• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI. poligini. Poligami berasal dari kata bahasa Yunani dari kata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI. poligini. Poligami berasal dari kata bahasa Yunani dari kata"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian Poligami

Poligami adalah sutu sistem perkawinan dari macam-macam perkawinan yang dikenal manusia, seperti monogami, poliandri, poligini. Poligami berasal dari kata bahasa Yunani dari kata “Poly” atau”polus”, yang berarti banyak dan “gamein” atau gamos”

yang berarti kawin atau perkawinan. Bila pengertian ini

digabung maka akan diperolen pengertian yang berarti poligami ialah

suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.1

Secara bahasa: kata poligami berasal dari masdar dari kata: ددعتي ددعت اددعت yang berarti berbilang atau dalam kata lain beristeri lebih

dari seorang perempuan. Sedangkan secara Istilah poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang.2

Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini, poligami diartikan bahwa seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita dan menurut tinjauan antropologis (sosioantropologi) poligami

1 Humaidi Tatapangara, Hakekat Poligami dalam Islam (Surabaya: Usaha Nasional,

t.th), hlm. 12 2

http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, diakses tanggal 5 Oktober 2012, pukul 20.14 wib

(2)

mempunyai arti tersendiri yakni perkawinan antara seorang laki-laki

dengan lebih dari seorang wanita.3

B. Dasar Hukum Poligami

Poligami dalam Islam adalah boleh dengan syarat

suami mampu untuk bersikap adil terhadap istri-istrinya. Adapun yang menjadi landasan hukumnya adalah surat an-Nisa’ ayat 3:

1.QS An-Nisa’ Ayat: 3

وَا وَ تُزوَ وَ وَ تُ وَ ىٰ وَلنْ وَا إِا وَ مِّلاا وَ مِّا تُنوَا وَا وَ وَا ا تُ إِنا وَ ىٰ وَا وَتوَ نْاا إِ ا تُ إِ نْ تُت لَّا وَ نْ تُتنْ إِ نْ إِ وَ

ۖ

نْ تُنتُا وَ نْيوَ نْ وَنوَ وَا وَا نْ وَ ةً وَدإِااوَ وَ ا تُاإِدنْعوَت لَّا وَ نْ تُتنْ إِ نْ إِ وَ

ۚ

﴿ ا تُا تُعوَت لَّا وَ ىٰ وَانْدوَ وَكإِاىٰ وَذ

٣

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat; Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja”.(QS. An-Nisa’: 3)

Ayat ini memberikan beberapa batasan. Pertama: batas maksimal empat orang isteri dan kedua: hanya boleh dilakukan bila mampu berlaku adil. Kalau tidak terpenuhi syarat tersebut dilarang melakukan

kawin poligami.4

Tentang kesulitan dalam memenuhi tuntutan keadilan dalam perkawinan poligami itu dijelaskan Allah dalam ayat 129 surat an-Nisa’:

3 Murtadha Muthahari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 1997), hlm. 206

4

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan

(3)

نْ تُتنْ وَسوَا نْ وَاوَ إِا وَ مِّلاا وَ نْ وَ ا تُاإِدنْعوَت وَ ا تُع إِ وَتنْ وَت وَاوَ

ۖ

إِلنْ وَ نْاا لَّالتُك ا تُ إِ وَت وَ وَ

إِ وَ لَّا وَعتُ نْا وَك وَو تُزوَروَتوَ

ۚ

اةًز تُ وَغ وَ وَك وَ لَّااللَّ لَّا إِ وَ ا تُ لَّاتوَتوَ ا تُ إِ نْصتُت إِ وَ

﴿ ةً إِالَّاز

١٢٩

Artinya: Dan kamu tidak akan mungkin berlaku adil di antara isteri-isterimu walau kamu berusaha untuk itu. Oleh karena itu, janganlah kamu cenderung kepada salah seorang di antara mereka dan kamu meninggalkannya seperti tergantung dan jika kamu berbuat baik dan bertakwa, Allah Maha Penganpun dan Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’: 129)

Adanya kecondongan hati kepada salah seorang di antara isteri itu suatu yang tidak disenangi Allah dan berlawanan dengan prinsip “bergaul secara baik” yang dituntut Allah dalam ayat sebelumnya. Hal ini diperkuat lagi oleh hadits Nabi dari Abu Hurairah yang bunyinya:

واداا اا ل تاساا ها ا ك ا س ه ع اللَّ اللَّ ل سز ل ق

ه ش ا اا م ي ا ج

ئ ا

Artinya: Rasulallah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai

dua orang isteri dan dia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, nanti di hari kiamat dia datang dalam keadaan bahunya miring”.5

Kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Dalam tafsir al-Kassyaf, Zamakhsyari mengatakan bahwa poligami dalam Islam suatu rukhshah (kelonggaran ketika darurat), sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang boleh

5

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm. 145

(4)

berbuka puasa. Kelonggaran boleh berpoligami untuk menghindarkan

terjadinya perzinaan.6

Al-Qur’an tidak mengharamkan poligami, tapi juga tidak mewajibkannya. Al-Qur’an memandang poligami sebagai solusi dari sebuah persoalan, meskipun pada tataran praktis masih mengandung kemungkinan munculnya masalah baru, seperti peluang terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan. Karena itu, jika ada kekhawatiran justru akan memunculkan masalah baru, maka Al-Qur’an dengan tegas menganjurkan monogami. Sedangkan yang menjadikan alasan utama mengapa Al-Qur’an menganjurkan monogami, karena monogami lebih dekat kepada keadilan.

C. Syarat-syarat Poligami

1. Syarat Poligami Menurut Pandangan Imam Madzab

Dalam memahami QS. An-Nisa’: 3, imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu, karena dalam agama Islam seseorang laki-laki dibolehkan mengawini lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri. Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat

6

http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-fiqh-poligami, diakses tanggal 08 Oktober 2012

(5)

yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah

atau gilirannya.7

Para imam di atas juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Dan perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan

nikah lebih dari empat perempuan.8

2. Syarat Poligami Menurut UUP No.1 Th. 1974, PP No. 9 Th. 1975, dan KHI

Berdasarkan alasan-alasan yang dipedomani Pegadilan Agama, maka ada beberapa syarat untuk berpoligami berdasarkan ketentuan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Adapun dalam pasal 5 UU Perkawinan yaitu sebagai

berikut:9

7 Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 1996)

.

8 Ibid,. 9

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 47-48.

(6)

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut :

a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Persetujuan dari isteri atau isteri-isteri tidak diperlukan bagi suami

apabila isteri atau isteri-isteri tidak mungkin dimintai

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Dalam pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa “apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan”.

Pasal 41 disebutkan bahwa, Pengadilan kemudian memeriksa megenai :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :

- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

- Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

- Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan;

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan

memperlihatkan :

(i) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

(ii) Surat keterangan pajak penghasilan; atau

(iii) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan; d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

(7)

atau janji dan suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan

untuk itu.10

Agar tercipta tertib administrasi dalam masyarakat dan negara dapat melindungi kepentingan warga negaranya terutama untuk melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hidup berumah tangga, maka negara juga mengatur praktik poligami ini melalui aturan dalam Komplasi Hukum Islam (KHI).

Dalam KHI aturan mengenai poligami juga tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Kompilasi Hukum Islam memuat masalah poligami ini pada bagian IX dengan

judul “Beristri Lebih dari Satu Orang”.11

Dalam pasal 55 KHI disebutkan bahwa jumlah maksimal yang berpoligami adalah empat orang istri, yaitu :

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri;

2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Sedangkan pasal 56 menjelaskan :

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Peradilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

10 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan

Agama, Juli 2004), hlm. 151.

11 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : DEPAG RI,

(8)

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai ketetapan hukum.

Pasal 58 memaparkan :

1. Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:12

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 sub (b) PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan. Tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan istri kepada sidang Pengadilan Agama.

3. Persetujuan dimaksud pada ayat 1 sub (a) tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Selanjutnya pada pasal 59 digambarkan betapa besar wewenang PA dalam memberikan perizinan, sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami,

persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.13 Namun

baik KHI ataupun UUP telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar (1). Mampu secara ekonomi, (2). Mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan

12

Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, hlm. 177

13 Bunyi pasal 59 KHI adalah : dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan

permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan Banding atau Kasasi.

(9)

anak-anaknya.14 Demikian juga perundang-undangan Indonesia terlihat berusaha menghargai isteri sebagai pasangan hidup suami. Terbukti suami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan istri-istrinya.

Hukum positif yang berlaku di negara kita membenarkan praktik poligami dan menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat ’beristeeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya pada empat orang istri’ (Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 1). Namun, diperbolehkannya poligami bukan tanpa syarat. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 ayat 2 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) disebutkan bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Dalam sumber yang sama (Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam) disebutkan juga poligami hanya dapat dilakukan dengan izin istri pertama setelah melalui sidang Pengadilan Agama. Kebijakan ini jelas mengambil jalan tengah dan dikeluarkan untuk dapat menjembatani perbedaan-perbedaan pendapat mengenai masalah poligami di Indonesia.

Dari kedua persyaratan yang tersirat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas pelaksanaan poligami akan sulit direalisasikan karena pertama, sedikit sekali wanita yang telah menikah rela dipoligami; Kedua,

14 Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad

(10)

pengertian “perlakuan adil” terhadap isteri-isteri yang sangat relatif dan subyektif dan sulit diukur melalui ukuran material saja. Dengan demikian, izin untuk suami berpoligami akan sulit didapat.

Kebijakan persyaratan mendapat izin dari isteri pertama untuk suami berpoligami sangatlah membantu pihak istri untuk mempersulit terjadinya poligami, walaupun kebijakan ini dapat juga diselewengkan oleh suami. Misalnya dengan mengancam isteri untuk memberikan izinnya dengan berbagai cara.

D. Alasan-alasan Poligami

Ada beberapa alasan yang dipedomani oleh Pengadilan Agama untuk dapat memberi izin poligami, ditegaskan dalam pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan, pasal 41 sub (b) PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 57

KHI:15

Pengadilan dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUP, Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 56 ayat (1) KHI hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Jika kita lihat dari beberapa alasan diatas, pada dasarnya alasan-alasan ini mengacu pada tujuan pokok perkawinan yaitu membentuk

(11)

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan Kompilasi, yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Sehingga jika adakalanya ketiga hal diatas tersebut menimpa satu keluarga atau pasangan suami isteri, sudah barang tentu akan ada ketidakharmonisan rumah tangga yang akan dijalaninya. Saat istri tidak bisa lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, maka pekerjaan rumahpun terbengkalai termasuk kebutuhan biologis suami. Meskipun kebutuhan biologis hanyalah sebagian dari tujuan perkawinan, namun ia dapat mendatangkan pengaruh besar manakala tidak terpenuhi. Demikian juga, apabila isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dan untuk alasan ketiga, tidak setiap pasangan suami isteri, yang isterinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami adalah menjadi suatu kewajaran dan masuk akal karena keluarga tanpa adanya anak tidaklah lengkap.

Setidaknya dua alasan bersifat fisik. Mengenai istri tidak dapat melahirkan keturunan, diperlukan pemeriksaan dokter ahli penyakit kandungan. Jika ternyata justru suami yang tidak mampu memberikan keturunan, maka berapapun ia beristri ia tidak akan punya keturunan. Maka selayaknya permohonan ditolak.

Dari pasal-pasal tersebut, sebagaimana UU No. 1 Tahun 1974, KHI memberi peluang untuk melakukan poligami walaupun pada

(12)

prinsipnya menganut asas monogami. Melihat penjelasan pasal-pasal yang ada dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang

apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.16

Izin Pengadilan Agama dalam hukum perkawinan Islam tradisional belum ditetapkan sebagai rukun nikah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Izin Pengadilan ini menurut Muhammad Daud Ali, cukup dianggap sebagai syarat yang harus

dipenuhi dalam rangka melindungi kaum wanita dan anak-anak.17

Aturan poligami ini yang mana Pengadilan Agama dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengizinkan poligami dan berusaha mengatur seadil mungkin kedua belah pihak. Dalam hal ini setiap warga negara terikat atas peraturan ini.

Jika seorang sanggup beristri lebih dari satu merupakan kebutuhan dirinya agar dapat memelihara muru’ah dan juga dimotivasi membantu, selama ia dapat berlaku adil, maka ia boleh melakukan poligami dan sebaliknya. Poligami adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan kondisional. Adalah tidak tepat jika poligami digeneralisir,

16 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), hlm. 175

17

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 1997), hlm. 32-33

(13)

olah ia syari’at yang berlaku umum dan dapat dilaksanakan oleh semua

orang.18

E. Sakit Jiwa Sebagai Alasan Poligami

Di Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 secara tegas disebutkan bahwa prinsip perkawinan menganut asas monogami. Namun demikian, tetap ada kemungkinan untuk melakukan poligami dan dibatasi maksimal 4 orang. Apabila seorang suami akan melakukan poligami harus ada izin dari Pengadilan sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat 2 dan KHI Pasal 56 ayat 1 yang berbunyi “suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama”. Pengadilan Agama dalam memberikan izin kepada suami untuk menikah lebih dari seorang apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif.

Syarat-syarat alternatif yang dimaksud adalah : 1. Istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri

Yang dimaksud disini bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, sebagaimana kewajiban istri yang tercantum dalam KHI pasal 83, adapun bunyi pasal 83 tentang kewajiban istri adalah:

18

Dian Eka yulianti, Studi Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami dalam Putusan

Pengadilan Agama Kajen No.396/Pdt.G/2005/PA.Kjn, (Pekalongan : Perpustakaan STAIN

(14)

a. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.

b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga

sehari-hari dengan sebaik-baiknya.19

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Yang dimaksud disini bahwa istri menderita penyakit kronis yang lama sembuhnya atau penyakit menahun sehingga menyebabkan suami tidak dapat bergaul sebagaimana layaknya

suami istri. Contoh istri gila.20

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (mandul)

Dalam hal ini seorang istri tidak dapat memberikan keturunan, padahal dalam kehidupan berumah tangga seseorang pasti

menginginkan anak sebagai generasi penerus orang tuanya.21

Syarat kumulatif yang dimaksud adalah : 1. Adanya persetujuan dari istri

Dalam KHI pasal 58 ayat 2 dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 sub (b) PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan

19 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam,

(Jakarta : DEPAG RI, 1999), hlm. 46 20

Musthofa As Sibay, Wanita diantara Hukum dan Perundang-Undangan, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1977), hlm. 205

(15)

lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Untuk membuktikan kemampuan suami dalam menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka adalah dengan cara melihat surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh Kepala Desa setempat atau bendahara tempat kerja atau surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan. Hal ini sesuai dengan PP No. 9 Tahun 1975 pasal 41 sub (c).

3. Ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri-istri dan anak-anaknya.22

Untuk mengetahui jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya, maka harus ada surat pernyataan berlaku adil yang dibuat sendiri bermaterai dan 2 orang saksi atau dalam bentuk janji yang diucapkan di muka persidangan. Mengenai hal tersebut diatur dalam PP No. 9

22

(16)

Tahun 1975 pasal 41 sub (d), yang berbunyi “ada atau tidaknya

jaminan bahwa suami akan berlaku adil”.23

Dengan syarat-syarat dan alasan-alasan yang harus dipenuhi untuk dapat dikabulkannya permohonan izin poligami di Pengadilan Agama, maka yang menjadi perhatian penulis ialah tentang izin poligami terhadap suami yang dikarenakan istrinya sakit jiwa, hal (alasan) tersebut menurut hemat penulis dapat diqiyaskan dengan pasal 4 ayat 2 sub (a) dan (b) UU No. 1 Tahun 1974 yaitu “apabila istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri” dan juga “apabila istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan”.

Hal tersebut apabila dikaitkan dengan perkara permohonan izin poligami di PA Pemalang maka alasan bahwa istri (termohon) tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri adalah dikarenakan istri menderita sakit jiwa, yang mana karena sakit jiwanya itu dapat menghalangi suaminya untuk menikmati kehidupan rumah tangga secara normal dan sempurna. Isteri tidak sanggup lagi

memberikan pelayanan yang sewajarnya dilakukan bersama suami.24

Dalam hal memberikan persetujuan kepada Pemohon untuk poligami, Termohon diwakili oleh kakak angkatnya yang secara nasab sebenarnya adalah Om dari Termohon. Hal ini diperlukan mengingat seorang yang gila tidak bisa memberikan persetujuan untuk suami

23

Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Pemalang Drs. Muhydin pada tanggal 14 Maret 2012 pukul 10. 30 wib di Pengadilan Agama Pemalang

24

(17)

melakukan poligami karena tidak cakap hukum, sehingga

pengakuannya di muka persidangan tidak diakui.25

Dalam keadaan seperti ini, dengan pertimbangan untuk menghindari kemungkinan terjadinya perselingkuhan dengan wanita lain secara tidak sah, maka Majelis Hakim memberikan izin kepada Pemohon untuk dapat melakukan poligami, dengan tetap menjaga kehormatan istrinya, melindunginya dan juga menyayanginya tanpa harus menceraikannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkara izin poligami yang diajukan berdasarkan alasan istri (Termohon) menderita sakit jiwa sehingga tidak bisa lagi menjalankan kewajibannya, hal tersebut adalah memenuhi syarat izin beristri lebih dari seorang karena telah memenuhi salah satu syarat alternatif sekaligus ketiga syarat kumulatif, sebagaimana telah terpenuhinya alasan tersebut diatas maka hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu dalam UUP No. 1 Tahun 1974 pasal 4 dan pasal 5 jo. dan KHI pasal 57 dan pasal 58.

25

Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Pemalang Drs. Muhydin pada tanggal 14 Maret 2012 pukul 10. 30 wib di Pengadilan Agama Pemalang

Referensi

Dokumen terkait

Pola data yang didapat dari PT DASA BUSANA SAKTI adalah pola data musiman dengan kecendrungan linier/trend, dilihat dari penghitungan error data peramalan terkecil, sehingga

pengaruh utilitarian value terhadap buying decision pada CV Cahaya Listrik Sungailiat; dan 3) pengaruh hedonic value dan utilitarian value secara bersama-

Dengan berkembangnya dunia pendidikan proses pengaksesan laporan pencapaian kompetensi peserta didik pada sistem yang sedang berjalan masih belum dapat mengatasi

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara pada 17 informan yang dilakukan pada masyarakat suku buton di Kecamatan Binongko yaitu 35 famili

Pengukuran geolistrik konfigurasi schlumberger di Pulau Gili Ketapang telah dilakukan pada 8 titik pengukuran dengan dengan kedalaman pengukuran 100 meter di bawah

Oktorina dan Wedari (2015) menemukan pengaruh positif signifikan antara kepemilikan manajerial dengan fee audit dimana semakin tinggi kepemilikan manajerial perusahaan

Manakah yang lebih penting menurut anda antara SFOC (Specific Fuel Oil Consumption) pada suatu engine dibanding Engine yang menggunakan bahan bakar MOO (Mruine

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Perbedaan hasil belajar siswa kelas X pemasaran SMK Negeri 1 Banyudono antara kelas yang menggunakan model