• Tidak ada hasil yang ditemukan

STANDARDISASI PROSES PRODUKSI KERUPUK TULANG RAWAN AYAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STANDARDISASI PROSES PRODUKSI KERUPUK TULANG RAWAN AYAM"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

1

STANDARDISASI PROSES PRODUKSI

KERUPUK TULANG RAWAN AYAM

SKRIPSI

HARUN KURNIAWAN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.

(2)

2

RINGKASAN

Harun Kurniawan. D04400022. 2009. Standardisasi Proses Produksi Kerupuk

Tulang Rawan Ayam. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. B.N. Polii, SU

Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.

Perkembangan ilmu dan pengetahuan masyarakat mengenai pola hidup sehat telah membuat pergeseran tren konsumsi ke arah yang lebih baik. Masyarakat saat ini tidak hanya memilih makanan berdasarkan kualitas rasa, namun juga mulai mementingkan kandungan zat gizi dalam makanan tersebut.

Dunia peternakan sebagai salah satu bidang yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan konsumsi masyarakat juga harus terus melakukan inovasi. Salah satunya adalah dengan cara memanfaatkan hasil ikutan ternak, yang telah diketahui secara luas dimana umumnya mengandung berbagai unsur yang penting bagi kesehatan. Salah satu produk yang memungkinkan untuk dilakukan inovasi adalah kerupuk, yaitu dengan fortifikasi tulang rawan ayam. Salah satu kendala dalam memproduksi kerupuk tulang rawan ayam ini adalah masih besarnya keragaman antar produk.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan adonan kerupuk pada suhu yang berbeda serta pengaruh pendiaman kerupuk mentah, untuk menstandardisasikan proses produksinya. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial 2x4 dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah suhu penyimpanan saat pendiaman adonan kerupuk. Penyimpanan dilakukan pada dua suhu yang berbeda, yaitu suhu refrigerator (15oC) dan suhu ruang (29oC), sedangkan faktor kedua adalah lamanya hari penyimpanan kerupuk mentah kering pada suhu ruang yaitu selama 0, 1, 2, dan 3 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu memberikan pengaruh terhadap kemudahan adonan kerupuk untuk dipotong tipis, dan terhadap tingkat efisiensi produksi kerupuk. Perlakuan pendiaman pada hari yang berbeda memberikan pengaruh terhadap volume pengembangan kerupuk dimana umur simpan paling lama (3 hari) memberikan pengembangan yang paling baik. Hasil pengujian organoleptik juga menunjukkan perbedaan sangat nyata untuk parameter warna, rasa, tekstur dan penampakan umum kerupuk, dimana mayoritas panelis menyatakan penilaian terendah untuk kerupuk yang baru disimpan satu hari, baik yang mengalami perlakuan penyimpanan suhu ruang maupun suhu refrigerator. Kata-kata Kunci: standardisasi, kerupuk, tulang rawan ayam

(3)

3

ABSTRACT

Production Proccess Standardization of Chicken’s Cartilage Cracker

Kurniawan, H., Polii, B.N., and Wulandari, Z.

The research objectives are to determine the influence of chicken’s cartilage crackers storage at different temperature and the influence of storing cracker at different time. The experimental design that used in this research is 2 x 4 factorial complete randomized with three replicates. The first factor was admixture cracker storage at different temperature which is refrigerator temperature (15oC) and room temperature (29oC) and second factor is time of storage of dry cracker (0, 1, 2, and 3 days). The parameters observed were rendemen, cracker expand volume, calcium and phosphor level, and organoleptic test. The result showed that admixture storey treatment at the refrigerator temperature had higher rendemen compare to cracker admixture that store at room temperature. Admixture storey treatment at different time showed that cracker that is store during 3 days result the higher expanded volume. Organoleptic test result showed the panelist score of color, taste, texture and global performance of crackers criteria is very significant (p<0.01).

(4)

4

STANDARDISASI PROSES PRODUKSI

KERUPUK TULANG RAWAN AYAM

HARUN KURNIAWAN D04400022

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(5)

5

STANDARDISASI PROSES PRODUKSI

KERUPUK TULANG RAWAN AYAM

Oleh :

HARUN KURNIAWAN D04400022

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 20 Oktober 2008

Pembimbing Utama

Ir. B.N. Polii, SU NIP. 130 816 350

Pembimbing Anggota

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP. 132 206 246

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. NIP. 131 955 531

(6)

6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 17 Maret 1983. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Dulmuchid dan Ibu Sri Hartini, yang saat ini berdomisili di Serang, Banten.

Pendidikan dasar penulis, diselesaikan pada tahun 1994 di SDN Kelanggaran, Cipocok Jaya, Serang, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1997 di SMPN 2 Cipocok Jaya, Serang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2000 di SMAN 1 Cipocok Jaya, Serang.

Mulai tahun 2000 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departeman Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dikti pada tahun 2004 dengan judul penelitian Pemanfaatan Susu Bawah Standar untuk Pembuatan Kerupuk. Penulis juga pernah aktif di UKM LDK Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB, Forum Studi Ilmu dan Telaah Agama Islam (FORSITA) Fakultas Peternakan IPB, dan Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan Komisariat IPB dan Pusat.

(7)

7

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya yang senantiasa menyertai penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat serta pengikutnya.

Skripsi yang berjudul “Standardisasi Proses Produksi Kerupuk Tulang Rawan Ayam” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tema ini sengaja diambil karena kerupuk merupakan makanan yang sangat terkenal bagi masyarakat Indonesia, namun karena nilai gizi kerupuk yang ada di pasaran saat ini sangat rendah, perlu dilakukan upaya pengkayaan zat gizi di dalamnya. Salah satu kendala yang dihadapi untuk memproduksi kerupuk ini adalah belum adanya standard proses produksi, sehingga keragaman produk masih sangat tinggi. Skripsi ini diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2008 kemudian dilanjutkan dengan proses pengolahan data dan penelusuran informasi ilmiah serta penulisan hingga Agustus 2008. Demikian prakata dari penulis semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi praktisi, akademisi serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan dunia peternakan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu setiap proses yang telah penulis lalui hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya. Kesempurnaan kembali hanya milik Allah SWT semata.

Bogor, Februari 2009

(8)

8 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... ii RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Kerupuk ... 3

Bahan Baku Kerupuk ... 4

Tepung Tapioka ... 4

Air ... 4

Bahan Pengembang ... 5

Bumbu-bumbu ... 5

Proses Pembuatan Kerupuk ... 6

Pembuatan Adonan ... 6

Pengukusan ... 6

Pengeringan ... 7

Penggorengan ... 8

Tulang Rawan Ayam ... 8

METODE ... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10 Rancangan ... 10 Perlakuan ... 10 Model ... 10 Analisis Data ... 11 Peubah ... 11 Prosedur ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Pembuatan Adonan Kerupuk ... 17

Pengukusan, Pendinginan dan Pengeringan ... 18

(9)

vii

Rendemen ... 23

Penggorengan ... 24

Volume Pengembangan Kerupuk ... 26

Kadar Air ... 28

Kadar Kalsium (Ca) dan Fosfor (P) ... 29

Uji Organoleptik ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

UCAPAN TERIMA KASIH ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 37

(10)

1

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Syarat Mutu Kerupuk Ikan SNI 01-2713-1999 ... 3

2. Kandungan Nutrisi Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging ... 9

3. Penambahan Berat Adonan Setelah Pengukusan ... 19

4. Berat Adonan Kerupuk Setelah Proses Pengirisan ... 20

5. Hasil Analisa Kadar Air yang Mendapatkan Perlakuan Penyimpanan pada Suhu Refrigerator ... 21

6. Berat Kerupuk Mentah Selama Penyimpanan ... 22

7. Hasil Pengujian Proksimat Kerupuk Tulang Rawan Ayam ... 22

8. Rendemen Tiap Tahapan Produksi ... 24

9. Volume Pengembangan Kerupuk Setelah Penyimpanan ... 27

10. Kadar Air Kerupuk Mentah Hasil Perlakuan Suhu dan Penyimpanan ... 28

11. Kandungan Kalsium dan Fosfor Kerupuk Mentah Kering ... 29

12. Data Hasil Penilaian Organoleptik Kerupuk Tulang Rawan Ayam .. 30

(11)

2

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Pembuatan Kerupuk Tulang Rawan Ayam ... 15

2. Perbedaan Adonan Kerupuk ... 18

3. Proses Pengirisan Adonan Kerupuk Tulang Rawan Ayam ... 20

4. Waktu Pengembangan Kerupuk Saat Digoreng ... 25

5. Perbedaan Warna dan Volume Pengembangan Kerupuk Setelah Disimpan pada Lama Hari yang Berbeda ... 28

(12)

3

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Volume Pengembangan Kerupuk ... 38

2. Analisis Ragam Kadar Air Kerupuk ... 38

3. Formulir Uji Skoring ... 39

4. Analisis Ragam Pengujian Organoleptik Terhadap Warna ... 39

5. Uji Duncan Terhadap Warna ... 39

6. Analisis Ragam Pengujian Organoleptik Terhadap Rasa ... 40

7. Uji Duncan Terhadap Rasa ... 40

8. Analisis Ragam Pengujian Organoleptik Terhadap Tekstur ... 40

9. Uji Duncan Terhadap Tekstur ... 40

10. Analisis Ragam Terhadap Penampakan Umum ... 41

11. Uji Duncan Terhadap Penampakan Umum ... 41

11. Analisis Ragam Terhadap Kerenyahan ... 41

12. Analisis Ragam Pengujian Organoleptik Terhadap Aroma ... 41

(13)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai pola hidup sehat telah membuat pergeseran tren konsumsi ke arah yang lebih baik. Masyarakat saat ini tidak hanya memilih makanan berdasarkan kualitas rasa, namun juga mulai mementingkan kandungan zat gizi dalam makanan tersebut. Pergeseran ini perlu direspon secara positif, misalnya dengan cara diversifikasi produk pangan, yang tidak saja lebih menyehatkan, diantaranya karena mengandung zat gizi lebih baik yang secara alami tidak dapat disintesa oleh tubuh, misalnya kalsium dan memiliki rasa yang enak, namun juga karena makanan tersebut lebih menyehatkan.

Dunia peternakan sebagai salah satu bidang yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan konsumsi masyarakat juga harus terus melakukan inovasi. Selain sebagai penghasil produk-produk utama peternakan seperti daging, susu dan telur, bidang peternakan juga harus mampu menciptakan makanan alternatif yang sehat bagi masyarakat. Salah satunya adalah dengan cara memanfaatkan hasil ikutan ternak, yang telah diketahui secara luas umumnya masih mengandung berbagai unsur yang penting bagi kesehatan.

Kerupuk sebagai salah satu makanan yang telah dikenal luas oleh masyarakat walaupun masih terbatas sebagai makanan ringan dan pendamping makanan utama dapat dijadikan salah satu alternatif. Kebanyakan jenis kerupuk yang beredar dipasaran saat ini adalah jenis kerupuk yang mempunyai nilai gizi yang rendah karena berbahan utama tepung tapioka saja dengan sedikit penambahan bumbu. Untuk memperbaiki kualitasnya, perlu dilakukan fortifikasi terhadap kerupuk, salah satunya dengan menambahkan tulang rawan ayam. Tulang rawan ayam adalah hasil ikutan ternak yang kaya kalsium dan fosfor, sehingga dapat dihasilkan kerupuk yang secara zat gizi lebih komplit kandungan gizinya.

Salah satu kendala dalam memproduksi kerupuk tulang rawan ayam ini adalah masih besarnya keragaman antar produk yang dihasilkan. Keragaman ini disebabkan oleh belum adanya standard proses produksi serta masih lemahnya kontrol terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam produksi tersebut. Misalnya dalam proses pengadonan serta suhu penyimpanan adonan. Faktor ini cukup berpengaruh terhadap kualitas kerupuk, terutama dalam hal pengembangan pada saat

(14)

2 penggorengan. Faktor lain yang cukup bepengaruh adalah waktu penyimpanan setelah pengeringan, karena pada faktanya, kerupuk kering oven tidak akan mengembang sempurna apabila langsung digoreng. Berdasarkan hal tersebut, perlu dicari proses paling tepat dalam produksi kerupuk yang dapat digunakan sebagai standard agar proses tersebut dapat diawasi dan dikontrol sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kualitas.

Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk:

1. Menstandardisasikan proses produksi kerupuk tulang rawan ayam

2. Menentukan pengaruh penyimpanan adonan kerupuk pada suhu yang berbeda, serta pendiaman kerupuk pada hari yang berbeda, terhadap sifat fisik dan organoleptik kerupuk tulang rawan ayam.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA Kerupuk

Kerupuk merupakan produk makanan kering yang dibuat dari tepung tapioka atau sagu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan lain yang diizinkan, serta disiapkan dengan cara digoreng atau dipanggang sebelum disajikan (SNI 01-0272-1990). Menurut Wiriano (1984), kerupuk adalah suatu jenis makanan kering yang terbuat dari bahan yang mengandung pati cukup tinggi. Kerupuk biasanya dikonsumsi bukan sebagai makanan utama melainkan sebagai makanan selingan ataupun sebagai lauk-pauk yang umumnya dikonsumsi dalam jumlah sedikit (Cristina, 1998)

Syarat mutu kerupuk yang digunakan sebagai acuan yaitu syarat mutu kerupuk ikan, seperti tertera dalam SNI 01-2713-1999 (BSN, 1999). Syarat mutu kerupuk ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Kerupuk Ikan SNI 01-2713-1999

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Rasa dan aroma

Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan serta benda asing

Kapang Air

Abu tanpa garam Protein

Lemak Serat kasar

Bahan tambahan makanan Cemaran logam berbahaya (Pb, Cu, Hg)

Cemaran Arsen (As)

- - - % % % % % - - -

Khas kerupuk ikan Tidak teryata Tidak teryata Maksimal 11 Maksimal 1 Minimal 6 Maksimal 0,5 Maksimal 1

Tidak ternyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku Tidak ternyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku Tidak ternyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1999)

Bahan dalam pembuatan kerupuk dibagi menjadi dua yaitu bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Sumber bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah bahan pangan yang mengandung

(16)

4 karbohidrat cukup tinggi yaitu pati. Pati yang digunakan dalam pembuatan kerupuk disebut puffable material. Puffable material adalah bahan yang memegang peranan utama dalam proses pemekaran produk. Bahan baku yang paling banyak digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka (Wiriano, 1984).

Bahan Baku Kerupuk

Lavlinesia (1995) menyatakan bahwa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kerupuk dibagi atas dua kelompok, yaitu bahan baku utama dan bahan baku tambahan. Bahan baku utama adalah bahan yang digunakan dalam jumlah yang besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan baku lain, seperti tepung tapioka atau tepung sagu. Bahan baku tambahan adalah bahan baku penolong dan bahan baku penambah cita rasa, seperti tepung ikan, udang ataupun tepung tulang rawan.

Tepung Tapioka

Tepung tapioka adalah hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan pengeringan. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari pati. Pati merupakan senyawa yang tidak memiliki rasa dan bau (bland flavour) sehingga modifikasi rasa pada tepung tapioka mudah dilakukan. Ukuran granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron (Muchtadi et al., 1988).

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan protein serta sedikit lemak yang disebut material antara (intermediate). Umumnya pati mengandung 15-30% amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% material antara (Muchtadi et al., 1988). Amilosa dan amilopektin dapat dipisahkan dengan air panas dibawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut disebut amilosa sedangkan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1997). Kandungan amilopektin berpegaruh terhadap daya kembang kerupuk saat digoreng.

Air

Jumlah air yang digunakan dalam adonan kerupuk akan mempengaruhi tingkat elastisitas adonan kerupuk, penyerapan minyak dan kerenyahan produk akhir. Bila jumlah air kurang, tidak terjadi gelatinisasi sempurna selama pengukusan sehingga kerupuk tidak dapat mengembang dengan baik. Apabila air yang digunakan berlebih, adonan menjadi lembek sehingga adonan sulit dibentuk dan kerupuk sulit

(17)

5 diiris (Mohammed et al., 1988). Perbandingan air dan tepung untuk mendapatkan adonan yang baik adalah 1:3 (Lavlinesia, 1995).

Bahan Pengembang

Pengembang adonan dapat berasal dari uap air, udara dan gas CO2, tetapi

yang utama adalah pengembang CO2 yang berasal dari pereaksi kimia atau hasil

fermentasi mikroorganisme. Menurut Lavlinesia (1995), pereaksi kimia yang umum digunakan merupakan kumpulan garam anorganik yang ditambahkan ke dalam bahan pangan atau gabungan dengan pereaksi lainnya.

Soda kue atau Natrium bikarbonat (NaHCO3), amoniak powder atau

ammonium bikarbonat (NH4HCO3) dan natrium tetrabonat (Na2B4O710H2O) sering

digunakan dalam pembuatan kerupuk karena senyawa ini temasuk senyawa pengembang tekstur yang prinsip kerjanya adalah menghasilkan CO2, sehingga

diperoleh produk yang mekar (Wiriano, 1984).

Bumbu-bumbu

Bumbu atau rempah-rempah adalah bahan yang biasa dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberikan flavor dan dapat membangkitkan selera makan. Penambahan bumbu dalam suatu bahan pangan akan dapat meningkatkan cita rasa makanan tersebut (Somaatmadja, 1995).

Garam. Garam sangat penting dalam pembuatan kerupuk terutama sebagai

penambah cita rasa dan mempertahankan struktur adonan. Menurut Wiriano (1984), banyaknya garam yang ditambahkan dalam pembuatan kerupuk biasanya 2,5-3%. Pemakaian garam yang berlebih menyebabkan warna kerupuk yang lebih tua dan mempunyai tekstur kasar. Menurut Soeparno (1994) garam pada konsentrasi tertentu, selain berfungsi sebagai penambah cita rasa juga sebagai pengawet pada bahan pangan.

Bawang Putih. Bawang Putih (Allium sativum L) digunakan dalam pembuatan

adonan kerupuk sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung Scordinin, senyawa kompleks thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1992)

Gula. Gula dalam adonan kerupuk berperan penting, meskipun dalam jumlah kecil.

(18)

6 berlebihan menyebabkan makin sedikit air yang dapat diserap oleh tepung di dalam adonan, sehingga memperpanjang waktu pengadukan. Selain itu pengembangan kerupuk pada waktu digoreng berkurang (Wiriano, 1984).

Proses Pembuatan Kerupuk

Menurut Binawan (1993), pembuatan kerupuk meliputi empat tahap proses, yakni pembuatan adonan, pengukusan, pengeringan dan penggorengan.

Pembuatan Adonan

Faktor penting dalam pembuatan adonan adalah homogenitas adonan, karena sifat ini akan mempengaruhi keragaman produk akhir yang dihasilkan, baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik (Binawan, 1993). Menurut Wiriano (1984), pembuatan adonan dapat dilakukan melalui proses panas atau proses dingin. Proses panas adalah cara mencampur bahan baku utama dan bahan tambahan dalam air yang telah dipanaskan. Larutan panas yang terbentuk digunakan sebagai biang untuk membuat adonan kerupuk. Proses dingin adalah mencampur bahan utama dan bahan tambahan dalam keadaan dingin tanpa dipanaskan, dihomogenkan dengan tangan sampai dihasilkan adonan yang liat dan homogen. Setelah adonan terbentuk, selanjutnya dicetak kemudian dimasak dengan cara dikukus.

Pengukusan

Pengukusan merupakan tahap penting dalam pembuatan kerupuk karena pada tahap ini terjadi proses gelatinisasi pati, yang berkaitan erat dengan pengembangan kerupuk saat digoreng. Pengukusan sering diartikan sebagai pemasakan yang dilakukan melalui media uap panas. Lama pengukusan tergantung pada bentuk adonan yang dicetak. Menurut Elyawati (1997), lama pengukusan sekitar 25 menit dengan suhu 100-110oC. Adonan kerupuk yang dikukus dianggap cukup matang bila adonan tidak melekat pada lidi atau pisau yang ditusukkan pada adonan. Pengukusan yang terlalu lama akan menyebabkan air terikat oleh gel pati terlalu banyak sehingga proses pengeringan dan penggorengan tidak sempurna. Jika adonan yang dikukus setengah matang akan mengakibatkan pati tidak tergelatinisasi secara sempurna dan akan menghambat pengembangan kerupuk (Elyawati, 1997).

Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang terjadi pada pengukusan adonan pada waktu pembuatan kerupuk yang mempengaruhi daya

(19)

7 kembang kerupuk. Dengan proses gelatinisasi ini akan terbentuk struktur yang elastis yang dapat mengembang pada tahap penggorengan. Menurut Wiriano et al., (1984), pati yang tergelatinisasi dengan baik menghasilkan volume pangembangan kerupuk yang baik.

Proses pengukusan dapat menyebabkan perubahan membran sitoplasmik jaringan bahan pangan sehingga air terikat dan komponen-komponen larut air akan diuapkan dari jaringan tersebut. Hal ini akan menyebabkan kadar air awal bahan pangan sebelum dikeringkan menjadi rendah (Fellows, 1992).

Adonan yang telah dikukus didinginkan dan didiamkan dua malam agar menjadi kaku (Wiriano, 1984). Pada saat didinginkan akan terjadi retrogradasi atau pengkristalan amilosa dalam adonan (Winarno, 1997). Proses tersebut akan mempermudah pengirisan adonan. Pengirisan dapat dilakukan karena sifat adonan yang padat dan keras namun elastis. Tujuan proses ini adalah untuk memperoleh lempengan tipis dengan ketebalan sekitar 2-3 mm, sehingga mudah dikeringkan dan apabila digoreng akan diperoleh produk yang kering mengembang dan renyah (Supartono et al., 2000)

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sebagian air melalui penggunaan energi panas. Pengurangan kadar air menyebabkan kandungan senyawa-senyawa bahan pangan seperti protein, kabohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang (Winarno, 1993).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume yang lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang dalam penyimpanan dan distribusi. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial dryer) dengan menggunakan mesin atau penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan buatan mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur, sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan kebersihannya dapat diawasi (Winarno, 1993). Pengeringan pada pembuatan kerupuk menggunakan oven akan lebih mudah dalam penanganannya. Kadar air yang diharapkan setelah pengeringan adalah adalah 9%.

(20)

8

Penggorengan

Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan dengan menggunakan lemak atau minyak pangan. Secara komersial bahan pangan yang digoreng atau fried food digoreng menggunakan deep frying. Proses penggorengan menggunakan deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak mencapai 200oC-205oC (Ketaren, 1986). Menurut Lavlinesia (1995), penggorengan kerupuk bertujuan untuk memanaskan kerupuk kering sehingga molekul air yang masih terikat pada struktur kerupuk menguap dan menghasilkan tekanan uap yang mengembangkan struktur kerupuk.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya kembang kerupuk adalah: (1). sumber pati yang digunakan, (2). kandungan dan jenis protein, (3). kadar air (4). suhu penggorengan, (5). penggunaan bahan pengembang, dan faktor lain seperti proses pengadonan dan adanya bahan tambahan lain yang mengandung gugus hidroksil dan lemak (Zulviani, 1992).

Tulang Rawan Ayam

Tulang rawan merupakan jaringan ikat yang berfungsi sebagai penunjang yang mempunyai glikogen dan lipid serta memiliki inti. Selain itu juga dilengkapi oleh matrik yang mempunyai jalinan serabut kolagen elastik. Tulang rawan dibagi menjadi tiga berdasarkan struktur serabut dan bahan dasarnya yaitu tulang rawan hialin, tulang rawan elastik dan tulang rawan fibrosa (Hartono, 1989). Menurut Hardianto (2002), jenis tulang rawan yang dapat diolah menjadi tepung tulang rawan adalah tulang rawan hialin, misalnya terdapat pada persendian kaki ayam.

Tulang rawan adalah hasil ikutan ternak yang dianggap kurang berharga dan dianggap limbah bagi industri hasil ternak. Pada bagian ujung tulang terdapat bagian tulang rawan (Dellman dan Brown, 1989). Kandungan nutrisi dari tulang rawan ayam pedaging yang mengalami proses penepungan berdasarkan penelitian Hardianto (2002) dapat dilihat pada Tabel 2.

(21)

9 Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging

Kandungan Gizi Persentase

---(%)---

Kadar Air 8,48

Kadar Karbohidrat 13,89

Kadar Protein Kasar 71,93

Kadar Lemak 3,45

Kadar Abu 10,73

Sumber : Hardianto (2002)

Kalsium merupakan komponen gizi yang penting bagi tubuh manusia terutama anak-anak, wanita hamil dan wanita menyusui. Kalsium diperlukan untuk pertumbuhan tulang dan gigi, membantu kontraksi dan relaksasi otot, membantu penyerapan dan pengikatan asam amino (Muchtadi et al., 1993), membantu proses pembekuan darah, serta menjaga fungsi normal otot dan syaraf (Gaman dan Sherrington, 1992).

Selain kalsium, tulang rawan juga mengandung zat esensial lain yaitu fosfor. Fosfor merupakan salah satu mineral penting yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kekurangan kalsium, fosfor dan vitamin D dapat menyebabkan penyakit Ricket yang menyebabkan ketidaknormalan pada tulang, yang umumnya menyerang manusia pada usia anak-anak (Encarta.msn.com). Menurut Belitz dan Grosch (1987), jumlah total fosfor didalam tubuh sekitar 700 g. Kebutuhan harian akan fosfor sekitar 0,8-1,2 g. Rasio Ca/P pada makanan harus sekitar satu. Belakangan diketahui pula bahwa rasio Ca-P yang seimbang, yaitu 2 : 1, dapat memelihara fungsi otot polos dan otot lurik, terutama dalam regulasi kontraksi dan relaksasi, serta sangat berpengaruh terhadap densitas tulang (www.depdiknas.go.id). Fosfor dalam bentuk fosfat baik bebas maupun terikat sebagai ester atau dalam bentuk anhidrid berperan penting dalam proses metabolisme dan merupakan salah satu nutrien penting bagi tubuh. Ketidakseimbangan rasio Ca/P dapat mengganggu kestabilan metabolisme tubuh.

(22)

10

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Materi Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung tapioka, terigu, tepung tulang rawan ayam, garam dapur, bawang putih, gula, minyak goreng, dan air. Bahan untuk analisa meliputi HCl, Amoniak, Molibdat, Asam Sulfat dan KMnO4.

Alat yang digunakan adalah panci pengukus, oven, pisau, baskom, loyang, alat pemotong kerupuk (cutter), penggaris, refrigerator, plastik pembungkus, kertas label, penggorengan, stopwatch, digital caliper, gelas ukur, manik-manik, neraca analitik, dan thermometer.

Rancangan Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah penyimpanan adonan kerupuk pada suhu yang berbeda, yaitu pada suhu ruang dan suhu refrigerator setelah proses pengukusan serta pendiaman pada suhu kamar sebelum digoreng untuk hari yang berbeda yaitu selama 0, 1, 2 dan 3 hari, setelah proses pengeringan dalam oven.

Model

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2x4, dengan faktor pertama adalah suhu penyimpanan dan faktor kedua adalah lamanya hari pendiaman pada suhu kamar, dengan tiga ulangan.

Model matematika dari rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut:

Yijk = µµµµ + ααααi + ββββj + ααααββββij + εεεεij(k)

Keterangan:

(23)

11

µµµµ = Rataan Umum

ααααi = Pengaruh faktor A ke-i

ββββj = Pengaruh faktor B ke-j

ααααββββij = Pengaruh interaksi faktor A ke-i dengan faktor B ke-j

εεεεij(k) = Galat percobaan dari faktor A ke-i dengan faktor B ke-j, dan ulangan ke-k Analisis Data

Pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati akan dianalisa menggunakan analisa ragam (Anova) dan apabila hasilnya berbeda, akan dilakukan uji berganda Duncan (Hanafiah, 2001). Peubah yang dianalisa menggunakan Anova meliputi kadar air kerupuk, volume pengembangan, dan penilaian organoleptik.

Peubah

Hal lain yang diamati dalam penelitian ini adalah rendemen yang dilakukan pada setiap tahap produksi, kadar air kerupuk mentah kering, volume pengembangan, kadar kalsium dan fosfor dan pengujian organoleptik terhadap kerupuk goreng.

Rendemen

Rendemen dihitung pada setiap tahapan pembuatan kerupuk, yaitu tahap pencampuran adonan, pengukusan, pendiaman, pengirisan, dan pengeringan. Besarnya rendemen dihitung berdasarkan persentase berat produk yang dihasilkan terhadap berat awal bahan yang digunakan.

rendemen  a

b x 100%

Keterangan:

a = berat produk yang dihasilkan (g) b = berat awal bahan (g)

Volume Pengembangan Kerupuk (Zulviani, 1992)

Pengukuran dilakukan terhadap kerupuk mentah kering dan kerupuk yang telah digoreng. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan gelas piala berisi manik-manik., kemudian dihitung pengembangan volumenya berdasarkan rumus berikut:

Volume Pengembangan %  Vg

(24)

12 Keterangan:

Vg = Volume kerupuk goreng Vm = Volume kerupuk mentah

Kadar Air (AOAC, 1995)

Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan porselin yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu kira-kira 1 jam pada suhu 105oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 30 menit, ditimbang hingga beratnya tetap. Sebanyak 1-2 gram contoh yang telah dihaluskan ditimbang dalam cawan, dimana beratnya telah diketahui terlebih dahulu. Wadah dan isinya dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 sampai 5 jam hingga diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:

Kadar Air %  kadar air yang menguap g

berat awal contoh g x 100%

Kadar Protein (AOAC, 1995)

Kadar protein diukur dengan menggunakan metode Kjehdahl (AOAC, 1984). Sampel sebanyak 0,3 g (X) dimasukkan ke dalam labu Kjehdahl, kemudian ditambahkan katalis dan H2SO4 pekat 25 ml. Campuran dipanaskan di atas bunsen,

kemudian didekstruksi hingga jernih dan berwarna hijau kekuningan. Labu dekstruksi didinginkan dan larutan dimasukkan dalam labu penyulingan serta diencerkan dengan 300 ml air yang bebas N, kemudian ditambah batu didih dan NaOH 33%. Labu penyuling dipasang dengan sangat cepat pada alat penyuling hingga 2/3 cairan dalam labu penyuling menguap dan ditangkap oleh larutan H2SO4

berindikator dalam labu Erlenmeyer. Kelebihan H2SO4 dalam labu Erlenmeyer dititar

dengan NaOH 0,3 N (Z ml) sampai terjadi perubahan warna menjadi biru kehijauan lalu dibandingkan dengan titar blanko (Y ml). Kadar protein dihitung melalui persamaan :

(Y-Z) x 0,014 x titar NaOH x 6,25

Kadar protein kasar = x 100%

(25)

13

Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sebanyak lima gram sampel kerupuk ditempatkan di dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Sampel mula-mula dipanaskan dengan menggunakan hot plate, sampai semua sampel menjadi arang. Cawan serta sampel kemudian dipijarkan pada suhu 600oC selama 4-5 jam dalam tanur sampai seluruh sampel menjadi abu yang berwarna putih. Cawan contoh didinginkan dalam desikator sampai diperoleh berat tetap. Kadar abu dihitung dengan rumus:

Kadar Abu %  berat abu g

berat awal contoh g x 100%

Kadar Lemak (Winarno, 1997)

Kadar lemak ditentukan dengan metode Soxhlet (AOAC, 1984). Labu yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sebanyak 5 gram kerupuk dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat kondenser diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Pelarut lemak didestilasi dan ditampung kembali. Abu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ºC hingga beratnya konstan, dan didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung melalui persamaan :

Berat lemak (g)

Kadar lemak (% BB) = x 100%

Berat sampel (g)

Kadar Kalsium (AOAC, 1995)

Lima gram sampel yang telah diabukan ditambah dengan 5 ml HCl pekat dan didestruksi sampai kering, kemudian diencerkan dengan aquades dan ditempatkan dalam labu ukuran 250 ml. larutan filtrat sebanyak 25 ml dipipet dan ditempatkan dalam gelas piala ukuran 400 ml, kemudian diendapkan dengan 100 ml chapman, disimpan diatas penangas air dan dibubuhi amoniak pekat sampai terbentuk warna biru. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no 41, dicuci dengan air bersih. Endapan dan kertas saring dimasukkan ke dalam gelas piala yang semula, kemudian dibubuhi dengan 25 ml asam sulfat 4 N, diencerkan dengan air suling hingga mencapai 200 ml. larutan dipanaskan pada suhu 70oC dan dititar dengan cepat oleh KMnO4 yang telah diketahui titernya sampai berwarna merah

(26)

14 jambu. Blanko ditetapkan dengan pengerjaan yang sama tanpa menggunakan contoh, HCl 0,1 N dianggap sebagai contoh. Kadar kalsium dihitung dengan rumus:

Kadar Kalsium %  fp ml penitar- ml blanko x N x 20

mg contoh x 100%

Keterangan:

Fp = Faktor pengenceran 20 = bobot setara Ca

N = Normalitas larutan KMnO4 Kadar Fosfor (AOAC 1995)

Sampel hasil pengabuan kering ditambahkan dengan 10 ml HCl 5M lalu didinginkan. Larutan kemudian disaring menggunakan kertas saring no. 1 dan filtrat dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml. Cawan dibilas dengan akuades dan air bilasan dimasukkan kedalam labu takar. Air endapan dicuci dengan 20 ml air sebanyak dua kali, lalu filtrat diencerkan sampai dengan tanda tera. Selanjutnya 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan 20 ml akuades dan 12,5 ml pereaksi vanadat-molibdat. Larutan diencerkan dengan akuades sampai dengan tanda tera, setelah itu didiamkan dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 400 nm. Catat konsentrasi fosfor dari kurva standar berdasarkan absorbansi yang terbaca.

% Fosfor dalam Sampel P2O5  C x pengenceran

W x 100%

C = konsentrasi fosfor yang terbaca dari kurva standar W = berat sampel yang digunakan

Uji Organoleptik (Rahayu, 1998)

Penilaian organoleptik yang digunakan adalah uji skoring untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, kerenyahan, tekstur dan penampakan umum kerupuk. Panelis agak terlatih yang digunakan berjumlah 15-25 orang. Panelis dimintai tanggapan pribadinya terhadap kriteria-kriteria yang diinginkan, dengan cara memberikan skala numerik antara 1-6. Angka 1 (sangat baik), 2 (baik), 3 (agak baik), 4 (agak tidak baik), 5 (tidak baik) dan angka 6 (sangat tidak baik).

(27)

15

Prosedur

Tahapan penelitian diawali dengan proses pembuatan kerupuk dengan menggunakan metode seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Pencampuran bahan (tanpa air) Air Panas + 80oC (1400 ml)

Adonan Kerupuk Pencetakan Pengukusan + 120 menit

Adonan Matang Pendiaman dan Pendinginan

Gambar 1. Skema Pembuatan Kerupuk Tulang Rawan Ayam

Tepung tapioka (2000 g), terigu (150 g), tepung tulang rawan (200 g), garam (50 g), telur (1 butir), bawang putih

(50 g), merica (2 sdt), dan baking powder (2 sdt)

Suhu Refrigerator (15oC), 15 jam Suhu Ruang (29oC), 15 jam

Pengirisan cetakan, 1-1,5 mm Pengirisan cetakan, 1-1,5 mm

Pengeringan dalam oven 55oC, 18 jam

Pengeringan dalam oven 55oC, 18 jam

Pendiaman pada suhu ruang selama 0, 1, 2 dan 3 hari

Pendiaman pada suhu ruang selama 0, 1, 2 dan 3 hari

Penggorengan Penggorengan

Kerupuk tulang rawan ayam Kerupuk tulang rawan ayam

(28)

16 Tahapan pembuatan kerupuk diawali dengan pengayakan bahan-bahan utama dengan tujuan untuk menghindarkan produk dari cemaran berbahaya, dan untuk lebih memudahkan proses homogenisasi adonan. Seluruh bahan dan bumbu dicampurkan dalam bentuk telah dihaluskan. Pencampuran adonan diawali dengan pencampuran tanpa air dengan tujuan untuk menghomogenisasikan semua bahan. Pembuatan kerupuk dilkukan dengan proses panas. Bahan-bahan dicampur dengan menggunakan air panas secara bertahap sampai adonan yang dibuat menjadi kalis.

Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan. Adonan dicetak dalam loyang-loyang yang telah dilumuri minyak goreng untuk mencegah penempelan adonan pada cetakan. Setelah itu dilakukan pengukusan adonan selama kira-kira 120 menit, atau sampai adonan yang dikukus matang secara keseluruhan.

Adonan yang telah matang, didiamkan dan didinginkan pada dua suhu yang berbeda, yaitu suhu refrigerator (15oC) dan suhu ruang (29oC) selama 15 jam.

Setelah dingin, dilakukan pengirisan adonan dalam lembaran-lembaran tipis 1-1,5 mm. Adonan yang telah diiris tipis kemudian dikeringkan menggunakan oven,

pada suhu 55oC selama 18 jam. Kerupuk mentah kering mendapatkan perlakuan pendiaman pada suhu ruang selama 0, 1, 2, dan 3 hari sebelum digoreng.

(29)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada setiap tahapan produksi, sampai dengan proses pengeringan kerupuk yang menghasilkan kerupuk mentah kering.

Pembuatan Adonan Kerupuk

Pembuatan adonan kerupuk diawali dengan proses pengayakan bahan-bahan utama yang digunakan seperti tepung tapioka dan tepung terigu serta tepung tulang rawan. Proses ini cukup penting dilakukan untuk menghindarkan kontaminan tercampur dalam bahan-bahan pembuat adonan kerupuk, juga untuk mencegah adanya granula tepung yang berbentuk butiran-butiran besar. Artinya proses penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan butian-butiran tepung dalam butiran halus, agar proses pengadonan dapat dilakukan lebih sempurna. Butiran tepung yang halus dapat meningkatkan homogenitas adonan, karena menurut Binawan (1993) homogenitas adonan adalah faktor penting dalam proses pembuatan adonan karena sifat ini akan mempengaruhi keragaman produk akhir yang dihasilkan, baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik. Selama proses pengayakan terhadap tepung tapioka dan tepung terigu, tidak ditemukan kontaminan berbahaya kecuali beberapa butir batuan halus dan beberapa lembar rambut. Gumpalan-gumpalan besar juga tidak banyak terjadi pada kedua jenis tepung, karena kedua jenis tepung masih dalam kualitas yang baik saat dibeli. Pengayakan tepung tulang rawan menghasilkan dua macam tepung yaitu tepung tulang rawan halus dan tepung tulang rawan kasar dengan perbandingan sekitar 3:1. Tepung tulang rawan yang digunakan dalam membuat adonan kerupuk adalah tepung tulang rawan halus, untuk menghindarkan tekstur yang kasar pada kerupuk mentah kering dan kerupuk goreng.

Pembuatan adonan kerupuk tulang rawan menggunakan proses panas, yaitu menggunakan air yang telah dipanaskan dalam mencampur semua bahan adonannya. Suhu air yang digunakan adalah 65-85oC. Air dicampurkan sedikit demi sedikit pada bahan adonan dengan terus diaduk agar adonan menjadi homogen. Air terus dicampurkan sampai adonan menjadi liat (kalis) dan homogen yang ditandai dengan tidak adanya adonan yang menempel di baskom tempat pembuatan adonan, serta adonan telah menjadi satu kesatuan. Menurut Anonim (2008), tanda yang lain dari

(30)

18 adonan yang telah kalis adalah saat diaduk dengan tangan, adonan sudah tidak lengket di tangan maupun di wadah atau alasnya. Proses pengadonan sekitar 2500 gram adonan kerupuk tulang rawan ayam membutuhkan waktu sekitar 20-25 menit, sampai adonan menjadi kalis, dan air yang digunakan untuk membuat adonan belum terlalu dingin.

Proses yang dilakukan selanjutnya adalah pencetakan adonan pada loyang yang sebelumnya telah diolesi dengan minyak goreng untuk mencegah adonan menempel pada loyang. Selanjutnya adonan siap untuk dikukus.

Pengukusan, Pendinginan dan Pengirisan

Pengukusan adonan merupakan tahapan penting dalam pembuatan kerupuk karena pada tahapan ini terjadi proses gelatinisasi pati. Lamanya proses pengukusan sangat tergantung dengan volume adonan yang dicetak. Pengukusan yang dilakukan pada adonan kerupuk tulang rawan dalam dua loyang sedang ukuran 25x9x5 cm dengan berat adonan sekitar 1200-1300 gram, dan satu loyang besar ukuran 29x10,5x5 cm dengan berat adonan sekitar 1600-1700 gram membutuhkan waktu sekitar 120 menit pada suhu 100-110oC. Waktu pengukusan dihitung setelah adonan dimasukkan pada panci yang airnya telah mendidih. Lamanya waktu ini berbeda dengan lamanya waktu pada penelitian-penelitian sebelumnya, karena perbedaan bahan utama, jumlah adonan yang dikukus, serta besarnya cetakan yang digunakan.

Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang terjadi pada pengukusan adonan pada waktu pembuatan kerupuk yang mempengaruhi daya kembang kerupuk. Pembengkakan ini jelas terlihat setelah adonan diangkat dari panci pengukus, yang ditandai dengan adanya penambahan volume adonan terutama pada bagian permukaannya, serta adanya penambahan berat adonan setelah dikukus. Perbedaan adonan sebelum dan setelah dikukus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perbedaan Adonan Kerupuk. (a). Adonan Kerupuk Sebelum Dikukus. (b). Adonan Kerupuk Setelah Dikukus

(31)

19 Selain ditunjukkan oleh perubahan volume adonan, indikasi adanya pembengkakan adonan selama pengukusan dapat dilihat dari bertambahnya berat adonan setelah dikukus. Penambahan berat ini disebabkan oleh adanya penyerapan air ke dalam adonan. Penambahan berat bervariasi antara 2,58-3,64%, namun berat ini akan kembali menurun setelah proses pendinginan, karena air yang terserap ke dalam adonan tidak diikat oleh adonan. Air yang terikat dalam adonan sudah berada pada titik optimal saat proses pengadonan, sehingga air yang masuk saat pengukusan akan kembali menguap seiring dengan menurunnya suhu adonan. Hal ini menyebabkan berat adonan akan kembali keberat semula, yaitu berat adonan sebelum dikukus. Penambahan berat adonan kerupuk setelah proses pengukusan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penambahan Berat Adonan Setelah Proses Pengukusan

Perlakuan Berat Adonan Penambahan

Berat

Mentah Kukus

---g--- ---%---

Suhu refrigerator 3480 3960 13,8

Suhu ruang 3786,67 3910 3,25

Adonan yang telah dikukus kemudian didinginkan dan didiamkan agar menjadi kaku. Proses ini dilakukan pada dua suhu yang berbeda, yaitu suhu refrigerator (15oC) dan suhu ruang (29oC) selama 15 jam. Peristiwa yang terjadi pada saat proses pendiaman dan pendinginan adalah retrogradasi atau pengkristalan amilosa dalam adonan (Winarno, 1997). Proses tersebut akan mempermudah proses pengirisan adonan menjadi lembaran-lembaran tipis, karena sifat adonan yang padat dan keras namun elastis. Wianecki dan Kołakowski (2007) menjelaskan bahwa molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan membentuk gel yang bersifat sangat elastis. Setelah proses pendiaman selama 15 jam yang dilakukan pada suhu yang berbeda tersebut, adonan yang disimpan pada suhu refrigerator (15oC) menunjukkan sifat lebih baik dibandingkan dengan adonan yang disimpan pada suhu ruang. Adonan lebih mudah untuk diiris sehingga menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi karena irisan utuh yang didapatkan lebih banyak. Hal ini diduga karena proses kristalisasi amilosa lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih rendah,

(32)

20 yaitu suhu refrigerator. Proses pengirisan dilakukan dengan menggunakan alat potong manual yang bekerja dengan memutar tuas yang pada salah satu sisinya terdapat pisau pengiris. Salah satu kelemahan yang terdapat dalam alat yang tersedia adalah adanya jarak yang terlalu lebar antara landasan tempat meletakkan bahan dengan pisau pengiris. Jarak ini menyebabkan pengirisan tidak berjalan dengan sempurna, karena bagian bawah adonan tidak tertahan oleh landasan secara keseluruhan. Data berat adonan setelah pengirisan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Berat Adonan Kerupuk Setelah Proses Pengirisan

Perlakuan

Berat Adonan

dingin

Kerupuk Iris Kerupuk kering

utuh sisa jumlah Utuh* sisa jumlah ---g---

Refrigerator 3863,33 2400 1410 3810 1440 893,33 2333,33 Ruang 3810 2346,67 1406,67 3753,33 1410 923,33 2333,33 *Utuh = bentuk potongan sesuai dengan bentuk persegi yang diinginkan

Akibat tidak teriris secara sempurna, proses pengirisan bagian bawah adonan akan menghasilkan remah-remah halus sisa pengirisan. Selain itu, inefisiensi alat juga disebabkan landasan tempat menaruh bahan yang akan diiris dibuat permanen dan tidak bisa menyesuaikan bentuk adonan yang akan diiris. Bentuk ini mengharuskan adanya penyesuaian bahan yang akan diiris terhadap bentuk landasan, sehingga banyak bagian adonan yang harus dikurangi. Proses pengirisan adonan kerupuk, alat pengiris, serta adanya remah halus saat pengirisan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses selanjutnya dari produksi kerupuk adalah pengeringan lembaran kerupuk.

(33)

21 ---%---

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suau bahan dengan cara menguapkan sebagian air melalui penggunaan energi panas (Winarno, 1993). Kerupuk tulang rawan yang dibuat, dikeringkan dengan menggunakan pengering buatan (oven), agar konsistensi suhu pengeringan serta kebersihan bahan selama proses pengeringan tersebut dapat terjaga. Konsistensi suhu akan menyeragamkan hasil pengeringan yang didapatkan. Suhu yang digunakan selama proses pengeringan adalah 55oC selama 18 jam. Setelah mengalami proses pengeringan, hasil lembaran kerupuk kering akan mempunyai kadar air sekitar 6-7%.

Kerupuk saat pertama kali dikeluarkan dari oven, cenderung mempunyai sifat yang keras lebih sulit untuk dipatahkan, karena kadar airnya yang sangat rendah, yang mengakibatkan ikatan antar bahan kerupuk tersebut lebih kuat. Setelah beberapa waktu dikeluarkan dari oven dan ditempatkan pada tempat terbuka, kadar air kerupuk akan meningkat, karena kerupuk mentah menyerap uap air dari lingkungannya. Perbedaan tekanan antara oven dan ruangan terbuka saat kerupuk dikeluarkan yang terjadi secara tiba-tiba menyebabkan retakan halus pada kerupuk mentah. Peningkatan kadar air kerupuk mentah kering selama disimpan di ruang terbuka dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisa Kadar Air Kerupuk yang Mendapatkan Perlakuan Penyimpanan pada Hari yang Berbeda

Perlakuan Kadar Air Selama Penyimpanan

0 hari 1 hari 2 hari 3 hari

Suhu Refrigerator 7,64 10,16 7,66 10,83

Suhu Ruang 8,05 9,51 7,21 10,24

Indikasi adanya penyerapan uap air dari lingkungan oleh kerupuk kering pada saat penyimpanan pada suhu ruang bisa terlihat dengan semakin bertambahnya berat kerupuk tersebut saat semakin lama disimpan. Dari sampel yang ditimbang untuk mengetahui kemungkinan pertambahan berat ini menunjukkan bahwa semakin hari berat sampel mengalami penambahan berat. Persentase kenaikan berat ini menurun dari hari ke hari, karena kadar air kerupuk sudah hampir menuju titik kesetimbangan,

(34)

22 sehingga kadar airnya menjadi konstan. Penambahan berat sampel kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Berat Kerupuk Mentah Selama Penyimpanan

Perlakuan Berat Kerupuk

0 hari 1 hari 2 hari 3 hari ---g---

Suhu refrigerator 51,59 52,21 52,49 52,79

Suhu ruang 51,56 51,87 52,19 52,43

Berdasarkan hasil uji proksimat terhadap kerupuk tulang rawan ayam mentah setelah pendiaman hari ketiga, diketahui bahwa kadar air kerupuk kering mentah adalah sekitar 10,24-10,83%, dimana persentase lebih tinggi ditunjukkan oleh kerupuk yang didiamkan pada suhu refrigerator. Hasil lengkap uji proksimat kerupuk tulang rawan mentah dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Pengujian Proksimat Kerupuk Tulang Rawan Ayam Setelah Pendiaman Hari ke-3

Analisa Suhu Refrigerator Suhu Ruang SNI

--- % ---

Kadar Air 10,83 10,24 Maksimal 11

Kadar Abu 1,45 1,67 Maksimal 1*

Protein 3,39 3,00 Minimal 6

Lemak 0,75 0,68 Maksimal 0,5

Karbohidrat 85,36 84,40 -

*Kadar abu yang diukur adalah kadar abu tanpa garam

Rata-rata nilai persentase peubah yang diuji mempunyai nilai yang lebih rendah daripada syarat mutu kerupuk berbahan dasar ikan, kecuali kadar abu dan kadar lemak. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahan dasar yang digunakan. Kadar abu yang diukur pada kerupuk tulang rawan ayam menunjukkan nilai yang lebih tinggi (1,45-1,67%) karena dalam SNI 01-2713-1999 yang diukur adalah kadar abu tanpa garam. Nilai kadar lemak yang lebih tinggi disebabkan oleh masih tingginya kadar lemak tulang rawan yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kerupuk tulang rawan ayam ini.

(35)

23

Rendemen

Rendemen adalah persentase berat produk yang dihasilkan terhadap berat awal produk. Rendemen pada penelitian ini dihitung di setiap tahapan produksi (sampai dihasilkan kerupuk mentah kering). Rekapitulasi rendemen dari tiap tahapan produksi dengan perlakuan suhu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8. Umumnya rendemen tiap tahapan mulai dari tahapan adonan sampai dengan tahapan pemotongan, bahan kerupuk tidak mengalami perubahan berat yang signifikan. Potensi pengurangan berat dapat terjadi pada saat pembuatan adonan, karena proses yang dilakukan menggunakan tenaga yang cukup besar disertai dengan pembolak-balikan adonan yang memungkinkan ada bagian adonan yang tercecer keluar. Tahapan lain yang berpotensi terjadi pengurangan adalah tahapan pemotongan. Sebelum tahapan pemotongan dilakukan, adonan yang telah tercetak dalam loyang-loyang tersebut harus disesuaikan ukurannya dengan ukuran pemotong. Disini titik inefisiensi bisa terjadi, sehingga kerupuk utuh yang dihasilkan akan sangat jauh berkurang. Disamping itu, alat pemotong yang digunakan memiliki kelemahan, selain karena masih digerakkan secara manual (tenaga manusia), juga terdapatnya celah yang terlalu lebar antara pisau dan tempat meletakkan bahan yang akan dipotong. Celah ini menyebabkan bahan tidak teriris secara sempurna, dan ada beberapa bagian –terutama bagian bawah adonan- yang tidak terpotong, sehingga menghasilkan sisa potongan dan remah-remah halus yang akan mengurangi rendemen kerupuk utuh yang dihasilkan.

Rendemen kerupuk utuh yang dihasilkan dibandingkan dengan bahan awal berkisar antara 35-37%. Jumlah ini bukan jumlah sebenarnya dari rendemen yang dihasilkan, karena masih didapatkan hasil yang lain, yaitu kerupuk dalam bentuk yang lebih kecil, sisa potongan, dan remah-remah, yang secara komersial tidak dapat disamakan dengan hasil kerupuk utuh. Jumlah ini sesungguhnya dapat ditingkatkan, jika efisiensi alat dapat dioptimalkan sehingga pengurangan adonan saat dipotong dapat diminimalkan. Bila upaya ini dapat dilakukan, rendemen kerupuk utuh dapat ditingkatkan menjadi sekitar 60%.

(36)

24 Tabel 8. Rendemen Tiap Tahapan Produksi (sampai kerupuk mentah kering)

Perlakuan Proses Rendemen terhadap proses

Adonan Kukus Dingin Potong Kering Utuh* ---%--- Suhu Refrigerator Mentah** 97,59 100,64 98,18 96,82 59,30 36,59 Adonan 103,13 100,61 99,22 60,77 37,51 Kukus 97,56 96,21 58,93 36,37 Dingin 98,62 60,40 37,28 Potong 61,25 37,80 Kering 61,71 Suhu ruang Mentah** 96,57 99,36 96,82 95,38 59,30 35,83 Adonan 102,90 100,26 98,77 61,40 37,10 Kukus 97,44 96,00 59,68 36,06 Dingin 98,52 61,24 37,01 Potong 62,17 37,57 Kering 60,43

*Utuh = bentuk potongan sesuai dengan bentuk persegi yang diinginkan **Mentah = campuran semua bahan mentah untuk pembuatan kerupuk

Penggorengan

Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan dengan menggunakan lemak atau minyak pangan. Metode penggorengan yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode deep frying yaitu metode penggorengan dimana bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak (Ketaren, 1986). Metode yang dipilih dalam proses penggorengan akan berperan penting, karena menurut Robertson (1967), proses penggorengan dipengaruhi oleh sistem dan bahan wajan penggoreng, jenis minyak goreng, dan stabilitas serta struktur bahan yang digoreng. Kerupuk digoreng sebanyak 7-10 keping setiap penggorengan, dalam 500-700 ml minyak goreng yang telah panas bersuhu antara 180-190oC. Kerupuk yang dimasukkan dalam minyak panas akan menimbulkan suara berdesis karena adanya penguapan air yang terikat dalam gel pati kerupuk mentah akibat peningkatan suhu dan dihasilkan tekanan uap yang mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan sekaligus terbentuk rongga-rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng.

(37)

25 Penguapan air dan timbulnya suara berdesis tidak otomatis membuat kerupuk menjadi mengembang. Kerupuk akan tetap berada pada ukuran semula selama beberapa saat sampai kemudian kerupuk mulai mengembang, saat ini kerupuk masih berada dalam daerah plastisasi. Kerupuk akan terus mengembang sampai penguapan air dan tekanan uap yang menyebabkan pengembangan berjalan optimal, dan akhirnya kerupuk berhenti untuk mengembang (daerah statis). Lamanya waktu pengembangan kerupuk saat digoreng dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Waktu Pengembangan Kerupuk Saat Digoreng

Lamanya kerupuk pada daerah plastisasi rata-rata sekitar empat detik, sebelum kemudian kerupuk mengembang. Kerupuk yang digoreng mengembang selama sekitar delapan detik sampai akhirnya pengembangan kerupuk berhenti. Beberapa saat setelah proses pengembangan berhenti, kerupuk siap untuk diangkat, karena walaupun waktu penggorengannya ditambah, kerupuk tidak akan lagi bertambah volumenya, bahkan dapat menyebabkan kerupuk menjadi hangus.

Kerupuk yang telah digoreng diamati volume pengembangannya, warna, kerenyahan serta kadar kalsium dan fosfornya. Rendemen diukur pada setiap tahapan proses produksi, sedangkan kadar air diukur pada kerupuk mentah kering.

(38)

26

Volume Pengembangan Kerupuk

Pengembangan kerupuk dan produk ekstrusi lainnya merupakan proses ekspansi secara tiba-tiba dari uap air dalam struktur adonan sehingga diperoleh produk yang mengembang dan porous. Menurut Tahir (1985), pengembangan kerupuk ini sangat dipengaruhi oleh kadar amilopektinnya. Semakin tinggi kadar amilopektin di dalamnya, semakin mengembang kerupuk saat digoreng. Kerupuk tulang rawan yang berbahan utama tepung tapioka berpotensi untuk mengembang sangat tinggi, karena kadar amilopektin tepung sagu lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amilopektin tepung yang lain. Menurut Tahir (1985), kadar amilopektin tepung tapioka sekitar 76,4%, lebih tinggi dibandingkan dengan tepung sagu (70,35%), dan tepung terigu (51,43%). Akan tetapi, faktor ini bukan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi proses pengembangan kerupuk. Berbagai faktor lain seperti suhu penggorengan, dan penyimpanan bahan sebelum digoreng juga memegang peranan penting dalam proses ini.

Lamanya kerupuk disimpan sebelum digoreng dapat mempengaruhi proses pengembangan dikarenakan kadar air kerupuk mentah kering yang belum stabil. Kadar air ini sangat mempengaruhi proses pengembangan, karena pengembangan kerupuk disebabkan oleh tekanan uap yang mendesak gel pati. Volume pengembangan kerupuk yang disimpan pada hari yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 9. Data volume pengembangan memperlihatkan bahwa volume pengembangan akan cenderung tetap dan belum mengembang dengan baik pada penyimpanan 0-2 hari, dan mulai mengembang pesat pada umur simpan tiga hari. Peristiwa ini disebabkan oleh kadar air yang terdapat dalam kerupuk kering yang baru dikeluarkan dari oven masih sangat rendah yaitu berkisar antara 6-7%, dimana jumlah ini masih dekat dengan batas kadar air primer (5,77%), sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguapkan kadar airnya. Penguapan yang terhambat ini juga menyebabkan kerupuk cenderung lebih cepat berwarna gelap (hangus). Penyimpanan 1-2 hari pada kerupuk kering, menimbulkan warna yang lebih cerah (putih) pada kerupuk saat digoreng, walaupun dari sisi pengembangan, kerupuk belum dapat mengembang dengan baik. Setelah kerupuk disimpan selama tiga hari, warna dan pengembangan sudah baik meskipun bentuk kerupuk cenderung kurang baik, karena retakan-retakan halus yang timbul saat penyimpanan kerupuk mentah kering hasil

(39)

27 pengeringan oven menjadi pecah pada saat kerupuk digoreng dan menimbulkan ketidakteraturan bentuk pada kerupuk goreng. Adanya retakan ini juga mengharuskan untuk berhati-hati dalam menggoreng, karena kerupuk bisa pecah saat digoreng, sehingga bentuknya menjadi tidak utuh. Kadar air kerupuk setelah disimpan selama tiga hari sekitar 10%, dimana jumlah ini merupakan jumlah optimal kadar air kerupuk mentah. Kadar air ini berada pada wilayah kadar air sekunder, yang merupakan wilayah terbaik dari pengembangan kerupuk.

Perbedaan warna dan volume pengembangan akibat penggorengan karena disimpan pada hari yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5. Terlihat bahwa semakin lama disimpan, retakan pada kerupuk setelah digoreng semakin mudah terbentuk.

Tabel 9. Volume Pengembangan Kerupuk Setelah Penyimpanan

Perlakuan Volume Pengembangan Rataan

0 hari 1 hari 2 hari 3 hari ---%---

Suhu Refrigerator 446,94 450,93 598,15 757,41 563,36a

Suhu Ruang 522,22 533,33 688,89 916,67 665,28b

Rataan 484,58A 492,13A 643,52A 837,04B

Keterangan: - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

- superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Pengujian sidik ragam terhadap volume pengembangan kerupuk menunjukkan bahwa perlakuan suhu pendiaman memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dan perlakuan penyimpanan selama hari yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01). Lamanya penyimpanan tiga hari menghasilkan volume pengembangan paling baik dibandingkan dengan lama penyimpanan yang lain. Namun, interaksi antara kedua faktor menunjukkan pengaruh yang tidak nyata, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa volume dapat dipengaruhi oleh salah satu faktor saja, baik suhu maupun penyimpanan.

(40)

28 ---%---

Gambar 5. Perbedaan Warna dan Volume Pengembangan Kerupuk Setelah Disimpan pada Lama Hari yang Berbeda

Kadar Air

Kadar air kerupuk mentah akan sangat berpengaruh terhadap volume pengembangan kerupuk saat digoreng. Kadar air yang baik untuk proses ini adalah sekitar 9-10%, dimana saat itu kerupuk berada pada wilayah kadar air sekunder (5,77-15,4%) (Tahir, 1985). Wilayah air sekunder ini adalah wilayah terbaik, dimana air dalam bahan pangan lebih mudah diuapkan saat digoreng sehingga memberikan volume pengembangan yang lebih baik, dibandingkan bahan pangan yang kadar airnya masih berada di wilayah air primer.

Kerupuk tulang rawan yang dihasilkan, setelah penyimpanan tiga hari pada ruang terbuka (29oC) mengalami peningkatan kadar air. Kadar air awal kerupuk mentah kering hasil pengeringan oven adalah sekitar 7,6-8%, sedangkan setelah disimpan selama tiga hari kadar airnya menjadi sekitar 10%. Data kadar air kerupuk mentah selama penyimpanan dapat dlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kadar Air Kerupuk Hasil Perlakuan Suhu dan Penyimpanan

Perlakuan Kadar Air Selama Penyimpanan

0 hari 1 hari 2 hari 3 hari

Suhu Refrigerator 7,64b 10,16e 7,66b 10,83f

Suhu Ruang 8,05c 9,51d 7,21a 10,24e

Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

(41)

29 Analisis ragam terhadap kadar air kerupuk mentah menunjukkan bahwa faktor suhu pendiaman dan penyimpanan kerupuk kering selama hari yang berbeda serta interaksi kedua faktor menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air kerupuk. Kombinasi perlakuan penyimpanan pada suhu refrigerator dan penyimpanan kerupuk kering selama tiga hari memberikan pengaruh terbaik terhadap kadar air kerupuk mentah kering. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kadar air akan meningkat seiring dengan lama penyimpanannya serta perlakuan suhu yang diberikan dapat menghasilkan tingkat kadar air yang berbeda terhadap kerupuk mentah kering yang dihasilkan.

Kadar Kalsium (Ca) dan Fosfor (P)

Salah satu kelebihan yang ditawarkan oleh kerupuk yang dibuat dengan menambahkan tepung tulang rawan adalah kandungan kalsium dan fosfornya. Kandungan kalsium dan fosfor kerupuk tulang rawan mentah dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kandungan Kalsium dan Fosfor Kerupuk Mentah Kering

Perlakuan Rasio Ca/P Kalsium Fosfor

---%---

Suhu Refrigerator 1,45:1 0,37 0.26

Suhu Ruang 1,84:1 0,48 0,26

Kandungan kalsium dan fosfor ini sangat penting sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan mineral, karena tidak dapat dipungkiri tubuh kita membutuhkan kedua mineral ini untuk menjaga kestabilan metabolisme, dan secara alami tubuh tidak dapat mensintesisnya sehingga membutuhkan asupan dari luar tubuh. Misalnya fosfor, dimana kebutuhan tubuh adalah 0,8-1,2 gram perhari, dengan mengkonsumsi 100 gram kerupuk tulang rawan ini sudah dapat memenuhi 25% kebutuhan tubuh akan fosfor. Rasio antara Ca/P nya pun tergolong baik, karena perbandingannya tidak lebih dari 2:1, dimana ini adalah perbandingan Ca/P yang direkomendasikan dan sesuai dengan rasio Ca/P dalam tubuh. Rasio yang terlalu tinggi akan menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme.

(42)

30

Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui respon panelis terhadap mutu warna, kerenyahan, tekstur, rasa, aroma, dan penampakan umum kerupuk tulang rawan yang sudah di goreng. Uji yang digunakan adalah uji skoring. Penilaian menggunakan skala numerik antara 1 sampai 6. Angka 1 (sangat baik), 2 (baik), 3 (agak baik), 4 (agak tidak baik), 5 (tidak baik) dan angka 6 (sangat tidak baik).

Hasil penilaian panelis terhadap parameter kerenyahan dan aroma menunjukkan perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan karena formula kerupuk tidak berbeda, sehingga aroma yang didapat sama. Rataan penilaian panelis adalah 2,75 yang berarti bahwa panelis menyatakan aroma kerupuk yang dihasilkan agak baik. Kerenyahan oleh panelis dinyatakan tidak berbeda, karena kerupuk yang disimpan nol hari dan tiga hari mempunyai mutu kerenyahan yang sama. Kerenyahan yang dihasilkan cukup baik, karena volume pengembangannya lebih dari 77% (Yu, 1991). Data hasil pengujian organoleptik dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Data Hasil Penilaian Organoleptik Kerupuk Tulang Rawan Ayam

Peubah Suhu Refrigerator Suhu Ruang

0 1 2 3 0 1 2 3 Rataan

Warna 2,68a 3,44bc 2,92ab 2,8a 3,12abc 3,6c 2,68a 2,84ab - Kerenyahantn 2,56 2,56 2,64 2,68 2,48 3 2.,48 2,44 2,61 Rasa 2,84abc 3,2c 2,4a 3bc 3bc 3,32c 2,6ab 2,92abc - Tekstur 2,48a 3,32d 2,8abc 3,12bcd 2,68ab 3,48cd 2,96abcd 2,88abcd -

Aromatn 2,76 2,84 2,6 2,92 2,68 3 2,48 2,72 2,75

Penampakan Umum

2,52a 3,92d 3,04ab 3,2bc 2,84ab 3,8cd 3,28bc 2,8ab -

Keterangan: - superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)

- tn = tidak nyata

Hasil penilaian panelis terhadap warna, tekstur, rasa dan penampakan umum kerupuk menunjukkan bahwa perlakuan memberikan perbedaan sangat nyata. Peubah warna yang dinilai berbeda sangat nyata oleh panelis, disebabkan kerupuk yang berkadar air rendah digoreng akan lebih cepat menimbulkan warna gelap, dan akan berkurang seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Panelis menilai untuk

(43)

31 kerupuk baik yang disimpan dalam suhu ruang maupun suhu refrigerator yang mempunyai umur simpan satu hari dari sisi warna dinilai berbeda dengan yang lain. Panelis memberikan penilaian paling rendah terhadap kerupuk ini, karena memiliki warna yang pucat. Panelis cenderung menilai tidak ada perbedaan antara kerupuk yang disimpan pada suhu ruang dan suhu refrigerator terhadap kriteria warna.

Penilaian panelis terhadap tekstur kerupuk menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antar sampel. Rata-rata panelis memberi penilaian lebih baik terhadap tekstur kerupuk yang berumur nol hari, baik yang disimpan pada suhu refrigerator maupun suhu ruang. Kerupuk jenis ini cenderung mempunyai tekstur lebih halus pada permukaannya, karena belum terbentuk retakan-retakan halus yang akan menimbulkan celah saat digoreng. Panelis cenderung memberikan penilaian kurang baik terhadap kerupuk yang berumur satu hari karena dari sisi tekstur kerupuk ini lebih kasar, namun pengembangannya masih kurang (bantat).

Penilaian panelis terhadap rasa menunjukkan bahwa perbedaan respon bukan dipengaruhi oleh perlakuan penyimpanan dalam suhu yang berbeda ataupun perlakuan penyimpanan. Perbedaan rasa yang ditunjukkan oleh panelis disebabkan oleh perbedaan homogenitas adonan, sehingga pencampuran bumbu-bumbu yang digunakan tidak sempurna.

Penilaian penampakan umum oleh para panelis menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Panelis menilai bahwa kerupuk yang disimpan selama satu hari menunjukkan penampakan yang kurang menarik dan ini berlaku untuk kerupuk yang mendapat perlakuan suhu ruang maupun suhu refrigerator. Secara umum kerupuk yang berumur simpan satu hari mempunyai bentuk dan tekstur dengan skor 3,32 dan 3,48 yang berarti agak kurang baik.

Tabel 13. Perbandingan Hasil Terbaik Antar Peubah

Peubah Suhu Refrigerator Suhu Ruang

Rendemen V

Volume Pengembangan V

Kadar Air V

Gambar

Tabel 1. Syarat Mutu Kerupuk Ikan SNI 01-2713-1999
Gambar 1. Skema Pembuatan Kerupuk Tulang Rawan Ayam
Tabel 3.  Penambahan Berat Adonan Setelah Proses Pengukusan
Tabel 4.  Berat Adonan Kerupuk Setelah Proses Pengirisan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.9 merupakan kondisi stabil dan tidak stabil kecepatan sudut (  ) dalam satuan rad/s, sudut rotor (  ), terhadap waktu (t), pada gangguan di titik “B” menggunakan

The other comprehensive income is then accumulated and reported in the stockholders’ equity section of the consolidated balance sheet as presented below:.. Net assets

No revenue is to be reported. Because the franchisor fails to render substantial services to the franchisee as of December 31, 2008.. The down payment of P600,000 is recognized

Dari banyaknya film horor yang beredar di Indonesia, peneliti memilih film “Hantu Budeg” karena di dalam film ini banyak adegan. yang vulgar, bahkan di dalam

Elemen Perlindungan Jiwa: Polis santunan kematian memiliki elemen Perlindungan Jiwa karena perusahaan asuransi jiwa akan membayar sejumlah uang pertanggungan pada

Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama bukti-bukti Pemohon yang telah diajukan di hadapan persidangan, khususnya Berita Acara

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) terhadap kadar karbohidrat food bar dapat diketahui bahwa faktor perbandingan kurma dengan kacang hijau (A), konsentrasi

Macam-macam produk kopi Nestlé, yaitu (1) Nescafé Classic – Kopi hitam yang instant yang terbuat dari 100% biji robusta Lampung pilihan, (2) Nescafé 3 in 1 – Perpaduan biji