• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian Teori Pengertian Pendekatan Pembelajaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian Teori Pengertian Pendekatan Pembelajaran"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1.Pengertian Pendekatan Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, taktik pembelajaran, dan model pembelajaran. Berikut ini akan di paparkan istilah tentang (pendekatan pembelajaran) khususnya untuk menunjang keperluan penelitian mengengai efektivitas pendekatan tersebut.

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu (Akhmad sudrajat 2008). Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. (Newman dan Logan ; Abin Syamsuddin Makmun, 2003) Dalam Akhmad Sudrajat mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:

(2)

1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.

2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.

3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.

4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.

Jika diterapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:

1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.

2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.

3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.

4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.

Sementara itu, (Kemp ; Wina Senjaya, 2008) Dalam Akhmad sudrajat 2008, mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, Akhmad sudrajat 2008 dengan mengutip pemikiran (J. R David, Wina Senjaya 2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.

(3)

2.1.1.2 Macam-macam Pendekatan dalam Pembelajaran Matematika

Ada empat macam pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan proses matematisasi. Sebelum membahas keempat sifat pembelajaran tersebut, maka perlu diketahui terlebih dahulu komponen-komponen matematisasi. Menurut Fajar arwadi (2008), Freudenthal (1905-1990) menyatakan bahwa, matematisasi adalah adalah proses kunci dalam pendidikan matematika. Adapun dua komponen yang harus dipahami yaitu:

1. Mmatematika tidak hanya aktivitas pada seorang matematikawan, ia juga dapat membiasakan siswa dengan pendekatan matematika dalam aturan sehari-hari.

2. Matematisasi menghubungkan ide penemuan kembali, suatu proses dimana siswa memformalkan pemahaman informal dan intuisi mereka. Proses penemuan kembali melibatkan dua aspek yakni matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal matematisasi horisontal menyangkut proses transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri (Akhmad sudrajat 2008). Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa Fajar arwadi(2008) Sedangkan contoh matematisasi vertical menurut (Fajar Arwadi 2008) adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian.

(4)

Bersangkutan pada hal-hal di atas, (De Lange 1978 : 01) dalam Fajar Arwadi mengidentifikasi beberapa pendekatan pembelajaran dilihat dari proses matematisasi yang disajikan dalam tabel berikut:

Pendekatan Horizontal Vertikal

Mekanistik - -

Empiristik + -

Strukturalistik - +

Realistik + +

Tabel 2.1. Pendekatan pembelajaran matematika

a. Pendekatan Mekanistik

Terlihat pada tabel 2.1 bahwa pembelajaran mekanistik tidak mempunyai proses horizontal maupun vertikal. Dalam pembelajaran tipe ini, bagian permulaan pada pembelajaran dimulai langsung ditingkat formal yakni simbol-simbol yang tidak bermakna. Bahan yang diajarkan hanya bersifat aturan-aturan dan rumus belaka.

b. Pendekatan Strukturalistik

Pendekatan strukturalistik, sebagaimana terlihat di tabel 2.1, terlihat adanya matematisasi vertikal. Pembelajarannya juga bermula pada tingkat formal, namun berbeda dengan pembelajaran mekanistik, pendekatan ini menggunakan pengkongkretan berbagai operasi dan struktur dalam matematika untuk merepresentasikan sistem subjek secara kongkret dan jelas. Namun, pendekatan ini kurang dalam hal penggunaan aplikasi sehari-hari dalam kaitannya dengan matematika.

(5)

Dalam pendekatan empiristik, pembelajaran dimulai dari tingkat informal yakni dalam hal mental aritmetika. Namun, pembelajaran tidak berlanjut pada tingkat yang lebih formal.

d. Pendekatan Realistik

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang memuat dua macam matematisasi. Di mana pembelajaran berawal dari tahap informal, yang kemudian siswa diajak untuk melakukan matematisasi pada dunia nyata yang direpresentasikan ke dalam dunia simbol. Setelah itu, siswa dapat melakukan matematisasi vertikal, yakni proses menggunakan model-model guna mencapai kesimpulan yang lebih umum. Pendekatan ini mulai digunakan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia yang diwujudkan dalam suatu pendekatan yakni Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang di ambil dari Realistic Mathematics Education (RME). Hal ini menjadi salah satu factor pendukung yang sangat kuat diadakanya penelitian tentang efektivitas RME terhadap hasil belajar mengingat dalam table di atas menunjukan pengaruh positif.

2.1.2 Pendekatan matematika realistic PMRI (Realistic Mathematics Education (RME)

Realistic Mathematics Eeducation (RME), yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik (PMR), adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) dalam Yusuf Hartono, bahwa matematika adalah kegiatan manusia (human activity). Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. (Freudenthal dalam Zainurie, 2007) dalam penelitian Evi Soviawati (2011) mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika

(6)

merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata.

2.1.2.1 Karakteristik RME

Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Yusuf Hartono dalam Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:

1. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.

2. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.

3. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun hasilnya).

4. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.

5. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubungannya.

6. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.

(7)

7. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).

Yusuf Hartono mengemukakan beberapa hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan matematika realistik di atas adalah bahwa pembelajaran matematika realistik

1. termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran matematika dilakukan melalui ” belajar dengan mengerjakan;.”

2. termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mereka memecahkan masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi dan kemampuan mereka, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator;

3. termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa dikondisikan untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip matematika melalui dunia nyata;

4. termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal pembelajaran matematika adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa (Dunia nyata);

5. termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika mereka dengan memecahkan masalah dan diskusi.

Dua catatan terakhir di atas menegaskan bahwa secara prinsip pendekatan matematika realistik merupakan gabungan pendekatan konstruktivisme dan kontekstual dalam arti memberi kesempatan kepada siswa untuk membentuk (mengkonstruksi) sendiri pemahaman mereka tentang ide dan konsep matematika, melalui penyelesaian masalah dunia nyata (Yusuf Hartono).

(8)

2.1.2.2 Langkah – langkah Pembelajaran RME

Secara umum langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat Zulkardi, 2002) dalam Yusuf Hartono:

1. Persiapan

Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.

2. Pembukaan

Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.

3. Proses pembelajaran

Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.

4. Penutup

Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

(9)

2.1.2.3 Konsepsi RME

Menurut Supinah (2008) mengemukakan beberapa konsepsi PMRI tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga PMRI pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

a. Konsepsi PMRI tentang siswa adalah sebagai berikut.

1. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;

2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentukpengetahuan itu untuk dirinya sendiri;

3. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan;

4. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;

5. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

b. Konsepsi PMRI tentang guru adalah sebagai berikut. 1) Guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran;

2) Guru harus mampu membangun pembelajaran yang interaktif;

3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan

4) Guru tidak terpancang pada materi yang ada didalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil,baik fisikmaupun sosial.

c. Konsepsi PMRI tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-aspek berikut :

(10)

1) Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’ bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. 2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut;

3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/permasalahan yang diajukan;

4) Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.

2.1.2.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Suwarsono(2001:5-10) dalam Warman 2008 , kekuatan atau kelebihan pembelajaran matematika realistik antara lain memberikan pengertian yang jelas kepada siswa:

(1) tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia; (2) matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika; (3) cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak usah harus sama antara orang yang satu dengan yang lainnya; (4) mempelajari matematika proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri proses itu dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan guru; (5) memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga dianggap unggul yaitu antara lain pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme, dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan. Kelemahan pembelajaran matematika realistik menurut Suwarsono antara lain: (1) pencarian soal-soal yang kontekstual tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa; (2) penilaian dalam pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada dalam pembelajaran konvensional; (3) pemilihan alat peraga harus cermat

(11)

sehingga dapat membantu proses berpikir siswa. Cara mengatasi kelemahan pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan upaya-upaya antara lain: (1) memotifasi semua siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran; (2) memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan; (3) memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep, dan (4) menggunakan alat peraga yang sesuai sehingga dapat membantu proses berpikir siswa, maka pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep matematika.

2.1.3 Hakekat Matematika

Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta,medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia (Sri Subariah,2006:1) dalam wahyudi 2010. Menurut Herman Hudojo (1979: 97) dalam Ali Mahmudi mengemukakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungannya yang diatur dengan konsep-konsep abstrak. Menurut Ruseffendi (1993) dalam Wahyudi (2010),menyatakan bahwa matematika adalah terjemahan dari Mathematics.Namun arti atau definisi yang tepat tidak dapat diterapkan secara eksak (pasti) dan singkat karena cabang-cabang matematika makin lama makin bertambah dan makin bercampur satu sama lainnya. Rusefendi (1993: 27-28) Dalam Wahyudi (2010) menyatakan matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definesi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif. Menurut Soedjadi (1999: 138) dalam Ali Mahmudi mengemukakan bahwa matematika adalah salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Menurut (Sutawijaya,1997:176) dalam Siti Hawa, matematika mengkaji benda abstrak (benda pikiran) yang disusun dalam suatu sistem aksiomatis dengan menggunakan simbol (lambang) dan penalaran deduktif.

Untuk keperluan inilah, maka diperluan adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekedar hafalan atau mengingat fakta saja, karena hal ini akan mudah dilupakan siswa. Pepatah Cina mengatakan, “Saya

(12)

mendengar maka saya lupa, saya melihat maka saya tahu, saya berbuat maka saya mengerti”.

Wahyudi (2010) juga mengutip beberapa definisi matematika dalam Rusefendi menurut pendapat beberapa ahli, yaitu:

1) Menurut James & James matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.

2) Menurut Johnson & Rising matematika merupakan pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian logik, pengetahuan struktur yang terorganisasi memuat: sifat-sifat, teori-teori

dibuat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya (Reseffendi, 1993: 28).

3) Menurut Reys matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat (Reseffendi, 1993: 28)

4) Menurut Kline matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karenadirinya sendiri, tetapi keberadaanya karena untuk membantu manusia dalam memahamidan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam (Reseffendi, 1993: 28)

Dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga mereka dapat mempelajari matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang komplek.

(13)

2.1.3.1 Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern yang memajukan daya piker manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika khususnya di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit (Wahyudi ,2010). Untuk menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendasar tentang fungsi dan tujuan pembelajaran matematika khususnya di Sekolah Dasar yang akan mendasari perkembangan pemahaman anak terhadap matematika selanjutnya.

Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar. Hal ini dimaksudkan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.

2.1.3.2 Tujuan dan ruang lingkup metematika di sekolah dasar.

Menurut Badan Standart Nasional Pendidikan (2006) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah untuk:

a) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep danmengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalampemecahan masalah

b) penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

(14)

c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model

matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

d) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untukmemperjelas keadaan atau masalah.

e) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,yaitu memiliki rasa

ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet danpercaya diri dalam pemecahan masalah.

Ruang lingkup matematika di sekolah dasar menurut KTSP 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Bilangan

2. Geometri dan pengukuran 3. Pengolahan data

2.1.4 Karakteristik siswa SD

Sependapat dengan piaget Perkembangan kognitif anak SD dalam fase operasional konkrit (6-12 tahun), anak memiliki pengetahuan melalui operasi benda-benda konkrit (Wahyudi 2010). Pembelajaran dengan menggunakan referensi benda konkrit sangat membantu anak memahami simbol-simbol abstrak. perkembangan intelektual anak sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Nama-nama objek (kata benda) tampaknya lebih mudah untuk dipetakan secara cepat dibandingkan dengan nama-nama tindakan (kata kerja), yang kurang kongkret. Pada usia 5 hingga 7 tahun, kemampuan bicara anak-anak menjadi sangat mirip dengan orang dewasa Wahyudi (2010). Mereka berbicara dalam kalimat yang lebih panjang dan lebih rumit. Mereka menggunakan lebih banyak kata hubung, kata depan, dan artikel. Mereka menggunakan kalimat kompleks dan susunan dan dapat menangani semua bagian pembicaraan (Wahyudi 2010). Masih lagi, saat anak-anak pada usia ini

(15)

berbicara secara lancar, dapat dimengerti dan benar menurut tata bahasa, mereka harus menguasai beberapa poin bahasa. Ada dua proses yang memungkinkan perubahan ini. Asimilasi merupakan proses kognitif yang menggabungkan informasi dari lingkungan ke dalam skemata yang ada. Sebaliknya, akomodasi adalah proses kognitif yang mengubah skemata yang ada atau membuat skemata baru untuk menyesuaikan dengan lingkungan (Wahyudi 2010). Melalui asimilasi, anak-anak menambahkan informasi baru ke dalam gambaran mereka tentang dunia; melalui akomodasi, mereka mengubah gambaran mereka tentang dunia berdasarkan informasi baru. Menurut Wahyudi dalam Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;

a) Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)

Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.

b) Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)

Oprasiaonal (Menurut somakim 2010) adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori. Pada periode ini anak di dalam berpikirnya tidak didasarkan

kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. motor Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif Tahap itu dibagi menjadi dua, yaitu pemikiran simbolis dan pemikiran intuitif. Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami objek. Tahap intuitif (umur 4-8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata.

(16)

c) Karakteristik Tahap Operasional konkret (umur 7/8 – 11/ 12 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturanaturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan (Wahyudi 2010).

Karakteristik tahap operasional konkret : 1) Sistem kekekalan

2) Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh 3) Melihat dari berbagai segi

4) Seriasi 5) Klasifikasi 6) Bilangan

7) Ruang, waktu dan kecepatan 8) Kausalitas

9) Probabilitas 10) Penalaran

11) Egosentrisme dan sosialisme

d) Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat:

1) Bekerja secara efektif dan sistematis 2) Menganalisis secara kombinasi 3) Berpikir secara proporsional

4) Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.

Identifikasi karakteristik siswa SD ini akan menjadi dasar dalam melakukan penelitian efektivitas pembelajaran RME. secara optimal agar dapat

(17)

dilaksanakan dengan baik dan dapatmencapai tujuan yang diharapkan. Sesuai dengan subyek yang telah ditentukan, yaitu siswa kelas V (masa operasional konkret) yaitu pada usia 11/12-18 tahun.

2.1.5 Pengertian Belajar

Menurut Winkel (1996) belajar adalah suatu aktivitas mental /psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap.

Suryabrata (1998) mengemukakan bahwa belajar itu membawa perubahan, perubahan tersebut didapatkan dari kecakapan baru, dan perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha.

Sedangkan Syaiful (2009) mengungkapkan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan jiwa raga yang menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, afektif, dn psikomotorik.

Selain itu Slameto (2010) berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.

Dalam KLBI, (2005:22) Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; membaca, berlatih; bertingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman .

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang yang menghasilkan perubahan sebagai peningkatan dalam kecakapan, sikap, pemahaman, keterampilan dan daya pikir dalam interaksi dengan lingkungannya.

(18)

2.1.5.1 Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008:22). Sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan guru mengajar dan keberhasilan siswa dalam belajar, setiap akhir pelajaran diadakan evaluasi belajar yang bertujuan untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai anak didik dalam proses belajar mengajar disebut juga dengan hasil belajar. Hasil adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disjiakan kepada mereka dan nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum.

Setiap guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran.

Klasifikasi hasil belajar menurut Suprijono (2009) secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris.

1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual. 2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.

3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditegaskan bahwa salah satu fungsi hasil belajar siswa diantaranya ialah siswa dapat mencapai prestasi yang

(19)

maksimal sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki, serta siswa dapat mengatasi berbagai macam kesulitan belajar yang mereka alami. Aktivitas siswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya aktivitas siswa maka proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik, akibatnya hasil belajar yang dicapai siswa rendah. Untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Hasil belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik menggunakan alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek kognitif digunakan alat penilaian yang berupa tes, sedangkan untuk aspek afektif digunakan alat penilaian yaitu skala sikap (ceklist) untuk mengetahui sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik digunakan lembar observasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan menggunakan suatu alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak siswa dalam mengikuti pembelajaran.

Namun dalam penelitian ini hasil belajar yang akan diteliti adalah aspek kognitif khususnya. Karena dalam model eksperimen ini yang akan dijadikan tolak ukur bahwa RME evektif terhadap hasil belajar adalah hasil tes yang berupa nilai (angka).

(20)

2.1.5.2 Faktor – Faktor Yang Mempengarui Hasil Belajar

Aktivitas belajar siswa tidak selamanya berlangsung wajar, kadang-kadang lancar dan kadang-kadang-kadang-kadang tidak, kadang-kadang-kadang-kadang cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami. Dalam hal semangat pun kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang sulit untuk bias berkosentrasi dalam belajar. Demikian kenyataan yang sering kita jumpai pada setiap siswa dalam kehidupannya sehari-hari di dalam aktivitas belajar mengajar.

Setiap siswa memang tidak ada yang sama, perbedaan individual inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan siswa, sehingga menyebabkan perbedaan dalam hasil belajar Slameto (2010). Hasil belajar merupakan hasil dari suatu proses yang di dalamnya terdapat sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, tinggi rendahnya prestasi belajar siswa tergantung pada faktor-faktor tersebut.

Sedangkan menurut Sulistyaningsih (2010-2011) dalam Muhibbinsyah, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Faktor Internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani atau rohani siswa

2. Faktor Eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan sekitar siswa

3. Faktor Pendekatan Belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.

Adapun yang tergolong faktor internal adalah : a) Faktor Fisiologis

Keadaan fisik yang sehat dan segar serta kuat akan menguntungkan dan memberikan hasil belajar yang baik. Tetapi keadaan fisik yang kurang baik akan berpengaruh pada siswa dalam keadaan belajarnya.

(21)

Yang termasuk dalam faktor psikologis adalah intelegensi, perhatian, minat, motivasi dan bakat yang ada dalam diri siswa antara lain:

1. Intelegensi, faktor ini berkaitan dengan Intellegency Question (IQ) seseorang

2. Perhatian, perhatian yang terarah dengan baik akan menghasilkan pemahaman dan kemampuan yang mantap.

3. Minat, Kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.

4. Motivasi, merupakan keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.

5. Bakat, kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yag akan datang.

Adapun yang termasuk golongan faktor eksternal adalah: a. Faktor Sosial, yang terdiri dari:

1. Lingkungan keluarga 2. Lingkungan sekolah 3. Lingkungan masyarakat b. Faktor Non Sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial adalah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga dan letaknya, alatalat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

(22)

2.1.6 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Prasetiawan, Didik Rohmani, 2011. Upaya Meningkatkan Kemampuan Menentukan KPK Dan FPB Melalui Pendekatan Matematika Realistik Pada Siswa Kelas IV SDN Lesanpuro 3 Kota Malang. Penelitian Tindakan Kelas, Program S1 PGSD, Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar dan Prasekolah Universitas Negeri Malang. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan penerapan pendekatan matematika realistik pada mata pelajaran Matematika tentang pemahaman dalam menentukan KPK dan FPB pada siswa kelas IV SDN Lesanpuro 3, (2) mendeskripsikan peningkatan kemampuan siswa pada mata pelajaran Matematika tentang pemahaman dalam menentukan KPK dan FPB melalui pendekatan matematika realistik, (3) mendeskripsikan peningkatan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Matematika Pada siklus I aktivitas siswa selama proses belajar mengajar berlangsung sebesar 51,19%, meningkat pada siklus 2 menjadi 80,64%, dan hasil belajar pada siklus I mempunyai rata-rata kelas sebesar 64,5 meningkat pada siklus II menjadi 87,09.

Penelitian yang dilakukan oleh Fajrusati (2009) yang berjudul “Meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah melalui pendekatan pendidikan matematika realistic Indonesia (PMRI) pada pembelajaran matematika pokok bahasan perkalian di kelas III SD sultan agung yogyakarta “Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah melalui pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di kelas IIIB SDIT Sultan Agung Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran matematika pada pokok bahasan perkalian dengan pendekatan PMRI di kelas IIIB SDIT Sultan Agung Yogyakarta. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru mata pelajaran Matematika kelas IIIB SDIT Sultan Agung Yogyakarta. Penelitian tindakan dilaksanakan dalam dua siklus, dengan siklus I terdiri dari tiga pertemuan dan siklus II terdiri dari dua pertemuan. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi, hasil wawancara, hasil tes belajar, catatan lapangan, dan dokumentasi. Hal ini

(23)

sukses membawa perubahan positif ditunjukkan dengan adanya peningkatan skor nilai rata-rata kelas dari tes hasil belajar pada akhir siklus I sebesar 52,95 dengan kriteria cukup dan pada akhir siklus II sebesar 66,57 dengan kriteria baik.

Berdasarkan hasil dua penelitian di atas maka peneliti ingin membuktikan kembali keefektivan RME. Karena hasil dari dua penelitian di atas menunjukkan bahwa setelah diterapkan pendekatan PMRI pada pembelajaran matematika pokok bahasan perkalian dilaksanakan sesuai dengan lima karakteristik PMRI yaitu: 1) digunakannya konteks “dunia nyata”, 2) digunakannya model-model matematika, 3) digunakannya produksi dan konstruksi dalam pembelajaran, 4) adanya interaksi, 5) adanya keterkaitan, dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan penyajian deskripsi teoritik dapat disusun suatu kerangka berpikir untuk memperjelas arah dan maksud penelitian. Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan variabel yang dipakai dalam penelitian yaitu efektivitas pendekatan matematika realistic terhadap hasil belajar siswa kelas V SD .

Dalam penelitian ini kegiatan belajar mengajar mengacu pada pemanfaatan pendekatan matematika realistic ini diharapkan akan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, mengurangi rasa jenuh siswa belajar di dalam kelas, memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak bergerak dan bereksplorasi serta bermain dan belajar dengan lingkungan alam sekitar. Sehingga dapat tercipta kondisi belajar yang lebih aktif, efektif, kreatif dan menyenangkan. Dengan demikian materi pelajaran akan lebih mudah disampaikan oleh guru dan mudah diterima oleh peserta didik, serta daya ingat peserta didik akan lebih kuat karena mereka belajar dengan mengalami, melihat, mengamati dan melakukan secara langsung sehingga hasil belajar siswa akan meningkat.

(24)

Berikut bagan kerangka berpikir evektifitas pendekatan matematika realistic dengan metode simulasi terhadap hasil belajar siswakelas V SD.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan “Ada peningkatan hasil belajar yang positif dan signifikan dari penerapan pendekatan matematika realistic terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD N Rapah 03 Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Kondisi awal siswa sama Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Perlakuan Konvensional Perlakuan Pemanfaatan PMR Hasil Belajar

Gambar

Tabel 2.1. Pendekatan pembelajaran matematika
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir  2.4  Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam dua sik- lus, dapat disimpulkan bahwa melalui pene- rapan model pembelajaran Think Talk Write

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser pelekatan resin komposit packable dengan intermediate layer resin komposit flowable menggunakan

Salah satu bentuk pengembangan tersebut berhubungan dengan peningkatan kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap prilaku bagi pegawai di setiap unit

Secara akademis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para paraktisi pendidikan, khususnya bagi sekolah dasar dan para guru dalam memberikan layanan belajar

Administrator adalah pengguna yang dipercaya untuk mengelola data master seperti data operator, biaya kendaraan, parkir gratis, slot parkir, parkir keluar, dan

a. Jenis-jenis industri yang menjadi industri unggulan di Provinsi Jawa Tengah antara lain industri minuman, industri pengolahan tembakau, industri tekstil, industri pakaian jadi,

Predictors: (Constant), Independensi, Pengalaman, Etika, RA, Keahlian, SP. Dependent