• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA KEMISKINAN DI MASYARAKAT : TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUDAYA KEMISKINAN DI MASYARAKAT : TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkah-langkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya, atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah jumlah maupun tingkat kemiskinannya.

Fenomena kemiskinan sendiri berkaitan erat dengan konsep dan permasalahan ketidak adilan dan disintegrasi kelompok, menunjuk pada sebuah jalinan konsep yang memberi sebuah

TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN

BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT

Ketut Sudhana Astika Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana, Bali ABSTRACT :

The culture of poverty is contructed from the situation which categorized people into two categories, under and above poverty line, which also being categorized by specific characteristics including the impact on those groups. The culture of poverty is an adaptation of a group of people on their marginal condition, but not for their existence because some of their characteristics and attitudes are more limited on the present orientation and their inferiority, apathy, and the lack of future planning.

Key words : poverty, culture of poverty, community

pengertian yang saling berkait satu sama lain. Masing-masing konsep bisa dilihat secara tunggal dengan pengertian tersendiri atau analisis saling keterkaitan atau keterhubungan satu dengan lainnya dalam konteks kausalitas. Kemiskinan bisa terjadi karena adanya ketidak adilan di masyarakat yang dapat mengganggu rasa kebersamaan, atau karena perlakuan yang tidak adil dalam perlakuan/pemerataan, ada masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai hal yang berakibat pada pertentangan dan perpecahan.

Pola kekuasaan yang ada memungkinkan sebagian kecil atau sekelompok individu merasa dapat perlakuan yang tidak adil dan kesempatan yang sama memperoleh asset dan akses untuk berkembang, berpotensi pada terbentuknya kelompok minoritas yang merasa miskin karena proses pemiskinan yang berlangsung. Kelompok seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang

(2)

berperilaku menyimpang sehingga terjadilah penentangan dan konflik dengan dampak yang lebih luas, yaitu disintegrasi masyarakat.

Sebaliknya gejala terjadinya disintegrasi di masyarakat dengan memudarnya kebersamaan dan rasa persatuan diantara sesama warga masyarakat memberi ciri pada melemahnya pola interaksi sosial, menghilangnya rasa kebersamaan diantara sesama warga hilangnya rasa kohesi sosial dan berdampak pada tindak ketidak adilan dan berlangsungnya proses pemiskinan dikalangan warga masyarakat.

2. RAGAM PEMIKIRAN TENTANG

KEMISKINAN

Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya).

Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian terserap ke dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan manusia. Kemiskinan yang diderita oleh sekelompok orang bahkan sebuah masyarakat, menghasilkan suatu keadaan dimana warga masyarakat yang bersangkutan merasa

tidak miskin bila berada dan hidup diantara sesamanya. Karena berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan para warga kelompok tersebut dirasakan sebagai suatu hal yang biasa (sebagai fenomena biasa dalam kehidupan keseharian mereka). Pada kondisi seperti itu tidak ada yang diacu untuk pamer, sehingga diantara mereka tidak ada perasaan saling berbeda, yang dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam keadaan demikian, maka kemiskinan terwujud dalam berbagai cara-cara mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat hidup. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan model-model adaptasi mereka menghadapi kemiskinan.

Pada era gencarnya prmbangunan di tahun 1970-1980, sebuah seminar ilmiah yang diadakan oleh Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS), diadakan di Malang tanggal 13-17 November 1979, dengan tema dan hasil yang monumental sampai saat ini, yaitu ‘Kemiskinan Struktural’ (Soemardjan, 1980), dimana dalam pendapatnya dinyatakan bahwa kemiskinan struktural tidak menunjuk pada individual yang miskin karena malas bekerja atau tidak mendapatkan penghasilan, tetapi lebih banyak karena struktur sosial masyarakat yang ada telah membatasi hak-hak mereka untuk mendapatkan/menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia untuk mereka.

Pada kondisi seperti itu kelompok masyarakat yang berada pada kondisi seperti itu pada umumnya memiliki kesadaran akan

(3)

nasibnya yang berbeda dengan kelompok/ golongan lainnya. Dalam kelompok miskin secara struktur ini, masih menurut Soemardjan, ada para petani yang tidak bertanah atau mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya. Juga golongan mereka yang tidak terdidik dan terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang terhambat untuk memasuki pasar kerja, golongan miskin itu juga meliputi para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, atau golongan ekonomi lemah.

Pembicaraan tentang kemiskinan penduduk perkotaan, diungkap oleh Gavin Jones (dalam Dorodjatun, 1986), yang menyatakan bahwa sebagai akibat dari migrasi penduduk pedesaan ke kota (khususnya kota-kota di Jawa), telah menambah jumlah penduduk miskin yang ada karena dua hal yaitu : karena penambahan secara alamiah (lebih banyak kelahiran dari pada kematian); dan karena adanya migrasi orang desa ke kota yang terus bertambah (untuk mencari pekerjaan). Gavin Jones bahkan berteori bahwa bagaimanapun orang-orang desa yang bermigrasi membandingkan bahwa ada peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih panjang dikota, walau harus tinggal diperkampungan.

Apa yang dinyatakan Gavin Jones, sebenarnya ditunjang oleh temuan dua peneliti lainnya. Peneliti pertama, Graeme Hugo (1986) yang memfokuskan migrasi sirkuler penduduk sekitaran Jakarta antara lain penduduk kabupaten yang berdekatan dengan Jakarta, seperti Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi. Perkembangan industri dan pembangunan kota di Jakarta sangat menarik minat para penduduk di desa-desa kabupaten tadi untuk pindah dan menetap di Jakarta. Dan secara umum para

migrant dalam teori yang dikemukakan oleh Graeme Hugo, besarnya angka/jumlah migrant sangat tergantung pada jarak daerah asal dan kota tujuan, sarana transportasi yang tersedia, dan kondisi perkembangan kota tujuan. Sehingga ia kemudian mengklasifikasi model migrasi ke kota yang ada yaitu : ‘pindah, merantau, dan pulang balik’.

Temuan kedua merupakan penguatan teori Graeme Hugo yang dilakukan Lea Jellinek (1986), dalam tulisannya ‘sistem pondok dan migrasi sirkuler’, khususnya pada migran penduduk desa ke kota Jakarta. Jellinek menganalogikan ‘pondok’ sebagai sebuah rumah sederhana tempat menginap di pedesaan. Di Jakarta para migrant mengartikan dan memfungsikan ‘pondok’ bukan saja sebagai tempat menginap, tetapi juga menjadi tempat usaha dan kegiatan kehidupan lainnya. Karena itu dalam temuan penelitiannya, ratusan pondok-pondok yang tersebar di seluruh kota menjadi berbagai pangkalan, tempat usaha kecil berjalan, dan ada ribuan pengusaha dengan modal kecil hidup (umumnya para migrant sirkuler) dalam ‘sistem pondok’ dengan sistem ‘tauke’ yang terstruktur dan kuat. Pondok juga menampung pendatang baru dari desa-desa yang sama, dan menyediakan lapangan kerja sehingga selalu menarik minat bagi berlangsungnya proses ‘migran sirkuler’.

Sebenarnya temuan-temuan penelitian dari Gavin Jones, Graeme Hugo maupun Lea Jellinek, lebih banyak barbicara dan berteori tentang migarasi dan aspek-aspeknya, tetapi dampak dari temuan mereka serta teori mereka sangat berperan dalam berkembangnya jumlah penduduk kelompok miskin diperkotaan (khususnya Jakarta), atau model-model yang mereka temukan telah menjadi ‘model’ yang juga

(4)

melanda kota-kota lain yang berkembang di Indonesia. Kemiskinan perkotaan telah menjadi ‘model’ dari perkembangan kota, dan juga merupakan masalah bagi pemerintahan dan manajemen perkotaan. Karena dari cara hidup para migran di perkotaan inilah telah lahir pola adaptasi, nilai-nilai yang diyakini, respons dalam tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang khas penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya disebut dengan kebudayaan kemiskinan.

3. MAKNA KEBUDAYAAN

KEMISKINAN

Istilah kebudayaan kemiskinan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang antropolog Amerika, Oscar Lewis dalam Suparlan (1984). Kebudayaan dalam pengertian Oscar Lewis mencakup apa yang diyakini (nilai-nilai), respons dalam tindakan (sikap), dan abstraksi-abstraksi dari kelakuan (pola-pola kelakuan). Tiga kategori inii sebenarnya tidak dapat digolongakan sebagai/dalam sebuah kategori budaya. Karena masing-masing kategori tersebut dengan unsure-unsurnya terkategorisasi secara bertimgkat-tingkat menurut ciri-cirinya. Karena itu kemudian karya-karya Oscar Lewis dalam mengkaji kebudayaan kemiskinan lebih bersifat deskriptif dan kasuistik, yang tidak dapat menghasilkan formula yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan. Namun, dengan kelemahan metodologis yang dimilikinya Oscar Lewis masih dapat/mampu mengidentifikasi bahwa kebudayaan kemiskinan itu tidak pernah ada dalam sebuah masyarakat yang menganut system kekerabatan yang patrilineal atau matrilineal. (Suparlan, 2008 : 369).

Selanjutnya menurut Oscar Lewis, dalam Suparlan (1984), mengidentifikasi bahwa dalam

kebudayaan kemiskinan (terutama di perkotaan), adalah sebagai konskwensi dari masyarakat dengan kepadatan tinggi, terbatasnya akses-akses terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan dan sarana pendidikan. Kebudayaan kemiskinan juga bisa terwujud dalam situasi ekonomi yang terdeferensiasi, berkembamngnya system ekonomi uang, buruh upahan, dan sistem produksi untuk keuntungan.Demikian juga pada masyarakat yang mempunyai institusi social yang lemah untuk mengontrol dan memecahkan masalah sosial dan kependudukan, yang berdampak pada pertumbuhan tinggi dan pengangguran juga tinggi.

Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam massyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis berciri kapitalisme. Sehingga yang mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang berstratarendah, mengalami perubahan social yang drastic yang ditunjukkan oleh ciri-ciri :

1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis dan perpecahan;

2. Pada tingkat komunitas local secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga inti dan keluarga luas;

3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan

(5)

terbentuknya keluarga matrilineal dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaaknya;

4. Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri;

5. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan ibu,lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya; 6. Kebudayaan kemiskinan juga membentuk

orientasi yang sempit dari kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran kelas walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status;

Dengan enam ciri tersebut sebenarnya sudah dapat diidentifikasi kelompok masyarakat mana yang termasuk dalam kategori masyarakat dengan kebudayaan kemiskinan. Mungkin ciri-ciri yang dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut memang lebih banyak dapat dilihat pada ciri masyarakat miskin perkotaan.

Tokoh-tokoh lain yang juga berbicara tentang kemiskinan antara lain Chris manning dan tadjuddin Noer Effendi (1983) yng berbicara tentang kemiskinan di perkotaan dengan penekanan pada masalah urbanisasi, pengangguran dansektor informal perkotan,

membawa analisa mereka pada budaya kemiskinan yang dilihat dari berbagai dimensi : ekonomi, politik dan social budaya. Dan hasil seminar HIPIIS di Malang 13-17 Nopember 1079 adalah hasil monumental tentang ‘Kemiskinan Struktural’ yang mana pemikiran para ahli ilmu sosial tentang kemiskinan dihimpun oleh Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan (1980). Mereka menunjukkan perhatian tentang kemiskinan dari berbagai aspek.

Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang menghimpun sejumlah hasil penelitian kependudukan dan masalah kemiskinan dalam ‘Kemiskinan di Indonesia’ (1986), melihat masalah kemiskianan muncul sebagai dampak dari kebijakan pembangunan khususnya pembangunan desa-kota yang tidak seimbang, sehingga berdampak pada berkembangnya fenomena kemiskinan (khususnya di perkotaan). Pembicaraan secara khusus tentang ciri kemiskinan yang lain adalah munculnya fenomena sektor informal perkotaan seperti yang dibicarakan Prof. Dr. Rusli Ramli,MS dalam buku Sektor Informal Perkotaan : Pedagang Kaki Lima (1992). Dikemukakan bahwa dimulai dari kebijaksanaaan ekonomi, kesempatan kerja yang terbatas, dan sifat para birokrat kota kepada para pedagang kaki lima, dan terbentuknya jaringan sosial antara pedagang kaki lima dengan berbagai sektor lainnya, yang kemudian memberi wajah dominan pada sebuah kota. Rusli Ramli juga membicarakan tentang bagaimana latar belakang social para pedagang antara lain : pola orientasinya, organisasi, status perkawinan dan jumlah tanggungan, yang menggambarkan tentang adanya kemiskinan.

(6)

4. KESIMPULAN

Ada banyak tokoh yang berbicara tentang kemiskinan secara individual atau secara berkelompok, namun diketahui ada kelembagaan yang secara khusus berbicara tentang kemiskinan (HIPIIS) dengan konsepnya yang cukup bergema yaitu konsep kemiskinan struktural.

Pembicaraan tentang teori kemiskinan khususnya tentang kebudayaan kemiskinan, sampai kini masih dapat digunakan pemikiran teori dari Oscar Lewis (1955), yang teorinya masih dirujuk oleh pemikir setelahnya termasuk antropolog Parsudi Suparlan yang lebih mengkhususkan perhatiannya pada masalah antropologi perkotaan.

Teori-teori lain yang berkembang dan dikembangkan oleh para ahlinya, lebih banyak menyatakan bahwa kemiskinan adalah dampak dari masalah kependudukan khususnya migrasi desa-kota yang tidak terkendali. Kemiskinan dan kebudayaan kemiskinan terbentuk dari suatu situasi, yang mengelompokkan masyarakat dalam dua kategori, yaitu miskin dan tidak miskin. Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat sebuah kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan juga dampak yang ditimbulkannya pada kelompok miskin tersebut.

Kebudayaan kemiskinan merupakan adaptasi dan penyesuaian oleh sekelompok orang pada kondisi marginal mereka, tetapi bukan untuk eksistensinya karena sejumlah sifat dan sikap mereka lebih banyak terbatas pada orientasi kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis, dan sempitnya pada perancanaan masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan : 1980.

kemiskinan Struktural, Suatu Bunga

rampai; 1980. Jakarta. Yayasan

Ilmu-ilmu social.

Doyle, Paul Johnson : Teori Sosiologi, Klasik dan

Modern (terjemahan : Robert MZ

Lawang). 1986. Jakarta. Penerbit PT Gramedia.

Hauser, Phillip M.cs : Penduduk dan Masa

Depan Perkotaan,1985. Jakarta.

Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Kompas, Penerbit Buku Kompas ; Demokrasi,

Kekerasan, Disintegrasi: 2001. Jakarta.

Penerbit Buku Kompas

Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun : Kemiskinan di

Indonesia; 1986. Jakarta. Yayasan Obor

Indonesia.

Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Herlianto, : Urbanisasi, Pembangunan, dan

Kerusuhan Kota; 1997. Penerbit Alumni

Bandung.

Manning Chris dan Tadjuddin Noer Effendi :

Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota; 1983. Yogjakarta

Penerbit PPSK-Univ Gajah Mada. Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael

Dove : Nelayan dan Kemiskinan, Studi

Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai; 1984. Jakarta. Penerbit Rajawali.

Ramli,Prof.Dr. Rusli : Sektor Informal Perkotaan

Pedagang kaki Lima; 1992. Jakarta.

Penerbit Ind-Hill-Co.

Sairin, Prof. Dr.Syafri : Perubahan Sosial

Masyarakat Indonesia, Perspektif Antrpologi;2002. Yogjakarta. Penerebit

Pustaka Pelajar.

Sunarto, Kamanto : Pengantar Sosiologi; 1993. Jakarta. Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

(7)

Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan

Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta.

Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi : Dari Masyarakat Majemuk

Menuju Masyarakat Multikultural;

(buku kumpulan tulisan Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D. In Memorium, editor : Chrysnanda. DL dan Yulizar Syafri); 2008. Jakarta. Penerbit JPKIK.

Referensi

Dokumen terkait

Kecanggihan zaman sains dan teknologi telah membawa berbagai-bagai peralatan yang moden untuk merawat pesakit yang kronik atau sebaliknya. Namun permasalahan masih lagi

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten

Untuk mengimplementasikan pengendali PID pada mikrokontroler, bentuk sinyal kendali tersebut diubah menjadi bentuk diskrit, sesuai dengan persamaan (2). Secara

Praktek Kerja Lapang (PKL) yang dilaksanakan oleh mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan di berbagai perusahaan dan

Dalam bentuk yang sederhana sentrifus terdiri dari sebuah rotor de ngan lubang- lubang untuk meletakkan wadah/tabung yang berisi cairan dan sebuah motor atau alat lain yang

Meningkatkan kesadaran politik bagi penyandang disabilitas melalui sebuah sosialisasi bahwa partisipasi penyandang disabilitas dalam politik sangat penting karena hak yang

Aktivitas di Luar Bidang Kenelayanan Tidak semua perempuan dalam komunitas nelayan yang mempunyai peran produktif melakukan aktivitas yang terkait langsung dengan

Proses seleksi yang ditempuh penulis dilakukan atas dasar adanya relevansi dengan tujuan penelitian, yakni mengungkapkan wacana “asimilasi paksa” yang dilakukan