• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Kamus umum Indonesia, kata etos berasal dari bahasa Yunani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Kamus umum Indonesia, kata etos berasal dari bahasa Yunani"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian Etos Kerja

Dalam Kamus umum Indonesia, kata “etos” berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Maka secara lengkapnya “etos” ialah : “Karakteristik dan sikap, kepercayaan serta kebiasaan, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia1

Dari perkataan etos terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna akhlak atau bersifat akhlaqi, yaitu kualitas dasar seseorang atau suatu kelompok, termasuk juga suatu bangsa. Jadi, etos berarti : “Jiwa khas suatu kelompok manusia, yang pada gilirannya membentuk pandangan dasar bangsa tersebut tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, yang akhirnya melahirkan etika dalam kehidupan kesehariannya”.

Adapun kerja adalah sesuatu yang setidaknya mencakup tiga hal:

1. Dilakukan atas dorongan tanggung jawab,

2. Dilakukan karena kesengajaan dan perencanaan dan

3. Memiliki arah dan tujuan yang memberikan makna bagi pelakunya.

Etos menurut Geertz diartikan sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sedangkan kerja, menurut Taufik Abdullah,

(2)

secara lebih khusus dapat diartikan sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telak bersifat sakral. Identitas diri yang terkandung di dalam hal ini, adalah sesuatu yang telah diberikan oleh tuntutan religius (agama).3

Apabila mengintroduksi pendapat Pandji Anoraga dan Sri Suryanti, maka etos kerja diartikan sebagai pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja, adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif.4

Berpangkal tolak dari uraian itu, maka menurut bahwa suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :

a) Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia. b) Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur

bagi eksistensi manusia.

c) Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

(3)

d) Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

e) Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu:

a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,

b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,

d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyarat yang mutlak, yang harus di tumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya.

(4)

Nitisemito mengatakan bahwa indikasi turun/rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain2 :

1. Turun/ rendahnya produktivitas

2. Tingkat absensi yang naik/ rendah

3. Labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi

4. Tingkat kerusuhan yang naik

5. Kegelisahan dimana-mana

6. Tuntutan yang sering terjadi

7. Pemogokan

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja adalah sikap yang mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan.

Kerja merupakan suatu hal yang di lakukan oleh petani atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan.3 Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau

2Alex S. Nitisemito, Manajemen : Suatu Dasar dan Pengantar, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 97 3 .W.J.S .Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1976), cet. Ke-5

(5)

kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.

2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja

1.2.1. Agama

Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi4.

Menurut Rosmiani (1996) etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya yang

4Weber, Max, (1958); The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. Translated by Talcott Parsons. Charles Scribner’s Sons, New York

(6)

konservatif turut menambah kokohnya tingkat etos kerja yang rendah itu5.

2.2.2 Budaya

Selain temuan Rosmiani (1996) diatas, Usman Pelly (dalam Rahimah, 1995) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.

2.2.3 Sosial Politik

Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) menemukan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. KH. Abdurrahman Wahid (2002) mengatakan bahwa etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara.

Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu

5Rosmiani, (1996) ; Etos Kerja Nelayan Muslim di Desa Paluh Sebaji Deli Serdang Sumatera Utara ; Hubungan Kualitas Agama denga Etos Kerja ; Thesis ; Kerjasama Program Sarjana Institut Agama Islam Negeri Jakarta & Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta.

(7)

harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian (achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern.

2.2.4 Kondisi Lingkungan

Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan Weda (1997) juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut6.

2.2.5 Pendidikan

Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995).

2.2.6 Struktur Ekonomi

Pada penulisan Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995)

(8)

disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

2.2.7 Motivasi individu

Anoraga (1992)7 mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja. Maka etos kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang. Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi factor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu factor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene ini merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan.

Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga factor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi

(9)

tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa factor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi intrinsik.

Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini juga disebut factor intrinsik, yang meliputi pencapaian sukses/achievement, pengakuan/recognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan (Karier)/advancement, tanggung jawab/responsibility, kemungkinan berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself. (Herzberg, dalam Anoraga, 1992). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pekerja hingga mencapai performa yang tertinggi.

1.3. Petani dan Usaha Tani

Menurut Ulrich Planck (1990 :4) sosiologi pertanian membahas fenomena social dalam bidang ekonomi pertanian. Dalam masyarakat praindustri Desa-desa umumnya sangat tergantung kepada sector pertanian. Pada desa-desa dalam masyarakat industry modern atau yang sedang berkembang ke arah ini, sektor pertanian tidak menjadi dominan lagi. Bahkan ada di antaranya yang peranan sector pertaniannya tinggal sedikit sekali. Sedangkan obyek sosiologi pertanian adalah penduduk yang bertani tanpa memperhatikan tempat tinggal-nya. Dalam gambaran yang lebih detail Ulrich Planck menyatakan bahwa tema utama usaha sosiologi pertanian adalah undang-undang pertanian, organisasi sosial pertanian (struktur pertanian), usaha pertanian, bentuk organisasi pertanian, terutama

(10)

koperasi pertanian, dan sebuah aspek penting yakni posisi social petani dalam masyarakat. 12

Petani merupakan kelompok masyarakat yang penting artinya tidak hanya di negara industri Eropa, tetapi juga banyak negara sedang berkembang, Usaha tani kecil yang mengelolah lahan yang terbatas itu, menggunakan semua atau sebagian besar tenaga keluarganya sendiri dalam kesatuan usaha ekonomi yang mandiri. Usaha tani ini merupakan bentuk usaha paling banyak dan mamasuk sebagian besar hasil produksi pertanian. Dalam semua negara sedang berkembang yang berorientasi pada ekonomi pasar, para petani merupakan kelompok pekerja yang terpenting. Tetapi petani juga merupakan masalah pembangunan yang benar-benar sulit. Tidak mudah untuk mengikutsertakan mereka dalam kemajuan ekonomi social petani mempunyai hubungan positif dengan produktivitas petani, berarti makin positif sikap inovatif petani maka semakin tinggi produktivitas yang dihasilkan dalam menggarap lahan pertaniannya, dan sebaliknya. Oleh sebab itu dalam usaha peningkatan produktivitas petani dalam menngarap lahan pertanian sangat diperlukan sikap inovatif yang positif dalam mengadopsi teknologi pertanian yang baru dan sesuai dengan ekologi setempat.

Menurut Chayanov8, ciri khas ekonomi petani adalah penggunaan tenaga kerja dalam usaha tani bukan untuk mengejar produksi (ekonomi kapitalis), namun untuk mencapai kesejahteraan. Ekonomi tani, usaha di tujukan untuk menjamin keperluan hidup melalui produksi subsistem dan sekarang ini semakin banyak juga usaha yang melalui produksi tambahan untuk pasar, seperti melalui

(11)

pembentukan modal di dalam usaha pertanian untuk memperluas dasar eksistensinya. Mereka tidak akan mudah menyerah untuk merawat kembali yang sudah terjadi pada tanaman mereka, untuk itu mereka berusaha untuk merawat sawa kembali supaya tanaman mereka akan menghasilkan dengan baik.

Menurut pandangan ekonomi yang berlaku dan berdasarkan penggunaan faktor produksi dan tingkat integrasi dalam ekonomi modern, usaha tani jelas berbeda dengan usaha pertanian yang bersifat kapitalistik. Karena pantas jika usaha pertanian yang berorientasi ke ekonomi swasta, atau sedikit banyak pada produksi pasar tersebut.

2.4. Masyarakat Desa dengan Tanah

Hubungan antara masyarakat Desa (khususnya petani) dan tanah untuk masyarakat desa, terutama di Desa-desa (dominan) pertanian9. Hubungan antara manusia dan tanah ini mencakup sejumlah bentuk dan sifat hubungan. Yang terpenting adalah berkaitan dengan pembagian dan penggunaan tanah, pemilikan serta pelbagi bentuk penguasa tanah, dan termasuk luas-sempitnya penguasa tanah. Karena bentuk hubungan antara masyarakat desa dengan tanah di desa sukamaju sebagaimana di gambaarkan pola kehidupan social-ekonomi masyarakat Desa Sukamaju secara statis, tetapi juga dapat dijadikan indicator dari

(12)

perubahan-perubahan yang sedang terjadi di Desa Sukamaju. Persewaan adalah suatu bentuk ikatan ekonomi antara pemilik tanah dan penyewa (pemilik tanah) pemilik tanah menyerahkan hak-guna tanahnya kepada penyewa, sedangkan penyewa menyerahkan sejumlah uang sesuai kelajiman setempat untuk waktu tertentu setengah atau beberapa tahun, atau satu atau beberapa kali panen. Sedangkan pergadaian adalah suatu bentuk ikatan ekonomi antara pemilik tanah dengan pihak lain, pemilik tanah menyerahkan hak-guna tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain pemegang gadai tanah sawa menyerahkan sejumlah uang yang besarnya sesuai dengan persetujuan mereka.

2.5 Jenis Dan Sistem Pertanian

Jenis-jenis pertanian dalam hal ini berkaitan dengan tanaman pokok apa yang menjadi sumber kehidupan dari suatu masyarakat desa/petani10. Perbedaan dalam jenis tanaman pokok akan juga menciptakan perbedaan dalam corak kehidupan masyarakat. Sebagai gambaran umum, tentu mudah dibayangkan apabila terjadi bentuk –bentuk kehidupan komunitas desa yang berbeda dengan jenis tanaman pokok yang berbeda seperti antara kelompok masyarakat petani padi. Terlebih lagi apabila perbedaan dalam jenis tanaman yang ditanam ini dikaitkan pula dengan perbedaan dalam system pertaniannya, maka semakin jelas besarnya pertanian itu terhadap corak kehidupan social budaya masyarakatnya.

(13)

Sedangkan system pertanian yang bersahaja akan menciptakan corak komunitas petani yang berbeda dengan system pertanian yang modern. Tingkat teknologi yang bersahaja artinya dalam tingkat teknologi yang sangat maju, dalam usaha petani misalnya, penggunaan tugal, bersifat ekstraktif, dan lainnya akan menciptakan bentuk komunitas petani yang berbeda dengan tingkat teknologi yang modern misalnya, penggunaan traktor, pupuk buatan, bersifat generative lainnya. Budidaya pertanian yang pengorganisasiannya bersifat kolektif.

2.6 Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik

Emile Durkheim (1859-1917), Profesor Sosiologi Pertama dari Universitas Paris, mengambil pendekatan kolektivitis terhadap pemahaman mengenai masyarakat yang melibatkan berbagai bentuk solidaritas.

Solidaritas dalam berbagai lapisan masyarakat bekerja seperti "perekat sosial", dalam hal ini dapat berupa, nilai, adat istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif.

Ada bentuk yang disebut solidaritas mekanis, dimana individu yang diikat dalam suatu bentuk solidaritas memiliki "kesadaran kolektif" yang sama dan kuat. Karena itu individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan dengan tekanan besar untuk menerima konformitas. Contoh masyarakat yang memiliki solidaritas ini adalah masyarakat pra-industri dan masyarakat pedesaan.

Sementara itu ketika masyarakat semakin kompleks melalui pembagian kerja, solidaritas mekanik runtuh digantikan dengan solidaritas organik. Ketika terjadi pembagian kerja maka akan timbul spesialisasi yang pada akhirnya

(14)

menimbulkan ketergantungan antar individu. Hal ini juga menggairahkan individu untuk meningkatkan kemampuannya secara individual sehingga "kesadaran koletif" semakin redup kekuatannya. Dan solidaritas ini ada pada masyarakat Industri.

Maka itu Durkheim mengusulkan perlunya suatu konsensus intelektual dan moral untuk keteraturan sosial yang bersifat harmonis dan integratif.

2.6.1 Solidaritas sebagai Fakta Sosial

Istilah fakta sosial pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia mengartikannya sebagai suatu cara bertindak yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar (constraint); atau suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yang berwujud dengan sendirinya bebas dari manifestasi individual.

Berdasarkan definisi ini, fakta sosial memiliki empat karakteristik penting diantaranya:

1. Sesuatu yang berwujud di luar individu;

2. Melakukan hambatan atau membuat kendala terhadap individu;

3. Bersifat luas atau umum; dan

4. Bebas dari manifestasi, atau melampaui manifestasi individu.

Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokus teoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persoalan

(15)

solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantarnya integrasi sosial (social

integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena solidaritas

menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

Dalam analisis Durkheim, diskusi tentang solidaritas dikaitkan dengan persoalan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan (represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang jahat, yang mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial (social order). Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik tidak dimaksudkan sebagi suatu proses yang rasional.

Hukuman tidak harus mempresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanik tidak merupakan petimbangan yang diberikan yang sesuai dengan bentuk kejahatannya. Sanksi atau hukuman yang dikenakan kepada orang yang menyimpang dari keteraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kemarahan kolektif masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.

(16)

Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisa Durkheim, ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanik itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja (division of labor) bersifat terbatas.

Model solidaritas seperti ini biasa ditemukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan dipusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal. Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang dilaksanakan berjalan secara turun-temurun.

Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori/tipe; pertama, solidaritas mekanis, terjadi dalam masyarakat yang diciri-khaskan oleh keseragaman pola-pola relasi sosial, yang dilatarbelakangi kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggota. Jika nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, menyatukan mereka secara menyeluruh, maka akan memunculkan ikatan sosial diantara mereka kuat sekali yang ditandai dengan munculnya identitas sosial yang demikian kuat. Individu meleburkan diri dalam kebersamaan, hingga tidak ada bidang kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama.

(17)

Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat hingga tidak terbayang bahwa hidup mereka masih berarti atau dapat berlangsung, apabila salah satu aspek kehidupan diceraikan dari kebersamaan.

Singkatnya, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang dipraktikkan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total diantara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik social, politik bahkan kepercayaan atau agama.

Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, yakni;

1. Pembagian kerja rendah;

2. Kesadaran kolektif kuat;

3. Hukum represif dominan;

4. Individualitas rendah;

5. Konsensus terhadap pola normatif penting;

6. Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang;

7. Secara relatif sifat ketergantungan rendah;

(18)

Sementara itu solidaritas organik terjadi dalam masyarakat yang relatif kompleks kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi yang parsial dan fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik, yang pada gilirannya memunculkan perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya. Perbedaan pola relasi-relasi, dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran perlunya kebutuhan kebersamaan yang diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal.

Oleh karena itu ikatan solider tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.

Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang tinggi diantara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus merombak kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser.

Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula disandang oleh kesadaran kolektif.

(19)

Sekali lagi Durkheim mengaitkan persoalan solidaritas organik dengan fenomena pemberian hukuman atau sanksi. Kuatnya solidaritas organik ditandai oleh munculnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) bukan yang bersifat represif. Kedua model hukum pada praktiknya juga memiliki tujuan yang berbeda. Jika hukum represif yang dijumpai dalam masyarakat mekanik merupakan ungkapan dari kemarahan kolektif masyarakat. Sementara hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara sejumlah individu yang memilki spesialisasi tersebut. Karena itu sifat sanksi yang diberikan kepada individu yang melanggar keteraturan dalam dua tipologi masyarakat ini juga berbeda. Tipe sanksi dalam masyarakat mekanik berwatak restitutif sebagaimana dikemukan Durkheim: “bukan bersifat balas dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan”.

Kemarahan kolektif menjadi tidak mungkin terjadi dalam masyarakat dengan tipe organik, karena masyarakat sudah hidup dengan kesadaran individual, bukan kesadaran kolektif. Sebagai gantinya masyarakat dengan tipe solidaritas organik mengelola kehidupan secara rasional. Karena itu, bentuk hukumannya pun bersifat rasional disesuaikan dengan bentuk pelanggaran tersebut. Pelaksanaan sanksi tersebut bertujuan untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak-hak yang dirugikan.

Dengan demikian akan terpulihkan kondisi ketergantungan fungsional dalam masyarakat. Durkheim memberi tamsil bentuk solidaritas tersebut terutama dalam masyarakat moderen. Pola-pola restitutif ini nampak dalam hukum dan

(20)

peraturan-peraturan kepemilikan, hukum kontrak, perdagangan dan peraturan administratif atau prosedur-prosedur dalam sebuah institusi masyarakat moderen.

Peralihan dari hukum represif menuju hukum restitutif seiring sejalan dengan semakin bertambahnya kompleksitas dalam masyarakat. Kompleksitas tersebut berdampak pada pembagian kerja (divison of labor) yang kian beragam pula.

Perbedaan–perbedaan tersebut juga berlangsung dalam banyak wilayah kehidupan sosial masyarakat. Maksudnya, perubahan tersebut juga berlangsung pada bagaimana kepemimpinan dalam setiap model masyarakat tersebut dipraktikkan. Misalnya dalam masyarakat mekanik, proses perubahan kepemimpinan dilakukan secara turun temurun dari kepala suku atau Ketua adat. Berbeda dengan masyarakat organik proses suksesi kepemimpinan dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau individu.

Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, dimana dalam

solidaritas organik diciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja sebenarnya membagi aktivitas yang tadinya digabungkan ke dalam suatu proses kerja yang dilaksanakan oleh seorang manusia menjadi sejumlah besar bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional dibutuhkan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu memunculkan sebuah solidaritas sosial dalam kelompok mereka atas dasar kepentingan bersama yang sifatnya tertentu. Nampak bahwa pada solidaritas organik menekankan tingkat

(21)

saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan merombak kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organik menurut Durkheim ditandai eksistensi hukum yang bersifat restitutif/memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara pelbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Doyle Paul Johnson secara terperinci menegaskan indikator sifat

kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik, yakni;

1. Pembagian kerja tinggi;

2. Kesadaran kolektif lemah;

3. Hukum restitutif/memulihkan dominan;

4. Individualitas tinggi;

5. Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;

6. Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;

7. Saling ketergantungan tinggi; dan

8. Bersifat industrial perkotaan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu.

(22)

Adalah benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual, namun syarat tersebut tidak akan mungkin timbul tanpa adanya kesadaran individual, namun syarat itu tidaklah cukup. Kesadaran itu harus dikombinasikan dengan cara tertentu, kehidupan sosial merupakan hasil kombinasi itu dan dengan sendirinya dijelaskan olehnya. Jiwa-jiwa individual yang membentuk kelompok, melahirkan sesuatu yang bersifat psikologis, namun berisikan jiwa individualistis yang baru.

2.6.2 Ciri-ciri Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik.

A. Solidaritas Mekanik:

Merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut mekanik, karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain.

B. Solidaritas Organik:

Menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat.

Merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota. Bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda. Seperti dalam organ tubuh, orang lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.

(23)

Dalam Division of labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari pada solidaritas mekanik

Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.

Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik

Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik

a.) Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung pada orang lain) dalam keefisienan kerja.

b.) Terjadi di Masyarakat Sederhana. c.) Ciri dari Masyarakat

Tradisional (Pedesaan) d.) Kerja tidak terorganisir e.) Beban lebih berat

f.) Tidak bergantung dengan orang lain

a.) Saling Keterkaitan dan

mempengaruhi dalam keefisienan kerja.

b.) Dilangsungkan oleh Masyarakat yang kompleks.

c.) Ciri dari Masyarakat Modern (Perkotaan).

d.) Kerja terorganisir dengan baik. e.) Beban ringan.

f.) Banyak saling bergantungan dengan yang lain.

(24)

Koeksistensi yang selalu ada antara industri dan komunitas, menurut

Schneider (1993:430-431), timbul karena berbagai sebab.

Pertama adalah kebutuhan industri akan persediaan tenaga kerja. Industri

membutuhkan tenaga kerja yang dapat diandalkan yang dapat masuk kerja setiap hari dan tepat waktu, yang segera dapat dipanggil kembali bekerja setelah suatu periode pemberhentian dan tidak mempunyai mata pencaharian lain selain industri tersebut. Untuk menciptakan dan mendapatkan persediaan tenaga kerja seperti itu, industri harus memasuki komunitas yang ada atau menciptakan komunitas kemana tenaga kerja dapat ditarik.

Kedua, komunitas menjadi pasar yang besar bagi produk industri tersebut.

Dengan menempatkannya dekat sebuah pasar kota, industri dapat mengurangi biaya biaya transportasi, khususnya bila sebagaian besar pasar suatu industri bertempat di pusat metropolitan yang besar.

Ketiga, industri membutuhkan komunitas sebagai sumber jasa khusus.

Salah satunya adalah transportasi untuk membawa bahan mentah ataupun mengirimkan hasil produksinya. Selain itu juga membutuhkan perlindungan keamanan, pendidikan para pekerjanya, persediaan air, penyediaan pemukiman dan sebagainya

Seperti halnya Schneider, Parker (1990:93) menyatakan bahwa “munculnya industri baru dalam suatu wilayah akan memberikan pengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja.” Kebutuhan industri terhadap tenaga kerja yang memadai, tidak sepenuhnya dapat terpenuhi oleh komunitas yang sudah ada,

(25)

karena industri membutuhkan tenaga kerja yang memiliki karakteristik tertentu, seperti keterampilan dan pendidikannya,termasuk juga perilaku kerja tertentu. Kebutuhan tenaga kerja industri menjadi salah satu dari daya tarik industri, selain dari munculnya kesempatan ekonomi lain akibat keberadaan industri yang bisa dijadikan sumber penghasilan bagi masyarakat. Para tenaga kerja berdatangan ke wilayah tersebut untuk mencoba memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada, baik di sektor industri maupun di sektor lainnya.

Kehadiran para pekerja pendatang, secara relatif menyebabkan perubahan pola interaksi komunitas. Interaksi antar anggota komunitas menjadi semakin luas, dan proses interaksi dalam komunitas akan terpengaruh oleh adanya keragaman latar belakang sosial budaya dari anggotanya. Pada proses interaksi, jaringan interaksi anggota komunitas yang meluas menyebabkan intensitas interaksi antar-anggota berkurang, terutama pada sebagian anggota komunitas, seperti pendatang yang memiliki sosiabilitas yang rendah. Dalam interaksinya, penduduk pendatang dan pribumi dituntut pula untuk mempertimbangkan latar belakang sosial budaya masing-masing. Hal ini menyebabkan intensitas dan pola interaksi komunitas mengalami perubahan orientasi, termasuk juga dialami oleh penduduk pribumi yang terseret oleh dinamika industri. Dinamika pada komunitas di sekitar industri, dalam jangka panjang akan mengembangkan komunitas tersebut menjadi berbeda dengan bentuk komunitas sebelumnya.

Sebuah komunitas yang mendapatkan pengaruh dari adanya industri akan berkembang ke arah suatu komunitas perkotaan, yang memiliki karateristik yang berbeda dibandingkan dengan sebelum industri didirikan.

(26)

Menurut Louis Wirth (dalam Daldjuni, 1982:27): “kota ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya, dan heterogenitas masyarakatnya.”

Gaya hidup khas kekotaan disebut dengan urbanisme, dan ini ditentukan oleh ciri-ciri spatial, sekularisasi, asosiasi sukarela, peranan sosial yang terpisah dan norma-norma yang kabur.

Mengenai pemikiran Wirth ini, Daldjuni (1982:28) berpendapat bahwa:

Pokok-pokok yang dibicarakan oleh Wirth meliputi “kedangkalan interaksi individu, anomi, serta perspektif penelaahan urbanisasi.Sebagai struktur sosial, urbanisasi menggantikan hubungan primer dengan sekunder. Akibatnya di kota ikatan kekerabatan lemah, gotong royong menipis, dan solidaritas goyah.Urbanisme melahirkan mentalitas kota dimana sikap, ide, dan keperibadian manusianya lain dengan yang terdapat di pedesaan” Urbanisme pada komunitas di sekitar industri sebagai sebuah gejala yang rasional, karena dorongan dari industrialisme dan juga sebagai hasil dari proses adaptasi masyarakat terhadap tuntutan aktivitas kerja dalam industri. Industrialisme membutuhkan tenaga kerja yang mobile. Sifat tenaga kerja yang demikian tidak dapat diperoleh dalam masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang ketat, karena ikatan sosial yang ketat akan mengganggu mobilitas warga masyarakatnya. Ikatan sosial yang longgar demikian akan mempengaruhi bentuk solidaritas sosial masyarakatnya.

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Metode based solution adalah sintesis material aktif dengan mencampurkan material awal dengan pelarut, sehingga reaksi yang terjadi antara material awal lebih

Dari penelitian didapat hasil dengan menggunakan ducting balok pada rpm 3 penurunan temperatur bola kering udara, efektifitas pendinginan, kapasitas pendinginan, EER (energy

“Toksisitas Akut Ekstrak Daun Sirsak Ratu (Annona Muricata) Dan Sirsak Hutan (Annona Glabra) Sebagai Potensi Antikanker”.. Bogor: Institut

Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.. Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh

Kriteria efektivitas dalam penelitian ini adalah skor rata-rata posttest siswa setelah diajar dengan menggunakan metode pembelajaran Field Trip minimal memenuhi KKM,

Rencana pembiayaan investasi bersumber dari sumber-sumber pembiayaan invetasi di Bidang Infrastruktur di Kota Bukittinggi didukung oleh sumber baik dari Pemerintah

Penyimpangan pada data (14c) terjadi pada kata karena dan kakalin. Penggunaan kata yang tepat adalah kerana 'karena', begitu juga kekalin dari kosa katanya sudah bahasa Bali dan

Tugas Akhir yang dibahas adalah Identifikasi Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan (SML ISO 14001) pada Proyek Konstruksi di Kota Medan1. Selama penyusunan laporan tugas