• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Metode Destilasi, Produk Unggulan, dan Lokasi Industri. 4.1.3 Metode Destilasi Minyak Pala

Dalam menentukan metode destilasi minyak pala, ada beberapa kriteria yang menjadi acuan dalam memilih alternatif metode destilasi dalam rangka mencukupi kebutuhan akan minyak pala. Untuk itu dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner terhadap pakar. Untuk mengetahui metode destilasi minyak pala yang menjadi prioritas, diidentifikasi tiga alternatif metode destilasi yakni metode perebusan, metode pengukusan, dan metode uap langsung.

Dari hasil pengisian kuesioner oleh responden dan pengolahan data melalui metode MPE maka didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

Nilai Alternatif Metode No. Kriteria Bobot Perebusan Pengukusan

Uap Langsung

1 Kemudahan 5 4.00 3.50 4.00

2 Sesuai dana yang tersedia 5 3.50 4.00 4.00 3 Sesuai tingkat penerimaan masyarakat 4 3.50 4.00 3.50 4 Sesuai tingkat pengetahuan masyarakat 4 2.50 4.50 4.50 5 Kebutuhan lahan minimum 3 3.50 4.00 3.50 6 Pencemaran minimum 3 3.00 3.00 3.00 TOTAL 1.808 2.306 2.678 RANKING 3 2 1

Metode perebusan dilakukan melalui langkah-langkah bahan direbus di dalam air mendidih, minyak atsiri akan menguap bersama uap air, kemudian dilewatkan melalui kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan dalam hal ini alat suling perebus. Metode pengukusan dilakukan melalui langkah-langkah bahan dikukus dalam ketel yang konstruksinya hampir sama dengan dandang. Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang dialirkan ke kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan alat suling pengukus. Metode

(2)

uap langsung dilakukan melalui langkah bahan dialiri dengan uap yang berasal

dari ketel pembangkit uap. Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang dialirkan ke kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan alat suling uap langsung. Pada Tabel 7 terlihat responden memberikan bobot paling tinggi terhadap kriteria kemudahan dan sesuai dengan dana yang tersedia.

Kemudahan. Berdasarkan wawancara dengan salah satu responden pakar kendala yang selama ini dihadapi dalam pengembangan industri minyak pala selain kurangnya bahan baku adalah masih terbatasnya sumber daya manusia yang mengerti betul tentang metode destilasi minyak pala. Hal ini juga terkait dengan pengetahuan dan keterampilan dari pelaku industri tersebut. Untuk industri pengolahan skala kecil kemudahan metode penyulingan dan harga alat yang tidak terlalu mahal biasanya menjadi pilihan.

Sesuai dengan dana yang tersedia. Pertimbangan akan ketersediaan dana akan menentukan kelancaran pengembangan industri produk olahan minyak pala. Dana ini berfungsi sebagai modal awal bagi pengembangan industri terutama dalam hal investasi baik itu untuk sewa/beli tanah dan bangunan, fasilitas dan alat-alat yang diperlukan, gaji bagi pegawai/pekerja, biaya administrasi, biaya bahan baku dan pembantu, serta biaya operasional lainnya. Besarnya dana ini bergantung kepada rencana anggaran dan belanja daerah yang disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Dari besarnya dana yang tersedia ini akan menentukan kapasitas industri yang akan dikembangkan.

Sesuai dengan penerimaan masyarakat. Kriteria ini menempati prioritas ketiga dari bobot yang diberikan oleh responden. Pemilihan metode destilasi minyak pala harus sesuai dengan tingkat penerimaan masyarakat terutama dalam hal penerimaan terhadap dampak, penerimaan terhadap biaya dan keuntungan yang diperoleh dari masing-masing pilihan metode tersebut. Oleh karena itu metode destilasi yang akan dipilih harus disosialisasikan/diperkenalkan kepada masyarakat Kabupaten Bogor yang akan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dari rencana pengembangan industri produk olahan minyak pala ini.

Sesuai dengan pengetahuan masyarakat. Pengetahuan masyarakat akan metode destilasi minyak pala penting untuk dipertimbangkan, karena masyarakat nantinya akan menjadi pelaku utama. Selain itu, pengetahuan ini akan

(3)

memudahkan dalam pelaksanaan operasional dan teknis dalam penyediaan

minyak pala sebagai bahan baku industri.

Kebutuhan akan lahan yang minim. Dua kriteria terakhir yang memperoleh bobot paling rendah dari responden adalah kebutuhan akan lahan yang minim dan tingkat pencemaran yang minim. Kebutuhan lahan berpengaruh terhadap biaya terutama biaya sewa atau beli lahan. Selain itu kebutuhan akan lahan juga harus disesuaikan dengan kapasitas industri produk olahan minyak pala yang akan dikembangkan. Metode destilasi juga menentukan seberapa luas lahan yang dibutuhkan. Namun sesuai penilaian responden kriteria ini bukan merupakan prioritas yang didahulukan.

Tingkat Pencemaran yang minim. Kriteria tingkat pencemaran yang minim menunjukkan seberapa besar dampak pencemaran terhadap lingkungan baik itu tanah, air, dan udara serta gangguan-gangguan lain yang akan merugikan masyarakat sekitar industri. Dengan semakin minimnya pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, akan semakin meningkatkan kualitas lingkungan sekitar dan juga akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat semakin berperan secara aktif sehingga tujuan untuk memberdayakan masyarakat Kabupaten Bogor akan tercapai. Kriteria ini menduduki peringkat terkahir dari pembobotan responden karena ketiga alternatif metode destilasi memang tidak menimbulkan dampak pencemaran yang serius dan merugikan, kecuali sisa ampas penyulingan yang tentunya memerlukan tempat pembuangan tersendiri namun tidak mencemari lingkungan.

Metode destilasi uap langsung menjadi prioritas pilihan dari responden karena metode uap langsung dianggap paling efisien dibandingkan metode lainnya, selain itu karena hasil minyak pala yang diharapkan berupa mutu dan rendemen menjadi lebih baik. Apabila dibandingkan dengan metode pengukusan harga alat memang tidak terlalu mahal dibandingkan dengan metode uap langsung, namun metode uap langsung tetap paling efisien dan relatif lebih banyak digunakan untuk skala usaha besar, sedangkan pengukusan banyak digunakan untuk skala usaha kecil seperti yang banyak dilakukan oleh petani. Tentu saja untuk mencukupi kebutuhan industri diperlukan minyak pala yang banyak, sehingga dapat dibayangkan jika menggunakan metode pengukusan, efisiensi dan mutu minyak yang baik kurang dari yang diharapkan. Selain itu

(4)

dengan metode uap langsung proses destilasinya juga lebih cepat/lebih pendek

dibanding metode yang lain dan komponen yang diinginkan dengan destilasi tersebut dapat dihasilkan dengan kadar yang lebih tinggi.

Metode perebusan memperoleh prioritas paling rendah karena selain metode ini adalah cara lama dan sederhana, metode ini juga mempunyai kelemahan, sehingga rendemen dan mutunya terutama kadar myristisinnya rendah. Namun demikian terdapat banyak variasi dari model dan sistim penyulingan yang dipakai oleh pengrajin minyak pala. Pada studi kasus di salah satu tempat penyulingan di Bogor yang memakai boiler terpisah telah dilakukan usaha perbaikan diantaranya pada sistem supplai air, cara penempatan bahan, dan sistem penyebaran uapnya. (Nurdjanah 2007).

Sesuai pengujian yang pernah dilakukan oleh pakar Nurdjannah N dan Hidayat (2005) pada penggunaan alat penyuling dengan metode uap langsung yang telah mengalami perbaikan diketahui bahwa total produksi minyak biji pala dengan waktu penyulingan 24 jam adalah rendemen 8,5%, v/b. Pengujian laboratorium menunjukkan bahwa sisa minyak dalam ampas penyulingan sebesar 0,8%, b/v. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada penyulingan selama 24 jam hampir seluruh minyak dalam biji pala sudah tersuling (91,4%) sehingga secara teknis kinerja alat penyuling dengan metode uap langsung yang sudah diperbaiki cukup memadai. Bila pada penyulingan tradisional lama penyulingan bisa lebih dari 30 jam, dengan metode ini waktu penyulingan yang masih dianggap ekonomis yaitu penyulingan sampai 22 jam. Kadar myristisin dalam minyak hasil penyulingan 24 jam menjadi cukup tinggi (9,37%).

4.1.1 Produk Olahan Unggulan Minyak Pala

Minyak pala memiliki banyak sekali kegunaan. Minyak pala dan fuli digunakan sebagai penambah flavor pada produk-produk olahan daging, pikel, saus, dan sup, serta untuk menetralkan bau yang tidak menyenangkan dari rebusan kubis (Lewis, diacu dalam Librianto 2004). Pada industri Parfum, minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar ruangan. Minyak pala yang berasal dari biji, fuli dan daun banyak digunakan untuk industri obat-obatan, serta parfum dan kosmetik. Akhir-akhir ini ada

(5)

perkembangan baru pemanfaatan minyak atsiri pala, yaitu sebagai bahan baku

dalam aromaterapi. Di Jepang beberapa perusahaan menyemprotkan aroma minyak pala melalui sistem sirkulasi udara untuk meningkatkan kualitas udara dan lingkungan. Untuk tujuan yang sama akhir-akhir ini banyak dijumpai penggunaannya dalam bentuk lain yaitu dalam bentuk potpourri, lilin beraroma,

atomizer, dan produk-produk pewangi lainnya (Nurdjannah 2007).

Dengan beragamnya produk olahan yang dapat dihasilkan dari minyak pala maka diadakan penyaringan melalui jajak pendapat dengan alat bantu kuesioner dengan responden. Berdasarkan hasil pendapat para responden pakar, terdapat empat produk yang paling potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Bogor dengan melihat kondisi sosial ekonomi khususnya pemakai produk olahan yang berkembang di Bogor. Pemilihan keempat produk berdasarkan suara terbanyak dari responden terhadap setiap produk olahan minyak pala. Produk olahan minyak pala itu sendiri memilki batasan, bahwa minyak pala yang dihasilkan dari bahan baku yang baik akan menghasilkan kadar myristicin tertentu, biasanya langsung diekspor karena langsung memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sepanjang memenuhi kualitas/standar yang sudah ditentukan. Sementara itu hasil produksi minyak pala yang berada dibawah kualitas ekspor, nantinya akan dikembangkan lebih lanjut pemanfaatannya melalui strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala.

Setelah dilakukan inventarisasi terhadap produk-produk unggulan dari minyak pala, selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap produk-produk unggulan olahan minyak pala yang diperkirakan dapat dikembangkan dan dijadikan andalan dan berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Bogor yaitu daging olahan, sabun, parfum dan kosmetik, serta obat-obatan. Pendekatan yang digunakan adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dengan menggunakan kriteria-kriteria melalui pertimbangan pendapat responden. Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan juga melalui pengisian kuesioner dengan menggunakan metode justifikasi yaitu pemberian bobot terhadap kriteria diberikan secara langsung oleh pakar tanpa melakukan perbandingan relatif terhadap kriteria lainnya. Pemberian bobot dengan metode ini sesuai dilakukan apabila responden adalah orang yang mengerti, paham, dan berpengalaman dalam menghadapi masalah keputusan yang

(6)

dihadapi (Ma’arif 2001). Hasil pengisian bobot kriteria kemudian digabungkan

dengan menggunakan rataan geometrik.

Untuk mengetahui bobot pada kriteria, maka hasil perbandingan berpasangan dari seluruh responden digabungkan (Tabel 8). Melalui hasil pengolahan dengan metode MPE maka pendapat para responden dapat dikuantifikasikan berdasarkan skala yang sudah ditentukan. Dari hasil pengolahan, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 8. Penentuan Produk Olahan Unggulan Minyak Pala Nilai Alternatif Produk No Kriteria Bobot Daging

Olahan Sabun Parfum & Kosmetik obatan

Obat-1 Kemudahan Pasar 5 2.75 3.00 4.25 4.00

2 Nilai Ekonomis 5 3.00 3.25 4.25 4.25

3 Kegunaan 3 2.75 3.50 4.00 4.25

4 Kemudahan menyerap TK 3 3.00 3.50 3.75 3.75 5 Kemudahan dalam Proses 3 2.50 3.00 2.75 2.75 6 Ketersediaan Bahan Baku 3 3.00 3.50 3.50 3.50

TOTAL 491 761 2.954 2.604

RANKING 4 3 1 2

Kriteria-kriteria yang digunakan dalam pemilihan produk olahan unggulan dari minyak pala yang berpotensi dikembangkan di Kabupaten Bogor merupakan hasil jajak pendapat dengan para pakar yang telah disebutkan sebelumnya, dan ditetapkan sebagai kriteria yang penting untuk dievaluasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bogor. Hasil pengagregasian kuesioner/pendapat pakar menunjukkan bahwa kriteria kemudahan pasar, nilai ekonomis, kegunaan, dan kemudahan menyerap tenaga kerja merupakan kriteria yang menduduki peringkat empat teratas.

Kemudahan pasar. Kriteria ini melihat dua aspek yaitu pasar lokal dalam arti Kabupaten Bogor khususnya maupun pasar non lokal yaitu permintaan produk olahan minyak pala diluar Kabupaten Bogor. Kemudahan pasar juga menunjuk pada sisi persaingan dari produk yang sejenis atau hampir sama. Kemudahan pasar akan memacu industri untuk terus berproduksi sehingga

production cost yang disebabkan oleh barang rusak atau menumpuk bisa

diminimalkan atau bahkan dieliminir. Apabila pasar tidak ada, maka akan terjadi kerugian karena hasil olahan dari minyak pala tidak ada yang menyerap akibatnya

(7)

justru akan menambah biaya terutama biaya yang berkaitan dengan penyimpanan

dan kerugian karena terjadi produk rusak/cacat.

Nilai ekonomis. Nilai ekonomis yang dimaksudkan adalah keuntungan yang bisa diperoleh apabila produk tersebut dikembangkan. Keuntungan dalam hal ini diartikan dalam bentuk uang yang bisa didapatkan. Nilai ekonomis menyangkut masalah kesejahteraan masyarakat terutama petani pala sebagai pemasok utama dan juga pada akhirnya menentukan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan perekonomian Kabupaten Bogor secara keseluruhan. Strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala didasarkan atas seberapa besar kontribusi produk ini terhadap pendapatan masyarakat terutama petani pala dalam upaya meningkatkan taraf hidup, sekaligus sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak terkait, bahwa selama ini di Kabupaten Bogor sendiri terjadi kelangkaan/ kekurangan bahan baku biji dan fuli pala untuk memenuhi industri minyak pala yang sudah ada. Harga bahan baku itu sendiri juga tinggi ditingkat pedagang pengumpul, sehingga menyebabkan beberapa industri pengolahan minyak pala harus menghentikan produksinya karena bahan baku sudah sulit didapat. Menurut data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2006 luas kebun pala rakyat di Kabupaten Bogor masih memiliki prospek untuk dikembangkan. Kebun pala rakyat masih memilki potensi kedepannya, disamping buah pala adalah tanaman khas Bogor selain talas dan kenari. Jika ditangani dengan baik oleh berbagai pihak, komoditas ini dapat menjadi andalan Kabupaten Bogor dengan pemanfaatan setiap bagian dari buahnya melalui diversifikasi produk, misalnya sirup pala dapat dijadikan “welcome drink” bagi Kabupaten Bogor. Pala adalah salah satu komoditas yang tidak diatur tata niaganya oleh pemerintah. Di Desa Sukamantri Kecamatan Taman Sari misalnya, para pemilik kebun biasa menjual hasil panennya kepada para pedagang pengumpul baik berupa buah pala gelondong maupun biji berikut fuli, tanpa mempertimbangkan pada alternatif pemanfaatannya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Ketiadaan dan harga yang tinggi dari biji dan fuli pala sebagai bahan baku minyak pala tentunya dapat dicari akar permasalahan dan ditemukan solusi untuk mengatasinya.

(8)

Kegunaan. Kriteria ini merujuk pada produk yang akan dikembangkan

harus memiliki nilai guna baik bagi konsumen lokal yaitu masyarakat Bogor dan juga konsumen secara luas yaitu industri di Indonesia.

Kemudahan menyerap tenaga kerja. Dengan kriteria ini diharapkan melalui industri yang akan dikembangkan banyak masyarakat terserap khususnya bagi mereka yang telah menganggur atau sedang mencari pekerjaan, mengingat dari tahun ke tahun angkatan kerja di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan. Selain itu, pengangguran juga bertambah karena beberapa sebab diantaranya kebijakan PHK oleh perusahaan yang mengalami kelesuan industri.

Kemudahan dalam proses. Kriteria ini perlu ditinjau karena hal ini berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan dalam industri yang akan dikembangkan terutama tingkat pendidikan, keterampilan, dan pengetahuan. Kemudahan dalam proses nantinya akan menentukan kebutuhan akan sumber daya manusia dalam pengembangan industri produk olahan minyak pala. Kriteria ketersediaan bahan baku mengacu pada kemudahan mendapatkan bahan baku, karena akan menentukan kontinuitas produksi.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa parfum dan kosmetik menempati prioritas produk olahan minyak pala di rangking pertama. Hasil ini jelas terlihat melalui metode MPE karena nilai masing-masing alternatif berdasarkan kriteria, dipasangkan (eksponensial) dengan bobot dari masing-masing kriteria sehingga nilai yang dihasilkan berbeda nyata. Hasil pemilihan terhadap parfum dan kosmetik disebabkan menurut para responden, kemudahan pasar, nilai ekonomis, dan kegunaan dimiliki oleh produk parfum dan kosmetik. Parfum dan Kosmetik dari segi harga (keuntungan) maupun permintaan pasar lebih banyak diminati konsumen akhir/pemakai produk, terutama banyaknya usaha jasa perawatan kecantikan (salon dan klinik kecantikan) maupun perumahan elit dan menengah di Kota Bogor dan sekitarnya. Dengan akses transportasi yang murah dan mudah ke Ibukota Negara diharapkan pemasaran untuk lokal maupun untuk luar daerah dapat menjamin kontinuitas permintaan. Begitu pula merebaknya pemberitaan akhir-akhir ini tentang kosmetik berbahan kimia berbahaya, alternatif kosmetik berbahan dasar herbal akan menjadi pilihan lain bagi pengguna/konsumen, begitu pula produk parfum aromaterapi yang banyak diminati karena manfaatnya bagi

(9)

produk ini dengan mudahnya berganti merk dan mencoba merk-merk baru,

namun dianggap lebih cocok dan aman bagi perawatan kecantikan dan kebugarannya.

Produk obat-obatan lebih jarang digunakan mengingat fungsinya yang hanya dikonsumsi pada waktu-waktu tertentu disaat seseorang menderita sakit. Produk sabun dan daging olahan berturut-turut menempati prioritas produk olahan minyak pala di rangking ketiga dan keempat. Dilihat dari keenam kriteria yang telah ditetapkan dalam pemilihan produk olahan unggulan minyak pala, nilai akhir kedua produk ini berada dibawah dua produk unggulan sebelumnya yakni parfum dan kosmetik serta obat-obatan, yang menjadi pilihan responden. Hal ini juga dipengaruhi oleh permintaan pasar yang biasanya lebih menyenangi produk sabun dan daging olahan yang sejak lama telah beredar dipasaran, jika dibandingkan produk baru yang akan dikembangkan yakni produk olahan minyak pala, terkecuali produk sabun yang memang masuk dalam jenis kosmetik seperti sabun-sabun yang tergolong produk perawatan kecantikan.

4.1.2 Lokasi Potensial Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala Kabupaten Bogor terdiri dari 40 Kecamatan. Namun berdasarkan data awal luas lahan dan produksi perkebunan pala di Kabupaten Bogor tahun 2006, dan berdasarkan jajak pendapat dengan responden yang sama melalui kuesioner, ada lima lokasi yang dinilai memenuhi kriteria. Kriteria yang digunakan juga telah disepakati responden untuk ditetapkan menjadi pertimbangan dalam strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala. Kelima lokasi tersebut adalah Taman Sari, Dramaga, Cijeruk, Ciomas, dan Caringin.

Kecamatan Taman Sari terletak pada ketinggian 500 m dpl dengan kisaran suhu antara 23 – 33˚ C dan curah hujan 3.300 mm/tahun. Luas perkebunan pala di Kecamatan Taman Sari tahun 2006 kurang lebih 46 ha dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 503 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya berdasarkan data Monografi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2006 (sejak 2002 hingga 2006).

(10)

Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 m dpl dengan suhu udara

antara 20 – 29˚C. Sedangkan hari hujan sebanyak 172 hari dan curah hujan 350 mm/tahun. Luas perkebunan pala di Kecamatan Dramaga ini kurang lebih 37 ha dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 363 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini juga tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kecamatan Cijeruk berada pada ketinggian 549 m dpl, suhu antara 20 - 27˚C, dengan jumlah hari hujan sebanyak 18 hari, dan curah hujan 3 328 mm/tahun. Luas perkebunan pala di Kecamatan Cijeruk kurang lebih 103.35 ha dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 1 060 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini sudah jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya yakni kurang lebih 132.5 ha pada tahun 2002 berdasarkan data Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten Bogor tahun 2003.

Kecamatan Ciomas berada pada ketinggian 200 m dpl dengan suhu rata-rata 29˚C, jumlah hari hujan sebanyak 19 hari dan curah hujan 415 mm/tahun, dengan bentuk wilayah datar sampai berbukit. Luas perkebunan pala di Kecamatan Ciomas kurang lebih 43 ha dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 433 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini juga tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kecamatan Caringin berada pada ketinggian 556 m dpl dengan suhu minimum atau maksimum 18 - 30˚C, dan curah hujan 664 mm/tahun. Luas perkebunan pala di Kecamatan Caringin kurang lebih 15.68 ha dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 472 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini sudah jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya yakni kurang lebih 45 ha pada tahun 2002.

Hasil analisis untuk pemilihan lokasi industri produk olahan minyak pala dapat dilihat pada Tabel 9. Kriteria-kriteria pada Tabel 9 ditetapkan dengan mempertimbangkan kontinuitas industri produk olahan minyak pala yang mengacu kepada kecukupan bahan baku (luas lahan, kesesuaian agroklimat tanaman pala), kelancaran produksi dari industri tersebut yang bergantung kepada fasilitas penunjang, keamanan berusaha, dan juga pemasaran produk olahan minyak pala nantinya yang bergantung kepada kemudahan transportasi, dan akses konsumen.

(11)

Tabel 9 Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Industri Produk Olahan

Minyak Pala

Nilai Alternatif Lokasi

No Kriteria Bobot Taman Sari Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin 1 Kemudahan Transportasi 5 4.00 4.00 3.50 3.75 3.75 2 Akses Konsumen 5 3.75 4.00 2.50 4.25 2.75 3 Keamanan Berusaha 4 4.25 4.25 3.75 4.25 4.00 4 Luas Lahan 4 4.00 3.25 4.25 4.00 3.50 5 Ketersediaan Fasilitas 4 4.00 4.25 3.50 4.25 3.75 6 Kesesuaian Agroklimat 3 3.50 3.25 3.50 3.25 4.00 TOTAL 2.647 2.846 1.340 3.071 1.567 RANKING 3 2 5 1 4

Luas lahan. Kriteria ini mengacu kepada luas lahan kebun pala, mengingat bahwa pala sebagai bahan baku dari industri yang akan dikembangkan. Luas lahan kebun pala mempengaruhi berapa banyak pohon pala yang bisa tumbuh/ditanam dan pada akhirnya akan menentukan banyaknya fuli dan biji pala yang dihasilkan, sehingga secara langsung akan mempengaruhi kecukupan akan bahan baku dan kelangkaan akan bahan baku dapat dihindari.

Kesesuaian agroklimat. Kriteria ini menentukan produktivitas tanaman pala. Agroklimat yang dimaksud adalah kondisi tanah, kelerengan, dan iklim. Hal-hal tersebut perlu dikaji karena menyangkut masalah persyaratan tumbuh tanaman pala yang tentu saja berbeda dengan tanaman perkebunan lainnya, agar tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik.

Tabel 10 Kesesuaian Lingkungan Tanaman Pala (Rosman et.al, 1989) Kriteria Lokasi

Variabel Amat Sesuai Sesuai Hampir Sesuai Ketinggian (d.p.l) Curah hujan (mm/th) Hari hujan Temperatur (ºC) Kelembaban nisbi (%) Drainase Tekstur tanah Kemasaman (pH) 0 – 700 m 2000 – 3500 100 – 160 25 – 28 60 – 80 Baik Barpasir Netral 700 – 900 m 1500 – 2000 80 – 100 atau 160 – 180 20 – 25 55 – 60

Agak baik s/d baik Liat berpassir/ lempung berpasir Agak masam/netral 900 m 1500 – 4500 80 atau 180 25 atau 31 55 atau 85 Agak baik Liat atau berpasir

Transportasi. Transportasi merupakan bagian utama dari sarana dan prasarana terutama sangat membantu dalam penyediaan bahan baku, akses konsumen dan pemasaran produk olahan minyak pala. Biaya transportasi yang terlalu tinggi seperti kurangnya fasilitas angkutan ataupun jalan atau jarak dengan

(12)

bahan baku yang terlalu jauh, akan menyebabkan biaya operasional yang terlalu

tinggi. Pada akhirnya biaya yang dikeluarkan dengan nilai ekonomis yang didapatkan tidak seimbang.

Fasilitas penunjang. Fasilitas yang dimaksudkan dalam salah satu kriteria penentuan lokasi potensial pengembangan industri industri produk olahan minyak pala adalah sarana komunikasi, listrik, dan air. Sarana komunikasi yang utama adalah saluran telepon dan kemudahan untuk mengakses informasi yang disediakan oleh Pemerintah baik informasi mengenai daerah pemasaran ataupun informasi lainnya. Ketersediaan air dan listrik merupakan kebutuhan dasar bagi pengelolaan industri karena energi dari listrik menjadi input untuk mesin-mesin pengolahan atau alat-alat lain.

Akses konsumen. Kriteria ini menggambarkan kedekatan daerah penjualan dengan konsumen utama dan menentukan kelancaran dari pemasaran produk olahan minyak pala tersebut. Kurangnya akses konsumen akan merugikan bagi produsen/pelaku industri khususnya karena terjadi penumpukan produk, kerusakan produk, dan tingginya biaya penyimpanan. Akses konsumen juga harus mempertimbangkan ruang lingkup pemasaran, apakah hanya untuk pasar lokal atau juga akan menjangkau pasar internasional.

Keamanan berusaha. Keamanan berusaha menggambarkan kondisi iklim usaha yang didukung oleh penerimaan masyarakat terhadap keberadaan industri produk olahan minyak pala. Keberadaan industri harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat terutama masyarakat sekitar sehingga mereka akan terus berperan aktif membangun industri tersebut. Dukungan masyarakat sangat penting bagi kelanjutan usaha industri. Industri yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat akan menimbulkan konflik-konflik yang akan mengganggu jalannya industri secara keseluruhan.

Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner melalui metode MPE, maka didapatkan hasil bahwa sebaiknya industri produk olahan minyak pala dikembangkan di daerah Ciomas. Memang dari segi potensi industri unggulan kecamatan, Kecamatan Caringin saat ini memiliki potensi dengan adanya industri minyak resin pala dan industri minyak nilam. Namun apabila industri yang akan dikembangkan ditempatkan di Kecamatan Caringin, maka faktor kendala utama yang menjadi bahan pertimbangan serius adalah akses konsumen dan kecukupan

(13)

akan bahan baku. Dibutuhkan waktu tempuh yang lebih lama untuk mencapai

Caringin dari pusat kota dibandingkan alternatif kecamatan lainnya. Disamping itu saat ini luasan kebun pala di Kecamatan Caringin sudah jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Sedangkan jika dilihat dari kesesuaian lingkungan (agroklimat) tanaman pala dan luas kebun pala yang benar-benar ada saat ini, Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Taman Sari amat sesuai untuk tempat tumbuh tanaman pala. Namun keduanya juga terletak cukup jauh dari pusat kota, disamping kemudahan transportasi dan akses konsumen kedua kecamatan ini yang masih berada dibawah kecamatan Ciomas. Hal ini juga dikhawatirkan menjadi kendala utama dalam hal biaya transportasi dan jangkauan pasar terhadap industri produk olahan minyak pala yang akan dikembangkan. Fasilitas penunjang di kedua tempat ini juga kurang memadai dibandingkan Kecamatan Ciomas. Sehingga pilihan responden adalah daerah Ciomas yang relatif masih terdapat kebun pala cukup luas kurang lebih 43 Ha.

Jarak Ciomas dari pusat kota maupun kecamatan lain seperti Dramaga yang memiliki potensi industri manisan pala relatif lebih dekat. Dengan pemanfaatan biji dan fuli pala yang berasal dari Dramaga dapat menjadi solusi pemenuhan kelangkaan bahan baku industri yang akan dikembangkan nantinya. Batas wilayah Kecamatan Ciomas secara administratif adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dramaga dan Kota Bogor, sebelah Timur berbatasan dengan Kota Bogor, sebelah Barat dengan kecamatan Dramaga, dan sebelah selatan dengan kecamatan Taman Sari. Dilihat dari batas wilayah tersebut, Kecamatan Ciomas berbatasan langsung dengan akses pasar yakni Kota Bogor dan otomatis Ibu Kota Negara. Sementara itu Kecamatan Ciomas juga berbatasan langsung dengan Dramaga dan Taman Sari yang masih memiliki luasan kebun pala masing-masing kurang lebih 37 Ha dan 46 Ha, dengan tingkat kesesuaian agroklimat amat sesuai untuk lingkungan tumbuh tanaman pala, secara teknis apabila Kecamatan Ciomas mengalami kelangkaan bahan baku, kekurangan itu dapat dipenuhi dari kedua wilayah ini dengan biaya transportasi yang relatif murah. Selain itu Kecamatan Ciomas juga memiliki wilayah terluas dibanding empat alternatif wilayah lainnya, sehingga jika perluasan areal tanaman

(14)

pala diperlukan, Ciomas menjadi pilihan prioritas dengan luas wilayah saat ini

kurang lebih 6 373.62 Ha atau 63.73 Km.

Sarana transportasi di Kecamatan Ciomas didukung oleh Jalan dan Jembatan dengan kondisi jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang 58 km, dan relatif lengkapnya sarana jaringan telpon (10 824 pelanggan), listrik PLN (23.891 pelanggan), jumlah telepon umum (175 unit), serta wartel (73 unit) berdasarkan survei lapang tahun 2005 (BAPPEDA Kab Bogor 2005). Iklim usaha di daerah Ciomas juga cukup kondusif dalam arti penerimaan masyarakat akan industri cukup baik, tenaga kerja juga cukup tersedia terutama dari penduduk setempat. Industri yang tumbuh di kecamatan ini berdasarkan survei lapang tahun 2005 adalah industri dalam skala industri besar 3 buah, industri sedang 4 buah, dan industri kecil 1 064 buah dengan potensi unggulan kecamatan saat ini adalah industri sandal dan sepatu serta budidaya ikan hias, yang ditunjang oleh lembaga perbankan setingkat BPR.

4.2 Analisis Kelayakan Industri Produk Olahan Minyak Pala 4.2.1 Aspek Pasar dan Pemasaran

Produk olahan minyak pala yang terpilih melalui metode MPE yaitu kosmetik sehingga analisis kelayakan yang dilakukan adalah untuk industri kosmetik termasuk parfum di dalamnya sebagai produk olahan minyak pala. Kosmetik termasuk produk parfum berupa aromaterapi didalamnya dipakai oleh konsumen individu yang diperoleh melalui pembelian langsung di apotik atau toko kosmetik, atau melalui jasa salon kecantikan, klinik kecantikan, perawatan, dan kebugaran tubuh. Kosmetik digunakan untuk mempercantik dan merawat wajah serta bagian tubuh lainnya, sedangkan parfum dalam hal ini produk aromaterapi digunakan untuk memberi kesegaran atau relaxasi pada tubuh yang sedang lelah atau bersifat menghilangkan stres. Pada industri parfum minyak pala juga dapat digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar ruangan. Jika melihat dari kebutuhan masyarakat Kabupaten Bogor, Kodya Bogor, dan dengan relatif dekatnya dari Ibu Kota Jakarta, dimana banyak menjamur lokasi perumahan mulai kelas biasa, menengah hingga kelas atas dengan penghuni para pendatang dan sebagian besar dari mereka adalah pekerja

(15)

di Jakarta, maka industri kosmetik berikut parfum didalamnya tepat untuk

dikembangkan.

Selama ini belum ada data yang memperlihatkan secara langsung besarnya kebutuhan akan kosmetik termasuk parfum di Kabupaten Bogor. Namun besarnya kebutuhan akan produk kosmetik dan parfum dapat diperkirakan dengan asumsi jumlah pengguna atau konsumen akhir yakni penduduk wanita dewasa yang ada di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data tahun 2007 jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun di Kabupaten Bogor adalah 2 879 380 jiwa, sedangkan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah 2 178 831 laki-laki dan 2 059 131 wanita. Jika rasio perbandingan antara jumlah penduduk wanita dibandingkan total jumlah penduduk dan dikalikan dengan jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun, maka diperoleh prakiraan jumlah penduduk wanita usia 15 – 64 tahun di Kabupaten Bogor yakni sebanyak 1 399 026 jiwa. Dari jumlah tersebut diasumsikan sekitar 80% orang mengkonsumsi kosmetik olahan dasar minyak pala ini, dengan rata-rata konsumsi 15 gram per orang per bulannya.

Berdasarkan asumsi diatas, kebutuhan kosmetik rata-rata di Kabupaten Bogor sebesar 16 788 kg per bulan. Kosmetik dengan jumlah tersebut tidak termasuk kosmetik yang khusus dibeli oleh konsumen di Kodya Bogor atau lebih luas lagi daerah-daerah sekitarnya seperti Jakarta dan Sukabumi. Sehingga dari hasil peramalan tersebut, maka sebenarnya industri kosmetik yang rencana akan dikembangkan harus memproduksi sedikitnya 700 kg per hari, namun dengan keterbatasan dana yang dimiliki, maka industri yang akan dikembangkan direncanakan hanya akan memproduksi sekitar 70 kg kosmetik per hari. Dengan diketahuinya kapasitas produksi per harinya, maka dapat dihitung kebutuhan biji dan fuli pala untuk memenuhi kebutuhan sebanyak itu adalah sekitar 823 kg biji dan fuli pala (rendemen mesin penyulingan adalah 13.33% dengan waktu penyulingan 8 jam, penyulingan minyak 2 kali/hari, mesin dapat menghasilkan 165 liter atau 110 kg minyak pala per harinya).

Rencananya kebutuhan akan biji dan fuli pala tersebut dipenuhi dari luasan kebun pala rakyat yang ada di Kabupaten Bogor, tepatnya pada tahap awal di Kecamatan yang ada di sekitar lokasi industri terpilih yakni di Kecamatan Ciomas, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Taman sari dengan luasan masing-masing 43 ha, 37 ha, dan 46 ha. Kekurangan luasan dipenuhi seluas 14 ha dari

(16)

103.35 ha luasan yang ada di Kecamatan Cijeruk, berdasarkan data luas areal dan

produksi perkebunan pala rakyat di Kabupaten Bogor tahun 2006. Berdasarkan data yang sama produksi pala per hektarnya rata-rata bisa mencapai 7.92 ton. Total luasan yang dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang akan dikembangkan sekitar 140 ha. Kebun pala ini dapat dibuat dari 14 000 bibit pohon pala, yang mungkin bisa diperoleh melalui bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Propinsi Maluku, hasil rata-rata dari 1 pohon pala adalah masing-masing biji pala sebanyak 8 kg dan fuli sebanyak 2 kg. Dari 140 ha tanah yang ditanami 14 000 pohon pala memperoleh hasil untuk 2 kali panen dalam 1 tahun, yaitu biji pala 201 600 kg dan fuli 50 400 kg (umur pohon yang menghasilkan atau siap panen adalah 8 tahun). Berat biji pala adalah sekitar 1/5,5 bagian dari berat keseluruhan buah pala, sedangkan fuli adalah sekitar 1/22 bagian dari berat keseluruhan buah pala. Jumlah ini diperkirakan cukup untuk keperluan industri dalam satu tahun.

Jika dilihat dari sisi persaingan, maka hal yang paling mengancam adalah produk kosmetik yang berasal dari bahan kimia. Pengusaha salon atau konsumen perorangan masih banyak yang belum memperhatikan efek samping penggunaan kosmetik berbahan dasar kimia untuk jangka panjang, terutama bahan kimia yang disinyalir badan sertifikasi dan badan stadarisasi produk kosmetik sangat berbahaya baik bagi kulit maupun organ tubuh lainnya seperti ginjal. Hal ini juga disebabkan belum terlalu meluasnya atau tersosialisasinya produk kosmetik berbahan dasar herbal seperti minyak pala misalnya. Padahal jika dilihat dari segi keamanan maka minyak pala lebih aman dibandingkan dengan bahan kimia yang biasanya terdapat dalam kosmetik dan parfum berbahan dasar kimia.

Menurut data terbaru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor jumlah apotik, salon kecantikan, dan klinik perawatan wajah di Kabupaten Bogor berjumlah 172 buah, terdiri dari 170 buah apotek, dan 2 diantaranya adalah satu salon di Kecamatan Citereup dengan ijin terdaftar di Dinas Kesehatan, dan satu klinik perawatan kecantikan di wilayah Kecamatan Gunung Puteri. Sedangkan data salon-salon berskala kecil atau rumahan belum terdapat data yang pasti, mengingat usaha ini biasa berdiri tanpa disertai ijin resmi dari Dinas Kesehatan

(17)

maupun Disperindag. Dari jumlah tersebut, dapat diperkirakan industri yang akan

dikembangkan kurang lebih dapat memasok 10 kg kosmetik per bulan untuk satu apotik, salon atau klinik kecantikan. Jika diasumsikan produk ini rata-rata dikemas 15 gr per wadah kemasan, maka jumlah yang dapat dipasok rata-rata 27 buah wadah kemasan 15 gr per hari, atau 648 wadah kemasan per bulan. Asumsi tersebut belum menyentuh pasar yang ada di Kodya Bogor, atau toko obat dan toko kosmetik yang belum terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.

4.2.2 Aspek Teknis dan Teknologi

Rencana pengembangan industri kosmetik dengan parfum didalamnya yang merupakan produk olahan minyak pala membutuhkan dua buah mesin penyulingan dengan metode destilasi. Mesin ini terdiri dari komponen tungku pemanas, ketel, pendingin, dan tabung pemisah. Untuk penyulingan berkapasitas besar bahan di dalam ketel disusun secara difraksi (diberi antara) agar uap air dapat berpenetrasi dengan merata sehingga penyulingan lebih singkat dan rendemennya lebih tinggi. Penyulingan cara itu membutuhkan waktu 8 jam dengan rendemen minyak 13.33% (Hernani dan Risfaheri 1990, diacu dalam Hadad M EA et.al 2006). Dari hasil analisis aspek teknologi, maka mesin destilasi yang dibutuhkan adalah sebanyak 2 buah dengan rendemen sebesar 13.33%, lama penyulingan 8 jam per ketel, penyulingan minyak 1 kali/hari, satu bulan 24 hari kerja dan mesin dapat menghasilkan 110 kg minyak pala per hari. Dari penyulingan tiap harinya diasumsikan hasil produk dengan kadar myristicin yang memenuhi kualitas untuk diekspor rata-rata sebesar 36%, sedang 64% merupakan kualitas lokal yang akan menjadi bahan baku pembuatan kosmetik.

Dalam proses pembuatan kosmetik dibutuhkan alat pemanas pada suhu tertentu untuk fasa air dan fasa minyak, mixer dan pengaduk untuk memperoleh emulsi. Setelah pendinginan sampai mencapai suhu tertentu ditambah emulgator, pewarna dan pewangi (parfum). kemudian diemulsikan kembali. Setelah dilakukan viskositas dan pewarnaan yang sesuai standar, produk disimpan dalam drum untuk kemudian diisi dalam wadah dan dikemas. Sehingga dari hasil analisis sebelumnya, kapasitas kosmetik yang akan dibuat adalah sebanyak 70 kg per hari, untuk mencukupi kebutuhan toko kosmetik, salon kecantikan, klinik perawatan, dan apotek di Kabupaten Bogor.

(18)

4.2.3 Aspek Sumber Daya Manusia

Strategi dan prospek pengembangan industri kosmetik yang merupakan produk olahan minyak pala di Kabupaten Bogor membutuhkan sumber daya manusia yang mengetahui tentang minyak pala dan juga tenaga-tenaga khusus untuk menjemur dan melepas biji kering dari cangkangnya, serta menimbang dan menggiling biji pala yang akan disuling. Tenaga kerja yang direncanakan terbagi menjadi dua jenis yaitu tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Tenaga kerja tidak langsung terdiri dari satu orang direktur, satu orang manajer produksi dan pengendalian mutu serta satu orang manajer sumber daya manusia (HRD), lima orang karyawan serta dua orang mandor lapang. Sedangkan tenaga kerja langsung terdiri dari 41 orang khusus pra penyulingan biji dan fuli pala, dengan asumsi setiap orang mampu mengerjakan tugas tersebut sebanyak 20 kg per hari selain juga bertugas menjemur, empat orang operator mesin destilasi minyak pala, 7 orang bertugas membuat kosmetik kemudian 5 orang pada bagian pengemasan dan distribusi.

Kebutuhan akan tenaga kerja ini dipenuhi dari masyarakat Kabupaten Bogor dan juga dari luar. Tenaga khusus pra penyulingan minyak pala diambil dari masyarakat sekitar Kabupaten Bogor terutama masyarakat yang hidup dekat dengan lokasi industri kosmetik. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memberdayakan masyarakat Kabupaten Bogor, selain itu dengan adanya industri kosmetik dan prospek lain dari minyak pala ini diharapkan dapat merekrut tenaga kerja produktif yang masih menganggur.

Dalam rangka meningkatkan kualitas dari produk kosmetik yang akan dihasilkan, maka perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia/tenaga kerja yang terkait dengan industri. Kerjasama dengan lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang berkaitan diharapkan mampu mewujudkan peningkatan kualitas tersebut. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian terutama bagi direktur dan manajer HRD nantinya. Pelatihan mengenai minyak pala maupun produk-produk turunannya perlu diadakan secara rutin terutama mengingat bahwa minyak pala termasuk hal yang masih baru bagi masyarakat Kabupaten Bogor. Pelatihan lain yang perlu diadakan adalah mengenai pengendalian dan peningkatan mutu produk atau tentang teknologi.

(19)

4.2.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan

4.2.4.1 Biaya investasi

Biaya investasi diperlukan untuk memulai usaha/proyek, yang meliputi biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan, fasilitas penunjang, serta perizinan yang diperlukan. Biaya investasi ini bersifat tetap (fixed) dan harus dikeluarkan ditahun ke-0 sebelum melakukan usaha/proyek. Jumlah biaya investasi yang diperlukan pada tahun ke-0 untuk mendirikan industri kosmetik yang merupakan produk olahanminyak pala sebesar Rp493 206 000.00. Secara lebih rinci jenis investasi dan kebutuhan biaya masing-masing investasi dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11 Kebutuhan Biaya Investasi

No. Komponen Investasi Jumlah Biaya (Rp.)

1 Perizinan 1 175 000

2 Tanah/Lahan 37 500 000

3 Bangunan 90 000 000

4 Mesin dan Peralatan 229 476 000

5 Fasilitas Penunjang 25 055 000

6 Mobil 110 000 000

Jumlah 493 206 000

Komponen biaya investasi yang paling besar digunakan untuk mesin dan peralatan yang besarnya mencapai 46.53% dari seluruh kebutuhan biaya investasi industri kosmetik yang merupakan produk olahanminyak pala. Komponen ini terdiri dari mesin dan peralatan pengolahan bahan baku minyak pala senilai Rp119 070 000.00 dan mesin dan peralatan pengolahan kosmetik senilai Rp110 406 000.00 Menurut Nurdjannah (2007) pada proses pengolahan minyak pala

dengan tenggang waktu 10 tahun dibutuhkan biaya investasi mesin dan peralatan Rp119 070 000.00 dengan kapasitas 21.5 ton minyak per tahun, sesuai dengan

kapasitas industri pengolahan bahan baku minyak pala yang akan didirikan. Sedangkan mesin dan peralatan pengolahan kosmetik diasumsikan sesuai dengan industri kosmetik dan jamu tradisional yang ada di Kulonprogo (SIPUK BI 2008), mengingat belum ada data industri kometik yang merupakan produk olahan minyak pala. Fasilitas penunjang yang dimaksud adalah instalasi telepon, listrik, air, komputer, dan perlengkapan kantor lainnya.

(20)

4.2.4.2 Biaya Operasional

Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam memproduksi kosmetik olahan dasar minyak pala. Besarnya biaya operasional ini tergantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak bahan baku yang akan diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang terdiri dari biaya bahan baku dan tenaga kerja langsung. Selain biaya tidak tetap, biaya operasional juga meliputi biaya overhead yang merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan setiap bulannya dan sifatnya tidak langsung.

Biaya variabel diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 85%, pada tahun kedua beroperasi pada kapasitas 95%, dan baru pada tahun ketiga dan seterusnya industri beroperasi pada kapasitas penuh (100%). Kebutuhan biaya operasional untuk industri kosmetik pada kapasitas 100% besarnya mencapai Rp1 076 250 788.00. Besarnya biaya operasional untuk masing masing komponen sebagaimana tergambar pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Kebutuhan Biaya Operasional Per Bulan

No. Biaya Operasional Jumlah Biaya (Rp.)

1 Biaya bahan baku dan TK langsung 759 340 000 2 Biaya bahan pembantu dan penunjang 322 002 920

3 Biaya Overhead 41 114 788

Jumlah 1 122 457 708

Asumsi harga biji dan fuli pala per kilo adalah Rp35 000.00 Jika industri memiliki 2 buah ketel dan masing-masing ketel dapat beroperasi 1 kali sehari dan hari kerja 24 hari per bulan, maka diperlukan biaya bahan baku sebesar 412 kg x 1 penyulingan x 2 ketel x 24 hari x Rp35 000.00/ kg = Rp692 160 000.00 per bulan.

Tenaga kerja langsung terdiri dari tenaga pra penyulingan dengan upah Rp2 000.00 untuk setiap kilogram proses pra penyulingan biji dan fuli yang dikerjakan ditambah uang makan Rp5 000.00 per hari, sedangkan operator mesin

penyulingan minyak pala dan mesin kosmetik dengan upah per bulan Rp1 750 000.00, pembuat kosmetik dengan upah Rp45 000.00 perhari juga

(21)

dengan upah per bulan Rp1 500 000.00. Biaya keseluruhan untuk ketiga

kelompok tenaga kerja ini adalah sebesar Rp67 180 000.00. Biaya bahan pembantu dan penunjang yaitu bahan emulgator bagi kosmetik, pewangi, pewarna, dan sebagainya, serta bahan bakar dan kemasan. Biaya overhead yang bersifat tetap (fixed cost) meliputi biaya tenaga kerja tidak langsung (direktur, manajer, karyawan, mandor lapang), biaya pemasaran, administrasi, perawatan, biaya margin bank, penyusutan, dan pemeliharaan yang jumlah totalnya adalah Rp 41 114 788.00.

4.2.4.3 Sumber dan Struktur Pembiayaan

Biaya investasi yang diperlukan dalam industri kosmetik yang merupakan produk olahan minyak pala bersumber dari modal sendiri dan pembiayaan perbankan. Pembiayaan dari perbankan terdiri dari pembiayaan investasi dan pembiayaan modal kerja. Diasumsikan bahwa besarnya margin pembiayaan perbankan yang berlaku setara 16.5% per tahun. Jangka waktu pengembalian modal sesuai dengan umur industri/proyek yaitu selama lima tahun. Struktur pembiayaan investasi dan modal kerja dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Struktur Pembiayaan Industri Kosmetik

No. Sumber Pembiayaan Tahun ke-0 (Rp.)

1. Dana Investasi

a. Pembiayaan (65%) 320 583 900

b. Dana Sendiri (35%) 172 622 100

Jumlah Dana Investasi 493 206 000

2. Dana Modal Kerja

a. Pembiayaan (65%) 754 020 150

b. Dana Sendiri (35%) 406 010 850

Jumlah Dana Modal Kerja 1 160 031 000

3. Total Biaya Proyek

a. Pembiayaan (65%) 1 074 604 050

b. Dana Sendiri (35%) 578 632 950

Jumlah Biaya Proyek 1 653 237 000

Besarnya jumlah angsuran adalah dari pengembalian pokok pembiayaan ditambah margin pembiayaan. Adapun perhitungan lebih rinci mengenai jadwal pengembalian pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 14.

(22)

Tabel 14 Angsuran Pembiayaan Investasi & Modal Kerja Industri Kosmetik

Tahun Jumlah Pembiayaan Margin (16,5%) Pembayaran Pokok (Rp) Angsuran (Rp) Outstanding (Rp) 1 1 074 604 050 132 982 251 179 100 675 312 082 926 762 521 124 2 895 503 375 132 982 251 179 100 675 312 082 926 583 420 449 3 716 402 700 88 654 834 179 100 675 267 755.509 448 647 191 4 537 302 025 88 654 834 268 651 013 357 305 847 179 996 178 5 268 651 013 88 654 834 268 651 013 357 305 847 0

4.2.4.4 Harga dan Prakiraan Penerimaan

Sesuai dengan asumsi semula bahwa dari total minyak pala yang diproduksi setiap harinya sebesar 36% adalah minyak pala berkualitas baik sesuai standar yang ditentukan, sehingga tidak perlu diolah menjadi produk olahan berupa kosmetik, dan sisanya sebesar 64% dijadikan bahan baku produk olahan kosmetik. Harga minyak pala berkualitas dan harga kosmetik ditentukan dengan menggunakan metode full costing. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode ini didapatkan harga pokok untuk satu kilogram minyak pala adalah Rp294 468.00, sedangkan harga pokok untuk 15 gram kosmetik adalah Rp7 384.00 Nilai tersebut dihitung pada saat pabrik berproduksi pada kapasitas penuh. Harga jual ditentukan dengan cara menambahkan harga pokok dengan keuntungan sebesar masing-masing 20% untuk kosmetik dan 2% untuk minyak pala, sehingga harga jual untuk produk minyak pala kualitas baik adalah Rp300 000.00 (pembulatan) per kg dan harga jual untuk produk kosmetik adalah Rp8 860.00 (pembulatan) per 15 gr atau Rp590 725.00 per kg. Besarnya mark up ini ditentukan atas pertimbangan perkiraan keuntungan yang ingin didapatkan dari hasil penjualan agar industri menguntungkan secara finansial khususnya bagi petani pala di Kabupaten Bogor yang selama ini mengalami kelesuan.

Besarnya keuntungan yang diharapkan tidak akan mengurangi kemampuan bersaing dari produk kosmetik olahan dasar minyak pala. Harga jual tersebut berada dibawah pasaran kosmetik non brand saat ini yang berkisar Rp10 000.00 hingga Rp15 000.00 untuk kemasan 15 gr, sehingga diharapkan dengan kualitas yang tidak kalah dengan kosmetik olahan dasar kimia dan harga yang lebih murah, konsumen lebih tertarik dengan produk ini. Penerimaan pada industri kosmetik ini diasumsikan konstan setiap tahunnya (tidak ada perubahan harga). Pada tahun pertama sampai kedua, penerimaan didapatkan belum pada

(23)

kapasitas yang penuh. Pada kapasitas penuh, prakiraan penerimaan dari hasil

penjualan kosmetik ini adalah Rp11 909 007 552.00

Untuk produk minyak pala kualitas baik yang tidak diolah kembali menjadi produk kosmetik, namun langsung dijual ke pasaran dinilai kurang memiliki prospek baik untuk kondisi saat ini. Jika melihat dari harga pokok dan harga jual yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya, produk tersebut tidak akan memiliki kemampuan bersaing pada kapasitas produksi penuh, karena tingkat harga rata-rata pasaran minyak pala berkisar Rp270 000.00 per kg, bahkan harga pokoknya masih berada diatas harga pasaran yakni Rp294 468.00. Hal ini disebabkan tingkat harga bahan baku biji dan fuli pala yang masih tinggi berkisar Rp35 000.00 hingga Rp65 000.00 per kg. Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa kondisi beberapa industri pengolahan minyak pala di Kabupaten Bogor saat ini sedang mengalami kelesuan, dan beberapa sudah tidak berproduksi lagi memang menjadi bahan pemikiran untuk mencari alternatif pengolahan lebih lanjut dari minyak pala menjadi produk-produk yang memilki prospek kedepan lebih baik. Selain itu dengan adanya krisis global yang dialami dunia saat ini, beberapa komitment ekspor dari Indonesia mengalami pembatalan dan berimbas pada lesunya situasi ekspor saat ini. Tidak menutup kemungkinan juga dialami komoditi minyak pala. Sementara menunggu situasi ekspor membaik, faktor ketahanan dari minyak pala itu sendiri kurang mendukung, hingga diperlukan proses lebih lanjut menjadi produk olahan atau mencari solusi agar minyak yang dihasilkan dapat lebih tahan lama. Dengan mark up harga pokok 2% pada kapasitas penuh, prakiraan penerimaan dari hasil penjualan minyak pala ini adalah Rp3 456 000 000.00.

4.2.4.5 Proyeksi Arus Kas

Aliran kas dihitung dengan mengurangkan kas masuk dengan kas keluar. Aliran kas masuk dalam industri kosmetik ini berasal dari modal sendiri, modal pinjaman (pembiayaan), dan pendapatan hasil penjualan. Aliran kas keluar terdiri dari biaya modal tetap dan modal kerja pada saat awal proyek dan angsuran pinjaman (pembiayaan) yang harus dikembalikan. Asumsi yang dipergunakan

(24)

dalam perhitungan aspek keuangan, dan proyeksi pendapatan industri kosmetik

yang merupakan produk olahan minyak pala disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Asumsi Proyeksi Arus Kas

No. Asumsi Satuan Jumlah

1 Periode Proyek tahunan 5

2 Bulan kerja per tahun bulan 12

3 Hari kerja per bulan hari 24

4 Kapasitas usaha kg / hari 110

5 Jumlah Bahan Baku kg / hari 823

6 Produksi minyak pala kg / bln 2 640 7 Volume penjualan minyak pala kg / bln 960 8 Volume penjualan kosmetik Kg / bln 1 680 9 Rendemen produksi minyak pala % (persen) 13.33 *) 10 Discount rate/Eqv. rate margin bank % (persen) 8 / 16.5 11 Tingkat margin minyak pala % (persen) 2 12 Tingkat margin kosmetik % (persen) 20

13 Kapasitas produksi % (persen) 85% tahun I, 95% tahun II, 100% tahun III, 100% tahun IV, dan 100% tahun V *) Sumber : Hernani dan Risfaheri 1990, diacu dalam Hadad M EA et.al 2006

Analisis proyeksi arus kas usaha industri kosmetik yang merupakan produk olahan minyak pala ini digunakan untuk memperoleh gambaran finansial mengenai pendapatan dan biaya usaha, kemampuan usaha untuk membayar pinjaman (pembiayaan), dan kelayakan usaha.

Tabel 16 Proyeksi Pendapatan Industri Kosmetik yang Merupakan Produk Olahan Minyak Pala

Tahun No Komponen Pendapatan 1 2 3 4 5 A Kapasitas Produksi 85% 95% 100% 100% 100% B Penerimaan Penjualan MinyakPala (Jutaan Rp) 2 937.60 3 283.20 3 456.00 3 456.00 3 456.00 C Penerimaan Penjualan Kosmetik (Jutaan Rp) 10 112.66 11 .313.55 11.909.00 11 .909.00 11 .909.00

Perhitungan tersebut memerlukan dasar-dasar perhitungan yang diasumsikan berdasarkan hasil studi literatur dengan mempertimbangkan

(25)

kapasitas produksi yang sama atau perhitungan secara proporsional, mengingat di

Kabupaten Bogor belum terdapat industri kosmetik yang merupakan produk olahan minyak pala. Proyeksi pendapatan industri ini disajikan dalam Tabel 16.

Pada awal tahun pertama, arus kas sudah menunjukkan angka positif berarti sejak tahun pertama hingga tahun ke lima industri mengalami surplus dan tidak mengalami kesulitan likuiditas. Proyeksi arus kas industri kosmetik yang merupakan produk olahan minyak pala dapat dilihat pada Lampiran 14.

4.2.4.6 Break Event Point (BEP)

Hasil perhitungan titik impas menunjukkan bahwa perusahaan akan mencapai titik impas pada tingkat penjualan sebesar Rp. 1.758.125.427,- per tahun, seluruh biaya produksi dapat tertutup. Supaya industri produk olahan minyak pala dapat menguntungkan maka tingkat penjualannya harus lebih dari angka tersebut. Perhitungan titik impas/BEP dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.2.4.7 Pay Back Period (PBP)

Pay Back Period disebut juga periode pengembalian adalah suatu periode

yang menunjukkan lamanya modal yang ditanam dalam proyek tersebut dapat kembali dan menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan (Rangkuti 2000). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa industri bisa mengembalikan modal dalam jangka waktu 11 bulan 15 hari.

4.2.4.8 Kelayakan Investasi

Kriteria investasi yang digunakan dalam menilai kelayakan industri kosmetik ini adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio). Rekapitulasi nilai kriteria kelayakan

investasi untuk industri kosmetik ini dapat dilihat pada Tabel 17.

Nilai NPV untuk industri kosmetik ini dihitung pada tingkat suku bunga 16.5% per tahun yakni sebesar Rp4.362 473 952.00 Proyek industri dinilai menguntungkan sehingga dinyatakan layak, karena nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi.

(26)

Tabel 17 Rekapitulasi Perhitungan NPV, IRR, PBP, dan B/C Ratio

Kriteria Kelayakan Investasi Satuan Ratio/Nilai

NPV Rp 4 362 473 952

IRR % 47.2

PBP bln 11.5

B/C Ratio kali 1.11

Nilai IRR dari hasil perhitungan didapatkan sebesar 47.2% pertahun dengan tingkat discount rate 16.5% dan 8%, yang berpedoman pada tingkat suku bunga pembiayaan yang berlaku dan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Proyek industri ini dinyatakan layak untuk dilaksanakan, karena memiliki nilai IRR yang lebih besar dari nilai discount rate, artinya investasi tersebut lebih memberikan manfaat dibanding manfaat yang diberikan tingkat suku bunga bank yang relevan.

Net Benefit Cost Ratio sering disebut sebagai profitability index yang

merupakan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang dikeluarkan. Industri kosmetik ini mempunyai nilai Net B/C sebesar 1.16. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa industri tersebut layak untuk dilaksanakan karena nilai Net B/C lebih dari satu.

4.2.4.9 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap kondisi paling umum yang mungkin terjadi yaitu penurunan harga jual produk, kenaikan harga bahan baku, dan penggabungan kedua kondisi tersebut. Analisis sensitivitas dilakukan dengan asumsi biaya lainnya tetap.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap kondisi pada saat bahan baku mengalami kenaikan sebesar 10% industri kosmetik yang merupakan produk olahanminyak pala masih layak. Hal ini disebabkan kenaikan bahan baku sebesar itu tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan jika dibandingkan dengan penerimaan yang diterima. Pada kondisi harga jual produk turun sebesar 5%, industri ini masih layak dipertimbangkan karena berkurangnya penerimaan masih dapat mengcover biaya-biaya yang ada sehingga tidak menimbulkan dampak yang terlalu buruk terhadap profit yang diterima perusahaan. Pada kondisi gabungan yaitu bahan baku naik 10% dan harga jual

(27)

produk turun 5%, maka industri juga masih layak untuk dipertimbangkan karena

baik turunnya harga jual maupun naiknya harga bahan baku tetap tidak dapat mempengaruhi kuatnya posisi profit industri. Kondisi tersebut dapat terlihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Analisis Sensitivitas Industri Kosmetik Kriteria Kelayakan Proyek Kondisi Normal Harga Jual Turun 5% Bahan Baku Naik 10% Bahan Baku Naik 10% dan Harga Jual Turun 5% NPV (Rp.) 4 362 473.952 2 587 818 971 2 446 138 574 671 483 594 IRR (%) 47.2 44.52 44.17 33.90 PBP (tahun) 11.5 bulan 1.5 1.6 3.3 B/C Ratio 1.16 1.10 1.09 1.04 Status

Kelayakan Layak Layak Layak Layak

Dari Tabel 18 diatas, jika dilakukan perbandingan dua skenario arus kas, industri kosmetik ini lebih sensitif terhadap kenaikan harga bahan baku daripada penurunan harga jual, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi industri untuk memilih strategi pemasaran melalui “perang harga”, karena turunnya harga jual produk tidak terlalu memberikan pengaruh negatif bagi industri.

4.3 Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala 4.3.1 Penentuan Posisi Agroindustri Produk Olahan Minyak Pala 4.3.1.1 Faktor Internal

Untuk mengetahui faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari industri yang akan dikembangkan dilakukan jajak pendapat melalui alat bantu pengisian kuesioner terhadap pakar.

Faktor internal yang menjadi kekuatan. a. Potensi sumber daya lahan

Lahan-lahan kosong di pedesaan yang masih cukup luas merupakan sebuah potensi yang sangat besar apabila dimanfaatkan sebagai area untuk pembudidayaan tanaman pala yang sangat penting artinya bagi kontinuitas industri produk olahan minyak pala, maupun sebagai tempat/lokasi industri.

(28)

Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah seiring dengan

meningkatnya angka kelahiran, akan berpengaruh pada angka usia produktif terutama pencari kerja. Disamping itu dengan kondisi global yang sedang mengalami krisis sedikit banyak berpengaruh pada industri dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan pemangkasan jumlah tenaga kerja, dan berakibat banyaknya usia produktif yang menganggur. Tersedianya tenaga kerja ini juga merupakan kekuatan bagi kelancaran usaha dan berkembangnya industri produk olahan minyak pala.

c. Kesesuaian tempat tumbuh tanaman pala

Tanaman pala memerlukan tanah yang subur dan gembur, terutama tanah-tanah vulkanis dan miring (Heyne 1927, diacu dalam Hadad et.al 2006). Pala akan tumbuh baik pada tanah yang bertekstur dari pasir sampai lempung. Keadaan tanah dengan reaksi sedang sampai netral (pH 5.5 – 7) merupakan rata-rata yang baik untuk pertumbuhan tanaman pala, karena keadaan kimia maupun biologi tanah berada pada titik optimum. Tanah di Indonesia didominasi oleh tanah Latosol dan Podsolik juga mengandung berbagai biota tanah yang bermanfaat bagi kesuburan tanah (Poerwowidodo, 2000). Dengan adanya tingkat kesuburan tanah tersebut pada akhirnya akan menunjang ketersediaan biji dan fuli pala sebagai bahan baku dari industri produk olahan minyak pala.

d. Kesesuaian agroklimat tanaman pala

Tanaman pala memerlukan iklim tropis yang panas dengan curah hujan yang tinggi tanpa adanya periode kering yang nyata, dengan curah hujan sekitar 2.656 mm/th ( didaerah asal tanaman pala yaitu Banda) dengan jumlah hari hujan 167 hari merata sepanjang tahun. Meskipun terdapat bulan-bulan kering, tetapi selama bulan kering tersebut masih terdapat 10 hari hujan dengan sekurang-kurangnya ±100 mm. (Deinum, 1949 diacu dalam Hadad et.al 2006). Tanaman pala dapat tumbuh baik pada ketinggian 0 – 700 m diatas permukaan laut (Flach 1966, diacu dalam Hadad et.al 2006). Deinum (1949) mengatakan bahwa suhu yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman pala antara 25°C - 30°C, dan semua kondisi ini terdapat di Indonesia, sehingga industri produk olahan minyak pala memungkinkan untuk tetap dan terus berkembang melihat kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman pala.

(29)

e. Budidaya pala yang turun temurun

Faktor kekuatan ini akan memudahkan dalam hal pengadaan bahan baku. Para petani pala tidak asing lagi dengan cara pembudidayaan yang benar untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas tinggi sehingga akan didapatkan biji dan fuli serta produk olahan dari minyak pala tersebut yang berkualitas baik.

f. Kedekatan dengan potensi pasar

Jumlah penduduk yang banyak dan daya beli yang tinggi merupakan faktor kekuatan bagi jaminan pemasaran hasil industri yang nantinya akan dikembangkan. Konsumen yang memiliki daya beli tinggi biasanya banyak berdiam di ibukota negara sebagai kota metropolitan, yang notabene letaknya berdampingan.

g. Kelancaran transportasi dan ketersediaan fasilitas penunjang

Transportasi yang murah dan mudah serta infrastruktur yang dimiliki merupakan faktor kekuatan internal, begitu pula fasilitas penunjang lain seperti telekomunikasi, listrik dan air yang telah menjangkau hingga ke pelosok juga menjadi faktor kekuatan tersendiri dalam mendukung pengembangan industri. h. Kedekatan dengan Pelabuhan dan Airport sebagai jalur transportasi antar

daerah dan antar negara

Faktor kekuatan ini menunjang baik dalam hal akses pasar, dan kemudahan dalam menjangkau fasilitas transportasi darat, laut, dan udara apabila industri berkembang dan menjangkau pasar eksport.

Faktor internal yang menjadi kelemahan.

a. Terbatasnya sumber daya yang memiliki keahlian tentang minyak pala

Sampai dengan saat ini tidak banyak orang yang mengerti betul tentang minyak pala, mulai dari metode destilasinya, kegunaannya, proses pengolahannya, dan prospeknya. Kebanyakan yang ahli tentang minyak pala biasanya bukan orang-orang yang berada di industri ataupun masyarakat awam seperti petani pala melainkan orang-orang dalam bidang penelitian. Hal ini dapat menyulitkan bagi industri produk olahan terutama yang baru untuk berdiri.

b. Teknologi masih sederhana

Teknologi destilasi dan pengolahan yang ada sangatlah sederhana dimana hal ini berbeda jauh dengan kondisi industri di luar negeri dengan alat-alat yang serba canggih. Hal ini menyangkut masalah pengadaan dana.

(30)

c. Sistem informasi yang belum memadai

Sistem informasi yang berkembang saat ini belumlah memadai, terutama bagi industri yang kesulitan untuk mencari pasar karena tidak adanya sistem informasi yang tertata rapi.

d. Aspek kelembagaan yang belum efektif

Kelembagaan yang dimaksud adalah kelompok petani pala sebagai pemasok utama bahan baku dan juga pemerintah terutama pemerintah kabupaten. Yang terjadi saat ini adalah pemerintah berada pada pihak yang menunggu, jika ada kemauan dari para petani pala, maka barulah pemerintah memfasilitasi.

e. Kurangnya bahan baku akibat kurangnya gairah petani pala.

Kelanjutan dari usaha petani pala kurang mendapat perhatian pemerintah. Akibatnya yang terjadi adalah secara luasan kebun pala memang masih menjanjikan, namun dari segi produksi/hasil panen sangat jauh dari yang diharapkan. Bahkan beberapa industri pengolahan minyak pala harus gulung tikar dengan konsekuensi banyaknya alat suling yang idle karena kurangnya bahan baku biji dan fuli pala yang dibutuhkan. Kalaupun ada, mengharuskan industri membelinya dengan harga tinggi atau mencari keluar kabupaten bahkan luar propinsi yang otomatis tidak akan menutup biaya produksi.

f. Terbatasnya modal petani pala

Biasanya petani pala mengusahakan tanamannya dalam skala yang relatif kecil, demikian juga modal yang dimiliki. Akibatnya usaha untuk melakukan diversifikasi khususnya pengolahan minyak pala relatif sulit untuk diwujudkan. g. Tidak adanya pola bapak angkat

Belum adanya investor atau lembaga yang benar-benar serius untuk membina petani pala atau bekerjasama menngusahakan diversifikasi produk pala melalui pengolahan minyak pala menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.

4.3.1.2 Faktor Eksternal

Untuk mengetahui faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman dari industri yang akan dikembangkan dilakukan jajak pendapat melalui alat bantu pengisian kuesioner terhadap pakar.

(31)

Faktor eksternal yang menjadi peluang.

a. Prospek pasar dalam negeri dan luar negeri

Dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan produk-produk olahan minyak pala, maka hal ini merupakan peluang bagi industri produk olahan minyak pala untuk melakukan diversifikasi produk dan memperluas pemasaran.

b. Kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan agroindustri

Kebijakan pemerintah selama ini mendukung pengembangan produk-produk agroindustri. Sub sektor perkebunan semakin penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat makin terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini merupakan sumber utama devisa negara. Hal ini merupakan peluang untuk dapat memanfaatkan buah sejati ataupun semu dari pala termasuk biji dan fulinya yang menghasilkan minyak pala. c. Adanya perhatian dari litbang untuk pengembangan minyak pala.

Saat ini ada beberapa balai penelitian yang sudah melihat peluang pasar dari produk olahan minyak pala. Hal ini merupakan peluang yang sangat baik bagi industri tersebut untuk dapat berkembang dan melakukan diversifikasi produk, karena selain menyumbangkan ilmu, pihak tersebut biasanya akan menyumbangkan finansial.

d. Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap produk agroindustri

Dengan meningkatnya kesadaran terhadap kesehatan, maka banyak kalangan masyarakat tertentu yang melirik produk-produk agroindustri karena dianggap lebih baik dan aman untuk kesehatan tubuh.

Faktor eksternal yang menjadi ancaman. a. Banyaknya pungutan-pungutan liar

Banyaknya pungutan-pungutan liar merupakan suatu ancaman karena akan menaikkan biaya operasional industri yang sebenarnya tidak memeberi manfaat bagi industri. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan menimbulkan kelesuan untuk berusaha bagi industri karena industri akan merasa dirugikan.

(32)

b. Kebijakan pemerintah daerah atau pusat yang tidak konsisten antara satu

dinas/instansi dengan lainnya.

Kebijakan yang saling tidak konsisten ini akan menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam berusaha bagi industri dan selanjutnya akan mengancam kelangsungan industri.

4.3.1.3 Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal

Dalam Evaluasi ini digolongkan faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh suatu industri sebagai kombinasi atas faktor kekuatan dan peluang, kelemahan dan ancaman seperti yang disajikan dalam Tabel 19 dan Tabel 20. Pembobotan terhadap faktor internal menggunakan perbandingan berpasangan. Hasil pengisian perbandingan berpasangan dan penggabungan bobot untuk ketiga responden dapat dilihat pada Lampiran 19.

Tabel 19 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor-Faktor Internal Bobot Rating Skor I. Kekuatan

a.Potensi sumber daya lahan 0.124 2 0.248 b.Tersedianya tenaga kerja yang cukup 0.117 2 0.234 c.Kesesuaian tempat tumbuh tanaman pala 0.045 4 0.180 d.Kesesuaian agroklimat tanaman pala 0.037 4 0.148

e.Budidaya pala yang turun temurun 0.105 3 0.315

f.Kedekatan dengan potensi pasar 0.019 3 0.057 g.Kelancaran transportasi dan ketersediaan fasilitas

penunjang

0.033 2 0.066 h.Kedekatan dengan Pelabuhan dan Airport sebagai

jalur transportasi antar daerah dan antar negara

0.033 2 0.066

Jumlah (I) 0.513 1.314

II Kelemahan

a.Terbatasnya sumber daya yang memiliki keahlian tentang minyak pala

0.098 3 0.297 b.Teknologi pengolahan masih sederhana 0.089 3 0.267

c. Sistem informasi yang belum memadai 0.079 4 0.316

d. Kelembagaan belum efektif 0.079 4 0.316

e. Kurangnya bahan baku biji dan fuli pala 0.101 3 0.303

f. Terbatasnya modal petani pala 0.008 4 0.032 g. Tidak adanya pola bapak angkat 0.033 2 0.066

Jumlah (II) 0.487 1.594

Total (I + II) 1.000 2.908

Berdasarkan Tabel 19, dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi kekuatan bagi pengembangan industri produk olahan minyak pala adalah

(33)

budidaya pala yang turun temurun (0.315). Hal ini berpengaruh besar karena akan

memudahkan dalam hal pengadaan bahan baku pala. Para petani pala tidak asing lagi dengan cara pembudidayaan yang benar untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas tinggi sehingga akan didapatkan biji dan fuli serta produk olahan dari minyak pala yang berkualitas baik. Tersedianya sumber daya lahan yang cukup luas (0.248) juga menjadikan kekuatan apabila dimanfaatkan sebagai area untuk pembudidayaan tanaman pala yang sangat penting artinya bagi kontinuitas industri produk olahan minyak pala, maupun sebagai tempat/lokasi industri.

Faktor kelemahan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah sistem informasi yang belum memadai (0.316) dan aspek kelembagaan yang belum efektif (0.316). Langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah memfungsikan kelompok-kelompok tani pala sebagai pemasok bahan baku, dan selanjutnya perlu diadakan kerjasama dengan lembaga investor / lembaga-lembaga penelitian. Selain itu juga perlu menata dan menyediakan data dan sistem informasi yang mutakhir dan akurat misal mengenai produksi, kebutuhan pasar, kecenderungan pasar, dan informasi harga minyak pala. Pembuatan peta perwilayahan untuk usaha pengolahan minyak pala juga diperlukan untuk memberikan informasi keberadaan usaha minyak pala dan atau produk turunannya yang umumnya terdapat di pedesaan dan berskala kecil.

Kelemahan yang penting juga untuk dikaji selain dua kelemahan diatas yang memiliki skor berimbang adalah kurangnya bahan baku pala (0.303) akibat kurangnya gairah petani pala. Hal ini terkait dengan kurangnya perhatian pemerintah daerah akan kelangsungan usaha tani pala yang notabene merupakan tanaman khas Bogor, selain talas dan kenari. Sehingga yang terjadi adalah kelangkaan produksi pala sementara luasan tanaman masih cukup menjanjikan. Langkah yang perlu diambil untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah pemerintah lebih mengintensifkan penyuluhan-penyuluhan mengenai budidaya pala yang benar, pemberian bantuan benih/bibit tanaman pala yang baik, mengorganisir pasar dan melakukan pengawasan hasil produksi petani sehingga tidak jatuh ke tangan tengkulak yang hanya ingin mengambil keuntungan sepihak dari hasil panen petani pala, sehingga kelangkaan bahan baku dan tingginya harga bahan baku akan dapat dihindari.

Gambar

Tabel 15  Asumsi Proyeksi Arus Kas
Gambar  2  Posisi Industri Produk Olahan Minyak Pala
Tabel  21  Matriks SWOT Industri Produk Olahan Minyak Pala
Gambar 3 Hirarkhi Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala Goal :

Referensi

Dokumen terkait

Adapun keunggulan dari paradigma pedagogi ignatian (reflektif) adalah: (1) siswa memiliki pengalaman nyata, terlibat aktif dalam proses pembelajaran; (2) siswa dapat memiliki

Gambar 5.31 Menu Rekapitulasi Cargo Manifest Deskripsi : didalam menu laporan ini terdapat laporan rekapitulasi cargo manifest yang berfungsi melihat hasil data yang telah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional , profitabilitas, dan leverage terhadap kondisi financial distress pada

Dalam ensiklopedia Indonesia garansi dikenal sebagai bagian dari suatu perjanjian dari jual beli, di mana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk

Dengan demikian petani peternak burung puyuh di Kecamatan Kokap masih tergantung pada pakan pabrik sehingga perlu dilakukan kajian melalui penelitian apakah

Sedangkan berbicara formal antara lain, diskusi, ceramah, pidato, wawancara, dan bercerita (dalam situasi formal). Pembagian atau klasifikasi seperti ini bersifat

Berdasarkan data tes servis bawah

Dalam pengelolaan risiko supply chain , kepentingan dari berbagai stakeholder yang terlibat dalam supply chain harus diperhatikan untuk keberlangsungan dari