• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, class: Dycotyledonae, subclass:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, class: Dycotyledonae, subclass:"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, class: Dycotyledonae, sub-class: Metachlamydeae, famili: Solanaceae, genus: Capsicum, spesies:

Capsicum annuum L (Nawangsih dkk, 2001).

Famili ini terdiri lebih kurang dari 75 marga (genus) dan 2000 jenis (spesies), ada yang berbentuk tanaman pendek, tanaman semak perdu atau pohon kecil. Tanaman ini banyak terdapat di daerah tropis sampai di daerah subtropik (Pracaya, 1995).

Cabai memiliki akar tunggang, akar cabang serta akar serabut yang berwarna keputih-putihan yang menyebar ke semua arah hingga kedalaman 30-40 cm. Akar tanaman cabai menyebar, tetapi dangkal. Cabang-cabang akar dan rambut banyak terdapat di permukaan tanah. Semakin kedalam akar-akat tersebut semakin berkurang. Ujung akar tanaman cabai hanya dapat menembus tanah sedalam 30-40 cm (Tjahjadi, 1993).

Batang cabai dibedakan menjadi dua yaitu batang utama dan percabangan (batang sekunder). Batang utama berwarna coklat hijau, berkayu, panjang antara

20-28 cm dan diameter 15-25 cm. Cabang setiap waktu membentuk cabang baru yang berpasangan. Antara batang utama dengan cabang membentuk sudut 135⁰ sehingga menyerupai bentuk huruf “Y”. Batang dan percabangan berbentuk silindris. Percabangan tumbuh dan berkembang baraturan secara berkesinambungan (Nawangsih dkk, 2001).

(2)

 

Daun cabai termasuk daun tunggal sederhana tetapi ada juga yang berlekuk dangkal sampai dalam dan ada juga yang berlekuk majemuk. Letak daun bergantian dan tidak mempunyai daun penumpu. Daun cabai umumnya berwarna hijau muda sampai gelap, tergantung varietas. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun dan memiliki tulang daun menyirip. Daun cabai umumnya berbentuk bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung meruncing tergantung dari jenis dan varietasnya (Tarigan dan Wiryanta, 2003).

Bunga cabai terbentuk pada ujung ranting. Pada tangkai bunga biasanya berbentuk ranting yang ujungnya juga terbentuk bunga lain dan seterusnya demikian sehingga bunga seakan-akan terbentuk pada ketiak daun. Pada umumnya bunga hanya satu, menggantung, kadang-kadang juga ada yang berdiri, warna mahkota bunga putih, berbentuk seperti batang bersudut 5-6. Benang sari berjumlah 5-6 buah, kepala benang sari berwarna kebiruan dan bentuknya memanjang. Putik berwarna putih atau ungu dan berkepala (Pracaya, 1995).

Berdasarkan bentuk buah, cabai dapat digolongkan dalam tiga tipe yaitu cabai merah besar, cabai keriting dan cabai paprika. Cabai merah besar buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah agak tebal sedangkan paprika buahnya berbentuk segi empat panjang atau bel (Santika, 1999).

Bentuk buah bervariasi mulai dari yang panjang lurus hingga mata kail (lurus dengan ujung agak melengkung sampai melintir). Varietas cabai panjang lurus adalah Heru, Amando, Hot Chili, Red beauty, Arinbi dan Wonder Hot. Varietas cabai mata kail contohnya Hot beauty, Long Chili, Passion, dan Hot Chili. Varietas cabai yang melintir contohnya cabai keriting hibrida Hybrid

(3)

yang luas. Cabai dapat ditanam hampir di semua jenis tanah tipe iklim yang berbeda. Walaupun demikian, daerah yang paling cocok untuk penanaman cabai berdasarkan luas areal penanamannya dijumpai pada jenis tanah mediterian dan aluvial, tipe iklim D3/E3 (0-5 bulan basah dan 4-6 bulan kering) (Santika, 1999).

Suhu paling ideal untuk perkecambahan benih cabai adalah 25-30ºC. Untuk pertumbuhannya, tanaman cabai memerlukan suhu 24-28ºC. Suhu yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu pertumbuhan

dan perkembangan bunga dan buah menjadi kurang sempurna (Tarigan dan Wiryanta, 2003).

Lama penyinaran (fotoperioditas) yang dibutuhkan tanaman cabai antara 10-12 jam penyinaran sehari. Di Indonesia kebutuhan ini akan terpenuhi karena lama penyinaran di daerah ekuator sekitar 11 jam 56 menit sampai 12 jam 7 menit, sedangkan pada lintang 10º lama penyinaran antara 11 jam 17 menit sampai 11 jam 33 menit. Cabai termasuk tanaman berhari netral, artinya dapat berbunga sepanjang tahun baik pada hari-hari pendek maupun hari-hari panjang (Nawangsih dkk, 2001).

Kelembaban relatif yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman cabai sekitar 80%. Kandungan air tanah atau kelembaban tanah juga berkaitan dengan suhu tanah yang diperlukan akar tanaman. Pada tanaman cabai suhu tanah selama 24 jam setidaknya bergeser antara 15-280C atau paling tinggi 300c (Setiadi, 2004).

(4)

 

Cabai merah dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi pada lahan sawah atau tegalan dengan ketinggian 0-1000 meter di atas permukaan laut (dpl). Tanah yang baik untuk pertanaman cabai adalah yang berstruktur remah atau gembur, subur, banyak mengandung bahan organik dengan pH tanah antara 6-7. Kandungan air tanah juga perlu diperhatikan. Tanaman cabai yang dibudidayakan di sawah sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan, sedangkan di tegalan ditanam pada musim hujan (Nawangsih dkk, 2001).

Tanaman cabai akan baik pertumbuhannya jika ditanam pada lahan datar dengan lereng kurang dari 50, drainase baik, tekstur tanah lempung, lempung liat berpasir, debu, lempung liat berdebu atau lempung berdebu. Kedalaman air relatif lebih dari 50 cm (Widodo, 2006).

Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap Tanaman Cabai

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat selanjutnya mempengaruhi produktifitas tanaman (Savin dan Nicolas, 1996). Istilah kekeringan ini menunjukkan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungan tumbuhnya yaitu media tanam. Menurut Bray (1997) cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan oleh dua hal yaitu (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup. Pada lahan kering, cekaman kekeringan pada tanaman terjadi karena suplai air yang tidak mencukupi.

(5)

cekaman. Pada fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air berpengaruh pada beberapa asfek fisiologi serta morfologi, antara lain: menurunkan laju kecepatan fotosintesis dan luas daun. Jika tanaman terkena cekaman kekeringan, potensial air daun akan menurun, pembentukan klorofil daun akan terganggu dan struktur kloroplas akan mengalami disintegrasi.

Ditambahkan oleh Sloane dkk (1990) bahwa tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya bunga, polong, dan biji yang telah terbentuk. Hal ini berhubungan dengan penurunan kecepatan fotosintesis akibat keterbatasan ketersediaan air.

Bray (1997) menyatakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung pada jumlah air yang hilang, tingkat kerusakan dan lama cekaman kekeringan juga sangat tergantung pada genotipe tanaman, lama dan jenis penyebab kehilangan air, umur dan fase perkembangan, tipe organ dan tipe sel dan bagian-bagian sub seluler. Kehilangan air pada tingkat seluler dapat menyebabkan perubahan konsentrasi senyawa osmotik terlarut, perubahan volume sel dan bentuk membran, perubahan gradien potensial air, kehilangan turgor, kerusakan atau kehancuran integrasi membran dan denaturasi protein. Menurut Savin dan Nicolas (1996), cekaman kekeringan tidak hanya mengurangi laju fotosintesis tetapi juga dapat mengakibatkan terjadinya senesen pada organ-organ

(6)

 

fotosintesis. Akibat cekaman kekeringan dapat menyebabkan perbedaan penurunan hasil antara tanaman yang peka, dan juga pada tanaman yang toleran tetapi berbeda tingkat penurunannya.

Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat terjadi jika tanaman dapat bertahan terhadap cekaman yang terjadi dan adanya toleransi atau mekanisme yang memungkinkan menghindari dampak buruk dari situasi cekaman tersebut. Karakter morfologi atau fenotipik (secara konvensional) umumnya digunakan untuk menduga tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yaitu dengan mengamati gejala secara visual di tingkat in vitro (Hooker dan Thorpe, 1997), maupun di lapang (Vallejo dan Kelly, 1998), misalnya perkembangan perakaran, gejala layu sebagian atau keseluruhan pada organ vegetatif atau organ reproduktif, merosotnya hasil panen dan kualitas hasil, serta ketidaktahanan hasil dalam penyimpanan.

Indeks luas daun yang merupakan ukuran perkembangan tajuk sangat peka terhadap cekaman, yang mengakibatkan penurunan dalam pembentukan dan perluasan daun, peningkatan penuaan dan perontokan daun, atau keduanya. Perluasan daun lebih peka terhadap cekaman air daripada penutupan stomata. Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan penuaan daun akibat cekaman air cenderung terjadi pada daun-daun yang lebih bawah, yang paling kurang aktif dalam fotosintesis dan dalam penyediaan asimilat, sehingga kecil pengaruhnya terhadap hasil (Riduan, 2004).

Perlakuan varietas memberikan respon pada kondisi lingkungan sehingga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata. Di samping faktor lingkungan,

(7)

dari tingkat optimum dan dapat menyelesaikan hidupnya secara lengkap asalkan keadaan lingkungan tidak melebihi batas fisiologi proses kehidupan. Tanaman akan memberikan reaksi (tanggapan) terhadap perubahan lingkungan tersebut. Pada keadaan lingkungan yang tidak optimum, manipulasi sering dilakukan untuk menciptakan keadaan lingkungan mendekati keadaan optimum agar kapasitas genetik yang setinggi mungkin dapat diekspresikan. Manipulasi tersebut dapat disajikan pada pertumbuhan (Soemartono, 1995).

Tanaman menunjukkan toleransi dengan menciptakan potensial air yang tinggi, yaitu kemampuan tanaman tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan penyerapan air atau menekan kehilangan air. Pada mekanisme ini tanaman mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran, mengatur stomata, mengurangi absorbsi radiasi surya dengan pembentukan lapisan lilin atau bulu rambut daun yang tebal, dan menurunkan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan daun serta pengurangan luas daun (Soemartono, 1995).

Seleksi In Vitro Untuk Toleransi Terhadap Cekaman Kekeringan

Pada teknik in vitro, seleksi ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas dapat digabungkan dalam media kultur in vitro dan digunakan untuk menumbuhkan varian somaklon yang diperoleh. Tanaman hasil regenerasi jaringan pada kultur in vitro

(8)

 

kemungkinan akan mempunyai fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi. Seleksi in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, dan efektifitas seleksi tinggi. Oleh karena itu, kombinasi antara induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan alternatif teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter yang spesifik (Kadir, 2007).

Penggunaan teknik in vitro akan menghasilkan populasi sel varian melalui seleksi pada media yang sesuai. Intensitas seleksi dapat diperkuat dan dibuat lebih homogen. Populasi jaringan atau sel tanaman dapat diseleksi dalam media seleksi sehingga akan meningkatkan frekuensi varian dengan sifat yang diinginkan (Biswan dkk, 2002).

Di Cina dan Korea, kombinasi kultur in vitro dan mutagen fisik merupakan teknik perbaikan varietas yang diprioritaskan untuk dikembangkan (Yunchang dan Liang, 1997). Dilaporkan bahwa kombinasi kedua perlakuan tersebut lebih efektif dan lebih efisien dibandingkan perlakuan tunggal. Melalui seleksi in vitro telah dihasilkan varietas baru tanaman yang tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik dengan sifat yang diwariskan (Remotti dkk, 1995). Beberapa gen seleksi dapat digunakan pada teknik in vitro untuk menghasilkan tanaman yang toleran cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas.

Seleksi in vitro untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap kekeringan dapat menggunakan agen seleksi berupa senyawa osmotik. Senyawa ini dapat mensimulasi kondisi kekeringan di lapangan. Senyawa osmotik yang

(9)

penurunan air sangat bergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan simulasi untuk karakter fisiologi sebagai respons terhadap cekaman kekeringan (Richard dkk, 1987). Polietilena glikol (PEG)

Senyawa Polietilena glikol (PEG) dilaporkan dapat menurunkan potensial air media untuk mendapatkan tanaman varian yang toleran cekaman kekeringan

dan telah dilakukan pula pada tanaman padi, sorgum, dan anggur (Adkins dkk, 1995). Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara

toleransi sel atau jaringan yang dikulturkan in vitro terhadap PEG dengan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan di lapangan.

PEG sebagai komponen seleksi pada berbagai jenis tanaman dapat menurunkan pertumbuhan tanaman sekaligus dapat menghasilkan genotipe-genotipe baru yang tahan terhadap cekaman kekeringan (Hutami, 2006).

Penggunaan PEG dalam induksi stres/cekaman air pada tanaman sudah digunakan sejak lama. PEG merupakan senyawa yang stabil, non ionik, polymer panjang yang larut dalam air dan dapat digunakan dalam sebaran bobot molekul yang luas. PEG dengan bobot molekul lebih dari 4000 dapat menginduksi stres air pada tanaman dengan mengurangi potensial air pada larutan nutrisi tanpa menyebabkan keracunan (Widoretno dkk, 2003). Dengan demikian kerusakan atau kematian tanaman pada simulasi menggunakan PEG diyakini sebagai efek

(10)

 

kekeringan, bukan efek langsung dari senyawa PEG karena senyawa tersebut tidak diserap oleh tanaman (Dami dan Hughes, 1997).

Kemampuan PEG untuk menurunkan potensial air diharapkan dapat berfungsi sebagai kondisi selektif untuk menduga reaksi jaringan yang dikulturkan terhadap cekaman kekeringan dan mengisolasi sel atau jaringan varian yang mempunyai fenotipe cekaman toleran (Widoretno dkk, 2003).

Sel-sel kalus atau eksplan yang mati dalam kultur in vitro yang mengandung PEG bukan disebabkan oleh PEG yang diabsorsi ke dalam sel atau jaringan tanaman melainkan disebabkan oleh pengaruh penurunan potensial air dalam media kultur sehingga menyebabkan tanaman mengalami stres/cekaman karena kekurangan air. Dengan demikian eksplan atau kalus yang mampu bertahan hidup pada konsentrasi PEG tertentu, dimana kalus yang lain tidak lagi mampu bertahan (mati), mengindikasikan bahwa kalus tersebut mempunyai sifat toleransi terhadap media selektif PEG (Kong dkk, 1998).

Referensi

Dokumen terkait

variabel artificial adalah variable yang di tambahkan pada fungsi pembatas mempunyai hubungan persamaan untuk memperoleh basis, atau juga dapat dinyatakan sebagai

Oleh karena itu perlu dilakukan perancangan sebuah media visual berupa logo dan sign sytem sebagai salah satu penerapan grafis lingkungan yang berfungsi sebagai

Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang

berdasarkan hasil penelitian terakhir yang dilakukan oleh Surono,dkk seperti yang tersaji dalam bukunya berjudul “Publikasi Khusus Geologi Lengan Tenggara Sulawesi”

Ragam ikan teri didapati 4 jenis, dengan dugaan rata-rata volume hasil tangkap setiap bulan dari kawasan perairan Galang sebagai berikut; Ikan Teri Kecil

A fenséges jegyében fogant ízléstörekvés tehát nemcsak saját útkeresését jellemezte, hanem ezt kívánta folyóiratában is uralomra juttatni, folytatván és

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara motivasi penggunaan media online detik.com dan pola konsumsi media detik.com terhadap tingkat

Pengorganisasian esai yang ditulis oleh mahasiswa dapat dikatakan baik karena sebagian besar mahasiswa sudah memahami kerangka atau outline esai, yaitu adanya paragraf