• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI COPING PADA REMAJA DARI PERKAWINAN ORANG TUA BEDA AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI COPING PADA REMAJA DARI PERKAWINAN ORANG TUA BEDA AGAMA"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI COPING PADA REMAJA DARI PERKAWINAN

ORANG TUA BEDA AGAMA

Diajukan untuk Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Fakultas Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Patricia Natasha Krisdayanti

139114093

Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

(2)

iii

HALAMAN MOTTO

it ain’t easy. –me.

Ad dhua silahul mu'min.

(doa adalah senjata orang beriman)

(3)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tuhan, Bunda Maria dan Semesta

yang selalu ada sekalipun dombaNya sedang tersesat

Papa dan Mama

yang berdoa tanpa henti, mendukung tanpa putus, mengingatkan dengan semangat

yang tak pernah mati

Awan dan Vina

yang selalu menjadi pengingat dan penyemangat kalau harus segera saya

bahagiakan

Dr. Shinta Retno, Sp. KJ dan Ibu Melina Dian K., S. Psi., Psikolog,

MA

yang membantu kepulihan

Keluarga dari Curio Espresso dan Leeren

yang tabah mengingatkan walau beberapa berujung menghilang, kasih sayang

kalian tetap hidup

Teman-temanku yang hidup dalam keberagaman

yang paham bahwa berbeda itu indah.

Diriku Sendiri

(4)

vi

STRATEGI COPING PADA REMAJA DARI PERKAWINAN

ORANG TUA BEDA AGAMA

Studi pada Remaja di Yogyakarta

Patricia Natasha Krisdayanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi tentang dinamika permasalahan yang dihadapi serta strategi coping yang digunakan oleh remaja dalam perkawinan orangtua beda agama untuk mengelola konflik yang ia alami. Subjek merupakan empat remaja dari orangtua yang berbeda agama. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis isi terarah. Data dikumpulkan dengan metode wawancara.

Member checking, bias, dan peer debriefing merupakan langkah untuk mencapai kredibilitas

peneitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah subjek melakukan kombinasi dari strategi

coping. Sumber strategi coping yang mereka lakukan adalah social skill, social support, internal locus of control, dan positive beliefs.

(5)

vii

COPING STRATEGY OF ADOLESCENT IN PARENT’S INTERFAITH

MARRIAGE

Study in Yogyakarta’s Adolescent

Patricia Natasha Krisdayanti

Psychology Faculty in Sanata Dharma University

ABSTRACT

This study aims to describe and explore the dynamics of the problems faced and the coping strategies used by adolescents in marriages with parents of different religions to manage the conflicts they experience. Participants are four teenagers from parents of different religions. This type of research is a qualitative research with directed content analysis method. Data collected by interview method. Member checking, bias, and peer debriefing are steps to achieve the credibility of this research. The result of this research is that participants do a combination of coping strategies. The sources of coping strategies they do are social skills, social support, internal locus of control, and positive beliefs.

(6)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

bimbingan dan berkat-Nya sehingga skripsi ini akhirnya bisa terselesaikan.

Peneliti menyadari bahwa proses penetilian skripsi ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak dalam bentuk apapun. Maka peneliti juga mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria, atas segala berkat, rahmat, atau apapun

yang dilimpahkan kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

3. Monica Eviandaru Madyaningrum, Ph. D, selaku Kepala Prodi Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik selama

menempuh semester akhir perkuliahan. Terima kasih atas segala motivasi,

inspirasi, dan bimbingan yang diberikan selama masa perkuliahan.

4. Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang telah memberikan bimbingan dan waktunya untuk membantu peneliti

dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Selurug Dosen dan Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang selalu membantu kelancaran proses perkuliahan dan memberikan

semangat untuk menyelesaikan skripsi.

6. Th. Sukirno dan Yustina Alwianti, selaku orang tua peneliti. Terima kasih

atas segala yang telah dicurahkan bagi peneliti.

7. Albertus Himawan dan Maria Davina, selaku adik peneliti. Terima kasih

atas segala motivasi dan dukungan dalam bentuk apapun.

8. Cosmas Dipta yang selalu positif dan mendukung dalam berbagai rupa

dukungan, atas cinta tanpa syarat yang menguatkan.

9. Teman-teman subjek yang telah bersedia memberikan informasi,

meluangkan waktu, bahkan juga mendukung peneliti untuk menyelesaikan

skripsi ini.

(7)

x

10. Keluarga Curio Espresso dan Leeren yang menjadi support system

terdekat, orang yang selalu ada 24/7 dalam kehidupan peneliti.

11. Veneranda Dinda, selaku sahabat peneliti yang selalu mendukung dan

memotivasi peneliti.

12. Teman-teman Psikologi Universitas Sanata Dharma 2013, terima kasih

banyak atas segalanya.

13. Pihak-pihak laun yang telah membantu dengan cara tersendiri sejak awal

proses penulisan hingga akhirnya skripsi ini selesai, yang tidak dapat

disebutkan satu per satu.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti dengan senang hati membuka diri untuk

menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi in iberguna bagi

semua pihak.

Yogyakarta,

Peneliti,

(8)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... i

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR GAMBAR...xiv

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

BAB II ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

BAB III ... 21

METODE PENELITIAN ... 21

BAB IV ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

BAB V ... 59

(9)

xii

Daftar Pustaka ... 62

DAFTAR LAMPIRAN ... i

INFORMED CONSENT ... i

(10)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara...……….24

Tabel 2. Kategori dan Kode…………...………26

Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian...30

(11)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Informed Concern………..i

Protokol Wawancara……….ii

Tabel Verbatim SD………iv

Tabel Verbatim AT………xviii

Tabel Verbatim AC………....xliv

(12)

xv

DAFTAR GAMBAR

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan atau nikah adalah ikatan yang dilakukan sesuai dengan

ketentuan hukum dan ajaran agama (KBBI, 2016). Dalam pengertian ini,

perkawinan dapat dikukuhkan jika mengikuti ketentuan yang telah diatur

negara dalam bentuk undang-undang dan sesuai dengan ajaran agama.

Perkawinan atau pernikahan di Amerika Serikat adalah pola stabil norma dan

peran antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang menjalani

ikatan khusus atau komitmen yang bersifat resmi, baik secara hukum negara

dan sosial (Ponzetti J. J., 2003). Perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan

resmi sesuai ketentuan hukum, agama, dan berupa norma serta peran yang

dijalani oleh perempuan dan laki-laki.

Masyarakat di Indonesia yang majemuk dan heterogen membuat

perkawinan campur menjadi sulit dihindari. Perkawinan campur ini meliputi

beda suku, beda ras, dan beda agama. Perbedaan ini bukannya tidak

menimbulkan masalah. Perbedaan cara pandang masing-masing individu dari

pasangan beda suku terhadap pemberian bantuan finansial untuk keluarga,

pola asuh anak, perbedaan peran gender dan hubungan keluarga besar

merupakan konflik yang terjadi pada perkawinan berbeda suku atau

(14)

2

Namun dari sekian banyak perbedaan di Indonesia, persoalan agama

merupakan hal spesial yang kini hangat dan marak dibicarakan. Perbedaan

agama di Indonesia dan sensitifnya pembahasan agama di Indonesia pun tidak

menghalangi terjadinya perkawinan beda agama. Praktik pernikahan beda

agama di Indonesia merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Hal ini sesuai

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tentang Perkawinan

pada Pasal 2 yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Perkawinan beda agama menjadi kasus tersendiri di Indonesia terutama di

Yogyakarta. Hasil sensus terhadap perkawinan beda agama di Yogyakarta

pada tahun 1980, 1990, dan tahun 2000, sempat mengalami peningkatan di

tahun 1990 sebanyak 19 kasus dari sebelumnya tahun 1980 dengan 15 kasus

dan menjadi 12 kasus pada tahun 2000 (BPHN, 2011). Ada undang-undang

dan ajaran agama yang tidak mendukung terjadinya perkawinan beda agama.

Dari segi agama sendiri, perkawinan beda agama dilarang oleh keenam

agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu) yang

diakui di Indonesia. Dari segi yuridis, Indonesia termasuk negara non-sekuler

seperti Malaysia yang tidak memperbolehkan adanya perkawinan beda

agama. Walaupun peraturan perundangan di Indonesia juga tidak melarang

secara tegas terkait perkawinan beda agama (Sastra, 2011). Banyak kasus

artis yang melakukan praktik perkawinan beda agama seperti Shanty, Jamal

Mirdad, dan beberapa pasangan artis lainnya. Perkawinan dapat dilakukan

(15)

3

dengan mengikuti tata cara salah satu agama atau melakukan perkawinan di

luar negeri seperti misalnya, Singapura.

Ada berbagai alasan yang menyebabkan perkawinan beda agama bisa

terjadi. Pola budaya dan etnis dalam suatu negara memiliki peran utama

dalam pembentukan pernikahan beda agama (Ponzetti J. J., 2003). Menurut

Bossard dan Boll (1957), perkawinan campur, dalam hal ini beda agama,

merupakan hasil dari adanya heterogenitas dalam satu populasi penduduk.

Selain itu, penyebaran penduduk semakin meluas, menyebabkan interaksi

dengan kelompok dengan latar berbeda sehingga memperbesar kemungkinan

untuk menikah dengan orang lain dari kelompok yang berbeda (Bossard &

Boll, 1957). Orang yang tinggal di daerah populasi rendah namun dengan

tingkat keberagaman yang tinggi juga diidentifikasi mempunyai kepercayaan

terhadap agama lebih lemah dan lebih mungkin untuk melakukan perkawinan

beda agama (Ponzetti J. J., 2003).

Walaupun banyak tafsiran yang melarang perkawinan beda agama dari

segi hukum dan agama, perkawinan beda agama tetap bisa dilakukan di

Indonesia. Dalam UU tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak dijelaskan

tentang perkawinan campur atau perkawinan beda agama. Prosesnya

bergantung pada agama dari masing-masing pasangan. Misalnya untuk

pasangan Islam-Katolik, dapat dilakukan pemberkatan perkawinan di gereja

lalu melakukan akad nikah. Namun untuk dokumen yang diperoleh memang

bukan merupakan buku nikah karena buku tersebut hanya dikeluarkan oleh

Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan dalam kasus perkawinan beda

(16)

4

agama, dokumen yang didapatkan hanya akta nikah. Walau prosesnya bisa

dilaksanakan, tidak semua daerah memberikan kemudahan dalam pencatatan

perkawinan.

Berbagai permasalahan yang muncul terkait ketentuan hukum dan agama

tidak dapat mencegah terjadinya perkawinan beda agama. Beberapa daerah

yang mempermudah pencatatan tersebut adalah Salatiga, Surabaya, Denpasar,

dan salah satunya adalah Yogyakarta (Wargadireja, 2018). Perkawinan beda

agama bagi pemerintah dianggap akan menimbulkan masalah sosial di

kemudian hari. Hal ini ditunjukan dengan penolakan yang dilakukan oleh

pemerintah dalam permohonan uji materi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

(Muchaddam, 2014).

Perbedaan agama dalam perkawinan tentunya memiliki masalah yang

berbeda dengan hubungan perkawinan pada umumnya. Perbedaan tafsir

ajaran agama masing-masing individu dalam perkawinan beda agama dapat

menimbulkan persoalan atau masalah Perkawinan beda agama mempunyai

pengaruh kepada komitmen beragama bagi dua orang dalam pernikahan ini

(Petersen, 1986). Pasangan dengan agama yang berbeda kemungkinan besar

lebih mudah tersandung masalah dengan pasangannya. Dalam perkawinan

beda agama, perselisihan terus menerus mungkin saja terjadi (Pratiwi, 2014).

Selain itu menurut Pratiwi (2014), permasalahan lainnya yang mungkin

muncul adalah tekanan dari pihak keluarga dan lingkungan dan adanya

kerinduan kesamaan iman. Selain itu, tingkat keterlibatan agama pada setiap

individu di perawinan beda agama juga menurun jika dibandingkan sebelum

(17)

5

dan sesudah mereka menikah. Permasalahan-permasalahan serta tekanan

yang dialami pasangan dari perkawinan beda agama bisa saja berujung pada

perceraian dan hal ini akan memengaruhi kondisi psikologis anak.

Tujuan dari perkawinan adalah meneruskan keturunan maka anak dari segi

seksualitas; hal ini tidak bisa dipisahkan dari dampak perkawinan beda agama

itu sendiri. Pendataan yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa

40% anak dari orang Yahudi di Amerika yang menikah dengan non-Yahudi,

mereka dibesarkan tanpa identitas keagamaan yang jelas (Ponzetti J. J.,

2003). Anak dari perkawinan beda agama akan mengalami konflik moral

yang dipengaruhi oleh faktor emosional dan dominasi orangtua (Belina,

2007). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Belina (2007), anak mau

tidak mau harus mengambil satu pilihan untuk hal agama dan adanya

perasaan negatif yaitu ketidaknyamanan karena harus mengorbankan satu

nilai.

Hal ini didukung dengan hasil penelitian Pratiwi (2014) yang

menyatakan bahwa salah satu permasalahan terkait anak dari perkawinan

beda agama adalah pemilihan agama pada anak. Dampaknya, anak akan

merasa tidak nyaman dengan identitas agamanya dan ini yang kemudian akan

mempengaruhi komitmen beragama pada anak. Selain itu, adanya keinginan

dari salah satu pihak agar pasangannya menganut agama yang sama

dengannya juga merupakan dampak yang dapat terjadi di dalam keluarga

dengan orang tua yang beda agama (Sari, 2015). Sari (2015) juga

menjelaskan dampak lainnya ketika orang tuanya hanya mengesahkan

(18)

6

perkawinan mereka dengan salah satu agama saja, hal ini dapat membuat

remaja mengalami stres.

Tidak hanya dampak psikologis, anak dari perkawinan orangtua beda

agama juga mempunyai masalah hukum, terutama hukum waris. Anak yang

lahir dari perkawinan orangtua beda agama hanya memiliki hubungan perdata

dengan sang ibu (Rizki, 2012). Berbeda kasus dengan penelitian Ismail

(2004) yang menyatakan bahwa pasangan dari perawinan beda agama yang ia

teliti lebih cenderung menggunakan hukum adat dalam hal hukum waris.

Selain itu remaja pada masanya digambarkan memiliki perkembangan

konsep religius. Menurut James Fowler (1976, dalam Santrock 2003), remaja

mengalami

perkembangan

konsep

religius

yang

disebut

dengan

individuating-reflexive faith. Tahap ini muncul saat remaja memiliki

tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Tahap ini merupakan

salah satu dari tahap perkembangan manusia dalam mempercayai atau

menganut suatu keyakinan (stage of faith). Hal ini tentu akan mempengaruhi

kondisi psikologis anak dalam hal ini usia remaja, terutama remaja yang

sudah mampu menentukan pilihan sendiri untuk agama yang akan dianutnya.

Apalagi jika remaja dihadapkan dengan pilihan untuk memilih identitas

agamanya sendiri. Sedangkan dalam perkawinan beda agama ini anak

menerima nilai-nilai dan tradisi keagamaan yang mungkin berbeda antara

ayah dan ibunya.

Dilema yang dihadapi remaja baik dalam kehidupan beragama maupun

kehidupan sehari-hari membuat peneliti tertarik untuk mengungkap lebih jauh

(19)

7

tentang bagaimana strategi atau cara yang digunakan oleh remaja dari orang

tua perkawinan beda agama. Dalam penelitian ini ada tiga subyek penelitian

yang akan menjelaskan tentang hal yang dihadapinya sebagai remaja dari

perkawinan orang tua beda agama dan strateginya dalam menghadapi

permasalahan yang dihadapinya.

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana dinamika masalah yang dihadapi oleh dan strategi coping dari

remaja dalam perkawinan orang tua beda agama?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi

tentang dinamika permasalahan yang dihadapi serta strategi coping yang

digunakan oleh remaja dalam perkawinan orangtua beda agama untuk

mengelola konflik yang ia alami akibat perbedaan agama kedua orangtuanya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi bagi

penelitian-penelitian lain di bidang psikologi klinis mengenai strategi coping pada

anak dalam perkawinan beda agama.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi anak-anak dalam perkawinan atau keluarga beda agama, penelitian

ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait pengelolaan

masalah yang dihadapi akibat perbedaan agama kedua orangtuanya.

(20)

8

b. Bagi orangtua atau pasangan perkawinan beda agama, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi orangtua tentang

konflik yang dialami anak dalam perkawinan beda agama serta

pengelolaan masalahnya.

(21)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. STRATEGI COPING

1. Definisi strategi coping

Coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon

tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk

mengontrol, menolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang

dihadapi. Coping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap, yang

merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama.

Sedangkan coping yang tidak efektif berakhir dengan mal-adiktif yaitu

perilaku yang menyimpang dan keinginan normatif yang dapat merugikan

diri sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat

melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dari kondisi

individu (Baron & Byrne, 1997).

Strategi coping adalah perilaku individu mengatasi ketegangan akibat

tekanan (Frianty & Yudiani, 2015). Menurut Maryam (2017), strategi

coping merupakan tindakan yang diambil individu untuk mengatasi stres

dan efek negatif yang ditimbulkan pada fisik maupun psikologis individu.

Selain itu, strategi coping dapat diartikan sebagai usaha untuk

menteralisasi dan mengurangi stres yang terjadi (Sarafino, dalam Maryam

2017). Jadi, strategi coping adalah perilaku individu untuk mengatasi stres

(22)

10

atau tekanan yang menimbulkan ketegangan yang memberikan efek

negatif pada fisik dan psikologisnya.

2. Jenis-jenis strategi coping

Secara umum, coping dibedakan menjadi dua tipe yaitu

problem-focused coping dan emotional-problem-focused coping. Problem-problem-focused coping

dilakukan untuk mengendalikan masalah yang menyebabkan kesulitan dan

emotion-focused coping dilakukan untuk mengurangi atau mengatur

tekanan emosional yang timbul dari masalah (Folkman dan Lazarus dalam

Carver et al., 1989).

a. Problem-focused coping

Strategi coping ini berorientasi langsung pada masalah (Lazarus

& Folkman, 1984). Problem-focused coping serupa dengan istilah

active coping. Active coping merupakan sebuah langkah aKtif untuk

mengatasi tekanan atau mengurangi dampak dari munculnya

tekanan. Active coping ini meliputi tindakan langsung, meningkatkan

usaha, dan melakukan upaya secara bertahap (Carver, et al., 1989).

Berikut merupakan tiga kategori tambahan yang disertakan oleh

Carver, et al. (1989) yang membedakan antara keduanya, yaitu :

1) Planning

Individu beripikir untuk mengatasi tekanan. Hal ini meliputi

strategi tindakan, serta pemikiran tentang bagaimana cara

mengatasi dan mengendalikan masalah.

(23)

11

Individu mengesampingkan hal lain dan lebih berkonsentrasi

pada masalah agar tidak terdistraksi.

3) Restraint coping

Individu menunggu untuk bertindak pada waktu yang tepat.

Bentuk coping ini termasuk coping yang aktif karena berfokus

pada cara efektif untuk mengatasi tekanan namun juga

merupakan cara yang pasif karena ada proses menunggu yang

berarti individu tidak bertindak.

Selain itu, terdapat bentuk lain dari problem-focused coping yaitu

seeking social support for instrumental reasons. Bentuk lain ini

merupakan pencarian dukungan sosial untuk mendapatkan saran,

bantuan, atau informasi terkait pemecahan masalah.

b. Emotional-focused coping

Jenis

strategi

ini

bertujuan

untuk

mengendalikan

atau

meminimalisir tekanan emosional. Bentuk yang digunakan dalam

emotional-focused coping adalah distancing, seeking emotional

support, dan escape-avoidance (Folkman, 2010). Menurut Carver et

al. (1989), ada delapan bentuk emotion-focused coping, yaitu :

1) Seeking social support for emotional reason

Individu mencari dukungan moral untuk memperoleh simpati

atau pemahaman dari lingkungan sosialnya.

(24)

12

Kecenderungan individu untuk berfokus pada hal yang

mengecewakan dan mengungkapkan apa yang dirasakan. Hal

ini dapat menjadi baik jika digunakan pada pengalaman

kehilangan untuk berduka dan kemudian tetap melangkah ke

depan. Cara ini juga bisa menghambat penyesuaian individu

dan mengalihkan perhatian individu untuk melakukan cara

yang aktif terhadap tekanan yang dialaminya.

3) Behavioral disengagement

Kecenderungan untuk mengurangi usaha atau bahkan

menyerah untuk mencapai tujuan ketika tekanan tersebut

masih terjadi. Hal ini dapat disebut juga sebagai

ketidakberdayaan (helplessness). Secara teori, cara ini terjadi

ketika individu mengharapkan hasil coping yang buruk.

4) Mental disengagement

Cara yang dilakukan untuk mengalihkan perhatian individu

untuk tidak memikirkan tekanan yang dialaminya dengan

melakukan kegiatan lain seperti melamun, tidur, atau

menonton televisi.

5) Positive reinterpretation and growth

Istilah lainnya adalah positive reappraisal (Folkman &

Lazarus dalam (Carver et al., 1989). Cara ini dilakukan

individu untuk mengendalikan perasaan tidak nyaman akibat

(25)

13

tekanan dengan memaknai tekanan secara positif. Hal ini dapat

mengarahkan individu untuk melakukan coping yang aktif.

6) Denial

Individu menyangkal tekanan yang diperolehnya seakan

tekanan tersebut tidak nyata. Cara ini endeerung menimbulkan

tekanan atau masalah baru kecuali tekanan yang dialami

memang harus diabaikan terlebih dahulu.

7) Acceptance

Cara ini disebut juga penerimaan. Individu menerima situasi

ketika ia tertekan sehingga ia bisa melakuakn coping yang

efektif untuk mengatasi masalah atau tekanannya.

8) Turning to religion

Individu mengatasi tekanan yang dialami dengan beralih ke

agama. Agama dinilai dapat menjadi sumber dukungan

emosional, sarana reinterpretasi positif dan perkembangan

yang positif bagi individu, serta cara penanganan yang aktif

terhadap tekanan emosional.

3. Sumber coping

Strategi coping berasal dari berbagai sumber seperti yang disebutkan

oleh Lazarus dan Folkman (dalam Huffman et al., 2000). Beberapa sumber

tersebut adalah health and energy, positive beliefs, internal locus of

control, social skills, social support, dan material resources.

(26)

14

Segala macam tekanan dapat memberi perubahan pada fisiologis kita

maka kesehatan fisik kita memengaruhi kemampuan individu dalam

menerapkan strategi coping. Semakin baik kesehatan fisik individu,

maka semakin mampu nertahan dan menghadapi masalah atau tekanan

tanpa harus memasuki fase kelelahan.

b. Positive beliefs

Citra diri dan sikap positif terhadap diri juga merupakan sumber

coping yang baik. Semakin individu meningkatnya citra diri maka akan

mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang

menimbulkan tekanan (Greenberg et al., dalam Huffman, Vernoy, &

Vernoy, 2000). Individu akan semakin bisa merancang strategi coping

yang efektif dan yakin dapat mengatasi tekanan tersebut.

c. Internal locus of control

Individu yang memiliki internal locus of control cenderung tidak

mudah stres dibandingkan dengan orang yang lebih dominan external

locus of control. Individu dengan internal locus of control akan lebih

memiliki kontrol atau kendali atas tekanan psikologis yang ia alami.

d. Social skills

Individu yang memiliki kemampuan sosial yang baik cenderung

tidak mudah cemas dan sebaliknya, individu dengan kemampuan sosial

yang buruk akan lebih mudah terserang penyakit. Selain membantu

untuk berinteraksi dengan individu lain, kemampuan sosial yang baik

(27)

15

juga membantu individu dalam mengutarakan kebutuhan dan

keinginannya serta memperoleh bantuan ketika menghadapi tekanan.

e. Social support

Dukungan sosial dapat membantu individu dalam menghadapi

tekanan. Orang-orang di sekitar individu dapat membantu memastikan

apakah individu tersebut masih bisa mengurus kebutuhan individu yang

sedang menghadapi tekanan atau memastikan kesehatan individu

tersebut. bago-bagi orang yang mengalami tekanan psikologis yang

spesifik, mereka biasanya membuat kelompok dukungan yang sangat

bisa membantu mereka menghadapi tekanan tersebut. Kelompok seperti

ini tidak hanya bisa menjadi tempat berbagi, namun juga bisa belajar

cara coping individu lain yang menghadapi masalah yang sama.

f. Material resources

Uang dapat membuat individu memilki banyak pilihan untuk

mengurangi sumber dan efek stres. Penelitian Lazarus dan Folkman

(1984, dalam Huffman 2000) menyatakan bahwa mereka yang memiliki

lebih banyak uang, mengalami tekanan yang lebih sedikit dibandingkan

dengan mereka yang memiliki lebih sedikit uang.

B. Perkawinan Beda Agama

1. Perkawinan

Dalam UU no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud

dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(28)

16

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Selain itu dalam KBBI (2016), perkawinan atau nikah adalah

ikatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.

Menurut Ponzetti (2003), perkawinan atau pernikahan di Amerika Serikat

diartikan sebagai pola stabil norma dan peran antara laki-laki dan

perempuan yang menjalani ikatan khusus atau komitmen yang bersifat

resmi, baik secara hukum negara dan sosial. Perkawinan dapat diartikan

ikatan resmi sesuai ketentuan hukum, agama, dan berupa norma serta

peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki.

2. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara pria dan

wanita yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu

sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu

pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama atau

kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita

yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya

memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.

3. Dampak Perkawinan Beda Agama

Pendataan yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa

40% anak dari orang Yahudi di Amerika yang menikah dengan

non-Yahudi, mereka dibesarkan tanpa identitas keagamaan yang jelas (Ponzetti

J. J., 2003). Anak dari perkawinan beda agama akan mengalami konflik

moral yang dipengaruhi oleh faktor emosional dan dominasi orangtua

(29)

17

(Belina, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Belina (2007), anak

mau tidak mau harus mengambil satu pilihan untuk hal agama dan adanya

perasaan negatif yaitu ketidaknyamanan karena harus mengorbankan satu

nilai. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Pratiwi (2014) yang

menyatakan bahwa salah satu permasalahan terkait anak dari perkawinan

beda agama adalah pemilihan agama pada anak. Dampaknya, anak akan

merasa tidak nyaman dengan identitas agamanya dan ini yang kemudian

akan mempengaruhi komitmen beragama pada anak. Selain itu, adanya

keinginan dari salah satu pihak agar pasangannya menganut agama yang

sama dengannya juga merupakan dampak yang dapat terjadi di dalam

keluarga dengan orang tua yang beda agama (Sari, 2015). Sari (2015) juga

menjelaskan dampak lainnya ketika orang tuanya hanya mengesahkan

perkawinan mereka dengan salah satu agama saja, hal ini dapat membuat

remaja mengalami stres.

C. Kerangka Konseptual

Remaja merupakan individu dalam masa peralihan dari anak-anak

menjadi dewasa. Aspek perkembangan pada remaja adalah aspek fisik,

kognitif, dan psikososial (Santrock, 2003). Remaja Indonesia rentang

usianya adalah 11-24 tahun (Sarwono, 1989 dalam Wardhani 2018).

Remaja pada masanya digambarkan memiliki perkembangan konsep

religius. Menurut James Fowler (dalam Santrock, 2003), remaja

mengalami perkembangan konsep religius yang disebut dengan

(30)

18

tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Tahap ini

merupakan salah satu dari tahap perkembangan manusia dalam

mempercayai atau menganut suatu keyakinan (stage of faith). Hal ini tentu

akan mempengaruhi kondisi psikologis anak dalam hal ini usia remaja,

terutama remaja yang sudah mampu menentukan pilihan sendiri untuk

agama yang akan dianutnya.

Anak dari perkawinan beda agama akan mengalami konflik moral

yang dipengaruhi oleh faktor emosional dan dominasi orangtua. Anak mau

tidak mau harus mengambil satu pilihan untuk hal agama dan adanya

perasaan negatif yaitu ketidaknyamanan karena harus mengorbankan satu

nilai. Salah satu permasalahan terkait anak dari perkawinan beda agama

adalah pemilihan agama pada anak. Dampaknya, anak akan merasa tidak

nyaman dengan identitas agamanya dan ini yang kemudian akan

mempengaruhi komitmen beragama pada anak. Selain itu, adanya

keinginan dari salah satu pihak agar pasangannya menganut agama yang

sama dengannya juga merupakan dampak yang dapat terjadi di dalam

keluarga dengan orang tua yang beda agama. Dampak lainnya ketika

orang tuanya hanya mengesahkan perkawinan mereka dengan salah satu

agama saja, hal ini dapat membuat remaja mengalami stres.

Remaja yang berada dengan orang tua yang berbeda agama

memerlukan strategi coping untuk menghadapi permasalahan yang

dialami. Strategi coping adalah perilaku individu untuk mengatasi stres

atau tekanan yang menimbulkan ketegangan yang memberikan efek

(31)

19

negatif pada fisik dan psikologisnya. Ada dua jenis strategi coping yaitu,

problem focused coping dan emotion focused coping. Bentuk problem

focused coping antara lain planning, supression of competing activities,

restraint coping, dan mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental.

Selain itu, bentuk emotional focused coping adalah mencari dukungan

sosial maupun moral dari orang lain, focusing and venting of emotion,

behavioral disengagement, mental

disenagagement, positive reinterpretatiton and growth, penolakan,

penerimaan, dan kembali pada kepercayaan atau agama yang dianut.

Strategi coping juga berasal dari beberapa sumber. Sumber strategi

coping adalah kesehatan dan energi, keyakinan positif, internal locus of

control, social skills, social support, dan material resources.

(32)

20

Gambar 1. Kerangka Konseptual.

Strategi Coping

Problem focused coping

Planning. supression of

copeting activities, restraint

coping, seeking social

support for instrumental

reasons

Emotional focused coping

Seeking social support for

emotional reasons, focusing

on and venting of emotions,

behavioral disengagement,

mental disengagaement,

positive reinterpretation,

denial, acceptance, turning

to religion

Remaja adalah individu yang sedang mengalami masa

peralihan dari anak-anak menuju dewasa, salah satu

aspeknya adalah psikososial.

Dampak perbedaan agama orang tua yaitu konflik moral,

adanya tekanan atau stres, dan adanya perasaan tidak

nyaman.

Sumber coping :

health and energy

keyakinan positif,

internal locus of

control

social skills

social support

material resources.

(33)

21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah kualitatif. Metode

penelitian kualitatif merupakan metode yang mengeksplorasi dan memahami

makna yang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Metode kulitatif

digunakan untuk meneliti fenomena, memahami pemikiran dan perasaan

individu (Adams et al., 2008). Penelitian kulitatif bertujuan untuk mencari

tahu, mendalami, dan menerima informasi yang diperoleh sebagai hasil dalam

proses penelitian (Breakwell et al., 2012). Penelitian kualitatif dirancang

untuk mengeksplorasi berbagai elemen dalam hidup manusia dari berbagai

topik, metodenya menguji bagaimana individu melihat dan memaknai

pengalamannya (Adams et al., 2008). Secara umum, penelitian kualitatif

lebih mengandalkan data berupa ungkapan subjek penelitian untuk

mengeksplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam

sebuah penelitian (Supratiknya, 2015).

Menurut Poerwandari (dalam Rachmayanti & Zulkaida, 2007),

penelitian kulaitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya

deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto,

rekaman video, dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan metode

wawancara yang kemudian diubah menjadi transkrip wawancara sebagai

sumber data. Data akan diolah dengan analisis isi kualitatif (AIK). Dalam

Supratiknya (2015), Hsieh dan Shanon menjelaskan AIK merupakan metode

(34)

22

penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui

proses klasifikasi sistematik dalam bentuk pengodean dan identifikasi aneka

tema atau pola. AIK juga merupakan metode untuk menganalisis pesan-pesan

komunikasi baik yang bersifat tertulis, lisan, atau visual (Supratiknya, 2015).

AIK bertujuan untuk mengungkap isi atau makna dari sebuah teks sesuai

konteks.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah strategi coping yang digunakan oleh anak dari

perkawinan beda agama dalam mengelola konflik yang dihadapi dari

perbedaan agama kedua orangtuanya.

D. Subjek Penelitian

Penelitian ini berfokus pada strategi coping yang dipakai oleh anak

dalam perkawinan beda agama. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan

proses di mana subjek dipilih sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh

peneliti (Adams et al., 2008). Subjek dalam penelitian ini memiliki karakter

yang sama seperti usia dan latar belakang keluarga di mana orangtuanya

berbeda agama. Kriteria subjek yang pertama adalah subjek merupakan

individu yang masuk golongan remaja yang berusia 18-24 tahun dan belum

menikah. Kriteria ini dipilih karena pada masa remaja subjek mengalami

perkembangan konsep religius yang disebut dengan individuating-reflexive

faith dan pada saat ini remaja memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan

(35)

23

agama, masih tinggal bersama orangtuanya dan berdomisili di Yogyakarta.

Kriteria ini dipilih karena kondisi orangtua yang berbeda agama akan

memberikan dampak psikologis bagi subjek.

E. Proses Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan metode

wawancara. Menurut Rachmawati (2007), wawancara dalam penlitian

kualitatif berbeda dengan wawancara lainnya seperti pada penerimaan

karyawan baru. Peneliti lebih mengarahkan wawancara pada penemuan

perasaan, persepsi, dan pemikiran subjek. Penelitian ini menggunakan jenis

wawancara semi berstruktur. Peneliti dapat mengembangkan pertanyaan dan

memutuskan pertanyaan yang ingin dimunculkan. Dalam wawancara semi

berstruktur ini, pedoman wawancara tetap ada dalam bentuk yang rinci

namun tidak harus diikuti secara ketat.

Data yang dihasilkan dalam penelitian kualitatif merupakan data yang

bersifat deskriptif. Data dari proses wawancara dalam penelitian ini direkam

menggunakan alat perekam. Data yang diperoleh berupa rekaman kemudian

diubah menjadi transkrip sebagai sumber data. Proses perolehan data meliputi

beberapa tahap, yaitu :

1. Peneliti mencari subjek yang sesuai dengan kriteria dan bersedia

untuk berpartisipasi dalam penelitian.

2. Membangun rapport dan menjelaskan tujuan penelitian, kerahasiaan

identitas serta data subjek, peran subjek dalam penelitian. Kemudian

(36)

24

meminta ijin untuk merekam suara selama proses wawancara

berlangsung.

3. Menyepakati jadwal wawancara bersama subjek.

4. Menyusun panduan wawancara sebagai acuan dalam proses

wawancara sesuai dengan tujuan penelitian.

5. Melangsungkan proses wawancara.

Tabel 1

Panduan Wawancara

No. Pertanyaan

Latar Belakang Subjek

1 Biodata subjek (nama lengkap, usia, TTL, tempat tinggal, daerah asal). 2 Sejak usia berapa mengetahui orang tua beda agama?

3 Bagaimana awal mula mengetahui perbedaan agama orang tua? Dampak Perbedaan Agama Orang Tua

4 Bagaimana reaksi Anda setelah mengetahui perbedaan agama orang tua? 5 Bagaimana kehidupan Anda setelah tahu perbedaan agama orang tua? 6 Perubahan apa yang dirasakan setelah mengetahui perbedaan agama orang

tua?

Strategi Koping

7 Bagaimana Anda menghadapi permasalahan dari perbedaan agama orang tua?

8 Seberapa sering Anda menggunakan cara tersebut?

9 Mengapa menggunakan cara tersebut untuk menghadapi masalah dari perbedaan agama orang tua?

10 Perubahan apa yang diperoleh dengan menggunakan cara tersebut? 11 Cara mana yang paling berpengaruh?

Sumber Koping

12 Siapa yang paling dominan membantu dalam menghadapi masalah?

(37)

25

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif sehingga data yang

diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis isi terarah. Menurut Hsieh

dan Shannon (dalam Supratiknya, 2015), analisis isi terarah bertujuan untuk

menguji ulang dan memvalidasi kerangka teoretis atau sebuah teori. Teori

atau penelitian sejenis digunakan untuk membantu merumuskan pertanyaan

penelitian atau membantu menyusun skema awal pengodean. Dalam analisis

isi terarah terdapat beberapa langkah, yaitu :

1. Menyusun matriks kategorisasi

Hasil wawancara dengan subjek diolah menjadi verbatim. Hasil

verbatim ditulis dalam bentuk tabel sehingga mempermudah proses

analisis data. Matriks kategorisasi disusun dengan memilah hasil

wawancara dari subjek ke kategori tertentu. Kriterianya sebagai berikut

:

a. Problem focused coping

Strategi mengatasi dan mengelola masalah untuk mengurangi

dampak tekanan yang berorientasi pada masalah. Bentuknya

adalah planning, supression of competing activities, restraint

coping, dan social support for instrumental reason.

b. Emotion focused coping

Strategi mengatasi dan mengelola masalah yang bertujuan

untuk mengendalikan atau meminimalisir tekanan emosional.

Bentuknya adalah distancing, seeking emotional support, dan

(38)

26

Tabel 2

Kategori dan Kode

No

Tema

Subtema

Kode

1.

Pfc

Planning

P1

Suppression of competing activities

P2

Restraint coping

P3

Seeking social support for instrumental

reason

P4

2.

Efc

Seeking social support for emotional

reason

E1

Focusing on and venting of emotion

E2

Behavioral disengagement

E3

Mental disengagement

E4

Positive reinterpretation and growth

E5

Denial

E6

Acceptance

E7

Turning into religion

E8

2. Melakukan pengodean

Salah satu strategi dalam pengodean menurut Hsieh dan Shannon

(dalam Supratiknya, 2015) adalah dengan membaca keseluruhan

transkrip wawancara, dan menandai bagian-bagian penting yang

merupakan representasi dari hal yang diteliti. Kemudian, peneliti

langsung menentukan kode dari semua bagian-bagian yang sudah

ditandai dengan kode yang sudah ditentukan pada matriks kode.

bagian-bagian dari transkrip wawancara yang tidak cocok dengan kode yang

ditentukan akan dianalisis masuk ke subkategori atau diberi kode baru

atau kode tambahan.

(39)

27

F. Dependabilitas dan Kredibilitas

Menurut Supratiknya (2015), peneliti kualitatif harus menjelaskan

strategi-strategi yang digunakan untuk menjamin reliabilitas dan validitas hasil

penelitiannya.

1. Dependabilitas

Dependabilitas merupakan istilah untuk menyebut reliabilitas dalam

penelitian kualitatif. Reliabilitas adalah sejauh mana pendekatan yang

digunakan oleh peneliti konsisten dengan pendekatan yang digunakan

peneliti lain dan dalam proyek penelitian yang lain (Supratiknya, 2015).

Berikut adalah cara menguji reliabilitas hasil penelitian kualitatif menurut

Creswell (dalam Supratiknya, 2015) :

a. Memeriksa transkrip wawancara untuk memastikan tidak adanya

kesalahan dalam proses transkripsi.

b. Memastikan tidak adanya perubahan makna kode-kode selama proses

pengodean hasil wawancara. Pergeseran makna kode dapat dihindari

dengan membandingkan data dengan kode yang telah dirumuskan

sesuai definisi yang ada.

2. Kredibilitas

Validitas

dalam

penelitian

kualitatif

disebut

dengan

istilah

kredibilitas.Validitas kualitiatif dimaknai sebagai sejauh mana peneliti

memeriksa keakuratan temuannya dengan menerapkan sejumlah prosedur

tertentu (Supratiknya, 2015). Berikut adalah cara-cara agar penelitian ini

mencapai validitas :

(40)

28

a. Member checking

Peneliti menunjukan hasil-hasil penelitian berupa tema-tema kepada

subjek untuk mengetahui keakuratan tema-tema tersebut menurut subjek.

Setelah tema-tema tersebut disetujui oleh subjek, peneliti dapat menulis

hasil tersebut sebagai laporan akhir.

b. Bias

Peneliti mengurangi kemungkinan terjadinya bias pribadi dalam

penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan refleksi diri yang jujur

terhadap kemungkinan adanya pengaruh latar belakang pribadi peneliti

seperti, gender, budaya, sejarah, dan keadaan sosioekonomiknya.

c. Peer debriefing

Peneliti meminta bantuan rekan sejawat untuk melakukan review

dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terkait penelitian.

(41)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan penelitian

Subjek dalam penelitian ini merupakan remaja yang tinggal dengan

orangtua yang beda agama. Subjek dipilih dengan metode purposive

sampling. Sebelumnya, peneliti mennentukan kriteia subjek lalu

mencari subjek di media sosial. Hal ini dilakukan dengan menyebar

poster digital melalui media sosial oleh teman-teman. Tujuannya

adalah untuk mendapatkan subjek yang betul-betul bersedia menjadi

subjek dalam penelitian ini.

Subjek menghubungi peneliti melalui komunikasi daring

(chatting). Peneliti kemudian melakukan perkenalan diri dan

menjelaskan sedikit tentang penelitian dan keterlibatan subjek dalam

penelitian. Peneliti juga memastikan kembali kesesuaian kriteria

subjek. Peneliti menjelaskan gambaran tujuan penelitian dan kembali

menanyakan kesediaan subjek untuk diwawancara. Peneliti juga

mengatur jadwal pertemuan untuk wawancara dengan subjek yang

telah bersedia.

Peneliti menjelaskan tujuan wawancara, menjelaskan, dan meminta

subjek untuk mengisi informed consent pada subjek. Peneliti juga

menjelaskan pada subjek bahwa semua percakapan pada proses

wawancara akan direkam menggunakan handphone. Peneliti

(42)

30

menjelaskan bahwa setelah proses wawancara selesai, peneliti akan

memeriksa hasil wawancara untuk menentukan keperluan probing jika

masih ada yang perlu digali. Jika peneliti memerlukan probing,

peneliti akan mengubungi subjek kembali untuk mengatur jadwal

pertemuan. Jika data yang diperoleh sudah cukup maka peneliti tidak

perlu melakukan probing.

2. Pelaksanaan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk pengambilan

data. Proses pengambilan data dilakukan dua kali yang pertama adalah

raport dan wawancara, yang kedua adalah probing.

Waktu dan tempat pengambilan data subjek adalah sebagai berikut

:

Tabel 3

Waktu dan Tempat Penelitian

Subjek

Rapport dan Wawancara

Probing

1 (S)

Senin 16 September 2019,

Curio Espresso Gejayan

Sabtu 2 Mei 2020, di

tempat tinggal subjek

2 (T)

Jumat 20 Maret 2020, di

tempat tinggal subjek

3 (C)

Minggu 22 Maret 2020, di

Warung

Burjo

Brigjend.

Katamso

(43)

31

1. Data subjek

Tabel 4

Data Subjek

Subjek

Usia

Jenis

Kelamin

Waktu

1 (S)

24 th

Laki-laki

12 th (kelas 6 SD)

2 (T)

21 th

Laki-laki

4 th (TK)

3 (C)

25 th

Laki-laki

6 th (kelas 1 SD)

2. Latar belakang subjek

a. Subjek 1

S merupakan seorang remaja akhir berusia 25 tahun. S lahir di

Yogyakarta, 30 September 1995. S adalah anak sulung dari dua

bersaudara. Ia dan adiknya sempat tinggal di Bekasi namun sejak

SMA, S pindah ke Yogyakarta bersama adiknya. S saat ini

menetap di Yogyakarta dan menempuh pendidikan di salah satu

perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Kesibukan S selain kuliah

adalah mengelola kafe kecil milik pamannya. Selain itu, S juga

aktif sebagai mahasiswa pecinta alam sehingga kadang ia naik

gunung bersama teman-teman kampusnya saat akhir pekan. S juga

sedang mengerjakan tugas akhirnya yang sempat tertunda. S saat

ini sedang asik mengulik hobinya di bidang fotografi karena juga

selaras dengan jurusan kuliahnya. Kedua orangtuanya merupakan

karyawan swasta. Saat masih tinggal di Bekasi, ibu S merupakan

ibu rumah tangga. Namun sejak SMA, ibu S memilih untuk

(44)

32

bekerja. S lebih sering tinggal bersama adiknya di rumah karena

kesibukan kedua orangtuanya.

S mengetahui perbedaan agama kedua orangtuanya sejak ia

kelas 1 SD. Sepengetahuan S, ibu dan ayahnya menikah secara

Katolik namun ibu S tetap memeluk agama Islam. Setelah

menikah, ibu S pindah ke agama Katolik. Selama 6 tahun sejak S

kelas 1 SD, setiap akhir pekan S tinggal bersama kakek dan

neneknya dari keluarga ayahnya sehingga dalam hal agama, ia

banyak dibimbing oleh kakeknya di Jakarta. Ketika S menerima

Komuni Pertama di kelas 6 SD, ibu S datang mendampinginya

untuk menerima Sakramen Maha Kudus pertama kali namun tidak

ikut menerima hosti. Setelah itu, S melihat bahwa ibunya kembali

sholat setelah beberapa kali ikut misa di gereja namun tidak

mengikuti komuni.

S merasa biasa saja dengan perbedaan agama kedua

orangtuanya. Menurut S, hal ini dikarenakan ia merasa bahwa

kedua orangtuanya tidak begitu kuat pengaruh dan bimbingannya

soal agama. S lebih banyak dibimbing oleh kakeknya. Sejak kecil,

soal agama menjadi urusan kakeknya. Menurut S, ayahnya Katolik

namun S tidak pernah melihatnya ke gereja untuk ibadah. S

melakukan ibadah ke gereja bersama kakeknya atau sesekali

ditemani ibunya. Ibu S perlahan menunjukan perubahan dari sholat

lalu merubah pakaiannya dengan menggunakan jilbab. S sempat

(45)

33

dijemput ke sekolah saat SMP oleh ibunya yang mengenakan

jilbab.

S sempat malu dengan teman-temannya karena perubahan

ibunya yang terlihat. S sempat menolak untuk dijemput oleh

ibunya karena hal itu. Ketika memasuki bulan Ramadhan, S ikut

sahur dan berbuka puasa dengan ibunya namun tidak ikut berpuasa.

S sempat ditanyai oleh teman-teman di lingkungan rumahnya yang

mayoritas beragama Islam tentang mengapa orangtua S berbeda

agama. S menjawab kalau ia tidak tahu. S tidak pernah

menanyakan perihal ibunya yang tiba-tiba memilih menggunakan

jilbab. S merasa pertanyaannya pada saat ibunya tidak ikut

menerima hosti saat S menerima Komuni Pertama terjawab dengan

perubahan ibunya. Lambat laun, S mulai terbiasa dengan

perubahan ibunya.

S merasa karena perbedaan agama orangtuanya membuat ia

kurang mendapatkan bimbingan agama daari orangtuanya.

Hubungannya dengan orangtuanya pun tidak dekat. S lebih banyak

mendapatkan bimbingan dari kakeknya saat ia SD. Namun, S

merasa bebas memilih agama karena tidak ada pihak yang

memaksakan salah satu agama orangtuanya. Ia pun jadi tidak

memperhatikan pelajaran agama di sekolahnya. Orangtuanya juga

tidak mendorongnya untuk ikut aktif salam kegiatan keagamaan. S

juga tidak merasakan apapun ketika ia menjalankan ibadah. S juga

(46)

34

tidak mengenal agama ibunya yaitu Islam. Hal ini dikarenakan

hubungannya dengan ibuatidak dekat. Keluarganya pun tidak ada

yang mempermasalahkan soal pilihan agama S saat ini.

S merasa perbedaan agama kedua orangtuanya memengaruhi

cara orangtuanya menyelesaikan masalah mereka. S pun meraa

orangtuanya sedang ada masalah dan akan berpisah. Menurut S,

perpisahan orangtuanya dikarenakan perbedaan penyelesaian

masalah yang bersumber dari perbedaan agama keduanya. S

sendiri tidak terlalu mengetahui apa pemicu atau masalah

perpisahan orangtuanya. S juga enggan bertanya pada orangtuanya

karena hubungannya tidak terlalu dekat sehingga tidak ada

komunikasi yang akrab dengan orangtuanya. Hubungan S dengan

orangtuanya makin jauh setelah keluarganya pindah ke

Yogyakarta. S jarangb sekali berkomunikasi dengan ibunya karena

sering tidak berada di rumah karena alasan pekerjaan. Hal ini

membuat S berbicara seperlunya saja dengan orangtuanya, lebih

sering bersama ayahnya, dan jarang menghubungi ibunya.

b. Subjek 2

T adalah remaja akhir berusia 21 tahun. S adalah anak sulung

dari 4 bersaudara yang lahir di Kabupaten Semarang, 17 Maret

1999. T saat ini tinggal di Sewon, Bantul bersama orangtua dan

satu adiknya. Dua adiknya tinggal di Bawen bersama kakek

neneknya. T dan keluarganya sempat tinggal di Bawen sampai ia

(47)

35

lulus SMK. Semenjak ayah T pindah dinas pekerjaan, lalu ia,

ibunya, dan salah satu adiknya ikut pindah ke Sewon. Saat ini T

bekerja sebagai Quality Assurance di sebuah pabrik garmen di

Bantul. T bertugas untuk memastikan kualitas barang yang

diproduksi yang akan dikirim ke luar negeri. T membaca buku dan

menulis di waktu luangnya. T menyukai beberapa sastrawan

Indonesia, namun T juga menyukai beberapa penulis asing dari

Perancis dan Jepang. Selain itu, T masih mempunyai keinginan

untuk belajar dan mendalami seni. Ia masih bercita-cita kuliah di

Institut Seni Indonesia (ISI). Saat ini T hanya bisa belajar tentang

seni melalui teman-temannya yang berkuliah di ISI. Semenjak ia

pindah di Sewon, ia lebih mudah mendapat banyak teman yang

dapat berbagi soal seni dengannya. T pulang ke Bawen menengok

adik dan kakek neneknya seminggu sekali atau jika ia tidak harus

lembur saat akhir pekan. Jika T harus lembur karena produksi

sedang tinggi, maka ia menunda kepulangannya di minggu

selanjutnya. Ayah T merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dan ibu

T adalah seorang ibu rumah tangga. ketiga adik T masih sekolah.

Adik pertamanya sudah lulus SMK dan akan bekerja, adik

keduanya masih SMP dan adik bungsunya masih SMP. Dua adik T

masih tinggal di Bawen karena masih menerima beasiswa

pendidikan di sana sampai SMK sehingga belum bisa ikut pindah

ke Yogyakarta.

(48)

36

T mengetahui perbedaan agama kedua orangtuanya ketika ia

masih TK. Ia mengetahui perbedaan agama kedua orangtuanya

setelah ia bersekolah. Sejak kecil, T menganut agama yang sama

dengan ibunya. S ikut melakukan kegiatan ibadah seperti yang

diajarkan ibunya yaitu sholat dan kegiatan agama Islam lainnya.

Namun, ayah T terkadang mengajak T juga untuk ikut perayaan

Natal atau Paskah di gereja dusun. T ikut merayakan karena

sebagian besar jemaat gereja tersebut juga masih kerabat baik jauh

maupun dekat dengan keluarganya. T juga ikut tampil di pentas

Sekolah Minggu gerejanya ketika sedang merayakan Natal atau

Paskah. Hal ini terjadi sebelum T mendapat pendidikan soal

agama. Namun ketika T masuk TK, ia baru mengerti kalau

orangtuanya memiliki agama yang berbeda.

Saat TK, T bersekolah di sekolah Katolik milik Yayasan

Marsudirini. T juga mendapat beasiswa dan mengikuti kegiatan

pengembangan diri PPA yang dikelola oleh yayasan dari agama

Kristen. Selama T mengikuti kegiatan dari PPA, T juga kerap ikut

perayaan Natal. Selama menempuh pendidikan SD, T mengikuti

pelajaran agama Islam karena ia bersekolah di sekolah negeri

sampai T SMK ia bersekolah di sekolah negeri. T pun menerima

beasiswa dan mengikuti kegiatan dari PPA sampai ia lulus SMK.

Walau T mengetahui perbedaan agama kedua orangtuanya sejak

TK, ia merasa hal tersebut adalah hal yang biasa saja sampai ia SD.

(49)

37

Selama TK sampai SD, ia dan keluarganya menjalankan ibadahnya

masing-masing seperti biasa. Ayah T setiap Minggu ke gereja dan

ibunya menjalankan sholat serta mengaji. Ketika hari raya pun

keduanya merayakan seperti biasa dan tetap saling membantu saat

menjelang hari raya dan hari raya tiba. T menyaksikan tidak ada

satu pun dari orangtuanya yang mempermasalahkan ketika salah

satu menjalankan ibadahnya pada hari itu.

Walau sejak kecil mengetahui perbedaan agama orangtuanya, T

memiliki beberapa pertanyaan terkait dengan perbedaan agama

orangtuanya sejak ia SMP lalu SMK. T penasaran dengan

bagaimana orangtuanya bisa menikah dengan agama yang berbeda.

T mempertanyakan bagaimana dengan ajaran masing-masing

agama orangtuanya ketika mereka akhirnya memutuskan menikah.

Hal ini karena sepengetahuan T baik dari agama Kristen ada ajaran

atau hadits yang mengatur soal pasangan yang seiman. Sejak kecil

T memang menganut agama Islam seperti ibunya, namun ia juga

masih sering ikut ayahnya ke gereja. Selain itu T juga sering ikut

pentas ketika ada perayaan Natal ata Paskah di gereja. Namun bagi

T, ibunya tetap lebih dominan dalam hal agama.

Walau ibu dan ayahnya menganut agama yang berbeda, T

melihat adanya toleransi di antara mereka berdua. T merasa tidak

ada salah satu pihak yang mempermasalahkan ketika sedang

menjalankan ibadahnya masing-masing. Toleransi makin terlihat

(50)

38

terlebih ketika memasuki masa Ramadhan. Ayah T akan ikut

mengingatkan mereka untuk menjalankan sahur. Terkadang, ayah

T juga ikut menyiapkan hidangan untuk mereka. T lebih sering

membayangkan respon orang lain tentang perbedaan agama

orangtuanya, apalagi T dan keluarganya merupakan orang Jawa

yang tinggal di tengah masyarakat Jawa yang khas dengan

budayanya. Menurut T masyarakat Jawa terbiasa membincangkan

hal-hal yang dirasa tidak seperti pada umumnya. Selain ingin tahu

tata cara pernikahan kedua orangtuanya, T juga penasaran dengan

kesepakatan orangtuanya tentang agama yang dianut oleh T dan

adik-adiknya.

T merasa bahwa kehidupan keluarganya tetap harmonis dan

penuh tolernasi di tengah perbedaan. Walaupun begitu, T merasa

lebih dekat dengan ibunya dan keluarga yang juga beragama Islam.

T jarang berbincang dengan ayahnya, bahkan T lebih sering

berbeda pendapat dengan ayahnya. Hal ini berdampak pada

karakter T ketika menghadapi masalah lain, yaitu menjadi mudah

mengalah dan mudah merasa sungkan atau tidak enak dengan orng

lain. T juga jadi sulit berargumen jika sedang membicarakan suatu

masalah. T sendiri merasa takut kehilangan jati diri ketika mencoba

berargumen.

Masalah ini kerap terjadi di lingkungan pekerjaan. T bekerja

dengan orang-orang yang lebih tua darinya, padahal jabatan T lebih

(51)

39

tinggi dari mereka. Ketika terjadi perbedaan pendapat saat

memeriksa kualitas baju atau jahitan, T lebih sering mengandalkan

seniornya kalau ia tidak bisa berargumen. Namun T ingin sekali

tetap bisa menghadapi masalah tersebut karena hal ini menyangkut

pekerjaan T dan itu biasa terjadi di lingkungan pekerjaan ketika

terjadi perbedaan kualitas antara pesanan dan hasil yang

dikerjakan.

c. Subjek 3

C adalah seorang mahasiswa berusia 24 tahun. Ia tinggal di

Kalasan, Yogyakarta. Ia lahir di –mana-, dd/mmm/tttt. C berkuliah

di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Saat ini, C

sedang mengerjakan dan menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. C

tinggal bersama kedua orangtuanya. C memiliki adik yang kini

sedang bekerja dan menempuh pendidikan di salah satu perguruan

tinggi negeri di Malang. C membantu kedua orangtuanya di rumah

di sela waktunya. Ibu C adalah seorang ibu rumah tangga yang

juga terkadang berjualan makanan. C membantu mempromosikan

dan mengantar pesanan. Ayah C merupakan pensiunan karyawan

swasta yang kini mengelola indekos di Maguwoharjo.

C mengetahui perbedaan agama orangtuanya semenjak kelas 1

SD. C melihat cara ibadah ayah dan ibunya yang berbeda. Selain

melihat tata cara ibadah yang berbeda, C melihat ibunya tidak ikut

ke gereja bersama dia dan ayahnya. Ibu C hanya ke gereja ketika

Gambar

Tabel 4  Data Subjek

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat yang ada disekitar pasar, lebih dari itu pasar telah dijadikan sebagai.. sarana penggerak roda perekonomian dalam skala besar

Hasil penelitian berupa model pelembagaan partisipasi masyarakat untuk pemanfaatan sistem informasi desa berbasis kelompok yang kemudian mendapat dukungan fasilitasi pihak lain

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat dalam dunia pendidikan, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis tentang peningkatan kemampuan membaca

Tujuan keseluruhan dari kerja sama ASEAN di bidang ketenagakerjaan adalah untuk membangun visi menuju kualitas hidup yang lebih baik, pekerjaan yang produktif, dan perlindungan

THE ANALYSIS OF TEACHERS’ LESSON PLAN IN IMPLEMENTING THEME -BASED INSTRUCTION FOR TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Klorinasi telur ayam ras konsumsi dengan dosis ± 153 ppm selama 30 detik mempunyai pengaruh yang nyata dalam mematikan dan atau menurunkan titer virus pada permukaan kerabang

pengetahuan), Team Quiz (quiz kelompok), Card Sort (sortir kartu), Numbered Heads (kepala bernomor), dan lain-lain. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh

MUHAMMAD ILYASA NAZRI: Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis Jacq. ) Terhadap Komposisi Media Tanam dan Beberapa Dosis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit di