SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pengampu : Kholisin S.Sos. I, M.Si.
Disusun Oleh :
Muhammad Aqis Assalas (121111067) Ahmad Abdul Fattah (1601016046) Ade Anisatun Aula (1601016066)
Leni Astuti (1601016067)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2016
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS
I. PENDAHULUAN
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadits yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits yang dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungan dengan sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak tingkah laku dan teladan rasulullah, harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akutable tentang hadits Rasulullah SAW.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian Ilmu Hadis?
B. Bagaimana metode dan pendekatan penelitian?
C. Apa faedah mempelajari ilmu hadis?
D. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadis?
E. Sebutkan cabang-cabang ilmu hadis?
F. Sebutkan istilah-istilah ilmu hadis?
III. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU HADIS
Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadis. Secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan science. Hadis artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik dari perkataan, perbuatan maupun persetujuan. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadis adalah mengetahui kaidah-kaidah yang mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa, ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi
adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari nabi yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadis.
Ilmu hadis dibagi menjadi dua, antara lain :
Ilmu Hadis Riwayah
Menurut bahasa, riwayah dari kata rawa, yarwi, riwayatan , yang berarti an-naql = memindahkan dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, al-fatl = pemintalan. Secara istilah menurut pendapat Dr. Shubhi Ash-Shalih, ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis Dirayah, dari segi bahasa kata diraya berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah = pengetahuan tenteng hadis atau pengantar ilmu hadis. Secara istilah, ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
B. METODE DAN PENDEKATAN PENELITIAN
Dalam penelitian sunnah atau hadis, diperlukan kritik baik yang berkesan dengan sanad yang disebut kritik eksternal (an-naqd al-khariji), dan kritik matan, yang disebut kritik internal (an-naqd ad-dakhili atau an-naqd al-bathini. Sdanad dan matan inilah yang menjadi wilayah penelitian bidang hadis. Ada beberapa metode dan pendekatan yang digunakan para peneliti dalam bidang hadis antara lain sebagai berikut :
Metode Perbandingan
Dalam penelitian hadis perlu penelusuran suatu hadis dari berbagai buku induk hadis agar mendapatkan dokumentasi hadis secara utuh yakni sanad dan matannya sebagai upaya pengumpulan data. Kemudian dari hasil penelusuran tersebut akan didapatkan sanad yang berbeda dan terkadang redaksi matan pun juga berbeda sekalipun maknanya sama. Para ahli akan mengolah dan
menganalisa dokumentasi hadis tersebut dari berbagai segi dengan cara membanding antara satu dngan yang lain. Di situlah terlihat seorang perawi yang genius dan memiliki daya ingat yang kuat periwatannya sesuai dengan periwayatan perawi lain yang memiliki kredebilitas yang sama.
Prof. M. Mushthafa Al-A’zhami mengatakan, bahwa sejauh menyangkut kritik nash atau dokumen tedapat banyak metode, akan tetapi hampir semua metode itu dapat dimasukkan ke dalam kategori metode perbandingan (cross reference). Dengan membandingkan antara suatu hadis dalam beberapa sanad dari berbagai sumber buku induk dapat ditemukan koententikan seebuah hadis dan dapat diketahui perawi perawi mana yang menyimpang.
Metode kualitatif deskriptif
Penelitian hadis tergolong penelitian kualitatif maka metode analisanya adalah deskriptif analisis yaitu dilakukan untuk menjelaskan semua komponen tersebut, baik yang berkaitan dengan sanad atau matan Ace Suryadi dan A.R Tilaar menjelaskan bahwa tujuan pendekatan deskriptif ini adalah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum. Dalam penelitian hadis pada umumnya pendekatan ini digunakan dalam menjelaskan biografi seorang perawi hadis.
Pendekatan normatif
Pendekatan normatif secara khusus dapat digunakan untuk mengananlisis data dokumentasi hadis yang berkaitan dengan kritik internal (ad-dakhili) yakni kritik matan. Tolok ukurnya adalah tidak bertentangan Al-quran, hadis yang lebih kuat, akal sehat, indra, sejarah, dan susunan bahasa. Pendekatan normatif juga dapat digunakan dalam rangka pemecahan suatu masalah (problem solving),yaitu dengan menawarkan norma-norma. Kaidah-kaidah, dan resep-resep dalam dimensi rasionalitas dan moralitas, aqli dan naqli sebagaimana yang telah disepakati oleh ulama ahli hadis.
Pendekatan historis
Pendekatan historis atau kesejarahan digunakan dalam uang kritik eksternal yaitu sanad, karena sunnah merupakan fakta sejarah yang berkaitan dengan
pendekatan, perbuatan, sifat,dan pengakuan Nabi. Para ahli hadis berpendapat bahwa studi matan hadis atau ilmu hadis riwayah tidak berarti, jika tidak disertai dengan ilmu hadis dirayah, yaitu analisis kesejarahan terhadap perkataan dan perbuatan Rasul, bahkan sifat-sifat dan keadaan para transmitter (perawi) hadis dan matan-nya.
Keempat metode dan pendekatan di atas sangat diperlukan dalam penelitian hadis secara empiris sehingga dapat menemukan pemahaman yang benar terhadap hadis tersebut, baik kandungannya sebagai sumber hukum islam maupun sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kemajuan.
C. FAEDAH MEMPELAJARI ILMU HADIS
Banyak sekali faedah dan manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadis, tetapi yang sangat urgen diantaranya sebagai berikut :
Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadis dalam penelitian hadis. Demikian
juga dapat mengenal nilai-nilai dan dan kriteria hadis mana hadis dan mana yang bukan hadis.
Mengetahui kaedah-kaedah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring
(filterisasi) dan mengklasifikasikan ke dalam beberapa macam baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadis, sehingga dapat menyimpulkan mana hadis yang diterima dan mana hadis yang ditolak.
Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama dalam menerima dan menyampaikan periwayatan hadis, kemudian menghimpun dan mengkodifikasikannya ke dalam berbagai kitab hadis.
Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadis baik hadis dirayah maupun riwayah yang mempunyai
peran penting dalam perkembangan peliharaan hadis sebagai sumber syari’ah Islamiyah sehingga hadis terpelihara dari pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Seandainya terjadi hal tersebut merekapun dapat mengungkap dan meluruskan yang sebenarnya.
Demikian pentingnya ilmu hadis untuk dipelajari bagi semua umat Islam terutama bagi yang ingin mempelajari ilmu agama secara dalam, sehingga tidak goyah dalam menghadapi goyangan iman yang meragukan otentisitas hadis.
D. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS
Dalam tataran praktisnya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode Rasulullah SAW., paling tidak, dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana , ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan perkembangannya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit.
Pada periode Rasulullah SAW., kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama hadis dirayah dilkukan deengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Siddiq (573-634 H ; khalifah pertama dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun atau Empat Khalifah Besar), misalnya tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demkian pula, Umar bin Khaththab (581-644 H ; khalifah kedua dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun). Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661; khalifah terakhir dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun) menetapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima semua hadis yang disampaikan oleh seseorang,
kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar As-Shiddiq.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulullah SAW. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w.95 H), Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), dan Ubaidah bin Syurahbil Asy-Sya’bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110 H).
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a., misalnya pernah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan “Innal-mayyita yu’azzabu bi buka’I ahlihi ‘alaihi” (Sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya). ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah salah dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW. melewati sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya.
Melihat hal tersebut, Rasulullah SAW. bersabda “mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya.” Lebih lanjut ‘Aisyah berkata, “Cukuplah Al-Quran sebagai bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah karena maknanya bertentangan dengan Al-Quran.” Ia mengutip surat Al-An’am [6] ayat 16 yang artinya, “… dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…”
Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), dan Abdullah bin Abbas. Pada periode Tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matam yang mereka hadapi. Demikian pula dikalangan ulama-ulama hadis selanjutnya.
Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoritis, di samping bentuk praktis seperti dijelaskan diatas. Imam Asy-Syafi’I adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya momentalnya Ar-Risalah (kitab usul
fiqh) dan Al-‘Umm (kitab fiqh). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan dua kitab tersebut.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdullah Ar-Rahman bin Khalad Ar-Rahmahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits, Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Meskipun demikian, menurutnnya lebih lanjut, kitab ini smpai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.
Kemudian, muncul Al-Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 pembahasan. Namu seperti karya Ar-Ramarhumuzi, karya Al-Hakam ini juga belum sempurna dan kurang sistematis disbanding dengan kitab-kitab karya ulama berikutnya.
Kemudian, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddits (ahli hadis) dari Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, Al-Mustakhraj ‘Ala Ma’rifa ‘Ulum Al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits karya Al-Hakim.
Setelah itu, muncul Abu Bakar Ahmad Al-Khathib Al-Baghdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni Al-Kifayah fi Qawanin Ar-Riwayah dan Al-Fami’ li Adab Asy-Syeikh wa As-Sami’. Selain itu, Al-Baghdadi menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut Al-Hafiz Abu Bakar bin Nuqthah, ulama hadis kontemporer dari Mesir yang menulis ilmu hadis setelah Al-Baghdadi pada dasarnya berutang budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya.
Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’. Berikutnya adalah Abu Hafish Umar bin Abd. Majid Al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitab Ma la Yasi’u Al-Muhaddits Fahluh. Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usman bin Shalah atau
Ibnu Shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dengan kitabnya, ‘Ulum Al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah Ibn Ash-Shalah. Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis syarah (ulasan)-nya.
Kitab lainnya yang cukup terkenal diantaranya Tadrib Ar-Rawi oleh Jalaludin As-Suyuthi, Taudih Al-Afkar oleh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani As-San’ani (1099 H/1688 M-1182 H/1772 M), dan Qawa’id At-Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa’id bin Qasim Al-Qasimi (1283-1332 H).
E. CABANG-CABANG ILMU HADIS
Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga 6 cabang tergantung kepentingan penghitung itu sendiri ada yang menghitungnya secara terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global saja. Cabang- cabang Ilmu Hadis yang terpenting baik dilihat dari segi sanad atau matan dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
1. Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu Rijal Al- Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah dan ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelaharira, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadis. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja.
2. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Dr. Shubhi Ash-Shalih memberikan definisi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus. Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil) seorang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu.
3. ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Dalam bahasa al-‘illah diartikan al-maradh= penyakit. Dalam istilah ilmu hadis ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar yang membuat kecacatan keshahihan hadis, seperti me-washalkan hadis yang munqathu dan me-marfu-kan hadis yang mawquf, memasukan suatu hadis ke hadis yang lain. Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat hadis yang terdapat illat dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan dimana “illat tersebut terjadi, dan pada sanad atau pada matan.
4. ‘ilmu Gharib Al-Hadits
‘ilmu Gharib Al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadis dari iafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia, karena tidak umum dipakai orang arab. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui mana katta-kata dalam hadis yang tergolong gharib dode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam hadis tersebut. Apakah melalui perbandingan beberapa sanad dalam hadis yang sama atau melalui jalan lain.
5. ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadist
Dr. Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa Mukhthalif Al-Hadits Adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahirnya terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di-taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhshish al-‘alam (pengkhususan yang umum), atau dengan yang lain. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui hadis mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemecahannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadis-hadis yang kontra tersebut.
6. ‘ilmu Nasikh wa Mansukh
Menurut ulama ushul fikih, nasakh adalah pembatalan hukum syari’ (pembuat syariat) dengan dalil syara’ yang datang kemudian ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh. Tujuan mempelajari ilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum
yang dihasilkan dari Hadi dalam bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi Nasikh Mansukh
7. ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
‘Ilmu Fann Al-Mubhamatadalah ilmu yang membicarakan tentang seseorang yang samar namanya dalam matan atau sanad. Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadis yang masih samar-samar atau tersembunyi.
8. ‘ilmu Asbat Wurud Al-Hadits
‘ilmu Asbat Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sebab datangnya hadis, latar belakang dan waktu terjadinya. Tujuan mengetahui ilmu ini mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya suatu hadis sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadis yang dikehendaki.
9. ‘ilmu Tashhif wa Tahrif
‘ilmu Tashhif wa Tahrif adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang diubah titiknya (mushahhaf) atau dirubah bentuknya (muharraf). Tujuannya, mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadis dan bagaimana sesungguhnya yang benajar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penakilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabith-an seorang perawi.
10. ‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits
‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadis dan yang dikenal antara mereka. Tujuannya,memudahkan para pengkaji dan peneliti hadis dalam mempelajari dan riset hadis, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.
F. ISTILAH-ISTILAH ILMU HADIS
a.) Pengertian Istilah
Istilah merupakan symbol-simbol yang disepakati bersama secara terminologi untuk mengidentifikasikan masalah dengan tujuan memudahkan pembahasan berikutnya untuk menunjuk sesuatu yang dimaksud secara simpel dan sederhana, sehingga sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Kata istilah dalam bahasa Arab berasal dari kata ishthalaha, yashthalihu, ishthilaha, artinya persesuaian paham dan tidak adanya perselisihan. Jadi kata istilah mempunyai makna kesepakatan sekelompok orang tentang sesuatu yang khusus. Kumpulan berbagai istilah Dallam ilmu hadis dihimpun secara sistematik oleh para ulama, sehingga sebagian mereka menyebutkan sebagai ‘ilmu Musthalah Al-Hadits. Kata musthalah diambil dari kata istilah tersebut. ‘Ilmu Musthalah Al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang apa yang diistilahkan ulama hadis dan dikenal menjadi uruf (kebiasaan) diantara mereka. Istilah-istilah itu dijadikan ilmu yang berdiri sendiri kemudian ditambah dengan kaidah-kaidah dan ilmu-ilmu pendukung lain sehingga para ulama beragam dalam memberikan nama ilmu ini. Diantara mereka member nama ‘Ulumul Al-Hadits, ‘Ilmu Ushul Al-Hadits, Ilmu Al-Hadit, dan lain-lain tergantung pada fokus materi yang diberikan didalamnya.
b.) Istilah-istilah dalam Periwayatan • Sanad
Sanad menurut bahasa adalah almu’tamadu, yaitu sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan pedoman. Menurut istilah adalah mata ranntai para perawi hadis yang menghubungkan smpai kepada matan hadis. Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dha’if-nya suatu hadis. Sanad ini sangat penting dalam hadis, karena hadis terdiri dari dua unsur yaitu sanad dan matan. • Lambang Periwayatan
Lambang periwayatan اا ااا ااا اا/ا اا ااا اا/اااااااا dipergunakan dalam metode
As-Sama’ artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari seorang guru (Syaikh) secara langsung. Hadis yang menggunakan lambing periwayatan tersebut dalam
segala tingkatan sanad berarti bersambung (muttashil), masing-masing periwayat dalam sanad bertemu langsung dengan Syaikhnya.
Lambang periwayatan ااا اااااااا/ااااااااااا dipergunakan dalam metode Al-Qira’ah
atau Al-‘Ardh artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut mendengarkan dan didengarkan oleh seorang guru, guru mengiyakan jika benar dan meluruskan jika terjadi kesalahan. Dalam dunia Pesantren metode ini dikenal dengan metode sorogan.
Lambing periwayatan ا ا ا اااا dalam metode ijazah seorang guru memberikan periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya. Murid yang diberi ijazah untuk menyampaikan periwayatan tidak sembarang murid, akan tetapi hanya murid-murid tertentu yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.
Lambang periwayatan اا اا اااا ا : “ia berkata kepadaku” atau اا اا اا اااا : “ ia
menyebutkan kepadaku” dipergunakan dalam menyampaikan hadis metode Sama’ Al-Mudzakarah artinya murid mendengar bacaan guru dalam kontek mudzakarah bukan dalam kontek menyampaikan periwayatan yang tentunya tidak siap kedua belah pihak. Berbeda dalam konteks ada’ (menyampaikan periwayatan) ,edua belah pihak siap untuk member atau menyampaikan dan menerima hadis.
Lambing periwayatan اااا. Menurut Jumhur ulama dapat diterima asal periwayatannya
tidak mudallis (penyimpan cacat) dan dimungkinkan adanya pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua persyaratan ini maka tidak dihukumi muttashil.
• Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, sesuatu yang Nampak dan asli. Menurut istilah matan adalah sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad.
Matan hadis ini sangat penting karena yang menjadi topic kajian dan kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama. • Mukharrij atau Pewaris Hadis
Kata mukharrij isim fa’il dari kata takhrij atau istikharaj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan : menampakkan, mengeluarkan, dan menarik. Maksud mukharraj adalah seorang yang menyebutkan suatu hadis dalam kitabnya dengan sanadnya. Sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu
kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) .
c.) Istilah-istilah dalam Kepakaran Hadis
Gelar keilmuan dalam Islam memang patut dihargai karena mununjukkan tingkat kepakaran seseorang dalam bidang ilmu tertentu, disamping menunjukkan kemajuan peradaban umat Islam dalam bidang ilmu lebih pesat pada awal Islam sebelum barat maju, sebelum adanya gelar Prof., Dr., MM., M.Pd., dan lain-lain.
Diantara gelar keahlian dalam bidang hadis yaitu sebagai berikut : • Amir Al-Mu’minin
Gelar Amil Al-Mu’minin sebenarnya diberikan kepada khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq dan setelahnya. Gelar Amil Al-Mu’minin dalam hads tidak berkait dengan kekhalifahan secara formal dalam politik, akan tetapi berkaitan dengan penguasaan hadis seseorang.
• Al-Hakim
Al-Hakim yaitu, suatu gelar keahlian bagi para pakar hadis yang menguasai seluruh permasalahan hadis baik matan yang diriwayatkan maupun sanad-nya dan mengetahui hal ihwal para pewari hadis yang adil dan yang tercela mengetahui biogografi para perawi, baik tentang perjalanan kepada guru-gurunya dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak.
• Al-Hujjah
Gelar Al-Hujjah diberikan kepada para pakar hadis yang kemampuan hafalan hadisnya dapat dijadikan hujjah dan menjadi referensi bagi para penghafal lainnya. Menurut sebagian ulama, gelar Al-Hujjah diberikan kepada para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis yang diriwayatkan baik matan,sanad maupun perihal para perawi seperti tentang keadilan, kecacatan, dan biografinya.
• Al-Hafizh
Gelar Al-Hafizh adalah gelar ahli hadis yang dapat men-shahih-kan para perawi hadis.
• Al-Muhaddits
Menurut At-Taj As-Subki dalam bukunya Maw’id An-Ni’am ialah orang yang mengetahui sanad, illat, nama para periwayat hadis baik yang tinggi dan yang rendah.
• Al-Musnid
Al-Musnid adalah gelar keahlian yang meriwayatkan hadis beserta sanad-nya, baik ia menguasai benar tentang keadaan sanad maupun tidak.
• Thalib Al-Hadits
Thalib Al-Hadits adalah gelar yang terendah diantara sekian gelar yang telah dijelaskan sebelumnya. Gelar Thalib Al-Hadits diberikan kepada orang yang memulai kariernya dalam bidang hadis yaitu orang yang mencari hadis atau yang sedang mempelajarinya.
d.) Berkaitan dengan Generasi Perawi • Thabaqat
Dalam bahasa Thabaqat diartikan = kaum yang serupa atau sebaya. Menurut istilah Thabaqat adalah kaum yang berdekatan atau sebaya dalm usia dan dalam isnad saja.
• Sahabat
Dari segi bahasa sahabat diambil dari kata ash-Shahabati dengan makna Ash-Shuhbatu= persahabatan. Menurut istilah sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beragama islam dan mati dalam islam sekalipun dipisah murtad ditengah tengah menurut pendapat yang benar.
• Tabi’in
Tabi’in jamak dari kata tabi’i atau tabi’ yang berarti orang yang mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah tabi’in adalah orang muslim yang bertemu seorang sahabat dan mati dalam beragama islam.
IV. KESIMPULAN
Ilmu hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Ilmu hadis dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan penelitian yang digunakan para peneliti dalam bidang hadis, antara lain ; metode perbandingan, metode kualitatif deskriptif, pendekatan normatif, dan pendekatan historis. Banyak sekali faedah dan manfaat mempelajari ilmu hadis,, salah satunya yaitu; mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadis dalam penelitian hadis, demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan dan kriteria hadis mana hadis dan mana yang bukan hadis. Sejarah perkembangan ilmu hadis dimulai dari periode Rasulullah SAW, periode sahabat nabi dan para ulama yang dituliskan dalam beberapa kitab karya para ulama tersebut. Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga 6 cabang tergantung kepentingan penghitung itu sendiri ada yang menghitungnya secara terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global saja, antara lain ; Ilmu Rijal Al-Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits dan sebagainya.
V. PENUTUP
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terimakasih atas antusiasme dari pembaca yang berkenan menelaah isi makalah ini. Kritik dab saran tetap kami harapkan sebagai bahan perbaikan. Sekian dan terimakasih.