• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bumi, air dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada umat manusia, oleh karena itu manusia berkewajiban untuk mempergunakan dan memeliharanya guna mencapai kemakmuran seluruh hidupnya.Hubungan antara manusia dengan bumi sangat erat kaitannya dengan hak dan kewajiban manusia dalam memanfaatkan penguasaannya. Hubungan itu tercemin dalam penguasaan kepemilikan hak atas tanah.Untuk mengatasi hal tersebut, Negara mengatur mengenai penertiban status dan penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum dengan cara pemberian sertifikat kepemilikan hak-hak atas tanah.

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang pertanahan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Kegiatan pendaftaran tanah dalam 5 (lima) dekade yang dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun yang

(2)

bersumber dari dana masyarakat (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari Tahun 1961 sampai Tahun 2014 baru mampu melaksanakan pendaftaran tanah sebanyak ± 44 juta bidang dari ± 100 juta bidang tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Kegiatan Prona dilaksanakan mulai Tahun 1981 dan sampai sekarang masih berjalan sebagai salah satu Program Prioritas Nasional legalisasi aset yang ditetapkan di dalam Rencana Strategis BPN-RI Tahun 2010-2014 dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2010. Kegiatan Prona pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah pertama kali dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanah terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah. Peserta kegiatan Prona diutamakan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah. Masyarkat berpenghasilan rendah perlu mendapat perlindungan, perhatian, dan bantuan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidupya. Masyarakat berpenghasilan menengah masih membutuhkan bantuan permodalan perlu didorong pemerintah untuk dapat mandiri dalam menjalankan dan meningkatkan kegiatan usahanya. Keberpihakan pemerintah kepada golongan ekonomi lemah sampai menengah dengan memberikan bantuan sertipikasi tanah miliknya.

Sertifikat hak atas tanah memberikan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah yang dimilikinya, meminimalisir terjadimya sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, meningkatkan nilai asetnya serta dapat dijadkan jaminan pinjaman ke Bank untuk menambah modal kegiatan usaha. Pensertifikatan tanah

(3)

secara massal melalui Kegiatan Prona merupakan salah satu kegiatan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Sumber Anggaran Kegiatan Prona diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dalam DIPA BPN-RI sehingga biaya di dalam pengurusan Prona tidak dipungut biaya dari masyarakat (gratis).

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang selalu mendapatkan masalah di dalam pengurusan /penerbitan sertifikat tanah. Hal ini dikarenakan banyaknya Tanah Milik Adat yang diwariskan secara turun-temurun yang kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama dan diwariskan secara Lisan sehingga tidak ada bukti yang sah secara tertulis yang dapat menjelaskan bahwa tanah tersebut telah diwariskan.Permasalahan lain yang menjadi penghambat untuk diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. SK-44//Menhut-II// 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Dimana ada sekitar ± 233.895 hektar di daerah Tapanuli Utara yang ditunjuk sebagai kawasan hutan. Hal tersebut menjadi penghambat di dalam penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah.

Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kantor Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara yang pada Tahun Anggaran 2014 dan Tahun Anggaran 2015 telah melaksanakan program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) yang sudah direncanakan dengan dukungan dana dari pemerintah pusat melalui APBN dengan jumlah bidang tanahnya yang sudah

(4)

ditentukan / terbatas sesuai DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran).Berikut Tabel Realisasi Anggaran Prona di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2010-2015 :

Tabel. 1.1 Realisasi Anggaran Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) di Kabupaten Tapanuli Utara

No Tahun Jumlah Bidang Anggaran (Rp)

1 2010 500 100.000.000

2 2011 800 400.000.000

3 2012 1.000 500.000.000

4 2013 750 375.000.000

5 2014 1.000 500.000.000

Sumber : Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Utara Tahum 2015

Pendistribusian / Penunjukkan tempat dilaksanakannya Proram Prona tersebut ditentukan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, dalam artian Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang menentukan Kecamatan mana yang mendapatkan Program Prona tersebut di dalam sebuah Kabupaten sedangkan Kantor Badan Pertanahan Kabupaten bertugas untuk pendistribusian desa tempat dilaksanakannya Program Prona tersebut. Mengingat pelaksanaan program PRONA merupakan kegiatan Kantor Pertanahan yang berkaitan dengan instansi lain seperti : Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, Camat dan Kepala Desa setempat, Pemohon / Masyarakat Desa tempat dilaksanakannya program PRONA, maka kesuksesannya dibutuhkan suatu koordinasi dan kinerja yang baik.

PRONA adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang pertanahan pada umumnya dan di bidang pendaftaran tanah pada khususnya, yang berupa pensertifikatan tanah yang dilaksanakan secara serentak bersama-sama

(5)

(massal) dan penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis.Pelaksanaan PRONA dilakukan secara terpadu dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah yang berada di wilayah desa dan kecamatan yang telah ditunjuk dan mampu membayar biaya yang telah ditetapkan. PRONA dilaksanakan secara bertahap setiap tahun anggaran yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 4 September 1981 telah menentukan penetapan lokasi PRONA, sebagai berikut : 1. Ditetapkan secara berkelompok, terutama untuk pensertifikatan tanah di

daerah-daerah yang penguasaan tanahnya terkena landreform baik tanah-tanah yang masih menjadi hak bekas pemilik lama maupun yang telah di distribusikan kepada para penggarap.

2. Ditetapkan secara mengelompok untuk daerah-daerah tertinggal.

3. Ditetapkan di daerah yang tanahnya mempunyai potensi produksi bahan pokok yang cukup untuk dikembangkan.

4. Ditetapkan secara berkelompok, untuk pensertifikatan tanah-tanah yang berpenduduk padat dan mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan.

5. Dipilih lokasi mengenai tanah-tanah sengketa yang bersifat strategis dan dapat diselesaikan secara tuntas.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Proyek Operasi Nasional Agraria

(6)

(PRONA) Di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Utara

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Utara?” 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Proyek Operasi Nasional Agraria pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Tapanuli Utara. 2. Untuk menggambarkan apa itu Program PRONA (Proyek Operasi Nasional

Agraria).

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan pemikirin untuk mengembangkan teori-teori kebijakan publik khususnya mengenai Implementasi Program sehingga mampu memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi mengenai pelaksanaan program PRONA di Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Utara.

(7)

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian1. Sebagai landasan berfikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.5.1 Implementasi Kebijakan Publik

1.5.1.2 Defenisi Implementasi Kebijakan Publik

“ Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri”2

.

Ripley dan Franklin menyatakan bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh sebagai aktor, khususnya para birokrat yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan3.

Grindle memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah4.

Menurut Van Meter Van Horn menyatakan, “implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan”5

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang, untuk

1 Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 92

2Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, 2006, hal 139

3

Winarno, Kebijakan Publik : Teori & Proses, Media Pressindo, Yogyakarta, 2014, hal 148

4

Winarno, Ibid, hal 149

5

(8)

mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yaitu, langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan

derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

1.5.1.3 Teori-Teori Implementasi Kebijakan

Ada beberapa teori Implementasi Kebijakan Publik diantranya adalah : a. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatlier

Teori ini berpendapat bahwa terdapat tiga kelompok variable yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu :

Karakteristik masalah (tractability of the problems)

a). Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan dimana di satu pihak terdapat beberapa masalah social yang secara teknis mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air bersih bagi penduduk.

b). Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu program akan relative mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah homogen, karena tingkat pemahaman kelompok sasaran relative sama.

c). Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, dimana sebuah program akan relative sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi dan sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar

(9)

d). Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan dimana sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relative mudah diimplementasikan dibanding program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.

Karakteristik kebijakan (ability of statue to structure implementation), yaitu :

a). Kejelasan isi kebijakan, yaitu, karena semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan, maka akan lebih mudah di implementasikan, karena implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata.

b). Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis, di mana kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap karena sudah teruji, meskipun untuk beberapa lingkungan tertentu perlu ada modifikasi.

c). Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut, di mana sumber daya keuangan adalah factor krusial untuk setiap program social, setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program yang semuanya memerlukan biaya,

d). Seberapa besar adanya ketertarikan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana, di mana kegagalan kerja sering disebabkan

(10)

oleh kurangnya koordinasi vertical dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi program.

e). Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

f). Tingkat komitmen aparat, terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang terjadi di Negara-negara dunia ke tiga, khususnya Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program.

g). Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpastisipasi dalam implementasi kebijakan, di mana suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat akan relative mendapat dukungan di banding program yang tidak melibatkan masyarakat.

Lingkungan kebijakan (nonstatutory variable effecting implementation), yaitu :

a). Kondisi social ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi dimana masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relative mudah menerima program pembaharuan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional.

b). Dukungan publik sebuah kebijakan, dimana kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan public, sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-intensif, misalnya

(11)

kenaikan harga BBM akan kurang mendapatkan dukungan public.

c). Sikap dari kelompok pemilih (constituency goups), dimana kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara, yaitu kelompok dapat melakuakn intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan, dan kelempok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipubliksikan terhadap badan-badan pelaksana.

d). Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor .pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial, sehingga aparat pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya marealisasikan prioritas tujuan tersebut.

b. Teori Donald Van Metter dan Carl Van Horn6

Enam variabel menurut Van Metter dan Van Horn, yang mempengaruhi kinerja kebijakan yaitu :

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.

6

Subarsono, Analisis, Kebijakan Publik Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 99

(12)

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan.

2. Sumberdaya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta sesuai dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. 4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) para pelaksana.

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi orang-orang yang terkait langsung terhadap kebijakan yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.

(13)

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam impelementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam persepektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Bagan 1.1 Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Sumber-sumber Kebijakan

Ciri badan pelaksana Sikap para pelaksana

Lingkungan: Ekonomi, Sosial, Politik

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan

pelaksanaan P R E S T A S I K E R J A

(14)

c. Teori Implementasi Kebijakan George C. Edward III

Teori implementasi kebijakan yang berspektif top down yang dikembangkan oleh George C. Edward III. Edward III7menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect

Impact on Implementation. Dalam pendekatan teori ini terdapat empat

variabel yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi suatu kebijakan, yaitu :

1. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut Goerge C. Edward III8adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditansmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.

7

Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, 2008,hal 149-154

8

(15)

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu :

a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian

(misscommunication).

b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan

(street-level-bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan

(tidak ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi impelementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu

komunikasi haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan, 2. Sumber daya

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward III9Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu :

9

(16)

a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf.

Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak ompoten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua

bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar

perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi

(17)

kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.

d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam

implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut Goerge C.Edward III10adalah :

a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan

menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan.

10

(18)

b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang

disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau organisasi.

4. Struktur birokrasi

Menurut Edward III 11 yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi

11

(19)

sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :

a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan

rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.

b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab

kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.

Bagan 1.2 Faktor Penentu Implementasi Menuurt Edward III Komunikasi

Sumber Daya

DisposisiImplementasi

(20)

d. Teori Implementasi menurut Merilee S. Grindle12, keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel yaitu :

1. Isi Kebijakan (content of policy) Variabel isi kebijakan ini mencakup :

a) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan;

b) Jenis manfaat yang diterima oleh target group ;

c) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; d) Apakah letak sebuah program sudah tepat;

e) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan

f) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

2. Lingkungan Implementasi (context of implementation) Variabel kebijakan ini mencakup :

a) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;

b) Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; c) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

12

(21)

1.5.2 Hak Atas Tanah

1.5.2.1 Defenisi Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan tanah.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk menggunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi hak-haknya. Berdasarkan atas hak menguasai Negara dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menentukan beberapa hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang, baik secara perorangan maupun bersama-sama, atau oleh suatu badan hukum, yaitu :

1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah 7. Hak Memungut Hasil Hutan

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas, yang ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

(22)

1.5.3 Pendaftaran Tanah

1.5.3.1 Defenisi Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 8 Juli 1997. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 1997, yang mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1997.

Pendaftaran tanah menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilaksanakan berdasarkan asas-asas :

1. Sederhana

Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

2. Aman

Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara cermat dan teliti sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesaui tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3. Terjangkau

Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam

(23)

rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa dijangkau oleh para pihak yang memerlukan.

4. Mutakhir

Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaanya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang baru (mutakhir).

5. Terbuka

Asas terbuka dimaksudkan bahwa masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.

Tujuan dari pendaftaran tanah diuraikan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar pemilik hak-hak yang bersangkutan dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah adalah :

(24)

Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai tanda bukti hak bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pendaftaran Tanah, menurut Boedi Harsono adalah sebagai berikut : “Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara / Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu, yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya, dan pemeliharaannya”.13

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan :

1. Pendaftaran Tanah untuk pertama kalinya (initial registration)

Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya adalah kegiatan yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum di daftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

2. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (maintenance)

Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan

13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

(25)

perubahan yang terjadi kemudian. Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, objek pendaftaran tanah meliputi : 1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. 2. Tanah Hak Pengelolaan.

3. Tanah Wakaf.

4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 5. Hak Tanggungan.

6. Tanah Negara

Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan14 : apa yang didaftar, bentuk penyimpanan, dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya. Dikenal ada 2 (dua) macam sistem pendaftaran tanah15 yaitu :

1. Sistem Pendaftaran Akta (Registration of deeds)

Akta merupakan sumber data yuridis, karena aktalah yang didaftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT), Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) bersifat pasif karena ia tidak melakukan pengujian atas kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftarkan. 2. Sistem Pendaftaran Hak (Registration of Titles)

Sistem pendaftaran hak adalah hak yang diciptakan serta perubahan-perubahan yang terjadi kemudian dan Pejabat

14

Boedi Harsono, Ibid, hal 480.

15

(26)

Pendaftaran Tanah (PPT) bersifat aktif karena Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) harus melakukan pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang didaftarkan.

Sistem pendaftaran yang dipergunakan dalam Peraturan Dasar Pokok-Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles). Hal tersebut jelas terlihat dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti yang ada di daftar.16

Sistem publikasi diperlukan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, dimana Sistem publikasi dipergunakan untuk menjawab permasalahan :17

Sejauh manakah orang boleh mempercayai kebenaran data yang disajikan tersebut, sejauh manakah hukum melindungi kepentingan-kepentingan orang yang melukukan perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah didaftar, berdasarkan data yang disajikan di Kantor Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) atau yang tercantum dalam surat tanda bukti hak yang diterbitkan atau didaftar oleh PPT, jika kemudian ternyata data tersebut tidak benar?

Ada beberapa Sistem Publikasi tanah yang dianut oleh beberapa Negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah, yaitu :

16 Boedi Harsono, Ibid, hal 480

(27)

a. Sistem Publikasi Positif

Menurut sistem publikasi positif, suatu sertifikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Ciri pokok sistem positif adalah bahwa pendaftaran tanah / pendaftaran hak atas tanah adalah menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, walaupun ia ternyata bukanlah pemilik yang berhak atas tanah yang bersangkutan. Kebaikan dari sistem positif adalah :

a. Adanya kepastian dari buku tanah.

b. Peranan aktif dari pejabat balik nama tanah.

c. Mekanisme kerja penerbitan sertifikat tanah mudah dimengerti orang awam.

Kelemahan dari sistem positif adalah :

a. Peranan aktif pejabat baik nama tanah akan memakan waktu yang lama. Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh karena kepastian dari buku tanah itu sendiri.

b. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif.

Sistem ini dilaksanakan di Jerman dan Swiss b. Sistem Publikasi Negatif

(28)

Menurut sistem publikasi negatif, segala apa yang tercantum di dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka Pengadilan.

Ciri pokok sistem publikasi negatif, adalah bahwa pendaftaran tanah / pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya.

Ciri lainnya adalah bahwa pejabat balik nama tanah berperan pasif, artinya pejabat yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari surat yang diserahkan kepadanya.

Kebaikan dari sistem publikasi negatif :

Adanya perlindungan kepada pemegang hak sejati. Kelemahan dari sistem publikasi negatif :

a. Peranan pasif pejabat balik nama tanah yang menyebabkan tumpang tindihnya sertifikat tanah.

b. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah sedemikian rupa sehingga kurang dimengerti oleh awam.18

Sistem publikasi yang digunakan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif yang murni karena menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai

18

Mudjiono, Politik Agraria Nasional – Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta : GAMA University Press, 1999), hal 30-34

(29)

alat pembuktian yang kuat dan tidak menggunakan sistem publikasi negatif yang murni karenan kegiatan pemeliharaan dan penerbitan sertifikat hak dilakukan secara seksama agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.19 Sistem publikasi yang dipergunakan oleh Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disebut dengan sistem negatif yang bertendens positif. Pengertian bertendens positif adalah peran aktif pelaksana pendaftaran, antara lain :

1. Adanya penyelidikan bidang tanah secara teliti

2. Pengumuman selama 3 (tiga) bulan untuk pendaftaran tanah tersebut. Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan, jika merasa hak tersebut merugikan dirinya.

Adapun ciri-ciri sistem negatif bertendens positif adalah :

a. Nama pemilik tanah yang tercantum dalam daftar buku tanah adalah benar dan dilindungi oleh hukum dan sertifikat merupakan tanda bukti hak yang tertinggi.

b. Setiap peristiwa balik nama melalui prosedur dan penelitian yang seksama dan memenuhin syarat-syarat keterbukaan untuk umum. c. Setiap bidang tanah batas-batasnya diukur dan digambarkan dalam

peta pendaftaran dengan skala 1 : 1000, ukuran mana

19

(30)

memungkinkan untuk meneliti kembali batas-batas persil bila dikemudian hari terdapat sengketa-sengketa batas.

d. Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat masih dapat diganggu gugat melalui Pengadilan Negeri dan sertifikat masih dapat dicabut melalui Pengadilan Negeri atau oleh Direktorat Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri. e. Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi

kepada masyarakat karena kesalahan administrasi pendaftaran tanah, melainkan masyarakat yang merasa dirugikan dapat menuntut melalui Pengadilan Negeri.

1.5.4 Penerbitan Sertifikat 1.5.4.1 Pengertian Sertifikat

Sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur yang telah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas bersampul yang telah ditetapkan dengan peraturan menteri.

1.5.4.2 Persyaratan Penerbitan Sertifikat a. Tahap Pertama

1. Bila tanah berasal dari warisan, para ahli waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat maupun hak-hak yang lain, harus melengkapi syarat-syarat :

- Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan

(31)

- Bila tanah yang bersangkutan belum pernah disertifikatkan, maka disertakan surat tanda bukti hak atas tanah yang lainnya, seperti Surat Pajak hasil bumi / petuk D lama / verponding lama Indonesia dan segel-segel lama atau Surat Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.

- Surat Keputusan Kepala Desa yang dikuatkan Camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.

- Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang - Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki - Kartu Izin Tinggal Sementara ( untuk orang asing )

- Keterangan pelunasan pajak tanah sampai meninggalnya pewaris. - Ijin peralihan hak, jika hal ini diisyaratkan

Para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tanah berasal dari jual beli, hibah, lelang, konversi hak dan lain-lain sebagainya, diharuskan melengkapi diri dengan persyaratan yang serupa.

2. Bila tanah berasal dari jual beli, harus melengkapi syarat-syarat : - Akta jual beli yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT

- Sertifikat hak tanah yang bersangkutan

- Bila tanahnya belum pernah disertifikatkan, maka harus diserahkan bukti atas tanah lainnya, seperti surat pajak atas hasil bumi / patok D lama / verponding lama atau Surat keputusan penegasan / pemberi hak dari instansi yang berwenang.

(32)

- Surat Keputusan Kepala Desa yang dikuatkan Camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.

- Surat pernyataan jumlah tanah yang telah dimiliki

- Turunan surat keterangan warga negara Indonesia yang disahkan oleh pejabat yang berwenang

- Ijin peralihan hak, jika ini diisyaratkan

3. Bila tanahnya berasal dari hibah, syarat-syarat tersebut adalah : - Akta hibah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT

- Bila tanahnya belum pernah disertifikatkan, maka harus diserahkan bukti atas tanah lainnya, seperti surat pajak atas hasil bumi / petuk D lama / verponding lama atau Surat keputusan penegasan / pemberi hak dari instansi yang berwenang.

- Surat Keputusan Kepala Desa yang dikuatkan Camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.

- Surat pernyataan jumlah tanah yang telah dimiliki

- Turunan surat keterangan warga negara Indonesia yang disahkan oleh pejabat yang berwenang

4. Bila tanahnya berasal dari lelang :

- Kutipan otentik berita acara lelang yang dibuat oleh Kantor Lelang

- Sertifikat hak tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas tanah lainnya yang telah diketahui oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh Camat.

(33)

- Surat penyataan tentang jumlah tanah yang telah dimilikinya. - Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang

bersangkutan.

- Turunan surat keterangan warga negara Indonesia yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang.

- Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang diminta sebelum lelang dilakukan.

5. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, syarat-syarat yang harus dipenuhi :

a. Bagi daerah yang sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak adalah :

- Surat pajak hasil bumi / petuk D lama / verponding Indonesia dan segel-segel lama.

- Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang

- Surat asli jual beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya. - Surat Keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Camat

yang membenarkan keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan

- Surat Keterangan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan utang serta sejak kapan dimiliki.

(34)

b. Bagi daerah yang sebelum 24 September 1960 belum dipungut pajak adalah :

- Keputusan penegasan / pemberian hak tanah yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

- Surat asli jual beli, tukar menukar, hibah, yang diketahui atau dibuat atau disaksikan oleh Kepala Desa / pejabat yang setingkat.

- Surat Keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.

- Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa.

6. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, syarat-syaratnya - Grosse akta

- Surat ukur

- Turunan surat keterangan warga negara yang disahkan oleh pejabat yang berwenang

- Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan pada seseorang.

- Surat pernyataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.

(35)

b. Tahap Kedua

Setelah semua persyaratan dipenuhi, selanjutnya diserahkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat. Kegiatan selanjutnya dilakukan oleh seksi pendaftaran tanah yang meliputi : pengukuran, pemetakan, dan pendaftaran haknya.

c. Tahap Ketiga

Pada tahap ini semua hak-hak atas tanah yang telah dibukukan dibuatkan salinan dari buku tanah yang bersangkutan. Salinan buku tanah dan surat ukurnya atau gambar situasi, kemudian dijahit menjadi satu dengan diberi kertas sampul yang bentuknya telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri Dirjen Agraria 20 yang sekarang ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional (Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988).

1.5.5 Dasar Hukum PRONA

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaannya, maka pemerintah telah membuat suatu kebijaksanaan untuk meningkatkan pelayanan bidang pertanahan yaitu pemberian sertifikat secara massal melalui PRONA.

Kebijaksanaan ini dimaksudkan agar setiap masyarakat golongan ekonomi lemah dengan memperhatikan aspek keberpihakan dapat memiliki

20

(36)

sertifikat hak milik atas tanah dengan biaya yang lebih murah. Program ini diadakan dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah.

Pengertian PRONA adalah :

“Semua kegiatan yang diselenggarakanoleh pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu subsidi di bidang pendaftaran tanah pada khususnya, yang berupa pensertifikatan tanah secara massal dalam rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah.”21

Pelaksanaan PRONA ini merupakan usaha dari pemerintah untuk memberikan rangsangan dan partisipasi kepada pemegang hak atas tanah agar mau melakukan sertifikat atas tanahnya dan berusaha membantu menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis dengan jalan memberikan kepada masyarakat tersebut fasilitas dan kemudahan, serta pemberdayaan organisasi dan sumber daya manusia.

Untuk menuju tercapainya Catur Tertib Pertanahan, harus dilakukan : 1. Tertib Hukum Pertanahan

Bertujuan agar setiap tanah mempunyai sertifikat, sehingga tanah tersebut mempunyai kepastian hukum maupun hak yang kuat. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa peraturan hukum pertanahan sudah dilaksanakan dengan baik. Dengan adanya sertifikat tanah, diharapkan sengketa-sengketa pertanahan dapat dihindari.

2. Tertib Administrasi Pertanahan

21

(37)

Adalah bertujuan untuk peningkatan mutu pelayanan Kantor Pertanahan kepada masyarakat dengan cara yang cepat, mudah, dan biaya yang murah bagi permohonan hak atas tanah.

Adapun maksud dari cepat, mudah, dan biaya murah, adalah :

 Cepat, bahwa pelaksanannya sudah diprogramkan dan harus selesai tepat pada waktunya, sesuai jadwal waktu yang telah ditetapkan.

 Mudah, dimana petugas pelaksana aktif di lokasi yang telah ditentukan sehingga pemohon tidak harus datang ke Kantor Pertanahan Kabupaten setempat, sehingga proses permohonan hak atas tanah itu dapat dilakukan dengan mudah oleh masyarakat.

 Murah, dimana biaya yang dibebankan kepada pemohon hak atas tanah relatif murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.

Dengan adanya PRONA yang dilaksanakan dengan biaya murah, cepat, dan mudah tersebut, diharapkan membawa manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat golongan ekonomi lemah.

3. Tertib Penggunaan Tanah

Bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana, sehingga dapat diperoleh pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan antara berbagai keperluan dan bersifat selamanya. Dengan demikian penggunaan tanah dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak.

(38)

Dewasa ini banyak terjadi orang atau badan hukum yang menguasai tanah tanpa berusaha untuk mencegah terjadinya kerusakan. Padahal dalam Pasal 15 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sudah dinyatakan secara tegas bahwa memelihara kesuburan, mencegah kerusakan merupakan kewajiban setiap orang atau badan hukum, instansi, yang mempunyai hubungan dengan tanah itu, serta memperhatikan pihak ekonomi lemah.

Hal tersebut mempunyai tujuan untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan tanah dan lingkungan hidup. Mengingat hal tersebut, berdasarkan PMNA / Ka. BPN Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Perolehan Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal maka pemerintah melakukan kewenangan dalam pemberian izin lokasi dengan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan dalam menentukan lokasinya agar nantinya tidak menimbulkan pencemaran, kerusakan tanah dan pengotoran lingkungan.

Sedangkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih luas, Kantor Pertanahan memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pemeliharaan tanah serta perawatannya untuk menjaga keseimbangan tanah.

Adapun dasar hukum PRONA adalah :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

(39)

2. Undang –Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2000, tentang Tarif Pelayanan yang berlaku di Badan Pertanahan Nasional.

5. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan.

6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria, yang berlaku mulai tanggal 15 Agustus 1981.

7. Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah. 1.5.6 Tujuan dan Latar Belakang PRONA

Dalam petunjuk pelaksanaan Proyek Operasional Nasional Agraria, dijelaskan tujuan PRONA adalah sebagai berikut :

1. Memberikan rangsangan kepada masyarakat khususnya pemegang ha katas tanah, untuk bersedia membuatkan sertifikat atas hak yang dimilikinya tersebut.

2. Menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang pertanahan. 3. Membantu pemerintah dalam hal menciptakan suatu suasana kehidupan

(40)

4. Menumbuhkan partisipasi masyarakat, khususnya pemilik tanah dalam menciptakan stabilitas politik serta pembangunan di bidang ekonomi. 5. Menumbuhkan rasa kebersamaan dalam menyelesaikan sengketa

pertanahan.

6. Memberikan kepastian hukum pada pemegang hak atas tanah.

7. Membiasakan masyarakat pemegang hak atas tanah untuk memiliki alat bukti yang otentik atas haknya tersebut.

Dengan usaha-usaha yang pasti dari pemerintah dan dukungan masyarakat luas untuk mensukseskan PRONA di seluruh Indonesia, maka pemerintah dianggap benar-benar telah membantu masyarakat.

Proses untuk mendapatkan sertifikat tersebut tidak mengalami kesulitan dengan biaya murah. Mengenai biaya PRONA ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 594 Tahun 1982 tanggal 26 November 1982 sebagai berikut :

1. Untuk golongan ekonomi lemah, biaya operasionalnya diberi subsidi dengan anggaran Pemerintah Pusat melalui APBN dan Pemerintah Daerah melalui APBD.

2. Untuk golongan mampu, biaya operasionalnya dibebankan kepada swadaya para anggota masyarakat yang akan menerima sertifikat.

Adapun latar belakang pelaksanaan PRONA ini berkaitan langsung dengan bidang pertanahan, baik dari arti pentingnya tanah, pemegang ha katas tanah serta perlindungan terhadap kepastian hukumnya yang disebut dengan sertifikat.

(41)

Dengan diadakannya program pendaftaran tanah oleh pemerintah ini, dimaksudkan agar pemerintah dengan mudah dapat melakukan pengawasan terhadap pendaftaran tanah. Dengan pendaftaran tanah diharapkan tidak ada lagi, atau berkurangnya sengketa-sengketa tanah, misalnya sengketa status dan sengketa perbatasan.

Pada dasarnya PRONA merupakan proyek penyertifikasian tanah secara massal yang memperoleh dukungan dana atau subsidi dari pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibebankan kepada Badan Pertanahan Nasional.

Penyertifikatan tanah melalui PRONA ini memberikan banyak keuntungan dibanding dengan penyertifikatan yang dilakukan atas keinginan sendiri. Keuntungan tersebut antara lain : adanya subsidi dari pemerintah, sehingga pemohon sertifikat mendapatkan keringanan biaya dan cepatnya proses penerbitan sertifikat sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Proses penerbitan sertifikat, melalui PRONA pada dasarnya sama dengan penerbitan sertifikat atas kehendak sendiri. Perbedaannya, jika permohonan sertifikat melalui PRONA, pemohon datang ke Kantor Kepala Desa yang mengkoordinir untuk menyerahkan data-data fisik tanahnya sehingga tidak harus datang ke Kantor Pertanahan. Sedangkan permohonan sertifikat atas kehendak sendiri, selain harus datang langsung ke Kantor Pertanahan, pemohon juga harus membayar biaya yang lebih mahal.

(42)

PRONA adalah Kebijakan Nasional dibidang Pertanahan yang bermaksud untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam rangka meningkatkan maupun menunjang pelaksanaan landreform dan menyelesaikan sengketa-sengketa secara tuntas dengan biaya yang murah. Selain itu untuk memberdayakan organisasi dan SDM. 1.5.7 Sasaran Pelaksanaan PRONA

Sasaran dari pelaksanaan PRONA adalah :

1. Subyek PRONA adalah pemilik tanah perseorangan yang termasuk golongan ekonomi lemah dan masih mampu membayar biaya administrasi.

2. Obyek PRONA adalah pendaftaran tanah pertama kali terhadap bidang-bidang tanah yang belum mendaftar dan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha atau tanah non pertanian yang luasnya kurang dari 2000 meter persegi.

Dengan demikian sasaran PRONA yang utama adalah masyarakat yang tergolong ekonomi lemah yang mempunyai hak milik atas tanah.

1.6 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu

(43)

istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainnya22. Maka defenisi konsep dari penelitian ini adalah :

1. Implementasi Kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Adapun model implementasi yang dipakai pada penelitian ini adalah model implementasi Van Meter dan E. Van Horn, dimana terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yaitu : standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, hubungan antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial, politik, dan disposisi implementor.

2. PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) adalah rangkaian kegiatan kebijakan untuk pembuatan akta tanah (sertifikat tanah) dengan menggunakan dana APBN yang dilaksanakan setiap tahunnya dan ditujukan kepada masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah tertinggal.

22

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun sama-sama terdapat perubahan pada kedua kelompok tersebut, oleh karena hasil p dari uji F > 0,05 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara

Pengamatan terhadap variabel bobot kering ke- cambah normal menunjukkan adanya pengaruh nyata yang disebabkan oleh varietas dan perlakuan invigorasi benih secara tunggal, namun

Peramalan pada data time series menggunakan teknik peramalan kuantitatif yang merupakan teknik peramalan yang didasarkan pada data masa lalu (data historis) dan

Karakteristik dari strategi scaffolding adalah guru berusaha menstimulir siswa untuk berfikir aktif, menjaga suasana bebas dan mendorong siswa untuk berani

Selain penentuan awal waktu salat dengan cara melihat langsung dari fenomena Matahari dan metode hisab yang terdapat pada kitab-kitab klasik dan buku-buku falak,

dua faktor ini bergerak kehadapan secara beriringan dan bersepadu, maka ia akan meningkatkan imej korporat LZS yang akhirnya akan meningkatkan keyakinan masyarakat

Pada tahun 1962, mulai diupayakan secara khusus untuk mengembangkan gagasan ketahanan nasional di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Dalam

Perencanaan pemasaran ini menyangkut segmentasi, targeting, positioning untuk membidik calon pembeli yang memiliki potensi untuk membeli produk yang akan ditawarkan