• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kepastian manusia akan kematiannya tidak diragukan lagi. Tidak ada satu pun manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kepastian manusia akan kematiannya tidak diragukan lagi. Tidak ada satu pun manusia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kepastian manusia akan kematiannya tidak diragukan lagi. Tidak ada satu pun manusia yang akan hidup selama-lamanya. Karena kita mengetahui hal ini, momen kematian menjadi suatu proses dalam kehidupan manusia yang mendapat tempat istimewa, bahkan lebih dari momen kelahiran. Mendengar kata-kata kematian, orang akan teringat dengan berakhirnya keberadaan seseorang di dunia. Kita tak akan bertemu lagi dengannya dalam bentuk seperti sebelumnya.

Perpisahan manusia satu dengan lainnya akibat kematian membuat manusia punya beragam cara dalam menghadapinya. Misalnya saja mengawetkan jenazah dengan cara dibalsem seperti yang dilakukan di Mesir. Cara lain adalah sebaliknya, mengakhir eksistensi apapun dari tubuh si mati dengan cara membakar jenazah sehingga tak ada bentuk fisik yang tersisa. Dari kematian inilah ada yang namanya kuburan, tempat menyimpan jenazah dan atau sisa dari jenazah. Kepastian tentang sejak kapan manusia mulai menggunakan cara-cara penguburan yang beragam dalam memperlakukan jenazah, sulit dilacak mulainya. Cara menguburkan memberikan nama yang berbeda-beda pula tentang lokasi kuburan. Kuburan mempunyai banyak jenis penyebutan di seluruh dunia (Worpole: 2003), di antaranya: burial, graveyard, garden, burying ground, mausoleum, ossuary, columbarium, coemeterium, atrium, memorial garden / park / sculptures, commemorative landscape, cenotaphs, tomb dan masih banyak lagi.

Sepuluh tahun lalu, sebagian besar kompleks kuburan hanyalah suatu area tertentu tempat jenazah berakhir dengan caranya masing-masing. Ada yang dipendam dalam tanah, dibakar, diawetkan dan banyak cara lain memperlakukan jenazah di tempat tersebut.

(2)

Kata kuburan di Indonesia punya banyak nama, misalnya pemakaman, asta, astana, sentana, pasarean dan banyak nama lain dari berbagai sukubangsa dan tradisi. Menurut Issatriyadi (dalam Syam, 2005: 138-139), pasarean berasal dari bahasa Jawa yang artinya tempat tidur atau kuburan. Sedangkan asta dan astana berasal dari bahasa Sansekerta stha yang berarti berdiri, tinggal, tetap, diam dan istirahat. Sedangkan astana berarti tempat kediaman (mandala) atau pertapaan.

Dalam bahasa Indonesia, kata makam atau kubur umumnya digunakan untuk menyebut tempat memakamkan atau menguburkan mayat. Keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata makam berasal dari kata maqam yang artinya tempat, status atau hierarki. Maka sebuah makam belum tentu berisi jasad manusia, bisa jadi berupa jejak petilasan saja, seperti maqam Ibrahim di Mekah berupa jejak kaki Nabi Ibrahim. Sedangkan kubur berasal dari kata qabr, yang artinya tempat menyimpan jenazah. Dalam bahasa Indonesia kata qabr diucapkan menjadi kubur atau kuburan, bahkan dalam bahasa Betawi diplesetkan menjadi kober. Jadi lebih tepat jika kita menggunakan kata kuburan untuk tempat-tempat tubuh yang sudah tak bernyawa.

Apabila kita mempelajari kembali zaman prasejarah, tepatnya zaman megalitikum (sekitar 5000 tahun lalu), kuburan sudah memainkan peranan penting dalam menjalankan ritual kepercayaan dalam suatu masyarakat. Di Indonesia, sejak dimulainya masa bercocok tanam, masyarakat mulai memperhatikan adanya unsur penting dalam proses kehidupan, yaitu kematian dan alam kehidupan setelah manusia mati (Wiradnyana: 2011).

Proses kematian merupakan salah satu proses penting bagi tradisi zaman prasejarah. Di era ini masyarakat mempercayai bahwa roh orang yang meninggal akan bersemayam di tempat yang

(3)

tinggi, contohnya gunung. Dalam kepercayaan masyarakat prasejarah di Sumatera bagian Utara1 misalnya, roh orang meninggal dipercaya bertempat di atas sebuah rumah adat karena mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara orang hidup dan roh orang mati. Mereka juga mempercayai keberadaan roh di dalam rumah (begu jabu) atau di luar rumah untuk menjaga kampung dan menjaga keluarga satu klan. Mereka kemudian membuat wadah kubur yang posisinya cukup tinggi dari rumah-rumah masyarakat lainnya dan secara simbolis menghadap ke tempat-tempat tinggi. Biasanya kuburan dibangun di tebing-tebing batu yang menghadap gunung (Wiradnyana: 2011).

Sejak zaman prasejarah masyarakat Indonesia tidak memandang kuburan sebagai tempat yang menakutkan. Justru sebaliknya, area kuburan dipandang sakral dan disucikan. Banyak dijumpai kuburan yang letaknya berdekatan dengan kampung atau di halaman rumah karena adanya keyakinan roh masih terus bersama keluarga dan masyarakat yang ditinggalkan.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam cara memperlakukan orang yang sudah mati. Sebagian besar dari cara memperlakukan jenazah adalah dikubur dalam tanah, karena mengikuti ajaran agama samawi, yakni agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan keturunannya, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Dalam banyak tradisi di Indonesia, penguburan dilakukan sebanyak dua kali. Pertama kuburan primer untuk jasad yang baru mati. Cara penguburan ini ialah menempatkan jenazah di dalam tanah.

Kedua, kuburan sekunder atau kuburan permanen, tempat tulang-belulang si mati disimpan dalam wadah kubur setelah sebelumnya dibersihkan dan melewati serangkaian ritual. Hingga sekarang masih banyak suku bangsa di Indonesia yang melakukan sistem penguburan primer dan sekunder ini. Cara mereka mengubur, melengkapi bekal kubur dan membuat perayaan

(4)

pascakematian terlihat jelas untuk menunjukkan dari status sosial mana mereka bera sal. Misalnya suku Batak Toba, Batak Karo, Dayak, Toraja, Bali, dan lain-lain (lihat Coville dalam Chambert-Loir dan Reid, 2002: 70-75).

Dari uraian singkat ini dapat kita cermati bahwa sejak zaman prasejarah, masyarakat Indonesia sudah menjadikan kematian sebagai ajang reproduksi kelas. Seiring dengan masuknya agama-agama baru, terutama agama-agama samawi, kepercayaan masyarakat mulai bergeser, namun bukan berarti mereka mengubah adat sama sekali. Sistem penguburan yang mulai berganti ini tetap menunjukkan perbedaan antara status sosial dan ekonomi si mati.

Fenomena lain yang menarik adalah permasalahan yang dihadapi kuburan-kuburan di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Pertama, kuburan dijadikan tempat tinggal bagi orang miskin. Di beberapa TPU hal ini sudah lama terjadi. Misalnya di TPU Kebon Nanas, Jakarta. Di antara gundukan tanah kuburan, bangunan liar tidak permanen kerap terlihat. Ada yang tidur menggunakan alas kardus, ada yang langsung rebahan saja di antara nisan, ada juga yang mendirikan tenda. Kedua, permasalahan banjir dan longsor. Pada bulan Februari 2014 lalu, TPU Pancara Tridharma di Bekasi, mengalami longsor 20 meter karena banjir. Tujuh kuburan hanyut terbawa arus dan dua kuburan lain tertimbun longsoran. Ahli waris dibantu petugas kuburan dan warga sekitar TPU membantu pencarian tulang belulang jenazah untuk dikuburkan ulang di lokasi lain.

Pada bulan dan tahun yang sama, TPU Karet Bivak yang ternama di Jakarta juga mengalami banjir hingga 70cm. akibatnya peziarah dan pedagang di sekitar TPU tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Ketiga, permasalahan hak milik tanah. Permasalahan ini menimpa kuburan-kuburan yang menggunakan tanah keluarga atau tanah komunal. Seperti pada Februari 2014, terjadi pembongkaran 12 kuburan tua di Pasuruan, Jawa Timur, karena perseteruan

(5)

tentang kepemilikan tanah. Beragam permasalahan lain yang sering terjadi di TPU adalah masalah kebersihan, keamanan, kenyamanan peziarah dan sebagainya.

Dalam banyak tradisi di berbagai negara, kuburan bukanlah suatu tempat tujuan untuk rekreasi. Bahkan sebagian besar kuburan masih dibentuk secara buruk (Worpole; 2003: 38). Seperti yang disampaikan Richard Veit (2008: 1) kesan kuburan di mana saja nyaris selalu sama, menakutkan dan menyeramkan. Kuburan sebisa mungkin dijauhi orang.

Di Indonesia, sejak tahun 2003 muncul berbagai komplek kuburan yang menawarkan berbagai fasilitas yang mewah. Di antaranya adalah San Diego Hills. Kuburan seluas 500 ha ini dibangun oleh PT. Lippo Karawaci dan diresmikan pada tahun 2007. San Diego Hills dibuat dengan konsep taman dan mengadakan prosesi penyelenggaraan jenazah yang berbeda dibandingkan dengan di tempat pemakaman lain. Dari keunikan inilah saya merasa tertarik untuk menganalisis bagaimana praktik konsumsi pemakaman San Diego Hills yang menurut asumsi awal saya mengalami pergeseran.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang saya uraikan sebelumnya, rumusan masalah yang hendak saya teliti adalah:

Bagaimana praktik konsumsi atas pemakaman San Diego Hills untuk mendapatkan distingsi sosial ?

1.3. Tujuan Penelitian

Menganalisis dan memahami bagaimana praktik konsumsi atas pemakaman San Diego Hills Memorial Parks and Funeral Homes untuk mendapatkan distingsi sosial.

(6)

1.4. Tinjauan Pustaka

Ken Worpole (2003) dalam buku Last Landscapes: The Architecture of The Cemetery In The West membahas sejarah arsitektur dan budaya tempat pemakaman di Eropa dan Amerika Utara, dari zaman prakristen sampai sekarang. Worpole juga meringkas berbagai lansekap khas dan fitur arsitektur tempat-tempat, hubungannya dengan sistem kepercayaan dan struktur sosial. Lalu ada diskusi tentang praktek penguburan yang berbeda dalam budaya yang terkait dengan berbagai prosesi penguburan seperti kremasi, pemakaman dan penguburan dalam bentuk monumen di atas tanah, serta pertimbangan isu perdebatan dari isi ulang kuburan dalam pandangan berbagai negara dan budaya.

Penelitian tentang sejarah pemakaman di Hong Kong, tepatnya sejak abad ke 18 dilakukan oleh Patricia Lim (2011) dengan judul Forgotten Souls: A Social History of The Hongkong Cemetery. Patricia membahas mengenai pola-pola pemakaman dari masa satu dinasti ke dinasti lainnya.

Ketiga, New Jersey Cemeteries and Tombstones, adalah penelitian Richard F Veit dan Mark Nonestied (2008). Buku ini adalah hasil penelitian mendalam tentang seluk beluk kuburan di New Jersey. Veit dan Nonestied membahas mengenai kuburan-kuburan di wilayah tersebut sejak abad ke 17 hingga beberapa dekade terakhir. Adapun fokus penelitian yang dibahas adalah bentuk-bentuk kuburan dan area pemakaman secara keseluruhan. Juga mengenai bagaimana bangunan kuburan merefleksikan beragam sejarah negara dan kekayaan budayanya.

Penelitian lain dilakukan Tri Subagya dalam skripsinya yang sudah dibukukan (2004) dengan judul Menemui Ajal; Etnografi Jawa Tentang Kematian. Seperti suku-suku lain di Indonesia, suku Jawa punya cara tersendiri dalam menghadapi kematian. Mengambil lokasi di sebuah dusun di Muntilan, Subagya melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah kematian

(7)

dikonstruksikan secara sosial. Masyarakat Jawa punya kebiasaan tak tertulis untuk saling menjaga kerukunan karena menyadari bahwa ketika kematian datang, mereka membutuhkan pertolongan orang lainuntuk mengurusnya. Dalam pembahasan lebih lanjut Tri mengulas tentang bagaimana masyarakat yang ditelitinya memperbincangkan kematian, mempersiapkan kematian, bergotong royong mengurus jenazah, hingga melakukan berbagai ritual di seputar kematian.

Penelitian mengenai ukiran pada monumen-monumen yang digunakan sebagai kuburan diulas oleh Annette Stott (2003) dalam Pioneer Cemeteries, Sculpture Gardens of The Old West. Stott membahas bagaimana pahatan ukiran nama, patung dan bentuk seni lainnya begitu penting dalam menyimbolkan siapa saja yang dikubur atau dikenang. Fokus penelitian ini dilakukan pada kuburan-kuburan di Pegunungan Rocky, Colorado, Utah, Idaho, Montana dan Wyoming di Amerika atau yang Stott sebut American Rockies.

Henri Chambert-Loir dan Anthony Reid (2002) menjadi editor buku The Potent Dead: Ancestors, Saint and Heroes In Contemporary Indonesia. Buku ini berisi 13 tulisan mengenai berbagai ritual kematian di Indonesia. Ada tentang suku Bugis, Jawa, Ahoeng, Dayak Ngaju, Toraja, Batak, Gumai dan sebagainya. Ritual di seputar kematian bagi masyarakat Indonesia, menempati posisi yang sakral. Jenazah dihormati tidak hanya saat proses penguburan, tapi sampai bertahun-tahun kemudian dengan menggelar berbagai ritual. Hal ini tidak lepas dari beragamnya kepercayaan masyarakat Indonesia, meskipun mereka mempunyai agama-agama yang tidak mengajarkan ritual-ritual tersebut, bahkan menentangnya.

Dalam bab terakhir di buku Chambert-Loir, dibahas mengenai peran negara dalam mengkonstruksi nilai kebangsaan. Di Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, negara menyelenggarakan penguburan kembali jenazah orang-orang yang bergelar pahlawan nasional. Mereka dipindahkan ke pusat pemerintahan di Jakarta, tepatnya dikuburkan ulang di Taman

(8)

Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Ritual - ritual seputar kematian rupanya dilakukan tak hanya oleh masyarakat tradisional yang menganut kepercayaan tertentu, namun sampai pada tataran negara untuk menegaskan kembali kekuasaaan mereka.

1.5. Landasan Teori 1.5.1. Praktik Konsumsi

Konsumsi merupakan sebuah sistem yang dibangun dari berbagai elemen yang saling terhubung dan membentuk sebuah struktur. Konsumsi juga merupakan sebuah ruang aktivitas praktis yang terpenuhi beragam tindakan, relasi kekuasaan, perjuangan, kontradiksi dan perubahan (Featherstone, 2007: 16).

Kata konsumsi berasal dari bahasa Inggris consumption yang artinya untuk menggunakan (to use up) atau untuk menghancurkan (to destroy). Selain itu kata konsumsi merujuk pada bahasa Latin consumare, yang berarti untuk mewujudkan, seperti dalam mewujudkan makan untuk mengenyangkan perut. Konsumsi (Paterson; 2006: 8), oleh karena itu secara bersamaan menghancurkan (menggunakan) dan menciptakan (membawa ke pemenuhan).

Apa yang kita konsumsi bisa dibedakan menjadi dua hal (Hirshman, 1982: ch. 2; Leiss, Kline dan Jhally, 1986: 260 dalam Featherstone, 2007: 16). Pertama, bersifat tahan lama, yaitu sesuatu yang kita gunakan untuk aktivitas hidup dan atau bersenang-senang. Apa yang kita konsumsi ini tak sering dibeli karena sifatnya tahan lama. Rata-rata orang akan membeli kulkas tak lebih dari satu kali saja dalam hidupnya. Kulkas akan dibeli lagi apabila sudah tidak berfungsi. Kedua, bersifat tidak tahan lama dan dibeli karena diperlukan untuk bertahan hidup seperti makanan, minuman, pakaian dan untuk kebutuhan tidak pokok seperti produk perawatan tubuh.

Konsumsi bukan hanya dipahami sebagai suatu proses yang melibatkan pertukaran ekonomi semata. Seperti yang dikatakan Michael de Certeau (1984: xii-xv) konsumsi terdiri dari

(9)

cara mengenai hal-hal yang dilakukan oleh konsumen terhadap produk-produk, bagaimana konsumen memakainya, apa yang diperbuat konsumen terhadap produknya dan bagaimana cara melakukan sesuatu.

Budiman (2002: 20) menulis, selain melibatkan pemakaian produk-produk, konsumsi juga merupakan suatu proses atau tindakan yang dihidupkan melalui berbagai praktik. Sebagaimana membeli barang atau menggunakan jasa, pemesanan kuburan San Diego Hills terdiri dari serangkaian praktik konsumsi. Mulai dari pembelian, kegiatan penguburan, ziarah, rekreasi dan sebagainya.

Praktik konsumsi dilakukan oleh semua makhluk hidup, kita sudah melakukannya sejak dalam kandungan (Jenkins: 2004). Praktik konsumsi tidak sepenuhnya disadari ataupun sepenuhnya tidak sadar, berakar dalam satu proses belajar terus-menerus sejak masa kanak-kanak. Karakteristik dari praktik adalah sebagai berikut. Pertama, praktik berada dalam ruang dan lebih signifikan lagi, dalam waktu. Praktik adalah sesuatu yang dapat diamati dalam tiga dimensi dan tentu saja dari waktu ke waktu. Temporalitas, urutan waktu yang niscaya, merupakan satu karakteristik aksiomatis (dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) dari praktik: waktu merupakan kendala dan sumber bagi interaksi sosial. Lebih dari itu, waktu dan logika tentu saja dikonstruksi secara sosial. Praktik sebagai suatu fenomena sosial yang tampak dan objektif tidak dapat dipahami di luar konteks ruang dan waktu. Segala analisis praktik yang memadai harus memperlakukan temporalitas sebagai karakteristik sentral di dalam inti analisisnya.

Kedua, praktik secara sadar maupun tidak, diatur dan digerakkan. Tidak ada yang sepenuhnya acak atau kebetulan. Praktik berakar dalam satu proses belajar terus-menerus sejak masa kanak-kanak, tanpa disadari. Meskipun praktik dipahami tanpa kehendak sadar, hal ini bukannya tanpa tujuan. Pembedaan adalah tujuan praktik konsumsi. Sesama orang dari kelas atas

(10)

pun masih ingin dibedakan antara satu dengan lainnya. Misalnya perbedaan orang kaya lama dan orang kaya baru atau yang berpendidikan dan kurang berpendidikan. Masyakarat kelas atas membedakan diri dengan banyak hal, salah satunya dengan pemilihan kuburan. Masyarakat dari kelas atas ini ingin menunjukkan selera yang berbeda dengan masyarakat dari kelas menengah dan bawah. Selera adalah salah satu dari penanda kunci dan elemen identitas sosial (Jenkins; 1992: 90). Disadari maupun tidak dengan pemilihan sesuatu yang berbeda, mereka ingin dilihat dengan cara yang berbeda juga oleh masyarakat lain. Maka praktik mengkonsumsi menjadi salah satu arena bagi mereka untuk membedakan diri. Komoditas dipertukarkan dan digunakan sebagai penanda posisi sosial oleh konsumen yang mendefinisikan posisi relatif mereka dengan konsumen lainnya (Paterson: 39). Ketiga, kecairan dan indeterminasi (ketidakpastian) yang khas. Seni improvisasi niscaya yang mendefinisikan kualitasnya (Jenkins: 42-43). Maksudnya praktik penuh dengan improvisasi dan terjadi tanpa kepastian.

1.5.2. Distingsi Sosial

Dalam teori distingsi, Bourdieu (1984) memberi penjelasan tujuan dari konsumsi yang lebih jauh, yaitu untuk pembedaan. Di sini kita dapat melihat karya Bourdieu (1984) yang meneliti cara-cara berbagai benda-benda kebudayaan (cultural goods)2digunakan untuk melihat berbagai perbedaan sosial. Karya Bourdieu ini sangat penting karena adanya penekanan pada cara-cara berbagai benda digunakan untuk menarik garis hubungan sosial. Menurut Bourdieu, kesenangan kita terhadap objek konsumsi hanya sebagian berhubungan dengan apa yang kita konsumsi tersebut, dan sangat jelas berkait dengan manfaat benda itu sebagai pembeda ciri.

2 Meskipun Bourdieu menyebutnya benda atau benda-benda, namun maksudnya adalah objek konsumsi secara umum.

Sesuatu yang kita konsumsi tidak selalu mempunyai bentuk fisik. Contohnya jasa pelayanan di rumah makan, mengkonsumsi pemandangan, suara, mengkonsumsi persahabatan dan sebagainya.

(11)

Bourdieu (1984: 11-18) menjabarkan tentang tindakan seseorang untuk membedakan dirinya dengan yang lain dalam upaya menunjukkan kelasnya. Setidaknya ada empat macam kepemilikan kapital yang disebutkan oleh Bourdieu, yaitu kapital ekonomi, kapital sosial, kapital budaya dan kapital simbolik. Kapital-kapital ini dilihat dari seberapa banyak atau seberapa besar kepemilikannya, komposisi antarkapital, dan bagaimana penggunaannya dalam trajectory sosial (Bourdieu: 1987 dan Wacquant, 2006: 8).

Jika kita mengkonsumsi sesuatu, sesungguhnya ada yang ingin kita sampaikan secara tidak langsung kepada orang lain. Masyarakat kelas bawah misalnya membeli kuburan di tempat pemakaman umum, maka masyarakat kelas atas mencari alternatif lain untuk menegaskan dari kelas mana mereka berasal. Membeli kuburan menegaskan kapital ekonomi yang dimiliki seseorang, sekaligus menjadikan konsumen mendapatkan kapital simbolik. Konsumen juga bisa bertambah kapital sosialnya dengan mengikuti kelompok pembeli tanah kuburan di suatu tempat misalnya.

Perbedaan-perbedaan ini di dalam konsumsi menjadikan masyarakat konsumsi bertujuan semu, membeli untuk terlihat berbeda. Dengan perbedaan itulah mereka merasa eksis dan diakui. Pemakaian kita atas waktu untuk praktik-praktik konsumsi menegaskan kebiasaan kelas kita. Logika konsumsi menunjuk pada cara-cara yang terstruktur secara sosial di mana benda-benda digunakan untuk membatasi hubungan sosial (Featherstone; 2001: 16).

Menurut Bourdieu yang dikutip Featherstone (2001: 42), selera selalu mengklasifikasikan orang yang bersangkutan. Pilihan konsumsi dan gaya hidup melibatkan keputusan membedakan, pada saat yang sama mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan pilihan selera kita menurut orang lain.

(12)

Kencenderungan pada budaya konsumen untuk melakukan pembedaan, untuk mendorong permainan perbedaan, diperkuat dengan pengamatan bahwa perbedaan diakui serta disahkan secara sosial (hlm: 85). Kita akan merasa puas pada kepemilikan atau mengkonsumsi sesuatu yang secara sosial disetujui dan sah (oleh karena itu jarang didapat atau terbatas). Kelompok masyarakat atas akan terus menginvestasikan sesuatu yang baru dalam upaya memapankan kembali jarak masyarakat yang telah ada sebelumnya (hlm: 18 dan 87). Maka kuburan sebagai benda budaya yang tadinya jarang diperhatikan, kini mulai mendapat tempat sebagai arena peneguhan identitas masyarakat kelas atas.

1.5.3. Masyarakat Konsumsi

Konsumsi adalah kegiatan dasar manusia dan bukan merupakan hal yang baru, tapi lahirnya masyarakat konsumen adalah subyek perdebatan. Paterson (2006: 13) mengutip Bermingham (1995) dan McCracken (1988) menyarankan abad keenam belas atau awal abad ketujuh belas sebagai lahirnya istilah masyarakat konsumsi, saat Ratu Elizabeth terkesan pada kebutuhan untuk menjadi lebih modis, dia menampilkan pakaian baru dan benda-benda pribadinya untuk menunjukkan statusnya sebagai seorang bangsawan.

Masyarakat konsumsi adalah (Tumenggung; 2005: 263) masyarakat dimana orang-orang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengonsumsi sistem tanda bersama. Sebagaimana yang dikatakan Tumenggung (dalam Sutrisno, 2005: 267-268), Baudrillard menilai bahwa sistem tanda baru dewasa ini adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya, melainkan sebagai simbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri. Maka isu dasar konsumtivisme adalah kepemilikan status, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Masyarakat

(13)

konsumsi tak akan terjadi tanpa campur tangan dua pihak. Pihak pertama ialah perusahaan yang dengan iklan dan pemasarannya mengampanyekan dan memutuskan apa yang konsumen inginkan. Pihak kedua, yaitu konsumen, dimana produser harus memuaskan apa yang mereka inginkan untuk tetap bisa berbisnis (Schor dan Holt; 2000: x). Produsen membutuhkan konsumen untuk membeli dagangannya, konsumen pun membutuhkannya atau merasa membutuhkannya.

Di dalam konsumsi, gejala sosial yang signifikan adalah makin umum dan meluasnya penataan-ulang (reorganisasi) aneka macam kebutuhan dari levelnya yang mendasar menjadi sebuah sistem tanda. Sistem tanda ini telah menjadi cara yang spesifik dalam transisi dari alam ke budaya di era ini (Tumenggung; 2005: 167-268). Baudrillard, sebagaimana yang tertulis dalam Featherstone (2001: 201) mengatakan ciri terpenting dari produksi massa berbagai komoditas adalah hilangnya nilai manfaat asli atau nilai guna suatu benda. Selanjutnya konsumsi tidak harus dipahami sebagai konsumsi nilai gunanya saja, namun bergeser menjadi konsumsi tanda.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang saya gunakan untuk meneliti adalah sebagai berikut. Pertama, pengamatan lapangan (observasi), saya akan mendatangi San Diego Hills di Karawang, Jawa Barat. Dengan mendatangi langsung kuburan tersebut saya berharap dapat menggambarkan dengan baik seperti apa kuburan yang akan saya teliti dan untuk melihat fasilitas-fasilitas yang ditawarkan. Kemudian observasi informan sejak mereka datang ke San Diego Hills hingga meninggalkan lokasi. Tujuannya untuk mengamati bagaimana praktik konsumsi yang mereka lakukan, seperti apa yang dilakukan ketika mereka datang, dengan siapa saja datangnya, apa saja obrolan mereka, kegiatannya bagaimana, dan seterusnya. Selain itu saya akan melakukan

(14)

observasi di kuburan lain untuk mencari data pembanding, misalnya bagaimana tata kuburan di sana, kegiatan di kuburan dan seterusnya.

Kedua, wawancara yang dilakukan terhadap berbagai pihak. Pilihan cara wawancara saya adalah tak terstruktur, beberapa hal ditanyakan sambil lalu, beberapa hal lain ditanyakan secara mendalam. Saya akan mewawancarai bagian pemasaran atau pengurus San Diego Hills yang lain. Tujuannya untuk mengetahui soal target pasar, peraturan, tata cara pemesanan makam, harga, tata cara penyelenggaraan penguburan, bagaimana mereka beriklan dan seterusnya. Wawancara selanjutnya adalah ke konsumen yakni pemesan makam dan atau keluarganya. Informan dalam penelitian ini ada tiga orang. Ketiganya saya wawancara dalam kurun waktu antara bulan Juni 2012 – Juni 20153. Untuk mempermudah penyajian data, saya menuliskannya dalam bentuk tabel berikut ini:

Nama Narasumber: Suryo Tania Alex

Jenis kelamin & usia

Laki-laki, 61 tahun Perempuan, 37 tahun Laki-laki, 53 tahun

Membeli untuk Diri sendiri & pasangan

Keluarga (4 orang) Keluarga besar (10 orang) Tipe kuburan Universal Garden,

Private Estate

Five Pillars Garden, Private Estate

Bai Fu Le Yuan Garden, Peak Estate Pekerjaan Jenderal TNI AL,

bisnis permata Bisnis ekspor perkayuan Komisaris perusahaan tambang, bisnis konveksi

Informasi awal Keluarga Rekan kerja Teman main golf

3 Awalnya saya meneliti untuk tulisan di sebuah surat kabar nasional (Juni 2012 dan Februari 2013), kemudian

untuk tugas perkuliahan di UGM (Februari - Juni 2014). Terakhir untuk penelitian tesis ini (Desember 2014 - Juni 2015).

(15)

Tabel 1. Daftar Informan

Sebagai pelengkap saya akan mewawancarai pengurus kuburan lain, seperti tentang cara pemesanan makam, tata tertib, urusan administratif dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja perbedaan kuburan di San Diego Hills dengan kuburan lain. Ketiga, saya akan melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data dan menganalisisnya.

6.2. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang saya gunakan yaitu pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif mempunyai tiga tahap analisis. Menurut Miles dan Huberman yang dikutip Denzin (2009: 592) tahapannya yaitu reduksi data, display data (penyajian data) dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, membuat kategorisasi, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan analisis. Penyajian data biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antarkategori, dan sebagainya. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan uraian singkat. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah.

1.7. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi menjadi beberapa bab. Bab I menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode

(16)

pengumpulan dan analisis data, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang penjelasan peraturan pemerintah tentang kuburan dan penguburan. Kemudian membahas profil, konsep kuburan dan fasilitas di San Diego Hillls.Terakhir pembahasan berbagai tipe kuburan yang mereka tawarkan. Bab III menguraikan bagaimana praktik konsumsi yang terjadi di San Diego Hills. Bab IV akan menganalisis praktik konsumsi untuk mendapatkan distingsi sosial. Bab terakhir berisi kesimpulan dan rekomendasi penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang masalah yang diteliti adalah pelaksanaan tradisi sedekah bumi di dusun Pucung kelurahan Pudak Payung yang didalam pelaksanaannya dipentaskan wayang

Dalam konteks regional, Cimahi kemudian dimasukkan sebagai bagian dari Bandung Metropolitan Area (BMA), dengan fungsinya sebagai daerah penyangga Kota Bandung.

Sentuhan mata : Gejala yang teruk boleh termasuk yang berikut: kesakitan atau kerengsaan.. berair kemerahan Kesan Kesihatan

Dunia kerja menurut pandangan Marx adalah dunia penuh kemanusiaan, dunia dimana setiap orang dapat mencipta dengan leluasa, sambil pula tetap hidup karena apresiasi

Analisa pemilihan skim pembiayaan pembangunan kapal dengan metode Fuzzy MCDM dapat digunakan untuk memecahkan persoalan keputusan dalam struktur informasi yang

Am 89. Tiap-tiap Tiap-tiap fail hendaklah dicatat fail hendaklah dicatat pergerakannya. Sistem doket Sistem doket diamalkan oleh agensi-agensi diamalkan oleh agensi-agensi

Teknik pengumpulan data tentang potensi karagaman satwa liar mamalia dan reptil di kawasan hutan Taman Wisata Alam Kerandangan dilakukan dengan menggunakan metode

Rory, merupakan sosok hantu anak kecil yang terlihat memang tidak menganggu, tetapi justru malah ingin membantu dan mencoba memberitahu tentang kejahatan apa yang