Prevalensi Protozoa Usus Pada Kukang Sumatera
(Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor
Oleh
Nora Rukmana
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRAK
PREVALENSI PROTOZOA USUS PADA KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI PUSAT REHABILITASI YIARI CIAPUS, BOGOR
Oleh
Nora Rukmana
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis protozoa, jumlah ookista dan prevalensi kukang sumatera (Nycticebus coucang) yang terinfeksi protozoa usus dengan menggunakan berbagai macam media pengawet dan konsentrasi berbeda. Penelitian ini dilakukan pada lima ekor kukang sumatera. Pengambilan sampel dilakukan pada malam hari dan diawetkan pada berbagai macam media yaitu pada kontrol (tanpa larutan), alkohol 70%, alkohol 80%, formalin 5%, dan formalin 10%. Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode natif dan metode apung. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Diagnostik, YIARI dan Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Hasil pemeriksaan dengan metode natif diperoleh dua kelompok protozoa yaitu protozoa parasitik dan protozoa non parasitik. Protozoa parasitik diperoleh tiga famili yaitu Eimeriidae, Endamobidae, dan Balantiidae dengan empat jenis yaitu Isospora sp., Cryptosporidium parvum, Entamoeba coli, dan Balantidium coli. Sedangkan hasil identifikasi Protozoa non parasitik hanya ditemukan famili Oxytrichidae dengan satu jenis yaitu Oxytricha granulifera. Hasil perhitungan dengan metode apung diperoleh ookista Eimeria sp. dengan jumlah 200 sel/gram. Prevalensi protozoa usus berdasarkan berbagai macam media dan konsentrasi berbeda pada kukang sumatera yaitu 2% pada kontrol, 9,2% pada alkohol 70%, 13% pada alkohol 80%, 5,8% pada formalin 5%, dan 5,4% pada formalin 10%. Alkohol 80% merupakan larutan yang efektif sebagai media pengawet protozoa usus dibandingkan dengan alkohol 70%, formalin 5%, dan formalin 10%.
Kata kunci: Nycticebus coucang, Protozoa usus, Protozoa parasitik, Protozoa non parasitik
Prevalensi Protozoa Usus Pada Kukang Sumatera
(Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor
Oleh
Nora Rukmana
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS
Pada Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kemu, Muaradua OKUS
Sumatera Selatan pada 30 Januari 1995, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Yasrun dan Ibu Linda Aswati.
Penulis menempuh pendidikan pertamanya di Sekolah Dasar Negeri 04 Kemu, Pulau Beringin OKUS
Sumsel pada tahun 2006. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 02 Kemu, Pulau Beringin OKUS Sumsel. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung pada tahun 2012.
Pada tahun 2012, penulis terdaftar sebagai salah satu mahasiswa jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Umum, Ekologi, Biosistematika Hewan, Parasitologi, dan Ekologi
Hidupan Liar di Jurusan Biologi. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Botani Umum Jurusan Agroteknologi. Penulis aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) FMIPA Unila sebagai Biro Dana dan
Usaha PO 2013-2014 dan Kepala Biro Dana dan Usaha periode 2014-2015 serta anggota Kebijakan Publik periode 2013-2014 di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Saat menjadi mahasiswa, penulis pernah memperoleh beasiswa Bidikmisi.
Pada bulan Juni – Juli 2015, penulis melaksanakan Program Kerja Praktik di Laboratorium Patologi Balai Veteriner Lampung dengan judul Gambaran
Histopatologi Bovine Spongiform Encephalopathy dengan Metode
Hematoxylin Eosin. Penulis melaksanakan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN)
pada bulan Juli – Agustus 2015 di Desa Daya Asri, Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kemudian, penulis melaksanakan penelitian pada bulan Januari – April 2016 di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor dan Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
MOTTO
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. (QS. Ar Ra'd 13:11).
Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka dia
berada di jalan Allah (HR.Turmudzi)
Kill them with your success, then bury them with a
smile (Nora Rukmana)
Better to feel how hard education is at this time rather
than fell the bitterness of stupidity, later (Anonim)
Lakukanlah doa, usaha, dan kerja keras secara
beriringan demi masa depan hakiki dan selalu
mengingat bahwa indahnya kehidupan sebenarnya
adalah menjadi kesayangan sang pencipta dan
PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmanirrohim…
Puji syukur kepada Allah Ta’ala, Tiada Tuhan Selain Allah yang
telah memberikan kesabaran, kekuatan, dan nikmat kesehatan
untukku dalam mengerjakan skripsi ini
Ku persembahkan karya ini sebagai cinta kasihku, tanda bakti, serta
rasa terima kasihku yang terdalam kepada :
Ayahku Yasrun dan Ibuku Linda Aswati yang telah mendidik,
menyayangi dan mencintai, selalu mendoakanku tiada henti,
memberikan semangat dan nasehat, serta pengorbanan besar untuk
kesuksesanku yang tak akan pernah terbalaskan walaupun dengan
pengabdian seumur hidupku dan tak akan tergantikan oleh apapun
selain Jannah-Nya.
Adik-adikku Bima Runmansyah, Dennis Adriansyah, dan keluarga
besarku tercinta yang selalu memberikan dukungan, dorongan,
motivasi, dan semangat untuk keberhasilanku.
Para pendidik, Sahabat-sahabatku yang senantiasa menjadi
penyemangat, selalu membantu, tempat berbagi cerita baik suka dan
duka. Tiada hari yang indah tanpa kalian semua.
Almamater Tercinta.
SANWACANA
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Sang Maha Pemberi lagi Maha Penyayang atas segala berkat, rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Prevalensi Protozoa Usus pada Kukang
Sumatera (Nycticebus coucang) Berdasarkan Penggunaan Berbagai Macam Media Pengawet dan Konsentrasi Berbeda di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor” sebagai salah satu syarat kelulusan akademis menempuh
pendidikan Sarjana Sains di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, teladan terbaik bagi seluruh umat.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Ayah (Yasrun) dan Ibu (Linda Aswati) yang tak pernah putus doa dan cinta kasihnya yang selalu mengiringi setiap langkah putrinya tanpa lelah. Semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan Surga-Nya
2. Ibu Dr. Emantis Rosa, M.Biomed., selaku dosen Pembimbing utama yang telah sabar memberikan saran dan bimbingan selama proses penelitian serta penulisan skripsi
3. drh. Wendi Prameswari, selaku pembimbing kedua yang telah sabar membimbing, mengarahkan proses penelitian dan mengoreksi kesalahan penulis serta memberi semangat yang tiada henti
4. Bapak Jani Master, S.Si., M.Si., selaku pembahas dan penguji atas saran, kritik, semangat, rasa sabar , dan bantuannya dalam penyempurnaan skripsi ini
5. Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc., selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung
6. Dra. Elly Lestari Rustiati, M.Sc., selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas dukungan dan semangat yang tak putus diberikan pada penulis
7. Prof. Warsito, S.Si., D.E.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung
9. Seluruh staff karyawan YIARI Ciapus Bogor, terutama kang Acong, pakde Mastur, pak Aki, Kang Igoed dan kang Ajo yang telah membantu dan memberi dukungan selama penulis melakukan penelitian
10. Adik-adik penulis Bima Runmansyah dan Dennis Adriansyah, Paman-Bibi, Rifka Amelia dan Elvera Raflesia serta sanak saudara yang selalu
memberikan semangat, dukungan berlebih sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
11. Sahabat terindahku dimanapun berada Icsni Poppy Resta, S.Si (Archidendron
pauciflorum), Khorik IstianaS.Si (Solanum melongena), Erika Oktavia
Gindhi, S.Si (Pedilantus pringkei), Mustika Dwihandayani, S.Si (Solenostemon scutellarioides), Lutfi Kurniati Barokah, S.Si (Abrus
precatorius) , Sahabat terbaikku Jumaida, S.Pd, M.Musta’in Aziz, S.P., dan
Sahabat penenang jiwaku Ari Setiyani, A.Md., Wardatul Uyun, A.Md., Suci Febrika, S.Pd., Suci Nata Kusuma, Wiwit Prihatiningsih, dan Elsa Nabila, serta Hengki Peratama terimakasih atas semangat, motivasi, dan selalu menemani penulis dalam suka dan duka.
12. Teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 2012: Try Larasati (Pangium
edule), Putri Minggar Oktaviani (Psophocarpus tetragonolobus), Henny
Indah Pertiwi (Plumeria rubra), Linda Oktaviani (Moringa oleifera), Sheila Puspita (Catharantus roseus), Afrisa Herni Putri (Archidendron
microcarpum), Fajrin Nuraida (Callophyllum inophyllum), Welmi Nopia
Ningsih (Canna indica), Arum Asterini (Tinospora crispa), Miftakhul Huda, Meri Yuliani (Syzygium oleina), Nikken Fallupi (Rafflaesia arnoldii), Aska Intan Mariadi (Parkia speciosa), Coleus atropurpureus, Leucocena
leucocephala, Hopea sangal, Aloe vera, Rhoeo discolor, Opuntia graminis, Ochna serrulata, Rheum officinale, Swietenia mahagoni, Cannabis indica, Anacardium occidentale, Ria Aulia, Marli Muda, Kadek Wisne, Apri
Mulyono, Agung Munandar, Abdi Tauhid, Jevica Ayu, Dewi Anggrainy, Deasy VidyaCarolina, Dwi Nurkinasih (Eurycoma latifolia), Emilia Apriyanti (Typhonium flalliforme), Imamah Muslimah, Sayu Kadek Dwi Dani, Amalia Kurnia, Faizatin, Etika, Puty, Amanda Amalia, Naomi, Della, Propalia, Putri
Rahayu, Luna Lukvitasari, Riza, Reni, Nindya, Lulu, Lia Anggraini, Nikke H.J Sinaga, dan Catur Wulandari, atas doa dan kebersamaannya
13. Adik-adik Biologi angkatan 2013, 2014,2015 terutama Nur Rohman, Winda Jayanti, dan Teman-teman KKN Daya Asri Juli 2015 Wina Safutri, Qonitati, Sigit Pratama, Tazkiyah Nurul, dan kak Ryzga terimakasih atas doa dan kebersamaannya, tetap semangat melanjutkan karya-karya hebat di bidangnya.
14. Almamater tercinta
Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan didalam penyusunan skripsi dan masih jauh dari kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi banyak pihak. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Bandar Lampung, Oktober 2016 Penulis,
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Manfaat Penelitian ... 3
D. Kerangka Pemikiran ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
A. Klasifikasi Kukang Sumatera ... 6
B. Struktur Anatomi Pencernaan Kukang ... 7
C. Morfologi Kukang Sumatera ... 8
1. Warna Rambut ... 8
2. Pola dan Warna Garpu Kepala ... 8
3. Warna Garis Punggung ... 8
4. Jari-jari ... 9
5. Tapetum lucidum ... 9
6. Rhinarium ... 10
7. Gigi Sisir ... 10
8. Ukuran Tubuh ... 11
D. Perilaku Kukang Sumatera ... 11
v
2. Makan dan Minum ... 12
3. Tidur ... 14 4. Interaksi Sosial ... 14 E. Status Konservasi ... 15 F. Zoogeografi ... 16 G. Protozoa Usus ... 16 1. Klasifikasi Protozoa ... 18
III. METODE PENELITIAN ... 20
A. Waktu dan Tempat ... 20
B. Alat dan Bahan ... 20
1. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan feses ... 20
2. Alat dan bahan untuk pengamatan sampel feses di laboratorium ... 21
C. Prosedur Penelitian ... 21
1. Persiapan Pengambilan Sampel ... 21
2. Riwayat Kesehatan Kukang Sumatera ... 22
3. Teknik Pengambilan Sampel Feses …... 23
4. Metode Pemeriksaan Protozoa Usus ... 23
4.1 Cara Pemeriksaan dengan Metode Natif ... 23
4.2 Cara Pemeriksaan dengan Metode Apung ... 24
D. Analisis Data ... 25
E. Bagan Alir Penelitian ... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
A. Hasil Pengamatan dan Pembahasan ... 27
4.1 Hasil Identifikasi Protozoa Usus pada Kukang Sumatera (N. coucang) dengan Metode Natif ... 27
1. Isospora sp. ... 28
2. Cryptosporidium parvum ... 29
3. Entamoeba coli ... 29
4. Balantidium coli ... 30
5. Oxytricha granulifera ... 31
4.2 Perhitungan Ookista pada Sampel Feses Kukang Sumatera (N. coucang) dengan Metode Apung ... 32
4.3 Prevalensi ... 34
4.3.1 Prevalensi protozoa usus yang menginfeksi kukang sumatera (N. coucang) dengan metode natif .... 35
4.3.2 Prevalensi Protozoa Usus Berdasarkan Perbedaan Media Pengawet dan Konsentrasi ... 39
vi
A. Simpulan ... 41
B. Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. a). Struktur anatomi kukang
b). Struktur gastrointestinal pada kukang ... 7
2. Pola dan warna garpu kukang sumatera ... 8
3. Tapetum lucidum kukang pada kondisi gelap ... 9
4. Rhinarium yang terdapat pada kukang ... 10
5. Struktur gigi sisir (tooth comb) ... ... 10
6. Perilaku aktif sendiri kukang ... 12
7. Perilaku makan dan minum kukang... ... 13
8. Perilaku kukang. A) membeku tiba-tiba, B) duduk, dan C) tidur... 14
9. Perilaku sosial kukang ... 15
10. Denah lokasi kandang kukang sumatera ... 22
11. Bagan alir penelitian identifikasi/pemeriksaan sampel dan penghitungan protozoa usus pada sampel feses kukang sumatera ... 26
12. Protozoa parasitik pada kukang sumatera ... 27
13. Oxytricha granulifera ... 28
14. Ookista Eimeria sp. yang ditemukan pada kukang sumatera (N. coucang) dalam larutan alkohol 70% dan alkohol 80... 33
15. Kukang Atep ... 50
ix
17. Kukang Loco ... 50
18. Kukang Kamilo ... 50
19. Kukang Bebeb ... 50
20. Tata letak wadah pakan kukang sumatera di dalam kandang ... 51
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Riwayat kesehatan kukang sumatera ... 22 2. Hasil perhitungan ookista pada sampel feses kukang sumatera
(N. coucang) dengan metode apung ... 33 3. Prevalensi protozoa usus yang menginfeksi kukang sumatera
(N. coucang) dengan metode natif ... 35 4. Prevalensi protozoa usus pada kukang sumatera (N. coucang) berdasarkan
media pengawet dan konsentrasi berbeda ... 39 5. Skema pakan kukang sumatera berdasarkan jadwal YIARI ... 51 6. Jadwal pemberian pakan dan vitamin kukang sumatera di Pusat
Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor ... 52 7. Kondisi lapangan pada saat penelitian ... 53 8. Prevalensi Protozoa Usus berdasarkan masing-masing Kukang
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan flora dan fauna, salah satunya jenis primata eksotis yang melimpah. Indonesia mempunyai jenis primata yang mencapai 36 jenis dan memiliki nilai estetika yang tinggi dan sering diperdagangkan. Salah satu dari primata yang memiliki nilai eksotis yaitu Kukang. Indonesia memiliki tiga jenis kukang antara lain kukang
Kalimantan (Nycticebus menagensis), kukang Jawa (Nycticebus javanicus), dan kukang Sumatera (Nycticebus coucang). Ketiga jenis kukang ini tersebar di wilayah Indonesia masing-masing yaitu di Kalimantan, Jawa, dan
Sumatera.
Kukang memiliki perbedaan dengan satwa lain karena memiliki nilai eksotis yaitu keindahan yang menyebabkan satwa ini rentan terhadap kepunahan. Hal ini disebabkan karena adanya perdagangan secara ilegal, dijadikan sebagai hewan peliharaan dan mulai hilangnya habitat alami kukang di alam. Kukang menjadi primata kedua yang paling diminati oleh masyarakat untuk dijadikan satwa peliharaan di sepuluh kota di Jawa, Bali dan Medan dalam kurun waktu 1997-2008 (Malone et.al, 2002).
2
Kukang termasuk dalam status Appendix I berdasarkan CITES (Convention
on International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna).
Sedangkan data dari IUCN (2013) menunjukkan bahwa kukang sumatera merupakan salah satu satwa liar yang berstatus vulnerable (rentan).
Kukang dikategorikan sebagai spesies yang langka dikarenakan banyaknya ancaman serius terhadap kelestariannya. Hal itu dikarenakan tingginya tingkat perburuan dan perdagangan ilegal, rendahnya tingkat kelahiran yang hanya menghasilkan satu anak dalam satu tahun, serta infeksi penyakit. Salah satu penyakit yang dapat menginfeksi kukang yaitu protozoa parasitik.
Infeksi protozoa dapat disebabkan oleh lingkungan habitat atau sumber pakan yang tidak higienis. Keberadaan protozoa parasitik dapat berubah sesuai dengan kondisi dan suhu lingkungan (Herdaus,2015).
Protozoa yang berada dalam saluran pencernaan terdiri dari protozoa parasitik dan non-parasitik. Protozoa parasitik bersifat patogen pada hospes dan
protozoa non parasitik memiliki unsur penting dalam menguraikan ikatan selulase. Protozoa usus mempunyai siklus hidup yang berbeda dalam setiap spesies dan mampu berkembang dalam kondisi usus yang sesuai dan jumlah asupan makanan yang cukup. Protozoa usus memiliki dampak negatif dalam kehidupan kukang yang menyebabkan tidak nafsu makan, berat badan berkurang, diare bahkan terjadi kematian (Assafa et.al,. 2004).
3
Protozoa usus pada kukang sumatera sampai saat ini belum banyak ditemukan referensinya dan dapat dikatakan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian mengenai protozoa usus kukang khususnya kukang sumatera sangat perlu untuk dilakukan.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui jenis protozoa usus yang menginfeksi kukang sumatera (N. coucang) di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor.
2. Mengetahui jumlah ookista yang menginfeksi kukang sumatera (N. coucang) di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor.
3. Mengetahui prevalensi protozoa usus dalam perbedaan media pengawet dan konsentrasi di Pusat Rehabilitasi YIARI Ciapus, Bogor.
4. Mengetahui larutan media yang paling efektik sebagai pengawet protozoa usus.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dasar mengenai jenis-jenis protozoa usus dan jumlah ookista yang menginfeksi kukang sumatera (N. coucang), memberi rekomendasi terkait manajemen biosecuriti di kandang satwa dan memberikan rekomendasi larutan media yang sesuai
4
dengan penyimpanan feses satwa pada saat di lapangan di Pusat Rehabilitasi YIARI guna menunjang konservasi satwa tersebut.
D. Kerangka Pemikiran
Kukang sumatera (N. coucang ) merupakan satwa yang memiliki nilai
estetika yang tinggi. Kukang sumatera termasuk ke dalam satwa yang banyak diminati oleh masyarakat. Perburuan dan perdagangan ilegal merupakan ancaman terbesar dari penurunan populasi kukang sumatera.
Selain itu, permasalahan yang diakibatkan oleh infeksi penyakit juga menjadi faktor penyebab menurunnya populasi kukang sumatera diluar habitat. Termasuk infeksi penyakit yang disebabkan oleh protozoa parasitik.
Protozoa yang menginfeksi kukang sumatera dapat menyebabkan luka pada jaringan di organ pencernaan (usus), diare, tidak nafsu makan, dan
kekurangan nutrisi sehingga menyebabkan penurunan berat badan bahkan dapat menyebabkan kematian. Sehingga pemeriksaan protozoa usus sangat diperlukan untuk mengetahui persentase jenis-jenis protozoa.
Pemeriksaan protozoa usus harus memiliki tingkat ketelitian dan waktu yang relatif cepat agar protozoa tidak mengalami kematian. Seringkali pada hewan yang berada di rehabilitasi atau penangkaran sakit atau mati secara tiba-tiba tanpa ada sebab. Akan tetapi, untuk menemukan penyebabnya mebutuhkan
5
waktu yang cukup lama karena tidak bisa secara langsung dilakukan pemeriksaan sampel yang ditemukan khususnya pada feses. Hal ini yang membuat perlunya larutan media yang dapat mengawetkan feses dalam waktu yang cukup lama tanpa membuat penyebabnya lisis karena larutan yang diberikan. Oleh karena itu, larutan media dengan konsentrasi berbeda perlu diujikan untuk mengetahui infeksi penyakit khususnya protozoa usus meski pemeriksaan sampel dalam waktu yang cukup lama.
Metode yang dipakai untuk mengidentifikasi protozoa usus adalah metode natif yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis protozoa dan metode apung untuk menghitung jumlah ookista protozoa pada feses kukang
sumatera. Hasil identifikasi protozoa usus pada kukang sumatera disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Kukang Sumatera
Kukang (Nycticebus spp.) di dunia terdiri dari lima jenis yaitu kukang sumatera ( N. coucang), kukang kalimantan ( N. menangensis), kukang jawa (N. javanicus), kukang Bengal (N. bengalensis), dan kukang Pygmy
(N. pygmaeus). Tiga diantaranya terdapat di Indonesia yaitu kukang sumatera (N.coucang), kukang jawa (N. javanicus), dan kukang kalimantan
(N. menangensis). Khususnya kukang sumatera (N.coucang) tersebar dari Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, hingga ke Sabah Malaysia (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Klasifikasi Kukang sumatera menurut Red List International Union for
Conservation of Nature (IUCN) (2013):
Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Primata Family : Lorisidae Genus : Nycticebus
7
B. Struktur Anatomi Pencernaan Kukang
Struktur anatomi pencernaaan kukang hampir sama dengan mamalia lainnya (Gambar 1a). Salah satu perbedaan dengan mamalia lain yaitu kukang memiliki usus yang kecil yang membuat pada saat mencerna makanan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, menyebabkan makanan yang dimakan dapat dikeluarkan pada hari selanjutnya. Pada kukang struktur pencernaannya hampir sama dengan sistem pencernaan hewan pengerat (Gambar 1b) (Janis, 1976).
a b
Gambar 1. a). Struktur anatomi kukang,
b). Struktur gastrointestinal pada kukang Keterangan: A : Usus penyerapan (Ileum)
B : Usus Kosong (Jejunum)
C : Usus dua belas jari (Duodenum)
D : Usus Besar (Intestinum krasium/Kolon) E : Lambung F : Saekum G : Rektum H : Anus (Janis, 1976). H E D C B A G F
8
C. Morfologi Kukang Sumatera
1. Warna Rambut
Kukang sumatera memiliki warna rambut yang menutupi seluruh tubuhnya berwarna mulai coklat-cappucino sampai coklat muda (Winarti, 2015). Rambut pada kukang sumatera tebal dan halus (Napier, 1976).
2. Pola dan Warna Garpu Kepala
Warna rambut pada kepala kukang menyerupai pola garpu yang berwarna coklat kemerahan dengan pola dahi tidak jelas (IAR, 2011). Karakter pola garpu pada kukang sumatera yaitu pangkal membaur dan membundar (Winarti, 2015).
Gambar 2. Pola dan warna garpu kukang sumatera (Winarti, 2015)
3. Warna Garis Punggung
Warna garis punggung tidak sama dengan warna pola garpu (Winarti, 2015). Kukang memiliki punggung dengan garis yang berwarna coklat tua yang berawal dari pangkal ekor hingga dahi dan bercabang ke arah mata dan telinga, mengelilingi keduanya (Nowak, 1999).
9
4. Jari-jari
Kukang sumatera memiliki jari-jari yang pendek dan jarak anatara jari pertama dan keduanya jauh sehingga mampu mencengkeram dengan kuat (Nowak, 1999). Cakar atau kuku panjang dan tajam yang terdapat pada jari telunjuk sebagai alat gerak bagian belakang yang biasa disebut dengan
Toilet claw (Napier dan Napier, 1985; Rowe, 1996). Toilet claw berfungsi
untuk menelisik atau membersihkan diri. Kukang mempunyai jari-jari tangan dan kaki masing-masing berjumlah lima buah (Asnawi, 1991).
5. Tapetum lucidum
Kukang mempunyai lapisan pada matanya yang terletak di belakang retina. Lapisan tersebut sangat sensitif terhadap cahaya yang disebut dengan
Tapetum lucidum. Tapetum lucidum berfungsi membantu penglihatan
kukang saat aktif di malam hari. Pada kondisi gelap mata kukang akan tampak berwarna oranye (Schulze, 2003). Mata kukang mempunyai kemampuan stereoskopis terbatas yang berperan untuk membedakan warna dan memberi perkiraan jarak. Sel kerucut kukang tidak mampu membedakan warna (Kawamura dan Kubotera, 2004).
Gambar 3. Tapetum lucidum kukang pada kondisi gelap (Winarti, 2015)
10
6. Rhinarium
Kukang memiliki rhinarium yakni ujung hidung yang selalu lembab dan basah. Rhinarium ini berfungsi untuk membantu daya penciuman kukang dalam mengenali jejak bau kukang lainnya (Napier dan Napier, 1985; Rowe, 1996).
Gambar 4. Rhinarium yang terdapat pada kukang (Winarti, 2011)
7. Gigi sisir
Kukang juga memiliki tooth comb atau gigi sisir yang berfungsi untuk membersihkan rambutnya saat menelisik (grooming). Gigi ini merupakan empat gigi seri rahang bawah dengan arah tumbuhnya secara horizontal, sama halnya dengan fungsi tooth comb yakni untuk menelisik.
Gambar 5. Struktur gigi sisir (tooth comb) pada Loris tardigradus nordicus, lidah untuk membersihkan tooth comb, organ olfaktori (Loris
Husbandry manual, 2003).
Rhinarium
10
6. Rhinarium
Kukang memiliki rhinarium yakni ujung hidung yang selalu lembab dan basah. Rhinarium ini berfungsi untuk membantu daya penciuman kukang dalam mengenali jejak bau kukang lainnya (Napier dan Napier, 1985; Rowe, 1996).
Gambar 4. Rhinarium yang terdapat pada kukang (Winarti, 2011)
7. Gigi sisir
Kukang juga memiliki tooth comb atau gigi sisir yang berfungsi untuk membersihkan rambutnya saat menelisik (grooming). Gigi ini merupakan empat gigi seri rahang bawah dengan arah tumbuhnya secara horizontal, sama halnya dengan fungsi tooth comb yakni untuk menelisik.
Gambar 5. Struktur gigi sisir (tooth comb) pada Loris tardigradus nordicus, lidah untuk membersihkan tooth comb, organ olfaktori (Loris
Husbandry manual, 2003).
Rhinarium
10
6. Rhinarium
Kukang memiliki rhinarium yakni ujung hidung yang selalu lembab dan basah. Rhinarium ini berfungsi untuk membantu daya penciuman kukang dalam mengenali jejak bau kukang lainnya (Napier dan Napier, 1985; Rowe, 1996).
Gambar 4. Rhinarium yang terdapat pada kukang (Winarti, 2011)
7. Gigi sisir
Kukang juga memiliki tooth comb atau gigi sisir yang berfungsi untuk membersihkan rambutnya saat menelisik (grooming). Gigi ini merupakan empat gigi seri rahang bawah dengan arah tumbuhnya secara horizontal, sama halnya dengan fungsi tooth comb yakni untuk menelisik.
Gambar 5. Struktur gigi sisir (tooth comb) pada Loris tardigradus nordicus, lidah untuk membersihkan tooth comb, organ olfaktori (Loris
Husbandry manual, 2003).
11
8. Ukuran Tubuh
Berat tubuh kukang yakni berkisar 700-900 gram dengan panjang tubuh 250-280 mm (Winarti, 2015).
D. Perilaku Kukang Sumatera
Kukang merupakan primata yang aktif pada malam hari atau nocturnal. Kukang juga hewan yang bersifat arboreal karena hidup di pepohonan dengan cara bergerak menggunakan keempat anggota tubuhnya (quadropedal)
(Supriatna dan Wahyono, 2000). Pola aktivitas nokturnal pada kukang menurut Wiens (2002) terdapat empat pola, antara lain:
1. Aktif Sendiri
Berdasarkan Wiens (2002), Perilaku aktif sendiri yaitu aktivitas yang dilakukan kukang tanpa ada individu lain di dekatnya. Perilaku aktif sendiri meliputi lokomosi, menelisik sendiri (auto grooming), dan lainnya yang tidak berhubungan dengan individu lain (Gambar 6). Sebagian besar aktifitas yang dilakukan kukang saat sendiri adalah
lokomosi. Di alam, yang termasuk lokomosi adalah travelling (pergerakan secara langsung) dan foraging (mencari makan) (Nekaris,2001).
12
Gambar 6. Perilaku aktif sendiri kukang. A) berjalan, B) mencium bau objek, C) menelisik sendiri, D) menggaruk bagian tubuh,
E) mencari makan, F) menutupi muka dengan tangan,
G) penandaan dengan urin dan H) berdiri dengan dua kaki (Fitch-Snyder et al. 2001).
Dalam menghadapi predator, kukang tidak bergantung pada perilaku pertahanan aktif tapi bergantung pada lokomosi melata (crypsis). Kukang melakukan bridging (membentuk seperti jembatan) di antara cabang-cabang pohon dengan sudut yang bervariasi. Hal ini dikarenakan kukang tidak dapat melompat (Wiens dan Zitzmann, 2003).
2. Makan dan Minum
Perilaku makan menurut Bottcher-Law et al. (2001), merupakan aktivitas dalam memasukkan makanan ke dalam mulut. Persentase kegiatan makan kukang adalah 12% dari masa aktifnya (Weins dan Zitzmann, 2003). Kukang sering disebut omnivor (pemakan segala) dengan tingkat kesukaan tertentu terhadap salah satu atau beberapa jenis pakan. Jenis pakan kukang yaitu buah-buahan, bunga, nektar, getah, dan cairan bunga atau cairan
12
Gambar 6. Perilaku aktif sendiri kukang. A) berjalan, B) mencium bau objek, C) menelisik sendiri, D) menggaruk bagian tubuh,
E) mencari makan, F) menutupi muka dengan tangan,
G) penandaan dengan urin dan H) berdiri dengan dua kaki (Fitch-Snyder et al. 2001).
Dalam menghadapi predator, kukang tidak bergantung pada perilaku pertahanan aktif tapi bergantung pada lokomosi melata (crypsis). Kukang melakukan bridging (membentuk seperti jembatan) di antara cabang-cabang pohon dengan sudut yang bervariasi. Hal ini dikarenakan kukang tidak dapat melompat (Wiens dan Zitzmann, 2003).
2. Makan dan Minum
Perilaku makan menurut Bottcher-Law et al. (2001), merupakan aktivitas dalam memasukkan makanan ke dalam mulut. Persentase kegiatan makan kukang adalah 12% dari masa aktifnya (Weins dan Zitzmann, 2003). Kukang sering disebut omnivor (pemakan segala) dengan tingkat kesukaan tertentu terhadap salah satu atau beberapa jenis pakan. Jenis pakan kukang yaitu buah-buahan, bunga, nektar, getah, dan cairan bunga atau cairan
12
Gambar 6. Perilaku aktif sendiri kukang. A) berjalan, B) mencium bau objek, C) menelisik sendiri, D) menggaruk bagian tubuh,
E) mencari makan, F) menutupi muka dengan tangan,
G) penandaan dengan urin dan H) berdiri dengan dua kaki (Fitch-Snyder et al. 2001).
Dalam menghadapi predator, kukang tidak bergantung pada perilaku pertahanan aktif tapi bergantung pada lokomosi melata (crypsis). Kukang melakukan bridging (membentuk seperti jembatan) di antara cabang-cabang pohon dengan sudut yang bervariasi. Hal ini dikarenakan kukang tidak dapat melompat (Wiens dan Zitzmann, 2003).
2. Makan dan Minum
Perilaku makan menurut Bottcher-Law et al. (2001), merupakan aktivitas dalam memasukkan makanan ke dalam mulut. Persentase kegiatan makan kukang adalah 12% dari masa aktifnya (Weins dan Zitzmann, 2003). Kukang sering disebut omnivor (pemakan segala) dengan tingkat kesukaan tertentu terhadap salah satu atau beberapa jenis pakan. Jenis pakan kukang yaitu buah-buahan, bunga, nektar, getah, dan cairan bunga atau cairan
13
tumbuhan, serangga, dan telur burung serta burung kecil (Nekaris dan Bearder, 2007). Kukang lebih menyukai sumber pakan berupa getah atau cairan tumbuhan (34,9%) dan bagian dari bunga (31,7%) daripada buah-buahan (22,5%) (Wiens, 2002).
Mengguratkan gigi ke batang pohon hingga kulit pohon terkelupas dan mengeluarkan getah, lalu menjilatinya merupakan cara kukang untuk mendapatkan getah (Gambar 7A) (Swapna, 2008). Kukang tidak hanya memakan getah juga memakan serangga. Berdasarkan identifikasi feses kukang dewasa dan pradewasa, kukang memakan enam jenis serangga yaitu kumbang, semut, kupu-kupu, jangkrik, belalang, dan kepik (Wiens, 2002).
Gambar 7. Perilaku makan dan minum kukang. A) cara makan kukang, B-C) cara minum kukang (Fitch-Snyder et al. 2001).
Kukang memiliki cara tersendiri untuk minum. Selain dengan cara meminum langsung, kukang juga sering menggunakan tangannya untuk menggenggam nektar (Gambar 7B dan 7C).
14
3. Tidur
Perilaku tidur merupakan perilaku pada saat kukang dalam keadaan diam dan dalam keadaan mata tertutup (Bottcher-Law, 2001). Umumnya kukang beristirahat pada siang hari di ranting atau batang pohon dan liana (Weins dan Zitzmann, 2003). Kukang juga melakukan gerak freeze (Gambar 8A) yaitu posisi membeku tiba-tiba (Bottcher-Law et al., 2001) dan duduk untuk istirahat (Gambar 8B) (Schulze, 2002).
Kukang tidak pernah menggunakan lubang-lubang pohon atau wadah lain untuk istirahat. Akan tetapi, kukang juga sering dijumpai menyerupai bola (Gambar 8C) yang disebut sleeping ball (Schulze, 2004). Wiens (2002), melaporkan bahwa kukang di alam menghabiskan sedikit waktu untuk tidur (1,6%).
Gambar 8. Perilaku kukang. A) membeku tiba-tiba, B) duduk, dan C) tidur (Fitch-Snyder et al. 2001).
4. Interaksi Sosial
Kukang memiliki sistem komunikasi seperti penggunaan urin sebagai penandaan teritori, vokalisasi untuk menarik lawan jenis, dan komunikasi taktil yaitu allo-grooming/saling menelisik satu sama lain dan
15
assertion/membagi makanan. Hal ini sesuai dengan interaksi sosial yang
merupakan aktivitas yang melibatkan dua individu atau lebih (Gambar 9) (Wiens, 2002).
Gambar 9. Perilaku sosial kukang. A) allo-grooming/saling menelisik dan B) assertion/membagi makanan (Fitch-Snyder et al. 2001).
E. Status Konservasi
Pada tahun 2007, CITES menyatakan bahwa kelima jenis kukang masuk ke dalam Appendix I. Sedangkan IUCN (2013) mengategorikan kukang Sumatera dan Kalimantan ke dalam status vulnerable (rentan) dan kukang Jawa termasuk endangered (terancam punah). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan,
dilaporkan bahwa Kukang masuk dalam daftar yang dilindungi. Dalam Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 yang sudah diperbaharui menyatakan bahwa pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar akan dikenakan hukuman pinada maksimal lima tahun dan denda 100 juta.
16
F. Zoogeografi
Menurut Dahrudin dan Werdateti (2008), habitat alami kukang sumatera adalah di hutan hujan tropis, hutan primer, dan hutan sekunder pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Kukang sumatera bersifat arboreal dan banyak dijumpai pada pohon karet . Keberadaan kukang ini pada pohon karet untuk mencari serangga, karena saat pemanenan getah karet banyak serangga yang ikut terperangkap pada tampungan getah. Akan tetapi, tidak hanya di pohon karet kukang sumatera juga terkadang ditemukan pada pohon bambu yang digunakan sebagai tempat beristirahat.
Setyorini dan Werdateti (2005), melaporkan bahwa daerah penyebaran
kukang terbatas di Asia Tenggara. Ketiga jenis kukang yang ada di Indonesia memiliki daerah penyebaran yang berbeda-beda (IAR, 2011). Khususnya kukang sumatera (N. coucang) tersebar di daerah Sumatera (Jambi,
Palembang, Riau, Bangka, dan Natuna). Satwa ini juga terdapat di Malaysia, Thailand dan Singapura (Setyorini dan Werdateti, 2005).
G. Protozoa Usus
Menurut Yulfi (2006), protozoa usus terdiri atas amebae, flagellata, dan cilliata. Amebae yang berada di saluran pencernaan adalah Entamoeba
histolytica, Entamoeba coli, Entamoeba hartmani, Endolimax nana, Iodamoeba butschlii, Dientamoeba frgailis, dan Blastocystis hominis.
17
Chilomastix mesnili, Enteromonas hominis, Retortamonas intestinalis, dan Trichoonas hominis. Sedangkan protozoa usus yang termasuk cilliata adalah Balantidium coli.
Amebae yang terdapat dalam usus atau saluran pencernaan berasal dari filum sarcomastigophora, order amoebida, dan famili Amoebidae. Karakteristik yang dimiliki oleh Amebae yaitu gerak ameboid yang ditimbulkan oleh adanya pseudopodia sebagai alat lokomotornya. Amebae hampir semuanya memiliki dua bentuk, yakni bentuk tropozoit dan kista. Entamoeba
histolytica merupakan amebae yang bersifat patogen dibandingkan dengan
amebae saluran pencernaan (usus) lainnya (Yulfi, 2006).
Flagellata saluran pencernaan (usus) termasuk dalam filum
sarcomastigophora, subfilum mastigophora. Spesies flagellata usus yang dikenal, namun yang pasti bersifat patogen adalah Giardia lamblia (Yulfi,2006).
Menurut Grabda (1991), protozoa parasitik dapat mengakibatkan kerugian secara ekologis, biologis, ekonomis, dan dapat mengakibatkan kematian. Infeksi parasit dapat menurunkan tingkat fekunditas. Infeksi tersebut dapat memengaruhi perkembangan dan pertumbuhan hewan yang diserang. Protozoa parasitik menyerang hewan yang berada dalam lingkungan yang kurang bersih dan makanan yang kurang higinies. Protozoa usus yang menyerang hewan khususnya mamalia yaitu Entamoeba coli, Balantidium
18
coli, Isospora sp., dan Eimeria sp. (Herdaus, 2015). Hal ini juga dilaporkan
Tangel dkk.(2016) bahwa mamalia terinfeksi protozoa usus Giardia lamblia,
Entamoeba coli, Chilomastix mesnili, dan Blastocystis hominis.
1. Klasifikasi Protozoa
Berdasarkan Brooks et al. (2004), protozoa diklasifikasikan menjadi tiga filum yaitu Sarcomastigophora (termasuk Amoeba dan Flagellata), Apicomplexa (termasuk Sporozoa), dan Ciliophora (termasuk Ciliata).
Berdasarkan masing-masing alat geraknya, protozoa dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
a. Mastigophora bergerak dengan menggunakan flagel (bulu cambuk), contoh: Giardia lamblia.
b. Sarcodina bergerak dengan menggunakan pseudopodia (kaki semu), contoh: Entamoeba histolytica, Endolimax.
c. Ciliophora bergerak dengan menggunakan cilia (bulu getar) yang tersebar di bagian tepi tubuhnya dan biasanya mempunyai dua jenis nukleus (makronukleus dan mikronukleus) pada masing-masing individu, seperti
Balantidium coli
d. Sporozoa merupakan subfilum yang tidak mempunyai alat gerak. Oleh karena itu, sporozoa memiliki siklus hidup yang kompleks untuk berpindah dari satu inang ke inang lainnya. Pergerakannya hampir menyerupai spora dan terkadang sporozoa memiliki dua inang, seperti
19
Protozoa yang berada di usus memiliki perubahan bentuk baik secara
morfologi maupun fisiologi yaitu dari bentuk aktif (tropozoit) ke bentuk tidak aktif atau dorman (kista). Dalam bentuk kista, protozoa akan kehilangan motilitas, tidak akan tumbuh dan berkembang biak dan membentuk dinding sangat tebal. Hal ini karena kondisi tempat hidup protozoa berubah sangat ekstrem, seperti perubahan suhu, lingkungan dan pH sehingga tidak
memungkinkan protozoa hidup dalam bentuk tropozoit. Pada bentuk ini merupakan bentuk yang paling kuat daya tahan terhadap ancaman dan juga merupakan bentuk yang bersifat infektif ke tubuh inang (Assafa et al., 2004).
Protozoa bereproduksi dengan cara yang bervariasi (Tampubolon, 2004). Reproduksi protozoa berlangsung secara aseksual dan seksual. Tipe aseksual yaitu pembelahan biner, pembelahan multipel dan pembentukan tunas
(budding). Sedangkan tipe seksual terdiri dari syngami dan konjugasi. Syngami terjadi dimana nukleus dari masing –masing gamet dicapai dengan proses meiosis dan difusi untuk membentuk zigot. Konjugasi terjadi dimana pertukaran nukleus dari masing-masing gamet terjadi jika individu saling berdekatan (Hickman et al., 2004).
20
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2016. Pengambilan sampel feses dilakukan di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata YIARI Ciapus, Bogor. Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu pengambilan sampel dan pemeriksaan sampel di Laboratorium Diagnostik Parasitologi YIARI dan Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
B. Alat dan Bahan
1. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan feses
Alat yang digunakan yaitu es balok, jelly pack beku, cooler box, botol plastik 30 ml, sendok plastik, sarung tangan, kertas label, alat tulis dan kamera digital (Bassert dan McCurnin, 2010).
Bahan penelitian yang dibutuhkan adalah feses kukang sumatera, alkohol 70%, alkohol 80%, formalin 5% dan formalin 10%.
21
2. Alat dan bahan untuk pengamatan sampel feses di laboratorium
Alat yang digunakan adalah gelas ukur, saringan, spatula, gelas objek, gelas beaker, gelas penutup, mikroskop cahaya, mikrometer okuler, mikrometer objektif, lemari es, timbangan digital, pipet tetes, alat tulis, sentrifugasi, dan kamera digital.
Bahan yang digunakan antara lain feses kukang sumatera, larutan NaCl jenuh, dan aquades. Larutan NaCl jenuh dibuat dengan cara melarutkan NaCl dengan 1 liter aquades sampai kristal NaCl tidak dapat larut lagi di dalam aquades (Al-Saraj, 2010).
C. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel feses kukang sumatera dilakukan secara langsung pada lima ekor kukang jantan yang direhabilitasi di pusat satwa primata YIARI, Bogor. Kukang yang akan diambil fesesnya sebelumnya diberikan pakan dan minum. Pakan yang diberikan sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh YIARI (Lampiran Tabel 5). Feses yang akan diambil sebagai sampel pengamatan berasal dari kandang berbeda yang mewakili semua kandang rehabilitasi. Waktu yang ditentukan untuk pengambilan feses yaitu pada malam hari dari masing-masing individu kukang sesaat setelah kukang
22
melakukan defekasi. Untuk lebih jelasnya, posisi kandang pengambilan sampel feses dapat dilihat dari gambar 10.
Gambar 10. Denah lokasi kandang kukang sumatera
Keterangan: Kandang In 10 : kukang Harendong Kandang Blok A (A6) : kukang Kamilo Kandang Blok B (B8) : kukang Bebeb Kandang Blok D (D7) : kukang Atep Kandang Blok T (T7) : kukang Loco
2. Riwayat kesehatan kukang sumatera
Sampel feses kukang yang akan diamati mempunyai riwayat kesehatan seperti pada Tabel 1.
23
3. Teknik Pengambilan Sampel Feses
Feses segar kukang sumatera (N. coucang) diambil ± 3-5 gram dengan menggunakan sendok plastik setelah defekasi. Sampel feses yang didapat dimasukkan ke dalam masing-masing botol plastik 30 ml yang telah diberi larutan alkohol 70%, alkohol 80%, formalin 5%, dan formalin 10% sampai sampel feses terendam dan diberi label yang memuat informasi tentang nama kukang, kondisi feses, lokasi pengambilan, waktu dan tanggal pengambilan, cuaca, dan larutan media yang digunakan. Kemudian, sampel feses
diletakkan dalam cooler box yang berisi jelly pack beku dan disimpan dalam kulkas dengan suhu 3°C untuk menghindari perkembangan telur (Shaikenov
et al. 2004).
4. Metode Pemeriksaan Protozoa Usus
Pemeriksaan sampel feses kukang sumatera (N. coucang) dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode natif dan metode apung. Metode pemeriksaan natif dilakukan untuk mengetahui jenis protozoa usus dan metode pemeriksaan apung untuk mengetahui jumlah ookista yang menginfeksi kukang sumatera.
4.1 Cara Pemeriksaan dengan Metode Natif
Feses kukang sumatera (N. coucang) ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam gelas beaker. Kemudian ditambahkan 57 ml aquades dihomogenkan dan disaring dengan kain kasa ditempatkan pada gelas beaker
24
lainnya. Hasil penyaringan diambil dengan pipet tetes sebanyak 3-5 tetes dan diteteskan pada gelas objek. Selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop (Rinaldi et al. 2014).
Hasil pengamatan protozoa yang ditemukan pada feses diidentifikasi dengan menggunakan buku rujukan yaitu atlas parasitologi kedokteran menurut Zaman (1997) ; Santoso dkk. (2002) serta jurnal parasitologi menurut Kofoid (1935); Hoare (1937); Lindsay et al.(1997); Van Hoven et al. (1998); Al-Hindi (2009); Duszynski et al. (2007); Obanda et al. (2007); Kwon dan Shin (2013).
4.2 Cara Pemeriksaan dengan Metode Apung
Feses segar kukang sumatera (N. coucang) diambil sebanyak 2 gram
dilarutkan ke dalam 3 ml aquades dan dihomogenkan di dalam gelas beaker. Setelah itu disaring menggunakan kain kasa berukuran 10x10 cm. Kemudian ditambahkan 10 ml larutan NaCl jenuh dan dihomogenkan (Taylor et.al., 2007). Setelah homogen larutan disaring kembali dengan kain kasa dan dituang ke dalam tabung sentrifugasi sampai 3/4. Tabung disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Setelah disentrifugasi, larutan yang terdapat pada permukaan diambil dengan spatula dan diteteskan di atas
object glass. Kemudian ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100x (okuler x objektif) (Natadisastra dan Agoes, 2009).
25
D. Analisis Data
Hasil pengamatan didokumentasikan dalam bentuk foto dan hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif.
Penentuan angka prevalensi diperoleh dari: jumlah kukang yang terinfeksi parasit protozoa dibagi dengan jumlah total kukang yang diperiksa dikali 100% seperti rumus berikut:
Prevalensi = x 100 % (Gaspersz, 1991),
Keterangan: N : jumlah kukang sumatera positif terinfeksi protozoa S : jumlah total kukang sumatera yang diperiksa
26
E. Bagan Alir Penelitian
Untuk lebih jelasnya proses penelitian yang dilakukan ditampilkan dalam bagan alir penelitian seperti pada gambar 11.
Gambar 11. Bagan alir penelitian identifikasi/pemeriksaan sampel dan penghitungan protozoa usus pada sampel feses kukang sumatera Tahap pengambilan sampel
feses kukang sumatera
Persiapan alat dan bahan
Feses diambil secara langsung pada malam hari ± 3-5 gram dengan menggunakan sendok plastik dimasukan ke dalam botol plastik/pot kecil
30 ml, masing-masing telah diberi larutan alkohol 70%, alkohol 80%, formalin 5%, formalin 10%, serta botol plastik tanpa larutan media
sampai sampel feses terendam
Tahap identifikasi/ pemeriksaan sampel dan penghitungan jumlah protozoa
Pemeriksaan dengan menggunakan dua metode antara lain: 1. Pemeriksaan dengan metode natif untuk mengetahui jenis
protozoa usus
2. Pemeriksaan dengan metode apung untukperhitungan jumlah ookista protozoa
Analisis data
Penentuan angka prevalensi yang diperiksa menggunakan rumus menurut Gaspersz (1991):
Prevalensi = x 100 % , dimana: N : jumlah kukang sumatera positif
terinfeksi protozoa
S : jumlah total kukang sumatera yang diperiksa
Untuk mengetahui jumlah ookista digunakan rumus menurut Colville (1991) dan Nolan (2006):
Jumlah ookista = Ookista yang ditemukan pada kamar hitung x 100 (sel/gram)
41
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil identifikasi protozoa parasitik pada feses kukang sumatera
menggunakan metode natif diperoleh tiga famili yaitu Eimeriidae, Endamoebidae, dan Balantiidae dengan empat spesies protozoa yaitu
Isospora sp., Cryptosporidium parvum, Entamoeba coli, dan Balantidium coli. Sedangkan hasil identifikasi protozoa non parasitik hanya diperoleh
satu famili yaitu Oxytrichidae dengan satu spesies Oxytrichia granulifera. 2. Hasil jumlah perhitungan ookista dengan metode apung ditemukan ookista
Eimeria sp. dengan jumlah 200 sel/gram.
3. Prevalensi protozoa usus yang menginfeksi kukang sumatera yaitu
Cryptosporidium parvum sebesar 27,2%, Balantidium coli sebesar 10,4%, Entamoeba coli sebesar 42,4%, Isospora sp. sebesar 20%, dan Oxytrichia granulifera sebesar 0,8%.
4. Prevalensi protozoa usus yang menginfeksi kukang sumatera berdasarkan berbagai macam media dan konsentrasi berbeda adalah pada kontrol sebesar 2%, pada alkohol70% sebesar 9,2%, pada alkohol 80% sebesar
42
13%, pada formalin 5% sebesar 5,8%, dan pada formalin 10% sebesar 5,4%.
5. Alkohol 80% merupakan larutan yang efektif sebagai media pengawet protozoa usus.
B. Saran
Dari hasil penelitian dapat disarankan kepada manajemen rehabilitasi YIARI untuk menggunakan alkohol 80% sebagai bahan pengawet feses kukang jika dalam keadaan waktu dan jarak tempuh yang cukup lama. Selain itu juga, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan
keberadaan protozoa usus pada kukang sumatera yang memiliki jenis kelamin berbeda dan ketahanan protozoa yang ditemukan dalam konsentrasi alkohol yang lebih tinggi dan perlu dilakukan pengecekan air minum dan pakan di pusat rehabilitasi untuk lebih membuktikan penyebab infeksi protozoa usus pada kukang sumatera.
43
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hindi, A. I. 2009. A Practical Guide to Diagnostic Medical Parasitology. Islamic University of Gaza Press. Islamic University of Gaza.
Al-Saraj, A. 2010. Use of Saturated Sodium Chloride Solution As A Tissue Fixative. Iraqi Journal Of Veterinary Sciences, Vol. 24, No. 1, 2010 (53-58). Department of Dental Basic Sciences, College of Dentistry, University of Mosul, Mosul, Iraq.
Artama, K.I., U. Cahyaningsih., dan E. Sudarnika. 2005. Prevalensi Infeksi
Cryptosporidium parvum Pada Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran
Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Asnawi, E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Assafa, D., E. Kibru, S. Nagesh, S. Gebreselassie, F. Deribe, dan J. Ali. 2004.
Medical Parasitology. Ethiopia Public Health Training Initiative. The Carter
Center, The Ethiopia Ministry of Health, and The Ethiopia Ministry of Education. Pp 150.
Barbara, K., et al. 2004. Cryptosporidium; a Waterborne Pathogen. USDA Water Quality Program, Cornell University Cooperative Extension.
Bassert, J. M., dan D. M. McCurnin. 2010. McCurnin’s Clinical Textbook for
Veterinary Technicians 7th edition. St. Louis, MO. Saunders Elsevier.
Bazeley, K. 2003. Investigation of Diarrhoea in The Neonatal Calf. In Practice. Bottcher-Law L, Fitch H, Schulze SH. 2001. Management of lorises in captivity:
a husbandry manual for Asian Lorisines Nycticebus & Loris spp. San
Diego: Cres, Zool Soc San Diego.
Brooks, G. F., J. S. Butel, dan S. A. Morse. 2004. Medical Microbiology 23rd Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Pp 661-701.
44
and Fauna. 2007. Consultant with range state on proposals to amend Appendices I and II [Internet]. Terdapat pada:
http://cites.org/eng/app/appendices.php. Diakses pada: 1 Mei 2015.
[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna. 2013. Appendices [Internet]. Terdapat pada:
http://cites.org/eng/app/appendices.php. Diakses pada: 11 Nov 2015.
Colville, J. 1991. Diagnostic Parasitologu for Veterinary Technicians. American Veterinery Publications Inc. 5782. Thornwood, Drive Goleta, California 93177. Pp 19-26.
Dahrudin H dan Werdateti. 2008. Jenis tumbuhan pakan dan tempat bersarang kukang (Nycticebus coucang) di hutan lindung Pegunungan Merratus, Kalimantan Selatan. Zoology Indonesia. 17(1) : 7-14.
Diamond, L.S. and C.G. Clark. 1993. A Redescription of Entamoeba histolytica Schaudinn, 1903 (Emended Walker, 1911) Separating It from Entamoeba
dispar Brumpt, 1925. J. Euk. Microbiol. 40: 340–344.
Dorland, N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Penerbit EGC. Jakarta. 1765 hlm.
Duszynski, D. W., M. G. Bolek & S. J. Upton. 2007. Coccidia (Apicomplexa: Eimeriidae) of Amphibians of The World. Zootaxa 1667 © 2007. Magnolia Press. Auckland, New Zealand.
Fitch-Snyder, H. & H. Schulze. 2001. Management of lorises in captivity: A
husbandry manual for Asian Lorisines(Nycticebus &Loris spp.). Center for
Reproduction of Endangered Species (CRES) Zoological Society of San Diego,San Diego: xi + 110 hlm.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk Ilmu-ilmu Pertanian,
Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Armico. Bandung.
Grabda. 1991. Marine Fish Parasitology. An outline, Poland.Polish Scientific Publisher: Warszawa. pp. 265-267.
Grinberg, A. Marcovics, et al. 2002. Controlling The Onset of Natural
Cryptosporidiosis in Calves with Paromomycin sulphate. Veterinary
Record. 151: 606–608.
Groves, C.P. 1971. Sysmematic of the genus Nyeticebus. Congr. Primatol. Zurich, Vol. 1. Basel, karger.
Herdaus, D. D. 2015. Identifikasi Dan Prevalensi Protozoa Parasitik Pada Sampel Feses Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Di Pusat Konservasi
45
Gajah,Taman Nasional Way Kambas [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung. Lampung.
Hickman, C. P., L. S. Robert, A. Larson, dan H. I’Anson. 2004. Integrated Principles of Zoology 12thedition. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Pp 208-232.
Hoare, C. A. 1937. A New Cyclophostiid Ciliate (Triplumaria hamertoni GEN. N., SP. N) Parasitic in The India Rhinoceros. Parasitology Vol. 23, No. 4. Wellcome Bureau of Scientific Research, London. Pp 11.
[IAR] International Animal Rescue. 2011. Kukang di Indonesia : di tengah
maraknya perdagangan (gelap) satwa. IAR. Bogor.
[IUCN]. 2013. Nycticebus coucang : The IUCN red list of threatened species. Geneva (CH) : IUCN. Version 2014.2 [Internet]. Terdapat pada :
http://www.iucnredlist.org/details/39759/0. Diakses pada 11 Nov 2015.
Janis, C.1976. The evolutionary strategy of the Equidae and the origins of rumen and caeca l digestion. Evolution. 30.·757- 774.
Kawamura S., dan N. Kubotera. 2004. Ancestral loss of short wave-sensitive cone visual pigment in lorisiform prosimians, contrasting with its strict
conservation in other prosimians. J Mol E vol 58:314 – 321.
Kofoid, C. A. 1935. On Two Remarkable Ciliata Protozoa from The Caecum of The India Elephant. Proc. N. A. S. Vol. 21. Department of Zoology, University of California. Pp 6.
Kwon, C. B., dan Shin, M. K. 2013. Two Oxytrichid Ciliates, Cyrtohymena
primicirrata and Oxytricha granulifera (Ciliophora: Sporadotrichida:
Oxytrichidae) Unknown from Korea. Animal System Evolution Diversity Vol. 29, No. 1: 23-30. Department of Biological Science, University of Ulsan, Ulsan, Korea. Pp 8.
Lindsay, D. S., J. P. Dubey, dan B. L. Blagburn. 1997. Biology of Isospora spp. from Humans, Nonhuman Primates, and Domestic Animals. Clinical
Microbiology Revolution.Vol. 10, Jan. 1997. American Biology for Society.
Pp 16.
Loris Husbandry Manual. 2003.
http://www.loris-conservation.org/database/captive_care/manual/PDF/2b_Taxonomy.pdf.
[Internet] Diakses pada Tanggal 10 Januari 2016
Malone N, Purnama AR, Wedana M. 2002. Assessment of the sale of primates at
46
Napier, J.R and P.H. Napier. 1976. A Handbook of Living Primates Morphology,
Ecology, and Behaviour of Nonhuman Primates. London: Academic Press
INC. London.
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge: The MIT Press.
Natadisastra, D., R. Agoes. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari
organ tubuh yang diserang. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
xxi+450hlm.
Nekaris, K. A. I. 2001. Activity budget and positional behavior of the Mysore
slender loris (Loris tardigradus lydekkarianus): implications for “slow
climbing” locomotion. Folia Primatol 72: 228–241.
Nekaris, K.A.I., Bearder S. K. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan
Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C,
Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor. Primates in
Perspective. Oxford: Oxford University Press. hlm 24–45.
Nolan, T. 2006. McMaster Egg Couting Technique [Internet]. Terdapat Pada:
http://cal.vet.upenn.edu/projects/parasit06/website/mcmaster.htm. Diakses
pada 12 Nov 2015.
Nowak, R. M. 1999. Walker's Primates of the World. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Obanda, V., I. Lekolool, J. Kariuki, dan F. Gakuya. 2007. Composition of Intestinal Ciliate Fauna of Free-ranging African Elephants in Tsavo West National Park, Kenya. Pachyderm No. 42 Januari–Juni 2007. Kenya Wildlife Service, Veterinary Department, Nairobi, Kenya. Pp 5.
Rinaldi L, Levecke B, Boscoa A, Ianniello D, Pepe P, Charlier J, Cringolia G, Vercruyss J. 2014. Comparison of individual and pooled faecal samples in sheep for the assessment of gastrointestinal strongyle infection inteAity and anthelmintic drug efficacy using McMaster and Mini-FLOTAC. Veterinary
Parasitology 6(11) : 1-8.
Rowe, N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. Pogonian Press. New York.
Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran. Protozoologi, Entomologi, dan
Helmintologi. Yrama Widya, Bandung. Vii+336 hlm.
Santoso, S. H. B., Y. P. Dachlan, dan S. Yotopranoto. 2002. Atlas Parasitologi
47
Schulze, H. 2002. Table 8a: weight; trunk measurements. From www.
lorisconservation.org/database/population_database//tables/08aweight_tru nk _meas.pdf. Last amendment 10 March 2002. Diakses pada 22 Juni 2016.
Schulze, H. 2003. Table 7c: Skin: Hands, feet–palms,soles,digital pads, rhinarium skin. http://www.lorisconservation. org/database//population_database
/tables /07 cpalms_pads_rhinarium.pdf. Last amendment 4 February 2003.
Diakses pada 22 Juni 2016.
Schulze, U. 2004. Asian lorises:taxonomic problem caused by illegal trde. Di dalam: Nadler T, Stereicher U, Ha TL, editor. International Symposium
Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National Park Vietnam.
Haki Press. Hanoi.
Setyorini LE dan Werdateti. 2005. Cacing parasit pada Nycticebus coucang. Berk
Panel Hayati 10 : 93–96.
Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, dan Torgerson PR. 2004. Shot Report : The use of a polymerase chain reaction to detect Echinococcus granulosus (G1 Strain) egg in soil sample. American
Journal of Tropical Medicine Hygiene. 71(4): 441-443.
Shields, P.A., and R.S. Carlson. 1996. Effect Of Formalin And Alcohol
Preservation On Lengths And Weights Of Juvenile Sockeye Salmon. Alaska
Fishery Research Bulletin. 3(2):81-93.
Sucitrayani, P.T.E., I. B. M. Oka., M. Dwinata. 2014. Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan Pada Kucing Lokal (Felis catus) di Denpasar. Buletin
Veteriner Udayana. 6(2):2085-2495.
Supriatna, J & E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Suweta, I.G.P. 1987. Parasit Cacing Gilig (Nematoda) Salah Satu Kendala Dalam Upaya Pelestarian Satwa Ruminansia Liar. D.A.A.D. Nachkontakt Seminar. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Swapna N. 2008. Assessing the feeding ecology of the Bengal slow loris
(Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura [Tesis].
National Centre for Biological Sciences. Bangalore.
Syamsul, A. 2014. Zoonoses Disease. Balai Veteriner Lampung. Bandar Lampung.
Tampubolon, M.P. 2004. Protozoologi. Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Bogor.
48
Tangel, F., J.S.B. Tuda., V.D. Pijoh. 2016. Infeksi parasit usus pada anak sekolah dasar di pesisir pantai kecamatan wori kabupaten minahasa utara. Journal
e-Biomedik (eBm). 4(1). 70-75.
Taylor, M. A.,R.L. Coop., R.L.Wall. 2007. Veterinary parasitology. 3rd ed. Blackwell publishing Ltd. Oxford : xxvi + 874 hlm.
Upton, R.C.A., et al. 2004. Basic Biology of Cryptosporidium. Division of Biology. Kansas State University [Internet]. Terdapat pada:
http://www.ksu.edu/parasitology/basicbio. Diakses pada 10 Juni 2016.
Van Hoven, W., F. M. C. Gilchrist, H. Liebenberg, dan C. F. Van Der Merwe. 1998. Three New Species of Ciliated Protozoa from The Hindgut Both White and Black Wild African Rhinoceros. Onderstepoort Journa Of
Veterinary Research, 6537-95 (1 998). University of Pretoria, Pretoria,
South africa. Pp 9.
Walter-Toews D. 2009. Commentary. Eco-health: a primer for veterinarians.
Canadian Veterinary Journal 50:519-521.
Wiens F. 2002. Behavior dan ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang): social organisation, infant care system dan diet. [Disertasi]. Bayreuth University. Bayreuth.
Wiens, F., dan A. Zitzmann. 2003. Social structure of the solitary slow loris
(Nycticebus coucang). Journal of Zoology : 261:35-46.
Winarti, I. 2011.Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa (Nycticebus
javanicus Geoffroy 1812) di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat.
(Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarti, I. 2015. Teknik Identifikasi Jenis Kukang di Indonesia. Workshop Konservasi kukang. Ciamis. Jawa Barat.
Wiser, M. F. 2010. Protozoa and Human Disease. Amazon’s Book. Canada. [YIARI]. Yayasan International Animal Rescue Indonesia. 2016. The Slow Loris
in Indonesia: The Rise in Illegal Wildlife Trade. [Proceedings].Yayasan
IARI. Bogor.
Yulfi, H. 2006. Protozoa Intestinalis. USU Repository. Medan Sumatera Utara. Yuliari, P.K., I.M. Damriyasa., I.M. Dwinata. 2013. Prevalensi Protozoa Saluran
Pencernaan Pada Babi Di Lembah Baliem Dan Pegunungan Arfak Papua.
Indonesia Medicus Veteriner. 2(2):208-215.