• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Sekitar Teluk (Studi Daerah Nabire Provinsi Papua dan Fakfak Papua Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Sekitar Teluk (Studi Daerah Nabire Provinsi Papua dan Fakfak Papua Barat)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

 

47

Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Sekitar Teluk

(Studi Daerah Nabire Provinsi Papua dan Fakfak Papua Barat)

Rully Affandi1,2), Atika Lubis 1), dan Deni Septiadi2) 1)

Program Studi Meteorologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Bandung

2)

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika e-mail: arhaz_nab@yahoo.co.id

Diterima 26 Mei 2011, disetujui untuk dipublikasikan 15 Juni 2011

Abstrak

Pola curah hujan di suatu wilayah memiliki karateristik yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lintang, gerak semu matahari, letak geografis, topografi serta interaksi berbagai macam sirkulasi udara baik itu lokal, regional maupun global. Analisis spektral merupakan suatu cara untuk melihat adanya periodisitas yang mungkin tersembunyi dalam suatu deret waktu, dengan melakukan suatu transformasi dari domain waktu ke domain frekuensi, pola osilasi akan terlihat sebagai puncak energi spektral. Fakfak yang berada dekat dengan Teluk Berau, pola curah hujannya bersifat lokal. Hasil ini sama dengan yang dipublikasikan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hal ini dikuatkan oleh analisis spektral dengan kuatnya osilasi harian. Pengaruh monsunal memperkuat sirkulasi harian serta distribusi massa udara yang berasal dari Laut Aru, Arafura dan wilayah lainnya di Belahan Bumi Selatan (BBS). Akan tetapi interaksi teluk kurang kuat dibandingkan pengaruh lautan yang berada di bagian selatan. Nabire yang secara langsung dekat dengan Teluk Cenderawasih, pola curah hujannya cenderung bersifat monsunal, berbeda dengan yang telah dipublikasikan BMKG dan dapat menjadi masukan terhadap penyusunan peta sebaran pola curah hujan. Adanya Teluk Cenderawasih, memberikan pengaruh yang kuat dalam sirkulasi harian. Pada periode Desember, Januari dan Februari (DJF), sirkulasi monsunal Asia semakin memperkuat pola angin dan distribusi massa udara yang berasal dari Teluk Cenderawasih bagian utara, Samudera Pasifik dan wilayah lainnya di BBU.

Kata Kunci : Monsun, Teluk, Sirkulasi lokal, Wavelet, FFT, Curah hujan.

Rainfall Pattern Characteristic Around Bay Area

(Case studies of Nabire area, the Province of Papua, and Fakfak the Western Papua)

Abstract

The rainfall pattern has different characteristics, due to latitude, the sun's apparent motion, geography, topography, and interactions of various scales in the local, regional, and global air circulation. Spectral analysis is a way to see the existence of periodicity that may be hidden in the time series. The spectral analysis carried out transformation from the time domain to the frequency domain where the oscillation pattern could be seen as a peak of spectral energy. The rainfall pattern of Fakfak, near to the Berau Bay, is considered as local type. This result is inline with the previously published results by Meteorological Climatological and Geophysical Agency (BMKG). This is strengthened by spectral analysis with a strong daily oscillation. Monsunal circulation strengthen daily circulation and distribution of air masses from the Aru Sea, Arafura and other areas in the Southern Hemisphere. However, the interaction of the bay is less powerful than the ocean in the southern region. The rainfall pattern of Nabire which is close to the Cenderawasih Bay tends to be monsunal, in contrast to be published results of BMKG. It could be used as additional input to the distribution of rainfall pattern map’s construction. The existence of Cenderawasih Bay, has provided a powerfull influences in daily circulation. In the December, January and February (DJF) period, Asian winter monsoon circulation strengthen distribution of air masses from the northern Cenderawasih Bay, The Pacific Ocean and other regions in The Northern Hemisphere.

Keywords : Monsoon, Bay, Local circulation, Wavelet, FFT, Rainfall. 1. Pendahuluan

Benua maritim Indonesia merupakan wilayah yang unik di sekitar kawasan ekuatorial. Secara geografis wilayah kepulauan Indonesia terletak di antara benua Asia-Australia dan Samudera Hindia-Pasifik. Papua secara khusus merupakan wilayah

bagian timur Indonesia yang secara langsung berinteraksi dengan Samudera Pasifik dan wilayah terdekat benua Australia, selain itu di bagian tengah wilayahnya terdapat gugusan Pegunungan Tengah Jayawijaya.

Ramage (1971) menyatakan bahwa wilayah Indonesia melepaskan banyak panas laten dan

(2)

 

sebagai wilayah sumber panas bagi pembentukan sirkulasi Walker bersamaan dengan sirkulasi Hadley. Menurut Bayong (2004), dalam kondisi normal, sirkulasi ini memusat di sekitar wilayah Indonesia.

Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal seperti yang telah dijelaskan Bannu (2003).

Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi-tahunan di Indonesia (Aldrian dan Susanto, 2003). Hal senada juga dijelaskan oleh Bayong (2004).

Khrisnamurti (1973) menyatakan bahwa monsun Asia membentuk sirkulasi subsistem yang besar pada sirkulasi umum atmosfer global. Monsun ini mengatur iklim di bagian benua India yang menghasilkan adanya musim hangat basah dan musim dingin kering (lihat Berliana, 1995).

Gambar 1. Pola Monsun Asia saat matahari berada

pada posisi tropic of capricorn (kiri) dan tropic of cancer (kanan) (Prawirowardoyo, 1996).

Selain sirkulasi umum/skala global serta angin monsun, sirkulasi angin lokal juga turut mempengaruhi kondisi iklim Indonesia. Proses terjadinya angin darat dan angin laut pada dasarnya sama dengan angin monsun yaitu disebabkan oleh adanya beda termal antara permukaan darat dan laut. Periode angin monsun adalah musiman, sedangkan angin darat dan laut adalah harian (Bayong, 2006).

Angin laut menurut Simpson (1994) adalah aliran angin yang mengalir ke arah daratan pada siang hari, yang merupakan sirkulasi konvektif lokal yang terjadi akibat dari perbedaan temperatur antara daratan dan lautan. Intensitas dan pembentukan angin laut bergantung pada faktor musiman, posisi lintang serta matahari di siang hari (Cangialosi, 2003).

Pada umumnya angin laut jauh lebih kuat daripada angin darat karena pada malam hari udara cenderung lebih stabil. Prinsip dasar dari terjadinya angin laut adalah akibat gaya yang di hasilkan oleh perbedaan temperatur antara daratan dan laut, transport momentum dan panas melalui turbulensi, dan perputaran bumi (Fisher, 1961).

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa seberapa kuat fenomena yang berpengaruh atau yang mendominasi pola curah hujan di wilayah Nabire dan Fakfak Papua–Papua Barat dan pengkajian karakteristik pola curah hujan yang telah dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Gambar 2. Peta pola curah hujan di Indonesia

(Sumber : BMKG dalam Kadarsah, 2007).

Menurut BMKG, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu i) pola hujan monsun, satu puncak musim hujan Desember Januari Februari (DJF), Juni Juli Agustus (JJA) sebagai musim kemarau; ii) pola ekuatorial yang dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) Maret dan Oktober atau pada saat terjadi eqinok; dan iii) pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun.

2. Data dan Metodologi

Data daerah kajian yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa stasiun BMKG yang berada di sekitar kepala burung Papua dan sekitarnya terutama dalam pengolahan data spasial. Data meliputi curah hujan bulanan selama 30 tahun (1975-2004), data curah hujan dan kelembapan udara harian (2004-2005) dan data arah-kecepatan angin tiap jam (1998-2006).

Gambar 3. Sebaran stasiun pengamatan (BMKG) di

sekitar Kepala Burung Papua (Sumber : Microsoft Encarta, 2009).

Observasi meteorologi permukaan stasiun BMKG dilaporkan tiap tiga jam yaitu pada jam 00.00, 03.00, 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00 dan

(3)

 

21.00 UTC (Universal Time Coordinate) mengikuti aturan World Meteorological Organization (WMO). Dari data ini diperoleh cuaca (present weather dan

past weather) dengan sandi cuaca permukaan

(7wwW1W2) untuk mengetahui kejadian hujan

daerah kajian yaitu Nabire dan Fakfak.

Pengolahan data dengan analisis spektral Wavelet dan Fast Fourier Transform (FFT) dilakukan pada curah hujan bulanan untuk mengetahui priodesitas dominan curah hujan di wilayah kajian. Sedangkan data kecepatan angin tiap jamnya di Fakfak dan Nabire dipakai untuk mengetahui apakah sirkulasi lokal juga memiliki dominasi yang kuat atau tidak di wilayah kajian. Data angin tiap jamnya dianalisis dengan mawar angin untuk mengetahui pola dominan arah angin disertai besarnya kecepatan (dalam knots).

3. Hasil dan Diskusi

3.1 Analisis Wilayah Fakfak Papua Barat

Pola curah hujan bulanan wilayah Fakfak bersifat lokal dengan puncak curah hujan terbesar di bulan Juni sebesar 358 mm. Sepanjang tahun, rata-rata curah hujan bulanannya di atas 150 mm (Gambar 4).

Gambar 4. Distribusi Curah Hujan Fakfak Papua

Barat selama tahun 1975-2004.

Dari analisa spektral Wavelet curah hujan bulanan terlihat beberapa osilasi yaitu pengaruh osilasi tahunan (Annual Oscillation, AO) yang dikenal sebagai periode monsunal, osilasi QBO (Quasi-Biennial Oscillation) osilasi 2 tahunan dan osilasi La-Nina-El-Nino yang cukup dominan mempengaruhi wilayah Fakfak di tahun-tahun tertentu dan osilasi akibat adanya aktivitas matahari 11 tahunan (Sun Spot) (Gambar 5 (a)).

Gambar 5. Energi spectral, wavelet (a), FFT (b),

curah hujan bulanan Fakfak tahun 1963-2005.

Namun secara umum, dari analisis spektral FFT, terlihat dominasi pola annual oscilation-osilasi satu tahunan-(AO)/monsunal di wilayah Fakfak, dengan periodisitas yang sangat signifikan 11,9706 bulan ̴ 12 bulan (Gambar 5 (b)).

Pada periode monsun timur (periode JJA-bulan Juni, Juli dan Agustus), pola angin umumnya bertiup dari timur-tenggara. Sehingga uap air/massa udara yang berasal Samudera Pasifik barat daya - selatan, Laut Arafura dan Laut Aru serta wilayah lainnya di belahan bumi bagian selatan (BBS) terbawa menuju wilayah-wilayah yang dilaluinya termasuk wilayah Fakfak dan sekitarnya sehingga memberikan pengaruh terhadap pembentukan awan-awan hujan (Gambar 6).

Sebaran massa udara dapat terlihat sangat signifikan di wilayah Fakfak dan sekitarnya dengan sebaran persentase kelembapan udara di waktu pagi hari (93-94%), siang hari (79-81%) dan sore menjelang malam (87-90 %), cukup tinggi dibanding daerah-daerah lain disekitarnya (Gambar 7). Sehingga pada periode JJA Fakfak mengalami puncak curah hujan tertinggi.

(a) (b) AO La Nina-ENSO QBO SunSpot

(4)

 

Gambar 6. Normal streamline (garis angin) 3000ft

periode monsun timur, Juni (a), Juli (b), dan Agustus (c). (Sumber : BMKG Wilayah I Medan).

Analisis spektral wavelet dan FFT kecepatan angin tiap jam di wilayah Fakfak, memperlihatkan adanya osilasi harian 24 jam yang menandakan kuatnya sirkulasi harian yang mempengaruhi pola pembentukan hujan (Gambar 8).

Angin harian didominasi dari selatan (dari laut) pada periode JJA cukup kuat, yang ditandai dengan distribusi frekuensi angin dari siang hari hingga malam hari (01.00-15.00 UTC). Sedangkan angin dari arah utara bertiup dimulai dari pagi dini hari selang hanya terjadi dalam waktu yang relatif pendek (18.00-00.00 UTC) (Gambar 9).

Gambar 7. Distribusi spasial kelembapan udara

periode monsun timur (JJA) jam 07.00LT (a), jam

13.00LT (b), dan jam 18.00LT (c).

Gambar 8. Energi spektral wavelet kecepatan angin

tiap jam Fakfak tahun 2002. Wavelet (kiri) FFT (kanan). (a) (b)

(c)

(c) (a) (b)

(5)

 

Gambar 9. Mawar angin wilayah Nabire periode

monsun timur (JJA) 18.00-00.00UTC (a) 01.00-07.00UTC (b) 08.00-15.00UTC (c).

Gambar 10. Grafik kejadian hujan selama 24 jam

wilayah Fakfak tahun 2004-2005 periode monsun timur (JJA).

Kejadian hujan terjadi di waktu pagi, siang sore hingga malam, hampir merata di tiap waktu. Frekuensi terbesar umumnya terjadi pada siang-malam (03.00-12.00UTC) (Gambar 10).

Dari berbagai analisa yang telah di paparkan sebelumnya menunjukkan bahwa wilayah Fakfak memiliki pola curah hujan yang bersifat kebalikan dari pola monsunal dengan 1 (satu) puncak di bulan Mei-Juli yang sering disebut dengan pola lokal oleh BMKG. Hal ini dikuatkan dengan analisis spektral wavelet dan FFT yang menunjukkan spektrum yang kuat dengan osilasi harian 24 jam. Selain itu distribusi angin yang cukup dominan dari arah selatan memperlihatkan kuatnya sirkulasi harian yaitu angin dari laut dan terkait dengan distribusi massa udara dan proses pembentukan hujan dari sirkulasi harian tersebut.

Keberadaan Teluk Berau di dekat Fakfak kurang memberikan kontribusi yang cukup kuat

dibandingkan dengan keberadaan lautan yang ada di sekitar Fakfak. Hal ini juga dikarenakan posisi arah teluk (Timur-Barat) tidak berhadapan langsung dengan wilayah Fakfak. Sedangkan posisi lautan yang lebih luas berinteraksi langsung dengan wilayah Fakfak memberikan pengaruh yang cukup kuat. Hal ini bersesuaian dengan apa yang telah dikemukakan oleh Aldrian dan Susanto (2003), bahwa pola curah hujan kebalikan dari monsunal beberapa wilayah Indonesia termasuk Fakfak dipengaruhi oleh adanya interaksi yang kuat dari lautan.

Adanya sirkulasi monsunal pada hasil analisis spektran Wavelet dan FFT, menunjukkan bahwa sirkulasi tersebut memperkuat atau memberikan dukungan dalam distribusi massa udara sebagai bahan bakar pembentukan awan-awan hujan di wilayah Fakfak dan sekitarnya. Hal ini terlihat dari distribusi spasial kelembapan udara yang sangat signifikan terutama pada periode monsun Timur yang dikenal sebagai musim kemarau. Akan tetapi justru untuk wilayah Fakfak dan sekitarnya sangat diuntungkan bahkan curah hujan yang terjadi sangat tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya.

3.2 Analisis Wilayah Nabire Papua

Pola curah hujan wilayah Nabire cenderung bersifat monsunal dengan puncak curah hujan terbesar di bulan Maret sebesar 484 mm. Sepanjang tahun, rata-rata curah hujan bulanannya di atas 200 mm (Gambar 11).

Analisa spektral wavelet curah hujan bulanan memperlihatkan adanya pengaruh osilasi tahunan AO, osilasi QBO, osilasi La-Nina-El-Nino dan osilasi akibat adanya aktifitas matahari 11 tahunan (Sun Spot) (Gambar 12 (a)). Namun secara umum dari analisis spektral FFT, terlihat dominasi pola annual oscilation (AO)/monsunal di wilayah Nabire, dengan periodisitas 11,9706 bulan ̴ 12 bulan (Gambar 12 (b)).

Gambar 11. Distribusi curah hujan di Nabire Papua

Barat tahun 1975-2004. (a) (b)

(6)

 

Gambar 12. Energi spektral wavelet (a) FFT (b)

curah hujan bulanan di Nabire 1974-2006.

Pada periode monsun barat (DJF), angin bertiup dari barat – barat laut, memberikan kontribusi dalam transfer massa udara bahkan awan hujan yang telah terbentuk dari wilayah bagian utara Nabire dan kawasan Teluk Cenderawasih bagian utara yang bergerak menuju Nabire (Gambar 13).

Distribusi massa udara yang berasal dari wilayah utara Nabire dapat dilihat secara spasial kelembapan udara di wilayah bagian utara Nabire yaitu terlihat di wilayah Biak. Pada periode DJF wilayah utara Nabire menunjukkan signifikansi kelembapan udara dimana tercatat di waktu pagi hari (07.00LT) sebesar 91-94 %, siang hari (13.00LT) sebesar 87-90 % dan menjelang malam (18.00LT) 87-90% (Gambar 14).

Terlihat bahwa konsentrasi massa udara terbesar di wilayah utara yang mendukung suplai bahan bakar pembentukan awan-awan hujan baik itu terbentuk di wilayah utara Nabire ataupun yang terbentuk di wilayah Nabire sendiri.

Gambar 13. Normal streamline (garis angin) 3000ft

periode Monsun Barat (DJF) Desember (a), Januari (b), dan Februari(c). (Sumber : BMKG Wilayah I

Medan)

.

Dari analisis spektral kecepatan angin, sangat dipengaruhi oleh adanya osilasi harian. Analisis wavelet dan FFT memperlihatkan priodisitas puncak tertinggi pada periode 24 jam (Gambar 15).

Angin harian didominasi dari utara (dari laut) sangat kuat dari pagi hingga malam (18.00-10.00 UTC). Sedangkan angin dari arah selatan (dari darat) bertiup dimulai dari malam-dini hari (11.00-15.00 UTC) (Gambar 16).

Walaupun adanya perubahan panas antara darat dan laut yang menyebabkan sirkulasi harian angin darat-laut, akan tetapi dengan adanya pengaruh angin monsun barat dan kondisi teluk yang ideal, sangat signifikan memperkuat sirkulasi harian. Arah sirkulasi angin utara-selatan searah dengan arah bukaan teluk yaitu utara-selatan sehingga semakin

  a(a)

(b)

(a)

(b)

(7)

 

mendekati Nabire, arah angin cenderung konstan memperkuat arah sirkulasi harian dari utara yaitu angin dari laut.

Gambar 14. Distribusi spasial kelembapan udara

periode monsun barat(DJF). 07.00LT (a), 13.00LT (b), dan 18.00LT (c) (Monsun, 2010).

Gambar 15. Energi spektral kecepatan angin tiap

jam Nabire tahun 2002. wavelet (a) dan FFT (b).

Gambar 16. Mawar angin wilayah Nabire periode

monsun barat(DJF) 18.00-00UTC (a), 01.00-07.00UTC (b), 08.00-10.00UTC (c), dan 11.00-15.00UTC (d).

Frekuensi kejadian hujan di wilayah Nabire menunjukkan bahwa hujan terjadi pada waktu pagi (22.00-00.00UTC), siang-sore hingga malam (05.00-12.00UTC) (Gambar 17).

Kejadian hujan terbesar umumnya pada,sore-malam hari (07.00-12.00UTC). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh angin laut sangat kuat dalam pembentukan hujan di wilayah Nabire dibanding ketika periode angin darat walaupun tetap memberikan kontribusi terhadap curah hujan.

Dari berbagai analisa yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa wilayah Nabire memiliki pola curah hujan yang cenderung bersifat Monsunal. Hal ini dikuatkan dengan analisis spektral wavelet dan FFT yang menunjukkan spektrum yang kuat dengan osilasi 12 bulan.

(a) (a) (b) (a) (b) (c) (d) (b) (c)

(8)

 

Gambar 17. Grafik kejadian hujan selama 24 jam

wilayah Nabire 2004-2005 periode monsun barat (DJF).

Selain itu dari skala sirkulasi harian terlihat distribusi angin yang cukup dominan dari arah utara memperlihatkan kuatnya sirkulasi harian yaitu angin dari laut dan terkait dengan distribusi massa udara dan proses pembentukan hujan. Adanya sirkulasi monsunal memperkuat atau memberikan dukungan terhadap sirkulasi harian serta dalam distribusi massa udara sebagai bahan bakar pembentukan awan-awan hujan di wilayah Nabire dan sekitarnya maupun pembentukan di wilayah di utara Nabire.

4. Kesimpulan

Pola curah hujan di wilayah Fakfak bersifat lokal dan di Nabire cendrung bersifat monsunal. Sirkulasi harian khususnya angin dari laut di Fakfak dan Nabire pengaruhnya cukup signifikan terhadap pembentukan awan-awan hujan dan dalam distribusi massa udara. Pengaruh monsunal di dua wilayah kajian memperkuat atau memberikan dukungan sirkulasi harian. Pada wilayah Nabire pengaruh teluk sangat signifikan memperkuat sirkulasi harian sedangkan pada wilayah Fakfak pengaruh teluk tidak signifikan memperkuat sirkulasi angin hariannya. Selanjutnya, dapat dilihat bahwa pola curah hujan wilayah Fakfak bersesuaian dengan yang telah dipublikasikan BMKG, yaitu dapat dikelompokkan pada pola curah hujan lokal. Sedangkan di wilayah Nabire cenderung bersifat monsunal, berbeda dengan yang telah dipublikasikan BMKG. Hasil ini dapat

menjadi masukan untuk penyusunan peta sebaran pola curah hujan yang dipublikasikan oleh BMKG.

Daftar Pustaka

Aldrian, E. and R. D., Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Int. J. Climatol, 23:12, 1435-1452.

Bannu, 2003, Analisis Interaksi Monsun, Enso, dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia, Tesis, ITB, Bandung.

Bayong, T. H. K., 2004, Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung.

Bayong, T.H.K., 2006, Meteorologi Indonesia 1 Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer. Jakarta, Penerbit BMG, Jakarta.

Berliana, S., 1995, The Spectrum Analysis of Meteorological Elements in Indonesia, Thesis, Nagoya University, Japan.

BMKG Wilayah I Medan, 2011, http://www.bmkg.go.id.

Cangialosi, W. R., 2003, An Observational Study of Sea Breeze, Journal of Meteorology, 17. Fisher, E. L., 1961, A Theorical Study of The Sea

Breeze, Journal of Atmospheric Sciences,

18:2, 216-233.

Kadarsah, 2007, Tiga Pola Curah Hujan Indonesia, (http://kadarsah.wordpress.com/

2007/06/29/tiga-daerah-iklim-indonesia), diakses tanggal 10 Desember 2010.

Khrisnamurti, T. N., 1973, Tropical East-West Circulation During The Northern Summer. J. Atmos. Sci., 28, 1342–1347.

Monsun, (2010), (http://moklim.dirgantara-lapan.or.id/content/monsun) Diakses tanggal 18 September 2011.

Prawirowardoyo, S. 1996, Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung.

Ramage, 1971, Monsoon Meteorology, Academic Press.

Simpson, J. E., 1994, Sea Breeze and Land Local Wind, Cambridge University Press, London.

Gambar

Gambar 1. Pola Monsun Asia saat matahari berada  pada posisi tropic of capricorn (kiri) dan tropic of  cancer (kanan) (Prawirowardoyo, 1996)
Gambar 4. Distribusi Curah Hujan Fakfak Papua  Barat selama tahun 1975-2004.
Gambar 6. Normal streamline (garis angin) 3000ft  periode monsun timur, Juni (a), Juli (b), dan Agustus  (c)
Gambar 9. Mawar angin wilayah Nabire periode  monsun timur (JJA) 18.00-00.00UTC (a)  01.00-07.00UTC (b)  08.00-15.00UTC (c)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk melihat analisis pola curah hujan dan kaitannya terhadap peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman padi sawah di Provinsi

Hasil analisis bahaya perubahan iklim dari data observasi menunjukkan bahwa untuk curah hujan tahunan kondisi iklim saat ini termasuk masuk dalam kategori normal relatif

Pada Gambar 6.c menunjukkan sebaran data antara data curah hujan tiap lokasi dalam bentuk nilai SPI dengan anomaly suhu muka laut perairan barat Sumatera Barat pada