• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul 05 Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modul 05 Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

P

aan Pembangkit Listrik

Tenaga Surya

PAKET PELATIHAN

(4)

DISCLAIMER:

PEMBUATAN NASKAH INI DIKOORDINASIKAN DENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK). SERANGKAIAN DISKUSI TELAH DILAKUKAN MELIBATKAN INSTITUSI TERKAIT, DAN PARA AHLI YANG TELAH MEMBANTU MEMPERSIAPKAN NASKAH INI. MENJADI SUATU KEBANG-GAAN BAGI KAMI UNTUK DAPAT MENYAMPAIKAN RASA TERIMAKASIH KEPADA SEMUA PIHAK YANG TELAH TERLIBAT DALAM PENYUSUNAN NASKAH INI DARI AWAL HINGGA SE-LESAI.

PEDOMAN INI TIDAK BERSIFAT MENGIKAT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN (LJK) NAMUN DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI SALAH SATU ACUAN BAGI LJK DALAM HAL BERINVESTASI DI SEK-TOR ENERGI BARU TERBARUKAN.

(5)
(6)

JU

AN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta dapat:

1. Memahami pentingnya bank untuk terlibat dalam pembiayaan berkelanjutan (sustainable inance) 2. Memahami model bisnis proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)

3. Memahami aspek penting dalam pembiayaan proyek PLTS

4. Menerapkan analisis kredit proyek PLTS yang memasukkan analisis aspek-aspek risiko sosial dan lingkungan hidup (ASRI)

5. Memahami mitigasi risiko kredit dalam pembiayaan proyek PLTS

6. Memahami pentingnya aspek ASRI dalam pengawasan kredit bagi bank 7. Memahami aspek penting dalam pengawasan kredit PLTS

(7)
(8)

PENDAHULUAN

S

ejak sekitar satu dekade yang lalu, pemerintah Indonesia sudah mulai mencanangkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Hal ini dapat dilihat diantaranya pada salah satu misi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 yang memuat dua hal, yaitu (1) pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup, serta (2) pemanfaatan ekonomi SDA dan lingkungan hidup yang berkesinambungan. Kemudian, sebagai salah satu wujud pelaksanaan misi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir tahun 2014 menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia. Roadmap yang dikeluarkan oleh regulator lembaga keuangan di Indonesia ini dapat dikatakan sebagai arahan awal bagi lembaga keuangan untuk juga mulai memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup dalam menjalankan bisnisnya.

Bentuk perhatian lembaga keuangan, terutama bank, terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup dalam menjalankan bisnisnya diantaranya adalah dengan memberikan porsi yang semakin besar terhadap penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan (seperti tenaga surya) untuk menghasilkan listrik misalnya, terbukti lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil sehingga dapat meminimalkan emisi gas buang. Dengan demikian, sebuah PLTS diharapkan tidak hanya dapat menghasilkan listrik dengan biaya operasi yang rendah dalam jangka panjang, namun juga dapat memberikan kontribusi dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dengan pelestarian lingkungan hidup dan lingkungan sosial.

(9)

Oleh karena itu, modul ini berusaha memberikan gambaran mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembiayaan proyek PLTS, dengan harapan dapat menjadi panduan awal untuk mendorong pengembangan sektor energi terbarukan pada umumnya, dan PLTS pada khususnya.

Pembahasan dalam modul ini akan diawali dengan pemaparan mengenai konsep sustainable inance dan green lending. Berikutnya diberikan gambaran umum mengenai proyek PLTS, yang dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aspek-aspek penting dalam analisis pembiayaan PLTS. Aspek-aspek-aspek penting tersebut dapat dikelompokkan menjadi aspek hukum, keuangan, dan teknis. Tidak ketinggalan dalam modul ini juga akan dibahas mengenai manajemen risiko proyek PLTS, sebelum diakhiri dengan ulasan mengenai keputusan pencairan kredit dan pengawasannya untuk proyek PLTS.

(10)
(11)

S

xxxxxxxxustainable inance atau keuangan berkelanjutan merupakan suatu terminologi yang merujuk pada pengembangan dari manajemen keuangan, dimana tujuan dari pengelolaan keuangan tidak lagi berorientasi untuk memaksimalkan kekayaan pemilik modal (seperti pemegang saham) dalam jangka pendek, melainkan berorientasi untuk menjaga keberlangsungan usaha secara berkelanjutan dalam jangka panjang dengan memerhatikan dampak dari keputusan-keputusan keuangan terhadap lingkungan hidup dan masyarakat umum. Salah satu aspek spesiik yang diputuskan dalam manajemen keuangan adalah pembiayaan, dimana pembiayaan yang sudah mengadopsi semangat keuangan berkelanjutan disebut sebagai green inancing atau pembiayaan “hijau” (pinjaman ramah lingkungan).

Sustainable inance dapat dideinisikan sebagai praktik untuk menciptakan nilai ekonomi dan sosial melalui model, produk dan pasar keuangan yang berkelanjutan sepanjang waktu . Modul ini akan membahas model keuangan untuk pembiayaan proyek PLTS sebagai salah satu proyek yang diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan bukan hanya manfaat ekonomi namun juga manfaat sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat.

Sedangkan green inancing dapat dideinisikan sebagai keputusan oleh bank (lembaga keuangan) untuk menyediakan

produk dan jasa (pinjaman, penyertaan modal) hanya kepada nasabah yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dalam menjalankan aktivitas operasinya . Berdasarkan deinisi tersebut, sebuah bank yang ingin menerapkan green inancing harus memasukkan analisis ASRI (lingkungan dan sosial) sebagai bagian dari analisis kredit dan manajemen risikonya. Pentingnya analisis ASRI menjadi bagian dari analisis kredit dalam green inancing atau pinjaman yang ramah lingkungan dapat ditinjau baik secara teoritis, maupun dari sisi regulasi dan potensi.

Secara teoritis, pinjaman untuk proyek yang ramah lingkungan (memperhitungkan ASRI) memiliki ukuran laba yang berbeda dengan pinjaman untuk proyek yang tidak ramah lingkungan. Ukuran laba untuk proyek yang tidak ramah lingkungan adalah laba inansial yang hanya dihasilkan dari pendapatan dikurangi dengan beban komersial. Dengan kata lain, pengertian laba inansial ini sama dengan pengertian laba rugi yang terdapat dalam laporan keuangan komersial. Sedangkan ukuran laba untuk proyek yang ramah lingkungan adalah laba ekonomi yang tidak hanya memperhitungkan pendapatan dan beban komersial, namun juga memperhitungkan opportunity cost. Contoh opportunity cost antara lain adalah biaya kerusakan lingkungan hidup dan biaya penanggulangan dampak sosial, termasuk kerugian akibat terganggunya operasi yang dipicu oleh faktor sosial dan lingkungan.

POINT 1

Sustainable Finance &

(12)

Dengan demikian, suatu proyek yang tidak ramah lingkungan mungkin memiliki laba inansial yang lebih besar daripada suatu proyek yang ramah lingkungan, namun dengan opportunity cost yang lebih tinggi, proyek yang tidak ramah lingkungan akan memiliki laba ekonomi yang lebih kecil dibandingkan proyek yang ramah lingkungan. Sebaliknya, suatu proyek yang ramah lingkungan mungkin memiliki laba inansial yang lebih kecil daripada suatu proyek yang tidak ramah lingkungan (misalnya karena biaya depresiasi yang lebih tinggi untuk membangun sarana pengolahan limbah, pengeluaran yang lebih besar untuk tanggung jawab sosial perusahaan), namun dengan opportunity cost yang lebih kecil, proyek yang ramah lingkungan akan memiliki laba ekonomi yang lebih besar dibandingkan proyek yang tidak ramah lingkungan. Hal ini akan memengaruhi keberlanjutan proyek, dimana keberlanjutan proyek ramah lingkungan dalam jangka panjang dapat diharapkan lebih baik daripada proyek tidak ramah lingkungan.

Selanjutnya dari sisi regulasi, analisis ASRI (lingkungan dan sosial) menjadi penting untuk memenuhi ketentuan dalam peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan di Indonesia yang meminta perhatian terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup dirangkum dalam Tabel 1.

Kewajiban Bank untuk memperhatikan isu lingkungan dan sosial sudah diatur melalui Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia (sekarang OJK). Berikut adalah beberapa peraturan pada Bank terkait aspek lingkungan yang harus diperhatikan oleh Bank, sebagaimana terangkum dalam Dokumen Lingkungan Hidup Sektor Energi Bersih, suatu Pedoman untuk LJK yang dipublikasikan oleh OJK:

1. UU No. 7/1992 tentang Perbankan

Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian

2. UU No. 10/1998 (perubahan UU No. 7/1992)

Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh, sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya peningkatan peranan AMDAL bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi

3. UU No. 21/1998 tentang Perbankan Syariah

Bank syariah menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Salah satu prinsip syariah adalah melakukan kegiatan yang berkesinambungan dan berkeseimbangan. Salah satu prinsip keseimbangan adalah pendekatan kelestarian alam

4. PBI No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

(13)

5. SE BI No. 15/28/DPNP, 2013 tentang Bank Umum Konvensional dan SE BI No.13/10/DPBS,

2011 tentang Bank Umum Syariah

Mewajibkan Bank untuk melakukan evaluasi terhadap usaha pengelolaan lingkungan hidup dari debitur atau calon debitur, dalam rangka penilaian kualitas aset (kredit) yang diberikan. Salah satu komponen penilaian prospek usaha adalah memastikan adanya AMDAL. Bank harus memperhatikan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL. Bank juga harus memperhatikan hasil penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup.

Sedangkan dari sisi potensi, teknik analisis ASRI (lingkungan dan sosial) “wajib” dikuasai oleh analis kredit perbankan dan lembaga keuangan sebagai bagian dalam analisis pembiayaan proyek energi terbarukan, mengingat potensi energi terbarukan yang begitu besar di Indonesia. Potensi listrik yang dapat dihasilkan dari energi terbarukan di Indonesia dalam MegaWatt (MW) dan GigaWatt (GW) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Potensi Listrik dari Energi Terbarukan di Indonesia Energi Terbarukan Potensi Tenaga Air (Hydropower) 75.000 MW Panas Bumi (Geothermal) 29.164 MW Biomassa 49.810 MW

Surya (Solar) 112.000 GWp = 89.600 GW

Keterangan: 1 GW = 1.000 MW

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah diolah kembali

Kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional, baik yang berbahan bakar fosil maupun yang sudah menggunakan energi terbarukan, sampai dengan pertengahan tahun 2015 adalah 51.620 MW. Angka ini baru mencapai 33,52% dari total potensi listrik yang dapat dihasilkan oleh energi terbarukan dari tenaga air, panas bumi, dan biomassa (sebesar 153.974 MW). Adapun untuk tenaga surya sendiri, berpotensi dapat menghasilkan listrik hingga sebesar 112.000 GWp atau setara 89.600.000 MW.

(14)

Pendapa-tan yang mungkin diperoleh sebuah PLTS dapat lebih besar lagi jika menggunakan modul tenaga surya fotovoltaik dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sekurang-kurangnya 40%, karena akan diberikan insentif berupa harga pembelian energi listrik yang lebih tinggi hingga menjadi sebesar USD0,30 per kWh.

FIT PLN untuk PLTS Fotovoltaik kemudian diperbarui dengan Permen ESDM No. 19 / 2016. Dalam Permen ESDM No. 19 / 2016, besaran harga pembelian listrik dari PLTS Fotovoltaik untuk semua kapasitas, dibagi berdasarkan wilayah di Indonesia sebagaimana terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3 Harga Pembelian Listrik dari PLTS Fotovoltaik

No. Wilayah Harga Pembelian (sen USD per kWh)

1 Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 14,5

2 Jawa Barat 3 Banten

4 Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 5 Jawa Timur

6 Bali 16,0

7 Lampung 15,0

8 Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu 15,0

9 Aceh 17,0

10 Sumatera Utara 16,0

11 Sumatera Barat 15,5

12 Riau dan Kepulauan Riau 17,0

13 Bangka-Belitung 17,0

14 Kalimantan Barat 17,0

15 Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 16,0 16 Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 16,0 17 Sulawei Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo 17,0 18 Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi

Barat

16,0

19 Nusa Tenggara Barat 18,0 20 Nusa Tenggara Timur 23,0 21 Maluku dan Maluku Utara 23,0 22 Papua dan Papua Barat 25,0

(15)

Permen ESDM No. 19 / 2016 juga memperbarui ketentuan TKDN dimana harga pembelian tenaga listrik akan dikoreksi jika tidak dapat memenuhi persentase TKDN minimal menu-rut Permen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Kore-ksi tersebut dihitung menggunakan formula berikut.

Dimana:

a = Persentase TKDN minimal menurun Permen yang menyelenggarakan urusan pemerin-tahan di bidang perindustrian

b = Persentase TKDN hasil veriikasi oleh veriikator resmi yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian c = Persentase sanksi penurunan harga pembelian tenaga listrik

d = Harga pembelian tenaga listrik

d’ = Harga pembelian tenaga listrik terkoreksi

(16)
(17)
(18)

P

ada dasarnya terdapat dua tipe PLTS yaitu photovoltaic (PV) dan solar thermal. Gambar 2 memberikan gambaran perbandingan bentuk isik panel surya yang digunakan pada kedua PLTS tersebut.

POINT 2

Gambaran Umum

Proyek Pembangkit Listrik

Tenaga Surya

Photovoltaic Solar hermal

Gambar 2 Perbandingan Panel Surya Pada Dua Tipe PLTS

PLTS PV menggunakan panel surya yang dapat langsung mengubah tenaga surya menjadi listrik. Sedangkan PLTS solar thermal mengumpulkan panas dari matahari untuk memanas-kan sejumlah besar liquid hingga menghasilmemanas-kan uap yang kemudian amemanas-kan digunamemanas-kan untuk memutar turbin guna menghasilkan listrik. Prinsip kerja sederhana dari PLTS solar thermal digunakan pada pemanas air rumah tangga (biasanya dipasang pada atap rumah dan digu-nakan untuk memanaskan air mandi).

(19)

Gambar 3 Sistem Fotovoltaik

Sumber: Fraas dan Partain (2010) dalam Kei (2011)

Pertama, modul/panel mengubah tenaga surya menjadi listrik. Arus listrik yang di-hasilkan pada tahap ini masih berupa arus listrik searah atau direct current (DC). Ked-ua, inverter mengubah DC menjadi arus listrik bolak-balik atau alternating current (AC) agar arus listrik dapat dialirkan dan digunakan lebih lanjut. Ketiga, kotak sek-ering atau fusebox membagi sebagian arus listrik untuk penggunaan rumah tangga atau pembangkit sendiri. Keempat, sistem dapat dilengkapi dengan baterai untuk menyimpan kelebihan energi listrik yang belum digunakan atau disalurkan. Namun saat ini, nilai investasi untuk komponen baterai masih sangat tinggi sehingga da-pat membuat sebuah PLTS menjadi tidak ekonomis, terutama PLTS berkapasitas kec-il. Oleh karena itu, pada praktiknya banyak PLTS yang tidak menggunakan baterai dan langsung menyalurkan seluruh listrik yang

dihasilkan (setelah dikurangi penggunaan sendiri). Kelima, meteran mencatat jumlah listrik yang disalurkan dari PLTS ke jaringan atau grid. Keenam, jika PLTS mengguna-kan jaringannya sendiri untuk menyalur-kan listrik hingga ke rumah tangga, maka jaringan yang digunakan disebut of-grid. Sedangkan jika PLTS menggunakan jarin-gan dari perusahaan listrik lainnya, seperti PT PLN (Persero) di Indonesia, maka jarin-gan yang digunakan disebut on-grid.

(20)

tersebut, semakin besar nilai investasi yang harus disediakan PLTS untuk membangun penghubung dari pembangkit ke POC dan semakin besar risiko “menguapnya” listrik yang sudah dihasilkan pembangkit selama perjalanan menuju POC (susut jaringan). Rule of thumb untuk “penyusutan” atau “penguapan” listrik ini adalah sebesar 5% untuk jarak dari pembangkit ke POC seki-tar 10 kilometer (km).

PLTS PV adalah sistem pembangkit tenaga listrik energi terbarukan yang paling ban-yak dikembangkan oleh negara-negara di dunia. Pengembangan PLTS PV memiliki beberapa keunggulan yang sudah diakui secara internasional, diantaranya:

1. Cukup banyak tersedia produsen (skala besar maupun kecil) yang dapat me-nyediakan produk berkualitas mulai dari panel surya, inverter, electrical balance of systems, monitoring systems, hingga jasa konstruksi teknis dan pengadaan.

2. Lini produk terkait PLTS yang terus berkembang.

3. Sudah terdapat pengembangan protokol pengujian dan standar interna-sional yang berkelanjutan.

4. Kecenderungan penurunan harga komponen utama (panel surya, inverter). 5. Meningkatnya pemahaman teknis dari penyedia jasa.

6. Berkembangnya pemodelan yang dapat diandalkan dan jumlah sumber data tenaga matahari.

7. Meningkatnya kepercayaan lemba-ga jasa keuanlemba-gan internasional terhadap bankability dari proyek PLTS. Contohnya, Bloomberg sebagai perusahaan raksasa penyedia data dan analisis bisnis serta keuangan, telah memiliki lini yang berna-ma Bloomberg New Energy Finance untuk menyediakan data dan analisis di bidang energy, khususnya energy terbarukan.

Data yang disediakan di antaranya adalah data harga komponen utama PLTS beserta datar pemasok atau penyedia komponen dengan kategori tier 1.

Pengembangan sistem PLTS PV di Indo-nesia pun juga memiliki beberapa keung-gulan tertentu bila dibandingkan dengan pengembangan sistem pembangkit listrik lainnya. Keunggulan-keunggulan tersebut di antaranya adalah:

1. Indonesia memiliki cahaya matahari yang konsisten sepanjang tahun.

2. Tidak membutuhkan pengiriman bahan bakar maupun air (liquid) dalam jumlah besar.

3. Kebutuhan pemeliharaan yang relatif minimal.

4. Pengawasan sistem dapat dilaku-kan dari jauh (remote).

5. Area tanpa grid interconnectiv-ity tetap dapat menggunakan stand-alone systems.

(21)

Gambar 4 Proses Umum Pengembangan Proyek Energi Terbarukan

Sumber: Clean Energy Handbook for Finan-cial Service Institutions , telah diolah kem-bali

Sebuah proyek energi terbarukan dimulai dari fase desain dan perencanaan yang diawali dengan project initiation. Selan-jutnya dilakukan studi kelayakan (feasibili-ty study) yang normalnya memakan waktu 6-12 bulan, tergantung skala proyeknya. Jika hasil dari studi tersebut menyatakan bahwa proyek layak dilanjutkan, tahap berikutnya dilakukan penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) atau Per-janjian Jual Beli Listrik (PJBL). Tahap PPA/ PJBL dapat memakan waktu antara 7-8 bulan. Namun untuk proyek PLTS, seba-gaimana diatur dalam Permen ESDM No. 19 / 2016, PT PLN (Persero) dan pengem-bang PLTS wajib menandatangani PJBL dalam jangka waktu paling lama 1 bulan sejak penetapan sebagai pemenang

(22)

tidak dapat mencapai inancial close, maka penetapan sebagai pengembang PLTS di-cabut.

Memasuki fase konstruksi, sebuah pem-bangkit listrik energi terbarukan biasan-ya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk pembangunannya. Namun untuk proyek PLTS, pelaksanaan pembangunan PLTS wajib mencapai commercial opera-tion date (COD) paling lambat dalam jang-ka waktu 12 bulan untuk jang-kapasitas sampai dengan 10 MW dan 24 bulan untuk kapa-sitas lebih dari 10 MW, sejak Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) diter-bitkan. Pelaksanaan pembangunan PLTS yang tidak mencapai COD (mengalami ke-terlambatan), dikenakan penurunan harga pembelian listrik dengan ketentuan:

• Keterlambatan sampai dengan 3

bulan dikenakan penurunan harga sebesar 3%;

• Keterlambatan lebih dari 3 bulan

sampai dengan 6 bulan dikenakan penu-runan harga sebesar 5%;

• Keterlambatan lebih dari 6 bulan

s/d 12 bulan dikenakan penurunan harga sebesar 8%; dan

• Keterlambatan lebih dari 12 bulan,

maka penetapan sebagai pengembang PLTS dicabut.

Dalam hal penetapan sebagai pengem-bang PLTS dicabut karena tidak memenuhi ketentuan inancial close atau COD maka kepada pengembang tersebut dikenakan larangan untuk mengajukan permohonan sebagai pengembang PLTS untuk jangka waktu 2 tahun berturut-turut sejak pen-cabutan.

Fase operasional dimulai setelah konstruksi selesai dan mencapai COD. Pada fase ini, aktivitas utama yang dilakukan adalah ak-tivitas operasi dan pemeliharaan (O&M). Fase operasional sebuah pembangkit da-pat berkisar antara 15-30 tahun,

tergan-tung pada perjanjian terutama PPA/PJBL. Namun untuk PLTS, PJBL berlaku untuk jangka waktu 20 tahun dimulai sejak COD dan dapat diperpanjang.

ASRI (lingkungan dan sosial) harus men-jadi aspek yang diperhatikan dalam keselu-ruhan fase pengembangan proyek energi terbarukan. Selain ASRI, aspek-aspek hu-kum, inansial/keuangan, dan teknis juga perlu diperhatikan dengan bobot pene-kanan yang berbeda-beda untuk masing-masing fase. Aspek hukum dan inansial memiliki bobot yang lebih besar pada fase desain dan perencanaan. Sementara aspek teknis dan keuangan memiliki bobot yang lebih besar pada fase konstruksi dan fase operasional.

(23)

Gambar 5 Aspek Penting Dalam Analisis Pembiayaan PLTS

Sumber: Clean Energy Handbook for Finan-cial Service Institutions

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengem-bangan proyek energi terbarukan memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan oleh lembaga keuangan, di samping juga menyimpan tantangan yang harus dianti-sipasi. Beberapa tantangan bagi lembaga keuangan, khususnya bank, dalam pembi-ayaan energi bersih di antaranya adalah: 1. Kurangnya ketersediaan informasi mengenai proyek energi bersih. Hal ini da-pat disebabkan karena proyek energi ber-sih maber-sih dalam tahap awal pengemban-gan pasar.

2. Terbatasnya proyek energi bersih

yang telah dibiayai secara komersial atau sukses diimplementasikan sebagai rujukan. 3. Kurangnya konsistensi dalam pe-nyebaran informasi diantara pemangku kepentingan (pengembang proyek, penye-dia teknologi, pemerintah, PLN, lembaga pembiayaan).

4. Kurangnya personel lembaga keuangan yang berpengalaman dalam mengevaluasi proposal proyek energi ber-sih. Evaluasi proposal proyek energi bersih kebanyakan masih dilakukan oleh PT PLN (Persero) sebagai pembeli utama sehingga kurang independen.

(24)
(25)

H

al pertama yang harus dievaluasi dalam aspek hukum pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap perusahaan yang akan dibentuk dan kepemilikannya. Evaluasi terhadap perusahaan yang akan dibentuk meliputi evaluasi terhadap badan hukum dan perizinan PLTS, dimana bank harus memastikan bahwa perusahaan sebagai badan hukum PLTS sudah memenuhi seluruh dokumen legal yang disyaratkan, termasuk AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Selain itu bank juga harus memperhatikan apakah terdapat kasus hukum / litigasi menyangkut PLTS yang akan dikembangkan. Dokumen-dokumen legal yang harus dipenuhi dalam tahapan-tahapan pengembangan proyek PLTS ditunjukkan pada Gambar 6.

POINT 3

Aspek Hukum

Gambar 6 Dokumen Proyek PLTS

Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions

(26)

terhadap perjanjian pemegang saham den-gan perhatian lebih ditujukan pada klausul seperti jenis transfer modal saham yang di-berikan (apakah berupa uang, aset tetap, atau aset lainnya), terdapatnya opsi atau hak untuk membeli saham tambahan (bagi pemegang saham lama), dan kemung-kinan masuknya pemegang saham baru (termasuk kemungkinan untuk masuk ke pasar modal). Di samping itu, evaluasi per-lu dilakukan terhadap manajemen badan usaha (perusahaan) PLTS dengan melihat proil dan pengalaman personelnya.

Bank harus pula mengevaluasi proyeksi keuangan sebagai bagian dari dokumen le-gal pembiayaan proyek PLTS. Evaluasi ter-hadap proyeksi keuangan meliputi kewaja-ran asumsi yang digunakan (dibahas lebih detil dalam aspek keuangan), hasil analisis sensitivitas dan hasil analisis skenario, ser-ta keandalan estimasi struktur biaya dan produksi (bantuan dari technical specialist mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi biaya proyek dan produksi yang andal). Rencana pengembangan bisnis pun perlu dievaluasi untuk menilai pencapaian economies of scale dan kemungkinan pem-bentukan portofolio bisnis, terutama yang bersifat green portfolio. Tak luput dilaku-kan adalah evaluasi terhadap kebijadilaku-kan keuangan seperti kebijakan reinvestasi dan kebijakan dividen.

Hal berikutnya yang harus dievaluasi dalam aspek hukum pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap kontrak dan perjanjian proyek, terutama PPA/PJBL. Evaluasi terha-dap PPA/PJBL sangat penting untuk dilaku-kan sebab:

• PPA/PJBL menentukan arus pen -dapatan pembangkit karena mengatur tentang harga, kuantitas, dan durasi pem-belian listrik oleh PT PLN (Persero). Saat ini teradapat dua skema PPA/PJBL yaitu

skema and-pay (TNP) dan skema take-or-pay (TOP). Skema TNP diterapkan un-tuk pembangkit dengan kapasitas 15 MW atau kurang, dimana dalam skema ini PT PLN (Persero) hanya akan membayar lis-trik sebesar yang dihasilkan pembangkit. Sedangkat skema TOP diterapkan untuk pembangkit dengan kapasitas diatas 15 MW, dimana dalam skema ini, terdapat minimal pembayaran bersifat tetap yang harus dilakukan PT PLN (Persero) sampai dengan batas jumlah listrik tertentu yang dihasilkan pembangkit dan terdapat pem-bayaran bersifat variabel untuk pembelian listrik yang melebihi batas tersebut.

• PT PLN (Persero) adalah pembeli

(of-taker) utama.

• Penandatanganan PPA/PJBL me -nentukan jadwal proyek secara keseluru-han.

• PPA/PJBL menentukan dokumen -tasi yang harus dipenuhi agar PPA/PJBL dinyatakan efektif.

• PT PLN (Persero) tidak bertanggung

jawab atas risiko proyek (perancangan, konstruksi, operasi).

PPA/PJBL dapat diputus atau dibatalkan jika terjadi salah satu dari dua kondisi beri-kut. Pertama, kegagalan Independent Power Provider (IPP) untuk mulai melaku-kan konstruksi pembangkit melewati 90 hari kalender setelah tanggal pembiayaan, yang dibuktikan dengan tidak dilakukan-nya aktivitas lapangan seperti umumdilakukan-nya dilakukan oleh kontraktor pada proyek sejenis. Kedua, kegagalan IPP mencapai tanggal operasi komersial pembangkit atau COD lebih dari 12 bulan setelah target tanggal operasi komersial.

(27)

lahan pertanian produktif, lahannya datar, dan memiliki sifat sebagai solid land ill. Terkait perjanjian lahan, harus dipastikan bahwa PLTS memiliki rights of way sebagai akses ke la-han yang akan digunakan oleh PLTS dan hak untuk membangun transmission lines, dengan jarak area lahan PLTS ke POC yang ekonomis adalah kurang dari 10 km. Selanjutnya, bank harus mengevaluasi perjanjian interkoneksi dan transmisi dengan PT PLN (Persero), disamp-ing mengevaluasi terdapatnya perjanjian asuransi oleh pengembang dan kontraktor PLTS. Datar dokumen yang dibutuhkan dalam pengembangan proyek tenaga listrik di Indonesia beserta instansi penerbitnya diberikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Datar Dokumen Proyek Tenaga Listrik dan Instansi Penerbit

No. Dokumen Instansi

1 Memorandum of Understanding (MoU) Pemda

2 MoU PT PLN (Persero)

3 Persetujuan / Izin Prinsi Pemda

4 Appointment Letter PT PLN (Persero)

5 Letter of Intent (LoI) Bank

6 IUPTL Sementara Kementerian ESDM

7 Persetujuan Penetapan Harga Jual Energi

Lis-trik

Kementerian ESDM

8 PPA/PJBL PT PLN (Persero)

9 UKL-UPL Kementerian Lingkungan Hidup (LH)

10 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pemda

11 Angka Pengenal Importir (API) Umum Kementerian Perdagangan

(Kemend-ag)

12 Penanaman Modal Asing (PMA) / Penanaman

Modal Dalam Negari (PMDN)

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) / Badan Koordinasi Penana-man Modal Daerah (BKPMD)

13 IUPTL Tetap Kementerian ESDM

14 Izin Lokasi Pemda

15 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Kementerian LH

16 Setiikat Laik Operasi PT PLN (Persero)

17 Sertiikat Commisioning PT PLN (Persero)

(28)

Selain dokumen-dokumen wajib pada Ta-bel 4 di atas, bank juga dapat mengeval-uasi dokumen-dokumen berikut dalam sebuah proyek PLTS. Dokumen-dokumen yang bersifat sebagai dokumen pelengkap dapat terdiri dari:

1. Kontrak penjualan produk sampin-gan hasil pemanfaatan lahan.

2. Kontrak carbon trading (jika ada). 3. Perjanjian jual beli atau sewa jangka panjang atas lahan.

4. Izin lingkungan / lokasi dan kon-struksi khusus.

5. Dokumen perpajakan, terutama yang berkaitan dengan pembebasan dari bea masuk dan pajak impor.

6. Engineering, Procurement, and Construction (EPC) contract yang memuat setidaknya pertanggungjawaban atas ket-erlambatan dan kehilangan material, pen-alti atas nonperformance jika kinerja be-rada dibawah standar atau suatu Service Level Agreement (SLA), dan garansi atau asuransi kerusakan jika terjadi kegagalan peralatan dalam konstruksi.

7. Garansi isik, peralatan, dan proses pembangkit setelah beroperasi.

8. Kewajiban membuka escrow / re-served account (minimal setara 6 bulan debt service).

9. Perlindungan kredit tambahan (perlakuan sebagai senior debt, asuransi kredit).

10. Perjanjian paket asuransi.

Pada akhirnya, dalam aspek hukum terkait proyek tenaga listrik di Indonesia ini terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Harus diakui bahwa saat ini peratu-ran pelaksana terkait proyek tenaga listrik di Indonesia masih belum sepenuhnya je-las dan lengkap. Peraturan di bidang per-tanahan dan perhutanan juga masih perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan tenaga listrik

(29)
(30)

G

ambaran ringkas aspek keuangan dalam suatu proyek energi terbarukan disajikan pada Gambar 7. Pada gambar tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pembangkit beserta komponen-komponen biayanya. Di bagian pendapatan (revenue) terlihat bahwa produksi sebuah pembangkit dipicu oleh faktor seperti debit air berdasarkan analisis hidrologi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau jaminan ketersediaan feed stock untuk Pembangkit Listri Tenaga Bio Massa/Gas (PLTBM/PLTBG). Dalam kasus PLTS, faktor pemicu produksi dimaksud adalah berupa intensitas cahaya matahari. Sementara di bagian machinery and equipment, power turbine dan gas engine menjadi bagian mesin dan peralatan utama untuk PLTA dan PLTBG. Sedangkan dalam kasus PLTS, komponen mesin dan peralatan utamanya adalah berupa panel surya dan inverter.

POINT 4

(31)

Gambar 7 Rangkuman Komponen Aspek Keuangan Proyek Energi Terbarukan

Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions, telah diolah kembali Hal pertama yang harus dievaluasi dalam aspek keuangan pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap kewajaran asumsi yang digunakan. Asumsi umum dari sebuah proyek PLTS dapat dijelaskan sebagai berikut.

Normalnya diasumsikan bahwa lahan yang akan digunakan untuk PLTS diperoleh dengan cara sewa untuk jangka panjang. Biaya pembangunan struktur PLTS berkisar antara USD2.500.000 -USD3.000.000 per MWp (di luar lahan/tanah) yang dapat dibagi menjadi: • Biaya panel surya senilai USD0,46 per Wp untuk kategori tier 1 berdasarkan Bloomberg New Energy Finance.

• Inverter berkisar antara USD0,06-USD0,08 per Wp.

• Lain-lain (balance of system) memiliki nilai biaya setara dengan nilai biaya panel surya dan inverter .

Asumsi Debt-to-Equity Ratio (DER) yang wajar untuk sebuah proyek PLTS adalah 70:30. Rasio ini dapat disesuaikan menjadi 50:50 jika pengembang memutuskan untuk menggunakan peralatan dan komponen dengan kualitas kategori tier 2. Jangka waktu pembiayaan proyek dengan skema project inance maksimum adalah 10 tahun, sementara umur ekonomis PLTS diperkirakan dapat mencapai 25 tahun.

Standar nilai Levelled Cost of Energy (LCOE) adalah USD0,04 per kWh (untuk kapasitas antara 1 MW hingga 100 MW). Sedangkan standar nilai biaya operasi dan pemeliharaan adalah USD12-USD15 per tahun per kWp

terpasang. Meskipun demikian, untuk kondisi di Indonesia, nilai-nilai tersebut dapat lebih tinggi antara 10%-20%.

Hal kedua yang harus dievaluasi dalam aspek keuangan pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap proyeksi laporan keuangan, terutama laporan laba rugi, beserta hasil analisis sensitivitas dan analisis skenarionya. Evaluasi terhadap laporan laba rugi berfokus pada pendapatan dan biaya. Evaluasi pendapatan tidak hanya dilakukan dengan memperhitungkan penjualan dari tenaga listrik, namun juga dapat memperhitungkan penghematan dari biaya bahan bakar yang lebih mahal (seperti diesel) dan penghasilan dari carbon trading (jika ada). Sementara evaluasi biaya yang dilakukan meliputi baik beban operasi maupun biaya persiapan proyek, konstruksi sipil, serta mesin dan peralatan yang menjadi bagian dari komponen investasi awal (initial outlay).

Hal ketiga dalam evaluasi aspek keuangan pembiayaan PLTS adalah melakukan inancial due diligence. Poin-poin yang perlu mendapat perhatian lebih ketika melakukan inancial due diligence adalah:

• Rincian biaya proyek harus memasukkan kontinjensi dan jaminan penyelesaian yang nilai standarnya adalah 5% dari total biaya dengan setidaknya 1% dicadangkan sebagai loss in mounting structure dan 3% dicadangkan sebagai loss in solar panel.

(32)

• Rencana pembiayaan harus mempertimbangkan waktu penyetoran modal pemilik dan debt covenants.

• Asumsi yang digunakan, termasuk asumsi makroekonomi, harus realistis dan berasal dari sumber terpercaya. Asumsi-asumsi suku bunga pinjaman, kapitalisasi Interest During Construction (IDC), dan rate of return menjadi perlu fokus asumsi bagi bank.

Dalam melakukan inancial due diligence, bank perlu memeriksa kelengkapan komponen dari model keuangan yang digunakan pengembang. Komponen model keuangan yang lebih lengkap dari sebuah proyek PLTS adalah sebagai berikut:

1. Nilai investasi awal dan belanja modal selanjutnya (peralatan utama, konstruksi sipil, mekanikal dan instalasi, transmisi), dengan memerhatikan perbandingan kewajaran antara biaya dan kualitas teknologi yang digunakan

2. Asumsi operasional, dengan minimal eisiensi operasi sebesar 80%

3. Penjualan tenaga listrik dan pendapatan lain, dengan memerhatikan kemungkinan penyesuaian FIT

4. Biaya operasi, administrasi, pemeliharaan, dan sewa 5. Pajak dan retribusi

6. Depresiasi

7. Suku bunga dan IDC 8. Asuransi

9. Rasio keuangan (proitabilitas, likuiditas, solvabilitas) 10. Dividen

11. Cash low schedule

(33)
(34)
(35)

H

al pertama yang harus dievaluasi dalam aspek teknis pembiayaan PLTS adalah kelayakan teknis dari proyek itu sendiri. Kelayakan teknis proyek meliputi baik rancangan layout, pemilihan teknologi (general and detailed engineering), kepantasan estimasi biaya proyek yang dapat dihitung dengan bantuan independent engineer, maupun organisasi dan penanggung jawab proyek, serta terdapatnya asuransi proyek (surety bonds) dan garansi.

POINT 5

Aspek Teknis

Hal kedua yang harus dievaluasi dalam aspek teknis pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap ASRI (lingkungan dan sosial). Poin-poin evaluasi ASRI meliputi diantaranya:

• Fasilitasi terhadap kondisi lingkungan sekitar, seperti vegetasi, satwa (pembangunan

pagar dan animal housing), akses lalu lintas publik, penyimpanan/pembuangan material konstruksi, dan pemukiman pegawai untuk lokasi terpencil.

• Pemenuhan izin lingkungan, dengan ketentuan untuk proyek pembangkit listrik kapasitas

lebih dari 10 MW dan/atau terletak dalam kawasan lindung harus dilengkapi dengan AMDAL (waktu pengurusan 125 hari kerja), sementara untuk proyek pembangkit listrik kapasitas sampai dengan 10 MW cukup dilengkapi dengan UKL-UPL (waktu pengurusan 14 hari kerja).

• Akomodasi isu lingkungan dan sosial dalam biaya proyek.

• Ketersediaan prosedur dan dokumentasi hasil konsultasi publik dengan masyarakat di

sekitar lokasi proyek.

• Keberhasilan memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar.

Setiap pembangkit listrik memiliki proil teknisnya masing-masing. Proil teknis umum sebuah proyek PLTS adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan lahan berkisar 1,5-2,3 hektar (ha) per MWp, bergantung pada letak geograis dan peralatan konstruksi yang digunakan.

2. Panel surya standar industri yang digunakan berukuran 2x1 m per unit dengan kapasitas 310 Wp dan eisiensi panel 16%, sehingga untuk PLTS dengan kapasitas 5 MWp akan membutuhkan sekitar 16.130 panel surya dan cakupan area 8.065 m2.

3. Eisiensi minimal dari inverter adalah 85%.

4. Mounting structure dibuat dari bahan anti karat dengan foundation yang bersifat galvanic dan upper structure menggunakan sea grid aluminium. Selain itu, struktur juga harus menggunakan baut dan mur yang sesuai serta tidak boleh dilakukan pengeboran dalam proses pemasangan panel surya.

5. Run test harus dilakukan selama 30 hari setelah COD untuk menguji kesiapan operasi pembangkit.

6. Electrical losses saat operasi yang dapat ditolerir maksimal adalah 1% untuk DC dan 3% untuk AC.

(36)

operation and maintenance company yang mampu memberikan jaminan performa dan SLA kurang dari empat hari.

Salah satu sumber data teknis untuk menghitung nilai penjualan tenaga listrik dari sebuah PLTS ditunjukkan pada Gambar 8. Pada gambar tersebut, untuk kapasitas PLTS sebesar 1 MWp (1.000 kWp), proyeksi nilai penjualan tenaga listriknya per tahun adalah 1.500.000 kWh x FIT (misal USD0,16) = USD240.000.

Gambar 8 Contoh Sumber Data Radiasi Matahari Sumber: http://re.jrc.ec.europa.eu, telah diolah kembali

Dalam aspek teknis PLTS, terdapat kekeliruan-kekeliruan instalasi yang harus dihindari. Contoh kekeliruan instalasi PLTS ditunjukkan pada Tabel 6.

(37)

Tabel 6 Contoh Kekeliruan Instalasi PLTS 

Contoh Kekeliruan  Penjelasan 

 

Pemasangan baut dengan cara dibor  (drilled) dan pemasangan panel surya  yang  menempel  dengan  mounting  structure dapat  memicu  karat  yang  akan  menyebar  dan  merusak  struktur. 

 

Penyambungan  panel  surya  dan 

mounting  structure  dengan  baut  menyebabkan  tinggi  yang  tidak  sama. 

 

Tanaman  liar  dibiarkan  tumbuh  hingga lebih tinggi dari panel surya. 

 

(38)
(39)

Pada akhirnya, dalam aspek teknis terkait proyek tenaga listrik di Indonesia ini terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Titik interkoneksi yang dapat berubah di kemudian hari, kompatibilitas koneksi dengan jaringan PT PLN (Persero), waktu pengecekan doku-men oleh PT PLN (Persero) yang tidak sebentar, dan prosedur perizinan untuk proyek yang terletak di kawasan hutan adalah beberapa di antara tantangan dimaksud.

Manajemen Risiko Proyek PLTS

Peta potensi risiko umum dari sebuah proyek pembangkit listrik ditunjukkan pada Gam-bar 9. Untuk proyek PLTS, tahap konstruksi pembangkit hingga operasi dapat berlangsung lebih singkat dari 24 bulan menjadi hanya berkisar 12-18 bulan.

Gambar 9 Peta Potensi Risiko Umum

Sumber: Indonesia Clean Energy Development (ICED)

Pada peta potensi risiko umum di atas dapat terlihat titik-titik risiko dalam sebuah proyek pembangkit listrik. Titik-titik risiko tersebut adalah:

1. Studi kelayakan yang berkualitas rendah.

2. Ketentuan perizinan yang tidak eisien dan tidak terkoordinasi.

3. PT PLN (Persero) secara praktis masih memonopoli evaluasi proposal proyek tenaga listrik.

4. Kepemilikan lahan dan perolehannya.

5. Klausul PPA/PJBL, terutama yang menggunakan skema TNP dan terdapatnya klausul undeined conditions for dispatching.

6. Pemberian kredit atas dasar kolateral (sponsor’s balance sheet).

(40)

dalam konstruksi proyek).

8. PT PLN (Persero) hanya berkewajiban membeli tenaga listrik, tidak melakukan ope-rasi dan pemeliharaan.

Selain risiko-risiko umum yang disebutkan sebelumnya, sebuah proyek PLTS juga memiliki risiko-risiko spesiik. Tabel 7 memuat risiko-risiko spesiik dari sebuah proyek PLTS beserta langkah mitigasinya.

(41)
(42)
(43)

POINT 6

K

eputusan Pencairan dan

Pengawasan Kredit

Keputusan pencairan pembiayaan untuk sebuah proyek PLTS diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasari pada hasil analisis aspek hukum, keuangan, teknis, serta ASRI (lingkungan dan sosial). Pertimbangan-pertimbangan yang utama dalam keputusan pencairan pembiayaan untuk sebuah proyek PLTS adalah:

• Net Present Value (NPV) bernilai positif, Internal Rate of Return (IRR) di atas required

rate of return untuk skema penyertaan modal, dan payback period untuk PLTS tercapai dalam 10-12 tahun. Gambaran required rate of return bagi investor dalam sebuah proyek PLTS diilustrasikan pada Tabel 8.

• Suku bunga disesuaikan dengan risiko untuk kredit.

• Credit covenants mencakup baik mitigasi risiko keuangan maupun mitigasi ASRI. • Desain rencana pengawasan kredit yang memperhitungkan ASRI.

• Optimalisasi portofolio.

(44)

Setelah keputusan pencairan pembiayaan untuk proyek PLTS, ASRI (lingkungan dan sosial) menjadi komponen yang penting untuk diawasi. Pentingnya pengawasan ASRI dalam credit monitoring diilustrasikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Pengawasan ASRI (Lingkungan dan Sosial)

Sumber: Clean Energy Handbook for Financial Service Institutions

Kurangnya pengelolaan terhadap isu lingkungan dan sosial dalam operasi pembangkit oleh debitor dapat memicu risiko seperti gangguan operasi, pengenaan denda dan penalti, kehilangan pangsa pasar, serta munculnya liabilitas (kewajiban) tambahan. Risiko-risiko tersebut akan membawa dampak bagi lembaga keuangan yang membiayai pembangkit dimaksud. Dampak bagi lembaga keuangan, khususnya bank, dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung dapat berupa “tanggung renteng” liabilitas debitor yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan dan sosial. Sedangkan dampak tidak langsung dapat berupa menurunnya kapasitas debitor untuk melakukan pembayaran kepada bank (risiko kredit), berkurangnya nilai jaminan (risiko pasar), dan publisitas negatif bagi bank (risiko reputasi). Konsekuensinya, bank dapat mengalami kehilangan aset, penurunan laba, hingga kerusakan reputasi. Hal inilah yang mendasari pentingnya pengawasan ASRI (lingkungan dan sosial) dalam credit monitoring.

(45)

Gambar 11 Contoh Environmental and Social Covenants

Laporan pengelolaan lingkungan dan sosial yang disinggung diatas dapat berbentuk laporan yang harus disampaikan dengan segera maupun laporan yang cukup disampaikan secara tahunan. Laporan yang harus dipenuhi/disampaikan dengan segera meliputi:

• Notiikasi yang diterima dari otoritas LH, kesehatan, dan keselamatan (misalnya

pemenuhan pembayaran denda).

• Penyampaian (submission) kepada otoritas LH, kesehatan, dan keselamatan (misalnya

laporan berkala untuk periode yang kurang dari satu tahun serta respon terhadap permintaan data dan informasi).

• Pelaporan insiden yang material akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan lingkungan

dan sosial.

• Laporan komplain yang diterima terkait masalah lingkungan, sosial, kesehatan, dan

keamanan.

(46)

Pada akhirnys, outcomes yang diharapkan dari manajemen ASRI (lingkungan dan sosial) adalah berkurangnya risiko bagi lembaga keuangan, baik risiko yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Gambaran integrasi manajemen ASRI dalam siklus kredit bank diilustrasikan dengan Gambar 13.

(47)
(48)

Gambar

Tabel 2 Potensi Listrik dari Energi Terbarukan di Indonesia
Gambar 2 Perbandingan Panel Surya Pada Dua Tipe PLTS
Gambar 3 Sistem FotovoltaikSumber: Fraas dan Partain (2010)  dalam Kei (2011)
Gambar 4 Proses Umum Pengembangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui lokasi potensial kawasan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Subang, dengan tahapan mengetahui kemampuan lahan, kesesuaian lahan pertanian lahan

Selanjutnya, pencatatan semua transaksi keuangan sampai dengan penyusunan laporan keuangan dilakukan dengan menggunakan formulir standar keuangan yang terdiri dari buku kasumum,

menguap, setelah itu didinginkan sampai suhu 0 0 C. Tunggu sampai beberapa waktu sampai kesetimbangan antara yang terlarut dan terkristal tercapai. Berat larutan sekarang 103

Durasi suatu proyek tidak akan lebih lama dari jalur terpanjang, sehingga total waktu yang diperlukan untuk penyelesaian proyek setara dengan panjang jalur kritis,

Proyek infrastruktur baru dapat dibiayai melalui penerbitan Sukuk Negara setelah proyek tersebut tercantum dalam dokumen APBN, sehingga sumber pembiayaan proyek

baik dengan system substitusi antara 5-75% dan bahkan ada produk pangan olahan berbahan terigu seluruhnya dapat diganti dengan mocaf, dengan variasi jumlah tepung

Pada penelitian sebelumnya, pendekatan yang digunakan hanya pendekatan Location Quotient untuk menganalisis sektor basis di tiap kecamatan di Kabupaten Tangerang,