• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penutup A. KESIMPULAN. 1. Kesejarahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penutup A. KESIMPULAN. 1. Kesejarahan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Penutup

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian profil Lembaga Tahfiz Al-Qur╨an yang dilakukan terhadap lembaga-lembaga tahfiz di Sumatera dan Kalimantan adalah sebagai berikut.

1. Kesejarahan

Lembaga Tahfiz Al-Qur╨an yang diteliti pada umumnya terhitung baru bila dibandingkan lembaga-lembaga sejenis di Pulau Jawa. Lembaga tahfiz di Sumatera dan Kalimantan kebanyakan didirikan setelah dilombakannya cabang tahfiz dalam Musabaqah Tilawatil Qur╨an (MTQ) pada tahun 1981. Di antara alasan didirikannya adalah mencetak kader-kader hufaz yang akan

(2)

berperan dalam pengembangan tahfiz di daerah-daerah, maupun sebagai anggota kafilah dalam Musabaqah Tilawatil Qur╨an (MTQ).

Sebagai contoh, lembaga tahfiz Yayasan Islamic Centre di Medan. Lembaga ini baru didirikan tahun 1982, padahal jauh sebelum berdirinya lembaga ini, telah ada seorang hafiz dan ahli dalam Ulumul Qur╨an yang telah dikenal sejak lama, yaitu KH. Azra’i. Bahkan ulama ini merupakan salah satu sumber sanad dalam tahfiz Al-Qur╨an di Indonesia. Demikian pula di Palembang; ada seorang pakar Al-Qur╨an dan tafsir yang telah dikenal lama, yaitu KH. Abdullah Siddiq, sementara Yayasan Al-Qur╨an Islamic Centre di Palembang baru didirikan pada tahun 1992. Tradisi ini berlainan dengan di Jawa. Lembaga tahfiz di ini telah lama tumbuh dan berkembang sebelum diselenggarakannya MTQ bidang tahfiz, seperti: Pesantren Tahfiz Al-Munawwir Krapyak yang didirikan tahun 1910, Pesantren Tahfiz Al-Munawwar Gresik yang didirikan pada tahun 1920, Pesantren Tahfiz Yanbu‘ul Qur╨an di Kudus yang didirikan tahun 1942, dan lain-lain. Para pendiri lembaga di atas mengembangkan bidang ini bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam Musabaqah Tilawatil Qur╨an (MTQ), tetapi lebih didasari untuk tafaqquh fil Qur╨ān, khususnya dalam bidang tahfiz.

2. Kelembagaan

Secara kelembagaan, lembaga tahfiz di dua wilayah ini ke-banyakan berbentuk yayasan, sedang lembaga pendidikannya menggunakan nama yang beragam sesuai kondisi lokalnya. Ada di antaranya menggunakan nama pondok pesantren, dayah, madrasah/sekolah, yayasan, atau lainnya. Sementara di Jawa lembaga tahfiz banyak yang berbentuk pondok pesantren. Pengelolaan lembaganya pun kebanyakan masih ditangani langsung oleh kyai dan keluarganya. Tidak semua lembaga yang

(3)

diteliti di kedua wilayah tersebut berbentuk yayasan, ada pula lembaga yang bentuk pengelolaannya ditangani langsung oleh kyai dan keluarganya, seperti kebanyakan lembaga di Jawa. Sebagai contoh, Pesantren Tahfiz Al-Ihsan di Banjarmasin. Dari sisi tradisi, pesantren ini hampir sama dengan tradisi yang ber laku pada sebagian pesantren tahfiz di Jawa, yaitu seluruh santrinya tidak diperbolehkan mengikuti musabaqah selama

nyantri di pesantren ini. Santri putri pada pesantren ini pun sangat

dibatasi dalam hal berhubungan dengan orang lain, termasuk untuk diteliti atau diwawancara. Para ustazah mengarahkan para santrinya ke arah aktivitas yang berkaitan dengan tafaqquh fiddīn agar dapat menunjang dan memudahkan dalam proses

menghafal Al-Qur╨an.

3. Sanad

Sanad adalah rangkaian atau riwayat bacaan para penghafal Al-Qur╨an yang bersambung kepada bacaan Rasulullah ☺allall☼hu ‘alaihi wa sallam. Manfaat sanad yang paling utama adalah

untuk men jaga konsistensi qiraah. Sanad bagi seorang hafiz atau lembaga tahfiz sangat penting karena keabsahan hafalan seseorang salah satunya dapat dinilai dari segi rangkaian sanadnya (di pesantren Jawa, Madura, Bali). Berlainan dengan di Jawa, Madura, dan Bali, pada lembaga-lembaga tahfiz yang diteliti di Sumatera dan Kalimantan, rangkaian sanad hufaz pada lembaga tahfiz tidak terlalu ditonjolkan, cukup dengan penguasaan hafalan (bil gaib) dengan baik. Hal ini karena pembelajaran

tahfiz di wilayah ini tidak seketat di Jawa, Madura, dan Bali, di mana seorang santri yang dinyatakan khatam akan mendapatkan

syah☼dah, sanad, dan ijazah, itu pun setelah mereka melakukan

laku khusus atau melakukan takr◄r kepada beberapa ulama tahfiz

yang lain (tabarruk). Setelah itu mereka dianjurkan melakukan

(4)

Keadaan ini memang diakui oleh para pembimbing tahfiz pada pesantren yang diteliti. Mereka merasakan adanya ke-kurangan pada predikat al-♦āfi♂ yang disandangnya karena tidak mempunyai daftar rangkaian sanad yang bersambung kepada Nabi Muhammad ☺allall☼hu ‘alaihi wa sallam. Sanad mereka

hanya disandarkan kepada pembimbing tahfiz yang mengajarkan kepadanya, dan itu pun kebanyakan berangkai pada 5 sumber ulama sanad yang ada di Jawa dan Madura (KH. Munawwir Krapyak, KH. Munawwar Gresik, KH. Said Madura, KH. Dahlan Khalil Jombang, dan KH. Mahfuz Termas).

Dari 17 pesantren yang diteliti, ditemukan satu rangkaian sanad yang bersambung kepada Nabi Muhammad dan sanad tersebut bersumber kepada KH. Azra’i Medan, yakni pada Madrasah Tahfizul Qur╨an Yayasan Islamic Centre Medan; sedang pada yang lainnya tidak ditemukan. Hanya saja, Ustaz Masruni, pengasuh tahfiz di Pesantren KH. Harun Nafsi Samarinda menyebutkan bahwa gurunya, KH. Samsul, belajar tahfiz kepada KH. Zaini yang berguru kepada KH. Nawawi Dalam Pagar, dan nama yang terakhir ini belajar tahfiz kepada KH. Muhammad Arsyad al-Banjari. Sayang, tidak ada data tertulis mengenai rangkaian sanadnya yang bersambung hingga Rasulullah ☺allall☼hu ‘alaihi wa sallam.

4. Metode Tahfiz

Keragaman bentuk lembaga tahfiz di Sumatera dan Kalimantan (pondok pesantren, dayah, madrasah/sekolah) memberikan warna tersendiri pada metode pembelajaran tahfiz nya. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang menggunakan metode madrasi, yaitu menggunakan sistem tingkatan kelas dengan target hafalan juz. Model ini digunakan pada setiap tingkatan kelas tahfiz dengan target batas juz yang ditentukan pada setiap kelasnya. Model madrasi juga diterapkan dalam bentuk

(5)

sistem madrasah dengan kurikulum mengikuti kurikulum resmi dengan ditambah waktu untuk pembelajaran tahfiz. Model ini sangat kurang efektif dalam pembelajaran tahfiz karena selain para santri/siswa lebih mengutamakan sistem madrasi juga beban yang ditanggung santri/siswa sangat berat. Mereka harus mengikuti pelajaran sekolah ditambah dengan tahfiz. Karenanya hampir tidak ada santri/siswa yang dapat menghafal Al-Qur╨an 30 juz bil gaib.

Sistem lain yang digunakan adalah sistem pesantren tahfiz. Pada sistem ini pembelajaran dikhususkan untuk menghafal Al-Qur╨an dengan tidak melihat segi usia atau lainnya. Sistem ini paling banyak menghasilkan para hufaz. Sebagai contoh, sistem yang dilakukan oleh pesantren KH. Harun Nafsi di Samarinda dan Al-Ihsan di Banjarmasin. Pesantren ini mempertahankan metode dan tradisi tahfiz yang dimodifikasi dengan mendekatkan teori pembelajaran madrasi dicampur dengan teori tahfiz. Sebagai contoh, dalam pesantren tahfiz tidak ada tingkatan kelas, tapi lebih didasarkan pada kemampuan perorangan atau kalaupun ada menggunakan tingkatan juz dengan tidak melihat faktor usia atau lainnya, sedangkan dalam sekolah ada sistem kelas yang bisa jadi didasarkan pada usia santri. Kedua sistem tersebut pada pesantren tahfiz yang bersifat madrasi disatukan dengan tetap menggunakan sistem kelas (lokal) tapi model pembelajarannya tetap mengguna kan pendekatan dan istilah tradisi tahfiz seperti: nyetor, takrir, deresan, majelis, dan lainnya.

5. Status Kelembagaan

Hampir semua lembaga tahfiz yang diteliti telah terdaftar di Kanwil Kementerian Agama setempat. Bahkan sebagian di antaranya telah mendapat pembinaan dan subsidi dari instansi daerah masing-masing. Hubungan lembaga tahfiz dengan pemerintah daerah cukup erat, terutama pada saat akan di selenggarakannya

(6)

MTQ, baik tingkat daerah maupun nasional. Namun tidak semua lembaga tahfiz yang ada mempunyai hubungan yang erat dengan pemerintah daerah, seperti Pesantren Al-Ihsan di Banjarmasin. Pesantren ini cukup dikenal namun masih tertutup dan tidak banyak berhubungan dengan pemerintah serta masih melarang para santrinya untuk mengikuti musabaqah selama masih belajar di pesantren ini. Pembelajaran yang dilakukan di pesantren ini hanya untuk memelihara kesucian dan kemurnian ayat-ayat suci Al-Qur╨an dan tafaqquh fiddīn.

B. REKOMENDASI

1. Pimpinan lembaga tahfiz hendaknya berupaya meningkatkan jaringan dengan lembaga-lembaga tahfiz lain.

2. Pihak Pemerintah Daerah dan Pusat, dalam hal ini Kemente-rian Agama, perlu meningkatkan perhatian dan ke peduli an nya terhadap lembaga tahfiz yang ada.

3. Lembaga tahfiz sebaiknya mempunyai dokumen yang me liputi data-data tentang santri, alumni, metode pembelajaran tahfiz,

syah☼dah, dan sanad para pembimbing dan santrinya dalam

rangka pencatatan sejarah untuk masa yang akan datang. 4. Sosialisasi dan pengenalan lembaga tahfiz kepada

lingkung-an sekitarnya hendaknya lebih ditingkatklingkung-an agar masyarakat lebih mengenal dan merasa memiliki serta bisa memperoleh manfaat langsung dari keberadaan lembaga tahfiz tersebut. 5. Pemerintah Daerah sebaiknya lebih banyak memberikan

bimbingan dan bantuan karena selain merupakan aset daerah juga dapat dimanfaatkan pada penyediaan hufaz untuk wilayahnya.

6. Kementerian Agama, dalam hal ini Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur╨an, perlu melakukan pendataan ulang ter-hadap pesantren tahfiz di seluruh Indonesia, mengingat data

(7)

yang ada tidak cukup akurat, baik di Kanwil atau Kantor Kemenag Kebupaten/Kota.

7. Pemerintah perlu menyusun kurikulum pesantren/lembaga tahfizul Qur╨an yang terkait dengan Ulumul Qur╨an, Ulumut Tafsir, serta ilmu-ilmu keagamaan lainnya yang bermanfaat.[]

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir Membuat design konstruksi gambar bukaan dengan Menentukan pondasi mesin keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang mengunakan

Mempraktikkan variasi dan kombinasi pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor, dan manipulatif dalam permainan bola kecil yang dilandasi konsep gerak dalam berbagai permainan

penjualan organ tubuh berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana peqiualan organ tubuh

Hasil Ujian Nasional, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2005 pasal 2, digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk

Menurut penuturan bapak Afroh, nasi dikepal itu mirip seperti simbol yang sering digunakan dalam peribadatan Agama Hindu yaitu japa mala , untuk kemudian oleh Sultan

Hubungan Self-Efficacy dengan Prestasi Bahasa Inggris di Kelas Conversation (Penelitian pada Kursus Bahasa Inggris ILP).. Unika Atma Jaya,

Sistem Outsourcing di Indonesia masih ada praktik menyimpang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan BUMN, pekerja yang bekerja diperusahaan tersebut telah

Dehidrasi yang dilakukan yaitu dengan cara adsorbsi menggunakan molecular sieve 3A, silica gel, dan kombinasi dari molecular sieve 3A + silica gel. Dari percobaan adsorbsi dari