• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada zaman modern yang penuh dengan berbagai macam sesuatu yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada zaman modern yang penuh dengan berbagai macam sesuatu yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada zaman modern yang penuh dengan berbagai macam sesuatu yang baru dan serba praktis ini membuat banyak orang menjadi lebih mudah dalam melakukan segala sesuatunya, misalnya saja seperti perilaku seseorang di dalam menerapkan gaya hidupnya pada kehidupan sehari-hari. Sejatinya setiap orang hidup di dunia dengan memiliki beberapa aspek yang penting dalam hidup, salah satu yang harus dijaga adalah kesehatan.

Ada beberapa indikator sebagai penentu individu dalam melakukan pola hidup sehat misalnya seperti kebugaran fisik dalam berolahraga, pola makan seimbang, kegiatan produktif dan sosial. Pola hidup yang tidak sehat yaitu seperti cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore, bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, pola makan yang kebarat-baratan tidak sehat seperti makanan siap saji (Setiati, dkk, 2014).

Ketika seseorang akan melakukan salah satu dari kedua pola hidup diatas maka pola hidup yang dipilih akan menimbulkan adanya beberapa hal, baik hal positif maupun hal negatif. Hal positif bisa membuat seseorang memiliki kondisi tubuh yang sehat, hal negatifnya bisa membuat seseorang sakit/ terkena penyakit. Salah satu penyakit akibat pola hidup tidak sehat adalah DM

(2)

(Apriyanti, 2014). Menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan pada tahun 2000, jumlah pasien DM mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah pasien DM di indonesia bertambah 21,3 juta, sehingga jumlah pasien DM meningkat setiap tahunnya (Christanty & Wardhana, 2013). Selanjutnya, Brunner & Suddarth (2010) menyatakan bahwa jumlah orang yang terkena DM tipe 2 sekitar 90-95%. Sejalan dengan hal tersebut, DM tipe 2 khususnya telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya di negara berkembang seperti indonesia (Kusumadewi, 2011).

Di poliklinik penyakit dalam RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga memiliki pasien DM tipe 2, tercatat dari periode tahun 2006 sampai 2017 sejumlah yang dapat dilihat dalam tabel :

Tabel 1. Data Rekamedik Pasien DM tipe 2 di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga :

Pasien DM tipe 2 Usia Jumlah Laki-laki Perempuan

Rawat Jalan (Studi Pendahuluan)

34-69 tahun 5 1 4

Rawat Inap 34-69 tahun 40 5 35

Rawat Jalan 34-69 tahun 73 25 48

Jumlah 118 31 87

Pasien DM selain mengalami gangguan fisiologis, ditemukan juga bahwa pasien mengalami gangguan psikologis. Sejalan dengan Tjokroprawino (2006) mengatakan bahwa pasien DM selain mengalami gangguan pada sistem fisiologis, kenyataan yang ditemukan di lapangan adalah pasien DM juga mengalami gangguan pada kondisi psikisnya. Perubahan kondisi psikis yang diperlihatkan pasien antara lain pada aspek emosional pasien, misalnya

(3)

muncul emosi yang labil dan sangat tergantung mood pada pasien. Kondisi emosional pasien terganggu karena pasien harus menjaga pola makannya seperti tidak boleh mengkonsumsi gula maupun makanan manis, menjalani diet, banyak berolahraga minimal berjalan kaki, banyak minum air putih dan buah-buahan, serta melakukan pengecekan gula darah minimal satu bulan sekali. Hari-hari yang membuat pasien sulit adalah ketika menghadiri pesta. Pasien harus lebih selektif memilih makanan yang dimakannya karena salah memilih makanan akan membuat gula darahnya naik (Tjokroprawino, 2006). Selanjutnya Tjokroprawino (2006) menambahkan bahwa sepertinya aktivitas-aktivitas tersebut mudah untuk dijalani tetapi terkadang pasien mengalami kejenuhan, seperti ingin bebas mengkonsumsi jenis makanan dan minuman. Perasaan ingin bebas mengkonsumsi semua jenis makanan, namun tidak bisa dilakukan akan membuat pasien mengalami frustasi dan stress yang juga mempengaruhi keadaan emosinya.

Sehingga, pasien DM mengalami gangguan psikologis karena pasien memiliki berbagai macam perilaku seperti perilaku positif dan negatif yang mencerminkan suatu keadaannya. Gangguan psikologis terjadi karena, adanya suatu dorongan untuk melakukan suatu tindakan atau yang biasa disebut dengan emosi. Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Emosi sangat membantu menyediakan informasi yang penting mengenai status interaksi individu dengan orang lain, akan tetapi seringkali pengalaman emosi yang kuat membutuhkan untuk dikelola.

(4)

Emosi seperti yang diungkapkan oleh Goleman (2007) yaitu dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Berdasarkan jenisnya emosi dapat dibagi menjadi 2 yaitu eustress (emosi positif) dan distress (emosi negatif). Eustress memberikan kita dorongan semangat untuk melakukan segala kegiatan dalam kehidupan, sebaliknya distress adalah semua bentuk

stress yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan

menyebabkan masalah fisik atau psikologis (Walker, 2002).

Misalnya seperti ketika seseorang dalam kondisi yang baik maka ia akan memperlihatkan adanya suatu emosi yang positif seperti merasakan adanya suatu energi yang tinggi, dan kegembiraan hingga perasaan sabar, tenang dan menarik diri, suka cita kegembiraan dan tawa termasuk perasaan yang positif. Akan tetapi ketika seseorang sedang mengalami kondisi yang buruk maka ia juga akan memperlihatkan adanya suatu emosi yang negatif seperti merasakan adanya kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah dan kesedihan (Santrock, 2011).

Dengan adanya dampak yang ditimbulkan oleh emosi, maka diperlukan adanya suatu pengendalian emosi, karena apabila seseorang mampu mengelola emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi suatu permasalahan. Shaffer (2005) mengatakan bahwa regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan Thompson (dalam Janah, dkk, 2015) menggambarkan

(5)

regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses-proses ekstrinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan.

Regulasi emosi berhubungan dengan suasana hati. Konsep regulasi emosi itu luas dan meliputi kesadaran dan ketidak-sadaran secara psikologis, tingkah laku, dan proses kognitif. Menurut Gross (dalam Aprisandityas, 2012) menyatakan bahwa penelitian secara konsisten juga menunjukkan bahwa regulasi emosi berkaitan dengan perasaan. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa kemampuan dalam melakukan regulasi emosi pada setiap individu tergantung pada apa yang benar-benar ia rasakan. Sehingga, seseorang melakukan regulasi emosi dengan cara yang berbeda-beda, dan dengan kemampuan yang berbeda pula. Strategi yang dipilih dalam melakukan regulasi emosi bisa lebih sehat dibanding yang lain. Regulasi emosi merupakan variabel yang sangat penting untuk membantu menjaga kondisi kesehatan pasien DM tipe 2. Hal inilah yang menjadi fokus perhatian karena pengaruh DM yang juga mempengaruhi psikis sehingga terjadi perubahan yang cukup mencolok pada perilaku pasien DM. Kondisi tersebut pantas untuk ditanggapi secara serius karena pengaruh yang ditimbulkan oleh perubahan perilaku ini tidaklah hanya dialami oleh pasien tetapi juga dialami oleh anggota keluarga dan kerabat dekat. Kondisi ini terutama ditemui pada pasien DM tipe 2, karena pada pasien DM tipe 2 kurang dapat melakukan penyesuaian fisik dan psikologis untuk menghadapi

(6)

dan melakukan perawatan terhadap penyakitnya. Oleh karena itu peneliti tertarik dan menganggap penting untuk meneliti tentang penyakit DM tipe 2. Berkaitan dengan pembahasan mengenai emosi, peneliti telah melakukan wawancara kepada lima pasien DM tipe 2 yang diwawancarai pada tanggal 19 september 2016 yaitu lima subjek berinisial WY (34 Tahun), SG (45 Tahun), YM (53 Tahun), TK (58 Tahun), serta RS (60 Tahun) pada pukul 16.00-20.00 WIB, bertempat di rumah masing-masing subjek yang peneliti datangi secara bergantian. Ke lima subjek tersebut merupakan sebagian dari pasien rawat jalan yang memeriksakan kondisi kesehatannya di Poliklinik penyakit dalam RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga.

Meski pasien DM tipe 2 yang ada dirumah sakit tersebut sudah mengalami sakit dengan rentang waktu yang cukup lama, namun pasien masih merasakan emosi negatif muncul saat gula darahnya naik. Menurut ibu WY (34 Tahun) menceritakan bahwa penyakit DM tipe 2 dialami WY sejak 5 tahun yang lalu, penyebab dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat. Sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Setelah bekerja WY lebih sering mengisi waktu dengan bermalas-malasan, menonton televisi, tiduran sambil mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji seperti gorengan, ketoprak, gado-gado, stik, olahan keju, mi instan serta sari buah jus maupun minuman yang mengandung bahan pengawet lainnya untuk menghilangkan kejenuhan akibat pekerjaan yang menumpuk. Selain itu, WY juga tidak mengimbanginya dengan gerak fisik seperti olahraga, bahkan dalam waktu setahun WY hanya

(7)

melakukan olahraga selama 4 kali, sehingga WY memiliki obesitas. Semenjak sakit WY memiliki kondisi fisik, sosial dan psikis yang berubah. Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan. Gejala tersebut seperti WY mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi kulit/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi. Pada kondisi sosial, aktivitas WY menjadi terhambat.

Selain itu WY juga merasakan perubahan kondisi psikologisnya pada saat gula darahnya naik, meski sudah lama sakit namun pada saat gula darahnya naik WY merasa terkejut saat mengetahui gula darahnya tinggi. WY merasa jantungnya berdetak dengan cepat saat mengetahui gula darahnya tinggi. Perasaan terkejut WY diperlihatkan dengan bola mata WY yang seperti melotot, alis yang naik, dan WY terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. WY merasa marah dengan dirinya sendiri, kemarahan WY diperlihatkan dengan mengekspresikan raut muka dinaikkan keatas, lalu WY merasa peredaran darahnya menggumpal di dalam tubuh. WY juga mengeluarkan amarah dengan membanting barang-barang yang ada dikamarnya serta

meraung-raung kesakitan akibat infeksi luka yang tidak kunjung kering.

Kemarahan WY semakin meluap ketika WY diharuskan untuk meminum obat akibat gula darah yang sudah tinggi.

WY sesekali menyimpan obatnya berharap tidak ingin dikonsumsi lagi, bahkan pernah juga karena tidak bisa mengontrol amarahnya, obat yang

(8)

seharusnya dikomsumsi dibuang oleh WY karena WY merasa jenuh. WY memiliki ketakutan karena kondisi WY yang sulit membaik, ketakutan WY menyebabkan bulu kaki dan tangan WY sampai berdiri/ merinding. Bahkan, karena ketakutannya dengan DM tipe 2 yang dialaminya, air liur WY sampai mengering. WY sering kali mengurung diri di dalam kamar sambil menangis. Pada saat WY menangis, WY menangis sembari menyalahkan dirinya sendiri, WY bahkan sering menangis hingga mata WY merah dan nafas, WY merasa terganggu karena tersendak-sendak akibat menangis sepanjang hari. WY kecewa dengan pola hidup yang telah dilakukan, karena belum juga membuat WY membaik. Kekecewaan WY dirasakan dengan WY murung dan sesekali bernafas panjang (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku WY menarik diri dari lingkungan, keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif kini WY memiliki ingatan yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).

Selanjutnya hasil wawancara yang dilakukan dengan ibu SG (45 Tahun), SG sudah terkena DM tipe 2 sekitar 4 tahun yang lalu, penyebab dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat. Sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Sebagai ibu rumah tangga setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, SG hanya menonton televisi, makan dan tidur padahal SG memiliki waktu luang untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Meski ibu rumah tangga namun SG jarang memasak dirumah. Sehingga SG lebih sering mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji seperti mi goreng, bubur siap saji, ice cream,

(9)

digunakan SG merupakan bahan makanan yang mengandung pengawet agar mudah di dapat. Selain itu, SG juga jarang melakukan olahraga sehingga SG mengalami obesitas. Semenjak sakit kondisi fisik, sosial dan psikisnya berubah. Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan. Gejala tersebut seperti SG mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi kulit/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi. Pada kondisi sosial, terhambatnya aktivitas SG dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan untuk kondisi psikologis, SG merasa emosi yang muncul saat gula darahnya naik seperti SG merasa marah dengan dirinya sendiri, kemarahannya diperlihatkan dengan mengeluh pada dirinya sendiri sambil membanting-bantingkan bantal maupun guling, karena SG merasa tubuhnya seperti digerumuti oleh semut. Sehingga, SG juga marah-marah dengan membanting-bantingkan barang-barang yang ada dikamar. Terkadang kaki SG juga diremas-remas, karena SG berharap agar kesemutannya hilang. SG sedih harus menerapkan pola hidup sehat saat gula darahnya naik, karena jika tidak menerapkan pola hidup sehat, maka kondisi SG akan semakin memburuk.

SG merasa sedih, yang diperlilhatkan dengan SG menangis sepanjang malam sembari mengeluh karena terus menerus kencing, dan terus-menerus merasa haus. SG merasa bosan dengan menu makanan yang harus dikonsumsi saat gula darah naik, SG tidak suka dengan makanan sehat yang harus

(10)

dikonsumsi. SG merasa enggan untuk meminum obat yang disarankan oleh dokter, karena tak kunjung membuat kondisi SG membaik. Sehingga SG merasa kecewa, kekecewaan SG diperlihatkan dengan, SG nampak beridam diri dan selalu ingin mengurung diri sendiri (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku SG menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, SG memiliki daya ingat yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).

Hasil wawancara dengan ibu YM (53 Tahun), ditemukan bahwa YM mulai terkena DM tipe 2 semenjak 7 tahun yang lalu. Penyebab dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat, sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Dalam kesehariannya YM sibuk mengerjakan semua pekerjaannya, YM dituntut harus bekerja keras karena kini YM yang menghidupi kedua anaknya setelah bercerai dengan suaminya. Karena hal tersebut YM merasa terbebani, maka dari itu saat berada didalam lingkungan kerja maupun dirumah YM sering mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji seperti kentang goreng dengan sambal, ice cream, burger, serta nugget ataupun sosis yang sering pasien bawa sebagai bekal makanan.

Karena kesibukannya, YM jarang bergerak, YM sering menghabiskan waktunya dengan duduk berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaannya, setelah selesaipun YM tidak meluangkan waktu untuk berolahraga sehingga YM kurang gerak. Hal tersebut menyebabkan YM memiliki berat badan berlebih/ obesitas, serta perubahan pada kondisi fisik lainnya, sosial serta

(11)

kondisi psikologisnya. Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan. Gejala tersebut seperti YM mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi dada/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi.

Pada kondisi sosial, aktivitas YM terhambat. Sedangkan untuk kondisi psikologisnya YM merasakan emosi pada saat gula darah YM naik seperti, YM merasa sedih karena gula darahnya suit stabil. Kesedihan YM diperlihatkan dengan, YM menangis sambil berbicara sendiri mengenai kondisi kesehatan yang selalu buruk. YM merasa enggan melakukan diet, meski kondisi tubuh YM sudah mengalami obesitas dan diperlukan adanya diet untuk mengontrol gula darah. YM merasa putus asa, yang diperlihatkan dengan YM selalu menunda-nunda menjalankan pola hidup sehat maupun meminum obat.

Menurut YM obatnya berfungsi lama, selain itu obatnya sangat pahit dan bentuknya terlalu besar, sehingga YM malas mengkonsumsi obat. YM merasa benci dengan dirinya sendiri, kebencian YM terhadap dirinya sendiri diperlihatkan dengan YM yang malas melakukan olahraga agar gula darahnya menurun. Tetapi YM merasa cemas jika kondisinya tidak kunjung membaik saat gula darahnya naik. Saat YM sedang merasa sangat sedih, YM hanya berdiam diri didalam kamar, padahal saat gula darah naik YM harus bolak-balik kekamar mandi. Namun YM telah jenuh sehingga terkadang YM sengaja

(12)

mengeluarkan air kencing ditempat tidur (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku YM menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, kini YM memiliki daya ingat yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).

Selanjutnya hasil wawancara dengan ibu TK (58 Tahun), TK sudah terkena DM tipe 2 semenjak 6 tahun yang lalu. Penyebab dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat, sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Pola hidup tidak sehat yang dilakukan TK seperti duduk berjam-jam dalam menyelesaikan pekerjaannya sembari mengkonsumsi minuman dan makanan siap saji yaitu kopi, sari buah jus, donat, nugget, makanan olahan keju, jajan dalam kemasan, goreng-gorengan serta makanan dengan proses pengolahan bahan makanan yang mengandung pengawet. Karena kesibukannya, TK jarang melakukan olahraga sehingga TK mengalami obesitas. Hal tersebut membuat kondisi fisik, sosial serta psikologisnya mengalami perubahan. Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan. Gejala tersebut seperti TK mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi kulit/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi.

Pada kondisi sosial, aktivitas TK terhambat. Sedangkan kondisi psikologisnya, TK merasakan emosi pada saat gula darahnya naik seperti TK merasa marah dengan dirinya sendiri yang diperlihatkan dengan, TK pada saat

(13)

gula darahnya naik, banyak sekali keluhan yang muncul dari dalam dirinya seperti lelah. Saat merasa lelah seharusnya TK beristirahat, namun yang dilakukan oleh TK sebaliknya. TK justru tambah menghabiskan tenaganya, karena TK merasa haus dan lapar secara terus-menerus. Sehingga, TK makan dan minum secara terus-menerus, dan membuat kondisi TK semakin buruk. TK sering menyesali perbuatannya, namun TK mengontrol keinginannya. Sehingga, TK juga merasa bersalah dan ingin sekali tidak mengulanginya namun sulit. TK juga tidak tahu bagaimana cara untuk mengontrolnya, karena TK merasa sangat jengkel saat gula darahnya naik. TK menjadi lemas, letih, lesu, padahal TK ingin seperti orang lain pada umumnya. Oleh karena itu, TK merasa malu dengan dirinya sendiri karena TK merasa sudah tidak bisa berguna lagi (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku TK menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, TK memiliki daya ingat yang lambat (Bilous & Donelly, 2015). Informasi lain di temukan dari hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak RS (60 Tahun), RS sudah terkena DM tipe 2 selama 8 tahun. Penyebab dari penyakitnya karena pola hidup yang tidak sehat, sejalan dengan Apriyanti (2014) bahwa individu terkena DM tipe 2 disebabkan oleh pola hidup tidak sehat. Karena kesibukan RS menyelesaikan pekerjaannya, RS sering mengkonsumsi makanan dan minuman siap saji yang mudah dan praktis. Selain itu RS juga tidak mengimbanginya dengan gerak fisik seperti berolahraga. RS sering merokok, mengkonsumsi kopi, ice cream, sosis,

(14)

serta makanan yang mengandung bahan pengawet lainnya. Selain itu, RS juga pasif dalam melakukan aktivitas seperti sibuk menyelesaikan pekerjaannya dengan duduk berjam-jam, dan jarang melakukan olahraga sehingga RS mengalami obesitas. Akibat DM tipe 2 yang dialami, kini RS mengalami perubahan pada kondisi fisik, sosial dan psikologisnya.

Pada kondisi fisik, terjadi perubahan kondisi fisik yang terjadi secara perlahan. Gejala tersebut seperti RS mudah merasa lelah, memiliki rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil pada malam hari, mengalami infeksi kulit/ luka yang lambat sembuh, mengalami penurunan berat badan, serta memiliki gambaran sindrom metabolik lain seperti tekanan darah tinggi. Pada kondisi sosial, aktivitas RS terhambat. Sedangkan pada kondisi psikologisnya, RS merasakan emosi pada saat gula darahnya naik seperti RS merasa marah, RS marah karena RS merasa saat gula darahnya naik mengganggu aktivitasnya. Kemarahan RS diperlihatkan dengan RS terus-menerus meminum sari buah jus, padahal sangat dianjurkan untuk meminum air putih saat gula darah naik. Namun RS tidak menghiraukannya karena saat gula darahnya naik, RS merasa sangat haus dan air putih dirasa tidak cukup untuk menghilangkan rasa haus RS.

Ketika sedang bekerja, RS merasa sedih karena RS merasa hanya RS yang mengalami sakit parah seperti ini. RS merasa malu pada teman-teman kerjanya, karena pada saat sedang bekerja RS pernah merasa gula darahnya tinggi. Gejala gula darah tinggi ditunjukkan dengan sering buang kecil, sering merasa haus dan lapar. RS malu karena kondisi kesehatannya tidak seperti

(15)

orang lain pada umumnya, terkadang RS sampai merasa jijik terhadap dirinya sendiri. RS merasa putus asa dengan penyakitnya yang diperlihatkan dengan, RS mengurung diri di ruangan kesehatan pada saat dikantor. Pada saat dirumah, RS mengurung diri diruang kerja yang berada dirumah, sambil menangis. RS menangis sambil memegangi tangannya yang kesemutan, namun RS bukan memijatnya. Akan tetapi RS justru mencubitnya karena, RS berharap agar kesemutan yang dirasakan lekas sembuh (Syukur, 2011). Pada kondisi perilaku RS menarik diri dari lingkungan dan keluarga, dan kehilangan tenaga. Sedangkan pada kondisi kognitif, kini RS memiliki daya ingat yang lambat (Bilous & Donelly, 2015).

Sehingga, ke lima subjek cenderung belum mampu memiliki strategi yang bertujuan untuk mengontrol emosi, serta menerima respon emosional. Maka dari itu, perilaku yang nampak pada pasien yaitu, pada saat kadar gula darahnya naik pasien memunculkan emosi negatif. Hal tersebut dibuktikan dengan, pada saat kadar gula darah naik ke lima subjek cenderung merasa marah dengan dirinya sendiri, menangis karena kondisi yang sulit membaik, menyesal terkena DM tipe 2, malas melakukan olahraga agar gula darahnya menurun, cemas saat kondisi kesehatannya memburuk. Hal tersebut membuat ke lima subjek sedih dan berpikir untuk menyerah dan pasrah dengan penyakit DM tipe 2 yang dialaminya. Karena meski berobat terus menerus namun ke lima subjek merasa penyakitnya tidak kunjung membaik. Sejalan dengan Santrock (2011) mendefinisikan bahwa negative affectivity (afektivitas negatif) mengacu kepada emosi yang bersifat negatif, seperti kecemasan,

(16)

kemarahan, perasaan bersalah dan kesedihan. Senada dengan Syukur (2011) mendefinisikan juga jenis-jenis emosi negatif seperti : marah, cemas, takut, perasaan bersalah, malu, jijik, benci, sedih, terkejut, jengkel, kecewa, putus asa. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa ke lima subjek memiliki pandangan psikologis yang sama yaitu merasa marah, cemas, takut, perasaan bersalah, malu, jijik, benci, sedih, terkejut, jengkel, kecewa, putus asa, akan penyakit DM tipe 2 yang mempengaruhi kondisi emosional pada saat kadar gula naik.

Hasil wawancara diatas didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Penckofer dkk (2012) menemukan bahwa frekuensi fluktuasi tingkat gula darah dengan DM tipe 2 berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah, dan suasana hati, mood/ emosi yang negatif. Lebih lanjut Penckofer (2012) juga menjelaskan bahwa reaksi hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dapat mempengaruhi emosi, selain itu emosi juga dapat mempengaruhi kadar gula darah dan kontrol pasien dengan DM. Dengan adanya dampak yang ditimbulkan oleh naik turunnya tingkat gula darah yang mempengaruhi kondisi emosional dan sebaliknya, maka diperlukan adanya pengendalian emosi yang biasa disebut dengan regulasi emosi.

Dengan adanya dampak psikologis yang dirasakan saat gula darah pasien naik, maka salah satu cara yang bisa dilakukan untuk melakukan regulasi emosi adalah dengan self-compassion. Sejalan dengan Guendelman dkk (2017) mengatakan bahwa komponen compassion yang terdiri dari

(17)

dapat mempengaruhi aspek-aspek regulasi emosi seperti, strategi regulasi emosi (strategi), perilaku untuk mencapai tujuan (tujuan), mengontrol respon-respon emosional (impuls), penerimaan respon-respons emosional. Karena, komponen self-compassion merupakan keseluruhan dari keadaan penuh perhatian yang dimiliki oleh seseorang yang dapat digunakan untuk melakukan strategi regulasi emosi yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan yang dimiliki, dengan mengontrol perasaan negatif, dan menerima peristiwa yang menimbulkan emosi negatif. Sehingga, yang muncul adalah kebaikan untuk mengontrol emosinya. Kebaikan akan membawa hal positif, yang berpotensi dan mendorong seseorang menuju perubahan dengan cara yang lebih efektif.

Sehingga Neff (2003) lebih lanjut mendefinisikan bahwa komponen dari

compassion perlu dilibatkan untuk regulasi emosi diantaranya yaitu self-kindness, common humanity, mindfulness. Neff (dalam Consedine, dkk, 2015)

juga menjelaskan bahwa adanya konsep kasih sayang terhadap diri sendiri terdiri dari 3 komponen yang semuanya relevan dan sangat dibutuhkan oleh pasien diabetes mellitus. Komponen yang pertama yaitu self-kindness (kebaikan) yang mengacu pada kecenderungan untuk peduli dan memahami diri sendiri. Kedua, common humanity (sifat manusiawi)/ kemanusiaan yang mengakui bahwa semua manusia tidak ada yang sempurna. Komponen yang terakhir yaitu mindfullness (kesadaran terhadap diri sendiri)/ kesadaran yang melibatkan kesadaran pada diri sendiri melalui pengalaman pada kondisi saat

(18)

ini, sehingga tidak ada satu halpun yang diabaikan dalam upaya menyayangi diri sendiri pada pasien diabetes mellitus.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Consedine dkk (2015) juga menyatakan bahwa komponen dari self compassion adalah self-kindness,

common humanity, mindfullnes. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa self-compassion yang bisa dilakukan oleh diri sendiri penting dimiliki, hal ini

karena partisipasi aktif dari pasien diabetes mellitus sendiri diperlukan untuk untuk meningkatkan pengelolaan kadar glukosa darah, mencegah terjadinya komplikasi yang parah, dan meningkatkan kondisi pasien diabetes mellitus mulai dari fisik maupun psikisnya. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anna dkk (2016) menyatakan bahwa pasien DM tipe 2 lebih membutuhkan adanya self-compassion yaitu rasa kasih sayang terhadap diri sendiri karena mengingat dampak yang ditimbulkan oleh DM tipe 2, maka belajar menjadi ramah terhadap diri sendiri akan memiliki manfaat baik antara pasien dengan DM yang dialami.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan antara Self-Compassion dengan Regulasi Emosi Pada Pasien

Diabetes Mellitus Tipe 2 Di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang hendak diteliti yaitu “Apakah ada hubungan antara self-compassion dengan regulasi emosi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga ?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara

self-compassion dengan regulasi emosi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di

RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan bidang ilmu psikologi khususnya pada bidang psikologi klinis.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan bagi masyarakat umum, terutama bagi pasien DM tipe 2 mengenai pentingnya merawat diri dengan penuh rasa kasih sayang terhadap diri sendiri, baik dalam kondisi kesehatan yang stabil maupun tidak stabil. Sehingga, adanya kehidupan yang sehat dan sejahtera secara psikologis maupun fisiologis di setiap kalangan masyarakat.

Gambar

Tabel 1. Data Rekamedik Pasien DM tipe 2 di RSUD dr. R. Goeteng  Taroenadibrata Kabupaten Purbalingga :

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan pula bahwa kecepatan transisi di perkotaan dan pedesaan tidak sama, yang didukung oleh data survei 2001 dimana di pedesaan angka kematian infeksi yang masih

Anda dikehendaki menggunakan konsep “connection of instances” untuk modul peringkat atasan, yang mana modul peringkat atasan hanya mengandungi beberapa “instances” bagi

Urusan pendidikan dan kebudayaan sudah dimasukkan dalam tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan (dan kebu- dayaan) Daerah.. Kelembagaan Pendidikan di Tingkat Dinas.

Wawancara dilakukan untuk mengetahui masalah yang timbul atau dialami langsung oleh yang bersangkutan. Dalam kegiatan ini diajukan pertanyaan lisan dalam usaha

Berdasarkan penelitian efektivitas model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) berbasis e-komik pada materi limit fungsi kelas XI IPA

LOGISTIK & FASILITAS - PERALATAN KEPALA SEKSI PELAYANAN KEPALA SEKSI JANG-OP KEPALA UNIT KOMUNIKASI KEPALA UNIT TI /SI KEPALA UNIT MAK-MIN KEPALA UNIT PEKERJA /SDM KEPALA

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang diangkat penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Bagaimana pengaruh produksi, harga

Jumlah responden yang dilibatkan dalam penelitian adalah 60 siswa siswi berumur 10 sampai 12 tahun yang memenuhi persyaratan yaitu siswa siswi yang mengalami