• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara tersebut. 1 Pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara tersebut. 1 Pemilu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemilu adalah wahana untuk menentukan arah perjalanan bangsa sekaligus menentukan siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara tersebut.1 Pemilu merupakan proses pemilihan pemimpin bangsa dan merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Pemilu dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali dengan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Pemilu diselenggarakan tidak hanya untuk memilih Presiden atau Wakil Presiden sebagai pemimpin Lembaga Eksekutif, tetapi juga untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dan juga pemilihan terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilu tersebut dilaksanakan dengan menjunjung tinggi semangat demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik, berkualitas, dan mendapatkan legitimasi dari Rakyat Indonesia.2

Penyelenggaraan Pemilu terdiri dari Pemilu yang berskala nasional yang diikuti oleh seluruh Rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih dan Pemilu yang berskala lokal yang diikuti oleh penduduk yang memiliki hak pilih pada wilayah kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilu tersebut. Dasar hukum Penyelenggaraan Pemilu yang beskala nasional didasarkan pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD sedangkan dasar hukum Penyelenggaraan Pemilu yang berskala lokal didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang merupakan peraturan pelaksana dari

1 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta; Fajar Media Press, 2011), hal. 298.

(2)

2

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga peraturan yang menjadi dasar hukum Pemilu tersebut selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemilu.

Penegakkan hukum pada Tindak Pidana Pemilu merupakan hal yang paling menentukan dalam melaksanakan Pemilu yang bersih dan berwibawa serta merupakan hal mutlak yang tidak bisa ditawar penerapannya demi menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan Pemilu.3 Penegakkan hukum Pemilu selalu berkaitan dengan tiga hal utama yaitu kesiapan lembaga-lembaga penegak hukum, penyelesaian perkara/sengketa, dan efektifitas sistem penegakkan hukum dalam aturan Pemilu.

Sejumlah kecurangan ditemukan dalam penyelenggaraan Pemilu baik pada Pemilu yang berskala nasional maupun pada Pemilu yang berskala lokal4 sehingga mencederai proses demokrasi itu sendiri. Berikut data rekapitulasi pelanggaran pidana pada Pemilu legislatif tahun 2009:

Tabel 1

Rekapitulasi Pelanggaran Pemilu Dalam Setiap Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 20095

NO TAHAPAN PEMILU ADMINISTRASI PIDANA JUMLAH

3 Topo Santoso, Sistem Penegakkan Hukum Pemilu, Jurnal Hukum Pantarei November hal. 6. 4 Ibid. hal. 123.

(3)

3 1 Pemutakhiran Data Pemilu

dan Penyusunan Daftar Pemilih

391 26 417

2 Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD

116 13 123

3 Penetapan Jumlah Kursi dan Penetapan Daerah Pemilihan _ _ _ 4 Pencalonan Anggota DPR, DPD dan DPRD 493 38 531 5 Masa Kampanye 12.322 4.626 16.948 6 Masa Tenang 340 193 533 7 Pemungutan dan Penghitungan Suara 1.618 1.091 2.709

8 Penetapan Hasil Pemilu 67 32 99

Jumlah 15.341 6.019 21.360

Menurut Nur Hidayat Sardini, beberapa catatan penting terkait Tindak Pidana Pemilu meliputi hubungan pemidanaan dan pembatalan calon yang sudah dilantik, serta masalah

(4)

4

daluwarsa pelanggaran.6 Daluwarsa tersebut merupakan implikasi dari penerapan Pasal 190 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, Pasal 247 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal 110 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, yang selanjutnya disebut dengan Ketentuan tentang Batas Waktu Pelaporan. Pasal 190 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan Pasal 247 ayat 4

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan bahwa penuntutan Tindak Pidana Pemilu hanya dapat dilakukan jika dilaporkan paling lambat tiga hari setelah perbuatan dilakukan sedangkan Pasal 110 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 menentukan bahwa penuntutan Tindak Pidana Pemilu hanya dapat dilakukan jika dilaporkan paling lambat tujuh hari sejak perbuatan dilakukan. Meskipun terdapat perbedaan Batas Waktu Pelaporan dalam Peraturan Pemilu, pada pokoknya ketentuan tersebut mengatur hal yang sama yaitu mengenai pembatasan waktu pelaporan Tindak Pidana Pemilu.

Penetapan Batas Waktu Pelaporan dalam Peraturan Pemilu mengakibatkan setiap Tindak Pidana Pemilu yang baru diketahui setelah lewat dari jangka waktu yang ditentukan tidak dapat dituntut sehingga pelakunya dapat bebas dari pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut tentu saja menimbulkan perasaan tidak adil bagi korban khususnya dan masyarakat pada umumnya karena sangat mungkin suatu temuan tentang adanya Tindak Pidana Pemilu baru ditemukan setelah batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemilu sebagaimana dikutip sebagai berikut:

“Pembatasan yang seharusnya diatur adalah pembatasan yang dilakukan pada tindakan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan, dan bukan dengan membatasi masa pelaporan 3 (tiga) hari sesudah kejadian. batasan waktu tidak seharusnya diterapkan

6 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta; Fajar Media Press, 2011), hal. 130.

(5)

5

pada masa pelaporan Tindak Pidana Pemilu, sebab adakalanya suatu peristiwa baru diketahui beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan tahun, setelah dilakukannya pelanggaran pidana Pemilu.”7

Secara historis, ketentuan tentang batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu dibuat agar penyelenggaraan pemilihan umum dapat berlangsung sesuai dengan waktu yang telah diagendakan.8 Pengaturan tersebut justru menimbulkan ketidakadilan dan menutupi kebenaran materiil. Ketidakadilan dirasakan oleh masyarakat akibat adanya Pelaku Tindak Pidana yang tidak diperiksa dan diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga secara faktual menutupi kebenaran materiil yang seharusnya ditemukan melalui proses peradilan pidana.

Idealnya, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi, dengan adanya ketentuan tentang batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana Pemilu menjadi gugur atau hapus setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan.

Sebenarnya, dalam ketententuan Pasal 78 KUHP terdapat ketentuan yang memberikan batasan waktu sampai kapan jaksa/penuntut umum dapat melaksanakan kewenangannya untuk melakukan penuntutan terhadap suatu tindak pidana dimana dalam ketentuan ini jangka waktu yang ditentukan lebih panjang dari batas waktu pelaporan yang dicantumkan dalam Peraturan Pemilu. Akan tetapi, merujuk pada penerapan asas

Lex Specialis derogat Legi Generali, ketentuan Pasal 78 KUHP tidak dapat diberlakukan

karena sudah ada Peraturan Pemilu yang merupakan lex specialis dari KUHP.9

7 Topo Santoso, Penguatan Penegakkan Hukum Pemilu, Tulisan disajikan di konferensi“Memperbarui Penegakkan Hukum Pemilu di Indonesia Dan Pengalaman Internasional

Dalam Hal Penyelesaian Sengketa Pemilu”, Jakarta, Indonesia – 6 Oktober 2011, hal. 17.

8 Ibid., hal. 231. Dan lihat pula risalah pembahasan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008.

9 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Cet. 1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), hal. 148. Lihat pula Abdul Fickar Hadjar, Perspektif Penegakkan Hukum Tindak Pidana Pemilu, Jurnal

(6)

6

Menurut Satjipto Rahardjo, “Hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” sehingga hukum yang dibuat harus adil sehingga mampu membahagiakan rakyat. Dengan demikian, seharusnya penerapan asas Lex Specialis derogat Legi Generali harus dipertimbangkan kembali demi mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Sebenarnya penelitian tentang Tindak Pidana Pemilu sudah pernah dilakukan oleh berbagai pihak baik dalam bentuk Tesis maupun dalam bentuk Disertasi. Hingga saat ini, terdapat tiga penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dan disertasi yang berkaitan dengan Pemilu yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Febriyan M. yang dituangkan dalam tesisdengan judul “Pertanggungjawaban dalam Tindak Pidana Pemilu”

2. Penelitian yang dilakukan oleh Susanto Budi Raharjo yang juga dituangkandalam tesis dengan judul “Paradigma Keadilan Substantif Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Perkara Yang Terkait Dengan Pemilu Tahun 2009”

3. Penelitian yang dilakukan oleh Topo Santoso yang dituangkan dalamdisertasinya dengan judul “Settlement Of Election Offences In Four Southeast Asian Countries

(With Special Reference To The Indonesian General Elections)” yang membahas

tentang perbandingan penyelesaian Tindak Pidana Pemilu di empat negara di Asia yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina berdasarkan standar internasional penegakkan hukum Pemilu.

Namun demikian, dari semua hasil penelitian terdahulu, ditemukan bahwa belum ada yang membahas tentang daluwarsa penuntutan dalam Tindak Pidana Pemilu. Padahal, hal tersebut merupakan indikator yang sangat menentukan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara Tindak Pidana Pemilu sehingga penulis tertarik untuk menelitinya dalam rangka melengkapi penelitian terdahulu.

(7)

7

Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu berdasarkan pasal 78 ayat (1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus pidana agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri, orang yang berdosa karena melakukan tindak pidana untuk menghindari penuntutan oleh negara mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang, bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa yang tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.10

Apabila diperhatikan dari rumusan yang terdapat dalam Pasal 78 KUHP, maka jangka waktu daluwarsa adalah tergantung pada tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan. Adapun menurut Jan Remmelink, berdasarkan Pasal 86 KUHP, terhadap percobaan (poging) untuk melakukan tindak pidana, dan penyertaan (medeplichtigheid), berlaku ketentuan jangka waktu daluwarsa yang sama seperti yang ditetapkan untuk daluwarsa tindak pidana pokok.Berdasarkan keterangan diatas menarik untuk dianalisis lebih lanjut mengenai hapusnya hak menuntut karena daluwarsa, menyikapi masalah diatas penulis terdorong mengangkat tema ini dengan judul “Daluwarsa Penuntutan Pidana ditinjau dari Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”

Sedangkan daluwarsa dalam tindak pidana pemilu maupun kecurangan dalam pemilu di atur dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang di mana dalam UU NO 10 tahun 2016 di sebutkan batas waktu penyidikan hanya 14 hari setelah pelaggaran tindak pidana di temukan, sementara penuntutan hanya 5 hari dan penanganan tidak pidana Pemilu yang di batasi waktu

(8)

8

dan hal tersebut meruakan peluang yang marak di jadikan oknum-oknum yang terlibat memanfaatkan waku yang sedikit sehingga daluwarsa terjadi. Jangka waktu proses penyidikan dan penuntutan yang terlalu singkat bisa mengakibatkan pelaku tindak pidana pemilu menghindar dari proses hukum. Akibatnya, dalam kondisi tertentu ketika pihak kepolisian akan menyidik pelaku tindak pidana akan kehilangan hak menuntut pidana karena jangka waktu penyidikan sudah lewat. dalam Pasal 261-263 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD disebutkan bahwa jangka penyelesaian tindak pidana pemilu di tingkat penyidikan selama 14 hari dan penuntutan diberi waktu 5 hari. Sedangkan, dalam proses sidang pengadilan hakim diberi waktu 7 hari untuk memeriksa dan memutus perkara tindak pidana pemilu.11

Memang ada banyak pelaku pidana pemilu yang cepat diputus pidana, ada kepastian. Tetapi, bukan semata itu karena dalam praktik ada nilai keadilan yang terlanggar. Ini perlu Memang ada banyak pelaku pidana pemilu yang cepat diputus pidana, ada kepastian. Tetapi, bukan semata itu karena dalam praktik ada nilai keadilan yang terlanggar, ini perlu revisi UU Pemilu Legislatif, melihat persoalan lain yang muncul yaitu banyaknya kelembagaan penyelenggaraan pemilu seperti KPU, Bawaslu , DKPP, kepolisian, PTUN, dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakibatkan penyelesaian sengketa pemilu tidak efektif. Terlebih, masing-masing lembaga itu ingin menentukan posisinya, seperti perselisihan yang kerap terjadi antara KPU dan Bawaslu. Belum lagi, seringkali terjadi perbedaan pemamahan antara Bawaslu dan kepolisian soal pelanggaran money politic. Karena itu, kelembagaan pemilu mesti disederhanakan. Dia mengusulkan dalam KPU mesti ada dua organ yakni organ pelaksana dan organ yang mengawasi dan menindak pelanggaran. Organ pengawasan ini diisi orang backgroundilmu hukum, seperti mantan jaksa atau hakim. Bisa saja, Bawaslu masuk

(9)

9

menjadi bagian organ pengawasan KPU agar tidak terjadi lagi gontok-gontakan antara KPU dan Bawaslu, seperti di KPU Thailand. Model pengawasan seperti ini diharapkan bisa efektif dan tidak berbenturan dengan penyelenggara pemilu yang lain. Ini butuh perubahan undang-undang.

B. Rumusan masalah

1. Apa yang menjadi penghalang dalam penanganan tidak pidana pemilu yang ditemui oleh para penegak atau panitia penyelenggara pemilu?

2. Apa saja yang menjadi factor penyebab terlewat waktu atau daluwarsa dalam penanganan tindak pidana pemilu?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui ketentuan daluwarsa dalam Hukum Pidana ditinjau dari pasal 78 Kitab Undang Undang Hukum Pidana!

2. Untuk mengetahui apakah batas waktu ketentuan daluwarsa dalam tindak pidana dalam pemilu sudah efektif!

D. Manfaat

Memberikan wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para mahasiswa hukum mengenai penerapan batas waktu daluwarsa dalam tindak pidana pemilu yang yang hanaya diberi waktu yang bisa dikatakan cukup singkat bagi para pihak yang berwenang menangani tindak pidana dalam pemilu.

E. Metode

1. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu pendekatan sosilogis.

pendekatan sosiologi tersebut adalah suatu landasan kajian sebuah studi atau penelitian yang di gunakan dengan cara terjun langsung ke masyarakat atau sumber data yang didapat secara langsung nara sumber sengga mengetahui antara teori dan fakta sudah berjalan secara selaras atau sebaliknya.

(10)

10

2. Penempatan Lokasi Pnelitian akan dilakukan di Kantor Bawaslu Provinsi NTB (Lombok) yang dikarenakan masalah atau data sudah ada dan untuk mendapat izin melakukan penelitia ditempat tersebut tidaklah susah.

3. Jenis refrensi yang di gunakan adalah adata yang ada/ tersedia dalam nara sumber/ tempat penelitian.

4. Jenis Dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian sesuai dengan permasalahan yang dituju, data yang diperlukan dibagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder.

4.1 Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. diperoleh dari observasi maupun wawancara kepada pihak-pihak terkait.

4.2 Data sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan laporan dan dokumen lain yang telah ada sebelumnya serta memiliki hubungan erat dengan masalah yang sedang dibahas oleh penulis.

5. Teknik Pengumpulan Data

5.1.Teknik Pengumpulan Data Primer

Untuk memperoleh data primer penulis mengunakan teknik sebagai berikut:

a) Wawancara (Interview) adalah kegiatan pengumpulan data primer yang bersumber langsung dari responden penelitian lapangan (lokasi) dengan penegak hukum/ pihak yang berwenang menangani Kantor BAWASLU Provinsi NTB Wawancara dilakukan secara informal (santai) dan dapat pula secara formal dengan pak Itratip dan pak Umar Seth selaku anggota Bawaslu Provinsi NTB.

b) Observasi yaitu penelitian melakukan kegiatan pengamatan dan mendeskripsikan keadaan baik obyek maupun objek di lokasi penelitian.

(11)

11

c) Pencarian melalui internet, yaitu dengan mempelajari dan mengutip berbagai informasi dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

5.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Untuk memperoleh data sekunder, penelitian menggunakan teknik yaitu:

a) Membaca dan mencatat literature-literatur mauppun karya ilmiah, peraturan perundang-undangan dan sumber tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan tindak pidana daluwarsa dalam pemilu.

b) Mempelajari dan mengidentifikasi dokumen-dokumen atau berkas-berkas yang dapat memberikan masukan yang berharga sehubungan dengan permasalahan yang di bahas.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sitematika penulisan hukum ini sesusai dengan panduan penulisan hokum, tedapat 4 (empat)bab dan masing-masing bab terdiri atas sub bab sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN

Dalam BAB I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: KERANGKA TORI

Dalam BAB II berisi tentang teori-teori, pendapat ahli, dan kajian pustaka lain, yang dapat di jadikan sebagai refrensi bagi penulis untuk mendukung penelitian.

BAB III: PEMBAHASAN

Dalam BAB III berisi tentang hasil penelitian yang dilakukan penulis yang dikaji secara sistematis berdasarkan tinjauan pustaka pada BAB II.

(12)

12

Dalam BAB IV berisi kesimpulan dan pembahasan pada BAB III, serta saran dan rekomendasi dari penulisan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari kegiatannya, maka pendapatan dibagi menjadi dua macam yakni, pendapatan pokok atau rutin dan pendapatan sampingan. Pendapatan pokok adalah

sistem pengawasan dan pengendalian berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan tugas/pekerjaan di lingkungan unit kerja atau organisasi tempat bekerja. j) Percaya

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Leuwiliang tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa sesuai antara hasil penelitian dengan hasil yang dilakukan oleh

Sepanjang jalur kereta api koridor Semarang Tawang ± Ngrombo termasuk dalam kategori daerah datar. Tubuh jalan rel berada pada tanah permukaan asli dan tanah timbunan

Dimana karakteristik inilah yang membuat Rumah Batik Jawa Timur berbeda dengan tempat batik lainnya di wilayah Surabaya yang hanya menjual tetapi tidak menyediakan wadah

Perbedaan saluran pemasaran juga akan berdampak pada perbedaan marjin pemasaran serta besarnya share yang diterima oleh petani yang kemudian dari hal tersebut dapat diketahui kinerja

Training Kewirausahaan Sosial bagi 8 KUB Kader Kesehatan Desa 3 Kali – 3 Bulan 137 Anggota 8 KUB Kader Wringingintung Tulis Wonokerso Beji Simbangjati Kenconorejo

Kecepatan dan ketepatan informasi yang disuguhkan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna untuk selalu mengaksesnya (Arif, 2010 : 73-75). Keunggulan dari internet