• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOTA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (PK): TREN, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NOTA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (PK): TREN, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

infid

NEWSLETTER

@infidjkt

Infid Jakarta

infid@infid.org

NO. 01 OKTOBER 2014

| WWW.INFID.ORG

Perkembangan dan Data

Kemiskinan

I

ndonesia tergolong negara ke-las menengah (middle income) yang “kantong” kaum miskin-nya terbesar, baik dibanding-kan dengan rata-rata negara menengah maupun dibandingkan dengan negara-negara dengan kue

pembangunan (PDB) terbesar di dunia anggota G20.

Di samping pertumbuhan ekonomi yang positif selama 10 ta-hun terakhir dan rata-rata penda-patan per kapita 3.500 USD, disisi lain, pemerintah baru juga diwar-isi oleh angka ketimpangan yang meni ngkat drastis dari level 0.35 tahun 2005, menjadi 0.41 (Indeks Gini) pada tahun 2013, yang ter-tinggi dalam sejarah Indonesia.

Jumlah penduduk atau warga miskin makin menurun tiap tahun,

setidaknya dari data dan klaim pemerintah. Tahun 2014, jumlah penduduk miskin berjumlah 28 juta jiwa. Tetapi, jumlah ini masih sangat besar. Lebih besar dari to-tal penduduk Malaysia (22 juta), lebih dari 2,5 kali penduduk DKI Jakarta (9 juta) dan hampir 10 kali penduduk Propinsi Sulawesi Selat-an (3 juta).

Jumlah penduduk miskin perlu dilihat dalam dua konteks: jum-lah penduduk dan jumjum-lah angka-tan kerja dan angka pengangguran

NOTA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (PK):

TREN, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI

Oleh: Sugeng Bahagijo

(2)
(3)

telah mengembangkan dan memi-liki data penduduk miskin yang sama (unified data base), yang digu-nakan oleh semua kementrian dan lembaga pemerintah, sebagai ruju-kan agar program diselenggararuju-kan secara tepat sasaran. Data yang tunggal ini akan memudahkan per-ancangan dan evaluasi program-program pemerintah.

Pemerintah telah mengem-bangkan berbagai macam program pengurangan kemiskinan mulai dari PKH, PNPM, KUR, BOS dan Raskin, Jampersal dan sebagainya. Cakupan wilayah dan penerima manfaat dari masing-masing pro-gram bervariasi. PNPM memi-liki cakupan yang luas. Demikian juga dengan Raskin dan Bos dan Jampersal. Sementara PKH memi-liki cakupan wilayah dan penerima manfaat lebih sempit dan terbatas. Tidak mengejutkan bila capaian dan hasil dari masing-masing pro-gram berbeda-beda.

Besaran anggaran untuk selu-ruh program-program penanggu-langan kemiskinan diperkirakan antara 50-80 Triliun. Dalam APBN 2014, terdapat pos Belanja Sosial sebesar Rp.73, 2 Triliun. Sebelumn-ya, tahun 2013, sebesar Rp. 93 Trili-un. Angka persisnya barangkali masih dapat diperdebatkan, namun jelas bahwa secara nominal, dana untuk PK tiap tahun terus menin-gkat, sejalan dengan membesarnya volume APBN. Namun demikian, dibandingkan dengan volume be-lanja subsidi BBM dan bebe-lanja ba-rang, maka tren yang terlihat nyata dan jelas adalah belanja sosial se-lalu lebih kecil (lihat tabel 2 dan 3).

Kebijakan dan

Program-program Kemiskinan

Kemiskinan dapat diatasi mel-alui setidaknya dua jalur utama. (i) Melalui pasar kerja; antara lain melalui ketersediaan lapangan kerja dan upah layak dan luas sempitnya kapasitas industrial-isasi dan pertanian dalam meny-erap angkatan kerja; (ii) Intervensi pemerintah melalui (a) Kebijakan Fiskal dan Moneter; (b) Sistem Ja-minan Sosial; (c) Program-program pemerintah; termasuk didalamnya subsidi pertanian dan penyediaan air bersih dan sanitasi.

Pemerintah dapat memen-garuhi jalur pertama secara tidak langsung baik melalui kebijakan upah minimum maupun melalui in-vestasi dalam negeri dan FDI. Se-baliknya, pemerintah dapat menen-tukan atau mengendalikan secara langsung melalui jalur kedua yaitu melalui kebijakan fiskal, sistim ja-minan sosial, dan program-pro-gram PK yang diselenggarakannya. Secara skematis, maka kedudu-kan atau porsi dari program-pro-gram PK pemerintah paling jauh akan memiliki bobot separuh dalam menurunkan kemiskinan. Sisanya akan harus dilakukan melalui bijakan makro ekonomi melalui ke-bijakan fiskal (pajak, subsidi) dan moneter (suku bungan, inflasi).

Keberhasilan program-program PK dapat diukur dari setidaknya dua kriteria dan dimen-si. Yaitu (a) Efisiensi dan efektivitas, dalam arti kebijakan dan program telah mencapai dengan biaya dan kelembagaan yang ada. Kriteria ini

BERITA UTAMA

terbuka. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia adalah 252,3 juta jiwa (proyeksi), jumlah angka-tan kerja berjumlah 1,48 juta orang, dan jumlah pengangguran terbuka berjumlah 6.9 juta orang.

Meski secara umum kemiskinan ditandai oleh kurangnya pendapa-tan, aset dan pekerjaan (jobholder

vs jobless), namun sebab-sebab

kemiskinan berbeda-beda di perko-taan dan pedesaan. Pemulung di kota Jakarta memiliki pendapatan yang tetap, meski hidup di kolong jembatan dan tidak mampu mem-biayai pendidikan anak-anaknya.

Sebaliknya, kemiskinan di pedesaan ditandai oleh ketiadaan lahan, modal yang lemah dan kekurangan pendapatan, meski me-miliki rumah. Kemiskinan di pede-saan ditandai juga oleh lemahnya kesempatan menikmati barang dan jasa layanan pemerintah seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja.

Sebab lain kemiskinan keti-adaan jaminan sosial karena pen-duduk terpapar resiko hidup (men-jadi tua, meninggal) dan resiko sosial (PHK, menganggur, perce-raian, sakit) tanpa dilindungi oleh sistem jaminan sosial modern. Ka-rena sistem jaminan sosial publik Indonesia (kesehatan dan ketena-gakerjaan) belum berjalan atau melindungi semua warganegara (universal), dan hanya melindungi sebagian kecil lapisan penduduk (PNS, TNI dan kelompok swasta profesional). JKN dan Jaminan Ke-tenagakerjaan masih sedang diban-gun.

(4)

2005 2008 2010

2011

2012 2013 2014

24.9

104

223

57.7

68.6

140

255

306

332

364*

71.7

75.6

92.3

73.2

2004

2008

2010

2011

2013

2014

36.1

35

31

29.9

28.6

27*

JUTA

JUTA

JUTA

JUTA

JUTA

JUTA

TABEL 1.

JUMLAH PENDUDUK MISKIN

(*PROYEKSI)

TABEL 2.

BELANJA SOSIAL VS SUBSIDI BBM

(*PROYEKSI)

TABEL 3.

DUA JALUR PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BELANJA SOSIAL

SUBSIDI BBM

TAHUN

DALAM TRILIUN RUPIAH

JALUR PASAR

(Pemerintah Mempengaruhi)

Pembukaan Lapangan Kerja Upah yang Layak Suku bunga Perbankan Jumlah investasi

Informasi Pasar Kerja

PERAN PEMERINTAH

(Pemerintah Mengendalikan)

Jaminan Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat/JKN)

Pelayanan Pendidikan (Kartu Indonesia Pintar)

Program-Program PK (PNPM, PKH, Raskin, BOS, BLT, BLSM, dll)

Pelayanan Perumahan (Rumah Deret), Air Minum dan Sanitasi, Perlindungan Aset warga (Rumah, Tanah, Tabungan) Kebijakan Alokasi APBN dan APBD Kebijakan Pajak (PPh, PPn) Kinerja Kementrian Tenaga Kerja, Pertanian, Kesehatan dan Pendidikan

BERITA UTAMA

(5)

penting dalam menilai sejauh mana operasi dan teknis kelembagaanya efektif dan efisien dalam menye-diakan jasa dan barang layanan itu sampai ke tangan pengguna/war-ganegara dengan tepat waktu dan dalam mutu yang dapat diterima.

Selain itu, kebijakan juga da-pat diukur dari sejauh mana (b) dampak program tersebut kepada pemecahan masalah kemiskinan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari berbagai indikator yang rel-evan seperti jumlah peneriman-ya, jumlah lapangan kerja, angka pengangguran, jumlah penurunan angka putus sekolah, jumlah pe-nurunan angka kematian ibu, dan seterusnya.

Selama 10 tahun terakhir, ke-bijakan dan program-program pemerintah PK dapat digolongkan kepada beberapa upaya, antara lain (i) penyediaan sarana dan prasa-rana di pedesaan, di wilayah yang kekurangan sarana dan prasarana

seperti jalan, jembatan, pasar dan sebagainya; (ii) penyediaan modal kerja dengan bunga rendah sep-erti KUR (Kredit untuk rakyat) yang disalurkan melalui perbankan seperti BRI; dan (iii) penyediaan pelayanan kesehatan seperti Jam-kesmas dan Jampersal; (iv) penye-diaan dana bantuan untuk sekolah seperti Bos.

Kendala dan

Permasalahan

Dilihat dari “Nawa Cita” dan “Negara Hadir” serta Kemandi-rian Ekonomi, yang menjadi visi-misi Jokowi JK, maka kebijakan dan program-program PK 10 tahun terakhir dapat dikatakan sebagai (i) negara tidak hadir karena pelay-anan kebutuhan dasar ditumpukan dan diandalkan pada pendekatan pasar (you get what you pay) ketim-bang pendekatan hak (you get what

you need).

(ii) Jika negara hadir, dalam

bentuk berbagai program-program pemerintah, maka terdapat ban-yak kelemahan dalam operasi dan kelembagaannya. Sehingga barang dan jasa dari pemerintah tidak sampai, terlambat diterima, dan atau terlalu lemah untuk untuk meringankan dan menolong warga yang sedang membutuhkannya (ke-matian ibu, balita kurang gizi).

Diperiksa dari pendekatan kualitas manusia dan keunggulan ekonomi, maka program kebijakan dan program-program PK terutama pada bidang kesehatan dan pendid-ikan lebih banyak menundukkan diri pada kebutuhan jangka pendek ketimbang kebutuhan jangka pan-jang. Kebutuhan jangka panjang artinya memenuhi kekurangan dan defisit yang selama dialami Indone-sia, defisit dokter, insinyur, ahli hu-kum ekonomi, peneliti biotek, dll.

Secara teknis operasi dan kelembagaan, kendala dan per-masalahan dapat diringkas ke

Nama Program Jenis/Tipe Cakupan

PNPM

Prasarana pedesaan. Pembangunan Sarana dan

Prasarana desa. Jenis proyek ditentukan oleh partisi-pasi warga, sesuai kebutuhan. Termasuk kelompok simpan pinjam. Didampingi oleh fasilitator.

Seluruh Indonesia

PKH

Pendapatan. Pemberian Dana Tunai Bersyarat kepada

warga miskin (Orang tua wajib menyekolahkan anak dan Kaum ibu wajib memeriksakan kesehatan di Posy-andu dan Puskesmas setempat).

Khusus untuk keluarga miskin di beberapa propinsi

Raskin Pangan. Pemberian beras dengan harga dibawah

harga pasar (bersubsidi) untuk Gakin (keluarga miskin) Keluarga Miskin di seluruh Indonesia

Jampersal

Kesehatan. Pelayanan Kesehatan gratis untuk ibu

bersalin yang memerlukan (universal, tidak hanya yang miskin)

Untuk semua warga di seluruh Indonesia

BOS Pendidikan.Bantuan untuk sekolah termasuk untuk

pembangunan sarana dan prasarana sekolah Seluruh Indonesia

TABEL 4.

JENIS DAN TIPE PROGRAM PK

(6)

dalam satu frasa Kelemahan Teknis dan kelembagaan. Artinya, kele-mahan pelaksanaan, pengawasan, pendataan dan sebagainya. Beri-kut ini, beberapa kendala dan per-masalahan yang apabila diatasi akan dapat meningkatkan kualitas dan dampak program-program PK pemerintah di tahun-tahun 2015-2019 mendatang.

1. Pengukuran dan Data

Kemiskinan.

Pemerintah belum atau tidak memiliki data angka kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi program-program pemerintah di-jalankan, yang ada adalah data ta-hunan angka kemiskinan. Hal ini tentu menyulitkan untuk bisa me-nilai sejauh mana hasil dan keber-hasilan seluruh program-program PK pemerintah.

2. Pendekatan

Kebijakan.

Kebijakan dan program PK selama ini hanya memusatkan diri pada pengurangan KEMISKINAN, dan tidak sekaligus pengurangan KESENJANGAN. Di RPJM dan RKP serta Nota APBN pemerin-tah, ukuran keberhasilan pem-bangunan tidak/belum diukur dengan penurunan kesenjangan/ ketimpangan (penurunan Gini Ra-sio). Implikasinya, pemerintah han-ya menggunakan pendekatan

“tar-geted”, dan melupakan pendekatan

“universal” (untuk semua warga).

3. Pendekatan

Program.

Program-program PK pemer-intah masih bertumpu pada pen-dekatan “the needy” (“untuk yang

miskin saja”) yaitu pendekatan

targeted. Sementara banyak bidang

memerlukan pendekatan yang uni-versal (untuk semua), seperti dalam hal jaminan kesehatan, pelayanan pendidikan dan pelayanan ketena-gakerjaan.

4 Penganggaran.

Program-program PK banyak tetapi kualitas dan dampaknya sangat beragam mulai minimal hingga berdampak penting. Alokasi terbesar untuk program-program PK adalah PNPM dengan dana 11 T. Sementara program lainnya hanya berkisar 1-3 T per tahun.

5. Cakupan dan skala program

minimal.

Beberapa program pemerintah terlalu kecil dalam hal cakupan wilayah dan penerimanya, dengan dana yang minimal. Yang berakibat besaran manfaat yang diterimanya juga tidak signifikan. Akibatnya, manfaat dan dampak program-program PK sulit diukur secara nasional dan agregat dalam menu-runkan kemiskinan. Misalnya saja PKH. Cakupan PKH tidak bersifat nasional dan dengan alokasi dana program yang kecil.

6. Metode Penyaluran Subsidi

yang keliru.

Subsidi pupuk, benih (subsidi Pertanian) memainkan peran pent-ing secara konsep. Dengan jumlah dana yang dialokasikan cukup be-sar. Pada tahun 2013 jumlahnya 17 Triliun. Metode penyaluran subsidi selama lebih berupa subsidi ke-pada produsen ketimbang subsidi

pengguna atau petani. Hal ini yang berakibat salah sasaran dan man-faatnya atau dana subsidi itu diba-jak atau dikorupsi melalui kerjasa-ma elit politik dan penerikerjasa-ma dana subsidi (Pusri, BUMN Pertanian, dll). Akibatnya manfaatnya tidak dirasakan (“negara tidak hadir”). Padahal pemerintah bisa memberi-kan subsidi langsung tunai kepada para petani dan nelayan dan mem-bebaskan mereka untuk membel-anjakannya

7. Kendala Pusat dan Daerah.

Ditinjau dari aspek anggaran, selama ini peran pemerintah dae-rah (kota dan Kab) sangat minimal. Sebagian besar pemerintah daerah hanya mengalokasikan kurang dari 5 persen APBD untuk kesehatan dan pendidikan, Sementara pemer-intah Kota dan Kab mengalokasi-kan lebih dari 60 persen untuk be-lanja eksekutif dan DPRD.

8. Program PK terlalu banyak

ragamnya.

Dari program PNPM hingga BOS, dari PKH hingga Raskin, secara manajemen dan kelemba-gaan, pemerintah menjebakkan diri pada rentang tugas yang rumit dan tanpa koordinasi. Pemerintah juga tidak memiliki standar teknis ca-paian dan akuntabilitas pada tiap program-program karena masing-masing dikerahkan kepada ke-mentrian dan lembaga yang men-gelolanya (PNPM di Kemendagri, PKH di Kemensos, Bos di Kemen-trian Pendidikan, dll).

(7)

9. Kualitas kelembagaan yang buruk.

Penyaluran berbagai program seringkali juga tidak efektif karena kinerja dan kelemahan birokrasi di kementrian dan lembaga pemerin-tah pusat: (i) keterlambatan, hingga tahunan bukan saja hari, minggu atau bulan.; misalnya saja penyalu-ran untuk siswa kelas 2 SMP, yang ternyata hanya diterima ketika dia sudah kelas 2 SMA, (ii) kegiatan yang tidak dilakukan, misalnya pe-nyediaan dan distribusi obat-obat untuk rumah sakit rumah sakit pemerintah daerah oleh kemenkes. UKP4 memiliki data tentang kin-erja berbagai program, termasuk keterlibatan dan berbagai kendala lain, sebagai hasil pemantauan langsung ke lapangan melalui uji petik di beberapa kab dan kota.

10. Silo-silo birokrasi dan

kelembagaan:

Program-program PK dikelo-la oleh berbagai lembaga, tanpa kordinasi yang baik dan terukut. PNPM oleh Kemendagri, BOS oleh Kementrian Pendidikan, dan PKH oleh Kemensos, Subsidi Pertanian oleh kementrian Pertanian, dan seterusnya, dan masing bergerak dengan egonya masing masing (si-lo-silo). Upaya memiliki data base keluarga miskin patut dipuji akan tetapi masih banyak hal dan aspek yang belum dapat disatukan atau dikoordinasi.

Rekomendasi-Rekomendasi

Rekomendasi Umum

1. Ujian politik dan teknis bagi pemerintah Jokowi adalah

mer-evisi APBN, bagaimana mel-akukan perubahan APBN un-tuk menciptakan ruang fiskal yang memadai untuk menda-nai program-program prioritas Jokowi JK sebagaimana dijan-jikan

2. Pemerintah Jokowi JK per-lu menciptakan ruang fiskal, 2-3% PDB atau sekitar 100-300 T, untuk mendanai ber-bagai intervensi atau program-program prioritas pemerintah Jokowi JK, dengan 3 cara (i) mengalihkan sebagian dana subsidi BBM dan Energi un-tuk program-program PK; (ii) penghematan belanja barang birokrasi (honor, perjalanan dinas, dll); (iii) Menaikkan ta-rif PPH orang pribadi untuk menyasar kelompok superkaya yang berpendapatan diatas 1 milyar dan 5 Milyar per tahun dengan tarif 40-45%.

3. Kebijakan PK harus sekali-gus menurunkan ketimpangan. Oleh karena itu, pemerintah juga harus memfokuskan diri pada pelaksanaan jaminan kes-ehatan (Kartu Indonesia Sehat) dan jaminan ketenagakerjaan. Pemerintah Jokowi JK perlu mengukur keberhasilan pem-bangunan dengan indikator (a) penurunan Ketimpangan (pen-urunan Gini Rasio), disamping (b) penurunan angka kemiski-nan dan (c) angka penganggu-ran.

4. Pemerintah menempuh dua jalur PK: Jalur Pasar dan Jalur Pemerintah. Dalam Jalur pemerintah, tiga

inter-vensi yang harus diutamakan: dukungan fiskal (belanja so-sial), jaminan sosial dan ban-tuan sosial. Untuk kebijakan fiskal, pemerintah perlu

men-gubah kebijakan pajak PPH

orang pribadi perlu diubah untuk mencerminkan keadilan. Batas atas pendapatan pajak (PPh pribadi superkaya) perlu diubah dari Rp500 juta dengan tarif 35 persen perlu ditambah dengan (a) lapisan pendapatan Rp1 milyar ke atas, (b) penda-patan Rp5 milyar ke atas dan (c) lapisan Rp10 Miliar perta-hun ke atas dengan tarif berk-isar antara 40-45 persen, sesuai dengan standar Uni Eropa. 5. Pemerintah Jokowi perlu

me-nyelaraskan anggaran

pemer-intah daerah (kota dan kabu-paten) melalui “politik fiskal” yaitu dengan cara: (a) mema-tok batas atas/maksimum bagi belanja eksekutif, DPRD dan Belanja pegawai tidak lebih dari 50% APBD. (b) mematok batas bawah/minimum untuk belanja pendidikan dan kes-ehatan tidak kurang dari 30% APBD (untuk pendidikan dan kesehatan. Kemenkeu tidak akan mencairkan dana pusat ke pemerintah kota dan kab (APBD) jika rencana APBD tidak mematuhi kaidah fiskal tersebut diatas.

Rekomendasi Khusus

1. Subsidi Pertanian (Pupuk, Benih dll) diubah dari subsidi produsen kepada subsidi kon-sumen kepada petani secara

(8)

langsung. Subsidi dapat di-berikan secara tunai kepada kelompok petani dan nelayan untuk membeli bibit, pupuk, modal kerja, kapal nelayan, dan sebagainya.

2. Berbagai program-program PK perlu dimerger ke dalam 4-5 program besar dengan tu-juan menciptakan cakupan dan dampak yang lebih besar dan memudahkan pengelolaan, pelaporan dan akuntabilitas, serta didanai secara memadai (well-finance) untuk wilayah yang luas yang menjadi sasa-ran:

r Kartu Indonesia Sehat (Blok Kesehatan: Jamper-sal, Jamkesmas, dll)

r Kartu Indonesia Pintar (Blok Pendidikan: BOS, dll)

r Jaminan Tunai (Blok Ban-tuan Sosial: Raskin, PKH, dll)

r Kartu Indonesia Mandiri (Blok Jaminan Ketenagek-erjaan)

r Program Pemberdayaan Mas yarakat (Blok Pember-dayaan: PNPM, dll) 3. Pemerintah perlu

mengalokasi-kan dana tambahan APBN un-tuk premi Jaminan Kesehatan bagi kelompok yang ditang-gung pemerintah (PBI) sesuai premi yang dipatok oleh Ke-menkes: dari Rp19 T ke Rp30 T pada APBN 2015.

4. Pemerintah perlu meminta BPS dan Bappenas memproduksi dan mengadakan data-data kemiskinan baru untuk memu-dahkan pemantauan dan

pen-gukuran hasil program-pro-gram pemerintah: data sebelum intervensi pemerintah dan sesudah intervensi pemerintah. 5. Perlu dipikirkan badan

tersendiri untuk PK yang lang-sung mengawasi dan mengkoor-dinasi semua program-program PK, yang didukung oleh unit pemantauan program dan unit teknis analisa kebijakan. 6. UKP4 dan BPKP perlu

diperl-uas wewenang tidak hanya me-mantau penyerapan anggaran dan realisasi rencana, tetapi juga menilai kinerja dan kuali-tas implemenkuali-tasinya. Artinya, kedua lembaga itu juga diberi wewenang untuk mengusulkan pendekatan kebijakan dan de-sain dan metode teknis pelak-sanaan. Q

TABEL 5.

LAMPIRAN PERINCIAN RENCANA AKSI KEMISKINAN

MENDESAK

100

HARI

TAHUN

O CETAK BIRU KARTU INDONESIA SEHAT (JKN)

O ALOKASI DANA UNTUK PREMI PBI JAMINAN KESEHATAN (JKN)

O CETAK BIRU KARTU INDONESIA PINTAR

O CETAK BIRU PERCEPATAN JAMINAN KETENAGAKERJAAN (KARTU INDONESIA MANDIRI)

O PEPRES PENYATUAN/MERGER BERBAGAI PROGRAM PK

O CETAK BIRU PERBAIKAN PERUMAHAN PERKOTAAN (RUMAH DERET)

1

O PENGADAAN DATA KEMISKINAN BARU

O STUDI KELAYAKAN DANA 1 JUTA UNTUK KELUARGA MISKIN/JAMINAN TUNAI

O PERPRES PENYELASARAN APBD SESUAI PRIORITAS JOKOWI JK

O PEMBENTUKAN BADAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

O STUDI KELAYAKAN TUNJANGAN PENGANGGURAN (UNEMPLOYMENT BENEFITS)

O CETAK BIRU JAMINAN TUNAI INDONESIA

BERITA UTAMA

(9)

PERS RELEASE

MASALAH KETIMPANGAN HARUS

DIPECAHKAN OLEH PEMERINTAHAN BARU

JAKARTA, 21 AGUSTUS 2014

Tahun 2012, tercatat rasio gini mencapai 0,41, merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Re-publik Indonesia. Kenyataan tersebut tidak hanya terjadi antar kabupaten atau propinsi tapi terja-di merata terja-di Indonesia. Bahkan INFID mencatat dalam sepuluh tahun terakhir terjadi percepatan ketimpangan di Indonesia.

Dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti mengenai masalah ketimpangan, INFID mener-bitkan buku berjudul Ketimpangan Pembangunan

Indonesia dari Berbagai Aspek. Buku ini

merupa-kan buku pertama di Indonesia yang mengulas mengenai ketimpangan di Indonesia dalam dua dekade terakhir disertai dengan berbagai ulasan mengenai bentuk-bentuk ketimpangan di berba-gai sektor. Seperti perbankan, perkebunan, perpa-jakan, pendidikan dan kesehatan, juga mengkaji efektivitas program penanggulangan kemiskinan. Buku juga menampilkan beragam usulan kebija-kan terkait dengan penurunan ketimpangan.

Menurut Prastowo, salah seorang penulis buku menyebutkan, ketimpangan sungguh men-jadi problem serius dan menmen-jadi isu keadilan. Hal ini nampak dalam berbagai aspek yang diulas di dalam buku seperti sulitnya pelaku ekonomi kecil mendapatkan kredit karena perbankan tidak ber-pihak terhadap mereka. Sementara pemerintah yang berupaya menurunkan ketimpangan dengan fokus pada kemiskinan, terbukti program-pro-gramnya belum efektif menjawab masalah terse-but. Demikian halnya dengan kebijakan pajak yang belum mendukung paradigma kesetaraan.

Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID menyatakan “saat ini merupakan saat yang tepat

bagi pemerintah baru untuk merumuskan agenda dan kebijakan yang mampu menurunkan ketim-pangan”. Berkaitan dengan hal tersebut, INFID memberi usulan terkait dengan upaya penurunan ketimpangan kepada pemerintahan baru meliputi:

Penurunan ketimpangan dari indeks gini 0,41 menjadi 0,35 dalam lima tahun mendatang men-jadi indikator keberhasilan pembangunan yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014 – 2019

Memperbaiki kebijakan dan perolehan pajak antara 19% higga 24%, terutama memacu per-olehan pada pajak penghasilan (PPh) kelompok superkaya dengan tarif pajak (PPh) baru hingga 45% untuk memastikan sumbangan kelompok su-perkaya

Realokasi subsidi BBM untuk universalisasi manfaat jaminan sosial, seperti jaminan keseha-tan sosial dan jaminan ketenagakerjaan untuk se-mua warga

Reformasi kelembagaan untuk memperkuat pemerintahan yang terbuka dan bersih dari ko-rupsi.

Hormat Kami,

Sugeng Bahagijo

Direktur Eksekutif

Kontak person:

Siti Khoirun Ni’mah Tlp: 08588 1305 213 atau nikmah@infid.org

KEGIATAN INFID

(10)

KEGIATAN INFID

S

ampul muka majalah The Economist edisi Februari 2014 berjudul “The parable of

Argen-tina – what other coun-tries can learn from a century of decline” menggambarkan sebuah

negara yaitu Argentina yang me-miliki kekuatan ekonomi lebih baik dibanding Amerika Serikat di tahun 1914. Pendapatan perkapit-anya di atas Jerman, Perancis dan Italia. Argentina menjadi negara dari sepuluh negara terkaya di du-nia setelah Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Namun gambaran sebaliknya dan jauh berbeda yang saat ini terjadi atas perekonomian Argentina. The Economist menye-but perekonomian Argentina telah menurun. Bahkan menjadi pusat dari krisis negara-negara emerging. Menurut the Economist, ada tiga sebab yang menjadikan perekono-mian Argentina seperti itu yaitu tidak berkembangkan industri, ke-bijakan perdagangan yang cender-ung tertutup, dan lemahnya insti-tusi dalam mendorong kebijakan jangka panjang.

Pertanyaannya, bagaimana de-ngan Indonesia? Indonesia yang telah masuk dalam negara yang sedang tumbuh (emerging country) memiliki masalah yang tidak jauh

berbeda. Meskipun saat ini pertum-buhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dibanding negara-negara lain, namun industri nasional be-lum berkembang sebagaimana mes-tinya. Sebagian besar perekonomi-an masih disumbperekonomi-ang bahperekonomi-an mentah dari komoditas perkebunan dan ke-hutanan, sementara industri olahan belum seperti yang diharapkan. Belum lagi institusi pemerintahan yang terus digerogoti penyakit ko-rupsi, juga tiadanya strategi jangka panjang untuk menjadikan pereko-nomian Indonesia lebih tangguh di masa mendatang. Pertanyaan inilah yang coba dibahas di diskusi den-gan tema G20 dan Jebakan Negara Berpendapatan Menengah.

Diskusi menghadirkan dua

pembicara yaitu Dr. Yulius Purwa-di dari Universitas Parahiyangan Bandung dan Prof Erani Yustika dari Universitas Brawijaya Malang. Seyogyanya diskusi menghadirkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, namun pihak dari kementerian tidak hadir. Peserta diskusi dari berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi buruh dan mahasiswa, pemerintah dari kementerian keuangan dan kemen-terian perdagangan, Komisi Anti Korupsi (KPK), Bank Dunia, dan media massa.

Dr. Yulius Purwadi memapar-kan perkembangan pembahasan di G20. Menurutnya pendekatan yang digunakan Australia fokus pada pertumbuhan ekonomi melalui

DISKUSI

G20 DAN JEBAKAN NEGARA

BERPENDAPATAN MENENGAH

JAKARTA, 23 APRIL 2014

(11)

dua prioritas yaitu meningkatkan investasi swasta dan membangun ekonomi global yang tangguh.

Dari sepuluh prioritas keketu-aan Australia, menurut masyarakat sipil, pemerintah Indonesia mem-berikan perhatian besar ke agen-da investasi untuk infrastruktur. Indonesia yang dikeketuaan Ru-sia menjadi ketua kelompok studi pembiyaan jangka panjang untuk investasi bersama Jerman, men-ganggap agenda investasi untuk infrastruktur penting dalam men-dukung perekonomian nasional.

Menurut Prof Erani Yustika, pembahasan di G20 belum me-miliki relevansi dalam menjawab problem perekonomian Indonesia terutama menjawab tantangan In-donesia keluar dari jebakan ne-gara berpendapatan menengah. Menurutnya definisi jebakan ne-gara pendapatan menengah dike-luarkan Bank Dunia dengan dua alasan. Pertama, negara yang tidak mampu keluar dari pendapatan menengah memiliki potensi menja-di negara otoritarian. Kedua, guna menjadi negara yang tangguh ter-hadap hantaman krisis dibutuhkan tingkat pendapatan berkisar USD 6.000 – USD 7.000. Oleh karena itu, negara-negara emerging seperti In-donesia harus keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai tingkat pendapatan USD 6.000 – USD 7.000. Alasannya ada potensi tabungan baik ekonomi skala rumah tangga maupun dalam skala yang lebih besar. Sementara pendapatan perkapita penduduk Indonesia saat ini dikisaran USD 4.000, masih jauh dari yang

dihara-pkan.

Oleh karena itu, masalah ter-penting bagi Indonesia bukanlah meningkatkan pendapatan per ka-pita secara cepat seperti yang di-targetkan G20. Namun perlunya Indonesia menyusun dasar-dasar ekonomi yang kokoh melalui for-masi aset yang merata, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kual-itas pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan kemampuan inovasi dan penguasaan tekhnologi. Hal minimal yang perlu dilaku-kan Pemerintah Indonesia di G20 yaitu menggunakan ruang-ruang perundingan di G20 untuk men-ingkatkan ruang pelaku ekonomi kecil yang saat ini semakin terp-inggirkan melalui berbagai kebi-jakan yang mendukung penguatan ekonomi kecil.

Berbeda dengan Prof Erani Yustika, menurut Maria

Mon-ica Wihardja dari Bank Dunia setidaknya ada tujuh agenda di G20 yang bisa digunakan Indonesia un-tuk meningkatkan perekonomian nasional yaitu investasi untuk in-frastruktur dimana Indonesia saat ini sedang gencar meningkatkan pembangunan infrastruktur namun terkendala dengan pembiayaan. Sehingga pembahasan di G20 di-harapkan membantu memecahkan masalah pembiayaan melalui dua skema penerbitan surat utang in-frastruktur (infrastructure bond) dan pembentukan kelembagaan pembiayaan infrastruktur

(insti-tutional investor). Agenda lainnya

meliputi perdagangan dan investa-si, reformasi struktural, stabilitas makro-ekonomi, ketenagakerjaan, ketahanan pangan dan energi, dan stabilitas sosial dan politik ter-masuk mengatasi masalah ketim-pangan. Q



(12)

RESENSI BUKU

S

aat ini, Indonesia sedang dalam kondisi kritis. Dimana pembangunan yang dilakukan malah menjadi sebuah panasea, terutama terhadap kemiskinan dan ketertinggalan rakyatnya. Juga ter-jadi dalam sektor pertanian, disini terdapat sebuah ironi sebuah ne-gara agraris yang petaninya tidak mendapatkan perlindungan negara dan akhirnya petani beralih ke pro-fesi lain.

Buku ini mengulas panjang berbagai ketimpangan pembangu-nan yang terjadi di Indonesia. Ban-yaknya penulis yang terlibat pe-nulisan buku ini merupakan salah satu keunggulannya. Sehingga pembaca bisa mendapatkan ban-yak informasi yang objektif dilihat berbagai sisi. Para penulis ini me-miliki latar belakang yang berbeda yang Yustinus Prabowo memiliki

background perpajakan, Tursia

yang adalah seorang aktivis per-empuan, Sugeng Bahagijo mema-hami dunia hukum dan demokrasi,

Ah Maftuchan seorang peneliti dan

trainer dalam tema pembangunan

sosial,Arief Anshory Yusuf berla-tarbelakang ekonomi, Firdaus me-miliki keahlian meme-miliki keahlian dibidang pengorganisasian,

Her-juno Ndaru Kinasih seorang

pe-neliti sosial untuk isu-isu ekonomi dan pembangunan, Irhash Ahmady penggiat lingkungan, dan terakhir

Mike Verawati Tangka yang

memi-liki pemahaman yang dalam untuk isu kebijakan konstitusional dan keadilan gender.

Buku ini berusaha memberikan usulan melalui satu pendekatan yang dapat menjadi penawar kele-lahan rivalitas negara dan pasar : penciptaan kapabilitas yang dito-pang partisipasi luas civil society. Pembangunan harus ditanam kem-bali ke tata nilai dan gugus kebutu-han manusia sebagai subjek. Melal-ui penetapan capaian-capaian yang berkualitas dan terukur, strategi yang tepat, dan ruang partisipasi publik yang luas, isu ketimpangan dan kemiskinan dapat dijadikan

ti-tik awal untuk menafsirkan ulang dan menata visi pembangunan yang ada. Pembangunan harus memberi-kan ruang kebebasan, kesetaraan kesempatan, dan keberpihakan pada mereka yang telah dirugikan dan dipinggirkan.

Buku ini juga bisa dijadikan rujukan, acuan dalam perumusan ulang kebijakan publik.

Decompos-ing dan melakukan recomposDecompos-ing

pada kebijakan dan strategi pem-bangunan. Meluputkan inti gaga-san buku ini sama artinya dengan mengabaikan ikhtiar memperbaiki dan memajukan Indonesia.

Q

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN INDONESIA

DARI BERBAGAI ASPEK

g . n h , n -i -k a -g -h a -t -a i

liki pemahaman yaang g dalam ununtutuk k

isu kebijakan konsnstitusional dan k dil d

tik awall uuntntukuk mmenafsirka dan menata visi pembangun

d P b h

(13)

T

ahun 2014 merupakan ta-hun ke-6 pertemuan G20 digelar setelah G20 men-jadi pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri para kepala negara dari 20 anggota. Per-temuan tingkat tinggi pertama ber-langsung di Washington DC tahun 2008 yang diprakarsai oleh Pres-iden George W. Bush dengan agenda memperkuat konsolidasi global un-tuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Pertemuan tersebut berhasil

meng-galang dana dengan adanya kes-epakatan pemberian stimulus fiskal untuk bersama-sama mengatasi krisis di AS. Pertemuan tersebut sekaligus menjadikan G20 sebagai

the primier forum for international economic cooperation atau

seba-gai forum utama yang membahas kerjasama ekonomi internasional, menggantikan G8 yang sebelumnya menjadi penentu kebijakan ekono-mi global.

Namun seiring berjalannya waktu, harapan untuk menjadikan

G20 sebagai forum utama kian re-dup. G20 tidak mengambil banyak peran ketika krisis keuangan mu-lai melanda Uni Eropa di tahun 2009. Pertemuan G20 di Meksiko tahun 2012 tidak menghasilkan kesepakatan mengenai penyelesa-ian krisis di Uni Eropa karena Uni Eropa memutuskan untuk menye-lesaikan sendiri krisis yang sedang mereka alami. Berikutnya adalah tidak terjadinya koordinasi kebi-jakan antar anggota G20 seperti yang diharapkan ketika AS secara

KERTAS POSISI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA

G20 DAN MENJAWAB MASALAH KETIMPANGAN, PENGANGGURAN DAN PENDANAAN:

RANGKUMAN DARI BERBAGAI USULAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA

(14)

unilateral mengeluarkan kebijakan

pengurangan stimulus, yang men-gakibatkan negara-negara

emerg-ing termasuk Indonesia

menghada-pi pelarian modal dan menjadikan nilai rupiah terhadap dollar turun tajam. Ketika beberapa negara seperti Turki dan India menyeru-kan pentingnya koordinasi terkait dengan kebijakan tersebut sebelum berlangsungnya pertemuan G20 di St Petersburg, Rusia, namun dalam pertemuan puncak, koordinasi ke-bijkaan tidak dibahas. Belum lagi sikap AS yang tidak mendukung reformasi International Monetary Fund (IMF) yang telah menjadi komitmen G20.

Di tengah-tengah kegamangan akan efektivitas dan juga soliditas G20, pemerintah Australia telah menetapkan pertumbuhan yang kuat sebagai prioritas pemba-hasan di G20. Merujuk pada ko-munike pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Sydney yang berlang-sung pada tanggal 22-23 Februari 2014, ditargetkan perekonomian akan tumbuh 2% dalam lima tahun. Pertumbuhan diharapkan akan di-topang oleh peningkatan investasi swasta khususnya infrastruktur agar dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong perdagangan. Per-tumbuhan juga diharapkan tang-guh terhadap goncangan sehingga perlu diperkuat aspek pembiayaan khususnya yang bersumber dari pa-jak. Diharapkan prioritas tersebut menjawab masalah keuangan dan ekonomi global dan juga menjawab efektivitas G20 sebagai forum ker-jasama ekonomi global.

Pertanyaannya, apakah capa-ian tersebut sesuai yang diharap-kan masyarakat sipil?Apa usulan masyarakat sipil terhadap delegasi pemerintah Indonesia yang hadir dalam pertemuan-pertemuan G20?

Masyarakat sipil Indonesia mencatat tiga tantangan pemban-gunan yang dihadapi baik oleh In-donesia maupun negara lain, meli-puti tingginya angka ketimpangan, tingginya angka pengangguran, dan juga rendahnya mobilisasi sum-ber daya domestik. Tiga tantangan inilah yang diharapkan dapat diba-has dipertemuan G20.

1. Pertumbuhan versus

ketimpangan

Salah satu sasaran utama Ren-cana Pembangunan Jangka Menen-gah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019

yang sedang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Na-sional (BAPPENAS) adalah per-tumbuhan ekonomi rata-rata 6% sampai 8% per tahun. Diharap-kan dengan angka pertumbuhan tersebut, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai USD 7.000 pada tahun 2019. Pertum-buhan ekonomi juga menjadi tu-juan utama G20 melalui kerangka

strong, sustainable and balance growth. Bahkan tahun ini di bawah

kepemimpinan Australia, G20 me-netapkan target pertumbuhan 2% dalam kurun lima tahun ke depan dan fokus pada pertumbuhan yang kuat.

Pada saat yang sama, Indone-sia tengah menghadapi problem ketimpangan yang kian meningkat. Rasio gini koefisien mencapai 0,42 ditahun 2013, sebuah angka

tert-Tabel 1.

Gini Koefisien di Indonesia berdasarkan desa dan kota

Sumber: Arief Anshory Yusuf, diolah dari Susenas (2013)

ANALISIS UTAMA

(15)

inggi sepanjang sejarah Indonesia. Kajian INFID juga menunjukkan, terjadi percepatan ketimpangan selama dekade terakhir. Hampir semua wilayah seperti desa dengan kota, Jawa dengan luar Jawa, na-sional maupun propinsi mengalami percepatan ketimpangan.

Berbagai kebijakan di ting-kat nasional yang mendorong melebarnya ketimpangan telah diidentifikasi masyarakat sipil sep-erti kebijakan perkebunan teruta-ma perkebunan kelapa sawit yang memberikan dukungan yang minim bagi petani skala kecil dibanding-kan petani skala besar atau bahdibanding-kan korporasi telah mendorong ketim-pangan semakin lebar. Demikian

halnya dengan kebijakan perban-kan yang menerapperban-kan penjaminan bagi pemberian kredit, sementara pemerintah tidak memberikan dukungan yang cukup bagi pelaku usaha kecil mengakibatkan sek-tor mikro kesulitan mendapatkan akses kredit.

Menurut catatan OXFAM (2014), dalam tiga dekade terakhir ketimpangan global juga kian leb-ar. Jumlah kekayaan 1% penduduk dunia paling kaya sebesar USD 110 triliun atau 65 kali total kekayaan setengah dari jumlah penduduk dunia. Sementara setengah dari jumlah penduduk dunia memiliki kekayaan sama dengan 85 orang paling kaya di dunia.

2. Investasi dan

Penyediaan Lapangan

Kerja

G20 menetapkan investasi swasta terutama untuk pemban-gunan infrastruktur sebagai salah satu penggerak pertumbuhan. In-vestasi swasta diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja melalui kerjasama pemerin-tah dengan swasta (Public Private

Partnership). Indonesia yang saat

ini menjadi Ketua Kelompok Kerja untuk Investasi dan Infrastruktur di G20, telah menjadi pengagas utama mengenai pentingnya in-frastruktur menjadi agenda G20. Sumber: Arief Anshory Yusuf, diolah dari Susenas (2013)



(16)

Indonesia berharap dengan mas-uknya agenda infrastruktur dapat menjawab problem pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Sementara itu, data di bawah ini menunjukkan investasi belum mak-simal dalam menyerap angkatan kerja. Hal ini bisa dilihat dari tabel di bawah ini di mana perkembangan investasi terhadap PDB Indonesia yang berkisar 30% dalam tiga tahun terakhir belum menjamin menin-gkatnya lapangan kerja. Penyera-pan laPenyera-pangan kerja hanya sebesar 1,14 juta orang ditahun 2012, terus menurun dari tahun sebelumnya dan berbanding terbalik dengan in-vestasi yang kian meningkat.

Khusus untuk investasi as-ing langsung (foreign direct

invest-ment), selain kontribusinya

ter-hadap penyediaan lapangan kerja yang tidak sesuai harapan, investasi asing malah memberi keuntungan yang tinggi bagi investor. Data yang diambil dari Eurodad, sebuah lem-baga masyarakat sipil di Eropa yang membidani isu pembiayaan untuk pembangunan, mencatat investasi

asing langsung di negara-negara berkembang yang keluar dalam bentuk selisih keuntungan lebih be-sar dibanding investasi yang masuk.

3. Mobilisasi Sumber

Daya Domestik

Pembiayaan pembangunan merupakan salah satu tantangan yang perlu mendapat perhatian baik G20 maupun pemerintah. Kri-sis yang melanda Uni Eropa men-dorong pengetatan fiskal, meski-pun langkah sebaliknya dilakukan AS dan Jepang dengan melakukan pelonggaran moneter. Namun bagi

emerging countries termasuk

Indo-nesia, pembiayaan pembangunan terutama untuk program-program sosial dan belanja infrastruktur merupakan salah satu persoalan yang perlu dipecahkan.

Salah satu usulan G20 dalam meningkatkan kapasitas fiskal ang-gota G20 adalah melalui kerjasama mendukung realisasi agenda aksi

Base Erosian and Profit Shifting

(BEPS) yang dirintis. Ini

merupa-kan agenda aksi berupa kerjasama

multilateral yang lebih luas untuk

menangkal upaya-upaya peng-hindaran pajak melalui pengalihan keuntungan yang masif. Pencega-han Pencega-hanya bisa dilakukan melalui kerjasama perpajakan yang konk-ret, mengikat, dan terukur.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan tujuan in-vestasi utama juga mengalami per-soalan dengan penerimaan pajak. Jika diukur dengan tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB, tax ratio Indone-sia adalah 13,3%. Angka ini jauh di bawah rata-rata tax ratio

low-er middle-income countries yang

mencapai 17.7%. Artinya, secara teoretik defisit penerimaan pajak Indonesia adalah 4.4% dari PDB atau sekitar Rp 375 trilyun.

Rendahnya tax ratio Indonesia dipengaruhi beberapa hal, antara lain (i) masih rendahnya kapasitas otoritas pajak memungut pajak, (ii) tingginya pengaruh sektor informal

economy yang belum terintegrasi

dalam sistem perpajakan nasional, Sumber: Erani Yustika, diolah dari BI 2014

Tabel 3:

Perbandingan perkembangan investasi dengan penyerapan tenaga kerja

ANALISIS UTAMA

(17)

                        

PERBANDINGAN TAX RATIO INDONESIA DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN

                          

 #!""  

GRAFIK STRUKTUR PENERIMAAN PAJAK 2006-2012

(iii) tingginya tax avoidance (peng-hindaran pajak).

Struktur penerimaan pajak In-donesia juga masih memprihatin-kan. Sebagaimana tampak dalam tabel, penerimaan pajak masih di-dominasi oleh penerimaan PPh dan PPN. PPh Badan masih mendomi-nasi dan jauh di atas penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Orang Prib-adi. Ini menunjukkan belum terpe-nuhinya keadilan pajak yang di-dasarkan pada prinsip kemampuan membayar (ability to pay).

Indone-sia masih bergantung pada pajak tidak langsung (PPN) dan belum optimalnya kontribusi wajib pajak badan dan orang pribadi dalam membayar pajak. Struktur peneri-maan pajak yang adil seharusnya terdiri dari penerimaan PPh Orang Pribadi yang paling besar, lalu PPN, dan PPh Badan.

Indikasi ini dapat dilihat pada tax ratio sektoral di bawah, yang menunjukkan tax ratio sek-tor perkebunan/kehutanan adalah yang terendah, lalu konstruksi dan

pertambangan. Tidak dimungkiri, tiga sektor ini merupakan sektor yang kompleks dan umumnya meli-batkan struktur bisnis lintas-batas (multinasional).

Dengan demikian mobilisasi sumber pendanaan domestik yang bertumpu pada penerimaan pajak membutuhkan dukungan yang be-sar dan konkret dari berbagai pihak. Selain peningkatan kapasitas otori-tas pemungut pajak, kerjasama in-ternasional yang lebih konkret dan efektif dibutuhkan untuk

(18)

menang-kal praktik penghindaran pajak lintas-batas melalui skema transfer

pricing, hybrid mismatch arrange-ment, dan digital economy. Forum

G20 adalah forum yang tepat dan strategis untuk mendorong realisasi kerjasama perpajakan internasional yang lebih baik.

4. Usulan Masyarakat

Sipil

Tiga tantangan tersebut dihara-pkan menjadi prioritas G20. Sebab bagi masyarakat sipil, pertumbu-han yang kuat tidak akan berarti apa-apa jika menyisahkan masalah ketimpangan, pengangguran, dan juga keterbatasan pendanaan. Per-tumbuhan yang kuat membutuhkan syarat yaitu menjawab tiga tan-tangan tersebut. Oleh karena itu, menurut masyarakat sipil tiga tan-tangan tersebut harus dijawab

den-gan kebijakan sebagai berikut:

1. Mendorong pembangunan yang

inklusif melalui:

r Memberi prioritas kebijakan ekonomi bagi pelaku usaha kecil terutama perempuan dan anak muda yang bergerak di sektor informal (UMKM) dan juga petani skala kecil agar berdaya secara ekonomi. r Meningkatkan peran

sek-tor keuangan pada penguatan ekonomi riil.

r Meningkatkan investasi pada pembangunan sosial dengan meningkatkan belanja untuk pendidikan dan kesehatan. r Meningkatkan partisipasi

per-empuan dalam pembangunan ekonomi.

2. Investasi yang menyerap

angkatan kerja

r Memastikan investasi memberi nilai tambah bagi penguatan industri di dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja yang layak.

r Investasi tidak hanya didasar-kan pada value for money tapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. r Memberi prioritas

pembangu-nan infrastruktur dasar seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sanitasi.

3. Mendorong

peningkatan

kerjasama perpajakan

r Pertukaran informasi

(excha-nge of information) tanpa

sya-rat. Pembentukan forum per-pajakan multinasional dan re gional.

r Revisi terhadap Panduan Tran-s fer Pricing dan Tax Treaty Model.

Q

Klasifikasi Lapangan Usaha

Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan

1.8

1.7

1.4

1.3

1.2

Pertambangan dan Penggalian

12.6

5.7

8.1

8.1

6.3

Industri

Pengolahan

9.7 10.8 11.2 12.5 12.6

Listrik, Gas dan Air Bersih

15.5

14.0

19.1

20.0

13.5

Konstruksi

4.3 3.6 3.5 3.8 3.2

Perdagangan, Hotel dan Restoran

9.7

9.5

9.6

10.4

10.3

Pengangkutan dan Komunikasi

10.6

8.4

7.9

7.5

7.1

Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan

19.4

19.7

19.8

18.3

18.0

Jasa-jasa

5.4 5.3 4.5 4.5 4.2

Table 9.

Tax Ratio Sektoral 2008-2012

Sumber: Ditjen Pajak dan BKF Kemenkeu (diolah)

ANALISIS UTAMA

(19)

B

akground Paper

ada-lah informasi awal untuk memberikan gambaran mengenai posisi diskursus pem-biayaan pembangunan saat ini. Dalam agenda pembangunan pas-ka-2015 dan rencana konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pembiayaan pemban-gunan yang akan digelar di tahun 2015 atau 2016, terdapat dua area hal yang diulas dalam paper ini yaitu sumber-sumber pembiayaan di luar Official Development

As-sitance (ODA) dan peran lembaga

keuangan yang berkaitan dengan sumber-sumber pembiayaan terse-but.

Terjadi perdebatan mengenai bagaimana agenda pembangunan setelah berakhirnya Millenium

Development Goals (MDGs) telah

dimulai sejak tahun 2012 saat PBB mengadakan Konferensi Pemban-gunan yang Berkelanjutan di Brazil atau dikenal dengan Rio+20 Sum-mit. Sejak saat itu, berbagai forum diselenggarakan dengan melibat-kan beragam multi-stakeholder global dengan tujuan untuk men-dapatkan masukan mengenai agen-da pembangunan ke depan.

Pada saat yang sama, terjadi pergeseran peta politik dan ekono-mi global akibat krisis berkepan-jangan yang dialami negara-negara maju dan juga tumbuhnya

negara-negara emerging seperti China, In-dia, Rusia, Brazil dan juga Indone-sia. Pergeseran ini juga membawa perubahan terhadap komitmen ne-gara-negara maju untuk memberi-kan bantuan berupa pinjaman luar negeri ke negara-negara miskin dan berkembang. ODA yang sela-ma ini diandalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan teruta-ma untuk tercapaianya MDGs kian berkurang dan tidak signifikan dibanding sumber-sumber pembi-ayaan lainnya.

ODA dan Perjalanan

panjang pembiayaan

pembangunan

MDGs menetapkan pembiayaan untuk pembangunan menjadi agen-da bersama yang tertuang agen-dalam tujuan kedelapan yaitu kerjasa-ma global. Di dalam goal delapan tersebut, terdapat empat indikator kerjasama global yaitu bantuan dari negara-negara maju ke nega-ra-negara miskin dan berkembang dalam bentuk ODA atau pinjaman luar negeri, perdagangan terutama terkait dengan akses pasar, keber-lanjutan pinjaman luar negeri, dan kerjasama farmasi untuk pemenu-han obat dasar bagi negara miskin dan berkembang.

Dua tahun setelah MDGs disepakati menjadi komitmen glob-al (2002), diadakan konferensi yang

berlangsung di Monterrey, Meksiko, dengan agenda membahas pembi-ayaan untuk pembangunan. Tujuan utama dari konferensi tersebut yaitu untuk mobilisasi pendan-aan untuk mencapai target MDGs. Konferensi tersebut kemudian menghasilkan konsensus di antara negara-negara maju berupa komit-men bantuan dalam bentuk ODA kepada negara-negara miskin sebe-sar 0,7% dari produk domestik bru-to. Komitmen ini kemudian dikenal dengan Monterrey Concencus.

Tiga tahun berikutnya (2005), OECD (Organization of Economic

Cooperation and Development)

mengadakan pertemuan di Paris yang bertujuan untuk melakukan harmonisasi di antara negara-ne-gara maju dalam rangka mening-katkan efektivitas bantuan. Per-temuan Paris menghasilkan lima poin kerjasama terdiri atas

own-ership (kepemilikan), alignment

(keterpaduan), harmonisation (har-monisasi), result-based oriented (berdasarkan pada hasil), dan

mu-tual accountability (akuntabilitas

timbal balik). Lima pilar ini ke-mudian dikenal dengan Deklarasi Paris yang hingga saat ini diguna-kan sebagai acuan dalam kerjasa-ma bantuan berupa pinjakerjasa-man luar negeri.

Beragam pertemuan yang di-adakan tersebut untuk memasti-kan efektivitas bantuan agar dapat

BACKGROUND PAPER

(20)

mendukung tujuan pembangunan millenium. Namun berdasarkan laporan PBB di tahun 2012 (tiga tahun sebelum berakhirnya MDGs), hanya lima negara yang menjalan-kan komitmennya yaitu Swedia, Norwegia, Luxemburg, Denmark, dan Belanda. Sementara sebagian besar tidak mencapai target yang diharapkan. Secara total, ODA di-tahun 2011 sebesar 0,31% dari GDP, jauh di bawah konsensus Mon-terrey. Meskipun ODA dianggap tidak mampu memenuhi harapan global terkait dengan pembiayaan pembangunan, namun bagi nega-ra-negara miskin (least developed

countries/LDCs) menganggap ODA

masih diperlukan guna mendukung pembangunan di negara mereka.

Potensi Sumber

Pembiayaan untuk

Pembangunan

High level Panel of Eminent Person on Post-2015 Development Agenda (HLPEP) yang dibentuk

Sekjend PBB, Ban Ki Moon, dengan mandat menyusun agenda

pemban-gunan paska-2015 menekankan dua sumber pembiayaan yaitu per-tama, ODA dengan komitmen yang sama 0,7% dari GDP dan 0,15% sampai 0,20% dari total GDP ne-gara-negara maju untuk LDCs, dan kedua, mengurangi pelarian modal dan pajak termasuk mengemba-likan aset yang dicuri. Dua sumber tersebut menggambarkan sumber pembiayaan diharapkan selain dari bantuan luar negeri, juga didapat dari mobilisasi sumber daya do-mestik.

Dokumen HLPEP meng-gambarkan pergeseran kekuatan ekonomi global akibat krisis yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Krisis yang mulai terjadi di tahun 2008 dan hingga kini masih belum pulih menyebabkan negara-negara maju mengurangi ODA dan mendorong pencarian sumber-sum-ber pembiayaan baru. Dua sumsumber-sum-ber pembiayaan baru yang diharapkan yaitu partisipasi sektor swasta dan sumber pembiayaan dari negara-negara emerging.

Terdapat beberapa usulan yang mengemuka di berbagai forum

in-ternasional seperti G20, APEC, dan PBB mengenai pembiayaan pem-bangunan, mulai dari kerjasama perpajakan, meningkatkan investa-si khususnya FDI (Foreign Direct

Investment), transparansi industri

ekstraktif, hingga meningkatkan

public private partnership (PPP).

Pembiayaan

Pembangunan Sektor

Swasta

Hal lainnya yang menarik dia-mati akibat krisis ekonomi di AS dan Uni Eropa tahun 2008 adalah meningkatnya peran swasta dalam pembiayaan pembangunan baik sebagai sumber pembiayaan teru-tama PPP juga sebagai penerima ODA. Konferensi mengenai efek-tivitas bantuan yang berlangsung di Busan tahun 2012 menetapkan swasta sebagai aktor pembangu-nan. Hal ini berimplikasi terhadap sektor swasta dimana swasta me-miliki hak untuk menerima ODA di luar pemerintah dan masyarakat sipil.

Sebagai sumber pembiayaan, Bank Dunia dalam dokumen

Fi-nancing for Development Post-2015

(2013) mengidentifikasi beberapa sumber pembiayaan dari sektor swasta meliputi FDI, pinjaman dari perbankan (bank loans), surat utang berharga (bond issues), in-stitutional investor, dan remitansi (private transfer). Secara keseluru-han tabel di bawah ini menggam-barkan besarnya dana yang menga-lir ke negara-negara berkembang dimana paling besar dana dari FDI sebesar 60%.

Sumber: OECD

Tabel 1.

Gap komitmen ODA dan implementasinya

ANALISIS UTAMA

(21)

Tabel di atas juga menggam-barkan besarnya potensi pendan-aan dari sektor swasta diband-ingkan ODA yang hanya 14% dari total pendanaan yang ada.

Peran Lembaga Keuangan

Internasional

Mulai tahun 2000-an, bantuan Bank Dunia ditujukan pada pe-rubahan kebijakan pembangunan yang tertuang dalam pinjaman

De-velopment Policy Loan (DPL). DPL

inilah yang mengarahkan kebijakan di Indonesia termasuk juga dalam hal pembiayaan pembangunan sep-erti pajak, PPP, inklusi keuangan, juga remitansi. Selain kebijakan, DPL juga mendorong pembentukan kelembagaan seperti pembentukan

Indonesia Infrastructure Fund dan

lain sebagainya.

Ditingkat regional, Asia De-velopment Bank (ADB) lebih men-dorong regional integrity

khu-susnya di kawasan Asia termasuk ASEAN melalui paket-paket pin-jamannya. ADB juga melalui DPL, sama dengan Bank Dunia, men-dorong perubahan kebijakan dan juga pembentukan kelembagaan terkait dengan area-area pembi-yaan pembangunan seperti PPP. Jadi dapat dikatakan, lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia dan ADB masih memi-liki peranan besar terkait dengan pembiayaan pembangunan. Q

Sumber: Bank Dunia, 2013

Tabel 2.

Aliran dana ke negara-negara berkembang, 2012 (Dalam USD miliar, dan % dari total)

600.1

60%

14.1, 1%

7.1 , 1%

44.4, 4%

71.5, 7%

126.7,

13%

143.3,

14%

FDI INFLOWS

ODA & OOF

OTHER PRIVATE

PORTFOLIO

EQUITY INFLOWS

BANKS

SHORT-TERM

DEBT FLOWS

BONDS

(22)

ANALISIS UTAMA

G

20 dibentuk di tahun 1999, setelah krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Asia di ta-hun 1997. Agenda utama G20 pada saat itu yaitu mencegah krisis ekonomi dan keuangan kem-bali berulang dan mengurangi resiko sistemik jika terjadi krisis di kemudian hari. Pertemuan per-tama diadakan di Berlin pada De-sember 1999 yang dihadiri Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sen-tral dari 20 negara anggota. Perte-muan pertama menghasilkan kese-pakatan meliputi G20 akan bekerja dalam kerangka institusi Bretton

Woods seperti Bank Dunia, Inter-national Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO).

Ini menegaskan keberadaan G20 tidak bermaksud menggantikan peran dari lembaga Bretton Woods tetapi menjadi forum yang akan mencari kesepakatan bersama jika tidak bisa dicapai di tiga lembaga tersebut; dan G20 akan bekerja sama di tiga bidang yaitu investasi, keuangan dan perdagangan.

Sampai pada tahun 2008, G20 masih sebagai forum tingkat

men-teri dan gubernur bank sentral. Namun saat Amerika Serikat (AS) mengalami krisis keuangan di awal tahun 2007, Presiden Amerika Seri-kat, George W. Bush, mengusulkan pertemuan G20 menjadi pertemuan kepala negara. Ini dimaksudkan agar pertemuan menghasilkan keputusan politik yang langsung diambil dari kepala negara. Maka pada bulan November 2008, ber-langsung pertemuan pertama G20 di Washington, AS yang dihadiri para kepala negara dari 20 negara anggota. Pertemuan menghasil-kan kesepakatan mengenai

peng-gelontoran stimulus fiskal dari 20 negara dalam upaya membantu AS agar tidak terjebak ke dalam krisis yang lebih dalam. Indonesia sendiri mengeluarkan paket stimulus fiskal sebesar Rp 74 triliun yang sebagian besar untuk keringanan pajak dan pembangunan infrastruktur.

Pertemuan di AS tersebut men-jadi awal pergeseran kekuatan ekonomi dan politik global dari se-belumnya dikuasai G8 menjadi G20 yang di dalamnya negara-negara

emerging seperti India, China,

Bra-zil, dan Indonesia. Pergeseran ini juga menandai perubahan peran

G20 DAN

ADVOKASI

MASYARAKAT

SIPIL

(23)

G20 yang sebelumnya hanya fo-rum setingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral men-jadi pertemuan Kepala Negara dan menegaskan perannya sebagai fo-rum kerjasama ekonomi dunia (the

primier forum for international eco-nomic cooperation).

Tanggapan Masyarakat

Sipil Global

Menanggapi situasi tersebut, masyarakat sipil global dihadap-kan pada dua pilihan. Pertama, me-nolak G20 karena tidak selayaknya

agenda global ditentukan hanya oleh 20 negara. Forum yang tepat untuk membahas krisis keuangan dan ekonomi global adalah Pers-erikatan Bangsa-Bangsa. Sikap ini menguat terutama di dua tahun pertama G20 menjadi forum kepala negara. Dalam berbagai pertemuan puncak G20, pada masa itu, selalu diwarnai dengan aksi demonstrasi menolak G20. Masyarakat sipil dari berbagai negara bekumpul untuk menyerukan pembubaran G20 dan mendorong kekuatan alternatif un-tuk mengurangi dominasi negara-negara maju yang ada di G20.

Namun seiring dengan mas-uknya agenda pembangunan yang dimulai tahun 2010, di masa keket-uaan Presiden Korea Selatan, dan juga realitas politik global di mana kesepakatan G20 memiliki damp-ak global dan tiddamp-ak bisa dibiar-kan begitu saja, maka masyarakat sipil mulai mengusulkan agenda yang dimasukkan di pertemuan-pertemuan pendahuluan. Hal inilah yang mendorong adanya si-kap kedua yaitu masuk dalam pe-rundingan G20 untuk mengusul-kan agenda-agenda yang menjadi perhatian masyarakat sipil global. Agenda-agenda tersebut meliputi reformasi lembaga keuangan in-ternasional yaitu IMF, regulasi di sektor keuangan sehingga sektor keuangan dapat mendukung sek-tor riil, komitmen G20 untuk men-gurangi kesenjangan baik di dalam negeri anggota G20 maupun anta-ra kesenjangan di tingkat global antara negara-negara yang terga-bung di G20 dengan negara-negara miskin dan berkembang, juga

ker-jasama perpajakan untuk menga-tasi pelarian modal terutama dari negara miskin ke negara-negara maju.

Berangkat dari situasi tersebut, masyarakat sipil global mulai mel-akukan koordinasi terutama den-gan masyarakat sipil di 20 negara untuk masuk dalam perundingan formal. Dimulai pada tahun 2010, ketika Pemerintah Korea Sela-tan mengundang masyarakat sipil untuk berdialog langsung dengan Sherpa dari 20 negara. Berikutnya di Meksiko, secara resmi Pemerin-tah Meksiko menyusun mekanisme

outreach dengan masyarakat sipil.

Mekanisme ini dilakukan dengan mengadakan beberapa kali per-temuan antara Pemerintah Mek-siko dengan masyarakat sipil dari berbagai negara untuk menda-patkan masukan dari masyarakat sipil. Pada tahun 2012, ketika Ru-sia menjadi ketua G20 dibentuk sekretariat masyarakat sipil yang dikenal dengan Civil20 (C20). C20 mengadakan pertemuan pendahu-luan (C20 Summit) sebelum G20 Summit digelar. Usulan yang di-hasilkan dari C20 Summit disam-paikan langsung ke Presiden Ru-sia selaku Ketua G20. Pada tahun ini, Pemerintah Australia menjadi Ketua G20. Mengikuti mekanisme yang telah dibuat Pemerintah Rusia sebelumnya, dalam keketuaan G20 saat ini dibuatlah C20 yang telah mengadakan pertemuan (C20

Sum-mit) di Melbourne pada bulan Juni

2014, sebelum diadakan G20 Sum-mit di bulan November di tahun yang sama.

(24)

Summit di mana agenda prioritas G20 ditentukan oleh Ketua G20 pada saat itu, demikian halnya den-gan masyarakat sipil global. Priori-tas agenda masyarakat sipil juga mengikuti prioritas keketuaan G20. Seperti ketika di tahun 2012, salah satu prioritas Rusia yaitu kerjasa-ma energi, kerjasa-maka pada kesempatan tersebut masyarakat sipil juga me-masukkan agenda keberlanjutan energi. Termasuk tahun ini di mana salah satu prioritas Australia yaitu pertumbuhan yang kuat melalui peningkatan investasi swasta teru-tama untuk infrastruktur. Maka pada tahun ini salah satu usulan yaitu investasi dan infrastruktur.

Relevansi Advokasi G20

dengan Pembangunan

Nasional

Indonesia sejak awal terben-tuknya G20 telah menjadi anggota G20. Indonesia juga secara aktif terlibat di berbagai agenda strat-egis seperti reformasi IMF dengan mendorong adanya kuota yang lebih besar untuk negara-negara miskin dan berkembang. Indonesia juga aktif di Kelompok Kerja Pem-bangunan. Bahkan di tahun 2013, Indonesia menjadi Ketua Kelom-pok Kerja Pembangunan. Sebelum itu, Indonesia juga menjadi Ketua Kelompok Kerja Anti Korupsi. Se-lain aktif di berbagai kelompok kerja, Indonesia termasuk yang mengusulkan pembentukan FSB (Financial Stability Board) yang sebelumnya berbentuk FSF

(Finan-cial Stabillity Forum) yang

bertu-juan untuk menyusun kerangka

regulasi bagi sistem keuangan global agar tahan terhadap kri-sis. Terakhir, Indonesia aktif men-dorong masuknya infrastruktur di dalam pembahasan tersendiri dari sebelumnya ada di agenda pemban-gunan.

Melihat kiprah Indonesia di G20, Indonesia bisa dikatakan cukup aktif dan berada di agenda-agenda yang strategis. Namun ini belum cukup bagi negara sebesar Indonesia. Ada beberapa agenda yang bisa dilakukan Indonesia agar kehadiran Indonesia di G20 mem-beri manfaat bagi pembangunan di dalam negeri dan bagi negara-ne-gara miskin dan berkembang lain-nya, antara lain melalui: Pertama, Indonesia dapat mendorong G20 merumuskan agenda-agenda yang bertujuan pada pengurangan kes-enjangan baik antara negara maju dengan negara miskin, maupun penurunan kesenjangan di dalam negeri. Salah satu sebab krisis adalah terlalu dominannya sektor keuangan terhadap sektor riil. Se-mentara negara-negara miskin dan berkembang menghadapi hambat-an dalam pengembhambat-anghambat-an industri manufaktur. Indonesia bisa men-dorong G20 untuk meningkatkan kerjasama di sektor manufaktur sehingga pembangunan tidak lagi bertumpu pada sektor keuangan. Seumber-sumber keuangan yang berada di negara maju, dapat diar-ahkan untuk mendukung pemban-gunan di negara-negara miskin dan berkembang melalui penguatan industri manufaktur. Keberhasilan dalam mengembangkan sektor riil dapat mendorong terciptanya

lapa-ngan kerja yang itu berarti mengu-rangi kesenjangan akibat pengang-guran.

Kedua, Indonesia dapat men-dorong peningkatan kerjasama per-pajakan terutama terkait dengan penghindaran pajak. Selama ini In-donesia menghadapi kesulitan ke-tika berhadapan dengan Singapura yang menjadi tujuan penghindaran pajak. Melalui kerjasama perpa-jakan, Indonesia dapat menarik kembali uang yang ada di luar neg-eri untuk pembangunan di dalam negeri. Pengalaman yang sama juga terjadi di negara-negara miskin lainnya yang mengalami pelarian pajak. Ketiga, Indonesia bisa me-manfaatkan G20 untuk mengatasi korupsi berkaitan dengan peru-sahaan-perusahaan multinasion-al. Adanya kesepakatan bersama terkait dengan suap dari korporasi akan membantu upaya penindakan korupsi di dalam negeri.

Ketiga hal tersebut adalah contoh pada area mana Indonesia bisa mengambil manfaat dari ke-hadirannya di G20. Megingat pada dasarnya ada banyak agenda yang bisa didesakkan di G20 terkait dengan kepentingan nasional dan juga bagi negara-negara miskin dan berkembang. Maka, meskipun kekuatan alternatif tetap diperlu-kan untuk mengurangi dominasi negara-negara maju terhadap ta-tanan ekonomi dan politik global, advokasi masyarakat sipil ter-hadap G20 tetaplah relevan untuk memastikan G20 tidak merugikan kepentingan nasional termasuk kepentingan negara-negara miskin dan berkembang. Q

Gambar

TABEL 1. JUMLAH PENDUDUK MISKIN  (*PROYEKSI)
Tabel 1. Gini Koefisien di Indonesia berdasarkan desa dan kota
Tabel 2. Gini koefisien berdasarkan Jawa dan Luar Jawa
Tabel 3: Perbandingan perkembangan investasi dengan penyerapan tenaga kerjaANALISIS UTAMA
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pemeriksaan kepadatan campuran dengan perlakuan STOA disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 juga terlihat bahwa pada kondisi 0.0% kadar Roadcel-50 terdapat fenomena

Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan yang ada pada perusahaan tersebut yakni, apakah penerapan metode Reorder Point untuk persediaan

Berdasarkan hasil analisis statistik dapat disimpulkan bahwa jus buah pisang ambon dosis 5 ml/kgBB merupakan dosis yang efektif dalam menurunkan kadar glukosa

Pada sekolah menengah pertama (SMP) yang menerapkan kurikulum 2013, salah satu materi yang diajarkan pada semester ganjil pada mata pelajaran IPA Terpadu yakni

dari : Rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas dan rasio total aktiva terhadap total hutang, sebaiknya PDAM mengadakan perubahan struktur kekayaan dengan melunasi semua

Seperti yang diungkapkan guru PAI di SMK NEGERI 1 Boyolangu bahwa dalam pembelajaran Contextual Teaching and Learning siswa dibawa kedunia nyata dengan begitu siswa

Mampu menggambar dan mewarnai dengan rapi sesuai konteks gambar namun membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya.. Daya imajinasi

Tepung tapioka yang dibuat dalam pembuatan stik ini sangat tinggi mengandung karbohidrat upaya untuk meningkatkan kandungan gizinya maka perlu ditambahkan kandungan