Pengaruhnya tidak terbatas hanya wilayah Jombang dan sekitarnya, akan tetapi juga meliputi wilayah-wilayah pesisir utara pulau Jawa dan pulau Madura.
9Muhammad Rahmatullah, “Dualisme Dalam Mencapai Ma‟
rifat Perspektif K.H Ahmad Asrori Ishaqi”, Tesis, (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015) 62.
10
juga tidak bertahan lama di Pondok Pesantren ini. Di Pondok Pesantren ini, ia
hanya belajar kurang lebih selama satu tahun.11
Selepas menjadi santri di Pondok Pesantren K.H. Hayatul Maki, Kyai
Asrori melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak,
Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Ma‟shum.12
Di pesantren ini, Kyai Asrori
hanya selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, ia belajar di salah satu pesantren
di desa Buntet, Cirebon yang diasuh oleh K.H. Abdullah Abbas.13 Di Pesantren
ini, Kyai Asrori hanya belajar selama setengah tahun. Setelah belajar dipelbagai
Pondok Pesantren, akhirnya Kyai Asrori mengakhiri perjalanan intelektualnya,
dan kembali belajar kepada ayahnya, K.H. Ustman al-Ishaqi di Pondok Pesantren
Raudlatul Muta‟allimin Surabaya. Adapun geneologi keilmuan K.H. Ahmad
Asrori al-Ishaqi adalah sebagai berikut:
11
Ibid, 62.
12 K.H. Ali Ma‟sum adalah putra pertama dari pasangan K.H. Ma‟sum dengan Nyai Hj.
Nuriyah pada tanggal 02 Maret 1915 di Desa Soditan Lasem Kabupaten Rembang. Selengkapnya baca, A. Zuhdi Mukhdlor, K.H. Ali Ma’sum: Perjuangan dan Pemikiran -Pemikirannya (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989), 6-7.
13
Shaikh Abdul Qadir al-Jailani
= Hubungan guru murid (secara langsung) = Hubungan sahabat
= Hubungan guru murid (secara tidak langsung)
14
C.Karya Pemikiran K.H. Ahmad Asrori Ishaqi
Kyai Asrori sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis. Banyak
sekali buku-buku atau kitab yang telah dikarangnya, antara lain sebagai berikut:
1. al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah
Kitab ini merupakan magnum opus pemikiran Kyai Asrori. Kitab ini terdiri
dari lima jilid dan telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam kitab
ini Kyai Asrori membahas tentang al-Nu>r al-Muh}ammadi Pengertian dari
Nur Muhammad adalah suatu yang nampak dan menjadi sumber semua yang
lahir. Allah pertama kali menciptkan Nur (cahaya) Nabimu sebelum
menciptakan apapun. Lalu dengan kekuasaan Allah, Nur berputar sesuai
dengan kehendak Allah pada keadaan itu belum ada Qolam, „Arasy dan
Kursi, Malaikat, Ruh, Surga, Neraka, Langit, Bumi, Matahari, Rembulan,
Manusia dan Jin. Kedudukan Rasulullah di dudukkan sangat dekat dengan
Allah selama dua belas ribu tahun
2. al-Anwa>r al-Khus}usiyyah al-Khatmiyyah
Kitab ini berisi bacaan-bacaan yang wajib ditunaikan oleh para pengamal
tarekat yang telah diberikan baiat oleh Kyai Asrori dalam kehidupan sehari
hari.
3. al-Ikli>l fi al-Istigha>thah wa al-Adhka>r wa al-da’a>wah fi al-Tahli>l
Kitab ini sebagaimana ungkapan penghimpunnya, Kyai Asrori memuat 3 hal
utama yaitu :
Pertama, ayat-ayat Alquran dan untaian shalawat dan salam kepada
Kedua, Istighatsah, zikir, dan do‟a-do‟a.
Ketiga, perantara-perantara dan sebab-sebab untuk meraih rahmat, ampunan
dan berkah dari Allah SWT dijadikan sebagai silaturruhiyah (penyambung
tali spiritual) dengan para pendahulu yang telah meninggal dunia.
4. al-Muntakhaba>tu fi> ma> Huwa al-Mana>qib
5. al-S{ala>watu al-Husayniyyah
6. Nuqt}atu wa Ba>qiyatu S{alih}atu wa ‘Aqi>batu Khayratu wa
al-Kha>timatu al-H{asanah
7. Basha>’iru al-Ikhwa>n fi> Tabri>di al-Muri>di>n ‘an Hara>rati al-Fitani wa
Inqaz}ihim ‘an Shabaka>ti al-H{irma>n
8. al-Risa>latu al-Sha>fiyatu fi> Tarjama>ti al-Thamrati al-Rawd}ati al-Shahiyati bi
al-Lughati al-Madu>riyah
9. Laylatu al-Qadar
10. Mir’a>tu al-Jinani fi> al-Istigha>thati wa al-Adhka>r wa al-Da’awa>ti ‘ind Khatmi
al-Qur’a>n ma’ Du’ai Birr al-Walidyn wa bi Haqq Umm al-Qur’a>n
11. al-Fath}atu al-Nu>riyah
12. al-Nafaha>tu fi> ma> Yata’allaqu bi al-Tara>wih}i wa al-Witri wa al-Tasbi>h}i wa
al-H{ajah
13. Bahjatu al-Wisha>ti fi> Dhikri al-Nubdhah min Mawli>di Khayri al-Bariyyah
14. al-Waqi>’atu al-Fad}i>latu wa Yasin al-Fad}i>lah
15. Fayd}u Rah}ma>nu li man Yad}illu tah}ta Saqafi Uthmani fi
D. Sekilas Tentang Kitab Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah
Kitab al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah
ditulis langsung oleh Kyai Asrori menjelang wafat dan pada saat TQN telah
berkembang pesat. TQN sendiri kini memiliki pengikut yang tersebar diberbagai
daerah di Nusantara bahkan mancanegara. Jumlah pengikutnya tidak diketahui
dengan pasti karena tidak ada pendataan yang baik juga karena karena banyaknya
simpatisan yang tidak terdaftar sebagai murid tarekat. Namun, yang pasti mereka
tersebar di wilayah pantai utara Pulau Jawa, Sumatra hingga Malaysia, Singapura,
Thailand dan Australia.
Kitab ini masih asing ditelinga banyak orang karena disamping hanya
diedarkan di kalangan internal pengikut Tarekat dan Pesantren al-Fitrah juga
karena belum ada yang mencoba menggali pesan-pesan dan gagasan yang
tertuang dalam kitab tersebut. Padahal, kitab ini sangat layak disandingkan dengan
kitab-kitab lain yang berkualitas seperti al-Fath}u al-Rabba>ni karya Shaikh Abdul
Qadir al-Jailani.15
al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah di tulis
dalam Bahasa Arab, tetapi sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kitab
ini terdiri dari lima jilid, masing-masing setiap jilid terdapat lebih dari 300
halaman. Dari judulnya sudah dapat dipahami bahwa kitab ini berupa kumpulan
dari tulisan-tulisan para sufi yang terpilih. Namun, Kyai Asrori juga memberikan
pandangannya sendiri yang biasa ditulis di bagian bawah kitab dan selalu di
15
dengan kata kultu, atau “pandangan saya.”16 Pandangan Kyai Asrori inilah yang
sebenarnya menjadi rujukan otoritatif dalam melakukan penelitian akademik,
karena dalam pandangan tersebut akan ditemukan beberapa ide dan gagasan
penting dalam tasawuf Kyai Asrori.
Walaupun kitab ini merupakan sebuah seleksi dari pandangan sufi
terkemuka, tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi kualitas kitab ini. Cuplikan
yang dikutip berikut pandangan Kyai Asrori sendiri sama-sama mencerminkan
kematangan pemikiran penulisnya. Juga menjelaskan apa yang ia kehendaki baik
melalui kitab ini maupun melalui tarekat yang ia besarkan.
Pertama-tama yang menjadi catatan bagi kita adalah bahwa kitab ini
merupakan kitab tasawuf dan bukan kitab tarekat. Perbedaan mendasar antara
keduanya sangat jelas bahwa kitab tasawuf berbicara soal ilmu pengetahuan dan
teorisasi tentang pengalaman spiritual, sedang kitab tarekat adalah
petunjuk-petunjuk praktis dalam beribadah, berdzikir maupun bermunajat.
Sebagai karya filosofis, kitab ini mengawali pembahasannya mengenai
al-Nur al-Muhammadi (Cahaya Muhammad). Ini mengingatkan kita kepada tokoh
sufi terkemuka Ibn Arabi dan al-Jilli yang gemar mengangkat persoalan serupa.
Pembahasan tentang Cahaya Muhammad ini pada intinya berbicara mengenai
hakekat kedirian nabi Muhammad sekaligus menegaskan bahwa kenabian
merupakan puncak dari keparipurnaan manusia. Kedirian nabi Muhammad itu
16
sendiri adalah merupakan cahaya, dan bahwa cahaya adalah hal paling pertama
yang di ciptakan Tuhan.17
Menyusul pembahasan mengenai cahaya Muhammad sebagai esensi
kenabian, Kyai Asrori pindah ke dalam pembahasan kedua mengenai dimensi
lahiriah nabi Muhammad yang ia sebut sebagai al-Surah al-Muhammadi. Namun
yang ia maksud dari dimensi fisik ini bukanlah ciri-ciri luaran nabi melainkan
hakekat dari luaran itu yang tidak lain menurut Kyai Asrori adalah ilmu dan akal.
Jadi, jika dalam pembahasan pertama Kyai Asrori menekankan pada
keparipurnaan manusia dalam konsep kenabian dan cahaya, dalam pembahasan
kedua ini ia menekankan pada kesempurnaan manusia dalam konsep ilmu dan
akal. ketiga konsep ini – kenabian atau cahaya, ilmu adan akal saling terkait
secara mendasar karena semuanya menjadi simbol bagi kematangan manusia.
Ketiganya juga merujuk kepada esensi yang sama yaitu akal.
Oleh karena itu bukan sebuah kebetulan bahwa kitab al-Muntakhaba>tu fi>
Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah adalah upaya untuk
menyempurnakan tarekat dengan ilmu atau melandasi amaliah para pengikutnya
dengan dengan cahaya akal. Dan sejatinya, melalui kitab ini Kyai Asrori mencoba
menarik gerbang tarekat ke wilayah epistemologis yang didasari pada pemahaman
terhadap pesan-pesan kenabian. Bukan kebetulan pula bahwa kitab yang ditulis
menjelang wafatnya itu merupakan ajakan untuk mentransformasi pelaku dzikir
menjadi pelaku pikir. Sukses mengantarkan tarekat tampaknya membuat Kyai
17
Asrori ingin mendorong para pengikutnya untuk segere “Hijrah” ke alam ilmu
pengetahuan.
Sungguh menakjubkan bahwa seorang kyai tradisional yang selama
hidupnya lebih dikenal sebagai mursyid dan ahli dzikir, justru menjelma menjadi
seorang penggemar filsafat, terutama aliran pemikiran Ibn Arabi. Hal itu terbukti
dalam karyanya itu bahwa yang ia kutip pertama kali adalah Ibn Arabi. Kutipan
itu muncul dalam kalimat paling awal sebelum ia mengutip nama-nama besar lain
layaknya Shaikh al-Junaid, al-Ghazali, dan Shaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Selebihnya, kiranya penelitian-penelitian akademik tentang kitab
al-Muntakhaba>tu fi> Rabi>t}ati al-Qalbiyyati wa S{ilati al-Ru>h}iyyah tidak hanya
berhenti atau selesai dalam tulisan ini. Tetapi, lebih dari itu para pegiat ilmu
tasawuf dapat melakukan pengembangan yang lebih sempurna tentang kitab ini.
Alhasil, dapat menambah diskursus keilmuan filsafat dan tasawuf di era
39
BAB III
DISKURSUS DUALISME PENGETAHUAN
A. Dualisme dalam Filsafat
1. Melacak Akar Historis Paham Dualisme
Bab pertama dalam skripsi ini penulis telah mendeskripsikan tentang
pengertian dan perjalanan paham dualisme secara sederhana, namun untuk
mengetahui lebih mendalam tentang dualisme, kiranya penulis perlu
membahasnya ke dalam bab khusus untuk mengetahui lebih detail bagaimana
paham ini dapat berkembang dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, dalam
bab ini penulis akan mengurai munculnya aliran dualisme dari konstruksi
filsafat Barat dan dualisme dalam tasawuf. Secara etimologi istilah dualisme
berasal dari kata Latin, duo yang berarti dua.1 Dalam Kamus Lengkap
Psikologi yang ditulis oleh J.D. Chaplin mengartikan dualisme sebagai posisi
falsafi yang menyatakan bahwa terdapat dua substansi asasi yang berbeda dan
terpisah di dunia ini, yaitu jiwa dan zat (mind and matter).2 Senada dengan
pengertian Lorens Bagus yang memaknai dualisme dengan pandangan
filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah.3
Dalam diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham
idealisme. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua