• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, munculnya isu-isu kekerasan yang mengatasnamakan agama di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, munculnya isu-isu kekerasan yang mengatasnamakan agama di"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Balakang Masalah

Dewasa ini, munculnya isu-isu kekerasan yang mengatasnamakan agama di beberapa daerah di Indonesia merupakan tantangan serius baik bagi pemerintah maupun bagi kelompok religius untuk merespon dan mengatasinya secara cepat dan tepat. Bukan hanya konflik pembakaran dan pengusiran pengikut Syiah di Sampang Madura, atau penyerangan pemukiman pengikut Ahmadiyah di Bekasi dan Tasikmalaya, tetapi di beberapa tahun terakhir juga terdapat aksi kekerasan dan pemboikotan atas pengajian Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA)1 di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Purworejo, Blora dan Kudus.

Harus diakui bahwa Islam di Indonesia memiliki corak ideologi yang beragam. Dengan adanya keberagaman ideologi ini, dapat dipahami sesungguhnya hal tersebut merupakan tanda bahwa kekerasan sangat mudah untuk diorganisir oleh kelompok tertentu (khususnya kelompok dari organisisasi

1 Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) merupakan sebuah gerakan dakwah Islam yang berdiri dan

berkantor pusat di Surakarta, Jawa Tengah. MTA dikenal sebagai salah satu gerakan Islam puritan yang berkembang di Indonesia. Karena salah satu misinya adalah melakukan pemurnian agama Islam dengan mengajak masyarakat untuk kembali kepada Al-Qur‟an dan Hadist. Ditengah pendiriannya yang relatif cukup lama, yakni awal berdirinya pada 19 September 1972, gerakan ini mengalami perkembangan yang sangat drastis pada beberapa tahun terakhir. Perkembangan tersebut terlihat bagaimana kemegahan kantor pusatnya, semakin meluasnya pengikut MTA di berbagai daerah, kemajuan lembaga pendidikan formal-informalnya, sampai dengan kemandirian ekonomi internalnya. Oleh karenanya, gerakan MTA ini menjadi „magnet‟ baru bagi masyarakat sebagai gerakan Islam tandingan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah (diambil dari berbagai sumber).

(2)

2 yang lebih besar dan mapan) serta kekerasan tersebut juga semakin menyebarluas dikarenakan mereka mengatasnamakan gerakan-gerakan Islam puritan2.

Kekerasan yang terjadi pada gerakan-gerakan Islam diatas justru merupakan tantangan tersendiri bagi kelompoknya untuk mempertahankan dan mampu menyebarluaskan ideologinya ke masyarakat lebih jauh. Hal ini setidaknya terbukti di dalam gerakan MTA, sampai dengan September 2013 sebagaimana dilansir oleh AntaraNews bahwa mereka telah memiliki 430 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.3 Penyebaran yang sangat luas tersebut tentunya berbeda dengan Ahmadiyah dan Syiah yang penyebarannya cenderung terbatas, walaupun kedua gerakan ini masih bertahan sampai sekarang.

Melihat fenomena gerakan MTA ini, pada dasarnya MTA merupakan salah satu gerakan Islam puritan yang sejak awal berdirinya telah mendedikasikan diri sebagai gerakan dakwah guna mengembalikan ajaran Islam ke dalam Al-Qur‟an dan Hadist sebagai jargon ideologinya. Dengan jargon tersebut, MTA berusaha mengikis pengamalan-pengamalan agama di masyarakat yang mereka anggap telah melenceng dari sumber agama Islam. Semangat dan kegigihannya dalam memperjuangkan ideologi puritannya, menjadikan gerakan MTA berkembang pesat di berbagai daerah, khususnya di daerah Yogyakarta dan daerah-daerah Jawa Tengah. Melihat perkembangan jamaah MTA dari hari ke hari semakin

2 Gerakan Islam puritan yang dimaksud peneliti disini adalah mengacu pada pemahaman

Khaled Abou El Fadl. Ia menuturkan bahwa kelompok puritan adalah kelompok yang membesar-besarkan peran teks dan memperkecil peran aktif manusia yang menafsirkan teks keagamaan itu sendiri. Kelompok puritan menganggap bahwa teks Al-Qur‟an dan Hadist telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga manusia hanya bisa memahami dan mengimplementasikannya, dalam artian seakan-akan teks tersebut telah jelas dan gamblang (El Fadl, 2005: 118).

3 Lihat www.antaranews.com/berita/395755/mta-memiliki-430-cabang-se-indonesia. Sebagai

gerakan purifikasi agama, hal tersebut merupakan angka yang sangat fenomenal. Karena itu menunjukkan bagaimana MTA dalam menggerakkan dakwahnya mampu diterima oleh masyarakat Indonesia yang notabene masih memegang teguh budaya tradisionalnya sebagai implementasi pemahaman keagamaannya.

(3)

3 bertambah, menjadikan gerakan ini semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam karena perkembangan pengikut MTA merupakan pengikut dari berbagai latar belakang sosial.

Perkembangan ini justru sangat terlihat utamanya di daerah pedesaan. Namun anehnya, di kawasan pedesaan ini pula gerakan MTA banyak ditentang oleh masyarakat, khususnya pada ulama-ulama pedesaan, bahkan terkadang diwarnai dengan konflik fisik yang berupa penganiayaan dan pengusiran pengajian MTA dari daerah tersebut. Tetapi gerakan ini masih tetap eksis dan bertahan untuk menyebarkan dakwahnya walaupun di tengah-tengah ketegangan sosial dan konflik antara pengikutnya dan umat Islam pada khususnya.

Semakin meluasnya gerakan MTA di pedesaan ini memperlihatkan adanya perubahan sosial di masyarakat dari masyarakat abangan yang memiliki pandangan sinkretisme yang tinggi menjadi masyarakat santri yang cenderung puritan. Menurut Geertz, hal ini menyebabkan sinkretisme dan integrasi sosial di masyarakat semakin lama semakin terkikis. Perubahan sosial ini, lanjut Geertz, dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti pertumbuhan penduduk, urbanisasi, deferensiasi pekerjaan, nasionalisme, marxisme dan pembaruan agama. Perubahan ini mempengaruhi lemahnya ikatan-ikatan tradisional struktur masyarakat petani di pedesaan. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh munculnya pembaruan agama yang mengatasnamakan pemurnian agama merupakan kekuatan terbesar yang memiliki dampak memudarnya ikatan-ikatan tradisional sebagai pemersatu warga. (Geertz, 1969:148).

Hal ini terlihat bagaimana awal munculnya gerakan Muhammadiyah telah memecah belah masyarakat pedesaan menjadi dua bagian, yakni puritan dan

(4)

4 sinkretis. Dalam konteks gerakan MTA, terlihat jelas bagaimana gerakan ini juga mencoba melokalisasi ajaran pada pengikutnya di dalam struktur masyarakat. Dengan kekuatan framing dalam dakwahnya, gerakan MTA semakin terlihat secara jelas dan semakin hari semakin diterima oleh masyarakat pedesaan.

Perkembangan MTA yang semakin bertambah baik pengikut maupun cabang perwakilannya dari waktu ke waktu diperkirakan telah mencapai lebih dari 70.000 (tujuh puluh ribu) pengikut yang tersebar di 128 perwakilan (pengurus tingkat kabupaten) dan 430 cabang (pengurus di wilayah kecamatan) mulai dari Aceh hingga Lombok Tengah, dan masih banyak kelompok binaan yang sedang diproses menjadi cabang-cabang baru (www.mta.or.id). Hal ini terlihat jelas bagaimana pengikut MTA sangat antusias ketika mereka mengikuti kegiatan pengajian Ahad Pagi pada setiap minggunya yang mereka sebut dengan Jihad Pagi. Pengajian ini setidaknya dihadiri kurang lebih 7000 pengunjung dari berbagai daerah di Jawa.

Memahami konteks ini, tentunya gerakan ini merupakan capaian yang fenomenal dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam puritan lain di Indonesia. Kajian tentang kebangkitan kembali gerakan Islam di ruang publik ini telah menunjukkan ada keterkaitan yang luar biasa antara Islam dengan modernisasi dan tatanan budaya lokal setempat yang mengindikasikan semakin jauh dari tuntunan Islam. Setidaknya hal tersebut diperkuat dengan argumen Arjomand yang menyebutkan bahwa proses perubahan sosial yang memperkuat munculnya gerakan pembaharuan dan kebangkitan agama dapat diklasifikasikan menjadi lima sebab, yakni 1). Penyatuan ke dalam sistem internasional; 2). Pengembangan transportasi, komunikasi dan media massa; 3). Urbanisasi; 4).

(5)

5 Perluasan buku dan pendidikan; dan 5). Penyatuan massa ke dalam masyarakat politik. (Ahmad Syafi‟i Mufid, 2006:18).

Dalam konteks penyatuan massa ke dalam masyarakat politik sebagaimana argumen Arjomand diatas, dapat terlihat bagaimana MTA memiliki jaringan politik yang kuat terhadap negara. Bahkan jika ditarik lebih dalam lagi, ada kepentingan pribadi para elit yang dihadapkan dengan kepentingan kolektif. Hal ini setidaknya pada setiap kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan MTA, terdapat para elit yang mendukung penuh di dalamnya. Sehingga MTA dijadikan sebagai mesin penggerak dalam situasi penguatan agama di masyarakat secara luas. Dengan jargon “kembali kepada Al-Qur‟an dan Hadits”4 sebagai dasar ideologi gerakannya ini yang sebagian kalangan menilai bahwa rasa kebangsaan di ruang publik semakin terusik, setidaknya ada dua ormas keagamaan yang mapan–Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah–yang seakan-akan selama ini ideologi yang mereka ajarkan di masyarakat telah melenceng jauh dari koridor Islam.

Pada titik ini, maka yang terjadi saat ini adalah pergulatan serta perebutan ruang yang luar biasa antara gerakan Islam di dalam ruang publik, yang pada akhirnya antara mereka cenderung menerapkan ideologi defensif, daripada ideologi solutif. Purifikasi agama yang ‟terbungkus‟ dalam gerakan agama di

4

Jargon “kembali kepada Al-Qur‟an dan Hadist” yang dikonsepkan oleh MTA ini tampaknya memiliki perbedaan dengan gerakan Islam puritan lainnya. Menurut Sukina (pimpinan pusat MTA) mengatakan: “Seluruh persoalan manusia telah termaktub di dalam Al-Qur‟an dan diperjelas dengan adanya Hadist. Manusia akan terus mengalami kebodohan jika mereka hanya mempelajari Al-Qur‟an tanpa mengamalkannya. Ini yang membedakan MTA dengan gerakan Islam lain. MTA hanya menjalankan apa yang ada di dalam isi Al-Qur‟an. Jika tidak ada di dalamnya, maka warga MTA tidak mau mengada-adakan”. Penafsiran secara tekstual ini terus dilakukan oleh MTA karena mereka menganggap bahwa Al-Qur‟an terjemahan dari Kementerian Agama dapat menjadi pijakan masyarakat umum dalam memahami Islam secara sempurna. (Sukina, wawancara personal, 8 Mei 2014 di kantor pusat Surakarta).

(6)

6 masyarakat ini harus dicermati secara mendalam karena di satu sisi pada daerah tertentu bisa menimbulkan konflik antara gerakan Islam lain, sedangkan di daerah lain justru tidak terjadi. Setidaknya hal tersebut terlihat di kabupaten Purworejo Jawa Tengah sebagaimana gerakan MTA ditolak dan dicekal oleh kalangan Nahdliyin (pengikut Nahdlatul Ulama) sedangkan di kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta justru penyebaran dakwah MTA semakin hari semakin meluas dan diterima masyarakat.

Hal ini berbanding berbalik dengan gerakan Islam puritan yang masih berkembang di Indonesia seperti gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena secara historis maupun basic culture di dalam masyarakat Indonesia, gerakan Islam puritan cenderung sulit untuk tumbuh dan berkembang. Karena masyarakat Indonesia tidak mengenal gerakan keagamaan yang bersifat ideologis dan eksklusif yang berbeda dengan gerakan agama di wilayah Timur Tengah. Masyarakat Indonesia justru memiliki karakter yang terbuka, toleransi yang tinggi, tidak menyukai konflik dan lebih cenderung akulturatif termasuk di dalam beragama (Al-Zastrouw, 2006:3). Maka dari itu, kajian tentang gerakan MTA yang semakin meluas di Indonesia ini menjadi menarik perhatian banyak kalangan, khususnya kalangan akademik.

Dalam konsep kehidupan beragama di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini, misalnya, pemahaman tentang implementasi agama di ruang publik telah mengalami perubahan. Perubahan ini disebabkan beberapa faktor, baik faktor internal salah satunya dikarenakan kelompok agamawan atau para elit organisasi-organisasi keagamaan yang besar dan mapan semakin hari semakin meninggalkan umatnya, maupun faktor eksternal yakni kegelisahan umat Islam

(7)

7 akan derasnya modernisasi yang menggerusnya. Dalam artian, ketika agama yang diajarkan pada masyarakat masih sebatas teoritis dan belum efektif dalam mengatasi berbagai persoalan pada realitas kehidupan, para elit agamawan lebih banyak mengeksplorasi teori-teori daripada melakukan evaluasi bagaimana nilai-nilai agama dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan MTA mengambil peran melalui beberapa dakwahnya di masyarakat dengan memiliki beberapa tujuan yang berorietasi pada mobilitas eksistensi kembali ke al-Quran dan Hadist itu sendiri. Dengan tujuan ini pula, gerakan ini mempunyai fungsi penting dalam menyebarluaskan atau mentransfer nilai, norma, tradisi, ideologi yang tumbuh dalam suatu setting tujuan tertentu. Fungsi ini dapat ditarik melebar sebagai bagian dari Islam puritan atau bahkan sebagai gerakan baru yang bisa menjawab segala persoalan masyarakat. Artinya, sebagai gerakan puritan Islam, gerakan MTA berpotensi menjadi mesin pembentuk dan penggerak identitas agama di masyarakat.

Memperhatikan perkembangan gerakan MTA yang semakin meluas sampai pelosok-pelosok pedesaan ini–dimana daerah ini menjadi basis Islam tradisional yang kuat–menjadi menarik untuk diangkat menjadi topik di dalam penelitian ini. Nilai urgensinya menjadi semakin tinggi ketika gerakan ini dikaji tidak hanya dalam keberhasilan penyebaran ideologinya di beberapa daerah di Indonesia, tetapi juga dikaji bagaimana gerakan MTA ini sulit dan tidak mampu masuk di daerah tertentu dalam penyebaran dakwahnya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan gambaran tentang peta gerakan MTA di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

(8)

8

B. Rumusan Masalah

Secara singkat, penelitian ini bermaksud mengkaji tentang gerakan Islam puritan pada gerakan Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di wilayah Gunungkidul Yogyakarta dan Purworejo Jawa Tengah dengan mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gerakan MTA tumbuh berkembang dan merevitalisasi identitas baru di dalam kehidupan beragama di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah? 2. Mengapa gerakan MTA mengalami perkembangan secara signifikan di daerah

tertentu dan di daerah lain sulit mengalami perkembangan?

C. Tujuan Penelitian

Secara spesifik, penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya:

1. Melakukan eksplorasi terhadap gerakan Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) dalam kaitannya dengan purifikasi agama di dalam ekspresi keberagamaan di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

2. Memahami gerakan MTA dalam konteks perkembangan dan kegagalan penyebaran dakwahnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah terhadap MTA sebagai gerakan Islam puritan.

3. Secara lebih luas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika gerakan MTA dalam proses perdamaian dan menangkal radikalisme agama khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah dan umumnya di berbagai daerah Indonesia.

(9)

9

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik bagi khazanah ilmu pengetahuan maupun upaya membangun dan memperkuat kemajemukan bangsa Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap berbagai persoalan yang selama ini terjadi di masyarakat, khususnya persoalan isu Islam puritan yang ada di dalam gerakan MTA, yang akhir-akhir ini hangat diperbincangkan di berbagai pengajian, seminar dan diskusi-diskusi keagamaan.

Selain manfaat yang telah dijelaskan diatas, penelitian ini juga memiliki manfaat dari sektor lainnya, antara lain:

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kajian tentang fenomena gerakan keagamaan di Indonesia dalam kaitannya dengan penguatan agama di masyarakat modern. Beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bagaimana gerakan agama dengan mengusung jargon “kembali kepada Al-Qur‟an dan Hadist” cenderung menguat, bahkan menguatnya gerakan tersebut mengarah pada isu fundamentalisme dan saling serang menyerang diantara gerakan Islam di masyarakat. Maka dari itu, secara akademis, penelitian ini memberikan pemahaman yang cukup dalam memelihara kebhinekaan bangsa. Karena perbedaan pemahaman agama di masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum isu-isu menguatnya agama ini muncul.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini juga akan memberikan solusi atas permasalahan keagamaan di masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah serta di

(10)

10 Indonesia pada umumnya. Sekaligus menjadi peringatan bagi para pemangku kepentingan, baik di dalam gerakan keagamaan yang mapan maupun pemerintah sebagai pemangku kebijakan, untuk secepatnya melakukan revitalisasi dan pembenahan sistem kelembagaan secara menyeluruh. Karena adanya perubahan sosial yang diikuti dengan gerakan sosial sering dikarenakan adanya kesenjangan, ketidak adilan, dan ketidaksamaan sosial di masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka dan Keaslian Penelitian

Pembahasan tentang gerakan Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) di ruang publik dan mengaitkannya dengan penguatan agama dalam konteks perubahan sosial dan agama di Yogyakarta dan Jawa Tengah, sejauh penelusuran kepustakaan peneliti belum pernah ditemukan, terlebih lagi yang mengkhususkan pada berbagai latar belakang wilayah yang berbeda dari segi sosial, politik dan budayanya.

Penelitian paling baru yang relevan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian Zaki Faddad Syarir Zain (2012) mengenai gerakan Purifikasi Kajian atas MTA (Majlis Tafsir Al-Qur‟an) dan komodifikasi agama. Di dalam tesisnya dia berargumen bahwa MTA menempatkan pengikutnya sebagai subyek gerakan dengan cara mengubah agama untuk dijadikan sebagai komoditas ekonomi dan politik. Tesis ini berargumen bahwa dalam suatu gerakan keagamaan antara idealisme dan pragmatisme menjadi tak terpisahkan. Dalam kasus MTA idealisme purifikasinya saling bersambut dengan pragmatisme gerakan dengan menempatkan pengikutnya sebagai subyek demi perkembangan gerakan itu

(11)

11 sendiri. Di sisi lain dalam suatu gerakan terjadi proses tarik menarik kepentingan antara MTA dengan pengikutnya khususnya di desa dengan mengambil contoh apa yang terjadi di Watu Gedhe. Berbeda dengan penelitian diatas, penelitian ini difokuskan pada konteks gerakan di dalam MTA dan mengkaitkan keberhasilan dan kegagalannya dalam membentuk framing, memiliki kesempatan politik dan kemampuannya dalam memobilisasi masyarakat khususnya di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Dalam konteks gerakan MTA di Surakarta, sebagaimana yang dilakukan oleh Mutohharun Jinan (2013) dalam disertasinya yang berjudul “Kepemimpinan

Imamah dan Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan (Studi tentang Perluasan Majlis Tafsir Al-Qur’an Surakarta”. Jinan mengungkapkan bahwa Gerakan

MTA bersifat purifikasi yang berbasis pada ajaran jemaah dan imamah. Dengan memberlakukan ajaran imamah, menjadikan seluruh pengikut MTA dari kalangan petani, buruh, pedagang dan pegawai sangat taat kepada pemimpin tunggalnya. Lebih lanjut, Jinan juga menjelaskan di dalam risetnya tersebut bahwa gerakan dakwah MTA terlahir karena dipicu situasi sosial-politik yang diliputi persaingan ideologi komunis, nasionlis dan Islam yang banyak menguras energi tokoh-tokoh Islam, sehingga dakwah Islam yang bersentuhan langsung dengan umat cenderung terabaikan. Para tokoh MTA berupaya merekrut kepengikutan orang-orang Islam dalam keanggotaan MTA melalui proses pengenalan, pembinaan, pemantapan dan pengendalian. Anggota dibina melalui pengajian rutin dan di forum-forum pengajian itu pula, dilakukan produksi tafsir dan klaim-klaim kebenaran yang bersifat tunggal. Tetapi di dalam penelitian diatas, tidak secara fokus mengeksplorasi bagaimana gerakan MTA bisa tumbuh

(12)

12 dan berkembang secara luas di daerah tertentu dan tidak memiliki perkembangan dakwahnya secara signifikan di daerah lain.

Sementara dalam strategi dakwahnya, sebagaimana hasil penelitian Nur Ariyanto (2010) menjelaskan bahwa telah ditemukan ditemukan tiga strategi utama yang digunakan MTA melalui salah satu media dakwahnya melalui Radio MTA 107,9 FM Surakarta, yakni Strategi Adaptif, Strategi Diferensiasi, Strategi Diversifikasi. Terlepas dari hasil yang telah dicapai, ketiga strategi tersebut telah diimplementasikan dalam keseluruhan dakwah MTA melalui radio dakwahnya tersebut.

Sedangkan dalam konteks pemahaman tausyiah di dalam MTA, Mir‟atun Nisa‟ (2011) menuturkan bahwa metodologi pemahaman al-Qur‟an dalam rubrik tausyiah dilihat dari aspek teknis penulisan yang menggunakan sistematika penyajian tematik, bentuk penyajian global, gaya bahasa populer dan bentuk penulisan non-ilmiah. Sedangkan sifat peneliti secara individu menggunakan literatur non-akademik dengan tanpa keterangan sumber rujukan. Penelusuran terhadap aspek pemaknaan menunjukkan bahwa metode yang dipakai adalah riwayat, nuansa pemahamannya teologis, psikologis dan sosial kemasyarakatan. Pendekatannya adalah tekstual. Secara struktural, teks-teks tersebut terdiri atas paparan pembuka, isi dan penutup. Konstruksi wacana yang terbangun adalah seputar akhlak, dakwah dan akidah yang ditampilkan dengan model pemahaman literalis skripturalis yang memiliki kelemahan di antaranya ketidakmampuan model ini dalam menjawab problem yang diketengahkan. Di dalam penelitian Nur Ariyanto dan Mir‟atun Nisa‟ diatas, secara subtansi akan berbeda dengan penelitian ini. Karena di dalam penelitian tersebut terfokus pada titik dakwahnya

(13)

13 dengan menggunakan Radio MTA 107,9 FM Surakara dan metodologi pemahaman Al-Qur‟an dalam rubrik tausyiah di dalam MTA. Kedua penelitian belum menjelaskan faktor perkembangan gerakan MTA, seperti faktor sosial keagamaan di daerah setempat, struktur kesempatan politik yang digunakan atau faktor-faktor lain yang bisa digunakan dalam menyebarkan dakwahnya.

Berdasarkan paparan hasil penelusuran pustaka diatas, peneliti berkeyakinan bahwa penelitian yang mengaitkan dua variabel, yakni pertama, melihat secara komprehensif bagaimana menguatnya agama di ruang publik yang terjadi di Yogyakarta terhadap gerakan MTA dan hambatan yang luar biasa oleh gerakan ini di wilayah Jawa Tengah, terkhusus di kabupaten Purworejo. Kedua, memahami bagaimana respon dari gerakan Islam lain yang lebih dulu mapan (Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) terhadap eksistensi MTA, sejauh ini belum pernah dilakukan sebelumnya.

F. Kerangka Teoritis

Gerakan sosial lazim dikonsepsikan sebagai aktifitas kolektif yang dilakukan oleh sekelompok (orang) tertentu untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut. Tetapi secara pendefinisian, para sarjana berbeda pendapat mengenai gerakan sosial. John McCharty dan Mayer Zald mengemukakan bahwa gerakan sosial merupakan upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara sosial. Sedangkan Charles Tilly, seorang sarjana yang buku-bukunya sering menjadi rujukan dari berbagai sarjana tentang gerakan-gerakan sosial, di dalam definisinya gerakan sosial adalah upaya-upaya mengadakan perubahan lewat

(14)

14 interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan di antara warga negara dan negara (Wiktorowicz, 2012: 11).

Sedangkan Sidney Tarrow di dalam bukunya Social Movement Society (1998) mengajukan sebuah definisi yang lebih rinci tentang gerakan sosial, yakni tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan atau musuh, dan pemegang otoritas (Tarrow, 1998: 4).

Lebih lanjut di dalam bukunya Power in Movement, Sidney Tarrow menegaskan bahwa gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, penguasa dan lawan (Tarrow, 1994: 4). Tarrow juga melihat bahwa gerakan sosial pada dasarnya merupakan bentuk paling modern dari politik perseteruan (contentious politics), yang terjadi ketika orang biasa seringkali dalam kerjasama dengan warga negara yang berpengaruh, bersama-sama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif dalam melawan kelompok elit, pemegang otoritas dan musuh-musuh politik.

Menurut Ihsan Ali Fauzi dalam essainya di dalam buku Gerakan Sosial

Islam, Teori Pendekatan dan Studi Kasus menambahkan bahwa penggunaan kata

“contentious” disini bisa memiliki makna yang melebar dengan tidak hanya bermakna perlawanan. Setidaknya ada dua implikasi penting yang perlu digaris bawahi. Pertama, kata tersebut digunakan untuk membuka peluang bagi siapa saja untuk terlibat di dalam gerakan-gerakan sosial. Dengan kata tersebut Tarrow ingin menunjukkan bahwa bahkan orang yang sangat biasa sekalipun dapat

(15)

15 terlibat dalam gerakan sosial. Karena sumber daya yang diperlukan untuk keterlibatan itu bisa sangat minimal, yakni misalnya adanya mulut untuk meneriakkan perlawanan di dalam sebuah protes. Kedua, kata “contentious” juga memiliki makna bebas nilai. Kata tersebut mengimplikasikan bahwa gerakan-gerakan sosial yang dianalisis dalam literatur ini adalah gerakan-gerakan yang ingin memperjuangkan apapun yang dikehandaki oleh gerakan tersebut (Wiktorowicz, 2012: 12-13).

Setelah memahami definisi gerakan sosial diatas, peneliti akan mengkaji gerakan Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) dalam perspektif teori gerakan sosial, yakni dengan mengacu pada tiga variabel utama dalam memahami dinamika gerakan dan melihat sukses dan gagalnya sebuah gerakan sosial. Ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1) Proses Pembingkaian (Framing Processes)

Aspek proses framing ini digunakan oleh para sarjana dalam memahami sukses dan gagalnya suatu gerakan sosial. Dalam artian, keberhasilan gerakan sosial terletak sampai sejauhmana mereka memenangkan pertempuran atas arti. Oleh karena itu, para pelaku perubahan memiliki peran peran penting dalam mencapai apa yang diharapkan melalui pembentukan framing atas masalah-masalah sosial dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Hal ini sering digunakan dalam setiap gerakan sosial untuk meyakinkan kelompok-kelompok sasaran atau masyarakat awam yang sangat beragam sehingga masyarakat terdorong untuk mengikuti gerakan tersebut.

Proses framing mampu menunjukkan ada dan tidaknya perasaan pada kelompok sasaran yang dikondisikan oleh dinamika sosial-psikologis yang

(16)

16 memungkinkan tumbuh suburnya perasaan tersebut. Upaya framing ini biasanya terkait dengan keharusan bagi gerakan sosial untuk mendiagnosis suatu kondisi sosial yang bermasalah untuk dipecahkan dan untuk menawarkan jalan keluar dari masalah tersebut serta untuk menawarkan alasan pembenaran untuk memotivasi dukungan bagi aksi-aksi kolektif. Hal ini penting sebagaimana argumentasi Tarrow bahwa framing tersebut untuk menjustifikasi, memuliakan dan mendorong aksi kolektif (Tarrow, 1998: 21). Sedangkan untuk mencapai sebuah kelompok sasaran, biasanya aktor gerakan sosial membutuhkan alat media dalam menjalankan framing.

Peran media disini sangat penting. Di beberapa kasus, proses framing sering terjadi dalam interaksi langsung ataupun melalui beragam media, baik media cetak (seperti buku, brosur, jurnal, pamflet dan seterusnya) maupun media elektronik (seperti radio, televisi, internet dan media sosial). Dalam konteks di Indonesia, aktivis gerakan sosial mempergunakan warung kopi, pengajian, acara bakti sosial sampai dengan penggunaan media sosial sebagai alat untuk mensosialisasikan ideologinya sehingga kelompok masyarakat berkeinginan terlibat dan masuk dalam gerakan tersebut.

Snow & Benford (dalam Zainuddin) melihat setidaknya ada tiga langkah dalam proses framing yang harus dilakukan oleh sebuah kelompok gerakan sosial. Yakni 1). Diagnostic Framing, adalah langkah suatu kelompok gerakan sosial untuk menanamkan persepsi pada masyarakat mengenai pihak-pihak yang disalahkan dan harus bertanggungjawab atas kondisi tersebut. Gerakan sosial dapat mengidentifikasi tokoh dan akan dengan mudah dapat mengarahkan masyarakat pada musuh bersama yang harus dilawan atau kawan yang harus

(17)

17 didukung; 2). Prognostic Framing, adalah langkah kelompok gerakan sosial untuk mengajukan solusi dari masalah yang dihadapi. Selain solusi, gerakan sosial juga dapat mengajukan sebuah rencana serangan terhadap pihak lawan sebagaimana yang telah didefinisikan sebelumnya. Sebagai gerakan sosial ideologis, secara empiris gerakan tersebut sering mengadakan perlawanan terhadap penguasa dan hal tersebut menjadi agenda utamanya; dan 3).

Motivational Framing, adalah langkah untuk menciptakan motivasi sehingga

gerakan sosial dapat mengerahkan massa untuk mendukung ide mereka. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menciptakan motivasi tersebut, diantaranya dengan cara memberikan rasionalisasi terhadap suatu masalah yang akan diperjuangkan secara bersama, penggunaan kata-kata tertentu, pemakaian simbol gerakan dan kode-kode tertentu dalam sebuah gerakan sosial (Zainuddin, 2011: 15). Ketika ketiga langkah yang diajukan oleh Snow & Benford tercapai dan dapat berajalan maksimal oleh gerakan sosial, maka bisa dipastikan gerakan tersebut dapat berkembang dengan cepat dan keberhasilan dari tujuannya akan mudah didapatkan.

Dengan adanya framing ini secara umum bertujuan agar kelompok sasaran merasa bahwa mereka selama ini telah melakukan kesalahan dalam menjalankan kehidupannya. Dengan framing ini pula kelompok sasaran merasa optimis dan melakukan hal yang benar jika masuk dalam aksi kolektif tersebut. Dalam penelitian ini, penting juga dikaji bagaimana proses framing yang dilakukan gerakan MTA di masyarakat mampu dihayati dan diterima sebagai suatu perubahan dan perbaikan dalam kehidupannya.

(18)

18

2) Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structures)

Aspek dalam strukrtur kesempatan politik ini menyimpulkan bahwa ada koneksitas antara perubahan politik di sebuah negara dengan kemunculan gerakan sosial. Dalam artian jika kesempatan politik terbuka, maka menjadi kesempatan untuk melakukan aksi-aksi kolektif sebagai gerakan sosial.

Ada beberapa variabel yang menjadikan gerakan sosial muncul. Pertama, gerakan sosial muncul ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan. Kedua, ketika keseimbangan politik sedang tercerai berai sedangkan keseimbangan politik baru belum terbentuk. Ketiga, ketika elit politik mengalami konflik dan konflik tersebut dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesempatan. Keempat, ketika para pelaku perubahan menggalang dukungan para elit yang berada di dalam sistem untuk melakukan perubahan (Tarrow, 1998:34).

Menurut Kitschelt (1986: 58), struktur kesempatan politik terdiri dari konfigurasi sumber daya secara spesifik, pengaturan kelembagaan dan preseden sejarah untuk mobilisasi sosial. Ketiga hal tersebut dapat memfasilitasi pengembangan gerakan protes dan dapat membatasi mereka pada orang lain. Oleh karena itu, Tarrow juga menekankan bahwa bentuk-bentuk ketegangan politik mengalami peningkatan ketika para pelaku perubahan mendapatkan dukungan sumberdaya eksternal untuk keluar dari masalah atau untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Sumber daya ini digunakan oleh para pelaku perubahan melalui terbukanya akses kepada kelembagaan politik dan perpecahan di tubuh para elit politik. Disini Kriesi (sebagaimana dikutip oleh Tarrow)

(19)

19 menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor struktur kelembagaan formal, informal, dan strategi yang dipergunakan oleh para pelaku perubahan (Tarrow, 1998: 168). Dalam konteks struktur kesempatan politik ini melihat bahwa lingkungan eksternal sangat berpengaruh terhadap gerakan sosial yang dilakukannya. Di Indonesia yang menganut sistem demokrasi, misalnya, dengan sistem tersebut akan membukakan gerakan sosial sebagai kesempatan untuk melakukan berbagai agenda penyebaran ideologinya. Semua aktivis gerakan sosial akan menjadi leluasa dalam mengembangkan gerakannya. Hal ini setidaknya telah terbukti selama 10 tahun terakhir semakin banyaknya gerakan sosial yang muncul, khususnya gerakan sosial keagamaan.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti melihat gerakan MTA sebagai bagian dari bentuk perilaku kolektif yang melibatkan massa. Kemunculan gerakan MTA diakibatkan adanya sebuah kesempatan terhadap situasi yang tidak stabil di masyarakat, baik diakibatkan adanya ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintahan dalam mengontrol sosial masyarakat, khususnya mengontrol kerukunan dalam keberagamaan, maupun adanya upaya masyarakat untuk bereaksi atas keprihatinannya kepada krisis moral yang diakibatkan semakin jauhnya perilaku masyarakat dari tatanan Islam yang diakibatkan derasnya pengaruh modernisasi.

3) Mobilisasi Sumberdaya (Resource Mobilization)

Aspek dalam mobilisasi sumberdaya ini memberikan pemahaman bahwa berkembangnya gerakan sosial sangat ditentukan oleh seberapa kuat dan besar sumberdaya internal yang tersedia dan dimobilisasi secara tepat. Charles Tilly

(20)

20 dan berbagai rekan-rekannya (dalam McAdam, 1996) meletakkan landasan teoritis untuk pendekatan teori ini melalui pendokumentasian peran kritis berbagai pengaturan pada latar belakang kekerabatan informal, baik latar belakang keluarga, sahabat maupun tetangga, khususnya dalam memfasilitasi dan menyusun aksi kolektif.

Memperkuat gambaran Tilly, Carthy mengungkapkan bahwa struktur mobilisasi adalah sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif termasuk di dalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial. Struktur mobilisasi juga mencangkup serangkaian berbagai posisi sosial dalam kehidupan sehari-hari dalam struktur mobilisasi mikro. Tujuannya adalah mencari lokasi di dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi. Maka disini dapat dipahami bahwa unit keluarga, jaringan pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, unit-unit tempat bekerja dan elemen-elemen negara itu sendiri menjadi lokasi sosial bagi struktur mobilisasi mikro (McCarthy, 1996: 141). Lanjut Carthy (dalam Situmorang, 2007) menentukan dua kategori yang membuat struktur mobilisasi, yakni struktur formal dan struktur informal. Mobilisasi lebih sering terjadi karena adanya organisasi informal seperti jaringan kekerabatan dan persaudaraan. Ini menjadi dasar bagi rekruitmen gerakan sosial karena antara aktivis gerakan dan kerabatnya memiliki ikatan emosional yang lebih menonjol (Simumorang, 2007: 8).

(21)

21

G. Metode Penelitian

1. Objek dan Lokasi Penelitian

Objek dalam penelitian ini bertitik fokus pada gerakan Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di kabupaten Gunungkidul Yogyakarta yang berhasil menyebarluaskan ideologinya dan gerakan MTA di kabupaten Purworejo Jawa Tengah yang di daerah tersebut sampai saat ini kesulitan untuk masuk dan menyebarkan dakwahnya. Peneliti memilih kedua tersebut untuk dijadikan sebagai sampel penelitian terdapat beberapa pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, di Gunungkidul, perkembangan gerakan MTA sangat meluas dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan di daerah tersebut telah memiliki lulusan untuk dijadikan sebagai ustadz pada pengajian-pengajian MTA di beberapa cabang di Yogyakarta. Sedangkan di Purworejo, gerakan MTA memiliki kendala yang luar biasa. Baik kendala adanya penolakan oleh masyarakat setempat, maupun secara legal pihak kepolisian yang bekerjasama dengan gerakan Islam lain (Nahdlatul Ulama) mencekal dan mengecam adanya pengajian-pengajian MTA di seluruh wilayah tersebut.

Kedua, peran gerakan MTA di dua wilayah yang berbeda ini juga sangat membantu dalam upaya memberikan berbagai pengetahuan terkait gerakan keagamaan yang terjadi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Karena dengan memahami keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan keagamaan akan memperlihatkan bagaimana perkembangan gerakan tersebut dan sekaligus mengetahui dinamika-dinamika yang terjadi di dalamnya.

(22)

22

2. Rancangan Penelitian

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Black (1979) bahwa rancangan penelitian terbagi menjadi tiga macam, yaitu exploratory, descriptive dan

experimental. Secara umum perbedaan tujuan ketiganya terletak pada: pertama,

untuk memperoleh familiarity terhadap suatu fenomena atau satuan tertentu (individu atau kelompok) atau memperoleh wawasan-wawasan baru terhadap sesuatu yang belum begitu dikenal. Kedua, untuk memperoleh gambaran sesuatu. Ketiga, untuk menentukan asosiasi antara dua atau lebih variable sekaligus menguji hipotesis.

Dalam karangka tersebut, penelitian ini akan menekankan pada jenis yang pertama yakni exploratory plans. Jenis penelitian ini mempunyai beberapa karakter yang dapat dibedakan dengan yang lain, sebagaimana yang telah dikemukan oleh Black. Pertama, penelitian ini berasumsi bahwa peneliti belum begitu mengenal atau tidak memiliki kedekatan terhadap obyek kajiannya. Kedua, sebagai implikasi dari poin pertama, peneliti layaknya tidak secara tajam menyorot aspek yang khusus dari fenomena atau situasi tertentu. Ketiga, peneliti lebih menekankan kepada upaya pengkayaan terhadap hal-hal sekitar obyek penelitian dan faktor-faktor utama yang dipandang terkait.

Dalam konteks ini, penelitian ini juga tidak sepenuhnya eksploratif sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Pasalnya, penelitian ini juga berupaya menfokuskan perhatian kepada aspek tertentu dari gerakan MTA di ruang publik dalam kaitannya dengan keberhasilan dan kegagalan dakwahnya di dua wilayah yang berbeda. Namun demikian, dua variabel tersebut yakni

(23)

23 perkembangan gerakan MTA dan keberhasilan serta kegagalan dakwahnya tidak dihubungkan dalam relasi eksplanatif secara separatif, bahwa salah satunya merupakan penjelasan bagi yang lain dan saling melengkapi satu dengan yang lain. Maka dari itu, penelitian ini hanya ditekankan pada upaya eksplorasi untuk mengungkap gerakan MTA di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Adapun pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi baru. Pendekatan ini mencoba mencari jalan lain bukan berdasarkan interpretasi si peneliti, melainkan ada di dalam pikiran masyarakat itu sendiri. Dengan pendekatan etnografi baru ini, peneliti dapat mengetahui langsung obyek kajiannya sesuai yang diamati. Paula Saukko (2003) mengatakan bahwa etnografi baru (new ethnography) merujuk pada segala bentuk-bentuk sosial dan penyelidikan budaya yang telah dianggap serius bahwa ilmu-ilmu sosial telah menggambarkan orang-orang yang sedang dipelajari. Saukko berpendapat untuk menggambarkan atau juga melekatkan suatu label pada individu sebagai obyek yang dikaji memerlukan pendekatan secara mendalam dengan hidup dan tinggal bersama dengan mereka.

3. Sumber, Jenis Data dan Tipe Penelitian

Data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif (qualitative research), yang menurut Mettew B. Miles (1992) diartikan sebagai data yang berwujud kata-kata, bukan rangkaian angka-angka. Adapun tipe penelitian yang dipakai dalam kajian ini adalah descriptive-analysis. Dalam mengamati kasus gerakan MTA di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, dilakukan penggambaran lebih jauh, yakni penelusuran relasi MTA dengan para

(24)

24 elit (baca: elit agama dan elit negara) dan pemahaman sejarah perkembangan gerakan MTA di Indonesia, khususnya di dua wilayah tersebut.

Adapun sumber informasi dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Terkait dengan data primer, peneliti akan melakukan observasi dan wawancara langsung secara mendalam (indepth interview) dan studi dokumentasi. Pengumpulan data melalui observasi dilakukan di daerah objek penelitian. Adapun wawancara dan dokumentasi dilakukan baik di daerah penelitian maupun dilakukan di tempat lain. Sumber informasi dalam penelitian ini adalah para informan yang terlibat dalam gerakan MTA, baik terlibat langsung maupun tidak langsung.

Sementara itu, terkait tentang data sekunder, yakni data yang terkait dengan tulisan mengenai gerakan keagamaan di Indonesia. Serta untuk memperkuat data-data yang ada, peneliti juga mengumpulkan buku-buku, artikel, jurnal, file-file siaran dakwah gerakan MTA, skripsi, tesis, disertasi dan bahan-bahan kepustakaan lain yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Adanya data sekunder ini diharapkan mampu mendukung dan dijadikan pembanding dari data primer yang diperoleh dari lapangan penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yakni pengambilan data lapangan tentang gerakan keagamaan, khususnya gerakan Majlis Tafsir Al-Qur‟an (MTA). Adapu pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada tahapan-tahapan dalam pengumpulan data berikut ini.

(25)

25

1) Observasi

Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada komunitas gerakan MTA yang berada di wilayah Gunungkidul Yogyakarta dan Purworejo Jawa Tengah dengan melihat dan mengamati langsung aktivitas keagamaan dan kehidupan mereka. Peneliti melakukan observasi dengan melakukan penelusuran di lapangan untuk mengetahui kehidupan gerakan MTA sehari-harinya, serta ikut berbagai aktivitas, seperti mengikuti ceramah agama baik di cabang maupun di pusat, yakni di Surakarta, peneliti juga akan mengikuti bakti sosial dan peringatan hari-hari besar keagamaan.

2) Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Penyajian data dari hasil beberapa wawancara yang dilakukan merupakan interpretasi dari peneliti. Wawancara dilakukan terhadap pemimpin pusat MTA saat ini (Drs. Ahmad Sukina) dan keluarganya, para pengikut gerakan MTA, para pimpinan gerakan Islam lain, baik dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan masyarakat umum. Wawancara dilakukan secara langsung untuk mengetahui dinamika pertumbuhan dan perkembangan MTA di wilayah penelitian dan untuk melihat berbagai respons dari masyarakat. Dalam proses penelitian, wawancara dilakukan secara langsung secara berkala dengan bertatap muka serta dilakukan melalui media komunikasi seperti wawancara melalui telfon dan SMS. Pertanyaan-pertanyaan dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung ketika penelitian dilakukan.

(26)

26

3) Dokumentasi

Teknik dalam pengumpulan data yang lain adalah dokumentasi. Teknik ini dilakukan dengan membaca dokumen-dokumen yang berhubungan dengan gerakan keagamaan yang terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kemudian peneliti mencoba memetakan masalah yang terjadi, termasuk membandingkan dengan gerakan keagamaan lain yang memiliki kesamaan permasalahan. Adapun dokumen tersebut adalah berupa buku, artikel, jurnal, file-file ceramah, dan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan penelitian ini.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan oleh peneliti selama penelitian ini berlangsung hingga seluruh data telah dianggap cukup. Analisis dilakukan dengan cara memahami persoalan di sekitar objek penelitian. Peneliti mencoba memposisikan diri pada posisi netral dengan tetap berpikir kritis serta berupaya untuk merasakan dimanika dari dalam gerakan MTA itu sendiri. Data dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi dikelompokkan secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah proses penulisan.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, mereduksi data. Yakni data yang diperoleh baik melalui observasi, wawancara dan dokumentasi disimpulkan melalui interpretasi peneliti yang dikelompokkan menjadi beberapa bentuk data. Kedua, men-display data. Yakni yang berhasil dikumpulkan akan dijabarkan dalam bentuk kategori agar

(27)

27 mempermudah proses verifikasi. Pada tahapan ini akan diperoleh kumpulan data kualitatif. Ketiga, memverifikasi data. Yakni data dikelompokkan sesuai dengan kategori masing-masing pembahasan. Setelah itu, data yang sudah dikelompokkan dapat disajikan dalam bentuk kata-kata atau tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari hasil penelitian ini dapat dikemukakan secara garis besar sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Bagian ini membahas tentang materi penelitian yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan keaslian penelitian, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Konteks Umum Majlis Tafsir Al-Qur‟an di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada bagian ini, peneliti mengungkapkan gambaran umum lokasi penelitian yaitu di Gunungkidul Yogyakarta dan Purworejo Jawa Tengah dengan menguraikan demografi, ekonomi, budaya, struktur sosial dan agama pada masing-masing kedua wilayah tersebut. Selanjutnya peneliti menguraikan latar belakang pembentukan MTA dan perkembangan MTA pada dua era kepemimpinan, baik Abdullah Thufail Saputro maupun Ahmad Sukina. Di dalam sub bab terakhir, peneliti menjelaskan bagaimana karakteristik perekrutan warga MTA dan faktor-faktor kepengikutannya.

Bab III Pertumbuhan MTA di Yogyakarta dan Jawa Tengah: Sebuah Analisa Teori Gerakan Sosial. Pada bab ini dijelaskan bagaimana purifikasi agama sebagai framing perjuangan gerakan MTA, baik framing teologis, framing

(28)

28 sosiologis, maupun framing simbolis kultural. Dalam konteks kesempatan politik, peneliti mencoba menguraikan kesempatan politik yang dimiliki MTA sebagai celah dalam membangun ideologi gerakan. Dalam hal ini peneliti membagi dua faktor besar, yakni kesempatan politik dilihat pada faktor struktural dan juga memahami kesempatan politik gerakan MTA pada faktor sosial. Pada bagian akhir, penjelasan tentang mobilisasi sumber daya MTA, baik internal maupun eksternal yang dipergunkana sebagai kekuatan gerakannya. Sub bab ini peneliti mencoba melihat dengan menguraikan penguatan pola kaderisasi gerakan, metode dakwah yang egaliter, eksistensi dakwahnya melalui media, perluasan jaringan ke lembaga formal dan informal, peningkatan ekonomi internal gerakan dan optimalisasi bantuan sosial ke daerah pedesaan.

Bab IV Kontestasi dan strategi gerakan MTA di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam bab ini peneliti menerangkan beberapa uraian. Pertama, gerakan MTA sebagai gerakan Islam tandingan di Indonesia. Kedua, respon berbagai masyarakat terhadap penetrasi gerakan MTA. Pada sub bab ini peneliti mengelaborasi respon masyarakat menjadi empat bagian besar, yakni respon dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, masyarakat awam dan respon dari Majelis Ulama Indonesia. Ketiga, gerakan MTA merespon: strategi gerakan dalam menjaga eksistensinya. Hal ini penting bagi peneliti untuk diungkapkan. Maka disini peneliti menguraikan respon MTA terhadap segala resistensi masyarakat menjadi empat bagian. Keempat, keberhasilan dan kegagalan gerakan MTA. Dengan bersandar pada teori gerakan sosial, peneliti menganalisa bagaimana keberhasilan dan kegagalan gerakan MTA di kedua wilayah yang berbeda, yakni di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kelima, uraian khusus tentang

(29)

tantangan-29 tantangan yang sedang, telah dan akan dihadapi oleh gerakan MTA di kedua wilayah penelitian.

Bab V Penutup. Bagian ini menguraikan tentang kesimpulan sebagai uraian singkat dari hasil penelitian dan sekaligus ditutup dengan refleksi teoritis sebagai uraian sekaligus refleksi singkat yang bertujuan untuk meneruskan adanya kemungkinan-kemungkinan pengembangan studi-studi berikutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Melakukan wawancara dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) dengan UP- FMA dan kelompok pembelajaran FMA 3. Merumuskan secara partisipatif masalah yang

Menanggapi pentingnya pembentukan karakter siswa dalam ruang lingkup pendidikan terutama terhadap guru atau dengan sesama siswa maka pembelajaran pendidikan agama

Peranan manajemen dakwah yang telah diterapkan dalam upaya pengembangan Madrasah Muallimat Aisyiyah Cabang Makassar adalah pengelolaan yang sesuai dengan

Permasalahan  dasar  adanya  gap  antara  akademi  dan  industri  adalah  karena  karakter  dan  sudut 

Variasi kadar air kaca (waterglass) sebagai bahan pengikat pembuatan cetakan pasir kering (dry sand) akan mempengaruhi kekerasan dan kekuatan tarik produk pulley

Segmentasi pasar wisata pada Bukit Mas Cottage & Resto adalah wisatawan domestik yang tinggal di sekitar Kota Bandar Lampung, dengan tujuan untuk refreshing dan liburan menikmati

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan memperluas wawasan bagi pihak lain yang melakukan penelitian khususnya dalam bidang ekonomi mengenai penerapan

Artikel ini menerapkan teori dan definisi tersebut ke dalam praktek kepustakawanan, khususnya bagaimana teknologi Web 2.0 seperti sinkronisasi pengiriman pesan dan media