• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP."

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA

RINDANG BANGUN PRASETYO

NRP. H 151 080 334

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2010

Rindang Bangun Prasetyo NRP : H 151 080 334

(4)

RINDANG BANGUN PRASETYO. Impact of Infrastructure and Industrial Agglomeration on Regional Economic Growth in Indonesia. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and DEDI WALUJADI.

In general, the Indonesia’s economic growth is significantly improved recently but the increase rate is different in each region which entitles to high regional disparity. One of the reasons why it occurs is because of the difference of infrastructure development in every region. Beside, the centralization of the economic activities tends to cause this issue. This study intends to analyze the effect of infrastructure development and industrial agglomeration to the regional economic growth in Indonesia. Based on productivity function of Cobb-Douglas model, the fixed effect model is used as data panel method which includes a range of data from 26 provinces in 1991-2007. The estimation in this study ensues to the influence of labor, investment, human capital, physical infrastructures (electricity and roads), industrial agglomeration, and economic crisis in 1997, while water infrastructure is not significant. Due to the estimation data result, the characteristic of production activity in Indonesia is labor-based with the labor elasticity rate of 0,27 higher than investment elasticity which is 0,10. Human capital variable holds the biggest effect with 0,34 score. Physical infrastructure (electricity and roads) is significantly influential with electricity elasticity indicates 0,33 score, higher than roads elasticity score of 0,13. In addition to this, industrial agglomeration contributes positive effect on economic growth which is indicated by 0,04 elasticity score. On the other hand, the negative coefficient score as a result of economic crisis in 1997 obstructs the economic growth. To sum up, variables which deliver positive influence for regional economic growth in Indonesia are human capital, electricity, roads, and industrial agglomeration. Furthermore, distribution of infrastructure development, education, and centralization of the economy activity should be applied in order to reduce regional disparity.

(5)

Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan DEDI WALUJADI.

Pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP aktual atau output nasional suatu negara yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dalam pelaksanaan pembangunan merupakan sasaran utama bagi negara-negara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Barang dan jasa yang diproduksi semakin banyak dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/ disparitas antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah.

Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas dalam produksi. Persebaran sumber daya yang tidak merata juga dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan penghematan aglomerasi (agglomeration economies). Adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi apalagi jika didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai.

Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi sehingga terkonsentrasi di pusat kota yaitu industri manufaktur. Industri manufaktur cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang berdekatan.

Peningkatan prasarana infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri manufaktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi yang dipilih dan dianut bangsa Indonesia yaitu pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity) dapat tercapai.

Bertolak dari hal tersebut, tujuan tujuan penelitian ini adalah: Pertama, menganalisis dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Kedua, menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Ketiga, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.

(6)

memberikan gambaran tentang suatu fenomena dan selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Sedangkan analisis data panel digunakan untuk mengkaji dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, dan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.

Berdasarkan hasil dari analisis diskriptif dan spasial dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari tahun 1991 sampai 2007 sangat berfluktuatif. Krisis moneter tahun 1997, membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan mengalami pertumbuhan yang negatif. Kontribusi sektor yang paling besar di Indonesia sejak tahun 1991 sampai 2007 yaitu industri pengolahan. Hasil penghitungan dengan menggunakan indeks Williamson menunjukkan pada tahun 1991-2007 ketimpangan antar provinsi di Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar 0,6 sampai 0,8. Kenaikan ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu pada tahun pertama diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah.

Dinamika pembangunan infrastruktur di Indonesia selama periode tahun 1991 sampai 2007 secara umum terus mengalami peningkatan. Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat.

Sedangkan hasil dari analisis dinamika aglomerasi industri manufaktur dapat terlihat bahwa penyebaran industri manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu di ujung barat (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat) dan di Provinsi Jawa Timur. Di daerah luar Jawa konsentrasi industri manufaktur hanya terdapat di provinsi Riau. Sedangkan provinsi yang dimungkinkan terjadi aglomerasi di masa mendatang yaitu Jawa Tengah dan Sumatera Selatan.

Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional menunjukkan bahwa kegiatan produksi di Indonesia masih bersifat padat karya yang ditunjukkan dari elastisitas tenaga kerja (0,27) lebih besar daripada elastisitas stok modal (0,10). Variabel human capital memiliki dampak yang terbesar dibandingkan variabel lain dengan elastisitas sebesar 0,34. Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13). Sedangkan infrastruktur air bersih tidak berpengaruh secara statistik. Aglomerasi industri yang diwakili indeks spesialisasi industri manufaktur mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang ditunjukkan dengan elastisitas sebesar 0,04. Di sisi lain, koefisien krisis 1997 yang negatif mempunyai arti bahwa terjadinya krisis menghambat pertumbuhan ekonomi.

Analisis persamaan kedua (faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia) menghasilkan variabel yang memengaruhi terjadinya aglomerasi yaitu skala ekonomi (semakin besar skala usaha maka semakin meningkatkan konsentrasi industri), keanekaragaman industri (semakin beragam semakin mendukung aglomerasi industri), orientasi ekspor dan Impor (semakin tinggi orientasi semakin tinggi indeks spesialisasi industri), upah minimun provinsi (upah yang rendah mendukung terjadinya aglomerasi industri), pendidikan angkatan kerja (konsentrasi industri memerlukan dukungan tingkat pendidikan

(7)

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Rasio elektrifikasi 100% harus segera dipenuhi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan. (2) Pemerataan pembangunan infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri di daerah-daerah yang memiliki potensi hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah. (3) Berkaitan dengan perekonomian Indonesia yang masih bersifat padat karya maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diprioritaskan pada kegiatan ekonomi dan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja. (4) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Berkaitan dengan penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan memasukkan beberapa infrastruktur lain misalnya infrastruktur pelabuhan laut, bandara udara, dan saluran irigasi. Sedangkan untuk penelitian yang berhubungan dengan aglomerasi akan lebih mengena jika digunakan analisis pada level kabupaten/kota.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

(9)

AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA

RINDANG BANGUN PRASETYO

NRP. H 151 080 334

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(10)
(11)

Nama : Rindang Bangun Prasetyo NRP : H 151 080 334

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. H. R. Dedi Walujadi, SE, MA

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(12)
(13)

Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Pembangunan Infrastruktur

dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. H. R. Dedi Walujadi, SE, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.S selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Fara Shintha Julhija Karim istriku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Abdullah Farid Al Hanif (anak pertama penulis) atas kesabarannya karena harus ditinggalkan selama penulis menjalani perkuliahan.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Provinsi Sulawesi Tengah maupun BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Maret 2010

(14)

1980, di Magelang (Jawa Tengah). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Waluyo dan Ibu Wagiyanti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Arjosari 1 Tirtomoyo, Wonogiri pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Karanganyar, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1998.

Setelah tamat SMA, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah.

Pada tahun 2008, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus menyusun tesis pada akhir kegiatan perkuliahan sebagai syarat menyelesaikan jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun tesis ini.

(15)

DAFTAR ISI………. DAFTAR TABEL………. DAFTAR GAMBAR……… DAFTAR LAMPIRAN……… I. PENDAHULUAN ……….……...……… 1.1 Latar Belakang ……….…………..……….. 1.2 Perumusan Masalah ……….……….…….…….. 1.3 Tujuan Penelitian ……….….……….……… 1.4 Kegunaan Penelitian ……….………….………..

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian……….. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN…….………...

2.1 Tinjauan Teori-teori ……….……….………... 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi……….…………....……….. 2.1.2 Teori Pertumbuhan Neo Klasik……….….…… 2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen... 2.1.4 Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography)... 2.1.5 Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory)... 2.1.6 Disparitas Regional …………..…………..…………..……… 2.1.7 Infrastruktur ………..…………..…………. 2.1.8 Aglomerasi …………..…………..…………..…………..…….…….. 2.2 Tinjauan Empiris…..……….……….…... 2.2.1 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……… 2.2.2 Pengaruh Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………... 2.2.3 Pengaruh Infrastruktur Transportasi dan Aglomerasi terhadap

Pertumbuhan Ekonomi…... 2.2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri... 2.3 Kerangka Pemikiran……….. 2.4 Hipotesis Penelitian………..…. III. METODOLOGI PENELITIAN………...

3.1 Jenis dan Sumber Data………. 3.2 Metode Analisis……….………... xv xviii xix xxi 1 1 7 9 9 10 11 11 11 13 15 18 20 21 23 26 29 29 31 31 32 32 36 37 37 38

(16)

xvi

3.2.3 Regresi Data Panel ………... 3.3 Spesifikasi Model ...………..………

3.3.1 Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional………... 3.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri

Manufaktur……… 3.4 Software Analisis yang Digunakan ………. IV. DINAMIKA DISPARITAS REGIONAL, PEMBANGUNAN

INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI

MANUFAKTUR... 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian………....

4.1.1 Kondisi Geografi……….……... 4.1.2 Penduduk dan Kepadatannya...………...

4.1.3 Kondisi Perekonomian Indonesia………... 4.2 Dinamika Disparitas Regional... 4.3 Dinamika Pembangunan Infrastruktur……….………...

4.3.1 Infrastruktur Jalan……….……... 4.3.2 Infrastruktur Listrik...………... 4.3.3 Infrastruktur Air Bersih………... 4.3.4 Penghitungan Indeks Infrastruktur... 4.4 Aglomerasi Industri Manufaktur………..……… 4.5 Perbandingan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur

Indonesia... V. DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI

INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL... 5.1 Penghitungan Stok Kapital...……….... 5.2 Pemilihan Metode Regresi Data Panel……….………... 5.3 Hasil Estimasi Regresi Data Panel………..……… VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI AGLOMERASI

INDUSTRI MANUFAKTUR...………... 6.1 Pemilihan Metode Regresi Data Panel……….………... 6.2 Hasil Estimasi Regresi Data Panel………..………

40 47 47 51 54 55 55 55 57 60 67 70 70 73 77 80 85 91 99 99 101 103 117 117 118

(17)

xvii 7.2 Saran……….………... DAFTAR PUSTAKA ……….……….. LAMPIRAN... 126 129 135

(18)

xviii

Tabel 1 Distribusi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1965, 1992 dan 2007...

Tabel 2 Prosedur dan aktivitas utama dalam Sistem Informasi Geografi (SIG)..

Tabel 3 Rata-rata lama sekolah menurut tingkat pendidikan terakhir...

Tabel 4 Luas area dan persentasenya, jumlah pulau dan jumlah Daerah

Tingkat II di Indonesia menurut provinsi tahun 2007...

Tabel 5 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Indonesia menurut provinsi tahun 2007...

Tabel 6 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007...

Tabel 7 PDRB atas dasar harga berlaku di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007...

Tabel 8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB menurut Provinsi tahun 2007..

Tabel 9 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun 2007...

Tabel 10 Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007...

Tabel 11 Air bersih yang disalurkan di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007...

Tabel 12 Indeks infrastruktur menurut jenis infrastruktur dan provinsi tahun 2007...

Tabel 13 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007...

Tabel 14 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Indonesia menurut kawasan tahun 2007...

Tabel 15 Jumlah tenaga kerja dan nilai tambah Industri Besar Sedang (IBS) menurut kawasan di Indonesia tahun 2007...

Tabel 16 Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional...

Tabel 17 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur... 6 39 50 57 58 61 63 66 71 76 79 83 87 92 97 104 119

(19)

xix Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1990-2008……..…...

Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007...

Gambar 3 Hipotesa neoklasik...

Gambar 4 Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur………...

Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran…………..………..

Gambar 6 Peta wilayah Indonesia menurut daerah administratif 26 provinsi...

Gambar 7 Peta kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2007...

Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tahun 1991-2007...

Gambar 9 Peta PDRB per kapita menurut provinsi tahun 2007...

Gambar 10 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2007...

Gambar 11 Peta struktur ekonomi menurut provinsi tahun 2007...

Gambar 12 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2007...

Gambar 13 Peta tingkat disparitas dalam provinsi tahun 2007...

Gambar 14 Tingkat disparitas dalam provinsi tahun 1991 dan 2007...

Gambar 15 Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan tingkat

kewenangan di Indonesia tahun 2007...

Gambar 16 Panjang jalan, aksesibilitas, persentase baik sedang menurut provinsi tahun 2007...

Gambar 17 Rasio elektrifikasi di Indonesia tahun 1991-2007...

Gambar 18 Jumlah pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan tahun 2007...

Gambar 19 Peta energi listrik jual dan rasio elektrifikasi menurut provinsi tahun 2007...

Gambar 20 Jumlah pelanggan dan air bersih yang disalurkan menurut

kelompok pelanggan tahun 2007... 2 4 22 24 35 56 59 62 64 65 66 67 69 69 70 72 74 75 77 78

(20)

xx

Gambar 22 Indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 1991 dan 2007...

Gambar 23 Peta indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 2007...

Gambar 24 Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun 1960-2007...

Gambar 25 Jumlah perusahaan dan tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2007...

Gambar 26 Peta konsentrasi tenaga kerja IBS dan nilai tambah IBS tahun 2007...

Gambar 27 Persebaran tenaga kerja IBS menurut kabupaten/kota tahun 1991-2007...

Gambar 28 Peta wilayah Indonesia menurut kawasan (KBI dan KTI)...

Gambar 29 Struktur ekonomi KBI dan KTI menurut lapangan usaha tahun 2007...

Gambar 30 Tingkat ketimpangan antar provinsi di KBI dan KTI tahun 1991-2007...

Gambar 31 Panjang jalan menurut kondisi dan kawasan di Indonesia tahun 2007...

Gambar 32 Energi listrik terjual menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun 2007...

Gambar 33 Air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun 2007...

Gambar 34 Stok kapital di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun 1991-2007... 82 84 85 86 89 90 91 93 94 95 96 96 101

(21)

xxi Lampiran 1 Hasil penghitungan indeks infrastruktur dan peringkatnya di

Indonesia menurut provinsi tahun 1991 dan 2007...

Lampiran 2 Hasil penghitungan stok kapital di Indonesia menurut provinsi tahun 1991-2007 (dalam triliun rupiah)...

Lampiran 3 Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan

aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional...

Lampiran 4 Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hausman) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional...

Lampiran 5 Hasil estimasi untuk model I dampak pembangunan

infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional... Lampiran 6 Hasil estimasi untuk model pertumbuhan ekonomi dengan

faktor input tenaga kerja dan modal saja...

Lampiran 7 Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur...

Lampiran 8 Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hauman) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur...

Lampiran 9 Hasil estimasi untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur...

Lampiran 10 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1991...

Lampiran 11 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1995...

Lampiran 12 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1999...

Lampiran 13 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 2003...

Lampiran 14 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 2007... 135 136 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149

(22)

xxii

(23)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2006).

Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.

Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP aktual atau output nasional negara, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negara-negara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur antara lain dengan besaran yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk daerah.

Perjalanan bangsa Indonesia selama 64 tahun dalam mengisi kemerdekaan telah memberikan nilai tambah yang sangat signifikan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kapasitas dari sebuah perekonomian nasional Indonesia diukur dengan nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 mencapai 2.082,10 trilyun rupiah dan dengan pertumbuhan sebesar 6,06 persen pada tahun 2008. Demikian juga indeks ekonomi lainnya yang juga

(24)

sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan yaitu pendapatan nasional per kapita pada tahun yang sama telah mencapai 19,52 juta rupiah (BPS, 2009).

Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.

Sumber: PDB 1990-2008, BPS (diolah)

Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1990-2008

Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997 mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997).

Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen.

7,20 8,22

-13,13 4,92

6,32 6,06

(25)

Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu.

Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia mengalami pemulihan (recovery), pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai 6,32 persen. Pemulihan kondisi tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari, 2008).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,06 persen, hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global yang cukup berat, terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain.

Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/ disparitas antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai

(26)

sekitar 22,98 persen, Kalimantan menguasai 9,13 persen, Sulawesi menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.

Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun 2007. Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia.

Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007

Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.

1000 0 1000 2000 3000 Kilometers N Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 % KBI 83,55 % Legenda: Nilai PDRB

(27)

Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994).Hal ini berarti dengan kenaikan‚ 1 persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07 persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002) menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117 persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar 10 persen (Easterly dan Servén, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi (input) dalam menghasilkan output. Pemanfaatan input yang lebih optimal akan memberikan rate of return yang tinggi (Aschauer, 1989; Demurger, 2000). Karena hubungan yang signifikan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur antar daerah akan menimbulkan disparitas antar daerah yang semakin melebar.

Disisi lain, persebaran sumber daya yang tidak merata juga dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan penghematan aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi apalagi jika didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Sebagai akibatnya, daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.

(28)

Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi sehingga terkonsentrasi di seputar pusat-pusat kota yaitu industri manufaktur. Industri manufaktur cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi, yang menarik infestasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumah yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan (Malecki 1991 dalam Kuncoro 2002).

Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Industrialisasi di Indonesia telah mengakibatkan transformasi struktural. Pola pertumbuhan ekonomi secara sektoral di Indonesia sepertinya sejalan dengan kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara, dimana terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian (sektor primer), sementara kontribusi sektor sekunder dan tersier cenderung meningkat (Kuncoro, 2002).

Kecenderungan ini terlihat pada Tabel 1. Pada tahun 1965, sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap PDB yaitu 56 persen, sementara sektor industri hanya menyumbang 13 persen. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor pertanian, sektor industri dapat menggeser peranan sektor pertanian. Pada tahun 1992 sektor industri secara keseluruhan menyumbang 40 persen terhadap PDB dan 50 persen pada tahun 2007, dimana peranan industri manufaktur cukup menonjol karena menyumbang 21 persen pada tahun 1992 dan 27 persen pada tahun 2007. Pada akhirnya, sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat melampaui laju pertumbuhan sektor pertanian.

Tabel 1 Distribusi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1965, 1992 dan 2007

Sektor Kontribusi Dalam PDB (persen)

1965 1992 2007 Pertanian Industri - Industri manufaktur Jasa dll. 56 13 8 31 19 40 21 40 14 43 27 39 Sumber: BPS (diolah)

(29)

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dinyatakan bahwa daya saing industri manufaktur perlu terus ditingkatkan agar tetap dapat berperan sebagai sektor strategis di dalam perekonomian nasional. Sektor strategis yaitu sektor yang dapat mendorong sektor lainnya. Peningkatan daya saing industri dimaksudkan untuk menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur dari kurun waktu 2004-2009, berbagai upaya telah ditempuh baik dalam bentuk regulasi maupun dalam bentuk fasilitasi langsung pemerintah. Pertumbuhan industri manufaktur nasional memang masih belum seperti yang diharapkan, tetapi beberapa indikator menunjukkan bahwa ada potensi untuk tumbuh dengan lebih baik.

Peningkatan prasarana infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri manufaktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi maka diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi yang dipilih dan dianut bangsa Indonesia yaitu pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity) dapat tercapai.

1.2. Perumusan Masalah

Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah semakin melebarnya disparitas regional. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran.

(30)

Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing daerah sehingga memungkinkan bergeraknya faktor produksi dan hasil produksi. Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal.

Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat diupayakan dengan penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi. Seiring dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan daya saing industri manufaktur, maka perlu adanya penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi di bidang industri manufaktur. Aglomerasi industri manufaktur yang terjadi di suatu daerah diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan positif antara aglomerasi dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan telah banyak dibuktikan (Martin dan Octavianno, 2001). Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-daerah yang banyak industri manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri manufaktur. Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri manufaktur lebih banyak mempunyai akumulasi modal.

Perkembangan sektor industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang, hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai sektor pemimpin (leading sector) yang mendorong sektor lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur agar efisiensi dan penghematan ekonomi dapat dicapai. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian daerah tersebut. Melalui penelitian ini juga akan dikaji faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur.

(31)

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur, dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia?

2. Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia?

3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.

2. Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran kepada pembaca mengenai dinamika disparitas antar daerah, pembangunan infrastruktur, dan aglomerasi industri manufaktur di setiap provinsi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan pemerintah yang terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur, aglomerasi industri manufaktur dan disparitas antar daerah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan gambaran mengenai dinamika disparitas regional, infrastruktur dan aglomerasi

(32)

industri manufaktur di Indonesia dengan analisis deskriptif dan spasial. Kedua, menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia dengan mengunakan metode data panel. Ketiga, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.

Penelitian ini mencakup 17 tahun, dimulai dari tahun 1991 sampai dengan 2007. Analisis dan pengamatan dilakukan pada seluruh provinsi di Indonesia. Untuk menjaga konsistensi data maka dilakukan penggabungan data dari provinsi hasil pemekaran setelah tahun 1991 dan menghilangkan data Timor Timur, sehingga jumlah provinsi yang digunakan adalah 26 provinsi. Khusus untuk menggambarkan aglomerasi industri manufaktur digunakan data seluruh kabupaten/kota kondisi tahun 1991 yaitu sejumlah 285 kabupaten/kota.

Infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri atas tiga jenis, yaitu: infrastruktur jalan, listrik dan air. Pemilihan ketiga jenis infrastruktur ini mengacu pada kelompok infrastruktur ekonomi dan ketersediaan data. Untuk infrastruktur air digunakan data yang berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yaitu air bersih yang disalurkan kepada pelanggan. Penggunaan data PDAM ini dikarenakan data saluran irigasi yang sedianya akan dimasukkan dalam model tidak tersedia secara lengkap. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memasukkan variabel saluran irigasi.

Data yang berkaitan dengan industri manufaktur dibatasi hanya khusus untuk Industri Besar Sedang (IBS) tanpa mengikutkan industri kecil. Kategori industri besar sedang mengikuti kategori yang digunakan BPS. Suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang. Sedangkan perusahaan industri berskala besar jika mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.

(33)

2.1. Tinjauan Teori-Teori 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004).

Todaro dan Smith (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu:

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.

2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.

3. Kemajuan teknologi.

Selanjutnya Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri atas faktor produksi yang dipandang sebagai kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah:

1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. 2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi

yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu:

(34)

(b) Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki,

(c) Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal.

3. Organisasi, yang terdiri atas para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan ekonomi.

4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lainnya.

5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan produktivitas.

Sedangkan faktor non ekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara lain:

1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial.

2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya.

3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor terpenting dalam pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk tingkat regional/daerah dan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat nasional. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode

(35)

tertentu. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diperoleh melalui tingkat pertumbuhan nilai PDRB. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut :

% 100 ) 1 ( ) 1 (      t i t i it it PDRB PDRB PDRB LP ...(1) Dimana:

LP = laju pertumbuhan ekonomi i = sektor 1,2,…9

t = tahun t

2.1.2. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik

Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Harrod-Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output. Model pertumbuhan Solow inilah yang sangat memberikan kontribusi terhadap teori pertumbuhan neo-klasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006).

Kunci bagi model pertumbuhan neo-klasik adalah agregat fungsi produksi. Dalam perekonomian yang tidak ada pertumbuhan teknologi, pendapatan dapat ditentukan dari besarnya modal dan tenaga kerja. Berdasarkan variabel dalam fungsi produksi ini ada dua model pertumbuhan yaitu model pertumbuhan tanpa perkembangan teknologi dan model pertumbuhan dengan perkembangan teknologi.

(36)

A. Model Pertumbuhan Tanpa Perkembangan Teknologi

Dalam model ini, fungsi produksi secara umum dapat dituliskan sebagai:

Yt = f (Kt, Lt) ..…(2)

Bentuk spesifik dari hubungan ini dikenal sebagai fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai:

= …..(3)

dengan Y adalah pendapatan riil, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, t merupakan subscript untuk waktu, α dan β adalah elastisitas output terhadap modal dan tenaga kerja. Pendapatan akan meningkat bila setiap tenaga kerja mendapat modal peralatan yang lebih banyak dan proses ini disebut capital deepening. Tetapi tidak dapat terus-menerus meningkat tanpa adanya pertumbuhan teknologi karena modal (seperti juga tenaga kerja) akhirnya akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin berkurang (diminishing return).

B. Model Pertumbuhan dengan Perkembangan Teknologi

Model neo-klasik tanpa perkembangan teknologi dirasa kurang relalistis. Supaya lebih realistis maka ditambahkan faktor perkembangan teknologi yang dapat memengaruhi pertumbuhan pendapatan. Cara yang paling umum adalah memasukkan perkembangan teknologi sebagai elemen dalam fungsi produksi. Modal dan tenaga kerja diasumsikan dapat mengambil keuntungan dari adanya perkembangan teknologi. Fungsi produksi dengan perkembangan teknologi menurut Solow (1965) yaitu sebagai berikut:

Yt = f (At, Kt, Lt) ..…(4)

Dimana A adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi dapat dikatakan tidak melekat dalam model karena tidak tergantung dari masukan modal dan tenaga kerja. Jika diasumsikan perkembangan teknologi meningkat secara halus sepanjang waktu (tingkat pertumbuhan tetap), maka fungsi produksi Cobb-Douglas menjadi :

= ..…(5)

dengan g adalah pertumbuhan dari perkembangan teknologi per periode waktu t. Representasi ini merupakan penyederhanaan dengan mengabaikan kemungkinan terjadi perkembangan teknologi melalui investasi. Sebagai tambahan, tenaga kerja dapat juga menjadi lebih terampil sehingga dapat menaikkan efisiensi dan dalam

(37)

kasus ini (seperti juga modal) dianggap bersifat tidak homogen. Asumsi lain yang digunakan model ini adalah sistem perekonomian berdasarkan pasar berkompetisi sempurna dengan faktor harga yang fleksibel serta sumber daya pada kesempatan kerja penuh.

Untuk melinearkan persamaan (5) maka dilakukan transformasi dalam logaritma natural (ln) kemudian dideferensialkan terhadap waktu maka didapat pertumbuhan pendapatan dan dinyatakan sebagai:

= + + …..(6)

dengan :

y = pertumbuhan pendapatan (misalnya dalam periode satu tahun) k = pertumbuhan stok modal

l = pertumbuhan tenaga kerja.

Notasi y, k, dan l di sini menunjukkan tingkat pertumbuhan dari Y, K dan L. Konstanta α dan β menyatakan elastisitas pendapatan terhadap modal dan tenaga kerja.

Berdasarkan model pertumbuhan neo-klasik dengan perkembangan teknologi memberi landasan yang cukup untuk menunjukkan adanya faktor yang berperan dalam menjelaskan perbedaan pertumbuhan regional. Dengan mengubah persamaan 6 ke dalam model pertumbuhan regional maka akan terlihat bahwa perbedaan dapat terjadi karena:

 Perbedaan perkembangan teknologi antar wilayah.

 Pertumbuhan stok modal yang mungkin berlainan antar wilayah.  Pertumbuhan tenaga kerja dapat juga berlainan antar wilayah.

Dengan menghilangkan subskrip waktu (t) maka persamaan pertumbuhan untuk masing-masing wilayah dapat dinyatakan sebagai :

= + + …..(7)

dengan r menyatakan wilayah tertentu. Sehingga gr dapat dibaca sebagai tingkat perkembangan teknologi di wilayah r yang nilainya untuk tiap wilayah dapat berlainan, paling tidak untuk jangka pendek.

2.1.3. Teori Pertumbuhan Endogen

Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen

(38)

bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasi dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap bahwa teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Maka dari itu pengembangan teori pertumbuhan endogen berawal dari penolakan premis bahwa teknologi yang memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat eksogen.

Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu:

1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi.

2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian.

Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer (1986). Dalam mengembangkan teorinya Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik.

Dalam model Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi. Dengan demikian variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu :

(39)

1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan

peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.

3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset.

Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:

= 0 < < 1; 0 < < 1 …..(8) Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan.

Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas (1988) melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale.

Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing.

Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut:

= ( ) …..(9)

Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.

(40)

2.1.4. Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography)

Teori ekonomi geografi baru berupaya untuk menurunkan efek-efek aglomerasi dari interaksi antara besarnya pasar, biaya transportasi dan increasing return dari perusahaan. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi tidak diasumsikan tetapi diturunkan dari interaksi ekonomi skala pada tingkat perusahaan, biaya transportasi dan mobilitas faktor produksi. Teori ekonomi geografi baru menekankan pada adanya mekanisme kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi (Krugman, 2008). Dalam model tersebut kekuatan sentripetal berasal dari adanya variasi konsumsi atau beragamnya intermediate good pada sisi produksi. Kekuatan sentrifugal berasal dari tekanan yang dimiliki oleh konsentrasi geografis dari pasar input lokal yang menawarkan harga lebih tinggi dan menyebarnya permintaan. Jika biaya transportasi cukup rendah maka akan terjadi aglomerasi.

Krugman (2008) berasumsi bahwa jika ada barang berbeda sejumlah n dan komsumen menyenangi produk yang bervariasi, dapat dirumuskan dalam fungsi:

n

U = ∑ v(ci) …..(10)

i=1

Dari fungsi ini, Krugman menjelaskan bahwa perbedaan harga antar barang membuat konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi lebih dari satu jenis barang. Oleh karena itu, semakin banyak barang diproduksi di satu pabrik yang sama, biaya produksi yang harus dikeluarkan akan semakin rendah. Akibatnya, pabrik baru akan memasuki pasar dengan menambah variasi produknya. Dengan kata lain, biaya produksi dapat ditekan jika unit produksi mencapai jumlah tertentu. Meski demikian, biaya produksi juga dapat kembali meningkat jika jumlah barang produksi naik atau skala ekonomi tidak lagi tercapai.

Agar skala ekonomi meningkat, sebuah pabrik baru akan mencari negara lain yang mampu mendukung keberadaan unit produksi dalam jumlah yang besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi, transportasi, dan informasi, pabrik tersebut akan memindahkan proses produksinya dengan mudah. Inilah yang akan mendorong migrasi tenaga kerja.

(41)

Krugman (2008) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pekerja bermigrasi ke wilayah pusat pekerja terbesar yang akhirnya akan menciptakan variasi produk yang sangat beragam. Dengan kata lain, konsentrasi terjadi dalam hal barang dan jasa yang diproduksi maupun lokasi barang tersebut dibuat. Menurut Krugman perkotaan cenderung akan terspesialisasi dengan perindustrian. Berdasarkan skala ekonomi, industri-industri akan cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar. Konsentrasi produksi pada satu wilayah tertentu (dalam hal ini wilayah perkotaan), memungkinkan skala ekonomi dapat terealisasi karena kedekatan lokasi dengan pasar akan meminimalisasi biaya transportasi (home-market effect).

Dalam model eksternalitas teknologi, transfer pengetahuan antar perusahaan memberikan insentif bagi aglomerasi kegiatan ekonomi. Informasi diperlakukan sebagai barang publik dengan kata lain tidak ada persaingan dalam memperolehnya. Difusi informasi ini kemudian menghasilkan manfaat bagi masing-masing perusahaan. Dengan mengasumsikan bahwa masing-masing perusahaan menghasilkan informasi yang berbeda-beda, manfaat interaksi meningkat seiring dengan jumlah perusahaan. Karena interaksi ini informal, perluasan pertukaran informasi menurun dengan meningkatnya jarak. Hal ini memberikan insentif bagi pengusaha untuk berlokasi dekat dengan perusahaan lain sehingga menghasilkan aglomerasi.

Studi empiris tentang aglomerasi dan ekonomi aglomerasi telah banyak menarik perhatian peneliti. Pada umumnya berbagai studi mengkaitkan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi dalam pengertian pertumbuhan nilai tambah industri, pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan produkstivitas tenaga kerja. Adanya berbagai konsep tentang ekonomi aglomerasi dan teori yang mendasari berdampak terhadap perbedaan ukuran aglomerasi dan ekonomi aglomerasi yang digunakan dengan asumsi yang berbeda-beda.

Walaupun teori geografi ekonomi baru menawarkan wawasan yang menarik mengenai kesenjangan geografis distribusi kegiatan ekonomi, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan yang berarti. Suatu kajian kritis atas munculnya kembali dimensi geografi dalam ilmu ekonomi menyimpulkan bahwa teori ini bukanlah pendekatan yang sama sekali baru dalam ilmu ekonomi dan geografi,

(42)

melainkan merupakan penemuan kembali teori lokasi tradisional dari ilmu regional (Martin 1999 dalam Kuncoro 2002).

2.1.5. Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory)

Teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan yang ditawarkan teori ekonomi geografi baru dan teori neo-klasik. Teori perdagangan baru percaya bahwa sifat dasar dan karakter transaksi internasional telah sangat berubah dewasa ini di mana aliran barang, jasa, dan aset yang menembus batas wilayah antarnegara tidak begitu dipahami oleh teori-teori perdagangan tradisional. Perbedaan utama teori perdagangan baru dengan teori perdagangan yang “lama” yaitu mengenai asumsi persaingan tidak sempurna, constans returns to scale, pendapatan konstan, dan barang yang homogen berubah menjadi persaingan sempurna, increasing return to scale dan perbedaan produk. Teori perdagangan baru merupakan penyempurnaan teori yang “lama” dan dengan penambahan faktor-faktor lain yang lebih kompleks.

Para pendukung teori perdagangan baru berpendapat bahwa ukuran pasar ditentukan secara fundamental oleh besar kecilnya angkatan kerja pada suatu negara, dan tenaga kerja pada dasarnya tidak mudah berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda, dan ukuran pasar domestik (Brulhart, 1998). Dengan berkurangnya hambatan-hambatan perdagangan secara substansial, diperkirakan bahwa hasil industri yang meningkat akan terkonsentrasi dalam pasar yang besar (Krugman, 1980). Krugman dan Venables (1990) menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berlokasi di dalam pasar yang lebih besar ternyata lebih kuat apabila biaya perdagangan tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah.

Meskipun memiliki daya tarik, teori perdagangan baru juga memiliki beberapa kelemahan. Ottaviano dan Puga (1998) mengidentifikasi tiga kelemahan utama. Pertama, teori perdagangan baru sebagai mana teori tradisional, menjelaskan perbedaan struktur produksi melalui perbedaan karakteristik yang mendasari. Kedua, teori ini tidak menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan dalam sektor tertentu cenderung untuk berlokasi saling berdekatan, yang mendorong terjadinya spesialisasi regional. Ketiga, teori ini menunjukkan

Gambar

Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran Aglomerasi Industri:
Tabel 3 Rata-rata lama sekolah menurut tingkat pendidikan terakhir  Tidak
Gambar 6 Peta wilayah Indonesia menurut daerah administratif 26 provinsi  Potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan  luas  wilayah  yang  mencapai  1.910.931,32  km 2   dan  terbagi  dalam  17.504   pulau-pulau
Tabel 4 Luas area dan persentasenya, jumlah pulau dan jumlah Daerah Tingkat II  di Indonesia menurut provinsi tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil ini mencerminkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan akan semakin besar nilai pinjaman yang diberikan kepada pihak berelasi karena memiliki nilai aset yang lebih

diumpamakan rumah, maka logika adalah fondasi rumah tersebut. Logika berhubungan dengan penalaran deduktif yang hanya secara umum mengambil kesimpulan dari premis – premisnya.

Los niños, al final, tienen que ver la posibilidad de aprender lo básico, coger el ritmo, para que luego, por interés propio, pidan la Dantzari Dantza o la Brokel Dantza..

A  La Turquie című újság is így interpre- tálta a javaslatot: „a memoárral – jegyzi meg a török kormánylap – azt kérik a szultántól, hogy az oszmánok szultánjának

Javaslom, hogy a kis- és középvállalkozások is reagáljanak az Ipar 4.0 által hozott új technológiai lehetőségekre, hiszen, ha nem teszik, akkor csúnyán lemaradnak.. A

Tujuan percobaan uji hedonik adalah untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap sifat organoleptik dalam suatu produk pangan, dengan prinsip percobaan uji hedonik