• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INVENTARISASI DAUR HIDUP PENGEMBANGAN SUMUR DI LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS INVENTARISASI DAUR HIDUP PENGEMBANGAN SUMUR DI LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, JAWA BARAT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS INVENTARISASI DAUR HIDUP PENGEMBANGAN SUMUR DI

LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, JAWA BARAT

LIFE CYCLE INVENTORY ANALYSIS OF GEOTHERMAL WELL

DEVELOPMENT IN WAYANG WINDU FIELD, WEST JAVA

I Made Agus Dharma Susila

Puslitbangtek Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

dekgus70@yahoo.com

Abstrak

Studi ini dimaksudkan untuk menganalisis semua masukan baik energi maupun material yang dibutuhkan dalam pemboran sumur di lapangan panas bumi Wayang Windu yang selanjutnya disusun sebagai inventarisasi daur hidup pengembangan sumur panas bumi Indonesia. Sejumlah 33 sumur di lapangan panas bumi Wayang Windu dianalisisis kebutuhan bahan bakar diesel, baja untuk selubung sumur, semen penguat selubung, air, barit dan bentonit. Indikator dampak yang dianalisa dari tiap masukan adalah potensi perubahan iklim berupa emisi CO2 –e, dampak eutrofikasi berupa emisi PO43-

-e, dan emisi SO2 –e sebagai indikator dampak pengasaman atau asidifikasi. Unit fungsional yang

digunakan dalam studi ini adalah meter dari kedalaman sumur. Hasil studi ini menunjukkan bahwa emisi CO2 –e, PO43- -e, dan SO2 –e pada kedalaman pemboran sumur dari 1.000 hingga 3.000 meter

secara berurutan adalah 1.428 – 3.102 ton, 2,8 - 6,6 ton, dan 9,6 – 25,3 ton. Kontributor utama dari emisi-emisi untuk semua indikator dampak dalam pemboran sumur panas bumi adalah bahan bakar diesel yaitu lebih dari 54%, diikuti oleh baja dan semen. Sebaliknya, kontribusi lumpur pemboran yang komposisi utamanya terdiri dari air, barit dan bentonit, sangat kecil yaitu di bawah 1%. Intensitas emisi untuk masing-masing indikator dampak per kedalaman sumur secara berturut-turut adalah 1,0 -1,4 t/m, 0,002 – 0,003 t/m dan 0,008 – 0,010 t/m.

Kata Kunci : Penakaran daur hidup, sumur panas bumi, potensi pemanasan global, eutrofikasi,

pengasaman.

Abstract

This study is meant to analyze inputs both energy and materials which are required on geothermal well drilling in Wayang Windu field. These inputs then are composed as life cycle inventory of geothermal well development in Indonesia. A number of 33 wells in Wayang Windu geothermal field are analyzed for requirements of fuel, steel for casing, cement, water, barite, and bentonite. The impact indicators

which are analyzed are global warming potential as CO2 -e emissions, eutrophication as PO43- -e

emissions, and acidification as SO2 –e emissions. Functional unit applied in the study is meter of well

depth. The results show that drilling well with depth of 1,000 to 3,000 m emit CO2 –e, PO43- -e, and SO2

–e about 1,428 – 3,102 t, 2.8 -6.6 t, and 9.6 – 25.3 t, respectively. The main contributors of these emissions are diesel fuel, followed by steel and cement. On the other hand, contribution of drilling mud consisting of water, barite and bentonite, is small, less than 1%. Emission intensity of well for each impact indicator are 1.0 -1.4 t/m, 0.002 – 0.003 t/m and 0.008 – 0.010 t/m, respectively.

Key words : life cycle inventory, geothermal well, global warming potential, eutrophication,

(2)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya mengembangkan energi panas bumi sebagai pembangit listrik. Sesuai dengan program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW Tahap II, target pemanfaatan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik di tahun 2015 adalah sebesar 4.925 MW. Kebijakan ini juga sejalan dengan usaha Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi sebesar 4.25 juta ton CO2 –e karena energi panas bumi dianggap sebagai salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan. Walaupun demikian, hampir dapat dipastikan bahwa kegiatan pembangkitan listrik dari panas bumi ini, sekecil apa pun, akan tetap memberikan dampak ke lingkungan.

Pemanfaatan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik pada dasarnya melalui beberapa tahapan yaitu eksplorasi, pembangunan infrastruktur pembangkit dan operasionalisasi pembangkit. Setelah semua karakteristik reservoir panas bumi diidentifikasi pada tahap eksplorasi, dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur pembangkit seperti pengembangan sumur, pembangunan jaringan pipa, rumah pembangkit, jalan akses dan lain-lainnya. Di antara infrastruktur pembangkit tersebut di atas, pengembangan sumur produksi yang akan mengekstrak dan menyalurkan energi panas bumi dari reservoir ke permukaan akan berbeda di setiap lokasi, baik kedalaman maupun jumlahnya karena sangat tergantung pada karakteristik reservoir panas bumi yang

sifatnya sangat spesifik di setiap tempat atau site specific. Karakteristik reservoir ini juga akan menentukan jumlah penambahan sumur produksi pada tahap operasional. Dengan demikian, kebutuhan energi dan material dalam tahap pengembangan sumur di setiap lapangan panas bumi tentulah tidak sama.

Beberapa studi, walaupun tidak spesifik menganalisis kebutuhan energi dan material untuk pengembangan sumur panas bumi menyebutkan bahwa tahap pengembangan sumur membutuhkan energi dan material lebih banyak dibandingkan tahap-tahap lainnya[1] [2]. Dalam studinya, Frick dkk. menyebutkan bahwa dampak lingkungan yang berkaitan dengan emisi paling dipengaruhi oleh kondisi geologi lapangan panas bumi yang berbeda di setiap lokasi[1]. Dalam hal ini berkaitan dengan kedalaman dan jumlah sumur. Lacirignola dan Blanc menyimpulkan bahwa enhanced geothermal system (EGS) memberikan dampak yang jauh lebih kecil dibandingkan pembangkit listrik konvensional[2].

Publikasi yang membahas secara detail tentang kebutuhan energi dan material dalam kaitannya dengan inventarisasi daur hidup pengembangan sumur panas bumi Indonesia tidak atau belum ditemukan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menganalisis kebutuhan energi dan material untuk pengembangan sumur panas bumi di Indonesia sebagai bagian dari penakaran daur hidup pembangkit listrik panas bumi.

Seperti disebutkan sebelumnya, kedalaman dan kondisi geologi reservoir adalah dua karakteristik yang menentukan jumlah

(3)

kebutuhan energi dan material dalam pengembangan sumur panas bumi. Hochstein dan Sudarman melakukan studi terhadap beberapa sumur eksplorasi panas bumi Indonesia dan menyebutkan bahwa kedalaman reservoir panas bumi Indonesia bervariasi dari <200m di lapangan Kamojang sampai dengan 2.500m di Sibualbuali dan Bedugul[3]. Sanyal et al. melakukan studi terhadap beberapa sumur produksi panas bumi Indonesia dan menyimpulkan bahwa kedalaman sumur produksi panas bumi Indonesia berkisar antara 1.000 – 2.800 m[4]. Walaupun tidak berkaitan secara langsung, kedua studi tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam studi ini.

Tujuan

Tujuan dari studi ini adalah untuk menyusun inventarisasi daur hidup sumur panas bumi Indonesia dimana analisis dibatasi hanya pada masukan energi dan material yang dibutuhkan dalam pengembangan sumur panas bumi.

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kuantitatif deskriptif dengan dua tahapan. Pada tahap pertama, dilakukan estimasi terhadap beberapa variabel masukan diantaranya konsumsi bahan bakar diesel, kebutuhan baja untuk selubung atau casing, kebutuhan bubur atau slurry semen untuk penguat selubung, dan kebutuhan lumpur pemboran atau drilling mud tiap sumur (Gambar 1).

Untuk lumpur pemboran, diuraikan lebih detail sesuai dengan komposisi utamanya yaitu air, barit dan bentonit. Demikian juga dengan bubur semen diuraikan lebih detail ke dalam komposisi utamanya yaitu semen dan air. Semua variabel menggunakan satuan ton.

Gambar 1. Diagram alir masukan-masukan dalam pemboran sumur panas bumi

Parameter-parameter yang dihitung adalah durasi pemboran dan konstruksi sumur yang terdiri dari kedalaman sumur, diameter sumur dan selubung, serta berat nominal selubung. Durasi pemboran umumnya tergantung pada kedalaman sumur dimana semakin dalam semakin panjang waktu yang dibutuhkan walaupun kondisi bawah permukaan juga berpengaruh. Durasi pemboran akan berimbas pada jumlah bahan bakar yang dibutuhkan. Demikian juga dengan kebutuhan selubung baja, semen dan lumpur pemboran tergantung pada kedalaman sumur. Semakin dalam sumur, semakin besar kebutuhan ketiga bahan tersebut. Dan dalam proses produksi dari ketiga bahan tersebut, pasti membutuhkan energy yang menghasilkan emisi. Selanjutnya, masing-masing variabel masukan tiap sumur kemudian

(4)

dianalisa korelasi dan kecenderungannya terhadap kedalaman sumur.

Pada tahap kedua, dilakukan penakaran dampak lingkungan dari tiap variabel menggunakan metode perhitungan EPD (2008). Indikator dampak yang dianalisis diantaranya potensi pemanasan global berupa emisi CO2 -e, dampak eutrofikasi berupa emisi PO43- -e, dan dampak pengasaman atau asidifikasi berupa emisi SO2 -e. Nilai intensitas emisi dari setiap indikator dampak dari setiap masukan disajikan Tabel 1. Nilai intensitas ini kemudian dikalikan dengan berat total tiap masukan untuk mendapatkan nilai emisi dari tiap masukan tersebut. Unit fungsional yang digunakan adalah satu meter kedalaman sumur panas bumi.

Tabel 1. Intensitas emisi dari indikator dampak masukan sumur panas bumi

Masukan Indikator dampak (kg/kg masukan) CO2 -e PO43- -e SO2 -e Diesel 3,88 4,1x10-4 5,2x10-2 Baja* 3,4 1,78x10-2 1,29x10-5 Semen* 0,893 2,4x10-3 1,94x10-6 Air 1,6x10-4 7,79x10-7 3,89x10-8 Barit 0,183 8,84x10-4 7,0x10-5 Bentonit 0,469 4,04x10-3 3,71x10-4 Basis data: Ecoinvent; *) ELCD

Data

Data utama pada studi ini adalah data 33 sumur di lapangan panas bumi Wayang Windu[5] yang meliputi data durasi pemboran dan data konstruksi sumur. Durasi pemboran sumur-sumur tersebut bervariasi antara 20 sampai dengan 100 hari dan kedalamannya berkisar antara 1.094 m sampai dengan 2.503 m. Data sumur ini dianggap bisa mewakili

sumur-sumur panas bumi Indonesia karena rentang kedalamannya sesuai dengan hasil studi Sanyal et al. yaitu 1.000 – 2.800 m. Data pendukung lainnya berupa asumsi-asumsi diperoleh dari beberapa pustaka atau pun dari situs beberapa perusahaan yang menyediakan jasa pemboran[6], [7], [8]. Data intensitas emisi beberapa produk diperoleh dari basis data Ecoinvent dan European Life Cycle Database (ELCD) pada program SimaPro[9].

Analisis data dan asumsi

Bahan bakar diesel diperlukan untuk mengoperasikan mesin bor atau drilling rig. Secara sederhana, konsumsi bahan bakar diesel tiap sumur dihitung dengan persamaan:

Vi = ti x Ci 1)

dimana Vi = volume bahan bakar diesel yang dikonsumsikan sumur i (ton), ti = durasi pemboran sumur i (hari), dan Ci= konsumsi harian mesin bor yang digunakan pada sumur i (ton/hari).

Dari keseluruhan data sumur, sekitar 15 sumur dibor dengan mesin berkapasitas di atas 1.500 HP dan sisanya dibor dengan mesin berkapasitas di bawah 500 HP. Mengingat saat ini mesin bor yang umum digunakan di Indonesia berkapasitas 1.500 sampai dengan 2.400 HP, maka data sumur yang dianalisis untuk konsumsi bahan bakar hanya sumur yang dibor dengan mesin di atas 1,500 HP. Diasumsikan mesin dioperasikan sekitar 85% dari kapasitas maksimumnya sehingga bahan bakar yang dibutuhkan oleh mesin bor ini sekitar 71 - 113 galon/jam yang setara dengan 5,5 – 9,0 ton/hari. Kondisi ini hampir sama

(5)

dengan konsumsi bahan bakar untuk mesin bor Caterpillar 1.500 HP sekitar 70 galon/jam[10]. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2, konstruksi sumur panas bumi terdiri dari pipa konduktor, selubung (surface, anchor dan production) dan liner (slotted atau perforated) yang umumnya terbuat dari baja berjenis carbon steel[11].

Berat baja yang dibutuhkan untuk setiap sumur dihitung dengan persamaan:

W = ∑wi x li 2)

dimana W = berat total selubung sumur (ton), wi = berat nominal selubung i (ton/m), dan li = panjang selubung i (m). Dalam studi ini, diasumsikan bahan selubung yang digunakan adalah carbon steel.

Gambar 2. Konstruksi dasar sumur panas bumi[11]

Agar dapat bertahan lama terhadap paparan larutan panas bumi dan temperatur tinggi, sumur panas bumi harus diperkuat dengan sementasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Harus dipastikan semua rongga atau annulus antara open hole-casing dan rongga antar selubung terisi penuh dan seragam sehingga tekanan termal yang tinggi dari sumur terdistribusi merata sepanjang selubung dan pemusatan tekanan dapat dihindari [12].

Volume bubur semen yang dibutuhkan tiap sumur merupakan penjumlahan dari volume annulus, volume rathole, dan volume shoetrack. Volume bubur semen yang disiapkan juga harus memperhitungkan excess untuk hal-hal tak terduga yang biasanya sebesar 100% hingga 150%[12]. Karena keterbatasan data, maka dalam studi ini volume bubur semen dihitung hanya berdasarkan volume annulus tiap sumur saja. Bubuk semen yang umum digunakan pada dunia perminyakan dan panas bumi adalah semen Portland dengan spesifikasi American Petroleum Institute (API) kelas A atau G. Dengan komposisi dasar terdiri dari 56% bubuk semen, 25% air, dan 19% aditif[13], bubur semen ini mempunyai berat jenis sekitar 1.87 t/m3[12].

Dalam proses pemboran, lumpur pemboran mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pendingin mata bor, pendingin dan pelumas drill string, pengontrol tekanan formasi, membawa cutting ke permukaan dan lain-lain[14]. Oleh karena itu harus dipastikan bahwa selama proses pemboran seluruh lubang bor dialiri lumpur dan paling tidak di permukaan tersedia lumpur dengan volume

(6)

yang sama. Dalam studi ini, volume lumpur pemboran diasumsikan tiga kali volume sumur yang dihitung dengan persamaan:

V = ∑Ai x ti 3)

dimana V = volume total sumur (m3), A

i = luas penampang lubang bor dengan diameter i (m2), dan ti = kedalaman sumur dengan diameter i (m).

Lumpur pemboran yang umumnya digunakan pada pemboran sumur panas bumi adalah lumpur berbasis air atau water-based mud. Dengan komposisi dasar 76% air, 14% barit, 6% bentonit dan 4% sisanya aditif,

lumpur pemboran ini mempunyai berat jenis sekitar 1,3 t/m3[14].

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil perhitungan semua variabel masukan yang dibutuhkan dalam pemboran sumur panas bumi dengan persamaan-persamaan tersebut diatas, disajikan pada Tabel 1 dan korelasi semua variabel tersebut terhadap kedalaman sumur digambarkan pada beberapa grafik pada Gambar 3.

Tabel 1. Kedalaman dan total masukan tiap sumur Sumur Kedalaman

(meter)

Masukan (ton)

Diesel Baja Semen Air Barit Bentonit

#1 1094 238 150 159 673 114 49 #2 1130 111 239 352 992 161 69 #3 1309 205 170 279 860 141 60 #4 1377 442 220 402 971 154 66 #5 1416 182 178 254 780 128 55 #6 1456 387 195 316 902 146 63 #7 1477 271 173 286 924 152 65 #8 1599 188 333 345 896 143 61 #9 1600 227 162 279 730 117 50 #10 1620 205 315 285 892 146 63 #11 1630 199 167 281 1,021 171 73 #12 1710 216 335 359 958 154 66 #13 1765 199 178 457 1,247 201 86 #14 1800 216 216 317 1,135 189 81 #15 1829 205 310 347 1,067 175 75 #16 1829 315 187 296 1,438 246 106 #17 1885 205 234 364 1,270 211 91 #18 1900 376 185 275 1,073 181 77 #19 2049 265 255 455 1,205 193 83 #20 2050 470 189 255 980 165 71 #21 2134 437 256 279 997 166 71 #22 2153 553 248 486 1,057 164 70 #23 2165 382 191 158 851 147 63

(7)

#24 2207 332 258 440 955 148 64 #25 2255 221 194 287 1,385 237 102 #26 2258 310 184 280 577 89 38 #27 2286 155 199 159 1,164 205 88 #28 2306 177 197 280 904 149 64 #29 2329 265 285 444 976 152 65 #30 2335 304 219 318 1,197 201 86 #31 2446 304 214 287 1,064 178 76 #32 2500 210 308 506 1,094 170 73 #33 2503 509 191 158 1,096 192 82

Sejalan dengan peningkatan kedalaman sumur, semua variabel masukan menunjukkan peningkatan juga tapi dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Kecuali variabel selubung dan semen, semua variabel menunjukan

kecenderungan linear terhadap kedalaman. Dua variabel masukan lainnya yaitu selubung dan semen menunjukkan kecenderungan non linier terhadap kedalaman sumur.

(a) (b) (c) (d) 0 200 400 600 800 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 Bah an b akar ( to n ) Kedalaman (m) 100 200 300 400 1000 1500 2000 2500 3000 Se lu b u n g (to n ) Kedalaman (m) 0 100 200 300 400 500 600 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 Se me n ( to n ) Kedalaman (m) 200 400 600 800 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 A ir ( to n ) Kedalaman (m)

(8)

(e)

(f)

Gambar 3. Grafik korelasi konsumsi bahan bakar diesel, kebutuhan selubung, semen, air, barit dan bentonit terhadap kedalaman sumur

Tabel 2 Estimasi kebutuhan tiap masukan berdasarkan kecenderungannya Kedalaman (m) Bahan bakar diesel (ton) Casing (ton) Semen (ton) Air (ton) Barit (ton) Bentonit (ton) 1.000 195.00 188.30 286.87 206.90 61.90 7.80 1.500 292.50 206.66 297.22 227.59 68.09 8.58 2.000 390.00 220.77 304.79 248.28 74.28 9.36 2.500 487.50 232.37 310.79 268.97 80.47 10.14 3.000 585.00 242.30 315.78 289.66 86.66 10.92

Gambar 4. Grafik estimasi emisi total tiap indikator dampak terhadap kedalaman

Gambar 5. Kontribusi variabel masukan terhadap total emisi CO2 –e 20 40 60 80 100 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 Bar it ( to n ) Kedalaman (m) 5 10 15 20 25 30 35 40 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 Bento n it (to n ) Kedalaman (m) 1 10 100 1,000 10,000 1000 1500 2000 2500 3000 Emi si ( to n ) Kedalaman (m) CO2e PO4e SO2e

0% 20% 40% 60% 80% 100% 1000 1500 2000 2500 3000 Kedalaman (m)

Bahan bakar Casing Semen

(9)

Kecenderungan tiap variabel masukan akan dianalisis untuk melihat kontribusinya terhadap semua indikator dampak yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil estimasi tiap masukan tersebut disajikan pada Tabel 2.

Intensitas emisi tiap variabel masukan untuk tiap indikator dampak berbeda-beda. Hal ini menyebabkan total emisi dari masing-masing indikator dampak juga bebeda-beda seperti ditunjukan pada Gambar 4. Estimasi total emisi CO2 –e sebagai indikator potensi perubahan iklim dari aktivitas pengeboran sumur panas bumi dengan kedalaman 1.000 meter, sekitar 1.400 ton dan meningkat secara non linier menjadi sekitar 3.100 ton dengan kedalaman 3.000 meter. Kontribusi masing-masing variabel masukan terhadap total emisi seperti yang disajikan pada Gambar 5 menunjukkan bahan bakar diesel menjadi kontributor utama yaitu sekitar 54% - 74% dari total emisi CO2 –e diikuti oleh selubung sekitar 16% - 27% dan semen sekitar 9% - 18%. Kontribusi air, barit dan bentonit sangat kecil dalam proses pemboran panas bumi yaitu kurang dari 1%.

Estimasi total emisi PO43- -e sebagai indikator eutrofikasi sekitar 2,9 ton pada kedalaman pemboran 1.000 meter dan meningkat menjadai 6,6 ton pada kedalaman 3.000 meter. Kontribusi masing-masing variabel masukkan disajikan pada Gambar 6. Sama halnya dengan emisi CO2 -e, emisi PO43- -e didominasi oleh bahan bakar diesel yaitu sekitar 63% - 80% dari total emisi diikuti oleh selubung sekitar 18% - 33% dan semen sekitar

1% - 3%. Kontribusi air, barit dan bentonit juga sangat kecil yaitu sekitar 1%.

Terakhir, total emisi emisi SO2 –e sebagai indikator pengasaman atau asidifikasi diperkirakan sekitar 9,6 ton pada kedalaman 1.000 meter dan meningkat menjadi sekitar 25,3 ton pada kedalaman 3.000 meter. Bahan bakar diesel tetap menjadi kontributor utama dari emisi SO2 –e yaitu sekitar 79% - 90% dari total emisi diikuti oleh selubung sekitar 7% - 14% dan semen sekitar 3% - 6%. Kontribusi air, barit dan bentonit juga sangat kecil dalam proses pemboran panas bumi yaitu kurang dari 1% (Gambar 7).

Gambar 6. Kontribusi variabel masukan terhadap total emisi PO43- -e

Intensitas emisi per kedalaman sumur untuk indikator perubahan iklim, eutrofikasi dan asidifikasi disajikan pada Gambar 8 – 10. Intensitas emisi per kedalaman sumur dari semua indikator dampak menunjukkan kecenderungan menurun dari kedalaman 1.000 m ke 3.000 m. Secara berturut-turut, penurunan intensitas emisi CO2 –e, PO43- -e dan SO2 –e tiap sumur yaitu 1,43 menjadi 1,03 ton/m, 0.003 menjadi 0,002 t/m dan 0,010 menjadi 0,008 t/m. 0% 20% 40% 60% 80% 100% 1000 1500 2000 2500 3000 Kedalaman (m)

Bahan bakar Casing Semen

(10)

Gambar 7. Kontribusi variabel masukan terhadap total emisi SO2-e

Gambar 8. Intensitas emisi CO2 –e terhadap kedalaman sumur

Gambar 9. Intensitas emisi PO43- –e terhadap kedalaman sumur

Gambar 10. Intensitas emisi SO2 –e terhadap kedalaman sumur

Pembahasan

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa kecuali selubung dan semen, semua masukan menunjukkan kecenderungan berkorelasi linear terhadap kedalaman dengan koefisien korelasi (r) yang berbeda-beda. Korelasi yang kuat ditemukan pada variabel bahan bakar dengan koefisien korelasi sekitar 0.67 (Gambar 3a). Walaupun korelasinya kuat, koefisien determinasinya (R2) sekitar 45% yang artinya masih ada faktor lain yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar tersebut. Diperkirakan faktor lain terbut adalah kondisi geologi bawah permukaan lapangan panas bumi nya sendiri yang bisa memperpanjang atau memperpendek durasi pengeboran.

Korelasi sangat kuat dengan koeefisien korelasi sekitar 0.81, ditemukan pada komponen lumpur pemboran yaitu barit dan bentonit (Gambar 3e dan 3f). Hal ini mudah dimengerti karena volume lumpur pemboran dihitung berdasarkan kedalaman sumur. Koefisien determinasi kedua komponen lumpur ini sekitar 66% dan diperkirakan faktor diameter lubang sumur juga berperan dalam mempengaruh volume lumpur pemboran. 0% 20% 40% 60% 80% 100% 1000 1500 2000 2500 3000 Kedalaman (m)

Bahan bakar Casing Semen

Air Barit Bentonit

0.5 1.0 1.5 2.0 1000 1500 2000 2500 3000 Emi si C O 2 -e ( to n /m) Kedalaman (m) 0.0E+00 5.0E-04 1.0E-03 1.5E-03 2.0E-03 2.5E-03 3.0E-03 1000 1500 2000 2500 3000 PO4 -e (to n /m) Kedalaman (m) 0.0E+00 2.0E-03 4.0E-03 6.0E-03 8.0E-03 1.0E-02 1000 1500 2000 2500 3000 SO 2 -e ( to n /m) Kedalaman (m)

(11)

Jika yang dihitung hanya air sebagai komponen lumpur pemboran saja, maka kebutuhan air akan mempunyai korelasi yang sama dengan dua komponen lumpur lainya terhadap kedalaman. Tetapi kebutuhan air yang dianalisis disini adalah total air sebagai komponen lumpur pemboran dan komponen bubur semen. Karena ada pengaruh air dari campuran semen yang jumlahnya sekitar 35% dari total air maka koefisien korelasinya menjadi berbeda. Dengan koefiesien korelasi sekitar 0,45, korelasi antara kebutuhan air dan kedalaman sumur masih dikatakan cukup kuat. Hanya saja dengan koefisien determinasi sekitar 20%, menunjukkan bahwa faktor lain seperti kedalaman sementasi juga sangat menentukan jumlah air yang dibutuhkan. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa variabel selubung cenderung berkorelasi non linier terhadap kedalaman (Gambar 3b). Hal ini disebabkan karena, pertama ukuran selubung termasuk berat nominalnya semakin dalam semakin mengecil. Kedua, berat nominal selubung dengan diameter yang sama pun bervariasi. Dan yang ketiga, pilihan untuk menggunakan selubung dengan ukuran dan jenis tertentu sangat dipengaruhi oleh kondisi di lapangan.

Bubur semen tidak dibutuhkan pada keseluruhan sumur tapi hanya dibutuhkan dari permukan sampai dengan kedalaman selubung produksi. Walaupun mempunyai kedalaman total yang sama, kedalaman bagian yang membutuhkan sementasi tiap sumur belum tentu sama karena harus disesuaikan dengan kondisi sumur. Hal inilah yang menyebabkan

korelasi antara semen dan kedalaman cenderung non linier juga (Gambar 3c). Emisi total untuk ketiga indiator dampak dari pengembangan sumur panas bumi pada studi ini lebih tinggi sekitar 15% - 40% dibandingkan studi Frick et al.[1]. Hal ini disebabkan karena nilai asumsi-asumsi yang digunakan pada studi ini lebih tinggi terutama masukan semen yaitu sekitar 2 sampai 5 kali lipatnya. Karena volume semen yang dibutuhkan pada studi ini dihitung berdasarkan data lapangan, kemungkinan asumsi yang digunakan oleh Frick et al. berdasarkan sumur panas bumi yang lebih dangkal atau lebih kecil diameternya.

Jika dilihat emisi total terhadap kedalaman untuk semua indikator dampak yang dianalisis, ketiganya mempunyai kecenderungan yang sama (Gambar 5 - 7). Bahan bakar diesel sebagai kontributor utama cenderung meningkat kontribusinya seiring bertambahnya kedalaman. Sebaliknya, kontribusi selubung dan semen cenderung menurun. Hal ini disebabkan karena bahan bakar diesel akan terus menerus dikonsumsi selama aktifitas pemboran berlangsung. Sebaliknya, selubung yang dipasang akan terus mengecil diameter dan berat nominalnya seiring bertambahnya kedalaman sehingga laju peningkatan kebutuhan selubung lebih kecil dibandingkan dengan bahan bakar diesel. Demikian juga dengan semen yang hanya dibutuhkan sampai dengan pemasangan selubung produksi. Khusus masukan air, barit dan bentonit, walaupun kecenderungannya bertambah seiring bertambahnya kedalaman karena dibutuhkan

(12)

terus selama pemboran berlangsung tetapi kontribusi ketiganya terhadap total emisi maksimum 1%.

Dengan kontribusi sekitar 80% - 90%, bahan bakar diesel juga terlihat sangat mendominasi sekali pada indikator dampak pengasaman dibandingkan dengan indikator-indikator dampak lainnya. Semua energi dan material yang dibutuhkan untuk pemboran mengemisikan SO2 pada saat proses penyulingan atau pembuatannya, tetapi karena bahan bakar diesel dibutuhkan terus selama pemboran berlangsung dan proses pembakaran diesel sendiri juga mengemisikan SO2 maka secara total emisi dari bahan bakar diesel jauh lebih besar. Hal inilah yang menyebabkan masukan bahan bakar diesel sangat mendominasi.

Walaupun secara total emisi yang dihasilkan meningkat sesuai dengan peningkatan kedalaman, intensitas emisi terhadap kedalaman sumur untuk ketiga indikator dampak menunjukkan kecenderungan yang sama dimana terjadi penurunan intensitas emisi seiring dengan penambahan kedalaman (Gambar 8 - 10). Artinya, semakin dalam suatu sumur panas bumi, semakin kecil intensitas emisinya walaupun secara total, semakin besar emisinya. Hal ini disebabkan karena peningkatan kebutuhan masukan untuk pemboran sumur panas bumi terutama masukan bahan bakar diesel, selubung dan semen relatif kecil terhdap peningkatan kedalaman.

Melihat besarnya peran bahan bakar diesel sebagai sumber emisi pada ketiga indikator dampak, maka usaha-usaha untuk menurunkan

emisi dari kegiatan pemboran sumur panas bumi harus memberi perhatian lebih pada masukan bahan bakar diesel ini. Saat ini sedang atau sudah dikembangkan teknologi pemboran yang memungkinkan pemboran dilakukan dengan lebih efisien dan efektif baik dalam penggunaan bahan bakar maupun durasi pemboran.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil perhitungan dan analisis, beberapa kesimpulan yang dapat ditarik diantaranya:

1. Diinventarisir ada enam masukan utama dalam kegiatan pemboran sumur panas bumi yaitu bahan bakar diesel, baja untuk selubung sumur, semen untuk penguat selubung, air, barit dan bentonit.

2. Kegiatan pemboran satu sumur panas bumi dengan kedalaman antara 1,000 – 3,000 m akan mengemisikan sekitar 1.4 – 3.1 ton CO2 –e, 2.8 – 6.6 ton PO43- -e, dan 9.6 – 25.3 ton SO2 –e.

3. Intensitas emisi CO2 –e, PO43- -e, dan SO2 – e untuk pemboran satu sumur panas bumi tersebut di atas secara berturut-turut adalah yaitu 1,03 - 1,43 ton/m, 0.002 - 0,003 t/m dan 0,008 - 0,010 t/m. Intensitas emisi akan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman sumur.

4. Bahan bakar diesel merupakan pengemisi terbesar pada semua indikator dampak dalam pengembangan sumur panas bumi. Sebaliknya, komponen lumpur pemboran

(13)

seperti air, barit dan bentonit peranannya sangat kecil.

Saran

Keterbatasan studi ini adalah kurangnya jumlah sumur panas bumi yang untuk dianalisis. Oleh karena itu diperlukan studi dengan jumah sumur yang lebih banyak sehingga bisa mewakili sumur-sumur panas bumi di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Panas Bumi, Ditjen. Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi atas data yang digunakan untuk studi ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Frick, S., M. Kaltschmitt, and G. Schroder. 2008. Life cycle assessment of geothermal binary power plants using enhanced low-temperature reservoirs. Energy. Vol. 35: 2281-2294.

[2]. Lacirignola, M. and I. Blanc. 2013. Environmental analysis of practical design options for enhanced geothermal systems (EGS) through life-cycle assessment. Renewable Energy. Vol. 50: 901-914.

[3]. Hochstein, M. P. ans S. Sudarman. 2008. History of geothermal exploration in Indonesia from 1970 to 2000. Geothermics Vol. 37: 220-266.

[4]. Sanyal, S. K., J. W. Morrow, M. S. Jayawardena, N. Berrah, S. F. Li, and Suryadarma. 2011. Geothermal resources

risk in Indonesia - A statistical inquiry. Proceedings, 36th Workshop on Geothermal Reservoir Engineering. Stanford University, Stanford, California. [5]. Ditjen. Mineral, Batubara dan Panasbumi.

2010. Laporan Pengawasan Pengelolaan Reservoir Panas Bumi di Area Geothermal Wayang Windu Tahun 2010. Jakarta [6]. Antareja Group. 2013. Drilling rig service.

Tersedia pada:

www.antareja.com.index.php.pages/detail/ our-activities/9/3-joint-rigs. [Diakses tanggal 22 November 2013].

[7]. Apexindo Pratama Duta. 2013. Assets: Onshore rigs. Tersedia pada: www.apexindo.com [Diakses pada tanggal 22 November 2013]

[8]. Parker Drilling. 2013. Rig fleet and

locations. Tersedia pada:

www.parkerdrilling.com/rig-fleet-and-locations.aspx. [Diakses pada tanggal 22 November 2013].

[9]. PRe Consultants. 2013. Simapro Analyst Version 7.3.3. Tersedia pada:

http://www.pre-sustainability.com/simapro-installation [10]. Caterpillar. 2003. Drilling rig repower.

Tersedia pada:

http://catoilandgas.cat.com/cda/files/8234 09/7/LEDW3153.pdf. [Diakses tanggal 15 Desember 2013].

[11]. Hole, H. M. 2008. Geothermal well design-casing and wellhead. Tersedia

pada:

(14)

atia/Hole02.pdf [Diakses tanggal 11 November 2013].

[12]. Hole, H. M. 2008. Geothermal well

cementing. Tersedia pada:

http://www.geothermal-energy.org/pdf/IGAstandard/ISS/2008Cro atia/Hole06.pdf [Diakses tanggal 13 Desember 2013].

[13]. Salehi, R. and A.M. Paiaman. 2009. Cement slurry design. Petroleum and Coal 51 (4): 270-276.

[14]. International Petroleum Industry Environmental Conservation Association and International Association of Oil ^ Gas Producers. 2009. Drilling fluidas and health risk management. Tersedia pada: www.ogp.org.uk/pubs/396.pdf [Diakses pada tanggal 15 Desember 2013].

Gambar

Gambar 1. Diagram alir masukan-masukan  dalam pemboran sumur panas bumi
Tabel 1. Intensitas emisi dari indikator dampak  masukan sumur panas bumi
Gambar 2. Konstruksi dasar sumur panas  bumi [11]
Tabel 1.  Kedalaman dan total masukan tiap sumur
+4

Referensi

Dokumen terkait

data tersebut dapat dikelompokkan penderita Dari hasil wawancara terhadap enam orang dengan BTA 1+ sebanyak 23 orang (52,3%) terdiri penderita yang pada pemeriksaan

Pembahasan dari penelitian ini dari kalimat imperative dalam menulis petunjuk. Bahwa kalimat imperative yaitu ditinjau dari wujud dan keefektifan kalimatnya dalam menulis

4) Pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) terdapat pada pengembangan perumahan baru. Pengembangan penerangan jalan umum melewati: Jalan Simpang

Prestasi diraih oleh Agustinus 2016 Juara II Lari 10 Km Putra Porseni Politeknik IX Se-Indonesia. Prestasi

Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan, Uji Kompetensi dan Dosen Tamu bagi Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil 6/10/2015 s/d 06/10/2018

LALU INVOICE S.D SAAT INI (AMANDEMEN NO. 5) UNIT SISA KONTRAK Mobilization/Demobilization JUMLAH ……….... URAIAN Housing Allowance

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan membaca cepat yang telah dibahas pada bab IV sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca cepat siswa kelas

Namun oleh museum peralatan serta proses tenun diberikan makna yang berbeda yakni ketika peralatan tersebut telah dipilih menjadi koleksi museum maka peralatan tersebut