• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagangan Bebas dan Implikasinya terhadap Perekonomian Rakyat (Analisis Kebijakan Pemerintah dalam Menyikapi WTO) Oleh: Muyassarotussolichah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perdagangan Bebas dan Implikasinya terhadap Perekonomian Rakyat (Analisis Kebijakan Pemerintah dalam Menyikapi WTO) Oleh: Muyassarotussolichah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Perdagangan Bebas dan Implikasinya terhadap

Perekonomian Rakyat

(Analisis Kebijakan Pemerintah dalam Menyikapi WTO) Oleh: Muyassarotussolichah∗

Abstrak

Kebijakan pemerintah dalam meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO (World Trade Organization) dengan UU No. 7 Tahun 1994 berimplikasi terhadap perekonomian Indonesia khususnya koperasi dan usaha kecil sebagai ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan dihapuskannya berbagai macam subsidi. Oleh karena itu hal yang terpenting agar ekonomi rakyat tidak termakan oleh pasar dan untuk mengantisipasi persaingan yang tidak fair adalah dengan cara membentuk peraturan perundang-undangan yang dengan tegas mengatur penegakan hukumnya. A. Pendahuluan

Tiga puluh tahun lebih masa kepemimpinan Presiden RI yang kedua diwarnai oleh berbagai hal terutama yang berkaitan dengan kebijakan perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang, semestinya kebijakan-kebijakan yang diambil Indonesia difokuskan untuk meningkatkan taraf perekonomian rakyat. Namun adakalanya kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah ternyata kurang mempertimbangkan dampak yang akan muncul dan kurang adanya transparansi dalam proses pengambilannya. Misalnya, penandatanganan suatu persetujuan harus lebih dahulu meminta pendapat kepada rakyat. Konsekuensinya, disadari atau tidak, sistem pereko-nomian yang seharusnya lebih melindungi perekonomian rakyat --sesuai dengan UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil jo. UU No. 25 tahun 1992 tentang koperasi, sebagaimana telah dicanangkan oleh Bapak Proklamator Drs. Mohammad Hatta-- tergeser begitu saja dan beralih menuju kepada sistem ekonomi liberalis yang cenderung kapitalis.

Kebijakan ekonomi yang ditempuh dalam upaya untuk berkiprah secara aktif di arena pasar dunia antara lain dengan telah disetujuinya persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO) pada tanggal 12 November 1994 yang telah diratifikasi

(2)

dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 (Lembaran Negara Nomor 57 tahun 1994). Organisasi ini menggantikan peranan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) yang telah berlangsung sekitar 40 tahun.

Tentu saja, dengan telah diratifikasinya persetujuan tersebut, pada gilirannya membawa akibat bagi perekonomian Indonesia yang sebenarnya belum siap menuju pasar bebas. Namun, siap atau tidak, hal tersebut harus dihadapi. Dengan demikian, perdagangan bebas merupakan dilema bagi Indonesia khususnya dan negara-negara berkembang pada umumnya. Menolak perdagangan bebas bukan saja akan menghambat tumbuh dan berkembangnya prakarsa dan kreativitas masyarakat yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi tetapi juga dapat mengundang pembalasan negara-negara lain yang merasa dibatasi haknya untuk berdagang secara bebas. Sebaliknya, membuka diri sepenuhnya akan menempatkan bagian-bagian terlemah dari komunitas bangsanya menjadi ‘sasaran tembak’ tanpa daya dan kekuatan besar, baik yang datang dari luar maupun yang tumbuh dari dalam negeri sendiri.1

Hal yang perlu dipersiapakan oleh Indonesia untuk menghadapi pasar bebas dalam situasi yang serba global ini adalah perangkat-perangkat hukum yang kondusif yang dapat dijadikan landasan dalam menghadapi globalisasi yang semakin cepat, kompleks, bebas, dan ketat. Perangkat hukum tersebut diperlukan untuk memberi perlindungan bagi sistem perekonomian Indonesia dari pengaruh perdagangan bebas yang sangat mungkin dapat membuat sistem perekonomian Indonesia tidak berdaya atau bahkan mati. Namun patut disayangkan, selama ini pemerintah cenderung lebih memperhatikan pelaku pasar kelas atas/ kakap (baca: konglomerat) di banding dengan perlindungan-nya terhadap ekonomi rakyat demikian dalam menerapkan kebijakan hukum yang semestinya berfungsi untuk menindak pelaku pasar yang monopolis yang selama ini terbukti telah berdampak kontrakondusif terhadap pereko-nomian rakyat pada umumnya. Realitas mengindikasikan bahwa pelaku pasar yang besar semakin bertambah besar, karena ada nuansa ‘crony capitalism’, sedangkan pelaku pasar kelas menengah ke bawah semakin terpuruk.

1 Normin S. Pakpahan, Perdagangan Bebas dan Implikasinya Terhadap Pening-katan Pendidikan Hukum Bisnis Indonesia, Makalah Seminar, (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, Agustus 1996), p. 2.

(3)

B. Perdagangan Bebas dan Perekonomian Rakyat 1. Seputar Masalah Perdagangan Bebas

a. Sejarah Singkat GATT

Ide tentang perdagangan bebas tidak bisa dilepaskan dari munculnya The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT, persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan) yang merupakan suatu perjanjian multilateral di bidang perdagangan internasional. Untuk pertama kalinya, GATT ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947 oleh sekitar 23 Negara.

Dalam perkembangannya, pada pertemuan Putaran Uruguay (Uruguay Round) tahun 1986, dengan melalui berbagai pertemuan, anggotanya bertambah menjadi 105 negara. Pada pertemuan Uruguay inilah perkembangan mutakhir perekonomian dunia, yang sangat mempengaruhi bangsa-bangsa termasuk Indonesia, telah terjadi dengan ditandatanganinya The Final Act Embodying the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations (Persetujuan Akhir Putaran Uruguay, PAPU) di Marrakesh pada tanggal 15 April 1994.2 Dalam Putaran Uruguay ini

juga dihasilkan suatu kesepakatan untuk membentuk World Trade Organization (WTO, organisasi perdagangan dunia). Indonesia telah meratifikasi persetujuan tersebut dengan UU No. 7 Tahun 1994.

b. Tujuan GATT

Tujuan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis serta untuk mencip-takan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja, dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat dengan mengupayakan suatu sistem perdagangan yang dapat meningkatkan pertum-buhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia. 3 Adapun tujuan lanjut GATT melalui putaran Uruguay

adalah sebagai berikut:4

2 Nandang Sutrisno, Impor Hukum Ekonomi sebagai Strategi Antisipasi Menghadapi Era pasar Bebas, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi V, Agustus 1996, p. 46.

3 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perda-gangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), p. 1.

4 Edy Suandi Hamid, “Putaran Uruguay, Integrasi Ekonomi Regional dan Implikasinya bagi Indonesia”, dalam Unisia, No. 26, 1995, p. 21-2

(4)

1. Menciptakan perdagangan bebas yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua negara, khususnya negara berkembang;

2. Meningkatkan peran GATT dan memperbaiki sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan GATT serta memperluas cakupan produk perdagangan dunia;

3. Meningkatkan ketanggapan sistem GATT terhadap situasi perekono-mian dengan memperlancar penyesuaian struktural dan mempercepat hubungan GATT dengan organisasi internasional yang relevan dengan mengingat prospek perdagangan di masa datang; dan

4. Mengembangkan suatu bentuk kerjasama pada tingkat nasional dan internasional untuk mengaitkan hubungan antara kebijakan perda-gangan dengan kebijakan ekonomi lain melalui usaha untuk memper-baiki sistem moneter internasional.

c. Prinsip GATT

Ada beberapa prinsip dan aturan perdagangan multilateral yang terdapat dalam GATT 5 sebagai berikut :

1) Prinsip Most-Favoured-Nation

Prinsip ini berarti bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap negara-negara lainnya dalam pelaksanaan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya.

2) Prinsip National Treatment

Artinya, produk dari suatu negara anggota yang diimpor ke suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.

3) Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif

Artinya, adanya pembatasan kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun.

4) Prinsip Perlindungan Melalui Tarif

5 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah..., p. 15; lihat juga dalam Edy Suandi Hamid, “Putaran Uruguay…”, p. 21 yang mengemukakan prinsip tentang transparancy atau kejelasan dan keterbukaan, artinya perlakuan dan kebijaksanaan yang dilakukan suatu negara harus transparan, jelas, dan dapat diketahui oleh mitra dagangnya.

(5)

Pada prinsipnya, GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (nontariff commercial measures). Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.

5) Prinsip Resiprositas

Prinsip ini merupakan prinsip yang fundamental dalam GATT yang berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.

d. Kesimpulan Persetujuan GATT

Persetujuan perdagangan multilateral GATT dalam putaran Uruguay menghasilkan sembilan kesimpulan utama yaitu :6

1) Kesepakatan untuk membuka ‘market access’ ke negara peserta dan penurunan tarif secara sistimatis;

2) Di bidang pertanian, hambatan perdagangan non-tarif (non-tarif barrier) harus segera diubah menjadi hambatan (non-tarif;

3) Disetujuinya aturan main dalam liberalisasi perdagangan jasa (seperti kepariwisataan, komunikasi, dan perbankan);

4) Perjanjian perdagangan textile-multi fibre agreement harus diakhiri dalam jangka waktu 10 tahun;

5) Kesepakatan peraturan tentang intelectual property right (IPR, hak kekayaan intelektual). Seluruh perdagangan yang berkaitan dengan IPR harus sudah diterapkan dalam waktu 10 tahun ;

6) Liberalisasi atas Investasi Asing (TRIM) harus dilakukan dalam waktu dua hingga tujuh tahun sejak perjanjian disepakati;

7) Kejelasan tentang implementasi undang-undang atau peraturan anti dumping yang diterapkan oleh negara peserta.

6 Arief Ramelan Karseno, 1, “Persoalan Ekonomi Indonesia Pasca GATT Putaran Uruguay”, makalah seminar nasional, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UMY, 18 Juni 1994) p. 2. Lihat juga dalam Arief Ramelan Karseno, 2, “Persolan Ekonomi Indonesia menjelang Liberalisasi Perdagangan Dunia”, dalam Unisia, No. 26 Tahun XV Triwulan II-1996, p. 31.

(6)

8) Kesepakatan untuk menyelesaikan setiap persoalan sengketa perdagangan yang terjadi di antara negara peserta secara efisien;

9) Persetujuan transformasi kelembagaan GATT menjadi WTO yang dipandang akan lebih efektif dalam penyelesaian persoalan perdagangan multilateral.

2. Perekonomian Rakyat a. Koperasi

Perekonomian Indonesia selama ini dibangun secara bertahap dan berkelanjutan melalui pelita demi pelita (Pelita I s.d. VI) dari puing-puing reruntuhan pertengahan dekade enampuluhan dan runtuhnya justru pada saat kita mencanangkan kebijakan ‘berdikari’’ (berdiri di atas kaki sendiri).7

Pada saat ini perekonomian Indonesia sedang terpuruk lagi dan lebih tajam dari tiga puluh tahun yang lalu dengan adanya krisis moneter yang berkepan-jangan yang menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami kegoncangan yang dahsyat. Hal ini terjadi justru pada saat kita akan melaksanakan kebijakan lepas landas. Kondisi semacam ini sudah seharusnya membuat bangsa dan negara kita, terutama presiden sebagai pemegang kebijakan, untuk lebih arif menengok ke belakang guna melakukan koreksi diri, self correction : adakah kebijakan yang salah yang diterapkan dalam pembangunan ekonomi 30 tahun yang lalu. Atau, mungkinkan ini sebagai ‘kutukan’ dari doa orang-orang lemah yang selama ini kondisi ekonominya terpuruk karena melihat para pngusaha kelas kakap yang lengket dengan penguasa (crony capitalism) kehidupannya terlindungi. Dengan demikian, kondisi perekonomian kita seakan-akan bagaikan kemarau setahun yang dihapus dengan hujan sehari. Artinya, kerja keras yang telah dilakukan bertahun-tahun seakan tiada artinya.

Ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa kita kurang konsekuen dalam melaksanakan UUD 1945. Artinya, kita tidak membangun perekonomian di atas asas kekeluargaan. Kurangnya perhatian kita kepada koperasi, sebagai pelaku ekonomi yang menurut UUD 1945 adalah sebagai sokoguru perekonomian negara, lebih disebabkan karena silaunya kita atas keberhasilan orang lain atas rakyatnya

7 Amiruddin Ahmad Dajaan Imami, Ulasan Hukum : Saatnya Koperasi Ditegak-kan, dalam Gema Kliping Hukum, Februari II, 1998, p. 11.

(7)

yang memiliki cara pandang dan adat istiadat yang berbeda dengan kita. Koperasi dengan asas kekeluargaan dan kebersamaan sesuai dengan Undang-Undang koperasi No. 25 tahun 1992 menyatakan bahwa koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha, berperanserta dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Logikanya, koperasi harus diimplementasikan sedemikian rupa agar menjadi semakin kokoh, kuat, dan benar-benar mampu menjadi soko guru perekonomian Indonesia.

Selama ini peran koperasi lebih cenderung pada akumulasi modal dan mencari keuntungan di banding sebagai penyalur segala macam produksi yang dihasilkan oleh BUMN atau BUMS sehingga pada gilirannya koperasi kehilangan perannya sebagai tumpuan perekonomian rakyat. Oleh karena itu, dalam rangka menumbuhkembangkan koperasi dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak, terutama pemerintah, dalam hal pembinaan sesuai dengan Undang-Undang Koperasi No. 25 tahun 1992 Bab XII pasal 60 s/d 63. Dengan pembinaan tersebut diharapkan adanya kesiapan koperasi yang lebih kuat dan mengakar dalam jiwa rakyat Indonesia dalam menghadapi tantangan masa depan terutama dalam menyambut global market era yang dimungkinkan perhatian pemerintah pada koperasi dan industri-industi kecil pada umumnya semakin berkurang.

b. Usaha Kecil

Berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1995, usaha kecil merupakan perpanjangan tangan dari koperasi. Adanya Undang-Undang usaha kecil ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan bagi usaha kecil sebagai bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peran serta yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.8 Artinya, isi Undang-Undang usaha kecil ini dilihat maka akan

tampak suatu optimisme dalam menghadapi tantangan masa depan. Misalnya, di dalamnya tampak adanya perlindungan pemerintah mulai dari pendanaan, kemudahan birokrasi, pembinaan dan sebagainya sampai pada tingkat perlindungan usaha kecil dari persaingan yang tidak wajar dalam

(8)

bentuk monopoli, oligopoli, maupun monopsoni yang merugikan.9

Bahkan untuk mengembangkan dan memberdayakan usaha kecil lebih lanjut, Undang-Undang tersebut juga mencanangkan adanya kemitraan yaitu kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.10 Berlakunya program kemitraan

ini untuk selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997.

Kita patut berbesar hati, ketika perhatian pemerintah tercurah pada uasaha-usaha kecil yang merupakan perpanjangan tangan dari koperasi. Namun apakah perlindungan dan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan per-Undang -Undangan tersebut sudah dioptimalkan bagi pelaksanaannya ? Kalau sudah kenapa masih ada "pengusaha-pengusaha kelas kakap yang memakan usaha kecil" ?

Dengan demikian, masalah yang kita hadapi sehubungan dengan perlindungan dan pemberdayaan Usaha Kecil dan industri-industri kecil saat ini bukanlah kebijakan per-Undang-Undangan akan tetapi kebijakan pemerintah untuk menegakkan Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan perangkat hukum yang keras untuk menegakkan hukum perlindungan bagi usaha-usaha kecil dan industri -industri kecil dari sasaran pengusaha besar yang cenderung monopolis.

Suatu contoh mengenai penyediaan dana bagi Usaha kecil yang diperoleh dari kredit Perbankan; begitu sulitnya birokrasi perbankkan dalam memberikan kredit bagi Usaha Kecil dan industri-industri kecil.

Untuk mendapatkan kredit dari bank yang merupakan jaminan pemerintah dalam suatu ketentuan undang-undang, industri kecil tidak bisa dengan mudah memperoleh kredit akan tetapi harus melalui prosedur yang pajang sehingga memakan waktu yang banyak (yang apabila untuk berdagang sudah mendapat laba), harus ada agunan, usaha atau industrinya harus diagunkan dan sebagainya.

Hal ini berbeda dengan Usaha besar yang diberikan kredit tanpa birokrasi yang berbelit-belit, dengan hanya atas "Nama Bapak" kredit

9 Lihat Bab VI Pasal 6 Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

(9)

keluar dengan mudah. Disinilah kelemahan Indonesia yang telah membudaya dalam birokrasi pemerintahan "cenderung crony capitalis". 3. Implikasi Perdagangan Bebas bagi Perekonomian Rakyat

Kalau dilihat dari tujuannya, ide perdagangan bebas bukanlah sebagai sesuatu yang perlu ditakutkan bagi perkembangan dan kemajuan perekonomian rakyat, karena aturan-aturan main yang dicanangkan betul-betul untuk bersaing di pasar dunia secara fair dan jujur mengenai produksi andalan dalam negeri.

Namun yang menjadi problem adalah apakah perekonomian kita siap bersaing dengan produksi luar negeri, khususnya bagi usaha kecil ?

Sudah barang tentu karena dalam perdagangan bebas yang memiliki modal yang lebih besar dan kuat yang berhasil menguasai pasar, maka Usaha Kecil dan industri-industri kecil nasibnya akan sama halnya dengan sebelum adanya kebijakan persetujuan mengenai perdagangan bebas. Bahkan deregulasi yang berkaitan dengan industri-industri kecil diduga tidak akan terlalu berarti bagi kepentingan pengusaha kecil.11

Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa implikasi perdagangan bebas bagi perekonomian rakyat adalah sebagai berikut :

1. Subsidi pada sektor pertanian yang diharapkan oleh para petani kemungkinan dihapus secara total. Konsekuensinya pemerintah tidak bisa lagi menuntut petani untuk mentargetkan pola tanam tertentu ;

2. Struktur industri yang over protected harus diakhiri, dan pengusaha swasta yang lebih effisien harus dapat menggantikan pengusaha-pengusaha yang ada. Persoalannya, pengusaha-pengusaha menengah dan kecil akan berhadapan dengan pesaing potensial yang berkualitas dan berpengalaman internasional. Oleh karena itu hanya pengusaha dengan ketangguhan ganda (punya modal sekaligus keahlian) yang akan mampu bertahan hidup di masa mendatang ;

3. Berkembangnya persaingan dagang kearah pertentangan hukum menuntut adanya perbaikan sistem regulasi yang ada. Ketidak jelasan dan kurang transparannya regulasi dan perundang-undangan khususnya dibidang perdagangan akan menyusahkan pemerintah

11 Rief Ramelan Karseno, 3, “Masalah Kemitraan dalam Pembinaan Industri Kecil”, dalam Unisia, No. 29, tahun XVI, Triwulan 1, 1996, p. 6.

(10)

sendiri serta penguasaha swasta dalam menghadapi persaingan internasional.12

4. Sistem ekonomi yang bertumpu pada koperasi dengan usaha kecil dan industri-industri kecil sebagai perpanjangan tangannya tidak lagi mendapat perhatian dari pemerintah apalagi subsidi. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan perlindungan tidak harus dalam bentuk subsidi yang nyata namun dengan penegakan hukum yang ada untuk mengantisipasi matinya usaha kecil atau industri-industri kecil karena dimakan pasar.

Dengan demikian jelaslah bahwa dengan diratifikasinya persetujuan GATT Putaran Uruguay disatu sisi dapat memberikan keuntungan yang besar, kemudahan bagi produksi dalam negeri untuk bersaing menembus pasar dunia disisi lain juga merupakan tantangan bagi perekonomian rakyat yang dari hari ke hari apalagi di masa krisis moneter ini semakin terpuruk. Oleh karena itu perangkat-perangkat hukumnya sudah harus dibenahi sebelum pasar bebas itu benar-benar diterapkan seutuhnya. Terutama mengenai kasus monopoli yang selain tidak mememberikan kesempatan kepada pengusaha kecil untuk maju juga merupakan tantangan bagi majunya perekonomian suatu negara, sehingga secepatnya harus diberantas.

Mengenai monopoli ini sesuai dengan apa yang disinyalir Adam Smith adanya kecenderungan masyarakat bisnis yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan usaha yang merugikan "publik". selanjutnya ia berpendapat bahwa monopoli "musuh terbesar" bagi perekonomian yang baik.13 Kondisi seperti itulah yang mewarnai bisnis

Indonesia sampai detik ini hingga diterbitkannya Undang-Undang Anti Monopoli sebagai konsekuensi diratifikasinya GATT Putaran Uruguay. Padahal kalau kita kembalikan kepada nilai-nilai moral yang terkandung dalam falsafat Pancasila Bisnis monopolis sebenarnya tidak harus terjadi karena itu bertentangan dengan falsafat kita. Dalam hubungannya dengan bisnis monopolis dengan kata lain "bisnis tanpa ada tanggungjawab moral pada rekan bisnis yang lain", A. Sony Keraf dalam tulisannya berjudul “Bisnis : Sebuah Kebudayaan" mengemukakan panjang lebar mengenai bisnis yang bermoral antara lain ia menyebutkan bahwa oleh karena bisnis

12 Arief Ramelan Karseno, Persoalan Ekonomi…, p. 3.

13 Rizal Ramli, “Kecenderungan dan Tantangan Uindustrialisasi Indonesia Menjelang Tahun 2000”, dalam Unisia, No. 31/XVI/III, tahun 1996, p. 18.

(11)

merupakan pola kegiatan yang dijalankan melalui perusahaan, adalah merupakan kegiatan manusia. Maka dari itu sebagaimana dalam hidupnya, manusia dituntut oleh hakikatnya sebagai manusia untuk mempunyai tanggung jawab moral atas kehidupan dan nasib orang termasuk dalam berbisnis".14

Tantangan Indonesia terus akan menghadang, apalagi di masa krisis moneter yang berkepanjangan tantangan semakin bertambah, antara lain produk andalan Indonesia khususnya mengenai produksi pertanian sudah semakin sulit ditingkatkan karena adanya biaya yang cukup tinggi yang tidak diimbangi dengan modal yang cukup. Hight technologi untuk mendekat pada industrialisasi bagi bangsa Indonesia telah ditempuh jauh hari sebelum terjadinya krisis dan setelah masuk dalam krisis baru dicanangkan program teknologi pertanian untuk mendapatkan hasil pertanian yang meningkat dan lebih baik. Tentunya arah ini juga merupakan salah satu cara untuk membenahi perekonomian rakyat, walaupun saatnya kurang begitu tepat.

4. Peranan Hukum Dalam Mengatur Perdagangan Indonesia

Dengan diratifikasinya GATT Putaran Uruguay bukan hanya ekonomi yang mengalami liberalisasi . Dengan kata lain liberalisasi tidak hanya terjadi pada ekonomi tapi juga hukum yang berkaitan denganya harus juga dapat berperan dalam perdagangan Internasional.

Peran hukum dalam era perdagangan bebas "global market" sangat diperlukan sebagai landasan berpijak bagi pelaku-pelaku pasar. Oleh karena itu waktu yang tinggal beberapa tahun lagi ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya bagi penentu kebijakan "political will" untuk mempersiapkan perangkat-perangkat hukum dalam menyongsong datangnya perdagangan bebas. Terutama hukum yang dapat dipergunakan untuk memberi perlindungan bagi usaha kecil (misalnya : hukum Perlindungan Konsumen, Perlindungan Usaha Kecil, Perlindungan Tenaga Kerja /Buruh dan sebagainya) agar tidak menjadi sasaran empuk bagi pangsa pasar internasional.

Dalam hubungannya dengan peran hukum dalam pembangunan ekonomi ini tepat kiranya apa yang dikatakan oleh Adam Smith sebagai pencetus perdagangan bebas “the end of justice is to secure from injury”. Oleh karenanya dalam memasuki era industrialisasi ini kita perlu memperkuat

14 A. Sony Keraf, “Bisnis : Sebuah Kebudayaan”, dalam Unisia No. 3 5/XX/1997, p. 66.

(12)

penegakan hukum dalam bidang public law yaitu negara atas nama masyarakat perlu campur tangan untuk melindungi golongan masyarakat yang lemah.15

5. Analisis Berdasarkan Beberapa Teori a. Berdasarkan Teori Classical Economics.

Filosofis dari perdagangan bebas menurut teori ekonomi klasik "Classical Economics" yang dikemukakan oleh Adam Smith's adalah untuk mewujudkan kepentingan sendiri dibutuhkan adanya kebebasan dalam melakukan aktifitas ekonomi. Karena manusia secara alamiah memang mementingkan diri sendiri. Maka dari itu dalam perjuangannya memenuhi kebutuhannya sendiri tersebut dibutuhkan suatu forum dalam bentuk pasar. Dalam pasar itulah para pelaku ekonomi bisa mempertahankan kepentingannya sendiri.16

Berdasarkan pada teori tersebut sudah menjadi hal yang alamiah kalau manusia membutuhkan suatu pasar bebas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan datangnya GATT Putaran uruguay memberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk menggunakan arena perdagangan bebas tersebut. Namun perlu diingat bahwa dalam perdagangan bebas ala GATT Putaran Uruguay tersebut mempunyai aturan main yang harus dijalankan oleh pelaku pasar. Aturan main inilah yang menentukan keberhasilan pelaku pasar dalam bersaing. Kesempatan ini banyak digunakan oleh negara-negara berkembang pada umumnya, akan tetapi sayang negara- negara berkembang masih banyak yang belum siap untuk diterapi secara penuh aturan tersebut.

Sudah barang tentu menjadi pemikiran bagi kita, GATT itu sendiri sebenarnya adalah upaya dan kreatifitas dari negara-negara maju untuk menguasai kapital di negara-negara berkembang. Dengan demikian walaupun telah diratifikasi persetujuan tersebut yang mau tidak mau harus dijalankan, Negara kita khususnya dan Negara-Negara berkembang umumnya harus tetap berhati-hati dan selalu waspada dengan siap sedia dengan perangkat-perangkat hukumnya untuk mengantisipasi pasar bebas

15 Erman Rajagukguk, “Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia Menyongsong Abad XXI”, dalam Unisia No. 33/XVIII/I/1997, p. 5.

16 Rodolpho Sandoval, “Judicial Decisions Within The Framework of economic Structure”, sebagaimana dikutip dalam kumpulan artikel Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi II, Erman Rajagukguk (peng.), 1995, p. 549.

(13)

yang menyimpang sehingga timbul persolan internasional. Ingat bahwa manusia-manusia pada hakekatnya ingin memenuhi kebutuhannya sendiri. b. Berdasar Teori Globalisasi Hukum dan Bisnis

Globalisasi terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya kemajuan teknologi, kebebasan modal "tanpa kebangsaan" yang berorientasi pada maksimalisasi keuntungan dan berakhirnya perang dingin sehingga merubah hubungan internasional.17

Kemajuan teknologi dan kebebasan modal menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang mendasar di pasar bisnis dan pasar uang. Selanjutnya dari perkembangan tersebut mempengaruhi permintaan akan saham yang melimpah ruah melebihi batasan saham yang dibutuhkan. Misalnya di New York Exchange; permintaan saham melimpah. Konsekuensinya pasar global terjadi, ekonomi negara adalah ekonomi pasar.18

Dari kondisi pasar yang sudah mengglobal tersebut akan menimbulkan masalah-masalah, terutama berkait pada siapa yang berhak atau dapat bersaing di pasar uang selain negara-negara yang bermodal tinggi ? Hukum apakah atau manakah yang akan diterapkan bila terjadi sengketa antar negara-negara ?

Sudah barang tentu karena lahirnya perdagangan bebas itu sendiri bermula dari negara-negara Adikuasa, maka bagi Amerika misalnya masalah-masalah yang akan terjadi dalam perdagangan bebas telah dipersiapkan karena Amerika telah memiliki hukum yang cukup kompetitif. Dengan demikian negara yang kuatlah yang tetap bisa eksis dalam perdagangan bebas.

Sekilas mengenai teori globalisasi hukum dan bisnis tersebut di atas disebutkan bahwa indonesia dalam mengahadapi pasar bebas dimana para investor negara manapun bebas masuk, maka harus mempersiapkan perangkat hukumnya terutama hukum yang berkait dengan perlindungan para investor dalam menanamkan modalnya. Dengan kata lain hukum indonesia perlu direformasi dalam menghadapi pasar bebas.

Reformasi seperti apa ? Yaitu mengikuti apa yang menjadi tuntutan global, reformasi diarahkan kepada sistem perekonomian yang

17 Richard C. Breeden, “The Globalication of Law and Business in The 1990’s”, sebagaimana dikutip dalam kumpulan artikel Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi II, Erman Raja gukguk (peng.), 1995, p. 706.

(14)

menundukkan diri pada sistem kapitalis, oleh karena hukum tidak terlepas dari sistem Amerika.19

Kalau memang reformasi hukum diarahkan pada sistem kapitalis, hal ini tidak dimungkinkan sama sekali kalau sistemnya alias hukum yang diambil atau yang diadopsi tidak diambil secara keseluruhan artinya secara paket.

Tegasnya, strategi mengimpor hukum hendaknya tidak dilakukan secara parsial, tapi hendaknya merupakan satu paket. Artinya hukum ekonomi yang diimpor bukan hanya hukum-hukum yang akan mendorong daya saing di pasar global tetapi juga harus disertai hukum-hukum yang akan mengendalikan ekses-ekses dari padanya.20 Jadi kalau mengambil

aturannya maka penegakan hukum juga harus diambil.

Dalam pengambilan hukum tersebut harus tetap memperhatikan sistem nilai yaitu sistem nilai yang dianut oleh suatu negara (negara pengadopsi) dengan sistem asing (sistem import). Kesesuaian antara sistem nilai negara pengimpor dengan sistem asing (tempat asal hukum) perlu dipertimbangkan.

Untuk menuju pada reformasi hukum yang dapat menjembatani persoalan pasar mau tidak mau Indonesia harus mengadopsi (kalau belum bisa membuat sendiri) hukum dari asing (import hukum asing).

Itulah tantangan bagi negara kita yang tidak hanya pada masalah perekonomian tetapi juga masalah hukumnya. Untuk itulah jauh hari sebelum Globalisasi dalam arti perdagangan bebas yang muncul di era global seperti yang telah dicanangkan oleh GATT diterapkan, Indonesia harus mempersiapkan perangkat hukumnya.

Bagaimanapun globalisasi akan menimpa siapapun di negara yang telah meratifikasi persetujuan GATT Putaran Uruguay, tanpa pandang bulu "Si kaya, Si Besar atau Si Miskin, Si Kecil, semua akan terkena imbasnya. Oleh karena itu perangkat hukum sebagai tameng dalam mengahadapi pasar bebas harus betul-betul telah siap.

c. Berdasarkan Teori Pembagian Kerja Secara Internasional

Pada masa lalu Teori Pembagian Kerja Secara Internasional merupakan teori yang dianut. Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan

19 Ibid.

(15)

keuntungan komparatif yang dimilikinya. Negara-negara di katulistiwa yang tanahnya subur misalnya lebih baik melakukan spesialisasi di bidang produksi pertanian. Sedangkan negara-negara di bagian bumi sebelah utara yang iklimnya tidak cocok untuk usaha pertanian, sebaiknya melakukan kegiatan produksi di bidang industri, mereka harus mengembangkan teknologi, untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi negerinya.21

Teori Pembagian Kerja Secara Internasional juga menyatakan bahwa perdagangan internasional akan menguntungkan semua pihak. Harga barang akan turun dan mencapai titik terendah bila terjadi perdagangan bebas. Harga barang industri akan turun dan ini akan menguntungkan negara-negara pertanian. Namun produksi pertanian juga akan menurun harganya ketika produksi telah melimpah dengan penggunaan teknologi yang canggih.22

Melihat teori di atas, sepertinya keberhasilan sudah di depan mata. Sudah menjadi hal yang alami bahwa antara manusia satu dengan manusia yang lainnya saling membutuhkan seperti teori Thomas Hobbes di masa silam. Kebutuhan manusia tidak akan bisa tercukupi secara sempurna tanpa ada manusia yang lainnya. Dengan demikian, kalau antara bangsa-bangsa saling bekerja sama tentu akan lebih menguntungkan kedua belah dibanding dengan kalau mengerjakannya sendiri tanpa bantuan atau bekerja sama dengan Negara lain.

Persoalannya, dunia semakin mengglobal dan menua; apakah masih banyak negara-negara yang peduli terhadap nasib bangsa lainnya tanpa mengambil suatu keuntungan ?

Pertanyaan yang dapat dijawab dengan mudah bahwa masih banyak negara yang dapat kita ajak kerja sama. Adapun mengenai keuntungan adalah suatu hal yang wajar asal masih dalam batas-batas yang wajar pula. Artinya kewajaran dalam batas yang telah digariskan berdasar suatu aturan kerjasama.

Dalam perdagangan internasional, menyambut era perdagangan bebas nanti tentunya teori ketergantungan ini relevan untuk diterapkan. Namun persoalannya tetap pada perangkat hukum harus tetap dipatuhi agar tidak terjadi suatu kondisi yang semakin memperburuk dan mempermiskin negara-negara berkembang khususnya. GATT Putaran

21 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 16.

(16)

Uruguay memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi negara-negara berkembang untuk berkiprah dalam perdagangan bebas dan terbuka dengan mengandalkan produk andalannya dan dengan suatu aturan main yang jelas. Dengan demikian bagi bangsa dan Negara Indonesia spesialisasi produk dalam negeri harus cepat dibenahi dan ditingkatkan untuk dapat bersaing dengan produk luar negeri dengan spesialisasi yang sama.

C. Kesimpulan

Perdagangan bebas menitikberatkan pada prinsip-prinsip: Most Favoured Nation, National Treatment, Larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif, perlindungan melalui tarif dan resiprositas (timbal balik). Prinsip ini membawa implikasi dihapuskannya berbagai macam subsidi terutama dalam bidang pertanian dan diakhirinya struktur industri yang over protected, akibatnya antara lain: sektor pertanian tidak bisa diandalkan, pengusaha kecil dan menengah berhadapan dengan pengusaha besar yang potensial dan berkualitas internasional.

Oleh karena itu persoalan terpenting bagi Indonesia dalam menyambut perdagangan bebas di era global adalah perangkat-perangkat hukumnya harus sudah tersedia dan siap untuk ditegakkan. Profesionalisasi dalam perdagangan bagi pengusaha kecil khususnya, perlu ditumbuhkan dan dikembangkan mulai sekarang. Selain itu, harus mendapat perlindungan pemerintah dalam bentuk penegakan hukum yang nyata dalam rangka mengatasi persaingan yang tidak sehat. .

Dengan kata lain, agar dapat memainkan peranan dalam perdagangan bebas perlu adanya regulasi yang transparan, baik regulasi tentang ekonomi maupun hukum. Diimbangi pula dengan penegakan hukum yang nyata, jelas sanksi hukumnya sehingga persaingan dagang terutama bagi pengusaha domestik dan pengusaha kecil benar-benar sehat dan jujur, tidak ada monopoli.

Daftar Pustaka

Adolf, Huala dan Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Ahmad Dajaan Imami, Amiruddin, “Saatnya Koperasi Ditegakkan”,

(17)

Breeden, Richard C., “The Globalization of Law And Business in the 1990's”, dalam kumpulan artikel: Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi oleh Erman Rajagukguk, Jakarta: tnp., 1995.

Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Hamid, Edy Suandy, “Putaran Uruguay, Integrasi Ekonomi Regional dan Implikasinya Bagi Indonesia”, dalam UNISIA No. 26 tahun XV Triwulan II -1996, Yogyakarta: UII Press.

Karseno, Arief Ramelan, “Persoalan Ekonomi Indonesia Pasca GATT Putaran Uruguay”, Makalah Seminar Nasional, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UMY, 18 Juni 1994.

________, “Persoalan Ekonomi indonesia Menjelang Liberalisasi Perdagangan Dunia”, dalam UNISIA No. 26 tahun XV Triwulan II -1996, Yogyakarta: UII Pers.

________, “Masalah Kemitraan dalam Pembinaan Industri Kecil”, dalam UNISIA, No. 29 tahun XVI Triwulan 1-1996, Yogyakarta: UII Press.

Keraf, A. Sony, “Bisnis: Sebuah Kebudayaan”, dalam UNISIA No. 35/XX/III/1997, Yogyakarta: UII Press.

Pakpahan, Normin S, “Perdagangan Bebas dan Implikasinya terhadap Peningkatan Pendidikan Hukum Bisnis Indonesia”, Makalah seminar, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 31 Agustus 1996. Rajagukguk, Erman, “Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia

Menyongsong Abad XXI”, dalam UNISIA, No. 33/XVIII/I/ 1997, Yogyakarta: UII Pers.

________, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi II, Kumpulan Artikel, Jakarta, 1995.

Ramli, Rizal, “Kecenderungan dan Tantangan Industrialisasi Indonesia Menjelang Tahun 2000”, dalam UNISIA, No. 31/XVI/III Tahun 1996.

Sandoval, Rudolpho, “Judicial Decisions Within The Framework of an Economic Structure”, dalam Kumpulan Artikel Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi II oleh Erman Rajagugguk, Jakarta: tnp., 1995.

Sutrisno, Nandang, “Impor Hukum Ekonomi Sebagai Strategi Antisipasi Menghadapi Era Pasar Bebas”, Jurnal Hukum Ekonomi, edisi V Agustus 1996.

(18)

Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi. Undang-undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Ruang lingkup Perjanjian ini meliputi pemanfaatan aset Daerah PIHAK PERTAMA berupa tanah, bangunan dan atau prasarana bangunan di wilayah Kota Yogyakarta dalam bentuk sewa

Ancaman pembiayaan mudharabah di BMT Mitra Hasanah adalah perkembangan lembaga keuangan yang sangat pesat apalagi lembaga keuangan non syariah atau konvensional yang

Dimana diajukan tiga variabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu promosi jabatan, kompensasi dan karakteristik pekerjaan sebagai variabel bebas dan kepuasan

Adanya gula yang terikat pada flavonoid (bentuk umum yang ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan

Man’s appreciation for the grace of Allah (SWT), Iman, and winning in the Day of Judgment cannot be achieved but through by only doing positive role in earth based

Harahap dan Halim 2009, Analisis Laporan Keuangan., Unit penerbit dan percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta.. - Christian,

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persentase konsep diri pada mahasiswa fakultas Ilmu Komputer cenderung negatif, dikarenakan mahasis- wa fakultas Ilmu Komputer

Tabel 4.28 Hasil Uji Kuat Tekan Mortar dengan campuran dosis tinggi dengan kulit perawatan di air payau selama 28 hari ...55 Tabel 4.29 Hasil Uji Kuat Tekan Mortar dengan