PERSISTENSI NEMATODA ENTOMOPATOGEN
Heterorhabditis (All Strain) ISOLAT LOKAL MADURA TERHADAP
PENGENDALIAN RAYAP TANAH Macrotermes sp. (Isoptera : Termitidae)
DI LAPANG
Sucipto Dosen Jurusan Agroekoteknologi Fak. Pertanian Unijoyo
Abstract
Termite can cause economic loss as this animal invade agricultural crops, plantations, and forest as well as to log of building. The objective of this research was to evaluate the persistency of NEP and alternative controller of soil termites. The research was arranged in a blocked random design with 4 treatments; PO: control = without entomopathogen nematode; P1= Heterorhabditis at 0,5 million IJ m-2, P2 =
Heterorhabditis at 1,0 million IJ m-2, , P3 = Heterorhabditis at 1,5 million IJ m-2) and 3 replications. The
result revealed that the highest mortality of termite Macrotermes sp. was at NEP concentration of 0,5 million IJ m-2. The persistency of Heterorhabditis influenced by oxygen content, soil pH, moisture content, and soil temperature was between 36 and 48 days. The population of Heterorhabditis reduced with time and based on termite mortality the highest pathogenity was at 20 to 32 days after application.
Key words: persistency, Heterorhabditis, local isolate, termite
PENDAHULUAN
Rayap sebagai hama telah menimbulkan kerugian ekonomis yang sangat besar. Kerugian tersebut diantaranya disebabkan oleh serangan rayap pada tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang sampai menyebabkan kematian pada tanaman inang. Selain itu rayap juga menyerang kayu dan bangunan gedung (Nandika et al., 1996). Pada tahun 1995 kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan perumahan di Indonesia mencapai 1,67 trilyun rupiah, belum termasuk kerugian pada bangunan gedung perkantoran, fasilitas industri, dan fasilitas sosial lainnya (Rakhmawati, 1996).
Teknologi pengendalian rayap sampai saat ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida anti rayap (termitisida) yang
diaplikasikan baik melalui perlakuan tanah (soil treatment) maupun dengan cara impregnasi termitisida ke dalam target. Termitisida dari kelompok organoklorin seperti chlordane dan dieldrin dikenal sangat efektif dan mampu memberikan perlindungan terhadap bangunan gedung dan tanaman pertanian, tetapi termitisida dapat menimbulkan masalah lingkungan dan berpotensi meracuni manusia (Nandika et al., 1999). Untuk itulah perlu adanya alternatif pengendalian lain yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu alternatif pengendalian rayap selain termitisida adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti nematoda, bakteri, virus, maupun jamur entomopatogen. Diantara beberapa agens hayati tersebut, nematoda entomopatogen masih tergolong
baru dipergunakan di lapang (untuk negara Indonesia). Meskipun demikian, nematoda entomopatogen sudah banyak dipergunakan di beberapa negara untuk dapat mengendalikan populasi rayap tanah. Sejauh ini beberapa contoh spesies nematoda yang telah digunakan untuk mengendalikan rayap adalah
Heterorhabditis, S. carpocapsae, dan Steinernema riobravis (Pearce, 1997).
Nematoda entomopatogen memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan agens hayati lainnya. Keunggulan tersebut diantaranya adalah : tidak berdampak buruk terhadap hama bukan sasaran, tidak meninggalkan residu, sinergis dengan beberapa agens hayati lain, mudah didapatkan, murah, mampu bertahan lama dalam tanah dan dapat berkembang biak dalam tubuh serangga serta dapat digunakan kembali untuk mengendalikan hama (Sulistyanto, 1998).
Persistensi nematoda entomopatogen dalam tanah adalah kemampuan nematoda entomopatogen untuk bertahan (persisten) di dalam tanah serta masih mampu menyerang dan menimbulkan kematian pada serangga sasaran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik dan faktor abiotik sangat berpengaruh terhadap persistensi nematoda untuk mengendalikan serangga hama yang hidup di lingkungan tanah, habitat tersembunyi, dan daun (Inshibashi dan Kondo, 1990; Kaya, 1990; Womersley, 1990). Persistensi juga dipengaruhi oleh kemampuan
nematoda entomopatogen untuk menyebar, mempertahankan diri, menemukan inang dan reproduksi dalam tanah. Sedangkan keempat hal tersebut dipengaruhi oleh tipe tanah, dan kelembaban atau temperatur tanah (Wouth, 1991; Kaya dan Gaugler, 1993). Berdasarkan keterangan di atas maka nematoda entomopatogen Heterorhabditis sebagai agens pengendali hayati rayap sangat diperlukan.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dikebun Percoban dan Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo muali bulan Januari sampai bulan Agustus 2007.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rayap tanah Macrotermes sp. , yang ditemukan disekitar tanaman penaung (pohon sono, pohon sawo kecik, pohon mahoni, dan pohon jati) di kampus Universitas Trunojoyo, nematoda
entomopatogen Heterorhabditis, media
bedding, media BSA, media NA, Galleria
mellonella, kertas filter, kayu randu, alkohol
70%, air steril, dan tissue.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini paralon plastik, autoklaf, laminar
flow, inkubator, timbangan, mikroskop
binokuler, gelas arloji, pinset, jarum ose, saringan ukuran 15 µm dan 30 µm, pipet
ependrof 1000 µm, cawan hitung, erlenmeyer,
orbital shaker, dan tangki semprot.
Perbanyakan nematoda
Perbanyakan Nematoda Entomopatogen Secara In Vivo dan In Vitro
Perbanyakan secara in vivo dilakukan dengan cara menginokulasikan nematoda entomopatogen pada T. molitor/G. melonella. Setelah 24 – 48 jam T. molitor/G. melonella yang mati akibat infeksi nematoda entomopatogen dipanen dengan metode White
trap. Hasil biakan nematoda dapat dipanen
setelah satu minggu.
Perbanyakan secara in vitro dilakukan dengan cara membiakkan nematoda entomopatogen dengan metode Bedding. Media Bedding dibuat dengan mencampurkan semua bahan-bahan (kecuali spon) dan diautoklaf. Setelah diautoklaf spon yang dipotong kecil-kecil dicampurkan sampai rata dan disimpan dalam erlenmeyer kemudian diautoklaf lagi. Selanjutnya menginokulasikan bakteri simbion Heterorhabditis yaitu
Photorhabdus ke media bedding dan
diinkubasikan 48 jam. Setelah 48 jam nematoda steril diinokulasikan dalam media bedding yang berisi bakteri simbion dan kemudian diinkubasikan selama 2 minggu. Pemanenan dilakukan dengan memeras spon-spon tersebut ke air berulang-ulang (kurang lebih tiga kali).
Lahan Penelitian
Lahan penelitian berupa sarang-sarang rayap tanah (gundukan tanah) sejumlah 12 buah
sarang untuk 4 perlakuan dan 3 ulangan. Pengamatan terhadap persistensi rayap tanah dilakukan selama dua bulan dan pada pengamatan terakhir sarang rayap tanah dibongkar untuk mengetahui populasi rayap tanah di dalam sarang. Perincian perlakuan pengamatan adalah sebagai berikut.
P0 = Kontrol (tanpa nematoda entomopatogen) P1 = Perlakuan Heterorhabditis konsentrasi 0,5 juta IJ/m2
P2 = Perlakuan Heterorhabditis konsentrasi 1,0 juta IJ/m2
P3 = Perlakuan Heterorhabditis konsentrasi 1,5 juta IJ/m2
Aplikasi Nematoda Entomopatogen Pada Rayap Tanah di Lapang
Perlakuan penyemprotan (spraying) dilakukan langsung dengan menyemprotkan nematoda entomopatogen pada permukaan sarang rayap tanah yang terlebih dahulu disemprot dengan air untuk melembabkan sarang. Konsentrasi nematoda entomopatogen yang digunakan adalah 0 IJ/m2, 0,5 juta IJ/m2, 1,0 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2. Pengamatan terhadap persistensi nematoda entomopatogen dilakukan setiap empat hari.
Pengumpanan (baiting) dilakukan dengan menggunakan pipa paralon setinggi 25 cm yang dilubangi sisi-sisinya untuk jalan masuknya rayap tanah dengan umpan (kayu randu) didalamnya yang ditanamkan di dalam tanah. Kayu randu digunakan sebagai umpan rayap tanah untuk mengamati rayap tanah yang
terkena nematoda entomopatogen setelah perlakuan semprot (spraying).
Pengujian Persistensi Nematoda Entomopatogen di dalam Tanah
Ekstraksi Tanah Metode Baermann Asli
Caranya adalah dengan mengambil sampel tanah 100 g dan membungkusnya dengan kain, diikat bagian atasnya dan ditempatkan diatas corong yang terbuat dari gelas/plastik yang dihubungkan dengan pipa plastik dan dijepit. Corong diletakkan pada penyangga berupa statip dari besi/kayu dan diatas corong diberi saringan dengan ukuran 1 mm yang ditindihi bungkusan tanah tersebut. Melalui tepi bungkusan tanah tersebut dituangi air secara perlahan-lahan sampai mencapai pada permukaan bawah dari bungkusan tanah. Setelah rangkaian tersebut selasai kemudian
menyimpannya selama 24 – 72 jam dan kemudian membuka penjepit
pipa plastik perlahan-lahan dan dengan hati-hati cairan yang berisi nematoda tersebut dikumpulkan ke dalam gelas piala kecil/gelas arloji. Selanjutnya menghitung nematoda aktif dalam cairan tersebut.
Uji Bioassay Nematoda Entomopatogen terhadap Serangga Uji
Pengujian ini dilakukan dengan perbandingan 2 : 1 (satu larva
G.melonella/serangga uji dibandingkan dengan
dua infektif juvenil nematoda entomopatogen). Setiap satu serangga uji diinokulasikan dua infektif juvenil nematoda entomopatogen dengan menggunakan mikropipet 100µ. Setiap
ekor serangga uji ditempatkan dalam tabung plastik berukuran tinggi 2,5 cm dan diameter dasar tabung 2 cm yang telah diisi pasir halus steril setinggi 0,7 cm yang kemudian ditutup dengan kertas filter yang dibasahi dengan air steril sehingga cukup lembab.
Pengujian dengan Metode Perangkap Terhadap T. molitor/G. melonella
Cara melakukan pengujiannya adalah dengan mengambil 100 g sampel tanah dari lapang (dari masing-masing perlakuan) yang dimasukkan ke dalam gelas aqua dan diinokulasi dengan satu larva G. melonella yang dibungkus dengan kain kasa. Setelah 3 – 5 hari (ulat mati) dilakukan white trap.
Analisi Data
Parameter pengamatan pada setiap perlakuan dalam penelitian ini adalah presentase mortalitas rayap tanah dan persistensi nematoda entomopatogen di dalam tanah baik melalui ekstraksi tanah metode Baermann Asli, uji Bioassay 2:1, maupun uji perangkap.
Presentase mortalitas rayap tanah dihitung dengan rumus : Persentase mortalitas rayap tanah =
x
100
%
B
A
A = Jumlah rayap tanah yang mati B = Jumlah keseluruhan rayap tanah
Sedangkan persistensi nematoda entomopatogen diketahui dari populasi nematoda entomopatogen (Heterorhabditis) di lapang dan mortalitas serangga uji (Galleria
bioassay 2 : 1 dan uji pengumpanan, yang dihitung dengan rumus :
Persentase mortalitas serangga uji =
%
100
x
B
A
A = Jumlah serangga uji yang mati B = Jumlah total serangga uji
Seluruh data presentase kematian rayap tanah dan hasil pengujian dianalisa dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan taraf 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas Rayap Tanah Akibat
Hiterorhabditis (All Strain)
Mortalitas rayap tanah diamati melalui umpan yang dipasang disamping sarang rayap tanah (Macrotermes sp.) (Nandika et al., 1999). Umpan berupa paralon yang dilubangi sisi-sisinya dan didalamnya dimasuki makanan
rayap/kayu (Pearce, 1997). Dalam penelitian ini kayu yang digunakan adalah kayu randu, karena rayap tanah menyukai bahan-bahan yang mengandung selulosa tinggi sebagai sumber makanannya (Nairot, 1970).
Penggunaan Hiterorhabditis
menimbulkan pengaruh yang nyata pada mortalitas rayap tanah pada masing-masing konsentrasi. Mortalitas rayap tanah (Macrotermes sp.) yang ditimbulkan oleh
Hiterorhabditis sebesar 1,77 persen sampai
40,25 persen (Tabel 1).
Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan (konsentrasi 0,0 IJ/m2, 0,5 juta IJ/m2, 1,0 juta IJ/m2 dan 1,5 juta IJ/m2) pada hari ke 4-16, hari ke 20-32, dan hari ke 52-60. Sedangkan pada hari ke 36-48 tidak terjadi perbedaan pada konsentrasi 0,5 juta IJ/m2 dan 1,5 juta IJ/m2. Perbedaan ini lebih jelas terlihat pada Gambar 5.
Tabel 1. Hasil Analisa Sidik Ragam Mortalitas Rayap Tanah Akibat Hiterorhabditis
Perlakuan Rata-rata Persentase Mortalitas Rayap Tanah Hari ke
4-16 20-32 36-48 52-60
Kontrol 1,77 d 1,97 d 1,92 c 4,89 d
0,5 juta IJ/m2 11,76 c 40,25 a 37,82 a 29,21 b
1,0 juta IJ/m2 26,30 a 23,63 c 22,70 b 23,91 c
1,5 juta IJ/m2 17,93 b 31,85 b 38,27 a 35,19 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
Gambar 5. Rata-rata Persentase Mortalitas Rayap Tanah Akibat Hiterorhabditis Pada
Konsentrasi 0,0IJ/m2 (P0), 0,5 juta IJ/m2 (P1), 1,0 juta IJ/m2 (P2), dan 1,5 juta IJ/m2 (P3).
Gambar 5 menunjukkan bahwa mortalitas rayap tanah tertinggi terjadi pada konsentrasi 0,5 juta IJ/m2 hari ke 20-32 sebesar 40,254%, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (1 juta IJ/m2 dan 1,5 juta IJ/m2) mortalitas rayap tanah cenderung lebih rendah. Hal ini terjadi karena pada konsentrasi yang terlalu tinggi nematoda entomopatogen mengalami kompetisi dalam hal ruang dan makanan antar nematoda itu sendiri, sehingga proses infeksi
ke serangga inang tidak optimal (Kaya dan Koppenhofer, 1999). Duncan et al. (1999) menyatakan bahwa ukuran aplikasi nematoda entomopatogen yang direkomendasikan untuk mengendalikan serangga di dalam tanah adalah 1,00 milyar IJ/0,4646 ha, yaitu sekitar 0,215
juta IJ/m2. Sedangkan untuk areal sempit
ukuran yang direkomendasikan adalah 0,25
juta IJ/m2. Konsentrasi ini mendekati
0,5 juta IJ/m2. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 4-1 6 2 0-3 2 36-4 8 52-6 0 H a ri K e R a ta -r ata Pers en ta se Mo rtal ita s R aya p Ta na h P 0 P 1 P 3 P 4
Pada hari 4-16 mortalitas rayap tanah masih rendah karena nematoda entomopatogen baru diaplikasikan sehingga nematoda entomopatogen dalam masa adaptasi lingkungan dan masa pencarian inang. Pada hari ke 20-32 mortalitas rayap tanah mulai meningkat karena nematoda sudah banyak yang masuk ke dalam sarang rayap tanah (menemukan inang) dan sudah menyerang rayap tanah. Pada hari ke 36-48 mortalitas rayap tanah masih tinggi karena di dalam sarang, rayap tanah yang sudah terinfeksi nematoda menularkan nematoda ke rayap tanah yang lainnya. Ini sangat menguntungkan pengendalian karena penyebaran nematoda akan semakin luas dan jumlah rayap terinfeksi akan semakin banyak. Hiterorhabditis mampu bertahan dalam tanah sampai hari ke 36-48 karena infektif juvenil mengandung cadangan energi karbohidrat, sehingga meskipun berada di luar inang (tidak makan) infektif juvenil bisa hidup dalam beberapa periode yang lama asalkan kondisi lingkungan baik (kelembaban dan temperatur baik, oksigen cukup tersedia) (Woodring dan Kaya, 1988).
Setelah hari ke 36-48 mortalitas rayap tanah semakin menurun karena persistensi nematoda entomopatogen mulai menurun akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung, sehingga tidak menimbulkan mortalitas rayap tanah yang berarti. Tinggi rendahnya mortalitas rayap tanah selain dipengaruhi oleh persistensi nematoda entomopatogen juga dipengaruhi oleh perilaku
nematoda entomopatogen dan perilaku rayap tanah.
Perilaku Hiterorhabditis yang
mempengaruhi tingkat mortalitas rayap tanah adalah sifatnya yang ambusher (menunggu inang sampai mendekat dan kemudian menyerangnya), sehingga menyebabkan mortalitas rayap tanah yang rendah (Gaugler, 1999; dan Berry, 2000). Namun kondisi ini bisa diatasi karena mobilitas rayap tanah yang tinggi, sehingga Hiterorhabditis lebih efektif menyerang rayap tanah (Gaugler, 1993).
Perilaku rayap tanah yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah adanya feromon penanda jejak (trail laying
pheromone) yang dikeluarkan oleh rayap kasta
pekerja dan akan diikuti oleh rayap yang ada di belakangnya, sehingga kemungkinan kontak antara Hiterorhabditis dengan rayap tanah semakin besar (Nandika et al., 1999). Feromon penanda jejak ini dikeluarkan dari kelenjar sternum (sternal glanddi bagian bawah, belakang abdomen) (Tarumingkeng, 2001). Perilaku lain yang menyebabkan peningkatan mortalitas rayap tanah adalah kebiasaan bersinggungan pada rayap tanah saat berpapasan / trofalaksis (perilaku berkerumun diantara anggota-anggota koloni dan saling menjilat anus dan mulut). Trofalaksis ini bertujuan untuk menularkan protozoa dan menyebarkan feromon dasar pada koloni rayap tanah (Tarumingkeng, 2001; Tambunan dan Nandika, 1989). Dengan perilaku ini secara tidak langsung akan memudahkan penyebaran
Hiterorhabditis yang melakukan penetrasi
mmelalui lubang-lubang alami seperti mulut, anus, dan spirakel atau penetrasi langsung melalui integumen (Sulistyanto dan Ehlers, 1996). Perilaku lain yang mempengaruhi mortalitas rayap tanah adalah sifat kanibalisme pada kasta pekerja, yaitu membunuh serta memakan rayap-rayap yang tidak reproduktif (karena sudah tua, sakit, atau malas) baik pada kasta reproduktif, kasta prajurit, maupun pada kasta pekerja sendiri (Tambunan dan Nandika, 1989). Kanibalisme ini berfungsi untuk mempertahankanprinsip efisiensi dan konservasi energi serta berperan dalam pengaturan homeostatika (keseimbangan kehidupan) koloni rayap tanah (Tarumingkeng, 2001).
Selain perilaku rayap dan perilaku nematoda, terdapat satu hal yang juga mempengaruhi mortalitas rayap tanah, yaitu suhu optimum. Suhu dalam tanah merupakan faktor pembatas nematoda entomopatogen (Klein, 1990). Secara umum nematoda entomopatogen meningkat aktifitasnya hingga 80% pada suhu 21-30°C dan menurun hingga 40% pada suhu 12-16°C (Pioner, 1984). Beberapa jenis Hiterorhabditis membutuhkan suhu optimum untuk melakukan reproduksi. Suhu optimum untuk Hiterorhabditis adalah 20-32°C (Grewal et al., 1994).
Pada umumnya gejala serangga yang terserang oleh nematoda entomopatogen adalah adanya perubahan warna tubuh, tubuh menjadi lembek, dan bila dibedah konstitusi
jaringan menjadi lunak berair. Gejala serangan muncul hanya pada fase primer bakteri, yaitu awal nematoda masuk sekaligus mengeluarkan bakteri simbion dalam tubuh serangga sampai dua hari setelah penetrasi (Simoes dan Rosa, 1996). Gejala serangan Hiterorhabditis pada rayap tanah (Macrotermes sp.) ditandai dengan perubahan warna permukaan tubuh rayap tanah menjadi coklat karamel sampai coklat tua (gelap). Kutikula rayap tanah menjadi transparan setelah lebih dari 48 jam terinfeksi
Hiterorhabditis, karena aktivitas enzimatis
bakteri Photorhabdus yang menyebabkan hancurnya jaringan tubuh serangga inang menjadi lunak berair dan lama-lama akan hancur (Simoes dan Rosa, 1996). Gejala mortalitas rayap tanah (Macrotermes sp.) terlihat pada Gambar 6.
Dalam penelitian ini sasaran nematoda entomopatogen adalah rayap tanah semua kasta (raproduktif, prajurit, dan pekerja). Saat dilakukan pembongkaran terhadap sarang rayap tanah, ketiga kasta tersebut ditemukan (Gambar 7). Namun mortalitas terbanyak terjadi pada kasta pekerja, karena kasta pekerja jumlahnya paling banyak dan mobilitasnya paling tinggi diantara kasta yang lain. Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Tidak kurang dari 80 % populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu kasta pekerja (Tarumingkeng, 1992). Mobilitas yang tinggi berkaitan dengan tugas yang diemban oleh kasta pekerja yaitu sebagai
pencari sumber makanan dan bekerja terus menerus tanpa henti (24 jam), memberi makan dan memelihara ratu, menumbuhkan jamur dan memeliharanya, merawat telur dan rayap muda serta memindahkannya pada saat terancam ke tempat yang lebih aman, membuat dan memelihara sarang, serta membunuh dan memakan rayap-rayap yang tidak produktif, sehingga hanya rayap yang kuat saja yang dipertahankan (Tambunan dan Nandika, 1989; Nandika etal., 1999; Rismayadi, 2001).
Pengujian Persistensi Hiterorhabditis (All Strain) dengan Ekstraksi Tanah Metode
Baermann Asli
Keberadaan nematoda entomopatogen dalam tanah diketahui melalui ekstraksi tanah. Metode ekstraksi tanah ada beberapa macam, salah satunya adalah metode Baermann Asli. Metode tersebut digunakan dalam penelitian ini karena mudah dalam pengerjaannya dan akan didapatkan nematoda entomopatogen baik yang aktif (dauer juvenil) maupun yang pasif, sehingga populasi nematoda entomopatogen dalam tanah dapat
terdeteksi.Populasi Hiterorhabditis dalam
tanah terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisa Sidik Ragam Persistensi Hiterorhabditis
Perlakuan Rata-rata Populasi Nematoda Hari ke
4-16 20-32 36-48 52-60
Kontrol 0,00 d 0,00 d 0,00 b 0,00 b
0,5 juta IJ/m2 367,94 c 89,19 b 60,61 a 48,22 a
1,0 juta IJ/m2 456,86 b 71,52 c 50,19 a 41,12 a
1,5 juta IJ/m2 638,86 a 110,36 a 62,52 a 44,66 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
Berdasarkan Tabel 2 masing-masing konsentrasi (0,0 juta IJ/m2, 0,5 juta IJ/m2, 1 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2) terjadi perbedaan yang nyata (ditunjukkan dengan notasi yang berbeda tiap perlakuan). Ini menunjukkan bahwa populasi nematoda semakin tinggi seiring dengan peningkatan konsentrasi. Namun setelah beberapa hari populasi nematoda tidak ada perbedaan pada konsentrasi 0,5 juta IJ/m2, 1 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2 (ditunjukkan dengan notasi yang
sama). Ini menunjukkan bahwa populasi nematoda sama meskipun konsentrasi ditingkatkan. Sedangkan pada konsentrasi 0,0 juta IJ/m2 populasi nematoda berbeda dengan konsentrasi yang lainnya karena perlakuan ini merupakan kontrol (tidak diaplikasi nematoda). Berdasarkan keterangan diatas diketahui bahwa konsentrasi yang baik adalah
0,5 juta IJ/m2 karena populasi nematoda
dengan konsentrasi 1,0 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2.
Bila dilihat dari waktu aplikasi, dari hari ke hari populasi nematoda semakin turun. Ini ditunjukkan dengan jumlah nematoda pada hari ke 4-16 lebih tinggi dari hari ke 20-32 (pada konsentrasi 0,5 juta IJ/m2,1 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2) demikian seterusnya sampai hari ke 52-60. Populasi nematoda berbeda nyata pada hari ke 4-16 dan 20-32, sedangkan pada hari ke 36-48 dan 52-60 tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh penurunan persistensi Hiterorhabditis setelah hari ke 36-48. Persistensi nematoda entomopatogen dipengaruhi oleh pH dalam tubuh serangga inang dan stadia nematoda entomopatogen.
Apabila pH dalam tubuh serangga inang tidak mendukung perkembangan bakteri simbion nematoda entomopatogen, maka pertumbuhan bakteri simbion dalam tubuh serangga akan terhambat (Schirocki dan Haque, 1997). Terhambatnya bakteri simbion akan memperlambat kematian serangga inang (Strauch dan Ehlers, 1998) dan menghambat perkembangan nematoda entomopatogen, karena tanpa adanya bakteri simbion nematoda entomopatogen tidak akan berkembang dengan baik, demikian pula sebaliknya (Ehlers dan Peters, 1995). Fungsi bakteri simbion bagi nematoda entomopatogen adalah : (1) dapat membunuh inang dengan cepat (24-48 jam), (2) membuat suasana lingkungan yang sangat cocok bagi perkembangan nematoda entomopatogen dengan memproduksi
antibiotik yang dapat menghambat mikroorganisme sekunder , dan (3) menyediakan sumber nutrisi yang siap pakai untuk nematoda entomopatogen. Sedangkan fungsi nematoda entomopatogen bagi bakteri adalah melindungi bakteri dari lingkungan eksternal yang merugikan dan kemungkinan adanya toksin yang dikeluarkan oleh serangga inang (protein anti bakteri) (Kaya dan Gaugler, 1993 dalam Sulistyanto, 1998; Ehlers dan Peters, 1995).
Stadia nematoda entomopatogen yang mempengaruhi persistensinya adalah stadia juvenil. Timper dan Kaya (1989) dalam Glazer
et al. (1996) menerangkan bahwa hanya fase
infektif juvenil yang dapat bertahan hidup di luar inang. Fase ini tidak makan dan bergantung sepenuhnya pada cadangan internal untuk sumber energinya. Nematoda entomopatogen dapat bertahan hidup (persisten) dalam lingkungan tanah yang ekstrem karena kutikulanya yang tebal dan lubang alaminya (mulut dan anus) tertutup (Campbell dan Gaugler, 1991). Kadang-kadang stadia juvenil III masih terbungkus dalam kulit juvenil II yang merupakan stadia resisten terhadap lingkungan dan serangga. Stadia juvenil III ini memiliki tingkat patogenesitas tertinggi (Timper dan Kaya, 1989; Campbell dan Gaugler, 1991; Tanaka dan Kaya, 1993; dan Ehlers dan Peters, 1995).
Persistensi nematoda entomopatogen tidak hanya dipengaruhi oleh kedua hal diatas, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan
abiotik. Menurut Inshibashi dan Kondo (1990), Kaya (1990), dan Womersley (1990) faktor biotik yang mempengaruhi yaitu ketersediaan makanan dan kemampuan untuk menemukan inang di dalam tanah. Sedangkan menurut Kung et al. (1990) faktor abiotik yang mempengaruhi persistensi nematoda entomopatogen di dalam tanah adalah oksigen, pH, kelembaban, dan temperatur tanah.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rata-rata temperatur di lapang (kedalaman tanah 5-10 cm) adalah 27,21°C pada pagi hari dan 28,93°C pada sore hari serta 24,79°C pada pagi hari dan 25,71°C pada sore hari (kedalaman tanah 25 cm). Temperatur di lapang tersebut mendekati temperatur optimum bagi perkembangan nematoda entomopatogen yaitu 23°C (Simoes dan Rosa, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa nematoda entomopatogen bisa berkembang di lapang. Temperatur diamati pada kedalaman 5- 10 cm dan 25 cm karena aplikasi Hiterorhabditis dari permukaan sarang rayap tanah dan distribusi vertikal dari Hiterorhabditis. antara 5 – 20 cm sedangkan distribusi vertikal dari
Hiterorhabditis antara 0-5 cm dalam tanah
(Ferguson et al., 1995). Distribusi vertikal
Hiterorhabditis rendah. Kelembaban tanah
yang diperoleh dari pengamatan sebesar 6,37 %. Kelembaban ini kecil sekali karena kondisi sarang rayap tanah sangat kering sehingga menghambat distribusi Hiterorhabditis dalam tanah. Derajad keasaman tanah (pH) dari
sarang rayap adalah 7,17. Kondisi ini merupakan basa dan mendekati pH optimum bagi nematoda entomopatogen yaitu pH=8, sehingga nematoda entomopatogen dapat bertahan dilapang (Simoes dan Rosa, 1996).
Faktor abiotik lain yang mempengaruhi persistensi nematoda entomopatogen adalah oksigen tanah. Tekstur tanah pada sarang rayap tanah di lapang adalah lempung dan pada permukaan gundukan sarang ditumbuhi rumput-rumput .
Beberapa penelitian melaporkan bahwa persistensi nematoda entomopatogen dalam tanah berumput berkisar antara satu bulan (Jackson dan Trought, 1982; Forschler dan Gardner, 1991) sampai satu tahun (Klein dan Georgis, 1992). Nematoda entomopatogen hidup dalam filum-filum air dan rongga-rongga antar partikel tanah. Nematoda entomopatogen membutuhkan air untuk bergerak menuju inang dan membutuhkan oksigen untuk bertahan (Miles et al., 2000). Tanah lempung mengikat air dengan baik, tetapi menyebabkan oksigen sedikit dan pori-pori tanah kecil sehingga membatasi pergerakan nematoda entomopatogen dalam tanah. Kondisi tanah yang baik untuk
Hiterorhabditis adalah lempung berpasir
(Fergusson et al., 1995) karena pori-pori tanah lebih besar dan tidak mengikat air, sehingga oksigen dalam tanah lebih banyak, akibatnya nematoda entomopatogen tahan lebih lama.
Gambar 9. Rata-rata Populasi Nematoda Hasil Ekstraksi Tanah Metode Baermann Asli Pada Konsentrasi 0,0 IJ/m2 (P0), 0,5 juta IJ/m2(P1), 1,0 juta IJ/m2(P2), dan 1,5 juta IJ/m2(P3).
Gambar 9 menunjukkan populasi
Hiterorhabditis semakin menurun dari hari ke
hari. Dari 100 gram sampel tanah yang diekstraksi, populasi tertinggi terdapat pada hari ke 4-16 pada konsentrasi 1,5 juta IJ/m2 sebesar 638,86ekor. Selanjutnya populasi terendah terjadi pada hari ke 52-60 konsentrasi 1 juta IJ/m2 sebesar 41,12ekor. Penurunan ini disebabkan oleh mobilitas 41,12yang masuk ke dalam tanah untuk mencari inang (rayap) atau bahkan sudah menemukan inang (rayap) dan masuk ke dalam tubuh inang (rayap). Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah
Hiterorhabditis mati karena radiasi sinar ultra
violet atau kondisi sarang yang terlalu kering.
Hiterorhabditis. sensitif terhadap radiasi sinar
ultra violet, karena menyebabkan kerusakan pada kutikula tubuhnya sehingga nematoda entomopatogen menjadi lisis. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa persistensi
Hiterorhabditis terjadi sampai hari ke 36-48
yang dibuktikan dengan penurunan yang konstan pada populasi Hiterorhabditis setelah hari ke 36-48.
Pengujian Persistensi Steinernema
carpocapsae (All Strain) Melalui
Bioassay 2 : 1
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui patogenesitas / kemampuan
Hiterorhabditis dalam menyerang serangga uji
(T. molitor / G. melonella) setelah beberapa hari berada di lapang. Persentase mortalitas serangga uji terlihat pada tabel 3.
0 100 200 300 400 500 600 700 4-16 20-32 36-48 52-60 Hari ke
Rata-rata Populasi Nematoda /
100 gram sampel tanah
Tabel 3. Hasil Analisa Sidik Ragam Pengujian Patogenesitas Melalui Bioassay 2:1
Perlakuan
Rata-rata Persentase Mortalitas Serangga Uji Dalam Uji Bioassay Hari ke 4-16 20-32 36-48 52-60 Kontrol 0,000 d 0,000 d 0,000 d 0,000 d 0,5 juta IJ/m2 13,99 c 26,88 c 10,98 c 4,77 c 1,0 juta IJ/m2 16,88 b 32,59 b 15,86 b 14,96 b 1,5 juta IJ/m2 28,87 a 40,98 a 23,75 a 25,68 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5%
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa masing-masing konsentrasi menunjukkan nilai mortalitas serangga uji yang berbeda nyata (ditunjukkan dengan notasi antar perlakuan yang tidak sama). Mortalitas tertinggi terjadi
pada konsentrasi 1,5 juta IJ/m2 sebesar
40,98%. Ini berarti bahwa Hiterorhabditis mampu menimbulkan kematian pada serangga uji dalam waktu 24-48 jam setelah kontak dengan inang. Terdapat hubungan antara mortalitas inang dengan nematoda yang masuk dalam tubuh inang yang digunakan sebagai ukuran infektivitas nematoda entomopatogen
(Caroli et al., 1996). Matinya serangga uji ini sebagai bukti bahwa patogenesitas nematoda entomopatogen masih tinggi (Simoes dan Rosa, 1996).
Mortalitas serangga uji dari hari ke hari mengalami fluktuasi. Pada hari ke 4-16 mortalitas masih rendah (pada semua konsentrasi). Pada hari ke 20-32 mortalitas serangga uji mengalami peningkatan. Selanjutnya pada hari ke 36-48 dan 52-60 mortalitas serangga uji cenderung menurun. Fluktuasi mortalitas serangga uji lebih jelas terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Rata-rata Persentase Mortalitas Galleria melonella Dalam
Bioassay 2:1 Pada Konsentrasi 0,0 IJ/m2 (P0), 0,5 juta IJ/m2(P1),
1,0 juta IJ/m2(P2), dan 1,5 juta IJ/m2(P3).
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 4-16 20-32 36-48 52-60 Hari ke
Rata-rata Persentase Mortalitas
Galleria melonella
Gambar 10 menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi serangga uji terjadi pada hari ke 20-32 (pada konsentrasi 0,5 juta IJ/m2, 1,0 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2). Ini terjadi karena nematoda sudah mengalami siklus hidup di dalam tubuh inang (rayap). Chaerani (1996) menyatakan bahwa dalam satu tubuh inang (serangga) nematoda dapat berkembang biak dua sampai tiga generasi (satu generasi berlangsung 10-14 hari). Selanjutnya Kaya dan Stock (1997) juga menyatakan bahwa dua sampai tiga minggu setelah berkembang dalam tubuh inang, infektif juvenil akan meninggalkan kadaver inang dan mencari inang baru.
Pada hari ke 4-16 nematoda masih melakukan pencarian dan penetrasi terhadap inang (rayap), dua sampai tiga minggu kemudian (pada hari ke 20-32) nematoda telah menyelesaikan siklus hidupnya dan keluar dari kadaver inang (rayap) berupa dauer juvenil. Dauer juvenil merupakan kondisi nematoda yang paling infektif, karena nematoda sedang memerlukan makanan (mencari inang) untuk siklus hidup selanjutnya. Sehingga saat pengambilan sampel tanah ekstraksi di lapang nematoda entomopatogen dalam keadaan dauer juvenil. Inilah yang menyebabkan peningkatan mortalitas serangga uji. Selanjutnya pada konsentrasi 0,5 juta IJ/m2, 1,0 juta IJ/m2, dan 1,5 juta IJ/m2 mortalitas serangga uji cenderung menurun setelah hari ke 20-32. Ini terjadi karena patogenesitas nematoda berkurang (nematoda sudah lemah)
akibat kondisi lapang yang tidak mendukung (kelembaban rendah / kering).
Mortalitas tertinggi terjadi pada
konsentrasi 1,5 juta IJ/m2 karena
dipengaruhi olehviabilitas (kemampuan untuk bertahan hidup) nematoda entomopatogen itu sendiri. Mekanisme pertahanan diri mempengaruhi kemampuan nematoda entomopatogen untuk persisten di dalam tanah. Penggunaan spesies nematoda entomopatogen yang mempunyai viabilitas tinggi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem akan meningkatkan efektivitasnya bila diaplikasikan di lapang (Glazer, 1996).
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi patogenesitas nematoda entomopatogen selain kelembaban adalah suhu lingkungan dan pH dalam tubuh serangga inang. Suhu lingkungan yang tidak mendukung akan menggagalkan proses penetrasi nematoda entomopatogen ke dalam tubuh serangga inang dan akan menimbulkan kematian pada nematoda entomopatogen (Griffin et. al., 1996). Sedangkan pH dalam tubuh serangga yang tidak mendukung perkembangan bakteri simbion nematoda entomopatogen juga akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion dalam tubuh serangga (Schirocki and Hague, 1997). Perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat akan memperlambat kematian serangga inang (Strauch and Ehlers, 1998).
Pengujian Persistensi Hiterorhabditis (All Strain) Metode Perangkap
Metode lain untuk mengetahui persistensi nematoda entomopatogen di dalam tanah adalah dengan metode perangkap, yaitu membuktikan ada atau tidaknya nematoda entomopatogen yang masuk ke dalam tubuh
serangga uji (T. molitor/G. melonella). Masuknya nematoda
entomopatogen ke dalam tubuh serangga uji ditandai dengan matinya serangga uji (Fergusson et al., 1995). Terdapat hubungan antara mortalitas inang dengan nematoda yang masuk dalam tubuh inang yang digunakan sebagai ukuran infektivitas nematoda entomopatogen, sehingga semakin banyak nematoda entomopatogen yang masuk ke dalam tubuh inang maka semakin besar mortalitas inang (Caroli et al., 1996).
Pengamatan pada uji pengumpanan dilakukan setiap empat hari sekali karena serangan dari nematoda entomopatogen dalam uji pengumpanan akan terlihat setelah empat hari (Ferguson et al., 1995). Gejala serangan nematoda entomopatogen terlihat pada warna kadaver serangga uji (Poinar, 1984). Jika gejala infeksi nematoda entomopatogen tidak terlihat secara visual, maka kadaver serangga uji dibedah dibawah mikroskop untuk mengetahui nematoda entomopatogen yang masuk dalam tubuh serangga uji atau bisa juga dengan white trap agar infektif juvenil dapat keluar dari tubuh kadaver inang setelah 4 – 7 hari (Fergusson et al., 1995). Persentase mortalitas serangga uji terlihat pada Gambar 11
Gambar 11. Rata-rata Mortalitas Galleria melonella Metode Pengumpanan Pada Konsentrasi 0,0 IJ/m2 (P0), 0,5 juta IJ/m2(P1), 1,0 juta IJ/m2(P2), dan 1,5 juta IJ/m2(P3).
Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa mortalitas tertinggi adalah 66,667% pada konsentrasi 1,5 juta IJ/m2 dan terjadi pada hari ke 16, 28, dan 40. Setelah hari ke 52 mortalitas tidak terjadi pada semua konsentrasi. Mortalitas tidak terjadi pada
serangga uji karena patogenesitas nematoda sudah menurun.
Mortalitas terjadi karena di dalam tanah pengujian yang diambil dari lapang mengandung nematoda, sehingga mampu menyerang serangga uji. Namun meskipun
0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 4 1 6 2 8 4 0 5 2 6 0 H a r i k e Rata-rata Persentase M o rtalitas Ga lleria melo nella P 0 P 1 P 2 P 3
dalam tanah mengandung nematoda tetapi serangga uji tidak mati, maka nematoda tersebut sudah lemah atau mati akibat pengaruh lingkungan (kondisi tanah pada sarang terlalu kering atau nematoda terlalu lama tidak menemukan makanan sehingga patogenesitasnya berkurang).
Kemampuan nematoda membunuh inang dipengaruhi oleh kemampuan bakteri simbionnya. Sedangkan kemampuan bakteri simbion dalam membunuh inang terkait dengan substrat yang dikeluarkan oleh bakteri (seperti protease, lipase, lecithinase, DNA-ase, dan phosphatase) serta adanya entomotoksin (eksitiksin dan endotoksin) yang mempengaruhi proses kematian pada serangga (Boemare et al.,1996). Proses kematian tersebut mengasilkan perilaku yang progresif dan berlanjut dengan kelumpuhan dan kejang-kejang otot selama tujuh menit sebelum serangga mati (Simoes, 1996).
Beberapa bakteri simbion (Photorhabdus spp.dan Xenorhabdus spp. (kecuali X. poinarii)) sedikitnya bersifat patogenik terhadap G. melonella, tetapi sebagian besar patogenik terhadap serangga pertanian (Sholikhah, 2002). Sehingga dalam uji pengumpanan ini patogenesitas pada G.
melonella rendah.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Mortalitas tertinggi Macrotermes sp.
akibat Hiterorhabditis terjadi pada
konsentrasi 0,5 juta IJ/m2 sebesar 40,25 persen.
2. Persistensi Hiterorhabditis terjadi sampai pada hari ke 36-48.
3. Faktor abiotik yang mempengaruhi
persistensi Hiterorhabditis di lapang
adalah oksigen, derajat keasaman (pH), kelembaban, dan temperatur tanah.
4. Populasi Hiterorhabditis menurun seiring dengan pertambahan waktu.
5. Patogenesitas tertinggi Hiterorhabditis terjadi pada hari ke 20-32 berdasarkan mortalitas rayap tanah, uji bioassay 2 : 1, dan uji pengumpanan.
Saran
1. Untuk mengendalikan rayap tanah di lapang sebaikknya menggunakan konsentrasi 0,5 juta IJ/m2.
2. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal hendaknya diperhatikan metode aplikasi dan waktu aplikasi yang tepat (sore hari dan kondisi lembab).