• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).

Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Daya lentur (resilience) merupakan istilah yang relatif baru dalam ranah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka (Deswita, 2006).

(2)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat di simpulkan bahwa

resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan

meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup.

2. Faktor - Faktor Resiliensi

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi remaja), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a

capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial

(seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).

Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan

interpersonal digunakan istilah’I Can’. a. I Have

Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini

(3)

merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut :

a. Trusting relationships (mempercayai hubungan)

Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima remaja tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.

b. Struktur dan aturan di rumah

Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan remaja mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut.

(4)

c. Role models

Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku remaja yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan remaja tersebut dengan aturan-aturan agama.

d. Dorongan agar menjadi otonom

Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Mereka memuji remaja tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen remaja, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.

e. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan. Remaja secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

(5)

b. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :

a. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik

Remaja tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.

b. Mencintai, empati, dan altruistik

Remaja mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Remaja merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan.

c. Bangga pada diri sendiri

Remaja mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

(6)

d. Otonomi dan tanggung jawab

Remaja dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut Remaja merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

e. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan

Remaja percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Remaja mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.

c. I Can

“I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu :

a. Berkomunikasi

Remaja mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.

(7)

b. Pemecahan masalah

Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.

d. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan

Remaja dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.

e. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.

Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi

f. Mencari hubungan yang dapat dipercaya.

Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna

(8)

mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

3. Tahap Pembentukan Resiliensi

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I

can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor

saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita, 2005).

Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2000, dalam Sulistyaningsih, 2009) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy,

identity, initiative, dan industry.

1. Rasa Percaya/trust (usia 0-1 tahun)

Rasa percaya merupakan tahapan perkembangan pertama pembangun resiliensi. Rasa percaya ini berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya remaja. Perkembangan trust sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengan individu, terutama orang tua. Rasa percaya ini akan sangat menentukan seberapa jauh remaja

(9)

memiliki kepercayan terhadap orang lain mengenai hidupnya, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya.

2. Otonomi/ autonomy (usia 1- 4 tahun)

Dimensi pembentuk resiliensi yang kedua adalah atonomi. Autonomy dapat diartikan sebagai dimensi pembentuk yang berkaitan dengan seberapa jauh remaja menyadari bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri pribadi. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-kekuatan tertentu pada remaja. Kekuatan tersebut akan menentukan tindakan remaja ketika menghadapi masalah.

3. Inisiatif/initiative (usia 4-5 tahun)

Inisiatif merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berperan dalam penumbuhan minat remaja melakukan sesuatu yang baru. Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi remaja mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif, remaja menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam aktivita, dimana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada.

(10)

4. Industri/Industry (usia 6-12 tahun)

Industri merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan-keterampilan tersebut, remaja akan mampu mencapai prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan remaja di lingkungannya.

5. Identitas/Identity (usia remaja)

Tahap identity merupakan tahap perkembangan kelima dan terakhir dari pemebntukan resiliensi. Identitas merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman remaja akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Identitas membantu remaja mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi self image-nya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki karakteristik yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga karakteristik tersebut masing-masing memiliki faktor yang memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi.

Individu yang resilien tidak membutuhkan semua faktor dari setiap karakteristik, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut

(11)

tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I

Am), ia tidak termasuk orang yang resilien. Resiliensi juga memiliki lima dimensi

pembentuk yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry. Dimensi pembentuk tersebut saling berkaitan dengan faktor-faktor resiliensi yang dimiliki oleh remaja.

B. Pekerja anak

1. Definisi Pekerja Anak

Pekerja anak merupakan sebuah fenomena yang cukup menarik, perhatian terhadap pekerja anak sendiri sebenar nya telah dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib pekerja anak terutama anak-anak yang dijadikan budak mendapat perlakuan yang sangan buruk. Membicarakan masalah pekerja anak lebih dahulu berangkat dari defenisi pekerja anak atau konsep pekerja anak itu. Defenisi pekerja anak tidaklah sederhana, sebab konsep pekerja anak meliputi batasan yang sulit mengenai “anak”(child), “bekerja”(work) dan “pekerja” (ILO, dalam M. Joni, 1996).

Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja anak adalah anak-anak yang kurang lebih seperti pekerja umumnya yang

(12)

bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya (Bagong, 2001). Jandraningsih (1995) memberi defenisi tanpa menyebut batas usia, tetapi adanya aktifitas yang dilalukan anak-anak, dengan mencurahkan waktu yang besar, banyak dan mendapatkan upah. Menurutnya pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orangtuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan maupun tidak, namun dalam penelitian ini para pekerja anak yang diperoleh semunya mendapatkan upah atas jerih payahnya.

Bila merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. Menururt Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah tentang penanggulangan pekerja anak pasal 1 dinyatakan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Yang dimaksud tumbuh kembang anak adalah tumbuh dalam arti bertambahnya ukuran dan masa yaitu tinggi, berat badan, tulang dan panca indra tumbuh sesuai dengan usia kembang dalam arti bertambahnya kematangan fungsi tubuh yaitu pendengaran, penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab.

Dalam laporan UNICEF „The State if The Worlds Children 1997” UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah eksploitasi jika menyangkut :

a. Pekerjaan penuh waktu (full time)

(13)

c. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak patut terjadi

d. Bekerja dan hidup dijalanan dalam kondisi buruk e. Upah yang tidak mencukupi

f. Tanggung jawab yang terlalu banyak

g. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan

h. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual

Keadaan dan bentuk pekerjaan menururt kriteria yang disebutkan dalam laporan tahunan UNICEF tersebut, ditemukan dalam issu anak-anak yang bekerja sepanjang timur sumatra. Pekerja anak tersebut termasuk dalam kelompok pekerja anak-anak yang bekerja dalam tekanan yang sangat kuat. Kategorisasi prioritas pekerja anak yang dilakukan ILO-IPEC di Indonesia pada bobot resiko eksploitasi yang dialami anak yakni :

1. Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal sebagai Bunded labour. Dalam kasus ini, anak sering tidak mendapatkan upah dan dipekerjakan secara paksa

2. Anak-anak yang bekerja dibawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus-kasus anak yang bekerja pada Jermal-Jermal liar di Sumatera Utara atau anak-anak yang dilacurkan.

3. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan yang berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa, maupun kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus

(14)

anak yang bekerja diberbagai tempat pembuanagan sampah telah menjadi prioritas IPEC Indonesia.

Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2005), anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain :

a. Anak bekerja setiap hari. b. Anak tereksploitasi.

c. Anak bekerja pada waktu yang panjang. d. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.

2. Resiko dari Pekerja Anak

Menurut Bagong (2001), anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja lebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja. Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang sering kali dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain yang sifatnya struktural, sehingga mereka terpaksa putus sekolah ditengah jalan atau tidak dapat maksimal dalam belajar.

Secara empiris banyak bukti menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, baik di sektor formal maupun informal yang terlalu dini cenderung rawan eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu

(15)

perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak Gootear dan Kanbur (dalam Bagong, 2001). Berikut merupakan beberapa dampak pekerjaan terhadap pekerja anak, baik fisik, psikologis dan sosial menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2005) :

a. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan fisik

Secara fisik pekerja anak lebih rentan dibanding orang dewasa karena fisik mereka

masih dalam masa pertumbuhan. Bekerja sebagai pekerja anak dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan fisik mereka karena pekerjaan yang mereka lakukan dapat menimbulkan kecelakaan maupun penyakit. Dampak kecelakaan terhadap pekerja anak dapat berupa luka-luka atau cacat akibat tergores, terpotong, terpukul, terbentur dan lain-lain, sedang kondisi yang menimbulkan penyakit antara lain kondisi tempat kerja yang sangat panas atau terlalu dingin, tempat kerja terlalu bising, terhirup debu, terhirup bahan kimia berupa uap lem, uap cat sablon, tempat kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual dan lain-lain (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

b. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan emosi

Pekerja anak sering bekerja dalam lingkungan kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi, berbahaya, merendahkan martabat, derajat dan terisolasi. Mereka sering menerima perlakuan yang sewenang-wenang, kasar dan diabaikan oleh majikan mereka dan pekerja dewasa lainnya. Dampak yang ditimbulkan berupa pekerja anak menjadi pemarah, pendendam, kasar terhadap teman sebaya

(16)

atau yang lebih muda, kurang mempunyai rasa kasih sayang terhadap orang lain dan adanya perasaan empati terhadap orang lain (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

c. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan sosial

Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi kesekolah dan bersosialisasi dengan teman sebanyanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak mengalami masalah didalam interaksi / menjalin kerjasama dengan orang lain dan mereka kurang percaya diri atau merasa direndahkan. Sebagaimana dijelaskan disub bab terdahulu bahwa anak sebagai potensi dan generasi muda berkewajiban untuk meneruskan cita–cita perjuangan bangsa (generasi penerus bangsa) dan menjamin eksistensi bangsa dimasa depan. Untuk mewujudkan cita – cita tersebut merupakan kewajiban dan tugas generasi sebelumnya untuk memberikan pengarahan, pembinaan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak untuk maju dan berkembang dan mengupayakan pencegahan dan penghapusan pekerja anak di Indonesia secara bertahap (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).

C. Abuse

(17)

Abuse menurut Black’s Law Dictionary, adalah penyiksaan yang dapat

terjadi pada siapa saja tidak hanya anak-anak bahkan orang dewasa pun bisa mengalaminya meliputi segala kekejaman terhadap mental, moral, dan fisik. Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 2002).

Menurut Bosoeki (1999) menyatakan child abuse adalah istilah untuk anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun yang mendapatkan gangguan dari orangtua atau pengasuhnya yang merugikan anak secara fisik dan mental serta perkembangannya. Barnett (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak, menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak. Child

maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku

atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak (Papalia, 2004).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa abuse adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain yang meliputi kekejaman terhadap mental, moral, dan fisik, dalam hal penganiayaan terhadap anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse

(18)

2. Tipe-Tipe Child Abuse

Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan

neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak,

sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi lagi menjadi :

a. Physical abuse

Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain.

b. Sexual abuse

Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan seksual yang melibatkan anak.

c. Neglect

Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak.

d. Emotional Abuse

Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi, eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak.

(19)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak

abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah

kekerasan biasa juga merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).

Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse. Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).

Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino, dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd,

(20)

dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan (Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)

D. REMAJA 1. Definisi Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980).

Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Menurut Papalia, Old dan Feldman (2008), masa remaja adalah masa transisi kembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Monks (2004) juga membagi masa remaja ke dalam tiga tahap disertai karakteristiknya sebagai berikut:

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada rentang ini, remaja sudah mulai memperhatikan bentuk dan pertumbuhan seksual dan fisiknya. Hal ini disebabkan karena pada masa ini remaja mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dan perubahan proporsi tubuh.

(21)

b. Remaja Madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Umumnya pada usia remja madya seseorang berintegrasi dengan sebayanya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian:

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

4) Egosentrisme (terlalu memutuskan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.

(22)

2. Aspek-aspek perkembangan remaja

Hurlock (2004) mengemukakan bahwa pada masa remaja memiliki empat jenis perkembangan yaitu:

a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan keterampilan motorik (Papalia & Olds, 2008). Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja terlihat nampak pada saat pubertas yaitu meningkatnya berat badan serta kematangan sosial (Santrock, 2002). Diantara perubahan fisik, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditadai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2010).

Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon – hormon seksual (testosteron untuk laki – laki dan progesteron dan estrogen untuk wanita). Hormon – hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja. Dorongan seksual ini mengakibatkan perilaku seksual pada remaja baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk dari tingkah laku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2010).

(23)

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja kedalam skema kognitif mereka. Perkembangan kognitif remaja ini dikenal dengan tahap operasional formal (Santrock, 2002).

Tahap operasional formal adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasional formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal.

Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2002).

Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak lagi terlalu tergantung kepada orang lain.

(24)

Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis (Samtrock, 2002).

Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2002). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2008). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain”.

c. Perkembangan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil, sehingga sering kali menimbulkan kegundahan diri pada remaja. Hal ini yang kemudian menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004) menyebut gejolak tersebut dengan istilah “badai” dan “tekanan”, atau dikenal dengan periode storm and stress yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Tidak semua remaja menjalani masa badai dan tekanan, namun sebagian remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru (Hurlock, 2004).

(25)

d. Perkembangan sosial

Remaja mengalami masa pergolakan remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman sebaya, dimana remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan keluarganya (Monks dkk, 2002). Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.

Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh remaja di rumah maupun di sekolah (Zulkifli, 2005). Namun, kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok, maupun melakukan seks bebas (Hurlock, 2004). Hal ini disebabkan karena kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam berperilaku (Papalia & Olds, 2008).

3. Tugas Perkembangan Remaja

Havinghurst (dalam Hurlock, 1999; Bigner, 1994) secara umum menyebutkan tugas-tugas perkembangan masa remaja yaitu:

(26)

a) Memperluas hubungan antar pribadi dan komunikasi yang lebih baik dengan teman seusia dari sesama jenis kelamin maupun dengan lawan jenis kelamin. b) Mencapai peran sosial yang maskulin dan feminin.

c) Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang yang lebih dewasa.

e) Mencapai kepastian atau jaminan akan kemandirian ekonomi. f) Menyeleksi dan mempersiapkan pekerjaan.

g) Mempersiapkan diri untuk rencana pernikahan dan menghadapi kehidupan berkeluarga.

h) Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan. Memiliki rasa tanggung jawab secara sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ergonomi exercise terhadap tingkat resiko nyeri musculosceletal disorder (MSDs) pada karyawan di Pabrik Pembalut

Analisis dalam penelitian ini menggunakan konsep SMART (specific, measurable, achievable, realistic, time-based). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kecepatan robot 21,5

Dari hasil pengukuran karakterisasi sifat-sifat optik (transmitansi) lapisan tipis ZnO:Al pada substrat gelas pada suhu 450 o C, tekanan gas = 6×10 -2 torr, lama waktu deposisi

Hasil analisis sttistik menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar untuk siswa kelompok eksperimen sebesar 79,3 dan kelompok kontrol sebersar 69,6, sehingga dapat

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa kelemahan-kelemahan dalam sistem informasi akuntansi pendapatan yaitu sering terjadi ketidak cocokan antara kwitansi yang

Selanjunya dari awal SAYA selalu dan tidak akan pernah bosan mengingatkan bahwa, Kajian Hakikat Zat Pada Sifat Allah ini adalah sebuah kajian yang bersifat pendalaman dari ilmu tauhid

Hal ini menunjukkan bahwa H diterima dan H 1 ditolak, artinya tidak ada pengaruh penyuluhan terhadap persepsi remaja putri dalam menghadapi menarche di SDN Kampungdalem 6 Kediri

(persero) Cabang Pekanbaru Kota tidak melakukan upaya apapun dalam hal tidak dilakukannya roya atau pencoretan terhadap jaminan fidusia, karena pada saat nasabah