STRATEGI COPING PADA REMAJA DARI PERKAWINAN
ORANG TUA BEDA AGAMA
Diajukan untuk Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Fakultas Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Patricia Natasha Krisdayanti
139114093
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
iii
HALAMAN MOTTO
it ain’t easy. –me.
Ad dhua silahul mu'min.
(doa adalah senjata orang beriman)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tuhan, Bunda Maria dan Semesta
yang selalu ada sekalipun dombaNya sedang tersesat
Papa dan Mama
yang berdoa tanpa henti, mendukung tanpa putus, mengingatkan dengan semangat
yang tak pernah mati
Awan dan Vina
yang selalu menjadi pengingat dan penyemangat kalau harus segera saya
bahagiakan
Dr. Shinta Retno, Sp. KJ dan Ibu Melina Dian K., S. Psi., Psikolog,
MA
yang membantu kepulihan
Keluarga dari Curio Espresso dan Leeren
yang tabah mengingatkan walau beberapa berujung menghilang, kasih sayang
kalian tetap hidup
Teman-temanku yang hidup dalam keberagaman
yang paham bahwa berbeda itu indah.
Diriku Sendiri
vi
STRATEGI COPING PADA REMAJA DARI PERKAWINAN
ORANG TUA BEDA AGAMA
Studi pada Remaja di Yogyakarta
Patricia Natasha Krisdayanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi tentang dinamika permasalahan yang dihadapi serta strategi coping yang digunakan oleh remaja dalam perkawinan orangtua beda agama untuk mengelola konflik yang ia alami. Subjek merupakan empat remaja dari orangtua yang berbeda agama. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis isi terarah. Data dikumpulkan dengan metode wawancara.
Member checking, bias, dan peer debriefing merupakan langkah untuk mencapai kredibilitas
peneitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah subjek melakukan kombinasi dari strategi
coping. Sumber strategi coping yang mereka lakukan adalah social skill, social support, internal locus of control, dan positive beliefs.
vii
COPING STRATEGY OF ADOLESCENT IN PARENT’S INTERFAITH
MARRIAGE
Study in Yogyakarta’s Adolescent
Patricia Natasha Krisdayanti
Psychology Faculty in Sanata Dharma University
ABSTRACT
This study aims to describe and explore the dynamics of the problems faced and the coping strategies used by adolescents in marriages with parents of different religions to manage the conflicts they experience. Participants are four teenagers from parents of different religions. This type of research is a qualitative research with directed content analysis method. Data collected by interview method. Member checking, bias, and peer debriefing are steps to achieve the credibility of this research. The result of this research is that participants do a combination of coping strategies. The sources of coping strategies they do are social skills, social support, internal locus of control, and positive beliefs.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
bimbingan dan berkat-Nya sehingga skripsi ini akhirnya bisa terselesaikan.
Peneliti menyadari bahwa proses penetilian skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak dalam bentuk apapun. Maka peneliti juga mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria, atas segala berkat, rahmat, atau apapun
yang dilimpahkan kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
3. Monica Eviandaru Madyaningrum, Ph. D, selaku Kepala Prodi Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik selama
menempuh semester akhir perkuliahan. Terima kasih atas segala motivasi,
inspirasi, dan bimbingan yang diberikan selama masa perkuliahan.
4. Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah memberikan bimbingan dan waktunya untuk membantu peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Selurug Dosen dan Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
yang selalu membantu kelancaran proses perkuliahan dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan skripsi.
6. Th. Sukirno dan Yustina Alwianti, selaku orang tua peneliti. Terima kasih
atas segala yang telah dicurahkan bagi peneliti.
7. Albertus Himawan dan Maria Davina, selaku adik peneliti. Terima kasih
atas segala motivasi dan dukungan dalam bentuk apapun.
8. Cosmas Dipta yang selalu positif dan mendukung dalam berbagai rupa
dukungan, atas cinta tanpa syarat yang menguatkan.
9. Teman-teman subjek yang telah bersedia memberikan informasi,
meluangkan waktu, bahkan juga mendukung peneliti untuk menyelesaikan
skripsi ini.
x
10. Keluarga Curio Espresso dan Leeren yang menjadi support system
terdekat, orang yang selalu ada 24/7 dalam kehidupan peneliti.
11. Veneranda Dinda, selaku sahabat peneliti yang selalu mendukung dan
memotivasi peneliti.
12. Teman-teman Psikologi Universitas Sanata Dharma 2013, terima kasih
banyak atas segalanya.
13. Pihak-pihak laun yang telah membantu dengan cara tersendiri sejak awal
proses penulisan hingga akhirnya skripsi ini selesai, yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti dengan senang hati membuka diri untuk
menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi in iberguna bagi
semua pihak.
Yogyakarta,
Peneliti,
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... i
HALAMAN MOTTO ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
DAFTAR GAMBAR...xiv
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
BAB II ... 9
TINJAUAN PUSTAKA ... 9
BAB III ... 21
METODE PENELITIAN ... 21
BAB IV ... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
BAB V ... 59
xii
Daftar Pustaka ... 62
DAFTAR LAMPIRAN ... i
INFORMED CONSENT ... i
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara...……….24
Tabel 2. Kategori dan Kode…………...………26
Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian...30
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Informed Concern………..i
Protokol Wawancara……….ii
Tabel Verbatim SD………iv
Tabel Verbatim AT………xviii
Tabel Verbatim AC………....xliv
xv
DAFTAR GAMBAR
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan atau nikah adalah ikatan yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum dan ajaran agama (KBBI, 2016). Dalam pengertian ini,
perkawinan dapat dikukuhkan jika mengikuti ketentuan yang telah diatur
negara dalam bentuk undang-undang dan sesuai dengan ajaran agama.
Perkawinan atau pernikahan di Amerika Serikat adalah pola stabil norma dan
peran antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang menjalani
ikatan khusus atau komitmen yang bersifat resmi, baik secara hukum negara
dan sosial (Ponzetti J. J., 2003). Perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan
resmi sesuai ketentuan hukum, agama, dan berupa norma serta peran yang
dijalani oleh perempuan dan laki-laki.
Masyarakat di Indonesia yang majemuk dan heterogen membuat
perkawinan campur menjadi sulit dihindari. Perkawinan campur ini meliputi
beda suku, beda ras, dan beda agama. Perbedaan ini bukannya tidak
menimbulkan masalah. Perbedaan cara pandang masing-masing individu dari
pasangan beda suku terhadap pemberian bantuan finansial untuk keluarga,
pola asuh anak, perbedaan peran gender dan hubungan keluarga besar
merupakan konflik yang terjadi pada perkawinan berbeda suku atau
2
Namun dari sekian banyak perbedaan di Indonesia, persoalan agama
merupakan hal spesial yang kini hangat dan marak dibicarakan. Perbedaan
agama di Indonesia dan sensitifnya pembahasan agama di Indonesia pun tidak
menghalangi terjadinya perkawinan beda agama. Praktik pernikahan beda
agama di Indonesia merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tentang Perkawinan
pada Pasal 2 yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Perkawinan beda agama menjadi kasus tersendiri di Indonesia terutama di
Yogyakarta. Hasil sensus terhadap perkawinan beda agama di Yogyakarta
pada tahun 1980, 1990, dan tahun 2000, sempat mengalami peningkatan di
tahun 1990 sebanyak 19 kasus dari sebelumnya tahun 1980 dengan 15 kasus
dan menjadi 12 kasus pada tahun 2000 (BPHN, 2011). Ada undang-undang
dan ajaran agama yang tidak mendukung terjadinya perkawinan beda agama.
Dari segi agama sendiri, perkawinan beda agama dilarang oleh keenam
agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu) yang
diakui di Indonesia. Dari segi yuridis, Indonesia termasuk negara non-sekuler
seperti Malaysia yang tidak memperbolehkan adanya perkawinan beda
agama. Walaupun peraturan perundangan di Indonesia juga tidak melarang
secara tegas terkait perkawinan beda agama (Sastra, 2011). Banyak kasus
artis yang melakukan praktik perkawinan beda agama seperti Shanty, Jamal
Mirdad, dan beberapa pasangan artis lainnya. Perkawinan dapat dilakukan
3
dengan mengikuti tata cara salah satu agama atau melakukan perkawinan di
luar negeri seperti misalnya, Singapura.
Ada berbagai alasan yang menyebabkan perkawinan beda agama bisa
terjadi. Pola budaya dan etnis dalam suatu negara memiliki peran utama
dalam pembentukan pernikahan beda agama (Ponzetti J. J., 2003). Menurut
Bossard dan Boll (1957), perkawinan campur, dalam hal ini beda agama,
merupakan hasil dari adanya heterogenitas dalam satu populasi penduduk.
Selain itu, penyebaran penduduk semakin meluas, menyebabkan interaksi
dengan kelompok dengan latar berbeda sehingga memperbesar kemungkinan
untuk menikah dengan orang lain dari kelompok yang berbeda (Bossard &
Boll, 1957). Orang yang tinggal di daerah populasi rendah namun dengan
tingkat keberagaman yang tinggi juga diidentifikasi mempunyai kepercayaan
terhadap agama lebih lemah dan lebih mungkin untuk melakukan perkawinan
beda agama (Ponzetti J. J., 2003).
Walaupun banyak tafsiran yang melarang perkawinan beda agama dari
segi hukum dan agama, perkawinan beda agama tetap bisa dilakukan di
Indonesia. Dalam UU tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak dijelaskan
tentang perkawinan campur atau perkawinan beda agama. Prosesnya
bergantung pada agama dari masing-masing pasangan. Misalnya untuk
pasangan Islam-Katolik, dapat dilakukan pemberkatan perkawinan di gereja
lalu melakukan akad nikah. Namun untuk dokumen yang diperoleh memang
bukan merupakan buku nikah karena buku tersebut hanya dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan dalam kasus perkawinan beda
4
agama, dokumen yang didapatkan hanya akta nikah. Walau prosesnya bisa
dilaksanakan, tidak semua daerah memberikan kemudahan dalam pencatatan
perkawinan.
Berbagai permasalahan yang muncul terkait ketentuan hukum dan agama
tidak dapat mencegah terjadinya perkawinan beda agama. Beberapa daerah
yang mempermudah pencatatan tersebut adalah Salatiga, Surabaya, Denpasar,
dan salah satunya adalah Yogyakarta (Wargadireja, 2018). Perkawinan beda
agama bagi pemerintah dianggap akan menimbulkan masalah sosial di
kemudian hari. Hal ini ditunjukan dengan penolakan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam permohonan uji materi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
(Muchaddam, 2014).
Perbedaan agama dalam perkawinan tentunya memiliki masalah yang
berbeda dengan hubungan perkawinan pada umumnya. Perbedaan tafsir
ajaran agama masing-masing individu dalam perkawinan beda agama dapat
menimbulkan persoalan atau masalah Perkawinan beda agama mempunyai
pengaruh kepada komitmen beragama bagi dua orang dalam pernikahan ini
(Petersen, 1986). Pasangan dengan agama yang berbeda kemungkinan besar
lebih mudah tersandung masalah dengan pasangannya. Dalam perkawinan
beda agama, perselisihan terus menerus mungkin saja terjadi (Pratiwi, 2014).
Selain itu menurut Pratiwi (2014), permasalahan lainnya yang mungkin
muncul adalah tekanan dari pihak keluarga dan lingkungan dan adanya
kerinduan kesamaan iman. Selain itu, tingkat keterlibatan agama pada setiap
individu di perawinan beda agama juga menurun jika dibandingkan sebelum
5
dan sesudah mereka menikah. Permasalahan-permasalahan serta tekanan
yang dialami pasangan dari perkawinan beda agama bisa saja berujung pada
perceraian dan hal ini akan memengaruhi kondisi psikologis anak.
Tujuan dari perkawinan adalah meneruskan keturunan maka anak dari segi
seksualitas; hal ini tidak bisa dipisahkan dari dampak perkawinan beda agama
itu sendiri. Pendataan yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa
40% anak dari orang Yahudi di Amerika yang menikah dengan non-Yahudi,
mereka dibesarkan tanpa identitas keagamaan yang jelas (Ponzetti J. J.,
2003). Anak dari perkawinan beda agama akan mengalami konflik moral
yang dipengaruhi oleh faktor emosional dan dominasi orangtua (Belina,
2007). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Belina (2007), anak mau
tidak mau harus mengambil satu pilihan untuk hal agama dan adanya
perasaan negatif yaitu ketidaknyamanan karena harus mengorbankan satu
nilai.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian Pratiwi (2014) yang
menyatakan bahwa salah satu permasalahan terkait anak dari perkawinan
beda agama adalah pemilihan agama pada anak. Dampaknya, anak akan
merasa tidak nyaman dengan identitas agamanya dan ini yang kemudian akan
mempengaruhi komitmen beragama pada anak. Selain itu, adanya keinginan
dari salah satu pihak agar pasangannya menganut agama yang sama
dengannya juga merupakan dampak yang dapat terjadi di dalam keluarga
dengan orang tua yang beda agama (Sari, 2015). Sari (2015) juga
menjelaskan dampak lainnya ketika orang tuanya hanya mengesahkan
6
perkawinan mereka dengan salah satu agama saja, hal ini dapat membuat
remaja mengalami stres.
Tidak hanya dampak psikologis, anak dari perkawinan orangtua beda
agama juga mempunyai masalah hukum, terutama hukum waris. Anak yang
lahir dari perkawinan orangtua beda agama hanya memiliki hubungan perdata
dengan sang ibu (Rizki, 2012). Berbeda kasus dengan penelitian Ismail
(2004) yang menyatakan bahwa pasangan dari perawinan beda agama yang ia
teliti lebih cenderung menggunakan hukum adat dalam hal hukum waris.
Selain itu remaja pada masanya digambarkan memiliki perkembangan
konsep religius. Menurut James Fowler (1976, dalam Santrock 2003), remaja
mengalami
perkembangan
konsep
religius
yang
disebut
dengan
individuating-reflexive faith. Tahap ini muncul saat remaja memiliki
tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Tahap ini merupakan
salah satu dari tahap perkembangan manusia dalam mempercayai atau
menganut suatu keyakinan (stage of faith). Hal ini tentu akan mempengaruhi
kondisi psikologis anak dalam hal ini usia remaja, terutama remaja yang
sudah mampu menentukan pilihan sendiri untuk agama yang akan dianutnya.
Apalagi jika remaja dihadapkan dengan pilihan untuk memilih identitas
agamanya sendiri. Sedangkan dalam perkawinan beda agama ini anak
menerima nilai-nilai dan tradisi keagamaan yang mungkin berbeda antara
ayah dan ibunya.
Dilema yang dihadapi remaja baik dalam kehidupan beragama maupun
kehidupan sehari-hari membuat peneliti tertarik untuk mengungkap lebih jauh
7
tentang bagaimana strategi atau cara yang digunakan oleh remaja dari orang
tua perkawinan beda agama. Dalam penelitian ini ada tiga subyek penelitian
yang akan menjelaskan tentang hal yang dihadapinya sebagai remaja dari
perkawinan orang tua beda agama dan strateginya dalam menghadapi
permasalahan yang dihadapinya.
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana dinamika masalah yang dihadapi oleh dan strategi coping dari
remaja dalam perkawinan orang tua beda agama?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi
tentang dinamika permasalahan yang dihadapi serta strategi coping yang
digunakan oleh remaja dalam perkawinan orangtua beda agama untuk
mengelola konflik yang ia alami akibat perbedaan agama kedua orangtuanya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi bagi
penelitian-penelitian lain di bidang psikologi klinis mengenai strategi coping pada
anak dalam perkawinan beda agama.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi anak-anak dalam perkawinan atau keluarga beda agama, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait pengelolaan
masalah yang dihadapi akibat perbedaan agama kedua orangtuanya.
8
b. Bagi orangtua atau pasangan perkawinan beda agama, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi orangtua tentang
konflik yang dialami anak dalam perkawinan beda agama serta
pengelolaan masalahnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. STRATEGI COPING
1. Definisi strategi coping
Coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon
tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk
mengontrol, menolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang
dihadapi. Coping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap, yang
merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama.
Sedangkan coping yang tidak efektif berakhir dengan mal-adiktif yaitu
perilaku yang menyimpang dan keinginan normatif yang dapat merugikan
diri sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat
melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dari kondisi
individu (Baron & Byrne, 1997).
Strategi coping adalah perilaku individu mengatasi ketegangan akibat
tekanan (Frianty & Yudiani, 2015). Menurut Maryam (2017), strategi
coping merupakan tindakan yang diambil individu untuk mengatasi stres
dan efek negatif yang ditimbulkan pada fisik maupun psikologis individu.
Selain itu, strategi coping dapat diartikan sebagai usaha untuk
menteralisasi dan mengurangi stres yang terjadi (Sarafino, dalam Maryam
2017). Jadi, strategi coping adalah perilaku individu untuk mengatasi stres
10
atau tekanan yang menimbulkan ketegangan yang memberikan efek
negatif pada fisik dan psikologisnya.
2. Jenis-jenis strategi coping
Secara umum, coping dibedakan menjadi dua tipe yaitu
problem-focused coping dan emotional-problem-focused coping. Problem-problem-focused coping
dilakukan untuk mengendalikan masalah yang menyebabkan kesulitan dan
emotion-focused coping dilakukan untuk mengurangi atau mengatur
tekanan emosional yang timbul dari masalah (Folkman dan Lazarus dalam
Carver et al., 1989).
a. Problem-focused coping
Strategi coping ini berorientasi langsung pada masalah (Lazarus
& Folkman, 1984). Problem-focused coping serupa dengan istilah
active coping. Active coping merupakan sebuah langkah aKtif untuk
mengatasi tekanan atau mengurangi dampak dari munculnya
tekanan. Active coping ini meliputi tindakan langsung, meningkatkan
usaha, dan melakukan upaya secara bertahap (Carver, et al., 1989).
Berikut merupakan tiga kategori tambahan yang disertakan oleh
Carver, et al. (1989) yang membedakan antara keduanya, yaitu :
1) Planning
Individu beripikir untuk mengatasi tekanan. Hal ini meliputi
strategi tindakan, serta pemikiran tentang bagaimana cara
mengatasi dan mengendalikan masalah.
11
Individu mengesampingkan hal lain dan lebih berkonsentrasi
pada masalah agar tidak terdistraksi.
3) Restraint coping
Individu menunggu untuk bertindak pada waktu yang tepat.
Bentuk coping ini termasuk coping yang aktif karena berfokus
pada cara efektif untuk mengatasi tekanan namun juga
merupakan cara yang pasif karena ada proses menunggu yang
berarti individu tidak bertindak.
Selain itu, terdapat bentuk lain dari problem-focused coping yaitu
seeking social support for instrumental reasons. Bentuk lain ini
merupakan pencarian dukungan sosial untuk mendapatkan saran,
bantuan, atau informasi terkait pemecahan masalah.
b. Emotional-focused coping
Jenis
strategi
ini
bertujuan
untuk
mengendalikan
atau
meminimalisir tekanan emosional. Bentuk yang digunakan dalam
emotional-focused coping adalah distancing, seeking emotional
support, dan escape-avoidance (Folkman, 2010). Menurut Carver et
al. (1989), ada delapan bentuk emotion-focused coping, yaitu :
1) Seeking social support for emotional reason
Individu mencari dukungan moral untuk memperoleh simpati
atau pemahaman dari lingkungan sosialnya.
12
Kecenderungan individu untuk berfokus pada hal yang
mengecewakan dan mengungkapkan apa yang dirasakan. Hal
ini dapat menjadi baik jika digunakan pada pengalaman
kehilangan untuk berduka dan kemudian tetap melangkah ke
depan. Cara ini juga bisa menghambat penyesuaian individu
dan mengalihkan perhatian individu untuk melakukan cara
yang aktif terhadap tekanan yang dialaminya.
3) Behavioral disengagement
Kecenderungan untuk mengurangi usaha atau bahkan
menyerah untuk mencapai tujuan ketika tekanan tersebut
masih terjadi. Hal ini dapat disebut juga sebagai
ketidakberdayaan (helplessness). Secara teori, cara ini terjadi
ketika individu mengharapkan hasil coping yang buruk.
4) Mental disengagement
Cara yang dilakukan untuk mengalihkan perhatian individu
untuk tidak memikirkan tekanan yang dialaminya dengan
melakukan kegiatan lain seperti melamun, tidur, atau
menonton televisi.
5) Positive reinterpretation and growth
Istilah lainnya adalah positive reappraisal (Folkman &
Lazarus dalam (Carver et al., 1989). Cara ini dilakukan
individu untuk mengendalikan perasaan tidak nyaman akibat
13
tekanan dengan memaknai tekanan secara positif. Hal ini dapat
mengarahkan individu untuk melakukan coping yang aktif.
6) Denial
Individu menyangkal tekanan yang diperolehnya seakan
tekanan tersebut tidak nyata. Cara ini endeerung menimbulkan
tekanan atau masalah baru kecuali tekanan yang dialami
memang harus diabaikan terlebih dahulu.
7) Acceptance
Cara ini disebut juga penerimaan. Individu menerima situasi
ketika ia tertekan sehingga ia bisa melakuakn coping yang
efektif untuk mengatasi masalah atau tekanannya.
8) Turning to religion
Individu mengatasi tekanan yang dialami dengan beralih ke
agama. Agama dinilai dapat menjadi sumber dukungan
emosional, sarana reinterpretasi positif dan perkembangan
yang positif bagi individu, serta cara penanganan yang aktif
terhadap tekanan emosional.
3. Sumber coping
Strategi coping berasal dari berbagai sumber seperti yang disebutkan
oleh Lazarus dan Folkman (dalam Huffman et al., 2000). Beberapa sumber
tersebut adalah health and energy, positive beliefs, internal locus of
control, social skills, social support, dan material resources.
14
Segala macam tekanan dapat memberi perubahan pada fisiologis kita
maka kesehatan fisik kita memengaruhi kemampuan individu dalam
menerapkan strategi coping. Semakin baik kesehatan fisik individu,
maka semakin mampu nertahan dan menghadapi masalah atau tekanan
tanpa harus memasuki fase kelelahan.
b. Positive beliefs
Citra diri dan sikap positif terhadap diri juga merupakan sumber
coping yang baik. Semakin individu meningkatnya citra diri maka akan
mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang
menimbulkan tekanan (Greenberg et al., dalam Huffman, Vernoy, &
Vernoy, 2000). Individu akan semakin bisa merancang strategi coping
yang efektif dan yakin dapat mengatasi tekanan tersebut.
c. Internal locus of control
Individu yang memiliki internal locus of control cenderung tidak
mudah stres dibandingkan dengan orang yang lebih dominan external
locus of control. Individu dengan internal locus of control akan lebih
memiliki kontrol atau kendali atas tekanan psikologis yang ia alami.
d. Social skills
Individu yang memiliki kemampuan sosial yang baik cenderung
tidak mudah cemas dan sebaliknya, individu dengan kemampuan sosial
yang buruk akan lebih mudah terserang penyakit. Selain membantu
untuk berinteraksi dengan individu lain, kemampuan sosial yang baik
15
juga membantu individu dalam mengutarakan kebutuhan dan
keinginannya serta memperoleh bantuan ketika menghadapi tekanan.
e. Social support
Dukungan sosial dapat membantu individu dalam menghadapi
tekanan. Orang-orang di sekitar individu dapat membantu memastikan
apakah individu tersebut masih bisa mengurus kebutuhan individu yang
sedang menghadapi tekanan atau memastikan kesehatan individu
tersebut. bago-bagi orang yang mengalami tekanan psikologis yang
spesifik, mereka biasanya membuat kelompok dukungan yang sangat
bisa membantu mereka menghadapi tekanan tersebut. Kelompok seperti
ini tidak hanya bisa menjadi tempat berbagi, namun juga bisa belajar
cara coping individu lain yang menghadapi masalah yang sama.
f. Material resources
Uang dapat membuat individu memilki banyak pilihan untuk
mengurangi sumber dan efek stres. Penelitian Lazarus dan Folkman
(1984, dalam Huffman 2000) menyatakan bahwa mereka yang memiliki
lebih banyak uang, mengalami tekanan yang lebih sedikit dibandingkan
dengan mereka yang memiliki lebih sedikit uang.
B. Perkawinan Beda Agama
1. Perkawinan
Dalam UU no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud
dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
16
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Selain itu dalam KBBI (2016), perkawinan atau nikah adalah
ikatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Menurut Ponzetti (2003), perkawinan atau pernikahan di Amerika Serikat
diartikan sebagai pola stabil norma dan peran antara laki-laki dan
perempuan yang menjalani ikatan khusus atau komitmen yang bersifat
resmi, baik secara hukum negara dan sosial. Perkawinan dapat diartikan
ikatan resmi sesuai ketentuan hukum, agama, dan berupa norma serta
peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki.
2. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara pria dan
wanita yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu
sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu
pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama atau
kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita
yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya
memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.
3. Dampak Perkawinan Beda Agama
Pendataan yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa
40% anak dari orang Yahudi di Amerika yang menikah dengan
non-Yahudi, mereka dibesarkan tanpa identitas keagamaan yang jelas (Ponzetti
J. J., 2003). Anak dari perkawinan beda agama akan mengalami konflik
moral yang dipengaruhi oleh faktor emosional dan dominasi orangtua
17
(Belina, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Belina (2007), anak
mau tidak mau harus mengambil satu pilihan untuk hal agama dan adanya
perasaan negatif yaitu ketidaknyamanan karena harus mengorbankan satu
nilai. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Pratiwi (2014) yang
menyatakan bahwa salah satu permasalahan terkait anak dari perkawinan
beda agama adalah pemilihan agama pada anak. Dampaknya, anak akan
merasa tidak nyaman dengan identitas agamanya dan ini yang kemudian
akan mempengaruhi komitmen beragama pada anak. Selain itu, adanya
keinginan dari salah satu pihak agar pasangannya menganut agama yang
sama dengannya juga merupakan dampak yang dapat terjadi di dalam
keluarga dengan orang tua yang beda agama (Sari, 2015). Sari (2015) juga
menjelaskan dampak lainnya ketika orang tuanya hanya mengesahkan
perkawinan mereka dengan salah satu agama saja, hal ini dapat membuat
remaja mengalami stres.
C. Kerangka Konseptual
Remaja merupakan individu dalam masa peralihan dari anak-anak
menjadi dewasa. Aspek perkembangan pada remaja adalah aspek fisik,
kognitif, dan psikososial (Santrock, 2003). Remaja Indonesia rentang
usianya adalah 11-24 tahun (Sarwono, 1989 dalam Wardhani 2018).
Remaja pada masanya digambarkan memiliki perkembangan konsep
religius. Menurut James Fowler (dalam Santrock, 2003), remaja
mengalami perkembangan konsep religius yang disebut dengan
18
tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Tahap ini
merupakan salah satu dari tahap perkembangan manusia dalam
mempercayai atau menganut suatu keyakinan (stage of faith). Hal ini tentu
akan mempengaruhi kondisi psikologis anak dalam hal ini usia remaja,
terutama remaja yang sudah mampu menentukan pilihan sendiri untuk
agama yang akan dianutnya.
Anak dari perkawinan beda agama akan mengalami konflik moral
yang dipengaruhi oleh faktor emosional dan dominasi orangtua. Anak mau
tidak mau harus mengambil satu pilihan untuk hal agama dan adanya
perasaan negatif yaitu ketidaknyamanan karena harus mengorbankan satu
nilai. Salah satu permasalahan terkait anak dari perkawinan beda agama
adalah pemilihan agama pada anak. Dampaknya, anak akan merasa tidak
nyaman dengan identitas agamanya dan ini yang kemudian akan
mempengaruhi komitmen beragama pada anak. Selain itu, adanya
keinginan dari salah satu pihak agar pasangannya menganut agama yang
sama dengannya juga merupakan dampak yang dapat terjadi di dalam
keluarga dengan orang tua yang beda agama. Dampak lainnya ketika
orang tuanya hanya mengesahkan perkawinan mereka dengan salah satu
agama saja, hal ini dapat membuat remaja mengalami stres.
Remaja yang berada dengan orang tua yang berbeda agama
memerlukan strategi coping untuk menghadapi permasalahan yang
dialami. Strategi coping adalah perilaku individu untuk mengatasi stres
atau tekanan yang menimbulkan ketegangan yang memberikan efek
19
negatif pada fisik dan psikologisnya. Ada dua jenis strategi coping yaitu,
problem focused coping dan emotion focused coping. Bentuk problem
focused coping antara lain planning, supression of competing activities,
restraint coping, dan mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental.
Selain itu, bentuk emotional focused coping adalah mencari dukungan
sosial maupun moral dari orang lain, focusing and venting of emotion,
behavioral disengagement, mental
disenagagement, positive reinterpretatiton and growth, penolakan,
penerimaan, dan kembali pada kepercayaan atau agama yang dianut.
Strategi coping juga berasal dari beberapa sumber. Sumber strategi
coping adalah kesehatan dan energi, keyakinan positif, internal locus of
control, social skills, social support, dan material resources.
20
Gambar 1. Kerangka Konseptual.
Strategi Coping
Problem focused coping
Planning. supression of
copeting activities, restraint
coping, seeking social
support for instrumental
reasons
Emotional focused coping
Seeking social support for
emotional reasons, focusing
on and venting of emotions,
behavioral disengagement,
mental disengagaement,
positive reinterpretation,
denial, acceptance, turning
to religion
Remaja adalah individu yang sedang mengalami masa
peralihan dari anak-anak menuju dewasa, salah satu
aspeknya adalah psikososial.
Dampak perbedaan agama orang tua yaitu konflik moral,
adanya tekanan atau stres, dan adanya perasaan tidak
nyaman.
Sumber coping :
health and energy
keyakinan positif,
internal locus of
control
social skills
social support
material resources.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah kualitatif. Metode
penelitian kualitatif merupakan metode yang mengeksplorasi dan memahami
makna yang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Metode kulitatif
digunakan untuk meneliti fenomena, memahami pemikiran dan perasaan
individu (Adams et al., 2008). Penelitian kulitatif bertujuan untuk mencari
tahu, mendalami, dan menerima informasi yang diperoleh sebagai hasil dalam
proses penelitian (Breakwell et al., 2012). Penelitian kualitatif dirancang
untuk mengeksplorasi berbagai elemen dalam hidup manusia dari berbagai
topik, metodenya menguji bagaimana individu melihat dan memaknai
pengalamannya (Adams et al., 2008). Secara umum, penelitian kualitatif
lebih mengandalkan data berupa ungkapan subjek penelitian untuk
mengeksplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam
sebuah penelitian (Supratiknya, 2015).
Menurut Poerwandari (dalam Rachmayanti & Zulkaida, 2007),
penelitian kulaitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya
deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto,
rekaman video, dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan metode
wawancara yang kemudian diubah menjadi transkrip wawancara sebagai
sumber data. Data akan diolah dengan analisis isi kualitatif (AIK). Dalam
Supratiknya (2015), Hsieh dan Shanon menjelaskan AIK merupakan metode
22
penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui
proses klasifikasi sistematik dalam bentuk pengodean dan identifikasi aneka
tema atau pola. AIK juga merupakan metode untuk menganalisis pesan-pesan
komunikasi baik yang bersifat tertulis, lisan, atau visual (Supratiknya, 2015).
AIK bertujuan untuk mengungkap isi atau makna dari sebuah teks sesuai
konteks.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah strategi coping yang digunakan oleh anak dari
perkawinan beda agama dalam mengelola konflik yang dihadapi dari
perbedaan agama kedua orangtuanya.
D. Subjek Penelitian
Penelitian ini berfokus pada strategi coping yang dipakai oleh anak
dalam perkawinan beda agama. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan
proses di mana subjek dipilih sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh
peneliti (Adams et al., 2008). Subjek dalam penelitian ini memiliki karakter
yang sama seperti usia dan latar belakang keluarga di mana orangtuanya
berbeda agama. Kriteria subjek yang pertama adalah subjek merupakan
individu yang masuk golongan remaja yang berusia 18-24 tahun dan belum
menikah. Kriteria ini dipilih karena pada masa remaja subjek mengalami
perkembangan konsep religius yang disebut dengan individuating-reflexive
faith dan pada saat ini remaja memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan
23
agama, masih tinggal bersama orangtuanya dan berdomisili di Yogyakarta.
Kriteria ini dipilih karena kondisi orangtua yang berbeda agama akan
memberikan dampak psikologis bagi subjek.
E. Proses Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan metode
wawancara. Menurut Rachmawati (2007), wawancara dalam penlitian
kualitatif berbeda dengan wawancara lainnya seperti pada penerimaan
karyawan baru. Peneliti lebih mengarahkan wawancara pada penemuan
perasaan, persepsi, dan pemikiran subjek. Penelitian ini menggunakan jenis
wawancara semi berstruktur. Peneliti dapat mengembangkan pertanyaan dan
memutuskan pertanyaan yang ingin dimunculkan. Dalam wawancara semi
berstruktur ini, pedoman wawancara tetap ada dalam bentuk yang rinci
namun tidak harus diikuti secara ketat.
Data yang dihasilkan dalam penelitian kualitatif merupakan data yang
bersifat deskriptif. Data dari proses wawancara dalam penelitian ini direkam
menggunakan alat perekam. Data yang diperoleh berupa rekaman kemudian
diubah menjadi transkrip sebagai sumber data. Proses perolehan data meliputi
beberapa tahap, yaitu :
1. Peneliti mencari subjek yang sesuai dengan kriteria dan bersedia
untuk berpartisipasi dalam penelitian.
2. Membangun rapport dan menjelaskan tujuan penelitian, kerahasiaan
identitas serta data subjek, peran subjek dalam penelitian. Kemudian
24
meminta ijin untuk merekam suara selama proses wawancara
berlangsung.
3. Menyepakati jadwal wawancara bersama subjek.
4. Menyusun panduan wawancara sebagai acuan dalam proses
wawancara sesuai dengan tujuan penelitian.
5. Melangsungkan proses wawancara.
Tabel 1
Panduan Wawancara
No. Pertanyaan
Latar Belakang Subjek
1 Biodata subjek (nama lengkap, usia, TTL, tempat tinggal, daerah asal). 2 Sejak usia berapa mengetahui orang tua beda agama?
3 Bagaimana awal mula mengetahui perbedaan agama orang tua? Dampak Perbedaan Agama Orang Tua
4 Bagaimana reaksi Anda setelah mengetahui perbedaan agama orang tua? 5 Bagaimana kehidupan Anda setelah tahu perbedaan agama orang tua? 6 Perubahan apa yang dirasakan setelah mengetahui perbedaan agama orang
tua?
Strategi Koping
7 Bagaimana Anda menghadapi permasalahan dari perbedaan agama orang tua?
8 Seberapa sering Anda menggunakan cara tersebut?
9 Mengapa menggunakan cara tersebut untuk menghadapi masalah dari perbedaan agama orang tua?
10 Perubahan apa yang diperoleh dengan menggunakan cara tersebut? 11 Cara mana yang paling berpengaruh?
Sumber Koping
12 Siapa yang paling dominan membantu dalam menghadapi masalah?