• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pemanfaatan Steinernema sp. Isolat Lokal terhadap Penggerek Buah Kopi Hypothenemus hampei (Coleoptera: Curculionidae) di Laboratorium dan Lapangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Pemanfaatan Steinernema sp. Isolat Lokal terhadap Penggerek Buah Kopi Hypothenemus hampei (Coleoptera: Curculionidae) di Laboratorium dan Lapangan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hypothenemus hampei Ferrari (Coleoptera: Curculionidae)

Penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei (Ferrari) (Coleoptera:

Curculionidae) pertama kali ditemukan di Uganda tahun 1867. Hama ini

kemudian menyebar ke berbagai areal pertanaman kopi di dunia. Di Indonesia, H.

hampei pertama kali ditemukan tahun 1909 di perkebunan Lampegan, Jawa Barat

yaitu menyerang tanaman kopi jenis Liberika. Penyebaran hama ini di Indonesia

diduga melalui pemasukan kopi dari Uganda (Sulistyowati, 1992; Susilo, 2008).

1. Biologi H. hampei

Penggerek buah kopi mengalami 4 (empat) tahap perkembangan yaitu

stadium telur, larva, pupa dan dewasa (imago). Seluruh stadia telur, larva dan

pupa berada di dalam buah kopi. Imago betina meninggalkan buah ketika semua

jaringan buah habis dimakan untuk melanjutkan bertelur di buah lain (Barrera,

1994 dalam Damon, 2000).

Hasil penelitian Benavides et al. (2012) menunjukkan kumbang betina

masuk ke dalam buah kopi dan menggerek di dalam biji kopi untuk bertelur 2-3

butir per hari sampai 20 hari. Menurut Barrera (1994) dalam Damon (2000)

imago betina dapat meletakkan telur antara 31-119 butir pada satu buah kopi yang

matang. Namun Kalshoven (1981) menyatakan bahwa imago betina H. hampei

dapat meletakkan telur sekitar 70 butir selama hidupnya. Menurut Direktorat

Jenderal Perkebunan (2011) telur diletakkan di dalam biji kopi, menetas dan

berkembang didalamnya sampai buah kopi matang baik yang masih di pohon

maupun yang gugur di tanah. Setiap buah diserang oleh satu ekor imago betina

(2)

berlangsung hingga 20 hari (Jaramillo et al. 2006). Hasil penelitian Damon (2000)

menunjukkan pada suhu 270C lama stadium telur berkisar 4 hari.

Larva tidak bertungkai dan mempunyai kepala yang agak jelas, berwarna

putih dan pada bagian mulut berwarna coklat. Lama stadium larva berkisar 10-26

hari dengan masa prapupa 2 hari. Larva jantan mengalami pergantian kutikula

satu kali sedangkan betina dua kali (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1996).

Pupa berwarna putih dengan panjang 1,9 mm dan lebar 0,74 mm

(Direktorat Jenderal Perkebunan, 1996). Masa pupa berlangsung antara 5-11 hari.

Namun menurut Damon (2000) pada suhu 270C masa pupa berlangsung selama 7

hari.

Imago merupakan kumbang berwarna hitam kecoklatan. Warna antena dan

tungkai lebih muda dibanding warna badan. Badan berbentuk agak bulat pendek

dan ditutupi oleh bulu-bulu. Kumbang betina berukuran panjang 1,7 mm dan lebar

0,6-0,7 mm. Kumbang jantan berukuran panjang 1,2 mm dan lebar 0,6 mm.

Imago betina bisa terbang, sedangkan jantan tidak. Imago betina terbang sore hari

mulai pukul 16.00 sampai 18.00 (Prastowo et al. 2010). Kumbang betina H.

hampei memiliki daya jangkau hingga mencapai jarak sejauh 345 m,

menggunakan sayap dan dapat juga dibantu angin (Damon, 2000).

Kumbang-kumbang yang baru terbentuk di dalam buah akan melakukan

perkawinan sesamanya (sibling). Rasio antara kumbang betina dan kumbang

jantan sekitar 10:1 (Susilo, 2008; Prastowo et al. 2010). Sedangkan menurut

Direktorat Jenderal Perkebunan 1996 perbandingan betina dan jantan adalah 20:1.

Setelah proses kawin kumbang betina akan meninggalkan buah untuk mencari

(3)

jantan akan tinggal di dalam buah. Aktivitas infestasi dilakukan pada sore hari.

Kumbang H. hampei mampu bertahan lebih dari 5 bulan di dalam buah, baik

pada buah yang masih melekat di pohon maupun buah yang sudah gugur (Susilo,

2008).

Siklus hidup H. hampei bervariasi. Siklus tahunan H. hampei sangat

terkait dengan tanaman kopi dan panen. Pada musim kering, imago betina

semi-aktif dalam buah menunggu hujan untuk merangsang munculnya buah baru agar

dapat memulai siklus berikutnya (Damon, 2000).

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan 1996 perkembangan sejak telur

sampai dewasa memerlukan waktu antara 25-35 hari dengan rata-rata 27,5 hari.

Dalam satu tahun dapat terjadi sekitar 8-10 generasi. Kumbang jantan hidup

antara 50-75 hari, sementara betina antara 100-150 hari (Benavides et al. 2012).

Menurut Kalshoven (1981) imago betina hidup selama 55 hari (maksimum 95

hari). Bila terdapat buah hijau di lapangan, betina dapat hidup selama 65 hari dan

maksimum 115 hari dan mengurangi produksi telur menjadi 35 butir.

Hasil penelitian Damon (2000) menunjukkan bahwa siklus hidup

H. hampei berkisar 28-34 hari. Namun imago jantan dapat hidup selama 20-87

hari sedangkan betina rata-rata selama 157 hari. Daya hidup yang lama bagi

kumbang H. hampei tersebut memungkinkan infestasi dapat dilakukan pada

periode panen berikutnya. Buah-buah yang tidak terpanen atau pun buah yang

(4)

2. Gejala Serangan dan Kerusakan

Hypothenemus hampei hanya menyerang buah kopi muda dan tua, tetapi

tidak menyerang daun, cabang atau batang. Imago betina penggerek buah kopi

menyerang buah dari umur delapan minggu setelah berbunga hingga musim panen

(>32 minggu). Kumbang betina ini membuat lubang ke dalam buah kopi mulai

ujung buah baik biji yang masih di pohon maupun yang telah jatuh ke tanah dan

membuat jalur gerekan ke dalam biji kopi untuk menyimpan telur. Larva juga

makan di dalam biji kopi (Bittenbender et al. 2013). Lubang gerekan berbentuk

bulat dengan diameter 1 mm dan umumnya dijumpai pada ujung buah (Gambar

1). Lubang ini kadang-kadang sukar dilihat karena sering tertutupi oleh kotoran

dari gerekan kumbang. Buah kopi yang terserang H. hampei akan berlubang

(Direktorat Jenderal Perkebunan, 1996).

Menurut Wiryadiputra (1994) H. hampei umumnya menyerang buah kopi

yang bijinya (endosperma) telah mengeras, namun biji kopi yang belum

mengeraspun yang telah berdiameter lebih dari 5 mm juga kadang-kadang

diserang. Buah-buah yang bijinya masih lunak umumnya tidak digunakan sebagai

tempat berkembang biak tetapi hanya digerek untuk mendapatkan makanan

sementara dan selanjutnya ditinggalkan lagi. Kerusakan yang ditimbulkan pada

serangan demikian kadang justru lebih berat, karena buah menjadi tidak

berkembang, berubah warna menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur.

Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan

jumlah dan mutu hasil. H. hampei makan dan bereproduksi di dalam endosperma

(5)

endokarp dalam kondisi optimal hingga 8 jam (Damon, 2000;

Jaramillo et al. 2006).

Terdapat tiga jenis kerusakan yang telah dilaporkan: 1) Jatuhnya buah

muda dengan cepat; 2) Meningkatkan kerentanan buah matang terhadap infeksi

jamur dan bakteri; dan 3) Penurunan hasil dan mutu kopi, sehingga mengurangi

pendapatan petani. Penggerek buah kopi dapat menyebabkan kehilangan hasil

30-35% dengan 100% kerusakan buah pad a saat panen. Walaupun sudah terserang

H. hampei sebesar 100%, biji kopi masih dapat djual atau masih memiliki nilai

ekonomi sehingga kehilangan hasil dapat ditekan. Kerusakan mungkin lebih besar

jika panen tertunda (Damon, 2000).

Kerusakan yang disebabkan oleh H. hampei terutama menyebabkan

pengurangan hasil kopi karena gugurnya buah, kurangnya bobot buah dan

penurunan kualitas kopi hingga pengurangan harga jual. Diperkirakan bahwa ada

penurunan 55% berat biji yang diserang H. hampei, namun penurunan berat dari

total produksi kopi sekitar 18%. H. hampei juga menyerang buah muda (berumur

kurang dari 20 minggu setelah berbunga) yang mengakibatkan gugurnya 32%

buah muda. Selanjutnya, H. hampei menyebabkan kehilangan hasil 40-80% pada

infestasi serangan 90%. Hal ini berarti serangan H. hampei pada biji kopi tidak

langsung mengakibatkan biji kopi tidak dapat dijual namun masih memiliki nilai

ekonomi sehingga nilai kehilangan hasil dapat ditekan. Peraturan pemasaran

internasional tidak memungkinkan kopi yang memiliki kerusakan 1,5% oleh

serangga untuk diekspor, dengan demikian harga kopi di negara-negara produsen

(6)

Gambar 1. Gejala serangan H. hampei pada buah kopi

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan H. hampei

Dinamika populasi dan pola infestasi oleh H. hampei erat kaitannya

dengan faktor iklim seperti curah hujan dan kelembaban relatif serta fisiologi

kopi tanaman. Isi bahan kering dari endosperm adalah faktor yang paling penting

menentukan serangan H. hampei dan kecepatan penetrasi ke dalam buah kopi.

Biji dengan <20 % kandungan bahan kering yang baik ditinggalkan setelah

serangan awal atau imago betina menunggu dalam lubang gerekan eksokarp

sampai endosperm memiliki jumlah akumulasi isi bahan kering yang cukup

untuk pengembangan keturunannya. Imago jantan tinggal bersama larva di

dalam buah dan tidak meninggalkan buah (Jaramillo et al. 2006).

Pertanaman kopi dengan penaung yang berlebihan (gelap) mendukung

perkembangan H. hampei lebih baik bila dibandingkan pertanaman dengan

kondisi penaung kurang (terbuka). Pada pertanaman dengan penaungan rapat,

dilaporkan bahwa buah yang terinfestasi H. hampei 5 kali lebih banyak dan

perkembangan H. hampei lebih cepat dibandingkan pada pertanaman dengan

penaungan kurang (terbuka). Demikian juga pertanaman yang pembuahannya

(7)

Infestasi pertama terjadi dalam buah yang melekat pada ranting tapi

reproduksi terus terjadi dalam buah yang jatuh ke tanah dan biji panen selama

kelembaban sesuai. Suhu optimum untuk perkembangan H. hampei berkisar

25-26oC sedangkan kelembaban optimum yang dibutuhkan berkisar antara 90-95%

(Baker et al. 1994 dalam Susilo, 2008).

4. Teknik Pengendalian

Strategi berbeda diperlukan untuk mengendalikan H. hampei seperti kultur

teknis, konservasi musuh alami dan pemanfaatan musuh alami eksotis serta

patogen serangga (Benavides et al. 2012). Strategi-strategi ini tercakup dalam

konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dalam kasus H. hampei program

PHT telah didefinisikan sebagai penggunaan seri tindakan pengendalian untuk

mengurangi populasi H. hampei ke tingkat di bawah ambang kerusakan ekonomis

sehingga produksi kopi petani dapat diekspor secara kompetitif (Benavides et al.

2012).

Pengendalian secara kultur teknis dilakukan terutama bertujuan untuk

memutus daur hidup H. hampei. Teknik yang dilakukan antara lain melakukan

petik bubuk, lelesan dan racutan. Petik bubuk adalah panen awal untuk memetik

buah kopi yang terserang. Lelesan adalah mengambil semua buah yang jatuh di

tanah agar tidak menjadi sumber hama. Racutan adalah memanen semua buah

kopi yang masih ada di pohon meskipun masih hijau dan belum masak sampai

akhir panen (Rahardjo, 2013).

Komponen kultur teknis lain antara lain penyiangan, pemupukan,

pemangkasan produksi dan sanitasi bagian tanaman yang tidak produktif serta

(8)

pengolahan tanah ringan dapat mempertahankan lengas tanah lebih tinggi

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Salah satu manfaat

pemangkasan adalah mempermudah masuknya cahaya, mengurangi serangan

hama dan penyakit tanaman serta mempermudah pengendalian hama dan penyakit

(Rosmahani et al. 2005; Prastowo et al. 2010).

Pengutipan buah secara manual digabung dengan sanitasi buah yang jatuh

ke tanah sangat efektif di Kolombia untuk mengendalikan H. hampei, namun

biaya tenaga kerja sangat mahal. Mengingat tingginya biaya pengutipan

buah-buah yang jatuh di atas tanah maka diperlukan metode alternatif seperti

penggunaan nematoda entomopatogen untuk mengendalikan H. hampei yang

terdapat di dalam buah-buah yang jatuh di atas tanah (Manton et al. 2012).

Banyak musuh alami dari H. hampei yang telah dilaporkan seperti

parasitoid, predator dan patogen (nematoda dan jamur). Penyemprotan jamur

entomopatogen Beauveria bassiana telah lama diketahui dapat mengendalikan

serangan H. hampei (Damon, 2000; Benavides et al. 2012).

Parasitoid pertama yang dilaporkan dalam literatur adalah Prorops

nasuta. P. nasuta dapat diproduksi secara massal dengan menggunakan buah kopi

yang terinfestasi H. hampei. Parasitoid lain adalah Cephalonomia stephanoderis

yang merupakan ektoparasitoid larva dan pupa H. hampei. C. stephanoderis dapat

menyebabkan tingkat parasitisme mendekati 50% (Vega et al. 2009; Burbano et

(9)

2. Nematoda Entomopatogen

2.2.1. Nematoda Entomopatogen Steinernematidae

Nematoda entomopatogen dari keluarga Steinernematidae digunakan

sebagai agens hayati terhadap serangga di bidang pertanian. Nematoda

entomopatogen ini dianggap berpotensi sebagai agens hayati karena

patogenisitasnya (Muthulakshmi et al. 2012).

Steinernema spp. adalah jenis nematoda entomopatogen yang banyak

digunakan sebagai agens hayati hama. Steinernema jantan mempunyai panjang

tubuh 1.000-1.900 μm, lebar 90-200 μm, panjang stoma 4,5-7 μm, lebar stoma 4-5

μm, panjang ekor 19-27 μm, panjang spikula 72-89 μm, gubernakulum 57-70 μm,

panjang mucron 2,8-4,5 μm. Steinernema betina, panjang tubuh 3020-3972 μm,

lebar 153-192 μm, panjang stoma 7-12 μm, lebar stoma 5,0-8,5 μm, panjang ekor

30-47 μm, lebar vulva 49-54 μm. Stadia juvenil infektif memiliki panjang tubuh

500-570 μm, lebar 15-25 μm, panjang ekor 47-54 μm (Stock, 1993).

2.2.2. Potensi Nematoda sebagai Agens Hayati

Nematoda adalah sejenis cacing sederhana, tidak berwarna, tidak beruas,

dapat hidup bebas dan biasanya berukuran mikroskopis. Nematoda dapat

bertindak sebagai predator atau parasit. Namun ada juga nematoda yang

menguntungkan yang menyerang serangga hama dalam tanah, tidak merusak

tanaman, hewan maupun manusia sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agens

hayati disebut dengan nematoda entomopatogen.

Nematoda entompatogen (NEP) pertama kali ditemukan oleh Gotthold

Steiner di Jerman pada tahun 1923 yang diberi nama Steinernema kraussei.

(10)

menginfeksi kumbang Jepang Papillia japonica di New Jersey, sehingga

steinernema tersebut diberi nama S. glaseri. Glaser pulalah yang pertama berhasil

membiakkan secara axenic (tanpa bakteri simbion). Nematoda entomopatogen

telah dirilis secara luas, tidak mempunyai efek negatif pada serangga nontarget

dan dianggap sangat aman untuk lingkungan (Miles et al. 2012).

Seperti halnya agens hayati lainnya yaitu golongan jamur, bakteri dan

virus, nematoda entomopatogen memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan

sebagai insektisida hayati karena sangat aktif mencari serangga inang sasaran

sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan hama-hama yang berada di dalam

jaringan tanaman. Di Indonesia, pemanfaatan nematoda entomopatogen dalam

mengendalikan berbagai jenis hama yang menyerang kuncup bunga, biji, bunga,

buah, daun maupun hama yang hidup di dalam tanah telah banyak diteliti dan

dikembangkan khususnya untuk komoditi pangan dan hortikultura. Potensi ini

tentunya dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama-hama yang menyerang

tanaman-tanaman perkebunan. Di samping itu pemanfaatan nematoda

entomopatogen untuk mengendalikan hama tanaman dapat mengurangi dampak

negatif dari penggunaan pestisida sintetik, karena bersifat spesifik menyerang

serangga-serangga yang menjadi hama tanaman (Nugrohorini, 2012).

Menurut Koppenhöfer (2007) nematoda entomopatogen dapat digunakan

untuk mengendalikan berbagai jenis serangga dari beberapa ordo antara lain

Coleoptera, Diptera, Lepidoptera, Orthoptera, Blattodea dan Siphonaptera.

Kelompok serangga ordo Coleoptera yaitu dari famili Curculionidae,

Chrysomelidae dan Scarabaeidae. Kelompok Diptera yaitu dari famili

(11)

Orthoptera yaitu dari famili Gryllotalpidae dan kelompok Blattodea dari famili

Blattellidae.

Salah satu famili nematoda entomopatogen yang berpotensi tinggi sebagai

agens hayati yaitu dari famili Steinernematidae. Nematoda ini membunuh

serangga dengan bantuan bakteri yang dibawa dalam saluran pencernaannya

(Xenorhabdus berasosiasi dengan genus Steinernema spp. (Boemare, 2002 dalam

Nugrohorini, 2012; Muthulakshmi et al. 2012). Sampai sekarang telah

diidentifikasi 33 spesies dari genus Steinernema (Koppenhofer & Fuzi, 2003;

Peters, 1996 dalam Nugrohorini, 2012).

Telah banyak dilaporkan mengenai keberhasilan penggunaan nematoda

entomopatogen jenis Steinernema spp. Di Eropa dan Amerika Serikat, S. feltiae

atau S. carpocapsae berhasil mengendalikan serangga hama Otiorhynchus

sulcatus pada strawberry. Di Indonesia, Steinernema spp. dapat mengendalikan

hama Hypothenemus hampei (83%), Crocidolomia binotalis (77%) dan

Spodoptera litura (87%) (Sulistyanto, 1999). Di Sulawesi Tengah penggunaan

nematoda dengan konsentrasi 600 ji/2 ml air efektif mematikan 83,4% ulat

bawang S. exigua dalam waktu 6 hari (Kamariah et al. 2013).

Manton et al. (2012) melaporkan bahwa aplikasi 2500 ji/ml

S. carpocapsae di dalam cawan petri berdiameter 10 cm mampu mematikan 100%

larva dan 45% kumbang H. hampei dalam 3 (tiga) hari. Serangga yang mati

kemudian diletakkan dalam white trap dan diamati setelah 6-7 hari untuk

mengetahui populasi nematoda yang terdapat didalamnya. Diperoleh populasi

nematoda dalam tubuh satu kumbang dan satu larva masing-masing berkisar 60

(12)

menunjukkan bahwa S. carpocapsae memiliki potensi mengendalikan H. hampei.

Suspensi Steinernema sp. konsentrasi 4.600 ji/ml yang disemprotkan pada

kontainer seluas 133 cm2 dengan kelembaban relatif 70% dan suhu 200C selama 8

hari menyebabkan rerata mortalitas larva dan imago sebesar 23,7 dan 26,6%

dengan konsentrasi 4.600 ji.ml. Aplikasi Steinernema terhadap buah kopi

terinfestasi H. hampei di kebun kopi selama 7 hari menghasilkan rerata mortalitas

17,1 dan 4,7% untuk masing-masing larva dan imago. Seluruh stadium dapat

dikendalikan oleh nematoda ini dengan mortalitas tertinggi adalah pada stadium

larva.

Hasil pengujian Jaramillo et al. (2013) menunjukkan nilai LD50 lalat bibit

Delia platura pada tanaman bayam di Bogota sebesar 1.514 ji/larva. Adiroubane

et al. (2010) menguji beberapa konsentrasi nematoda S. siamkayai terhadap larva

S. litura. Diketahui bahwa tidak ada kematian larva S. litura pada 12 jam setelah

aplikasi bahkan pada dosis tertinggi sekalipun yaitu 50 ji/larva. Nilai LD50 pada

24, 36 dan 48 jam setelah aplikasi ji nematoda S. siamkayai terhadap larva instar 3

S. litura sebesar 49,76, 34,59 dan 22,93 ji/larva. Nilai LD50 yang dicobakan

menurun seiring waktu aplikasi yang meningkat. Pada dosis terendah (10 ji/larva)

nilai LT50 sangat tinggi selain itu LT50 akan menurun dan kerentanan larva

meningkat seiring dosis yang meningkat. Diperoleh nilai LT50 untuk instar 3 larva

S. litura pada dosis 10, 20, 30, 40 dan 50 ji/larva masing-masing 71,64, 53,64,

43,78, 33,55 dan 26,11 jam. Sedangkan nilai LT50 larva instar 3, 5 dan prapupa

pada dosis 50 ji/serangga uji adalah 26,11, 25,48 dan 13,20 jam. Selain itu

dinyatakan pula bahwa nilai LT50 lebih tinggi dan kerentanan S. litura terhadap S.

(13)

melaporkan bahwa mortalitas maksimum yang disebabkan oleh nematoda S.

carpocapsae terhadap larva P. xylostella adalah 88% pada 24 jam dan suhu 250C

kemudian meningkat menjadi 100% pada 48 dan 72 jam. Meningkatnya tingkat

populasi nematoda dan waktu pemaparan (dalam jam) akan meningkatkan

mortalitas larva P. xylostella.

2.2.3. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen

Siklus hidup sebagian besar nematoda meliputi stadia telur, 4 (empat)

tahap juvenil dan stadia dewasa (Gambar 2). Nematoda mengalami perkembangan

dari telur, juvenil, kemudian menjadi dewasa. Pada umumnya mengalami empat

kali pergantian kulit sebelum dewasa. Pergantian kulit terjadi di dalam telur, di

lingkungan luar, dan di dalam tubuh serangga inangnya. Juvenil ketiga merupakan

juvenil infektif atau “dauer” yang merupakan satu-satunya stadia yang hidup

bebas. Juvenil infektif mampu bertahan di dalam tanah di tempatnya menyerang

dan menginfeksi serangga hama sasarannya (Poinar, 1990). Dalam kondisi yang

optimal, Steinernematidae membutuhkan 3-7 hari untuk menyelesaikan satu

siklus hidup dalam inangnya dari telur menjadi telur kembali. Lamanya infeksi

Steinernematidae hingga juvenil keluar dari inangnya membutuhkan waktu sekitar

(14)

Gambar 2. Diagram siklus hidup nematoda entomopatogen secara umum (gambar oleh David Shapiro-Ilan) Sumber : Miles et al. (2012)

2.2.4. Mekanisme Infeksi Nematoda Entomopatogen

Efektivitas Steinernema sp. dalam pengendalian hama berbeda tergantung

patogenitasnya, sedangkan patogenitas dipengaruhi oleh mekanisme infeksi.

Infeksi Steinernema sp. dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil

infektif III (Ji III) yang masuk melalui mulut, anus, spirakel atau penetrasi

langsung melalui membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah berada

di dalam haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke

dalam hemolimfa untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang

mematikan (Nugrohorini, 2012).

Umumnya, beberapa nematoda akan menginfeksi satu serangga inang.

Juvenil infektif menembus tubuh rongga serangga, biasanya melalui lubang tubuh

alami termasuk mulut, anus, atau lubang pernapasan (spirakel). Sekali berada di

dalam rongga tubuh dari inangnya, juvenil infektif melepaskan bakteri yang

hidup bersimbiosis dalam usus nematoda. Hubungan nematoda-bakteri sangat

(15)

dan hanya bakteri Photorhabdus yang dapat hidup dengan Heterorhabditidae.

Bakteri tidak akan dapat masuk ke dalam tubuh serangga tanpa bantuan nematoda

entomopatogen yang mempenetrasi tubuh serangga inang. Interaksi antara bakteri

simbion dan nematoda entomopatogen tidak dapat dipisahkan dan merupakan

syarat mutlak antara keduanya (Sulistyanto, 1999).

Hubungan nematoda dengan bakteri simbionnya memberikan beberapa

keuntungan yaitu dapat membunuh inang dengan cepat secara septicemia,

menyediakan nutrisi yang cocok, membuat lingkungan yang cocok bagi

perkembangan dan reproduksi nematoda. Bakteri simbion juga mampu

memproduksi senyawa antibiotik (bakteriosin) yang dapat menghambat

perkembangan mikroorganisme sekunder yang ada dalam tubuh serangga inang.

Sedangkan fungsi nematoda entomopatogen bagi bakteri adalah melindungi

bakteri dari kondisi ekstrim dalam tanah dan melindungi bakteri dari

kemungkinan adanya protein anti bakteri yang dikeluarkan oleh serangga inang.

Sekali dilepaskan ke inang, bakteri berkembang biak dengan cepat dan

menyiapkan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda di

dalam serangga. Pada kondisi yang optimal dapat menyebabkan serangga inang

mati dalam waktu 24 hingga 48 jam (Kaya & Gaugler, 1993; Chaerani et al.;

2007; Miles et al. 2012).

Nematoda makan dari bakteri yang dilepaskannya dalam jaringan

inangnya. Setelah beberapa hari di dalam inangnya, nematoda berubah ke tahap

dewasa. Nematoda dewasa ini menghasilkan ratusan ribu juvenil baru. Keturunan

ini mungkin mengalami beberapa siklus hidup dalam satu inang. Ketika inang

(16)

yang muncul dari kutikula inangya, pindah ke tanah, dan memulai mencari inang

baru. Sebuah pelindung kutikula terluar mengelilingi juvenil infektif,

melindunginya dari lingkungan dan dari predator. Dengan kondisi yang ideal,

Steinernema muncul 6-11 hari setelah infeksi awal dan Heterorhabditis muncul

12-14 hari setelah infeksi awal (Kaya & Koppenhöfer, 1999). Jangka waktu

hidup juvenil infektif dalam tanah belum diketahui. Sementara di tanah mereka

bisa menjadi mangsa invertebrata dan mikroorganisme (Miles et al. 2012).

Hanya nematoda dalam tahap juvenil infektif akan bertahan hidup di

dalam tanah dan akan menemukan dan menembus serangga hama. Juvenil infektif

nematoda entomopatogen mencari inang mereka di tanah melalui dua strategi

(foraging behaviour) yaitu "menyerang" (hunter) dan "menjelajah" (ambusher).

Strategi ambusher memiliki perilaku diam dan menunggu sampai inang berada di

dekatnya dan kemudian baru menyerang. Contoh nematoda entomopatogen yang

memiliki perilaku ambusher adalah Steinernema carpocapsae dan S. scapterisici.

Strategi menjelajah mempunyai kecenderungan untuk menyebar di seluruh tanah

dalam mencari inang. Strategi ini adalah aktif mencari dan mengejar serangga

inang, strategi ini digunakan untuk menginvasi inang yang diam. Strategi ini

dikarakterisasikan dengan motilitas yang tinggi dan distribusi aktif ke seluruh

profil tanah, kemampuan untuk orientasi, dan penggantian lokasi pencarian

setelah kontak inang. Contoh nematoda yang memiliki perilaku ini adalah

Heterorhabditis bacteriophora, H. indicus, S. glaseri, dan S. riobravis.

Steinernema feltiae melakukan perpaduan dari kedua strategi tersebut (Campbell

(17)

Seluruh generasi Steinernematidae dihasilkan oleh jantan dan betina

(gonochorisism) (Kaya & Gaugler, 1993). Larva serangga akan menjadi coklat tua

kemerahan jika terinfeksi oleh Heterorhabditis dan berwarna coklat muda jika

terinfeksi oleh Steinernema. Warna tubuh serangga ini mengindikasikan warna

yang dihasilkan oleh bakteri mutualistik yang berada di dalam tubuh inangnya

(Kaya & Gaugler, 1993; Chaerani et al. 2007).

Umumnya, potensi nematoda entomopatogen sebagai agens hayati dinilai

dari kematian inangnya. Efikasi nematoda sering diperkirakan dengan LC50.

Efisiensi invasi nematoda yaitu persentase juvenil infektif yang menyerang dan

menetap di tubuh inangnya telah diusulkan sebagai alternatif untuk LC50 sebagai

ukuran keberhasilan nematoda. Epsky & Capinera (1994) menguji S. carpocapsae

strain Meksiko terhadap larva instar terakhir Spodoptera frugiperda dan diperoleh

nilai LC50 4-91 ji per larva. Persentase invasi berkisar 1-28% untuk infeksi

tunggal (satu larva) dan 11-31% per 6 larva pada konsentrasi 10-100 ji. Diketahui

bahwa tidak ada strain nematoda atau inang yang memiliki pola nyata dalam

efisiensi invasi dan tidak ada hubungan antara dugaan nilai LC50 dan efisiensi

invasi.

Caroli et al. (1996) telah menguji tingkat penetrasi (persentase inokulum ji

awal yang menyerang serangga uji) sebagai indikator infektifitas nematoda

entomopatogen. Beberapa kombinasi inang-parasit-substrat dievaluasi untuk

tingkat penetrasi. Empat strain Steinernema yaitu Steinernema carpocapsae, S.

glaseri, S. feltiae, S. riobravis dan dua strain Heterorhabditis bacteriophora diuji

dalam suatu bioassay kontak terhadap beberapa serangga diantaranya Spodoptera

(18)

uji dan peringkat nematoda untuk infektifitas berbeda sesuai dengan serangga

yang diuji. Hal ini menghasilkan tingkat penetrasi yang berbeda antara strain

nematoda. Persentase nematoda yang masuk pada S. exigua yang diinokulasi

S. carpocapsae dengan konsentrasi 200 ji/ml mencapai 20%.

Infektifitas nematoda sebagai ukuran dari mortalitas serangga bervariasi

menurut spesies dan subspesies serangga maupun strain nematoda dipengaruhi

oleh faktor abiotik terutama suhu. Suhu mempengaruhi mobilitas nematoda,

reproduksi dan perkembangannya Infeksi, reproduksi dan perkembangan S.

carpocapsae yang diaplikasikan ke larva Galleria mellonella terjadi lebih cepat

pada suhu 20-240C. S. carpocapsae menginvasi dan mematikan larva G.

mellonella lebih cepat pada suhu antara 8 dan 160C (Saunders & Webster, 1999).

Oguzoglu & Ozer (2007) melaporkan bahwa S. feltiae memiliki suhu optimum

pada 250C dalam menginfeksi larva G. mellonella. Waktu kontak yang lebih lama

juga menghasilkan efisiensi infeksi yang lebih tinggi. Mortalitas larva uji

mencapai 94% setelah 90 jam kontak, 86% setelah 72 jam dan 68% setelah 48

jam. Penggunaan wadah kontak antara nematoda dan inangnya yaitu cawan petri

yang lebih kecil juga meningkatkan efisiensi invasi.

Menurut Sims et al. (1992) infektifitas nematoda dapat dipengaruhi oleh

beberapa parameter biologi meliputi: perilaku nematoda, tingkat aktivitas,

kemampuan menemukan inang, dan kemampuan mempenetrasi inang. Hal lain

yang mungkin mempengaruhi infektifitas nematoda adalah jumlah bakteri per

Gambar

Gambar 1. Gejala serangan H. hampei pada buah kopi
Gambar 2. Diagram siklus hidup nematoda entomopatogen secara umum (gambar oleh David Shapiro-Ilan) Sumber : Miles et al

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Selasa tanggal Tujuh bulan Maret tahun Dua Ribu Tujuh Belas di Ruang ULP Rektorat Lantai I, kami Pokja Pelelangan Konsultansi Pengawasan

Howard Gardner Linguistic Mathematic- Logic-Cognitive Visual-Spacial Musical Kinesthetic Intrapersonal Interpersonal..

[r]

Sociocultural based learning overcoming the social conflict.. Social life and culture are amazing modal from

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 23 Peraturan Panglima TNI Nomor 24 Tahun 2012 tentang Standar Layanan Informasi TNI di Lingkungan Tentara

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah apakah perilaku ketidakpatuhan pajak wajib pajak orang pribadi dapat dijelaskan melalui TPB,

Sejalan dengan perkembangan waktu dan dinamika yang berkembang dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam kini mendapatkan pengakuan

Analysis of growth value matrix for stock INTP results that till 2008, market expectation to short term company profitability or current performance (CP) that is in average of