i
DI BMT BERINGHARJO YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
OLEH AFUADH AFGAN
09401244012
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM FAKULTAS ILMU SOSIAL
v
“
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri yang
mengubah apa apa yang pada diri mereka ” .
(AQ, Ar-
Ra’
d ayat 11)
“
Kita semua pernah gagal.
Yang penting bukanlah apa yang terjadi pada hidup kita,
tapi bagaimana kita menghadapi hal itu”.
(David Neeleman)
Kita berdoa kalau kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita juga berdoa dalam
kegembiraan besar dan saat rezeki melimpah.
- Kahlil Gibran
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.
- Thomas Alva Edison
Keberhasilan buah dari kerja keras dan pengorbanan
vi S.A.W. Karya ini dipersembahkan untuk:
Kedua orang tua saya Bapak Heri Prastowo, Ibu Titin Widayati yang selalu menyayangi dan mendoakan.
Kakakku Winda Prasetya Nagara dan adikku Carna Carnestya, serta Adonis Djamirin (alm), Nenek Siti Amrinah, Kakek Padiyo Sugito (Alm), Nenek Siti Marwiyah dan sepupuku terima kasih atas doa dan dukungannya.
Kawan-kawan seperjuanganAzis, lensa, sad, hendra, candra, deni, panji, tomo, oki, anung dan dwita serta teman-teman PKN’H 09 yang selalu memberikan doa dan dukungan.
Teman-teman seperjuangan angkatan 2009 yang gak bisa disebutkan satu persatu yang selalu memberi semangat
vii Oleh: Afuadh Afgan NIM 09401244012
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui pelaksanaan pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta.Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penentuan subjek penelitian menggunakan teknikPurposiveditemukan 3 subjek yaitu analis pembiayaan, Credit Remidial and Legal, serta Tim akad dan teknik snowballuntuk subjek penelitian yaitu mitra BMT. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Teknik pemeriksaaan keabsahan data menggunakan chross check. Analisis data menggunakan teknik analisis induktif, dengan menggunakantehnik analisis data melalaui tahapan reduksi data, unitisasi dan kategorisasi, display data, pengambilan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalamakad pembiayaan pembiayaan musyarakahdibuat perjanjian baku, sehingga menyebabkan posisi tawar mitra cenderung tidak seimbang. Pada pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo yaitu;(1) praktiknya terdapat beberapa mitra mengangsur sesuai proyeksi bagi hasil. Selain itu juga terdapat mitra yang tidak dapat memenuhi proyeksi bagi hasil; (2) Eksekusi benda jaminan oleh BMT Beringharjo dilakukan, ketika mitra dalam jangka waktu tertentu tidak dapat mengangsur ke BMT Beringharjo Yogyakarta; (3)BMT Beringharjo Yogyakarta memberikan kelonggaran waktu kepada mitra; (4)BMT Beringharjo menuntut mitra membayar biaya penagihan karena mitra lalai dalam mengangsuran. BMT Beringharjo mengeluarkan surat peringatan untuk memberitahu kepada mitra agar membayar pinjaman di BMT Beringharjo Yogyakarta; (5)Jika sampai terjadi perselisihan biasanya pihak BMT Beringharjo dan mitra bermusyawarah terlebih dahulu, akan tetapi jika kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan perselisihan, pihak BMT Beringharjo dan mitra menyelesaikan melalui jalur hukum;(6) Pemantauan terhadap mitra hanya dilakukan yang statusnya diragukan dan macet. Sementara itu BMT Beringharjo kurang memantau mitra yang statusnya diperhatikan atau kurang lancar. Hambatan dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah antara lain (1) pembiayaan bermasalah; (2) pembiayaan yang digunakan untuk keperluan lain; (3) mitra yang memanipulasi data; dan (4) pengikat jaminan yang lemah.
viii
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Pelaksanaan Akad Pembiayaan Musyarakah di BMT Beringaharjo Yogyakarta”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar S1 Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, tidak akan mungkin penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. AjatSudrajat, M.Ag,selaku Dekan FIS UNY atasizinnya yang diberikan untuk
melakukan penelitian di BMT Beringharjo Yogyakarta
2. Cholisin, M.Si, selaku Wakil Dekan I FIS UNY atas izinnya yang diberikan untuk melakukan
penelitian di BMT Beringharjo Yogyakarta
3. Dr. Samsuri,M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, serta
pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan dorongan untuk terselesaikannya
skripsi ini.
4. Ibu Chandra Dewi. P. S.H, LL.M selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing,
memberikan, nasehat, arahan, sertamasukan-masukan yang sangat membangun dalam
penyelesaian tugas akhir ini.
5. IbuIffahNurhayati, M.Hum selaku narasumber yang bersedia memberikan masukan, dan
arahan dalam tugas akhir ini.
6. Seluruh dosen dan karyawan Prodi Pendidikan Kewarganegaraan FIS UNY yang telah
ix akad pembiayaan musyarokah.
8. Teman-teman KKN PPL SMA 1 Sanden 2012, yang memberikan doa dan dukungan.
9. Semuapihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya.
Yogyakarta, 18 Desember 2013
x
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
A. Tinjauan tentang Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) ... 13
B. Tinjauan tentang Akad Pembiayaan Musyarakah ... 20
C. Tinjauan tentang Perjanjian Baku ... 30
D. Tinjauan tentang Wanprestasi ... 40
E. Tinjauan tentang Pengikat Benda Jaminan ... 43
BAB III METODE PENELITIAN... 46
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 46
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 46
C. Penentuan Subjek Penelitian ... 47
D. Teknik Pengumpulan Data ... 50
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57
A. Profil BMT Beringharjo Yogyakarta ... 57
1. Sejarah BMT Beringharjo Yogyakarta ... 57
2. Visi dan Misi BMT Beringharjo Yogyakarta ... 60
3. Struktur Organisasi, serta Tugas dan Wewenang di BMT Beringharjo Yogyakarta ... 61
B. Pelaksanaan Proyeksi Bagi Hasil dalam Akad Pembiayaan Musyarokah di BMT Beringharjo Yogyakarta ... 65
1. Proses Pembuatan Akad Pembiayaan Musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta ... 65
2. Pelaksanaan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta ... 75
C. Hambatan dalam Pelaksanaan Akad pembiayaan Musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta ... 82
1. Pembiayaan Bermasalah di BMT BeringharjoYogyakarta ... 82
2. Pembiayaan yang digunakan untuk keperluan lain oleh mitra ... 94
3. Mitra yang memanipulasi data ... 95
4. Pengikat jaminan yang lemah ... 96
BAB V. PENUTUP ... 99
1. Kesimpulan ... 97
2. Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 102
xii
Berita Acara Pengganti Benda Jaminan ... 2
Akad Pembiayaan Musyarokah... 3
Surat Perpanjangan Penelitian ... 5
Surat Pernyataan Telam Melakukan Penelitian ... 6
Surat Pemberitahuan ... 7
Surat Peringatan 1 ... 8
Surat Peringatan 2 ... 9
Surat Pernyataan BPKB sebagai jaminan ... 10
Surat Kuasa Mengalihkan Hak Kios Pasar ... 11
Surat Peringatan Lelang ... 14
Surat Pernyataan Kesanggupan Pembayaran ... 15
Tanda Terima dan Surat Pernyataan Wanprestasi ... 16
Tabel Pembiayaan Bermasalah... 17
Gambar ... 18
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui pelaksanaan pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta.Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penentuan subjek penelitian menggunakan teknikPurposiveditemukan 3 subjek yaitu analis pembiayaan, Credit Remidial and Legal, serta Tim akad dan teknik snowball untuk subjek penelitian yaitu mitra BMT. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Teknik pemeriksaaan keabsahan data menggunakan chross check. Analisis data menggunakan teknik analisis induktif, dengan menggunakantehnik analisis data melalaui tahapan reduksi data, unitisasi dan kategorisasi, display data, pengambilan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalamakad pembiayaan pembiayaan musyarakahdibuat perjanjian baku, sehingga menyebabkan posisi tawar mitra cenderung tidak seimbang. Pada pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo yaitu;(1) praktiknya terdapat beberapa mitra mengangsur sesuai proyeksi bagi hasil. Selain itu juga terdapat mitra yang tidak dapat memenuhi proyeksi bagi hasil; (2) Eksekusi benda jaminan oleh BMT Beringharjo dilakukan, ketika mitra dalam jangka waktu tertentu tidak dapat mengangsur ke BMT Beringharjo Yogyakarta; (3)BMT Beringharjo Yogyakarta memberikan kelonggaran waktu kepada mitra; (4)BMT Beringharjo menuntut mitra membayar biaya penagihan karena mitra lalai dalam mengangsuran. BMT Beringharjo mengeluarkan surat peringatan untuk memberitahu kepada mitra agar membayar pinjaman di BMT Beringharjo Yogyakarta; (5)Jika sampai terjadi perselisihan biasanya pihak BMT Beringharjo dan mitra bermusyawarah terlebih dahulu, akan tetapi jika kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan perselisihan, pihak BMT Beringharjo dan mitra menyelesaikan melalui jalur hukum;(6) Pemantauan terhadap mitra hanya dilakukan yang statusnya diragukan dan macet. Sementara itu BMT Beringharjo kurang memantau mitra yang statusnya diperhatikan atau kurang lancar. Hambatan dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah antara lain (1) pembiayaan bermasalah; (2) pembiayaan yang digunakan untuk keperluan lain; (3) mitra yang memanipulasi data; dan (4) pengikat jaminan yang lemah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank merupakan
lembaga keuangan yang menyediakan dana baik itu digunakan untuk investasi
atau untuk konsumsi. Selain itu lembaga keuangan tersebut juga sebagai tempat
penyimpanan uang. Lembaga keuangan Bank di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, selanjutnya disebut dengan UU Perbankan. Pada pasal 1 angka 2 UU
Perbankan tersebut disebutkan bahwa Bank merupakan badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak .
Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) meliputi lembaga pembiayaan (leasing, modal ventura, pembiayaan konsumen, dan kredit kecil), usaha perasuransian, dana pensiun, pasar modal, dan pegadaian. (Simorangkir, 2000: 27).
Pada praktiknya selain terdapat lembaga keuangan bank dan non bank
dengan sistem yang konvensional, dikenal pula adanya lembaga keuangan bank
dan non bank dengan prinsip syariah. Berikut ini adalah tabel tentang perbedaan
sistem konvensional dan prinsip syariah.
Tabel 1. Perbedaan Sistem Konvensional dan Prinsip Syariah
Sistem Konvensional Prinsip Syariah
Sistem bunga Prinsip bagi hasil
Penyediaan dana berdasarkan perjanjian pinjam meminjam disebut kredit.
Penyediaan dana berdasarkan akad disebut pembiayaan.
Hubungan hukum antara lembaga keuangan dengan nasabah disebut kredir dan debitur.
Hubungan hukum antara lembaga keuangan dengan nasabah disebut kemitraan.
(Sumber: Achsan, diunduh tanggal 23 Mei 2013)
Lembaga keuangan dengan prinsip syariah mulai masuk dan berkembang di Indonesia, karena dipengaruhi oleh konferensi ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua tahun kemudian lahir Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB). Kelahiran IDB telah memberikan inspirasi yang sangat berharga bagi pendirian dan perkembangan bank-bank syariah di berbagai negara Islam, terutama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, salah satunya yaitu Indonesia.
menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Hasil kerja tim Perbankan MUI tersebut membuahkan hasil yaitu, berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Berdirinya BMI memberikan inspirasi untuk membangun perekonomian., kemudian muncul lembaga keuangan dengan prinsip syariah yang lain seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). (Ridwan Muhammad, 2004:71-73)
Perkembangan BMT di Indonesia cukup pesat, ini dibuktikan dengan semakin banyak BMT di berbagai daerah. Akan tetapi pada saat pertengahan 1990-an belum ada peraturan khusus tentang koperasi syariah. Pada pertengahan tahun 1990-an, beberapa BMT yang awalnya terkait Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk), Dompet Dhuafa, Muhammadiyah, dan ormas lain, maupun yang secara independen didirikan oleh seorang atau sekelompok orang peduli, diantaranya adalah: BMT Tamzis, Wonosobo (1992); BMT Binama, Semarang (1992), BMT Bina Umat Sejahtera, Rembang (1995); BMT Marhamah, Wonosobo (1995)); BMT Ben Taqwa, Purwodadi (1996); BMT At Taqwa, Pemalang (1996); BMT Marsalah Mursalah lil Ummah, Pasuruan (1997); dan lain-lain. (islamicfinance, diunduh 4 Mei 2013)
Adanya perkembangan BMT yang cukup pesat, serta peran penting yang
dijalankan BMT dalam memberdayakan ekonomi masyarakat khususnya sektor
usaha mikro, kecil dan menengah, menyebabkan pemerintah menerbitkan regulasi
tentang koperasi jasa keuangan syariah, yaitu dengan menerbitkan Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keungan Syariah (KJKS). Kepmen tersebut mengacu pada
peraturan perkoperasian yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 25 tahun
diakui dan dilindungi oleh pemerintah. Hal-hal tersebut berarti BMT-BMT yang
ada telah mempunyai kepastian hukum bagi BMT.
Keputusan Menteri Koperasi dan Uusah Kecil dan Menengah Tahun 2004
tersebut menyebabkan semakin banyak BMT lainnya yang muncul di berbagai
daerah. Perkembangan BMT di daerah jawa tengah cukup pesat contohnya yaitu
BMT Bima (Magelang), BMT Perkasya (Semarang), BMT AL-HUDA
(Wonosobo, Jateng). (Puskopsyah BMT Jawa tengah, diunduh tanggal 10
Desember 2013)
Sementara itu BMT juga terdapat di luar pulau jawa seperti BMT Duta
Jaya (Lampung), BMT Darussalam Kaltim (Kaltim), BMT Bina Madani
(Sumsesl). Hal ini menunjukan bahwa dengan munculnya Kepmen KUKM tahun
2004 menjadikan BMT semakin berkembang pesat. (Puskopsyah, diakses pada
tanggal 10 Desember 2013)
Prioritas BMT adalah menyalurkan dana untuk pengusaha mikro, kecil dan
menengah, sehingga banyak pengusaha mikro, kecil dan menengah tertarik
dengan pembiayaan di BMT. Selain menggunakan prinsip bagi hasil yang
dianggap lebih menguntungkan dan jauh dari bunga yang dianggap riba, BMT
menjadi alternatif pilihan untuk para pengusaha mikro, kecil, dan menengah
karena akses dan prosedur yang mudah dalam peminjaman dana, jika
dibandingkan dengan proses peminjaman dana melalui lembaga keuangan Bank.
dibuktikan dengan adanya berbagai bentuk pembiayaan baik itu yang bersifat
konsumtif dan produktif.
Salah satu bentuk pembiayaan yang bersifat produktif dan ditujukan
kepada pengusaha mikro, kecil dan menengah adalah pembiayaan musyarokah.
Pada pasal 1 angka 10 Kepmen Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 disebutkan
bahwa “pembiayaan musyarakah adalah akad kerjasama permodalan usaha antara
koperasi dengan satu pihak atau beberapa pihak sebagai pemilik modal pada
usaha tertentu, untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha bersama
dalam sebuah kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai kesepakatan para
pihak, dan apabila rugi ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi”.
Dengan demikian, pembiayaan musyarokah merupakan transaksi investasi dalam
rangka penyediaan modal usaha yang dilakukan secara bersama dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah tertentu yang proporsional
berdasarkan kesepakatan.
Keberadaan BMT saat ini telah diikat oleh beberapa peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, segala hal yang dilakukan BMT
termasuk produk-produk yang dikeluarkan BMT harus sesuai dengan Kepmen
KUKM tahun 2004. Selain itu, harus sesuai pula dengan Undang-Undang Nomor
1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Meskipun demikian
ternyata dalam praktiknya masih ditemui beberapa BMT yang bermasalah, baik
Adapun BMT yang bermasalah, contohnya seperti di daerah Yogyakarta. BMT yang bermasalah di Yogyakarta sekitar 10% dari jumlah BMT yang ada, tetapi ini cukup mencoreng lembaga BMT karena nilai rupiah dan kerugian masyarakat yang cukup besar. BMT yang bermasalah yang dilaporkan ke LOS DIY selama periode September 2010- Agustus 2011 jumlah kerugian masyarakat mencapai 140 miliar. BMT yang bermasalah antara lain BMT antarani dengan kerugian masyarakat RP. 32 miliar, BMT Isra dengan kerugian masyarakat Rp 15 miliar, dan BMT hilal dengan kerugian masyarakat Rp 22 miliar.(Ridarineni, Diunduh 9 Maret 2013 pukul 19.30 WIB)
Selain itu terdapat pembiayaan bermasalah. Nasabah yang wanprestasi akibat lalai memenuhi kewajibannya atau untuk melunasi hutang. Kewajiban dan hak tiap pihak sudah tercantum dalam perjanjian kredit atau akad pembiayaan. Masalah tersebut menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh lembaga keuangan baik itu koperasi maupun bank. Pada Bank Perkreditan Syariah (BPRS) mengalami pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF). Berikut tabel pembiayaan bermasalah di BPRS, sebagai berikut:
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
NPF 7,98% 8,38% 7,03% 6,50% 6,11% 6,83%
(Syarif Hidayatullah. 2013:4)
Berdasarkan tabel diatas terjadi peningkatan pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh BPRS. Pembiayaan bermasalah pun juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh bank syariah tak terkecuali koperasi syariah, termasuk BMT Beringharjo Yogyakarta.
ini BMT ini memiliki aset Rp 74 milyar, sedang dana tersalur atau pembiayaan sekitar Rp 70 M dengan pembiayaan kepada anggota antara Rp 1 juta - Rp 5 juta.
(Danar Widiyanto, diunduh 29 januari 2013)
BMT beringharjo Yogyakarta tersebut juga tidak terlepas dari
permasalahan. Masalahnya yaitu terletak pada beberapa klausul dalam akad
musyarokah. Klausul-klausul tersebut sudah dibuat terlebih dahulu oleh BMT
Beringharjo Yogyakarta, sehingga posisi tawar mitra dimungkinkan tidak
seimbang.
Selain itu pada pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah, terdapat pula
suatu permasalahan yang muncul dari mitra sebagai pengelola dana atau pun dari
BMT. Permasalahan tersebut terkait dengan tidak dipenuhinya kewajiban mitra
untuk mengembalikan pinjaman modal usaha sehingga muncul pembiayaan
bermasalah. Pada pelaksanaannya masih belum jelas penyelesaiannya, karena
beberapa permasalahan setelah dimusyawarahkan masih belum menemui
penyelesaian. Salah satu syarat untuk mendapatkan pembiayaan musyarakah yaitu
mitra menyerahkan benda jaminan. Muncul permasalahan yaitu tanggung jawab
mitra terhadap benda yang dikuasai oleh mitra, khususnya benda bergerak.
Pengikat benda jaminan masih lemah di BMT Beringharjo Yogyakarta.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dapat dikatakan ada
permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan akad pembiayaan
musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta. Oleh karena itu maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian di BMT Beringharjo Yogyakarta. Mengenai
B. Identifikasi Masalah
1. Masih terdapat beberapa BMT yang bermasalah.
2. Pembiayaan bermasalah dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di
BMT Beringharjo Yogyakarta.
3. Status benda jaminan saat terjadi pembiayaan bermasalah.
4. Mitra BMT menghilangkan benda jaminan benda jaminan dalam pelaksanaan
akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta.
5. Pengikat benda jaminan yang masih lemah dalam akad pembiayaan musyarakah di
BMT Beringharjo Yogayakarta.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, agar peneliti dapat lebih
fokus maka peneliti memberikan batasan masalah sebagai berikut:.
Pembiayaan bermasalah dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT
Beringharjo Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka peneliti dapat mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo
Yogyakarta?
2. Hambatan dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT
E . Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di BMT
Beringharjo Yogyakarta.
2. Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah di
BMT Beringharjo Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian yang berjudul Pelaksanaan Akad Musyarokah
di BMT Beringharjo Yogyakarta adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan di
bidang hukum perdata, hukum dagang dan hukum Islam.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti,
BMT Beringharjo, mitra dan masyarakat.
a. Manfaat Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan suatu bentuk sarana berfikir secara ilmiah
untuk mengembangkan, menambah pengetahuan, pengalaman yang
dan Hukum Islam di bangku kuliah pendidikan kewarganegaraan
(PKn) .
b. Bagi BMT
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
pengetahuan tentang akad atau perjanjian secara umum, dan pada
khususnya tentang kebebasan berkontrak dalam akad atau perjanjian
bagi koperasi syariah khususnya BMT.
c. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan tentang kebebasan berkontrak dalam akad atau perjanjian,
serta koperasi syariah pada umumnya bagi masyarakat dan khususnya
bagi para anggota koperasi syariah.
F. Batasan Istilah
Untuk mencegah kesimpangsiuran pengertian serta pemahaman pembaca dan
untuk menghindari multitafsir maka peneliti memberikan batasan istilah pada
judul penelitian.
1. Pelaksanaan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pelaksanaan merupakan
proses, cara, pembuatan melaksanakan. (Hasan Alwi dkk. 2008:774)
Pelaksanaan dalam penelitian ini adalah proses atau
langkah-langkah melaksanakan isi dari akad dan pelaksanaan dalam menyelesaikan
2. Akad
Menurut UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
pasal 1 nomor (13) disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis
antara bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai prinsip
syariah.
Akad adalah janji setia kepad Allah SWT, dan juga meliputi
perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam
pergaulan hidupnya. (Phasaribu, Chairuman &Suhrawardi, 1994: 2)
Berdasarkan beberapa pengertian tentang akad di atas, maka akad
adalah suatu perbuatan antara dua orang atau lebih yang saling berjanji
atau mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu.
3. Pembiayaan Musyarakah
Menurut Kepmen Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 pada pasal 1
nomor 10 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa
Keungan Syariah, disebutkan bahwa pembiayaan musyarakah adalah akad
kerjasama permodalan antara koperasi dengan satu pihak atau beberapa
pihak sebagai pemilik modal pada usaha tertentu, untuk menggabungkan
modal dan melakukan usaha bersama dalam suatu kemitraan, dengan
nisbah pembagian hasil sesuai kesepakatan para pihak, sedang kerugian
4. Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
Baitul maal wat tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul
maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha
pengumpulan dana yang non-profit, seperti zakat, infaq dan shodaqoh.
Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana
komersial. (Heri Sudarsono. 2004: 100)
BMT adalah lembaga yang memadukan Baitul Maal (BM) dan
Baitul Tamwil (BT), yaitu lembaga kemasyarakatan yang mengumpulkan
dana masyarakat baik berupa simpanan maupun zakat, infaq dan shodaqoh
(ZIS) untuk disalurkan kepada usaha-usaha kecil dengan sistem bagi hasil
atau kepada dhuafa melaului sistem pinjaman kebajikan (qard al hasan)
dan hibah. (Ahmad Sumiyanto. 2008:24)
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Baitul Maal Wat Tamwil adalah lembaga keuangan yang menghimpun
dana dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat.
Jadi, yang dimaksud dengan judul penelitian pelaksanaan akad
pembiayaan musyarakah di BMT Beringharjo Yogyakarta yaitu proses
pelaksanaan isi dari akad pembiayaan musyarakah, yaitu antara BMT
Beringharjo Yogyakarta dan mitra dalam memenuhi kewajiban dan hak
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang BMT
1. Pengertian Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul maal wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul
maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha
pengumpulan dana yang non-profit, seperti zakat, infaq dan shodaqoh.
Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana
komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil
dengan berlandaskan syariah. (Heri Sudarsono, 2004:100)
BMT merupakan kependekan dari Baitul Maal Wat Tamwil atau dapat
juga ditulis dengan sebutan baitul maal wa tamwil. Secara harfiah lughowi
baitul maal berarti rumah dana dan baitul tamwil berarti rumah usaha. Baitul
maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangannya, yakni dari
masa nabi sampai abad pertengahan perkembangan Islam, dimana baitul
maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dana sosial.
Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba.
Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang
menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan
sosial. Peran sosial BMT akan terlihat pada definisi baitul maal, sedangkan
peran bisnis BMT akan terlihat dari definisi baitul tamwil. Sedangkan
lembaga sosial, baitul maal memiliki kesamaan fungsi dan peran dengan
Lemabaga Amil Zakat (LAZ), oleh karenanya, baitul maal ini harus
didorong agar mampu berperan secara profesional menjadi LAZ yang
mapan. Fungsi tersebut paling tidak meliputi upaya pengumpulam dana
zakat, infaq, sedekah, wakaf dan sumber dana-dana sosial yang lain, dan
upaya pensyarufan zakat kepada golongan yang paling berhak sesuai dengan
asnabiah. ( Ridwan Muhammad, 2004: 126)
Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa baitul maal wat tamwil adalah lembaga keuangan yang berfungsi
untuk mengumpulkan dana dan menyalurkan dana.
2. Cara Mendirikan BMT
Mendirikan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), memerlukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Modal Pendirian BMT
BMT dapat didirikan dengan modal awal sebesar RP
20.000.000,00, (dua puluh juta rupiah) atau lebih. Namun demikian,
jika terdapat kesulitan dalam mengumpulkan modal awal, dapat dimulai
dengan modal RP 10.000.000,00,- (sepuluh juta rupiah) bahkan RP
5.000.000,00,-(lima juta rupiah). Modal awal ini dapat berasal dari satu
atau beberapa tokoh masyarakat setempat, yayasan kas masjid atau
anatara lain 20 sampai 40 orang, jumlah batasan 20 orang sampai 44
anggota pendiri, ini diperlukan agar BMT menjadi milik masyarakat
setempat. (Heri Sudarsono. 2004: 105)
b. Badan Hukum BMT
Pendirian koperasi pendirian akta pendirian koperasi yang dibuat oleh
notaris dengan bahasa Indonesia. Akta Pendirian memuat terdapat
anggaran dasar dan keterangan yang berkaitan dengan pendirian
koperasi. Anggaran dasar sekurang-kurangnya memuat:nama lengkap,
tempat kedudukan, dan alamat lengkap, nomor dan tanggal pengesahan
badan hukum bagi koperasi sekunder.
Permohonan akat pendirian koperasi diajukan secara tertulis oleh para
pendiri atau kuasanya kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan
sebagai badan hukum. (UU Nomor 17 Tahun 2012)
BMT dapat didirikan dalam bentuk Kelompok Swadaya
Masyarakat atau koperasi.
1) KSM adalah adalah Kelompok Swadaya Masyarakat dengan
mendapat Surat Keterangan Operasional dan PINBUK (Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
2) Koperasi serba usaha atau koperasi syariah.
c. Tahap Pendirian BMT
Adapun tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam pendirian BMT adalah
sebagai berikut:
1) Pemrakarsa membentuk panitia Penyiapan Pendiri BMT (P3B) di
lokasi tertentu, seperi masjid, pesantren, desa miskin, kelurahan,
kecamatan atau lainnya.
2) P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp
5.000.000,00,- sampai Rp. 10.000.000,- atau lebih besar mencpai
Rp 20.0000.000,00,-untuk segera memulai langkah operasional.
Modal awal ini dapat berasal dari perorangan, lembaga, yayasan,
BAZIS, pemda atau sumber-sumber lainnya.
3) Atau langsung mencari pemodal-pemodal pendiri dari sekitar 20
sampai 44 oranng di kawasan itu untuk mendapatkan dana urunan
hingga mencapai jumlah Rp 20.000.000,- atau minimal Rp
5.000.000,-.
4) Jika calon pemodal telah ada maka dipilih pengurus yang ramping
(3-5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengerahkan
kebijakan BMT.
5) Melatih 3 calon pengelola (minimal berpendidikan D3dan lebih
baik S1) dengan menghubungi Pusdiklat PINBUK Propinsi atau
Kab/Kota.
6) Melaksanakan persiapan-persiapan sarana perkantoran dan
7) Menjalankan bisnis operasi BMT secara profesional dan sehat.
(Heri Sudarsono, 2004:105-106)
Berdasarkan pendapat diatas pendirian BMT awalnya dengan modal,
mengorganisir langkah akta pendirian koperasi yang disahkan oleh
menteri untuk memperoleh status sebagai badan hukum.
3. Konsep Produk Pembiayaan
Menurut pemanfaatannya, pembiayaan Koperasi Jasa Keuangan
Syariah (KJKS) BMT dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
pembiayaan investasi dan pembiayaan modal kerja. Pembiayaan investasi
merupakan pembiayaan yang digunakan untuk pemenuhan barang-barang
permodalan serta fasilitas-fasilitas lain yang erat hubungannya dengan hal
tersebut. Sedangkan pembiayaan modal kerja merupakan pembiayaan yang
ditujukan untuk pemenuhan, peningjatan, dalam artian yang luas dan
menyangkut semua sektor ekonomi.
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BMT bukan sekedar lembaga
keungan non-bank yang bersifat sosial saja, namun juga lembaga bisnis
dalam rangka memperbaiaki perekonomian umat. Sesuai dengan itu, maka
dana yang dikumpulkan dari anggota harus disalurkan kepada anggota
lainnya yang membutuhkan. Penyaluran dana kepada anggota tersebut
lazim disebut sebagai pembiayaan. Orientasi dari pembiayaan yang
diberikan KJKS BMT kepada anggotanya adalah untuk mengembangkan
atau dan meningkatkan anggota dan KJKS BMT. Sasaran pembiayaan ini
pertanian, industri rumah tangga, perdagangan , dan jasa. Konsep
penyaluran dana oleh Koperasi Jasa Keuangan Syariah BMT dapat
dikelompokkan sebagi berikut:
a. Prinsip bagi hasil (syirkah)
1) Musyarokah adalah kerja sama dalam usaha oleh dua pihak.
Ketentuan umum dalam akad musyarakah semua modal disatukan
untuk menjadi modal proyek musyarakah dan dikelola
bersama-sama.
2) Mudharabah adalah kerjasama di mana shahibul maal
memberikan dana 100% kepada mudharib yang memiliki
keahlian.
b. Prinsip jual beli (tijarah)
1) Murabahah adalah menjual dengan modal asli bersama tambahan
keuntungan yang jelas. Murabahah salah satu produk penyaluran
dana yang cukup digemari oleh KJKS BMT karena
karakteristiknya yang profitable
2) Ba’is Salam adalah akad pemebelian barang yang mana barang
yang dibeli diserahkan dikemudian hari. Sedangkan
pembayarannya dilakukan secara tunai di muka.
3) Bai’al istishnamrupakan kontak penjualan antara pembeli dan
KJKS BMT. Dalam kontrak ini
Berdasarkan pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Baitul
maal tamwil mempunyai beberapa jenis pembiayaan yaitu berdasarkan
konsep bagi hasil dan prinsip jual beli.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan kendala
dalam pengembangan BMT yaitu adanya nasabah yang bermasalah dan
BMT yang cenderung berorientasi pada bisnis.
4. Jaminan dalam BMT atau Koperasi Syariah
a. Kepmen No.91/Kepm/M.KUKM/IX/2004 pada pasal 28 disebutkan:
(1) Koperasi Jasa Keungan Syariah/Unit dapat menetapkan agunan
sebagai jaminan pembiayaan dengan catatan terlebih dahulu telah
diketahui kelayakan kemampuan anggota/calon anggota dalam
mengembalikan kewajibannya sesuai dengan rencana
pemanfaatan yang disepakati.
(2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam (1) dapat berupa barang
atau hak tagih dari usaha yang dibiayai oleh pembiayaan yang
bersangkutan atau pernyataan kesanggupan tanggung renteng
antar anggota atas segala kewajibannya.
(3) Agunan berupa barang bisa diatur dengan ketentuan barang
tersebut secara fisik tetap berada pada anggota/calon anggota.
b. Pengertian Jaminan
Jaminan menurut pasal 1131 KUHP Perdata adalah melipti seluruh
kekayaan debitur yang sudah ada maupun yang baru akan ada
benda-benda tersebut sudah menjadi jaminan bagi seluruh utang-utang
debitur. Selanjutnya dalam pasal 1132 KUHP Perdata,
menentukan:barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua
kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi
menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara
para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
c. Hak Tagih
Pasal 613 KUH Perdata penyerahan piutang-piutang atas nama
dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat
sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas
kebendaan diselimpahkan ke pihak lain.
Berdasarkan kesimpulan diatas jaminan adalah benda yang
diserahkan dari debitur kepada kreditur untuk dapat memenuhi
kewajiban debitur. Benda yang dijadikan jaminan terdapat dua jenis
yaitu benda bergerak dan tidak bergerak
B. Tinjauan tentang AkadPembiayaan Musyarakah 1. Tinjauan Akad
a. Pengertian Akad
Menurut UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1
nomor (13) disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara bank
atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak
Berdasarkan pendapat diatas akad adalah hubungan hukum antara
dua atau beberapa pihak sehingga menimbulkan akibat hukum bagi para
pihak yang melakukan kesepakan sesuai prinsip syariah.
b. Syarat Sahnya Perjanjian
1) Secara umum yang menjadi syarat sahnya sesuatu perjanjian dalam
syariah islam adalah:
a) Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya.
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan
yang melawan hukum syariah.
b) Harus sama ridha dan ada pilihan
Maksudnya perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah
didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu
masing-masing pihak ridha/rela akan isi perjanjian tersebut, atau dengan
perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
c) Harus jelas dan gamblang
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang
tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah
2) Syarat sahnya perjanjian dalam KUH Perdata diperlukan 4 syarat
yaitu:
a) Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c) Suatu hal tertentu
d) Suatu sebab yang halal
Berdasarkan pendapat diatas syarat sahnya akad atau perjanjian
adalah perbuatan yang dilakukan tidak melawan hukum Islam dan
jelas, para pihak cakap dan sepakat .
c. Asas perjanjian dalam hukum Islam
1) Asas Ibahah
Asas Ibahah adalah asas hukum Islam dalam bidang muamalat secara
umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas
ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah.
Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah asas bahwa
bentuk-bentuk ibadah yang saha adalah bentuk-bentuk yang disebutkan
dalam dalil-dalil syariah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru
ibadah yang tidak pernah ditemukan oleh Nabi SAW. Bentuk-bentuk
baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW itu disebut bid’ah dan tidak sah hukumnya.
Sebaliknya dalam tindakan-tindakan mauamalat berlaku asas
tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan
tindakan hukum, khususnya perjanjina, maka ini berarti bahwa tindakan
hukum, khususnya perjanjian, maka tindakan hukum dan perjanjian apa
pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khususnya mengenai
perjanjian tersebut.
2) Asas Kebebasan Berakad
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad yaitu suatu prinsip hukum
yang menyatakan bahwa setiap orang dpaat membuaat akad jenis apa
pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang syariah dan memasukkan klausul apa saja ke dalam
akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak
berakibat makan harta sesama dengan jalan batil.
3) Asas janji itu mengikat
Dalam Al-qur’an dan hadist terdapat banyak perintah agar memenuhi
janji. Dalam kaidah usul fikih, perintah itu pada asasnya menunjukkan
wajib.ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi.
Diantaranya ayat dan hadist adalah:
Firman Allah,”.... dan penuhi janji, sesungguhnya janji itu akan
dimintakan pertanggung jawabannya”.(QS. Al-Isra: 14)
Asar dari Ibn Mas’ud, janji itu adalah hutang. (HR. Al-Bukhari)
4) Asas keseimbangan (Mabda’ at Tawuzub fi al-Mu’awadhah)
Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara pihak
perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang
diberikan dan apa yang diterima maupu keseimbangan dalam memikul
resiko.
5) Asas Kemaslahatan (Tidak memberatkan)
Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa ada akad yang dibuat
oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian bagi mereka dan tidak
boleh menimbulkan kerugian (nudharat) atau keadaan memberatkan
(masyaqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan
keadaan yang tidak dapati diketahui sebelumnya serta membawa
kerugian yang fatal.
6) Asas Amanah
Asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masinng pihak haruslah
beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak
dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidakrauan mitranya.
7) Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwjudkan oleh semua hukum.
Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan parintah Alquran yang menegaskan, “Berlaku adilah itu lebih dekat kepada takwa”( QS.
Berdasarkan pendapat diatas asas perjanjian dalam hukum islam
adalah kebebasan berakad dan tidak ada dalil yang melarangnya sehingga
terjadi keadilan dan para pihak menjadi orang yang menepati janji.
d. Berakhirnya Perjanjian
Dalam kontek hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut:
1) Berakhirnya masa berlaku perjanjian/akad
Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu
perjnajian akan berkahir, sehingga lampaunya waktu maka secara
otomatis akan berakhir, kecuali kemudian hari ditentukan oleh para
pihak.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad
Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak melanggar ketentuan
perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan
perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan.
3) Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia
Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang
membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika dibuat dalam
perjanjian hal memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk
uang/barang maka perjanjian tetap berlaku bagi ahli warisnya. (Abdul
Berdasarkan pendapat diatas bahwa berakhirnya perjanjian atau
akad dalam hukum Islam adalah berakhirnya jangka waktu akad dan
para pihak yang membatalkan akad.
2. Tinjauan tentang Pembiayaan Musyarakah
a. Pengertian Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan Musyarakah adalah akad kerjasama permodalan usaha
antara koperasi dengan satu pihak atau beberapa pihak sebagai pemilik
modal pada usaha tertentu, untuk menggabungkan modal dan melakukan
usaha bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil
sesuai kesepakatan para pihak, dan apabila rugi ditanggung secara
proporsional sesuai dengan kontribusi modal. (Pasal 1 Keputusan Menteri
dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004
Nomor 10 tentangPetunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperas Jasa
Keuangan Syariah)
Berdasarkan pendapat diatas pembiayaan musyarakah adalah
perjanjian kerjasama antara beberapa pihak untuk menggabungkan modal
dan membuat suatu usaha, maka beberapa pihak tersebut telah menentukan
nisbah yang telah disepakati.
b. Ketentuan Hukum dalam Fatwa DSN MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Musyarakahterkaitpihak-pihak yang berkontrak
harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut
yaitu,setiap pihak atau mitra yang berkontrak harus berkompeten dalam
menyediakan dana dan pekerjaan, dan melaksanakan kerja sebagai
wakil.Setiap mitra juga harus memiliki hak untuk mengatur aset
musyarakah dalam proses bisnis normal dan dapat memberikan
wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset, sehingga
masing-masing mitra dianggap telah memberikan wewenang untuk melakukan
aktifitas musyarokah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.Seorang mitra tidak
diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk
kepentingannya sendiri.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan mitra harus
mempunyai hak dan kewenangan untuk mengatur asetnya dan melakukan
aktifitas sesuai dengan usaha yang disepakati.
c. Menurut Fatwa MUI DSNMUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Pembiayaan Musyarakah Tentang Objek Akad (Modal, Kerja,
Keuntungan, dan Kerugian)
1) Modal pembiayaan musyarakah, ketentuannya adalah modal yang
diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama dan
juga dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti,
dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai
dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.Para pihak tidak boleh
meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal
musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.Pada
untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah
dapat meminta jaminan.
2) Kerja dalam Pembiayaan Musyarakah
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarokah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan
syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang
lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarokah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan
masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
3) Keuntungandalam Pembiayaan Musyarakah, ketentuannya sebagai berikut:
a)Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau
penghentian musyarakah.
b)Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di
awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
c)Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
d)Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
4)Kerugian dalam Pembiayaan Musyarakahketentuannya adalah kerugian
harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham
masing-masing dalam modal.
Berdasarkan pendapat diatas tentang objek akad dapat diambil
kesimpulan modal dapat berupa uang, emas dan barang, keuntungan
dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan serta
kerugian dibagi secara proporsional menurut masing-masing modal.
5. Menurut Fatwa DSN tentang MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Pembiayaan Musyarakah Mengatur KetentuanBiaya Operasional dan
Persengketaan Sebagai Berikut:
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
Berdasarkan pendapat diatas dapat diambil kesimpulan masalah
persengketaan atau perselisihan antar mitra melalui musyawarah akan
tetapi jika tidak ditemui solusinya, maka akan melalui Badan Arbitrasi
C. Tinjauan tentang Perjanjian Baku 1. Pengertian perjanjian baku
Kontrak baku adalah kontrak yang klausul-kaluslnya telah
ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Penggunaan kontrak
dalam kontrak-kontrak biasanaya dilakukan oleh pihak yang banyak
melakukan kontrak yang sama terhadap pihak lain. Penggunaan kontrak
baku dalam kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan oleh pihak yang
banyak melakukan kontrak yang sama terhadap pihak lain, didasarkan
pada Pasal 1338 (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
(Ahmadi Miru, 2007:39).
Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang di dalamnya telah
terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh salah satu pihak, yang
umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Nama
perjanjian adhesie adalah yang paling tua yang oleh Saleilles, ahli hukum
perancis yang besar, dilaksanakan dalam masyarakat dan begitu cepat
menjaid terkenal (Contract d’adhesion”, “adhesioan contract”). Dalam
tahun-tahun kemudian istilah perjanjian baku mulai dikenal dalam
masyarakat. Bahwa yang terpenting dlam kedua istilah diatas terdapat
aspek-aspek yang berbeda. Yang pertama sifat adhesie yaitu take it or
leave it.
mempunyai pilihan. Dalam hal ini penyusun kontrak mempunyai
kedudukan monopoli, atau dengan demikian dikehendaki bahwa
perusahaan lain supaya mempergunakan syarat-syarat yang sama.
Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam
membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan
dibawah kekuasaannya.
Hondius, (1976:140) menyatakan syarat-syarat baku dalam
perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam
beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak
tertentu, tanpa merundingkan lebih dulu isinya.
Syarat baku yang disebutkan diatas, umumnya juga dinyatakan
sebagai perjanjian baku. Jadi pada azasnya isi perjanjian yang
dibakukan adalah tetap dan tidak ada diadakan perundingan lagi. Inilah
yang menimbulkan masalah bahwa kebebasan berkontrak telah
digerogoti dan akhirnya apakah masih dapat dikatakan adanya
persesuaian kehendak dari para pihak yang seimbang dalam perjanjian.
Secara yuridis yaitu siapa yang menandatangani suatu perjanjian
baku telah terikat dengan isis dari perjanjian itu, meskipun pihak lain
tidak punya pilihan (Ari S Hutagalung dkk. 1998:145-146).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan,
perjanjian baku adalah suatu perjanjian dimana klausul-klausul
2. Penggolongan dan Ciri-ciri kontrak baku
a. Mariam Darus Badrulzaman (1986:50) menggolongkan 3 (tiga) jenis
kontrak baku yaitu:
1) Kontrak baku sepihak, adalah kontrak yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya, misalnya kreditur yang lazimnya
mempunyai posisi ekonomi kuat dibanding dengan debitur.
2) Kontrak baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah kontrak
baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.
3) Kontrak baku ditentukan Notaris atau Advokat, yang disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat, yang
dalam kepustakaan Belanda jenis ini disebut contract model.
b. Secara konkrit, kontrak baku yang berkembang dalam praktik
hukum kontrak mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:
1) Proses pembuatannya secara sepihak oleh pihak yang
mempunyai kedudukan atau posisi tawar-menawar yang lebih
kuat daripada pihak lainnya.
2) Pihak yang kedudukan atau posisi tawar-menawarnya lebih
lemah, tidak dilibatkan sama sekali dalam menentukan subtansi
kontrak.
3) Pihak yang kedudukan atau posisi tawarnya, lebih lemah
menyepakati.
4) Kontrak dibuat dalam bentuk tertulis, formatnya tertentu dan
Berdasarkan pendapat diatas kontrak baku terdapat 3 jenis
yaitu kontrak baku yang dibuat oleh salah satu pihak, pemerintah
dan notaris. Ciri-ciri dari kontrak baku adalah pembuatannya dibuat
oleh salah satu pihak dan dibuat dalam jumlah yang banyak.
3. Kesahan Kontrak baku
a. Persyaratan Formal (Prosedural) sahnya suatu kontrak baku
Mariam Darus Badrulzaman (1986:54) menyimpulkan
bahwa kontrak baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak
yang bertanggung jawab, apalagi ditinjau dari asas-asas hukum
nasional yang mendahulukan kepentingan masyarakat.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini
(1993:120) yang menegaskan bahwa kesahan berlakunya kontrak
baku tidak perlu lagi dipersoalkan, karena eksistensinya sudah
merupakan kenyataan yang meluas dalam dunia bisnis, dan lahir dari
kebutuhan masyarakat sendiri, dan lahir dari kebutuhan masyarakat
sendiri.
Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini (1993:120) menjelaskan bahwa
sekalipun kesalahan berlakunya memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu dipersoalkan kontrak baku yang sangat “berat
sebelah” dan mengandung “klausul yang tidak wajar sangat
memberatkan bagi pihak lainnya sehingga kontrak itu merpakan
Mariam Darus Badrulzaman (1986: 140) Ditinjau dari segi hukum
kontrak, terdapat 3 (tiga) jenis masalah hukum, yang sangat
melemahkan daya berlakunya kontrak baku yang tersamar tersebut
yaitu:
1) Kontrak baku yang sudah dicetak oleh satu pihak, sedangkan
pihak lain tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi
terhadap klausula-klausulanya.
2) Kontrak tersamar, dalam arti satu pihak atau kedua pihak tidak
benar-benar menyadari bahwa mereka sebenarnya telah masuk
dan menyetujui kontrak, yang isinya sering kali tidak dibaca.
3) Kontrak berat sebelah yang klausul-klausulnya sangat
menguntungkan pihak pengelola tempat, karena banyak
berisikan klausul-klausul eksemsi, yaitu klausula yang
membebaskan tanggung jawab pihak pengelola tempat
tersebut.(Muhammad Syaifuddin, 2012:221-222)
b. Persyaratan Materiil (Subtansif) Sahnya suatu kontrak baku
Secara subtansif, Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHP perdata
memuat asas-asas hukum yang dapat digunakan sebagai
persyaratan materiil (subtansif) untuk menentukan sahnya suatu
kontrak baku yang memuat klausula yang secara tidak wajar dan
tidak seimbang dapat merugikan suatu pihak dalam kontrak. Pasal
1337 KUHPerdata memuat ketentuan limititatif yang melarang
undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau
kesusilaan. Pasal 1339 KUH Perdata memuat ketentuan enumeratif
yang menegaskan bahwa kontrak tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat dari kontrak itu diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, undang-undang. Jadi berdasarkan pasal ini,
secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa hal-ha yang dilarang
dalam kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang adalah persyarat
materiil (subtansif) yang harus dipenuhi dalam membuat suatu
kontrak. (Muhammad Syaifuddin. 2012: 225)
Berdasarkan pendapat diatas kesahan kontrak baku tidak
perlu diragukan karena telah adanya kesepakatan dari para pihak,
akan tetapi membuat terjadinya tidak adanya kebebasan
berkontrak.
4. Klausul Eksonerasi/Eksemsi
Kontrak baku banyak memberikan keuntungan dalam
penggunannya tetapi dan berbagai keuntungan yang ada tersebut,
kontrak baku juag mendapat kritik, karena dipahami oleh para
pengkritiknya mengandung ketidakadilan sebagai akibat dari
kedudukan atau posisi tawar-menawar yang tidak seimbang di antara
para pihak..
Shidarta menjelaskan bahwa jika ada yang perlu dikhawatirkan
eksonerasi (exemption clause) dalam kontrak tersebut. Klausula
eksonerasi adalah klausula yang mengandung membatasi, atau bahkan
menghapus sama sekali tanggung jawab yang mestinya dibebankan
kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).
Klausula eksonerasi yang merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “exonoratie clausule”, disebut juga dengan
klausula eksemsi yang merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa inggris “exemption clause, dinilai oleh Sutan Remy Sjahdeini sebagai
klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan. Secara konkrit,
klausula eksonerasi yang Sutan Remy Sjahdeini disebutnya dengan
istilah klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak
terhadap gugatan pihak lainnya dlaam hal yang bersangkutan tidak atau
tidak dengan semestinya. (Muhammad Syaifuddin. 2012. 227)
Berdasarkan pendapat diatas klausul eksonerasi adalah klausul
yang dapat menghilangkan kewajiban salah satu pihak, sehingga posisi
tawar terhadap pihak lain menjadi tidak seimbang.
5. Alasan ada perjanjian baku
Menurut Paulus J.Soepratigna (2007: 146) pembuatan kontrak baku
hanya akan dilakukan, jika muncul urgensi tanggapan atas kepentingan
1) Menghadapi kegiatan transaksional dalam frekuensi tinggi.
2) Demi persaingan bisnis, harus memberikan pelayanan secara
efisien dan efektif kepada konsumen.
3) Demi efisiensi pendistribusian hasil prosuksi seluruh atau sebagian
syarat-syarat dalam tiap transaksi harus dipersiapkan lebih dahulu
secara tertulis, agar segera dapat diketahui oleh konsumen.
4) Mengimbangi tingginya frekuensi kegiatan transaksional, sehingga
harus menyediakan naskah dan/atau persyaratan kontrak, secara
massal dan uniform untuk transaksi yang sama, dengan tanpa
memperlihatkan kondisi dan/atau kebutuhan dari masing-masing
konsumen.
5) Persyaratan kontrak secara massal dan uniform itu, secara efektif
harus dapat memberi jaminan atau kekuatan dan kepastian hukum
bagi para pelaku usaha sendiri serta bagi konsumen. (Muhammad
Syaifuddin, 2012:217)
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan
alasan menggunakan perjanjian baku adalah efisien waktu dan lebih
5. Dasar dari Perjanjian Baku
Menurut Asser-Rutten(1968:23) azas-azas hukum perjanjian yang
diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata ada tiga yaitu:
a. Azas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat umumnya
bukan secara formal tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai
karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata
b. Azas kekuatan mengikatkan dari perjanjian, bahwa pihak-ppihak
harus memenuhi apa yang telah dijanjiakan, sesuai dengan pasal
1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai
Undang-undang bagi para pihak
c. Azas kebebasan berkontrak, bahwa orang bebas, membuat atau
tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan
syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan
bebas memilih undang-undang mana yang akan dipakai untuk
perjanjian itu (Dari ketiga azas ini yang paling penting, ialah
kebebasan berkontrak, yang dalam bahsa asing disebut ;
Contractsvrijheid, contraccteer vrijheid atau partij-automie,
freedom of contract. Sesuai dengan pernyataan Asser-Rutten: Azas
kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan banyak didalam
undang-undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya. (Ari
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa azas
dari perjanjian baku didasarkan pada kesepakatan, kekuatan perjanjian
mengikat bagi para pihak dan kebebasan berkontrak.
6. Perlindungan Pihak Debitur Terhadap Perjanjian Baku
Perlindungan ini dapat melalui ajaran penyalahgunaan keadaan
dan ajaran itikad baik. Kalau melalui ajaran kekhilafan kita tidak dapat
berbuat banyak untuk membatalkan perjanjian baku, karena dnegan
menandatangani perjanjian ia dianggap mengetahui isi dan syarat-syarat
perjanjian,sehingga dengan didasarkan pada “dapat dimaafkan”
(verschoonbaarheid) yaitu kehilafan tidak dapat dimintakan kalau orag
yang meminta itu berdasar atas kebodohannya.
Mengenai ajaran penyalahgunaan keadaan yaitu apabila seorang
mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena keadaan
tertentu (misalnya dalam keadaan kepicikan, keadaan jiwa yang
abnormal atau tidak berpengalaman) tergerak untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum. Penyalahgunaan keadaan dalam istilah
Inggris disebut Undue Influenca, pokoknya untuk berhasilnya gugatan
berdasrkan penyalahgunaan keadaan pada hakekatnya disyaratkan
adanya tindakan yang merugikan orang lain atau tindakan untuk
mengambil keuntungan oleh yang menyalahkangunakan itu.(Ari S
Jadi kalau perjanjian baku yang syarat-syaratnya berisi
penyalahgunaan keadaan, adalah bertentangan dengan kesusilaan dan
merupakan sebab yang tidak diperbolehkan, akibatnya adalah batal demi
hukum.
Berdasarkan pendapat diatas perlindungan pihak debitur terhadap
perjanjian baku adalah perjanjian terdapat suatu iktikad tidak baik
sehingga menimbulkan penyalahgunaan keadaan, maka perlu adanya
iktikad baik agar dari pihak debitur dapat dilindungi.
D. Tinjauan tentang Wanprestasi
1. Pengertian Wanpestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditor
dengan debitor. Seorang debitor baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah
diberikan somasi oleh kreditor atau juru sita. Somasi itu minimal telah
dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu
tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke
pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor
wanprestasi atau tidak.(Salim HS, 2001:180)
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan pengertian
wanprestasi adalah salah satu pihak ingkar atau tidak memenuhi
2. Akibat Adanya Wanprestasi
Adanya empat akibat adanya wanprestasi, sebagaimana dikemukakan
berikut ini:
a. Perikatan tetap ada
Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi,
apabila ia masih terlamabat memenuhi prestasi. Di samping itu,
kreditor berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan
melaksanakan prestasinya.Hal ini disebabkan kreditor akan mendapat
keuntungan apabila debitor melaksanakan prestasi tepat pada
waktunya.
b. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUH
Perdata).
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul
setelah debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau
kesalahan besar dari pihak kreditor. Oleh karena itu, debitor tidak
dibenarkan untuk berpeganag pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat
membebsakan diri dari kewajiabnnya memberikan kontra prestasi
dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata. (Salim HS, 2001:181)
Berdasarkan pendapat diatas akibat adanya wanprestasi adalah
pihak yang lalai harus membayar ganti rugi kepada pihak yang
3. Tuntutan atas Dasar Wanprestasi
Kreditor dapat menuntut kepada debitor yang telah melakukan
wanprestasi hal-hal sebagai berikut:
a. Kreditor dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitor.
b. Kreditor dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitor
(Pasal 1267 KUH Perdata).
c. Kreditor dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin
kerugian karena keterlambatan (H.R. 1 November 1918).
d. Kreditor dapat menuntut pembatalan perjanjian.
e. Kreditor dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitor.
Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.
Akibat kelalaian kreditor yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:
a. Debitor berada dalam keadaan memaksa.
b. Beban risiko beralih untuk kerugian kreditor, dan dengan demikian
debitor hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada
kesengajaan atau kesalahan besar lainnya.
c. Kreditor tetap diwajibkan memberi prestasi balasan.
(Salim, 2001:181)
Berdasarkan pendapat diatas tuntutan wanprestasi akibat kelalaian
debitor maka debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor dan
begitu jua sebaliknya jika kreditor lalai maka kreditor harus memenuh