• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KLORINASI TELUR AYAM RAS KONSUMSI DENGAN

METODE IMERSI UNTUK MENDISINFEKSI PERMUKAAN

KERABANG YANG TERCEMAR VIRUS HPAI SUBTIPE H5

RADEN NURCAHYO NUGROHO

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

ABSTRACT

RADEN NURCAHYO NUGROHO. Chlorination Using Immersion Method for Disinfecting Table Egg Surface Contaminated with Pathogenic Avian Influenza Virus H5 Subtype. Under direction of SURACHMI SETIYANINGSIH and TRIOSO PURNAWARMAN.

Table eggs are one of inanimate vehicles for Avian Influenza Virus (AIV) transmission. Surface disinfection, therefore, is necessary to prevent the spread of the virus. One of widely used disinfectants is Chlorine; it is relatively cheap, easy to get, and easy to handle. Chlorination has been established previously as an effective procedure to inactivate highly pathogenic AIV H5N1 in water. Considering the high volume of trade and traffic of table eggs among areas of Indonesia, egg surface disinfection against AIV surface contamination is crucial for the disease control. The aim of this research are to study the potency of chlorine in egg surface disinfection via immersion method measured as its ability to inactivate the contaminating AIV, egg quality after treatment and chlorine residue detection. The study was conducted for 5 month from September 2008 until January 2009 using table eggs from single layer farm, pathogenic AIV H5 Subtype and calcium hypochlorite as a disinfectant. The viability of the virus was verified by inoculation in Specific Pathogen Free (SPF) embryonated chicken eggs. Data generated from this research was analyzed using SPSS, Fisher Exact Test and Minitab 14 version. The results show that the virus remained viable on the eggs surface for 21 hours. The virus was not fully inactivated (P>0,05) and significantly inactivated (P<0,05) following 30 and 60 second immersion in approximately 153 ppm chlorine, respectively. Chlorination did not affect the egg quality measured as albumen index and yolk index (P>0,05). There was no residu founded in albumen after chlorination treatment. It can be concluded that chlorination by immersion method was effective to inactivate or reduce AI viral titer on the egg surface with 95% confident level.

(4)

iii

RINGKASAN

RADEN NURCAHYO NUGROHO. Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5. Dibimbing oleh SURACHMI SETIYANINGSIH dan TRIOSO PURNAWARMAN.

Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sejak akhir tahun 2003 sampai dengan awal tahun 2009 dari 33 propinsi, hanya 2 yang masih dianggap bebas yaitu Gorontalo dan Maluku Utara. Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang berpotensi menyebarkan virus HPAI karena agen penyakit tersebut dapat ditemukan pada kuning, putih dan kerabang. Berkaitan dengan hal tersebut, perdagangan komoditi telur konsumsi bisa menjadi salah satu faktor yang memungkinkan penyebaran penyakit HPAI di Indonesia terjadi secara cepat dan meluas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh klorinasi pada telur ayam ras konsumsi dengan metode imersi terhadap virus HPAI Subtipe H5 yang dicemarkan pada permukaan kerabang, kualitas telur terklorinasi dan kandungan residu klorin pada telur. Rancangan percobaan untuk penelitian ini adalah Rancangan Faktorial 2 Faktor Acak Lengkap. Dua peubah yang menjadi faktor adalah telur bersih dan telur kotor. Penelitian dilakukan dengan tahapan metode yang berurutan yaitu Penentuan titer virus HPAI; Penentuan sediaan kalsium hipoklorit (kaporit), dosis klorin dan residu klorin; Penentuan demand klorin telur, cairan alantois dan feses; Uji Viabilitas virus pada permukaan kerabang; Klorinasi telur tercemar virus HPAI, Pengujian Kualitas Telur dan Pengujian Residu Klorin. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa komparatif untuk mengetahui perbedaan antara dua kelompok atau lebih. Analisa data perlakuan klorinasi dilakukan dengan Uji Fisher Exact. Analisa data viabilitas virus dilakukan dengan Chi-Square program SPSS. Selanjutnya analisa data kualitas telur dilakukan dengan T-test 2Sample menggunakan program Minitab Versi 14.

Titer virus yang digunakan adalah 108,5 EID

50/0,1 ml. Jumlah virus tersebut

(5)

Berdasarkan data hasil uji HA cepat terhadap cairan alantois yang diperoleh dari inokulasi langsung uji viabilitas, virus HPAI Subtipe H5 mampu bertahan hidup selama 21 jam pada suhu ruang (±250C) baik pada permukaan kerabang

bersih maupun kerabang kotor. Pada kerabang bersih, berdasarkan hasil analisa data menggunakan Chi-Square (SPSS), nilai P adalah 0,236 (P>0,05), sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan atau pengaruh waktu yang nyata terhadap viabilitas virus dalam setiap 3 jam pengamatan selama 21 jam. Pada kerabang kotor, nilai P adalah 0,854 (P>0,05), sehingga tidak terdapat perbedaan atau pengaruh waktu yang nyata terhadap viabilitas virus dalam setiap 3 jam pengamatan selama 21 jam. Hasil analisa pada kedua perlakuan, kerabang bersih dan kerabang kotor, menunjukkan bahwa virus HPAI Subtipe H5 masih mampu bertahan selama 21 jam pengamatan pada suhu ruang (±250C). Selama waktu

perlakuan tersebut, viabilitas virus cenderung bersifat konstan. Oleh karena itu, apabila virus HPAI mencemari permukaan kerabang, maka telur yang tercemar virus mempunyai resiko yang cukup tinggi untuk berperan sebagai media pembawa penyebaran virus HPAI.

Hasil analisa data uji HA cepat terhadap cairan alantois dari inokulasi langsung pada perlakuan klorinasi telur bersih dan telur kotor bervirus dengan menggunakan uji Fisher Exact menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara telur bersih dengan telur kotor yang diklorinasi selama 30 detik dengan nilai P adalah 0,038 (P<0,05). Proporsi virus mati atau mengalami penurunan titer adalah 5:1 pada telur bersih, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan telur kotor yaitu 1:5. Klorinasi selama 30 detik pada telur bersih secara nyata lebih efektif daripada klorinasi pada telur kotor dalam mematikan atau menurunkan titer virus sehingga peluang resiko virus akan disebarkan oleh telur bersih yang diklorinasi menjadi lebih rendah. Pada klorinasi selama 60 detik, hasil analisa data dengan uji Fisher Exact menunjukkan nilai P adalah 1 (P>0,05). Berarti tidak terdapat perbedaan peluang virus untuk mati atau turun titernya setelah diberi perlakuan klorinasi antara telur bersih dan telur kotor. Kedua perlakuan memiliki proporsi virus mati atau titer rendah : virus hidup yang sama yaitu 6:0. Mati atau rusaknya virus HPAI Subtipe H5 akibat perlakuan klorinasi kemungkinan terjadi akibat proses oksidasi terhadap material virus. Pada klorinasi 60 detik, jumlah virus yang teroksidasi diperkirakan jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan klorinasi 30 detik sehingga ketika dilakukan inokulasi langsung dan uji HA, klorinasi 60 detik memberikan hasil yang lebih baik.

Analisa data kualitas telur menggunakan T-test 2 sample memberikan hasil nilai P adalah 0,502 (P>0,05) untuk indeks putih telur dan 0,953 (P>0,05) untuk indeks kuning telur. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa antara telur yang diberi perlakuan klorinasi dengan telur yang tidak diberi perlakuan (kontrol), secara nyata tidak memiliki perbedaan kualitas indeks putih telur dan indeks kuning telur pada 10 hari perlakuan. Selanjutya, berdasarkan pengukuran residu klorin dengan tahapan kualitatif Titrasi Iodometrik, diperoleh hasil bahwa pada putih telur tidak ditemukan adanya kandungan residu klorin.

(6)

v

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang -Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KLORINASI TELUR AYAM RAS KONSUMSI DENGAN

METODE IMERSI UNTUK MENDISINFEKSI PERMUKAAN

KERABANG YANG TERCEMAR VIRUS HPAI SUBTIPE H5

RADEN NURCAHYO NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

vii

(9)

Judul : Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5

Nama : Raden Nurcahyo Nugroho

NRP : B251064094

Disetujui Komisi Pembimbing

Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D

Ketua Drh. Trioso Purnawarman, M.Si Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil disusun. Tema penelitian yang dipilih adalah disinfeksi dengan judul Klorinasi Telur Ayam Ras Konsumsi dengan Metode Imersi untuk Mendisinfeksi Permukaan Kerabang yang Tercemar Virus HPAI Subtipe H5.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D dan Bapak drh. Trioso Purnawarman, M.Si selaku komisi pembimbing serta Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA dan Bapak Ir. Hari Priyono, M.Si yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan Pascasarjana. Ungkapan terimakasih juga disampaikan untuk ibu, istri, putriku dan seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 13 Desember 1980. Ayah kandung adalah Drh. Kanjeng Raden Tumenggung Jiyono Notokusumo dan Ibu kandung Poni Astuti, SPd. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 7 Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM) melalui jalur UMPTN dengan jurusan Kedokteran Hewan sebagai pilihan pertama. Selanjutnya, pada jenjang Pascasarjana penulis memilih Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor (KMV IPB).

(12)
(13)

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1Simpulan ... 48

5.2Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rata-rata dosis klorin setelah penimbangan kaporit ... 35

2. Rata-rata pH dan suhu larutan klorin ... 36

3. Berat cairan alantois murni yang ditimbang ... 37

4. Demand klorin kerabang , cairan alantois murni dan feses ... 37

5. Hasil uji HA cepat terhadap cairan alantois dari inokulasi langsung uji viabilitas virus yang mencemari permukaan kerabang bersih dan kerabang kotor selama 21 jam ... 38

6. Hasil analisa Chi-Square uji viabilitas virus pada permukaan kerabang bersih dan kotor ... 39

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur virus Influenza A ... 4 2. Peta penyebaran penyakit AI di Indonesia ... 5 3. Pembengkakan dan sianosis yang terjadi pada seekor ayam layer

akibat terinfeksi virus HPAI ... 9 4. Regresi dan nekrosis ovarium pada ayam ras petelur yang terinfeksi

virus HPAI (a) dan ovarium normal (b) ... 11 5. Uji Viabilitas virus HPAI Subtipe H5 pada permukaan kerabang

telur ayam ras konsumsi ... 32 6. Klorinasi pada telur bersih (a) dan klorinasi pada telur kotor (b) .... 33 7. Peluang viabilitas virus pada kerabang bersih (garis warna merah) dan kerabang kotor (garis warna hijau)... 39 8. Proporsi peluang virus mati dan hidup pada telur bersih (a.) dan

telur kotor (b.) ... 41 9. Perbandingan indeks putih dan kuning telur kelompok kontrol

(16)

xv

DAFTAR PERSAMAAN

Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Metode inokulasi telur SPF ...

(18)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur merupakan bahan pangan asal hewan yang berpotensi menyebarkan virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) karena agen penyakit tersebut dapat ditemukan pada kuning, putih dan kerabang (Swayne dan Beck 2004). Di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006 virus Avian Influenza (AI) Subtipe H5 telah berhasil dideteksi dan diisolasi dari swab permukaan kerabang telur konsumsi dan egg tray pada peternakan ayam ras petelur oleh BBV Maros (Wahyu D 23 Februari 2008, komunikasi pribadi). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perdagangan komoditi telur konsumsi bisa menjadi salah satu faktor yang memungkinkan penyebaran penyakit HPAI di Indonesia menjadi meluas.

Terkait dengan potensi penyebaran penyakit yang terbawa oleh telur, Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) telah memberikan rekomendasi tindakan disinfeksi telur tetas maupun konsumsi yang diperdagangkan dengan fumigasi, spraying, imersi (pencelupan) dan tindakan disinfeksi lain yang dibakukan oleh otoritas veteriner pada suatu negara. Jenis disinfektan yang direkomendasikan adalah klorin dan quats untuk disinfeksi telur konsumsi, serta formalin dan virkon untuk disinfeksi telur tetas (AFFA 2000, OIE 2008).

(19)

diteliti sehingga berbagai pilihan aplikasi pada akhirnya akan tersedia bagi petugas karantina.

1.2 Perumusan Masalah

Penyakit Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sejak akhir tahun 2003 sampai dengan awal tahun 2009 dari 33 propinsi, hanya 2 yang masih dianggap bebas yaitu Gorontalo dan Maluku Utara. Berkaitan dengan cepatnya penyebaran penyakit tersebut, maka tindakan pencegahan yang benar dan tepat harus diterapkan terhadap seluruh komoditi unggas yang berpotensi membawa dan menyebarkan virus AI. Tindakan tersebut merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Telur konsumsi yang berpotensi menyebarkan penyakit HPAI selama ini hampir tidak pernah diberi tindakan karantina, meskipun Petunjuk Teknis Tindakan Karantina Hewan terhadap Media Pembawa HPAI No. 316.a/Kpts/PD.670.320/L/11/06 tanggal 20 November 2006 telah ditetapkan sebagai pedoman oleh pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya yang konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga penerapan petunjuk teknis di lapangan dapat berjalan sesuai harapan.

Terobosan dalam pengkajian dan penelitian tentang teknik dan metode tindakan disinfeksi telur konsumsi perlu senantiasa didorong dan difasilitasi sehingga nantinya dapat diperoleh metode-metode baku yang aplikasinya lebih memudahkan bagi petugas karantina di lapangan untuk memilih metode yang cocok sesuai dengan kemampuan dan situasi serta kondisi tempat tugas masing-masing. Penemuan dan aplikasi metode disinfeksi telur konsumsi yang tepat diharapkan dapat turut berperanan penting dalam upaya mencegah penyebaran virus penyebab penyakit HPAI.

(20)

3

tidak toksik terhadap sistem reproduksi (IARC 1991 dalam AISE 1997). Disamping itu, klorin juga telah direkomendasikan sebagai salah satu jenis disinfektan yang dapat digunakan untuk pencucian telur (OIE 2008). Di Indonesia, klorin termasuk golongan disinfektan yang terjangkau dan mudah diperoleh.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh klorinasi pada telur ayam ras konsumsi dengan metode imersi terhadap virus HPAI Subtipe H5, kualitas telur dan residu pada telur.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bahwa klorinasi dengan metode imersi dapat direkomendasikan sebagai metode disinfeksi telur ayam ras konsumsi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mempunyai ruang lingkup mengenai viabilitas (kemampuan bertahan hidup) virus HPAI Subtipe H5 yang dicemarkan pada permukaan kerabang bersih dan kotor. Kerabang bersih dan kotor yang telah dicemari virus diberi perlakuan klorinasi dengan metode imersi untuk selanjutnya dilakukan pengujian apakah virus tersebut masih mampu bertahan hidup atau mempertahankan tingkat titernya setelah didisinfeksi.

Telur yang telah diklorinasi juga diuji kualitasnya dengan mengukur parameter kualitas yaitu indeks putih dan kuning telur serta dideteksi kemungkinan adanya residu klorin akibat perlakuan klorinasi.

1.6 Hipotesis

a. Klorinasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap viabilitas virus.

b. Klorinasi tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kualitas telur konsumsi.

(21)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus Avian Influenza

Avian Influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang termasuk dalam Famili Orthomyxoviridae genus Influenzavirus A. Ada 3 tipe virus Influenza yaitu A, B dan C. Hanya virus Influenza A yang diketahui secara pasti dapat menginfeksi unggas (OIE 2005). Istilah Flu Burung atau Avian Influenza mempunyai arti yang sama yaitu penyakit yang akut dan sangat fatal pada sebagian besar jenis unggas (Anaeto dan Chioma 2007).

Virus AI dibagi menjadi 2 kelompok yaitu HPAI dan LPAI tergantung pada kemampuannya dalam menimbulkan gejala klinis dan kefatalan penyakit. Lebih jauh lagi, virus AI dibagi dalam klasifikasi Subtipe berdasarkan tipe antigen pada protein permukaan kapsid yaitu haemagglutinin (H) dan neuraminidase (N) (Burgos dan Burgos 2007a). Sampai dengan saat ini, telah dikenal sebanyak 16 Subtipe H (H1-H16) dan 9 subtipe N (N1-N9) (OIE 2005).

Gambar 1 Struktur virus Influenza A (Kamps et al. 2006).

(22)

5

yang tergolong LPAI pada kelanjutannya dapat mengalami perubahan menjadi strain yang patogen atau HPAI (CFSPH 2008).

Virus AI mengandung 8 segmen s-RNA dan mengkode 10 jenis protein khusus. Agar dapat menghindar dari sistem imun, virus ini mampu melakukan rekombinasi, delesi, insersi, re-assortment dan mutasi (Burgos dan Burgos 2007c).

2.2 Kejadin Penyakit Avian Influenza

Berdasarkan data dari USAID (2008) dalam Bello et al. (2008), lebih dari 220 juta ekor unggas di benua Asia, Eropa dan Eurasia serta Afrika pada 57 negara telah mati akibat terinfeksi virus H5N1. Wabah tersebut menunjukkan bahwa keganasan virus AI sangat merugikan kelangsungan usaha peternakan ayam serta memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan perdagangan.

Gambar 2 Peta penyebaran penyakit AI di Indonesia (Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian 2007).

(23)

kejadian wabah AI H5N1, importasi produk unggas dari Asia akhirnya dilarang. Disamping itu, secara tidak langsung negara pemasok bahan baku pakan unggas seperti Amerika Serikat, juga terkena dampaknya karena permintaan terhadap komoditi tersebut menjadi berkurang.

Sebelum terjadinya wabah AI, Indonesia mampu mengekspor produk unggas berupa telur sebanyak 1.224.579 kg, namun setelah wabah, ekspor komoditi tersebut menjadi nol (BARANTAN 2003, BARANTAN 2007).

Sebanyak 26 epizootik HPAI telah terjadi di dunia sejak 1995 dan yang paling besar disebabkan oleh virus HPAI H5N1 di lebih kurang 60 negara di kawasan Asia, Eropa dan Afrika sejak tahun 1996 (Ka-Oud et al. 2008). Silsilah virus HPAI di Asia pertamakali ditemukan pada angsa di China Selatan pada tahun 1996 dan tidak menyebar sampai benua Eropa maupun Afrika (Burgos dan Burgos 2008).

Sejak tahun 2003 sampai dengan bulan April 2008, virus AI H5N1 telah menginfeksi 380 orang yang sebelumnya pernah mempunyai riwayat kontak yang sangat dekat dengan unggas. Jumlah kematian dari total jumlah yang terinfeksi mencapai 241 orang (CFSPH 2008). Tingkat mortalitas pada manusia lebih kurang adalah 61%, sedangkan pada unggas bisa mencapai 90-100% (Burgos dan Burgos 2007c).

Menurut CFSPH (2008), antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 rentetan kejadian infeksi AI pada manusia adalah sebagai berikut :

- Tahun 1997, sebanyak 18 orang terinfeksi virus H5N1 di Hongkong. Gejala yang mereka alami adalah demam, sakit tenggorokan dan batuk. Beberapa penderita mengalami gangguan pernafasan yang parah dan pneumonia. Dari 18 orang tersebut, 6 diantaranya meninggal.

- Tahun 1999, sebanyak 2 orang anak di Hongkong dikonfirmasi positif terinfeksi virus LPAI H9N2. Infeksi tersebut tergolong ringan dan kedua anak tersebut akhirnya sembuh. Di daratan China, 6 orang juga terinfeksi virus H9N2 dan semua penderitanya sembuh.

(24)

7

- Tahun 2003, 2 jenis virus AI H5N1 diketahui menginfeksi sebuah keluarga yang baru saja bepergian dari China. Salah satu penderitanya meninggal. Anggota keluarga yang lain meninggal karena terserang penyakit pada saluran pernafasan namun tidak dilakukan peneguhan diagnosa tentang penyebab penyakit tersebut.

- Tahun 2003, sebanyak 89 dari total 347 orang dikonfirmasi positif terinfeksi H7N7 mengikuti wabah pada unggas. Kebanyakan kasus terjadi pada pekerja kandang dan anggota keluarga dari 3 penderita tersebut juga menderita gejala sakit yang serupa. Dari 89 orang yang dikonfirmasi positif, 78 orang hanya menunjukkan gejala konjungtivitis, 2 orang menunjukkan gejala flu berupa demam, batuk dan nyeri otot. Sementara itu, 5 orang yang lainnya mengalami gejala konjungtivitis dan gejala flu, sedangkan 4 penderita lagi diklasifikasikan sebagai infeksi penyakit lain. Seorang dokter hewan pernah diketahui meninggal setelah mengalami gangguan pernafasan akut yang sangat parah serta komplikasi. Pada awalnya, dokter hewan tersebut mengalami gejala demam tinggi yang persisten dan sakit kepala tanpa disertai dengan gejala sakit pernafasan. Virus yang berhasil diisolasi dari kasus yang fatal biasanya telah mengalami mutasi.

- Tahun 2003, infeksi virus LPAI H7N2 ditemukan pada seorang pasien yang menunjukkan gejala sakit pernafasan di New York. Penderita tersebut akhirnya sembuh setelah mendapatkan perawatan yang intensif.

- Tahun 2004, pekerja kandang unggas di Kanada diketahui mengalami gejala konjungtivitis dan flu. Kedua pekerja tersebut akhirnya sembuh setelah berobat menggunakan antiviral. Selain 2 orang tersebut, 10 pekerja lainnya juga mengalami gejala serupa dan disertai dengan gangguan saluran pernafasan atas. Semua kejadian infeksi tersebut setelah ditelusuri ternyata berkaitan dengan wabah virus H7N3 pada unggas.

(25)

manusia dilaporkan oleh beberapa negara Asia. Di Afrika, Azerbaijan, Timur Tengah dan Turki kasus yang terjadi pada manusia sangat sedikit.

2.3 Avian Influenza pada Hewan

Virus AI mempunyai hubungan yang dekat dengan virus Influenza pada manusia, kuda, babi dan anjing. Secara umum, dalam hal menginfeksi virus-virus tersebut bersifat spesies spesifik. Namun terkadang, virus dari satu spesies dapat menginfeksi spesies lainnya. Hal tersebut dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, apabila 2 jenis virus dari spesies yang berbeda secara bersamaan menginfeksi sel, segmen genetik dapat mengalami re-assortment ketika partikel-partikel virus baru sedang dibentuk. Sebagai contoh, jika suatu sel terinfeksi oleh virus Influenza dari unggas dan manusia, virus-virus baru yang dihasilkan dari sel tersebut bisa mengandung beberapa segmen dari virus AI dan sebagian lainnya mengandung segmen dari virus Influenza manusia. Virus AI yang sudah mengandung beberapa gen dari virus Influenza manusia selanjutnya dapat menginfeksi manusia secara langsung. Kedua, virus Influenza dapat berpindah-pindah dalam menginfeksi satu spesies ke spesies lainnya. Sebagai contoh, virus AI telah diketahui dapat menginfeksi secara berpindah-pindah dari unggas ke manusia, kucing, cerpelai, anjing laut, kuda dan hewan lainnya. Namun dengan cara ini, biasanya virus tidak mampu beradaptasi dengan baik, tidak bisa melakukan transmisi secara efisien dan segera mati (CFSPH 2008).

Virus Influenza mampu bermutasi sehingga dapat mendukung kemampuan replikasi dan transmisi pada hospes yang baru dan selanjutnya mampu menginfeksi dari satu spesies ke spesies lain secara berpindah-pindah. Meskipun hal ini jarang sekali terjadi, namun dapat berlanjut menjadi epidemi atau pandemi ketika hospes yang terinfeksi tidak memiliki kekebalan terhadap virus tersebut (CFSPH 2008).

AI pada Unggas

(26)

9

Infeksi pada unggas dapat bersifat ringan atau berat, tergantung dari strain dan Subtipe virus. Virus LPAI biasanya menyebabkan infeksi asimtomatis, penyakit pernafasan ringan atau penurunan produksi telur. Sedangkan virus HPAI sifatnya sangat virulen dan dapat menyebabkan infeksi yang berat pada beberapa unggas. Gejala klinis bervariasi mulai dari sinusitis, lakrimasi, sianotik pada kepala, jengger dan pial, edema kepala dan diare hijau atau putih. Lesi hemoragi dapat terjadi pada jengger dan pial kalkun. Gejala lain berupa anoreksia, batuk, pilek, leleran hidung dan mulut, perdarahan titik pada kaki dan cakar, gejala neurologik, penurunan produksi telur, rusaknya pigmentasi kerabang dan deformitas kerabang. Kematian mendadak dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala (CFSPH 2008).

Gambar 3 Pembengkakan dan sianosis yang terjadi pada seekor ayam layer akibat terinfeksi virus HPAI (Bello et al. 2008).

Pada bebek dan angsa gejala klinis jarang sekali muncul. Namun gejala yang umum terjadi pada angsa adalah sinusitis, diare dan peningkatan kematian. Beberapa isolat H5N1 saat ini dapat mengakibatkan penyakit yang parah pada bebek, termasuk disfungsi saraf dan kematian (CFSPH 2008).

(27)

konstriksi pupil, tremor, seizure dan kematian. Bebek asli Amerika Utara yaitu Anas platyrhynchos, Anas acuta, Anas crecca dan Aythya Americana tidak menunjukkan gejala klinis pada saat diinfeksi dengan virus H5N1. Di Eropa, angsa dapat mengalami infeksi yang parah apabila terinfeksi H5N1 (CFSPH 2008).

Gejala akibat infeksi H5N1 secara percobaan pernah teramati pada burung camar dan burung psittacine. Burung camar akan mengalami gejala saraf yang parah, kelemahan, mata sembab, bulu kusam, inkoordinasi dan tortikolis. Hampir semua burung camar yang terinfeksi akan mati. Burung camar biasanya akan sembuh total namun akan mengalami kepala miring persisten. Infeksi secara percobaan pada zebra finches akan mengakibatkan depresi dan anoreksia yang berlanjut menjadi kematian dalam waktu 5 hari pasca inokulasi. House finches dan budgerigar akan mengalami anoreksia, depresi, gejala saraf dan mati dengan cepat. Infeksi H5N1 bersifat ringan pada burung gereja karena tidak mengakibatkan kematian dan hanya menimbulkan gejala depresi. Pada burung jalak gejala infeksi tidak muncul (asimtomatis) (CFSPH 2008).

(28)

11

sedikit. Pada beberapa kasus, kongesti pada otot dan dehidrasi dapat dijumpai (CFSPH 2008).

Gambar 4 Regresi dan nekrosis ovarium pada ayam ras petelur yang terinfeksi virus HPAI (a) dan ovarium normal (b) (Bello et al. 2008).

Di Indonesia, kejadian AI pada unggas secara klinis dan patologis saat ini sulit untuk dikenali, sehingga memerlukan pemeriksaan laboratorium secara langsung. Perubahan tersebut kemungkinan terjadi akibat mutasi virus atau karena unggas yang telah divaksinasi berkontak dengan virus namun antibodi yang tidak terlalu kuat menyebabkan virus tetap bersarang di dalam tubuh unggas dan menyisakan virus pada kotoran sehingga terjadi virus shedding (Anonim 2009).

(29)

Unggas liar atau burung liar sebenarnya mempunyai 2 peran dalam hal penyebaran penyakit, yaitu sebagai karier (biologis) dan sebagai vektor mekanis. Sebagai karier, unggas liar tersebut dapat menunjukkan gejala klinis yang akut pada saat terinfeksi Newcastle Disease, Duck Plague dan Pasteurellosis, dan gejala yang kronis ketika terkena Pox serta asimtomatis ketika terkena Influenza dan Salmonellosis. Feses dan eksudat yang berasal dari saluran pernafasan dapat menularkan virus AI, Paramyxovirus, Virus Herpes, C. psittaci, Campylobacter, Salmonella, Mycobacterium avium, P. Multocida dan Clostridium spp. Disamping itu, unggas liar tersebut dapat membawa kutu yang mengandung patogen sehingga dapat turut disebarkan. Dengan potensi sebagai media pembawa penyakit, memusnahkan unggas liar agar tidak menyebarkan agen penyakit bukanlah suatu cara yang tepat. Langkah yang paling tepat untuk mengantisipasi terjadinya penularan dari unggas liar adalah dengan menerapkan biosekuriti yang benar dan sistem surveilans yang baik (Dhama et al. 2008).

Virus AI yang dibawa oleh unggas liar mayoritas adalah kelompok LPAI. Bila unggas liar terserang virus HPAI maka akan menunjukkan gejala klinis dan bahkan dapat mengakibatkan kematian sebagaimana pernah terjadi di China dan Mongolia. Dengan demikian, potensi yang perlu diwaspadai terhadap unggas liar adalah virus LPAI yang dibawanya akan bermutasi menjadi virus HPAI ketika ditularkan pada unggas lokal (Dhama et al. 2008).

Menurut Anaeto dan Chioma (2007), penularan secara langsung dapat terjadi melalui sekresi dan ekskresi dari unggas domestik maupun unggas liar yang terinfeksi. Sedangkan secara tidak langsung penularan terjadi melalui peralatan kandang, sepatu, pakaian, keranjang telur dan perlengkapan lainnya yang tercemar oleh virus.

Unggas yang terinfeksi akan mengeluarkan virus dari tubuhnya pada 2 minggu pertama. Bebek yang terinfeksi dapat mengekskresikan sampai dengan 1010 EID

50

dalam waktu 24 jam. Dengan asumsi bahwa seekor bebek mengekskresikan feses 7,5 10 kg/ tahun dan angsa 12,5-15 kg/ tahun, maka unggas air yang terinfeksi akan mengeluarkan sebanyak 3 x 109 EID

(30)

13

Kamps et al. (2006) dalam 1 gram feses infektif dapat terkandung virus AI sebanyak 108,7 EID

50/gram feses.

Data mengenai daya hidup virus di lingkungan cukup bervariasi. Bebek yang diinfeksi secara buatan dengan virus H5N1 sebanyak 106 EID

50 dalam 1 ml

inokulan akan mengekskresikan virus dalam fesesnya sejumlah 2,25-3,75 log10

EID50/ gram feses segar dan kemudian tidak terdeteksi setelah dikeringkan

semalaman. Pada feses basah dengan suhu 250C, virus masih dapat dideteksi

selama 7 hari namun titernya menurun. Ketika disimpan pada suhu 40C virus

masih mampu bertahan dan dapat dideteksi setelah 20 hari. Pada suhu 370C, virus

dapat dideteksi pada hari ke 4 dan ke 6 (WHO 2006).

Menurut EPA (2006), virus AI dapat bertahan lebih lama di lingkungan bila terdapat material organik seperti feses atau terpelihara pada suhu yang dingin. Virus H5N1 dapat bertahan selama 7 hari pada suhu ± 210C. Pada media air, virus

mampu bertahan pada suhu 00C selama 30 hari dan tahan lebih lama pada kondisi

beku. Virus H5N1 dapat bertahan di lingkungan selama 6 hari pada suhu 360C. Virus HPAI juga mampu bertahan hidup selama 7 hari pada suhu 200C. Pada suhu

210C, virus mampu bertahan selama 4 hari dan menjadi lebih lama yaitu 30 hari

pada suhu 00C.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa virus yang terkandung dalam feses segar mampu bertahan lama dan tetap infektif pada beberapa kisaran suhu (WHO 2006).

Menurut Kaoud (1999) dan Tablante et al. (2002) dalam Ka-Oud et al. (2008), biosekuriti adalah serangkaian manajemen yang mampu mengurangi masuk dan tersebarnya suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme tertentu pada suatu tempat maupun antar suatu tempat. Oleh karena itu, biosekuriti perlu dikombinasikan dengan tindakan sanitasi, disinfeksi, vaksinasi dan strategi penanganan untuk mengeradikasi atau mengurangi patogen sampai pada level yang tidak infeksius. Komponen dari biosekuriti adalah konseptual biosekuriti, struktural biosekuriti dan operasional biosekuriti.

(31)

mengalami penularan infeksi dari burung liar. Namun demikian, setelah infeksi dari burung liar tersebut terjadi dan teradaptasi pada unggas domestik, maka penyebaran lebih lanjut dari virus tersebut menjadi sangat terbatas. Program biosekuriti yang tidak diterapkan dengan baik, tidak adanya pelarangan terhadap unggas dan produknya pada lalu lintas antar daerah dengan kepadatan populasi peternakan unggas yang cukup tinggi (8 tempat/km2) serta kurangnya kesadaran

masyarakat merupakan faktor penting yang dapat mengakibatkan terjadinya wabah virus HPAI dan infeksi pada manusia (Kaoud 2008).

Lokasi antar peternakan yang berjarak 1 km dalam waktu 1 hari akan tertular oleh HPAI dari peternakan yang lainnya. Namun pada peternakan yang menerapkan biosekuriti dengan baik, meski jarak dengan peternakan lain yang terserang HPAI hanya 2 km, peternakan tersebut tetap aman dari serangan virus HPAI (Bello et al. 2008).

Menurut Burgos dan Burgos (2007b), vaksinasi pada unggas dapat memberikan hasil yang bervariasi tergantung pada kondisi penerapan di lokasi. Vaksin dapat menurunkan peluang ekskresi virus dan dinamika penularan, meningkatkan resistensi terhadap infeksi dan mengurangi timbulnya gejala klinis. Penerapan strategi vaksinasi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu rutin, pencegahan dan darurat. Aplikasi vaksinasi rutin diterapkan pada lokasi yang telah endemik dan pengendalian secara tradisional sudah tidak efektif dalam upaya mengeliminasi virus. Vaksinasi pencegahan dilakukan pada lokasi yang mempunyai resiko tinggi terjadi pemasukan HPAI, terutama pada lokasi yang berbatasan langsung dengan daerah wabah. Sementara vaksinasi darurat dilakukan pada lokasi wabah untuk membuat zona penyangga yang mengelilingi lokasi wabah. Vaksinasi darurat dilakukan beriringan dengan program pemusnahan dan dilakukan pada awal pertama penanggulangan wabah.

(32)

15

Alasannya adalah, dibutuhkan waktu sekitar 1 minggu untuk dapat melakukan vaksinasi pada seluruh unggas pada suatu peternakan dan diperlukan waktu tambahan 7-14 hari sampai titer antibodi yang dihasilkan cukup protektif untuk menghadapi infeksi dan penularan berikutnya. Jeda waktu tersebut sangat cukup bagi virus untuk dapat menyebar atau disebarkan dengan mudah di lokasi peternakan (Ka-Oud et al. 2008).

Menurut Swayne (2008) dalam Ka-Oud et al. (2008), vaksinasi bukanlah suatu solusi universal dalam pengendalian AI di lapangan. Banyak dijumpai hasil titer yang tidak konsisten terkait dengan kualitas dan aplikasi vaksin yang kurang tepat. Oleh karena itu, ada dua langkah utama yang bisa diterapkan untuk pengendalian AI yaitu penggunaan vaksin inaktif yang efektif dan penerapan ketentuan biosekuriti yang ketat.

AI pada Hewan Mammalia

Infeksi H5N1 yang menimbulkan gejala dan yang asimtomatis juga terjadi pada beberapa spesies mammalia. Infeksi yang fatal pernah terjadi pada harimau, leopard, kucing dan anjing. Harimau dan leopard mengalami gangguan pernafasan yang parah dan demam tinggi sebelum mati. Kucing dapat mengalami demam, depresi, dyspnoe, konvulsi, ataksia dan beberapa kasus berakhir dengan kematian. Sebelum mati kucing juga dapat menunjukkan kondisi yang seolah telah pulih dari gejala dalam waktu 24 jam sebelum hewan ini mati. Kucing yang diinfeksi dengan virus H5N1 secara percobaan akan menunjukkan gejala demam, lethargy, konjungtivitis, pembengkakan kelopak mata, dyspnoe dan akhirnya mati. Secara alami, kucing yang terinfeksi H5N1 akibat kontak dengan angsa yang sakit tidak menunjukkan gejala klinis. Anjing yang memakan unggas yang terinfeksi akan mengalami demam tinggi, gangguan nafas (tersengal-sengal), lesu dan kemudian mati dalam waktu beberapa hari. Namun demikian, beberapa anjing yang diinfeksi secara percobaan tidak menunjukkan gejala klinis (CFSPH 2008).

(33)

virus AI H5N1 dan dapat mengeluarkan dan menyebarkan virus melalui saluran pernafasan tanpa menunjukkan gejala klinis. Virus menyerang pada reseptor yang berlokasi di saluran pernafasan bagian bawah, trakhea dan hidung. Terkait dengan hal tersebut maka kucing dan anjing mempunyai potensi sebagai penular virus AI bagi manusia.

Menurut CFSPH (2008), penularan antar hewan secara terbatas pernah terjadi pada harimau kebun binatang, sebagaimana terjadi antar kucing pada infeksi buatan. Secara alami, tidak terjadi penularan antar kucing ketika kucing tersebut terpapar dengan bebek yang sakit atau dengan babi yang dilakukan infeksi buatan. Kajian penularan antar anjing belum pernah dilakukan.

Infeksi secara percobaan pada ferret menimbulkan manifestasi gejala yang bervariasi mulai dari gangguan pernafasan atas ringan sampai dengan berat dan mengakibatkan kefatalan. Patogenesitas bervariasi tergantung dari jenis isolat. Kasus yang berat gejalanya antara lain adalah demam tinggi, kelesuan, anoreksia, penurunan berat badan dan diare. Pada babi yang diinfeksi secara percobaan, akan mengalami gejala gangguan pernafasan yang ringan termasuk batuk, demam dan anoreksia sementara (CFSPH 2008).

2.4 Avian Influenza pada Manusia

Pada manusia, virus AI H5N1 cenderung menyerang pneumocytes dan sel epitel kuboid tak bersilia pada bronkioli ujung dari saluran pernafasan bagian bawah. Pada kucing, karakteristik predileksi pada saluran pernafasan mirip dengan kejadian yang ada pada manusia (Burgos dan Burgos 2007d).

(34)

17

hanya mengalami demam dan diare ketika terinfeksi oleh virus tersebut. Beberapa penderita akan mengalami gangguan saluran pernafasan bawah segera setelah terinfeksi diantaranya yaitu dyspnoe, radang tenggorokan dan bersuara ketika melakukan inspirasi. Sekresi pernafasan dan sputum berwarna kemerahan. Kebanyakan penderita kondisinya akan memburuk dengan cepat. Pada tahap lanjut, akan terjadi kegagalan multi organ dan koagulasi intravaskular (CFSPH 2008).

Virus HPAI H5N1 yang menginfeksi manusia tidak dengan mudah bisa ditularkan antar manusia. Beberapa ahli menyatakan bahwa virus H5N1 menginfeksi sel saluran pernafasan bagian bawah pada lokasi yang paling dalam sehingga tidak akan mudah dikeluarkan melalui batuk maupun bersin. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli lain memperoleh hasil kesimpulan bahwa virus Flu pada manusia hanya mengikat reseptor alfa 2,6 galactose yang ada pada saluran pernafasan manusia dari hidung sampai ke paru-paru. Sementara virus AI cenderung untuk mengikat reseptor alfa 2,3 galactose yang terdapat pada saluran pernafasan unggas namun jarang sekali ditemukan pada manusia. Dengan menggunakan penanda atau marker molekul, telah diketahui bahwa manusia juga memiliki reseptor alfa 2,3 galactose, namun reseptor tersebut terletak di bagian terdalam dan terkecil dari paru yaitu alveoli (Anaeto dan Chioma 2007).

Insidensi kasus AI pada manusia di Indonesia cenderung konsisten terjadi pada usia sampai dengan 30-an tahun. Di Vietnam insidensi kasus juga cenderung konstan pada usia penderita sampai dengan 40 tahun. Sementara di Mesir, insidensi cenderung tidak konstan pada usia tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa keterpaparan memegang peranan penting untuk terjadinya kasus pada manusia. Keterpaparan sendiri bisa dikaitkan dengan resiko pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan oleh seseorang (Kaoud 2008).

(35)

Kebanyakan virus H5N1 resisten terhadap amantadin dan rimantadin, sedangkan resistensi terhadap zanamivir dan oseltamivir sangat jarang terjadi (CFSPH 2008). 2.5 Telur sebagai Media Transmisi Virus

Wabah Influenza dapat mengakibatkan orang menjadi takut untuk mengkonsumsi produk unggas, termasuk telur (Akpabio et al. 2007). Industri peternakan unggas dan poduknya memang mempunyai peran yang sangat penting sebagai pemicu dan pembawa virus. Produk unggas seperti daging dan telur dapat terkontaminasi oleh virus ini. Kerabang dapat mengandung virus Influenza menular yang diakibatkan oleh kontaminasi kotoran (Mahardika et al. 2005, Swayne dan Beck 2004).

Pemerintah China melalui Animal Quarantine Service in China (AQSC) menerapkan tindakan karantina yang ketat untuk mendeteksi kemungkinan adanya virus AI yang terbawa oleh unggas dan produknya sebagai upaya untuk mencegah pemasukan penyakit AI dari luar China. Selanjutnya pada tahun 2005, virus Influenza H5N1 pernah berhasil dideteksi oleh AQSC pada 3 telur bebek dan angsa dari total 30 telur yang disita. Air cucian kerabang tersebut memberikan hasil positif adanya virus AI dengan pengujian RT-PCR (Li et al. 2006).

2.6 Disinfeksi

Disinfeksi adalah proses yang ditujukan untuk mematikan organisme berbahaya namun bukan berarti membuat suatu kondisi yang steril. Ada 2 faktor yang berpengaruh penting dan perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan disinfeksi, yaitu waktu kontak dan konsentrasi disinfektan. Pada suatu kondisi yang bisa dianggap konstan dengan mengendalikan faktor lain, maka proses disinfeksi dapat digambarkan melalui persamaan sebagai berikut :

Kill Cn x t (n>0) .(1)

(36)

19

Virus Influenza sangat peka terhadap beberapa macam disinfektan antara lain adalah klorin (sodium hipoklorit), 70% etanol, agen pengoksidasi, amonium kuartener, aldehid (formalin, glutaraldehid, formaldehid), fenol, asam, povidon iodine dan pelarut lemak. Agen penyakit ini juga dapat diinaktivasi dengan panas 560C selama 60 menit, radiasi ionisasi dan pH rendah yang ekstrim (pH 2)

(CFSPH 2008, EPA 2006).

Keberadaan material organik seperti sekresi hidung dan feses akan membuat virus lebih resisten terhadap aplikasi bahan kimia maupun pengaruh fisik lingkungan, sehingga untuk tujuan disinfeksi material organik tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalam hal efektifitas, virus AI yang terlindungi oleh material organik dapat dibasmi dengan mengunakan formaldehid atau glutaraldehid, beta-propiolactone dan binary ethylenimine. Pada kondisi tanpa adanya material organik, virus dapat dibasmi dengan menggunakan fenol, ion amonium, agen pengoksidasi (klorin), asam terlarut dan hydroxylamine (Swayne dan Halvorson 2003 dalam EPA 2006).

2.7 Klorin dan Klorinasi Klorin

Klorin merupakan elemen kimia dengan simbol CI yang tergolong dalam keluarga halogen. Berat atom klorin adalah 35,457. Klorin tidak dijumpai di alam dalam bentuk murni namun diperoleh dengan cara melakukan elektrolisis larutan garam atau dengan proses oksidasi hydrogen chloride (HCl). Bentuk klorin sebagai gas berwarna kuning kehijauan dan mempunyai berat 2,5 kali lebih berat daripada udara yaitu 3,2 g/l pada suhu 00C dan tekanan 101,3 kPa. Klorin dalam

bentuk cair adalah sodium hypochlorite (NaOCl) dan banyak dijual sebagai pemutih. Konsentrasi sediaan komersialnya adalah berkisar antara 5-15%. Sementara sediaan padat klorin adalah calcium hypochlorite (Ca(OCl)2),

(37)

cahaya, pH dan keberadaan kation logam berat. Sedangkan sediaan padat harus terlindung dari panas, material organik dan kelembapan (FPTCDW 2007).

Klorin termasuk salah satu jenis disinfektan yang paling sering digunakan secara luas karena mempunyai sifat efektif pada konsentrasi rendah, mudah digunakan dan memiliki bentuk residual pada dosis penggunaan yang diinginkan. Kemampuan disinfeksi klorin terletak pada kemampuannya sebagai agen oksidasi kuat. Klorin akan mengoksidasi enzim-enzim sel mikroba yang sangat penting dalam proses metabolisme sel mikroba (Reynolds 1982).

Sebagai disinfektan, klorin efektif terhadap berbagai jenis agen penyakit baik virus beramplop maupun tidak beramplop, cendawan, bakteri dan alga (Ivanov 2008).

Secara ekonomis untuk mendapatkan 1 liter larutan klorin 0,5%, dibandingkan sodium hipoklorit dan bentuk sediaan lainnya, kaporit merupakan bahan pelepas klorin yang paling terjangkau. Dalam kondisi normal, kaporit yang telah dilarutkan akan meninggalkan endapan dalam larutan (Anonim 1996).

Kalsium hipoklorit yang merupakan bentuk sediaan kering dari preparat klorin, bila dicampur dengan air akan terionisasi dan menghasilkan ion hipoklorit sebagai berikut :

Ca(OCl)2 Ca2+ + 2OCl- (2)

Ion hipoklorit yang dihasilkan pada persamaan reaksi (1) selanjutnya akan membentuk keseimbangan dengan ion hidrogen ketika klorin atau hipoklorit ditambahkan dalam air. Derajat keasaman mempunyai pengaruh dalam keseimbangan jumlah ion hipoklorit dan asam hipoklorit (Sawyer et al. 1994).

Asam hipoklorit dan ion hipoklorit keduanya memiliki kemampuan disinfeksi. Namun, senyawa dalam bentuk asam lebih efektif daripada ion. Keduanya akan bereaksi dengan material organik dan inorganik yang terkandung dalam air (Reynolds 1982).

(38)

21

jumlah klorin yang telah terpakai atau bereaksi oksidasi dengan material tertentu. Residual klorin adalah jumlah yang masih ada atau masih tersisa setelah proses oksidasi berlangsung (Reynolds 1982). Dengan demikian demand klorin dapat diukur dan dihitung dengan mengurangkan dosis dengan residual (Sawyer et al. 1994).

Klorin aman terhadap kesehatan manusia dan tidak termasuk dalam kategori senyawa yang dapat mengakibatkan kanker karena tidak ada bukti yang cukup, baik pada hewan percobaan maupun kejadian kasus pada manusia (IARC 1991 dalam AISE 1997).

Konsumsi klorin 20 ppm terbukti secara ilmiah tidak menimbulkan gangguan metabolisme lemak dan tiroid dalam tubuh manusia. Kandungan klorin 50 ppm apabila dikonsumsi oleh manusia juga tidak mengakibatkan sakit ataupun gangguan kesehatan. Sementara itu, konsumsi air dengan kandungan klorin lebih kurang 32 ppm selama beberapa bulan juga tidak mengakibatkan efek gangguan kesehatan. Konstriksi kerongkongan dan iritasi pada mulut dan kerongkongan baru terjadi apabila manusia mengkonsumsi air yang mengandung klorin lebih dari 90 ppm (FPTCDW 2007).

Meski demikian, pekerja industri perunggasan yang menggunakan klorin sebagai disinfektan rentan terhadap kejadian iritasi mata dan gangguan saluran pernafasan atas karena gas klorin yang mungkin mengkontaminasi ruangan (King et al. 2004).

Klorinasi

Klorinasi pada awalnya merupakan suatu teknik disinfeksi yang diterapkan pada sumber air, bahkan sampai dengan saat ini. Teknik ini pertama kali diterapkan sekitar tahun 1850 yang mana pada waktu tersebut mulai diketahui bahwa air dapat berperanan penting dalam penyebaran suatu penyakit, sehingga diperlukan suatu perlakuan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut (Sawyer et al. 1994).

(39)

minimal 15%. Dosis klor ditentukan melalui perhitungan jumlah klor yang dikonsumsi air, dimana besarannya tergantung pada kualitas air bersih yang diproduksi serta sisa klor sebagai residual klorin yaitu 0,25-0,35 ppm (RSNI3b 2007).

Dalam perkembangannya, klorin juga digunakan untuk mendisinfeksi komoditi hasil pertanian. Pada industri pangan, belum ada sanitiser lain yang dapat menggantikan peran klorin. Larutan klorin digunakan untuk mencuci dan memilah buah-buahan dan sayuran, mencegah kontaminasi patogen pada daging (sapi, unggas) dan telur. Kombinasi klorin dan deterjen sering digunakan pada industri telur konsumsi untuk menghilangkan kontaminasi dan membersihkan permukaan kerabang (AISE 1997, CCC 2002).

Klorin yang digunakan untuk mendisinfeksi karkas sapi kandungan total klorin dalam setiap liternya adalah 20 ppm atau dengan kandungan asam hipoklorit 10 ppm yang selanjutnya diikuti dengan pembilasan untuk menghilangkan residu yang mungkin tersisa. Karkas ayam juga sering diberi perlakuan dengan klorin baik dengan cara direndam, di semprot ataupun dicuci dengan air yang mengandung 20-50 ppm total klorin atau 10 ppm asam hipoklorit, diikuti dengan pembilasan. Residu klorin pada bahan pangan belum pernah ditemukan. Karena sifatnya yang mudah larut dan sangat reaktif, maka klorin tidak akan terakumulasi atau mengalami biokensentrasi pada rantai makanan (FPTCDW 2007).

Menurut CAC (2000), disinfeksi komoditi pertanian untuk karkas broiler dosis klorin yang digunakan adalah 30 ppm, telur konsumsi dosisnya 100-200 ppm, buah dan sayur 50-200 ppm (maksimum 2000 ppm untuk washing) dan ikan 10 ppm.

Desinfeksi telur dengan metode imersi, direkomendasikan di Belgia untuk mendisinfeksi permukaan kerabang yang terkontaminasi oleh cendawan dan kapang (Ivanov 2008).

(40)

23

dilakukan untuk mengeliminasi kemungkinan cemaran virus LPAI maupun HPAI akibat kotoran atau feses yang menempel pada permukaan kerabang (IAFP 2005). Menurut Rice et al. (2007), klorin dapat menginaktivasi virus AI H5N1. Dengan jumlah residual klorin bebas 0,52-1,08 mg/l sudah cukup untuk mematikan 5,26-5,32 log10 TCID50/ml virus H5N1 yang terkandung pada cairan

alantois dalam waktu 1 menit.

Air yang diklorinasi tidak terbukti bersifat karsinogenik, demikian juga dengan klorin baik dalam sediaan padat maupun cair (IARC 1997). Namun demikian, apabila klorin yang larut dalam media air bertemu dengan humic substance akan menghasilkan senyawa trihalometan yang dapat berpotensi karsinogenik (Sawyer et al. 1994)

2.8 Telur Ayam Ras Konsumsi

Telur merupakan bahan pangan alami yang mempunyai banyak kegunaan pada produk makanan. Albumen (putih telur) merupakan komponen telur yang sering digunakan sebagai agen pengikat atau pelekat pada industri pangan. Sedangkan yolk (kuning telur) merupakan komposisi lipoprotein pada telur dalam bentuk yang teremulsi (Jones 2007). Telur merupakan bahan pangan yang paling disukai oleh hampir seluruh orang di dunia. Kandungan nutrisinya sangat lengkap dan mempunyai banyak manfaat bagi tubuh baik untuk pertumbuhan, perkembangan, laktasi maupun reproduksi. Menurut Akpabio et al. (2007), telur mempunyai kandungan air sebanyak 78%, protein 13-14%, lemak 10-15%, karbohidrat 1-2% dan abu 1%.

Menurut Abanikannda dan Leigh (2007), telur disusun oleh putih telur, kuning telur dan kerabang dengan komposisi masing-masing adalah lebih kurang 58%, 31% dan 11% dari berat telur secara berurutan. Putih telur merupakan komponen yang mengandung lebih dari separoh total protein telur, sedangkan kuning telur mengandung total lemak dan hampir seluruh vitamin telur.

(41)

Ujung tumpul telur memiliki jumlah pori-pori per satuan luas yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian lain. Pori-pori telur yang masih baru dilapisi oleh kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula adalah mencegah penetrasi mikroba, mengurangi evaporasi air yang terlalu cepat dan mencegah masuknya cairan polar melalui kerabang sehingga hanya udara dan air saja yang dapat masuk melalui sistem difusi (Harahap 2007). Jumlah pori-pori pada seluruh permukaan kerabang dapat mencapai 10.000 buah (Davis dan Reeves 2002).

Kerabang yang baik adalah kerabang yang terlihat bersih dan terasa licin pada saat diraba. Kerabang sebagian besar terdiri dari kalsium yaitu lebih kurang 97% karbonat dan selebihnya adalah fosfat dan magnesium. Rasio magnesium dengan kapur akan meningkat secara logaritmik ke arah bagian luar dari kerabang (Hunton 2005, Harahap 2007). Luas permukaan telur dapat diperkirakan dengan menggunakan formulasi Carter yaitu 3,9782 x W.7058. dimana W adalah berat telur

dalam ukuran gram (Anderson et al. 2004).

Telur cenderung mudah mengalami keretakan atau pecah bila berat kerabangnya menurun. Kualitas kerabang dapat diamati melalui dua parameter yaitu ketebalan dan berat kerabang. Kualitas kerabang dapat diperkirakan melalui pengujian specific gravity (SG). Telur yang memiliki warna kerabang yang lebih pekat cenderung memiliki nilai SG yang tinggi. Hal ini mungkin berkaitan dengan proses pigmentasi dan kalsifikasi ketika telur akan dihasilkan oleh seekor ayam dimana deposit pigmen menunjukkan deposit dari kalsium. Ketebalan kerabang mempunyai korelasi yang kuat dengan SG bila dibandingkan dengan warna kerabang. Warna kerabang sangat dipengaruhi oleh faktor umur dan strain unggas. Meski warna kerabang mempunyai korelasi yang kuat dengan kualitas kerabang namun tidak seakurat parameter specific gravity (SG) dan ketebalan kerabang dalam menduga kualitas kerabang telur (Ingram et al. 2008).

(42)

25

pada suhu penyimpanan tersebut kualitas putih telur masih cukup baik namun kualitas kuning telur telah menurun.

Kontaminasi bakteri terhadap kerabang telur dapat berasal dari tempat atau lingkungan dimana jumlah bakteri yang paling tinggi dapat ditemukan pada sangkar ayam, ruang perpindahan dalam suatu farm, di belakang mesin pencuci telur dan mesin pengering telur (Northcutt et al. 2004).

Pencucian, sanitasi dan fumigasi telur diterapkan di Australia untuk menginaktivasi mikroorganisme patogen yang mengkontaminasi kerabang. Keberadaan material organik ataupun kotoran akan mempengaruhi efektivitas disinfeksi. Jenis bahan kimia yang digunakan untuk mendisinfeksi kerabang tergantung pada peruntukan telurnya. Telur tetas didisinfeksi dengan cara fumigasi menggunakan formaldehyde atau direndam dengan menggunakan virkon, sedangkan pada telur konsumsi disinfeksi dilakukan dengan menggunakan sanitiser berbahan dasar klorin (AFFA 2000).

Di Amerika, industri telur membutuhkan lebih kurang 9,46 milyar liter air per tahun untuk keperluan pencucian telur. Penggunaan air pada industri unggas menjadi semakin meningkat ketika program Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) diterapkan untuk komoditi daging dan fasilitas pengolahan hasil unggas. Program HACCP pada saat tersebut belum diterapkan pada telur dan masih dalam tahap perkembangan dalam regulasinya. Industri unggas mempunyai peran dalam pencemaran lingkungan melalui sampah dan kotoran yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan oleh Jones dan Northcutt pada 2005 memperoleh kesimpulan bahwa di Amerika, penggunaan air sebagai sarana pencucian dan disinfeksi telur tidak mengakibatkan penggunaan air menjadi lebih boros. Namun demikian, pengurangan penggunaan air akan memberikan keuntungan tersendiri pada aspek ekonomis dan mengurangi peluang pencemaran lingkungan (Jones dan Northcutt 2005).

Dalam praktek pencucian telur, air yang digunakan untuk mencuci telur hendaknya lebih hangat atau suhunya sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan telur yang dicuci (11,10C). Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi

(43)

pencucian dilakukan. Air yang digunakan untuk mencuci hendaknya mengandung maksimal 103 cfu/ml untuk mencegah kemungkinan terjadinya pembusukan

ketika telur disimpan. Berdasarkan hasil penelitian dari Jones et al. (2005) diperoleh kesimpulan bahwa pencucian telur dengan menggunakan air bersuhu 48,90C kemudian diikuti dengan air cuci bersuhu 230C atau 150C dapat lebih

banyak menurunkan jumlah bakteri Salmonella enteritidis yang dikontaminasikan pada kerabang bila dibandingkan pada pencucian dengan suhu 23,90C diikuti

dengan suhu 15,60C. Pencucian terhadap telur biasanya dilakukan dengan

menggunakan air yang pH nya basa. Setelah pencucian biasanya dilakukan disinfeksi dengan menggunakan klorin dosis 200 ppm. Setelah itu telur dibiarkan mengering dan di packing untuk selanjutnya siap dijual (Jones et al. 2005).

Secara umum faktor-faktor kualitas telur dibagi menjadi 2 macam yaitu faktor eksterior dan faktor interior. Faktor eksterior terdiri dari warna, bentuk, tekstur, keutuhan dan kebersihan kerabang. Sedangkan faktor interior meliputi keadaan putih telur yaitu kekentalan, bentuk kuning telur dan tidak ada noda baik pada putih maupun kuning telur (Harahap 2007).

Menurut Yakubu et al. (2008), kualitas eksterior yang bisa diamati diantaranya adalah berat telur (gram), panjang telur (cm), lebar telur (cm) dan egg shape index (ESI) (%). Sedangkan kualitas interior yang bisa diamati antara lain adalah berat kerabang (gram), ketebalan kerabang (mm), berat putih telur (gram), tinggi putih telur (mm), indeks putih telur, tinggi kuning telur (mm), diameter kuning telur (mm), berat kuning telur (gram), indeks kuning telur dan haugh unit (Hu). Indeks kuning telur termasuk salah satu parameter yang paling bagus untuk menentukan kualitas interior telur. Indeks kuning telur dapat ditentukan dengan menghitung rasio antara tinggi dengan diameter kuning telur. Kualitas telur juga dapat dipantau dengan menentukan Hu dari telur tersebut.

(44)

27

cenderung besar namun ketebalan dan kekuatan kerabangnya menurun (Anderson et al. 2004).

Dalam penelitian analisa alometrik, beberapa parameter bagi kualitas telur seperti berat putih telur ternyata mempunyai korelasi yang kuat terhadap keseluruhan berat telur, sedangkan berat kuning telur mempunyai korelasi yang kuat dengan umur telur (Abanikannda dan Leigh 2007).

Karakteristk parameter kualitas telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik dari ayamnya. Berat telur dan proporsi putih telur, kuning telur dan kerabang sangat bervariasi tergantung dari jenis ayamnya. Breed ayam dan waktu simpan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kualitas telur kecuali untuk parameter diameter telur. Kombinasi antara breed dengan masa simpan berpengaruh terhadap panjang telur, ESI, tinggi putih telur dan Hu. Telur segar cenderung memiliki berat, panjang, diameter, tinggi putih telur dan Hu yang lebih bagus daripada telur yang telah lama disimpan. Ayam White Leghorn memiliki parameter kualitas berat telur, panjang telur, diameter telur dan kekuatan kerabang yang lebih bagus bila dibandingkan dengan breed lain. Sedangkan ayam White Rock memiliki ESI dan tinggi putih telur yang lebih baik (Monira et al. 2003).

Menurut Yakubu et al. (2008), kualitas telur dapat ditingkatkan dengan melakukan perpaduan sifat genetik ayam leher gundul (legun) dengan memasukkan gen ayam legun tersebut ke ayam asli. Hal ini diperkirakan bisa meningkatkan kualitas telur karena telur ayam legun terbukti mempunyai kualitas yang lebih bagus bila dibandingkan dengan telur ayam lokal. Pengujian terhadap kualitas telur dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kualitas, yaitu kondisi kerabang, kondisi kantung udara, kondisi putih telur, kondisi kuning telur, dan bau (RSNI3a 2008). Sedangkan kualitas kerabang dapat diamati dari parameter berat kerabang, prosentase kerabang, ketebalan kerabang, Beta-particle backscatter dan Ultrasound wave reflection (Hunton 2005).

(45)

Penurunan indeks putih telur selama penyimpanan dapat terjadi akibat penguapan gas CO2 yang tinggi sehingga nilai pH menjadi naik dan

mengakibatkan proses pemecahan ovomucin menjadi lebih cepat. Ovomucin merupakan kompartemen dari putih telur berupa glikoprotein yang berbentuk seperti serabut dan berfungsi untuk mengikat air membentuk struktur gel. Meningkatnya pemecahan ovomucin membuat putih telur menjadi lebih encer (Buckle et al. 1987 dalam Harahap 2007).

Penurunan indeks kuning telur terjadi sebagai lanjutan dari penurunan indeks putih telur. Putih telur yang mulai encer akan menimbulkan perbedaan tekanan osmosis antara putih telur dan kuning telur yang dipisahkan oleh membran vitelin. Perbedaan tekanan osmosis tersebut akan menyebabkan elastisitas dari membran vitelin menurun. Dengan demikian, aliran air dari putih telur ke dalam kuning telur akan terus terjadi sehingga diameter kuning telur menjadi melebar (Romanoff dan Romanoff 1963 dalam Harahap 2007).

Selama penyimpanan, telur juga akan mengalami susut bobot yang secara paralel terjadi dengan penurunan indeks putih dan kuning telur akibat penguapan air dan gas CO2. Susut bobot selanjutnya akan mengakibatkan kedalaman kantong

(46)

29

3. METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai bulan September 2008 sampai dengan bulan Januari 2009 di Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaporit, sodium thiosulfat 0,1N, kalium iodida, kalium iodat, natrium bikarbonat, asam sulfat 4N, kanji 3%, virus HPAI Subtipe H5 isolat ambon (koleksi BBUSKP), telur konsumsi umur sehari diperoleh dari Farm Bina Tani Depok Jawa Barat, telur Spesific Pathogen Free (SPF) umur 9-11 hari dari PT. Vaksindo, PBS steril, akuabides steril, reagen RT-PCR, agarose, ethidium bromida, RBC 10%, feses, finn tip, betadin, alkohol, kutek.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Biosafety Cabinet Level 2, mikropipet, tabung reaksi, cawan petri, tangki elektroforesis, kamera, mesin PCR, tabung biuret, biuret holder, labu ukur, erlenmeyer asa, gelas ukur, pipet pasteur, pipet hisap, spuit, pinset, rak telur, pensil, Personal Protective Equipment (PPE).

3.3 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan untuk penelitian ini adalah Rancangan Faktorial 2 Faktor Acak Lengkap. Dua peubah yang menjadi faktor pada penelitian ini adalah telur bersih dan telur kotor.

3.4 Prosedur Penelitian dan Parameter serta Variabel Pengamatan Prosedur penelitian

Penentuan titer virus HPAI

Titer virus AI yang akan digunakan adalah berkisar antara 107-109 EID 50,

(47)

feses adalah 108,7 EID50/gram feses (Kamps et al. 2006) . Metode titrasi mengacu

pada Hitchner et al. (1975) dengan rumus perhitungan menggunakan metode Spearman-Karber.

Penentuan sediaan kaporit, dosis klorin dan residu klorin

Metode pengukuran klorin yang digunakan adalah Titrasi Iodometrik atau metode kanji (Sawyer et al. 1994). Pada metode ini, sejumlah kaporit yang akan dilarutkan ditambah dengan 100 ml akuabides steril. Larutan dimasukkan kedalam tabung Erlenmeyer Asa kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 dan 0,05 gram

Natrium bikarbonat serta 5 ml Kalium iodat secara berurutan lalu dikocok sehingga warna berubah menjadi coklat. Selanjutnya dilakukan titrasi dengan menggunakan sodium thiosulfat sampai warna berubah menjadi kuning pucat. Kanji 3% ditambahkan sebanyak 2-3 tetes sampai diperoleh warna biru dan dititrasi lagi dengan sodium thiosulfat 1-2 tetes sampai warna larutan menjadi jernih. Volume penitar yang telah digunakan kemudian dicatat.

Penghitungan klorin dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

Klorin (ppm)

= Vol. penitar X N 2NaVolume Larutan (Kaporit) 2S2O3 X Bobot setara Cl2 X 1000

Selanjutnya, dosis klorin yang digunakan adalah ± 150 ppm (Srikaeo dan Hourigan 2002). Dengan demikian diperlukan beberapa sampel dosis kaporit dengan berat yang berbeda untuk memperoleh nilai dosis klorin yang diinginkan. Beberapa sediaan kaporit dengan berat yang berbeda dilarutkan dalam akuabides sampai diperoleh dosis klorin ± 150 ppm. Berat sediaan yang ditemukan selanjutnya diulang pengukurannya sebanyak 3 kali untuk memperoleh nilai rata-rata dosis kaporit.

Penentuan demand klorin telur, cairan alantois dan feses

(48)

31

Demand Cairan Alantois. Sebanyak 100 µl cairan alantois dimasukkan dalam tabung yang berisi 100 ml akuabides dengan dosis klorin ± 150 ppm. Setelah perlakuan selama 60 detik, air dari tabung diukur residual klorinnya. Perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali untuk memperoleh nilai rata-rata.

Demand feses. Sebanyak 1 gram feses yang dibuat dari 0,9 ml cairan alantois murni dengan 0,12 gram feses dimasukkan dalam tabung yang berisi 100 ml akuabides dengan dosis klorin ± 150 ppm. Setelah perlakuan selama 60 detik, air dari tabung diukur residual klorinnya. Perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali untuk memperoleh nilai rata-rata.

Pada ketiga perlakuan tersebut, Demand klorin diperoleh dengan mengurangi dosis klorin dengan jumlah residual klorin yang telah diukur.

Uji Viabilitas virus pada permukaan kerabang

Persiapan bahan. Feses yang digunakan adalah ± 5,25 gram. Telur dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok telur bersih yang dicemari virus (Kelompok A, 21 butir) dan kelompok telur yang dicemari dengan feses bervirus (Kelompok B, 21 butir).

Kelompok A (21 butir). Telur dicemari dengan 100 µl isolat virus AI Subtipe H5 dengan cara dioles. Selanjutnya, telur disimpan selama 21 jam pada suhu ruang (± 250C) dalam ruangan perlakuan. Setiap 3 jam, diambil 3 butir telur

secara acak untuk dideteksi dan diamati viabilitas virus AI-nya.

Kelompok B (21 butir). Telur dicemari dengan feses bervirus dengan cara dioles. Perbandingan feses dengan virus adalah 0,12 gram dan 0,9 ml isolat (total berat 1 gram) secara berurutan. Campuran tersebut digunakan untuk mencemari 4 butir telur. Setelah dicemari dan didiamkan sampai feses mengering pada permukaan kerabang, telur disimpan selama 21 jam pada suhu ruang (± 250C).

(49)

Gambar 5 Uji Viabilitas virus HPAI Subtipe H5 pada permukaan kerabang telur konsumsi.

Pada kedua perlakuan di atas, swab dan kerokan kerabang diinokulasikan pada telur SPF, 96 jam kemudian virus dipanen dan dilakukan uji HA cepat menggunakan RBC 10% dengan perbandingan 1:1. Pengamatan viabilitas dilakukan sampai dengan jam ke-21.

Klorinasi telur tercemar virus HPAI

Kelompok Kontrol Positif I (6 butir). Telur dicemari dengan isolat virus dengan cara dioles dan dibiarkan mengering (pengamatan visual) pada suhu ruang.

Kelompok Kontrol Positif II (6 butir). Telur dicemari dengan feses bervirus dengan cara dioles dan dibiarkan mengering (pengamatan visual) pada suhu ruang.

Kelompok Perlakuan I Telur Bersih (12 butir). Telur dicemari isolat virus dengan cara dioles. Telur dibiarkan mengering (pengamatan visual) pada suhu ruang. Segera setelah kering, 6 butir telur masing-masing dicelup dalam 100 ml akuabides yang mengandung ± 150 ppm klorin selama 30 detik dan 6 butir lainnya dicelup dengan volume akuabides dan dosis klorin yang sama selama 60 detik secara berurutan.

(50)

33

(a) (b)

Gambar 6 Klorinasi pada telur bersih (a) dan klorinasi pada telur kotor (b).

Seluruh telur pada kelompok kontrol dan perlakuan selanjutnya di-swab dan dikerok untuk selanjutnya diinokulasikan pada telur SPF, 96 jam kemudian virus dipanen dan dilakukan uji HA cepat menggunakan RBC 10% dengan perbandingan 1:1. Pengamatan viabilitas dilakukan sampai dengan jam ke-21. Pengujian Kualitas Telur

Sebanyak 40 butir telur dipilih secara acak (diundi) dan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, telur tidak diberi perlakuan sama sekali sedangkan pada kelompok perlakuan, telur diklorinasi dengan cara dicelup menggunakan dosis klorin ± 150 ppm. Telur perlakuan selanjutnya dibiarkan mengering dan kedua kelompok dibiarkan tersimpan pada suhu ruang (± 250C) selama 10 hari. Setelah masa

perlakuan selesai, indeks putih dan kuning telur kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diukur dengan menggunakan Electronic Digital Caliper 0-150 mm. Pengujian Residu Klorin

Pengujian residu klorin dilakukan dengan tahapan kualitatif dari metode Titrasi Iodometrik. Sebanyak 3 butir telur dipilih secara acak dengan diundi dari 30 butir telur. Telur yang terpilih selanjutnya dicelup dalam 100 ml akuabides yang mengandung klorin ± 150 ppm. Telur dibiarkan kering visual, kemudian dengan hati-hati dipecah. Putih dan kuning telur ditampung dalam cawan petri. Sejumlah 10 ml putih telur diambil dan dicampur dengan 90 ml akuabides untuk selanjutnya dideteksi kandungan klorinnya.

Gambar

Gambar 1  Struktur virus Influenza A (Kamps et al. 2006).
Gambar 2  Peta penyebaran penyakit AI di Indonesia (Pusat   Informasi dan Keamanan Hayati, Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian 2007)
Gambar 3  Pembengkakan dan sianosis yang terjadi pada seekor ayam  layer
Gambar 4 Regresi  dan  nekrosis  ovarium pada ayam ras petelur yang       terinfeksi virus HPAI (a) dan ovarium normal (b) (Bello et al
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian pengaruh perendaman telur ayam ras konsumsi dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun sirih terhadap daya awet dilihat dari nilai indeks putih

independent sample t-test menunjukkan bahwa pada data pemeriksaan Hb pre (sebelum) mengkonsumsi tablet Fe antara kelompok dengan konsumsi telur ayam ras rebus