• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbentuk dari sekian banyak shoot, scene dan sequence. Tiap shoot membutuhkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbentuk dari sekian banyak shoot, scene dan sequence. Tiap shoot membutuhkan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Film Sebagai Media Massa

Menurut Joseph V. Maschelli dalam maarif (2005:27) film secara struktur terbentuk dari sekian banyak shoot, scene dan sequence. Tiap shoot membutuhkan penempafan kamera pada posisi yang paling baik bagi pandangan mata penonton dan bagi setting serta action pada satu saat tertentu dalam perjalanan cerita, itulah sebabnya seringkali film disebut gabungan dari gambar – gambar yang dirangkai menjadi satu kesatuan utuh yang bercerita kepada penontonnya. Rangkaian gambar – gambar ini biasa dikenal sebagai montase visual (Visual Montage).

Penuturan film adalah sebuah rangkaian kesinambungan cerita (image) yang berubah, yang menggambarkan kejadian – kejadian dari berbagai sudut pandang. Rangkaian yang merupakan penyadapan sebebas – bebasnya dari media dan seni yang sudah ada, seni lukis, fotografi, music, novel, drama punggung, bahkan arsitektur.

Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Film merupakan karya seni yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang – orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Film ditemukan dari hasil penggambaran prinsip – prinsip fotografi dan proyektor.10

10

Elvarino Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandumg: Simbiosa Rekatama Media, 2007, hal 143

(2)

Secara umum, film dipandang sebagai media tersendiri, film merupakan sarana pengungkapan daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus, dan produknya bisa diterima dan diminati layaknya karya seni. Sedangkan dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar dan dalam pengertian luasnya bisa juga termasuk yang disiarkan di televise.11

Film merupakan karya sinematografi yang menafsirkan media celluloid sebagai penyimpanan. Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam bidang sinematografi, pengertian film telah bergeser. Sebuah film dapat diproduksi tanpa menggunakan media celluloid. Saat ini tidak sedikit film yang menggunakan media celluloid pada tahap pengambilan gambar, kemudian pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang lebih fleksibel seperti cakram (VCD dan DVD). Pada istilah lain film pun tidak lagi sebagai media penyimpanan bentuk karya audio visual namun lebih diartikan sebagai suatu genre seni cerita berbasis audio visual atau cerita yang dtuturkan penonton melalui gambar bergerak.12

Film telah menjadi bentuk seni yang kini terdapat respons paling kuat dari sebagian besar orang, dan yang dituju orang untuk memperoleh hiburan, ilham, dan wawasan. Film memiliki kekuatan besar dari segi estetika karena menjajarkan dialog, music, pemandangan dan tindakan bersama – sama secara visual dan naratif.13 Film berpotensi menjadi sumber pendidikan informal melalui isi pesan yang dikandungnya, tidak peduli bagaimana cara pesan itu disampaikan. Namun,

11

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal 136

12

Ilham Zoebazary, Kamus Istilah Televisi dan Film, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2010 Hal 104

13

(3)

yang pasti, isi yang dikandungnya tidak bebas dari nilai – nilai tertentu, seperti bias ideology atau politik dari si pembuat film. Media yang paling sering dipakai secara kolektif kemudian disusul televisi.14

Dalam banyak penelitian dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Sementara menurut Graeme Turner, makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindahkan” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai refresentasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideology dari kebudayaan.15

14 Denis Mcquail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. 1997, Hal 22 15

(4)

2.1.1 Karakteristik Film

Faktor – faktor yang dapat menunjukan karakteristik film adalah:16 1. Layar Yang Luas / Lebar

Kelebihan media film mempunyai layar yang lebih luas dibandingkan layar televise. Layar film yang luas memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan – adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop – bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah – olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.

2. Pengambilan gambar

Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam filmbioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan gambar menyeluruh. Shot tersebut memberikan kesan artistic dengan suasana yang sesungguhnya, sehingga film terlihat lebih menarir.

3. Kosentrasi Penuh

Dari pengalaman kita masing – masing, disaat kita menonton film di bioskop, kita semua terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara di luar karena biasanya ruang kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Bandingkan bila kita menonton televise di rumah, selain lampu yang tidak dimatikan, orang

16

Elvinaro Ardianto dan Lukiati K. Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 136-138

(5)

– orang di sekeliling kita berkomentar atau hilir mudik, ditambah lagi dengan selingan iklan.

4. Identifikasi Psikologis

Kita semua dapat merasakan bahwa suasan di dalam gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita amat dalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan pribadi kita dengan salah satu pemain, sehingga seolah – olah kita yang sedang berperan. Gejala inilah yang disebut identifikasi psikologis.

2.1.2. Fungsi Media Film

Seperti halnya televise siaran, tujuan khalayak menonton terutama ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film terdapat fungsi informative dan fungsi edukatif, bahkan persuasive. Hal ini juga sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, selain media hiburan, film nasional juga dapat digunakan sebagai media edukasi untuk membina generasi muda dalam rangka national and character building. Film adalah salah satu alat komunikasi yang paling mudah disampaikan dan mudah diterima oleh manusia. Dalam film mengandung tiga unsur yaitu penerangan, pendidikan, dan hiburan.17

17

(6)

1. Sebagai Alat Penerangan

Dalam film segala informasi dapat disampaikan secara audio visual sehingga dapat mudah dimengerti

2. Sebagai Alat Pendidikan

Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik, tauladan di dalam masyarakat dan mempertontonkan perbuatan – perbuatan yang baik.

3. Sebagai Alat Hiburan

Dalam mensejahterakan rohani manusia karena di sini kepuasan batin untuk melihat secara visual serta pembinaan.

2.1.3 Genre – genre Film 1. Drama

Tema ini mengangkat aspek – aspek human interest sehingga sasarannya adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema ini dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya, seperti jika kejadian yang ada di sekitar keluarga maka disebut drama keluarga.

2. Action

Jenis ini bisa dikatakan film yang berisi tentang pertarungan fisik antara tokoh baik dan tokoh jahat

(7)

3. Komedi

Film komedi tidak harus dilakukan atau dimainkan oleh pelawak, tetapi juga bisa dimainkan oleh pemain film biasa dan selalu membuat orang tertawa.

4. Horor

Film yang menekankan suasana menakutkan dan menyeramkan yang dapat membuat bulu kuduk penontonnya merinding.

5. Drama Action

Film yang menyuguhkan suasana drama dengan adegan – adegan pertengkaran fisik. Biasanya film dimulai dengan suasana drama setelah itu suasana tegang berupa pertengkaran – pertengkaran.

6. Tragedi

Jenis ini menekankan pada nasib manusia, sebuah film dengan akhir cerita tokoh utama.

7. Musikal

Jenis film yang isinya disertai dengan lagu – lagu maupun drama melodis, sehingga penyutradaraan, acting, penyuntingan, termasuk dialog, dikonspensasi dengan kehadiran lagu – lagu dan irama melodis.18

8. Komedi Horor

Film ini menampilkan film horror yang berkembang kemudian diplesetkan menjadi komedi. Unsur ketegangan yang bersifat

18

(8)

menakutkan menjadi lunak karena unsur tersebut dikemas dengan adegan komedi.19

2.2. Representasi Realitas Melalui Media

Menurut Denzin dan Lincolin, representasi selalu merupakan interpretasi pribadi. Oleh karena itu, dalam merepresentasikan seseorang / kelompok tentunya sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti ubtuk ditampilkan ke dalam teks. Seseorang atau kelompok yang ingin ditampilkan ke dalam sebuah teks merupakan versi dari interpretasi peneliti.20

Terdapat dua proses besar yang dilakukan media di dalam memaknai realitas, yaitu memilih fakta dan menulis fakta. Aspek memilih fakta tidak lepas dari bagaimana fakta itu dipahami oleh media. Proses pemilihan fakta hendaknya tidak dipahami sebagai bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktek representasi. Sedangkan “menulis fakta, proses ini tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menulis realitas untuk dibaca oleh khalayak.21

Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi.22 Pada hakikatnya isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat memrepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang ingin diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar

19

Suhandang Kustadi, Pengantar Jurnalistik, Jakarta: Yayasan Nuansa Cendikia, 2004, Hal 188

20

Ibid, Hal 90

21

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. 2002, Hal 116

(9)

untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.23

Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Media tidak bisa dianggap berwajah “netral” dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan penerima pada pihak lain. Lebih dari semua itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan.24

Realitas oleh media tak bisa dilepas dari unsur – unsur second hand reality dan film sebagai bagian dari media massa memainkan peran untuk mengkomunikasikan segala bentuk narasi yang dimainkan. Media massa adalah perpanjang alat indra kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media adalah realitas yang sudah diseleksi.25

23

Sobur, op. cit., hal 88-89

24

Sobur, op. cit., hal 93

25

(10)

2.3 Guru

2.3.1 Pengertian Guru

Guru adalah orang yang kerjanya mengajar; perguruan; sekolah, gedung tempat belajar; perguruan tinggi : universitas.26 Dalam dunia pendidikan, istilah guru bukanlah hal yang asing. Menurut pandangan lama, guru adalah sosok manusia yang patut digugu dan ditiru. Digugu dalam arti segala ucupannya dapat dipercaya. Ditiru berarti segala tingkah lakunya harus dapat menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat.27

Dalam situasi pendidikan atau pengajaran terjalin interaksi antara siswa dengan guru atau antara peserta didik dengan pendidik. Interaksi ini sesungguhnya merupakan interaksi antara dua kepribadian, yaitu kepribadian guru sebagai orang dewasa dan kepribadian siswa sebagai anak yang belum dewasa dan sedang berkembang mencari bentuk kedewasaan.28

2.3.2 Tugas Guru

Guru banyak memiliki banyak tugas, baik yang terkait oleh dinas maupun yang di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Apabila kita mengelompokan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.

Guru merupakan profesi / jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh

26

Adi Gunawan, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya: 2003, Hal 157

27 Sukadi, Guru Powerful Guru Masa Depan, Kolbu, Bandung: 2006, Hal 8 28

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung: 2007, Hal 251

(11)

sembarangan orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataannya masih dilakukan orang di luar kependidikan. Itulah sebabnya jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran.

Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai – nilai hidup. Mengajak berarti meneruskan dan mengembangkan keterampilan – keterampilan pada siswa. Tugas guru dalam bidang kemanusian di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswa. Para siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak diserap sehingga setiap lapisan masyarakat (homo indens, homo puber, dan homo sapiens) dapat mengerti bila menghadapi guru.

Masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat di lingkungannya karena dari seseorang guru diharapkan masyarakat dapat meperoleh ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan pancasila.29

29

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung: 2010, Hal 6-7

(12)

2.3.3 Peran Guru Dalam Proses Belajar – Mengajar

Perkembangan baru terhadap pandangan belajar – mengajar membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya karena proses belajar – mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang berkompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.

Peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar – mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles of Student Theaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator dan konselor. Yang akan dikemukakan di sini adalah peranan yang dianggap paling dominan dan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Guru Sebagai Demonstrator

Melalui perannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri ialah pelajar. Ini berarti bahwa guru harus belajar terus menerus. Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan

(13)

demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya agar apa yang disampaikannya itu betul – betul dimiliki oleh anak didik.

b. Guru Sebagai Pengelola Kelas

Dalam perannya sebagai pengelola kelas, guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan – kegiatan belajar terarah kepada tujuan – tujuan pendidikan. Pengawasan terhadap belajar lingkungan itu turut menentukan sejauh mana lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Lingkungan yang baik yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan.

Kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam kelas bergantung pada banyak faktor, antara lain adalah guru, hubungan pribadi antara siswa di dalam kelas, serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas.

c. Guru Sebagai Mediator dan Fasiliator

Sebagai media guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar – mengajar. Dengan demikian media pendidikan merupakan dasar yang

(14)

sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.

d. Guru Sebagai Evalator

Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, akan kita ketahui bahwa setiap jenis pendidikan atau bentuk pendidikan pada waktu – waktu tertentu selama satu periode pendidikan orang selalu mengadakan evaluasi, artinya pada waktu – waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun pihak pendidik.

Demikian dalam satu kali proses belajar – mengajar guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan akan dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.30

2.3.4 Fungsi Guru

1. Guru sebagai Pendidik

Salah satu fungsi guru yang umum adalah sebagai pendidik. Dalam melaksanakan tugas ini, guru dituntut menjadi inspirator dan menjaga disiplin kelas. Sebagai inspirator, guru memberikan semangat pada siswa tanpa memandang tingkat intelektual atau tingkat motivasi belajarnya. Buatlah semua siswa senang untuk bergaul dengan guru, baik di dalam

30

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung: 2010, Hal 9-10

(15)

maupun di luar kelas. Hal ini tentu saja menuntut fleksibilitas yang tinggi. Perhatian dan tindakan guru harus disesuaikan dengan kebutuhan masing – masing siswa.

2. Guru Sebagai Didaktikus

Menurut Bennyamin Bloom sebagai mana dikutip W.S (1991:115), kualitas pengajaran sangat bergantung pada cara menyajikan materi yang harus dipelajari. Selain itu, bagaimana cara guru melakukan peneguhan, bagaimana cara guru mengaktifkan siswa supaya berpartisipasi dan merasa terlibat dalam proses belajar, dan bagaimana cara guru memberikan informasi kepada siswa tentang keberhasilan mereka, merupakan cara – cara yang biasa disampaikan. Semua hal tersebut menuntut keterampilan didaktik guru. 31

2.4 Semiotika

Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti “tanda”. Semiotika merupakan sebuah studi tentang tanda/makna dan cara tanda – tanda makna – makna itu bekerja.32

Semiotika adalah ilmu mengenai tanda – tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya,hubungan dengan tanda – tanda lain, pengirimannya, dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya.33

31

Sukadi, Guru Powerful Guru Masa Depan, Kolbu, Bandung: 2006, Hal 22-24

32

Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung, 2006 hal 12

33

Rachmat Kriantono, Teknik Praktik Riset Komunikasi. Kencana Pradana Media Grup. Jakarta, 2006 hal 265

(16)

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari deretan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Karena pada dasarnya, analisis semiotika bersifat pradigmatik dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal – hal yang tersembunyi di balik sebuah teks.34

Dalam kaitannya dengan semiotika, Preminger memberikan batasan yang jelas. Semiotika adalah ilmu tentang tanda – tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat atau kebudayaan ini merupakan tanda – tanda. Semiotika itu mempelajari sistem – sistem, aturan – aturan, konvensi – konvensi yang memungkinkan tanda – tanda tersebut mempunyai arti.35

2.4.1 Semiotika Charles Sander Pierce

Karena di lahirkan dalm lingkungan keluarga akademis turun temurun di Cambridge, Massachusetts, Piece pun berkarier di perguruan tinggi. Akan tetapi, karena gaya hidupunya yang nyeleneh, dia dipecat dari John Hopkins University pada tahun 1878 (Cobley dan Jansz, 2002: 18-20). Meskipun demikian, dia mewariskan tulisan – tulisannya yang berjumlah ratusan yang kemudian diterbitkan setelah kematiannya dengan judul Collected Papers Of Charles Sanders Pierce. Tulisan – tulisannya tersebut berjumlah delapan jilid diterbitkan mulai tahun 1931 sampai 1958 (Van Zoest, 1993:8). Berkat tulisan – tulisannya itu Pierce pun diakui sebagai filsuf terbesar Amerika. Pierce mengemukakan teori

34

Alex Sobur. Analisis Teks Media : suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotika dan analisi framing. Remaja Rosdakarya. Bandung, 2001 hal 95

(17)

tentang tanda yang disebutnya semiotika dalam salah satu tulisannya seperti ysng dikutip oleh Guiraud (1972:2) berikut:

I hope to have shown that logic in its general acception in merely another word for semiotics a quasi – necessary of formal doctrine of sign…

Pierce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segitiga (triadic relation), yaitu Representamen (yang juga disebutnya dengan tanda yang berhubungan dengan Objek yang diacunya. Hubungan tersebut menghasilkan interpretan. Hubungan itu disebut juga struktur triadic. Representament adalah hal – hal yang dapat dipersepsi yang berfungsi sebagai tanda. Objek adalah sesuatu yang diacu Representamen. Objek dapat berupa Objek Tanda (Immediate Object), yakni objek sebagaimana yang direpresentasikan oleh tanda, dan Objek Dinamik (Dynamic Object), yaitu objek yang tidak tergantung pada tanda, malah objek inilah yang merangsang penciptaan tanda. Interpretan adalah efek yang ditimbulkan dari penandaan atau tanda sebagaimana diserap oleh benak kita. Interpretan dibagi menjadi tiga, yakni Immediate Interpretant, Dynamic Interpretant, dan Final Interpretant.

Dari hubungan Representamen – Objek – Interpretan, atau R – O – I, tercipta proses pemaknaan dan penafsiran tanda yang disebut proses semiosis. Proses ini berlangsung berulang – ulang. I dapat berfungsi sebagai R baru yang mengacu pada O baru dan I baru lagi, dan begitu terus berulang – ulang sampai tak terhingga. Dengan demikian, tanda bagi Pierce adalah refresentatif dan interpretatif, atau dengan kata lain, representasi dan interpretasi adalah ciri khas tanda.

(18)

Pierce mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda adalah bertahap, yakni tahap kepertamaan (firstness), tahap keduaan (secondness),dan tahap ketigaan (thirdness). Kepertamaan adalah tahap pemahaman dan keberlakuan tanda yang bersifat “kemungkinaan”, “perasaan”, atau “masih potensial”. Kekeduaan adalah tahap pemahaman dan keberlakuan tanda yang sudah “berhadapan dengan kenyataan” atau merupakan “pertemuan dengan dunia luar”. Keketigaan adalah tahap pemahaman dan keberlakuan tanda yang sudah bersifat “aturan” atau “hukum” atau “yang sudah berlaku umum”.

Dari segi represantement, Pierce membagi tanda menjadi tiga, yakni Qualisign, Sinsign, dan legisign. Qualisign (dari quality signs) adalah tanda – tanda yang berdasarkan suatu sifat. Misalnya, sifat “merah”. Merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan qualisign karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar benar – benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk karena pada kenyataannya qualisign yang murni tidaklah ada. Maka merah dapat dijadikan tanda seperti untuk cinta (memberi mawar merah untuk seseorang yang dicintai). Sinsign (dari singular signs) adalah tanda – tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsign. Sebuah jeritan dapat berupa kesakitan, keheranan, dan kegembiraan.

Kita dapat mengenali seseorang dari dehemnya, langkah kakinya, atau tertawanya. Semua itu merupakan sinsign. Legisaign (dari lex signs) adalah tanda – tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi atau sebuah kode.

(19)

Berdasarkan sifat hubungan antara representamen dan objek, Pierce membagi tanda menjadi tiga, yaitu Ikon (Icon), Indeks (Index), dan Lambang (Symbol). Ikon adalah hubungan antara tanda (R) dengan (O) yang dapat berupa hubungan kemiripan. Misalnya adalah foto seseorang peta geografis. Indeks adalah hubungan yang timbuk karena ada kedekatan eksistensi atau hubungan antara R dengan O. contohnya asap adalah indeks dari adanya kebakaran. Lambang adalah hubungan antara R dan O yang terbentuk secara konvensional. Contohnya lampu lalu lintas, anggukan kepala, dan tanda – tanda bahasa adalah contoh dari lambang.

Table 2.4.2 Elemen Charles Sander Pierce

Trikotomi Kategori

Representament Relasi ke objek Relasi Ke

Interpretan Firstness

(Kualitas) Qualisign Icon Rhema

Secondness

(Fakta real) Sinsign Indeks Dicent

Thirdness

(Kaidah/aturan) Legisign Symbol Argument

Berdasarkan sifat interpretan, suatu tanda dapat berupa Rheme, Dicent,, atau Argument. Tanda adalah rheme apabila tanda tampak bagi interpretan sebagai sebuah kemungkinan, misalnya konsep. Tanda adalah dicent (disebut juga dicisign) kalau tanda tampak bagi interpretan sebagai sebuah fakta, misalnya

(20)

pernyataan deskriptif. Tanda adalah argument jika tanda tampak bagi interpretan sebagai sebuah nalar, misalnya preposisi.

Menurut Pierce, semiotika itu dari tiga elemen utama. Teori dari Pierce disebut segitiga makna atau triangle meaning36. Di antaranya:

a. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh pancra indera manusia yang merupakan sesuatu yang merujuk hal lain di luar tanda itu sendiri.

b. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi refrensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda

c. Interpretan (pengguna tanda) adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda

Teori Segitiga Makna (Triangle Of Meaning)

Sign

Interpretant Object

Gambar 2.1

36

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi : Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, Jakarta : Kencana, 2008 hal 265

(21)

Yang dikupas dari teori segitiga adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Analisis ini bersifat subjektif. Periset seolah – olah ia memahami pemikiran subjek yang di risetnya. Tentu saja periset harus menyertakan konteks sosial budaya, teori – teori, konsep – konsep, dan data – data untuk menjelaskan analisis dan interpretasinya.37

Menurut Pierce tanda “is something which stands to somebody for

something in some respect or capacity”38. Artinya, tanda adalah sesuatu yang bsgi

seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tipologi tanda versi Charles Sanders Pierce, yaitu39

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” sehingga tanda itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Dalam ikon hubungan representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya. Di dalam indeks hubungsn antara tanda dengan objeknya bersifat kongret, actual, dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensiual dan kausal.

3. Simbol adalah jenis tanda yang bersifat arbiter dan konfensional sesuai kesepakatan sosial atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.

37

Ibid, hal 267

38

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT Rosdakarya, Bandung, 2006 Hal 14

39

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, Jakarta : Mitra Wacana Media, 2011, Hal 14

(22)

Tabel 2.4.3 Jenis Tanda dan Cara Kerjanya40

Kerangka Kerja Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce Jenis

Tanda

Ditandai Dengan Contoh Proses Kerja

Ikon Persamaan Atau Kemiripan

Gambar, Foto

Dilihat

Indeks Keterkaitan Asap—Api Diperkirakan

Symbol Kesepakatan Sosial Kata – Kata Dipelajari

40

Gambar

Table 2.4.2 Elemen Charles Sander Pierce
Tabel 2.4.3 Jenis Tanda dan Cara Kerjanya 40

Referensi

Dokumen terkait

Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) sangat mendukung pengembangan OSCE keperawatan sejak proyek Health Professional Education Quality (HPEQ) Dikti Kemendikbud

Dari perhitungan yang dilakukan dalam analisis data diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa promosi penjualan memiliki efek secara statistik signifikan terhadap

dia juga tipe pemikir (entah kenapa agak beda dengan saya, kalau saya kadang bertindak baru berfikir :D ), orang bertipe ini cenderung mempunyai rasa seni yang tinggi, suka

Tahapan penelitian pada Gambar 2, dapat dijelaskan sebagai berikut : Tahap Identifikasi masalah :pada tahap ini dilakukan analisa tentang masalah yang ada, dan tentang apa saja

Keberhasilan dalam penelitian ini yaitu prototipe generator listrik yang dirancang dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1 watt skala laboratorium dengan

Invasi bakteri ini mengakibatkan terjadinya infiltrasi sel-sel   polimorfonuklear dan menyebabkan matinya sel-sel epitel tersebut, sehingga terjadilah tukak-tukak kecil

Rumusan masalah yang dikemukakan adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten

Untuk penelitian ini hanya sampai pada tataran kognitif saja, dimana dampak yang ditimbulkan oleh media hanya menyangkut pada area kesadaran dan pengetahuan,