• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADIKAN SAGU SEBAGAI FOKUS PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN 1. Oleh Otto Ihalauw 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENJADIKAN SAGU SEBAGAI FOKUS PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN 1. Oleh Otto Ihalauw 2"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

MENJADIKAN SAGU SEBAGAI FOKUS PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN1

Oleh Otto Ihalauw2

Sagu : Potensi yang terlupakan

 Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting diperhatikan selain sebagai bahan baku industri. Dibandingkan dengan tanaman pangan lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya yang tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/hektar/tahun.

 Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton per tahun atau baru 4-5 persen dari potensi produksi. Salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia adalah Papua dan Papua Barat. Menurut Lay (2003) menyebutkan bahwa luas hutan sagu di Indonesia seluas 1.133.730 hektar yang mendominasi sekitar 51,30 % luas hutan sagu di dunia. Selanjutnya disebutkan, bahwa kurang lebih 90 % luas sagu di Indonesia terdapat di Papua, yakni 1.020.357 hektar.

 Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat mulai dari pati, daun, pelepah daun hingga kulit batang. Tepungnya digunakan untuk bahan makanan pokok di Papua yang disebut papeda, di samping untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.

 Di wilayah Indonesia bagian timur, sagu sejak lama digunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Papua. Sampai sekarang pemanfaatan sagu di Indonesia masih dalam bentuk pangan tradisional, misalnya dikonsumsi sebagai makanan pokok dalam bentuk papeda.  Selain itu juga digunakan sebagai campuran produk mie, soun, roti, bakso dan

dalam pembuatan kue-kue tepung sagu, misalnya akusa, bagea atau aneka kue sagu, di samping itu juga sebagai bahan baku untuk pembuatan sirup dengan fruktosa tinggi dan etanol. Daun dari pohon sagu digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak (Haryanto dan Pangloli 1992; Batseba et al. 2000). Serat sagu dapat dibuat hardboard atau bricket bangunan bila dicampur semen, dapat pula digunakan sebagai perekat atau lem kayu lapis.

(2)

 Menurut Bintoro (1999), beberapa manfaat sagu selain untuk pangan diantaranya adalah:

1. Bahan baku industri non pangan. Pati sagu dapat diolah menjadi sagu mutiara, tepung campuran, pati termodifikasi, gula cair, asam amino, sorbitol, asam organik, dan bahan penyedap yang dapat dijadikan bahan baku industri. 2. Sagu sebagai bahan energi. Tepung sagu diolah menjadi etanol terlebih dahulu melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Secara teoritis 1 ton tepung sagu dapat menjadi 715 liter etanol.

3. Sagu sebagai bahan baku industri pangan. Pati sagu dapat digunakan sebagaimana tepung beras, jagung, gandum, tapioka dan kentang seperti siklodektrin. Sagu juga dapat dijadikan makanan kecil seperti sagu gula, sinoli, ongol-ongol, kue serut dan krupuk sagu.

4. Sagu sebagai pakan ternak. Penggunaan jagung dan serelia lainnya untuk pangan ternak dapat digantikan dengan tepung sagu atau sebagai pencampur makanan ternak unggas dan ruminansia.

 Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami yang masih sangat sedikit dimanfaatkan. Sudah banyak diketahui bahwa sagu mempunyai nilai ekonomi dan nilai strategis yang tinggi, namun usaha-usaha eksplorasi dan pemanfaatannya belum menjadi prioritas dalam pelaksanaan pembangunan di tanah Papua. Menurut perkiraan, sebesar 40 % dari populasi tegakan hutan sagu alam di wilayah ini merupakan tegakan produktif yang siap untuk dipanen. Namun demikian potensi bahan pangan pokok umat manusia yang sewaktu-waktu akan dibutuhkan apabila terjadi kerawanan pangan secara global hilang tanpa termanfaatkan. Kehilangan produksi pati sagu bernilai ekonomi pasar ini telah berlangsung lama dari generasi ke generasi.

 Berdasarkan hasil Laporan Pemetaan Potensi Sagu Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat oleh Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT; 2014), maka diprediksi sekitar Rp. 15 triliyun potensi sagu yang hilang tanpa termanfaatkan. Dalam Estimasi potensi pati berdasarkan pohon sagu MT (berat basah-BB), hutan sagu Kabupaten Sorong Selatan mengandung potensi 3.221.417 ton per tahun. Berdasarkan rujukan harga nasional di pusat tepung sagu Cirebon, yaitu Rp. 2.600,-/kg untuk pati sagu basah, maka nilai ekonomi potensi sagu di sorong selatan dapat dihitung, yaitu sebesar Rp. 7,8 trilyun. Harga pati sagu basah di pasar lokal Sorong lebih mahal, yaitu Rp. 5000,-/kg, jadi nilai ekonomi potensi pati sagu berdasarkan harga lokal sebesar Rp. 15 trilyun. Potensi yang sangat besar di Sorong Selatan tersebut selalu hilang sia-sia sampai saat ini tanpa adanya pemanfatan yang memadai.

 Potensi 3 juta-an ton (ditambah dari Kabupaten lainnya di Tanah Papua), maka sagu bisa diandalkan menjadi alternatif cadangan pangan nasional dan mungkin bahkan cadangan pangan dunia.

(3)

 Sebuah potensi yang luar biasa untuk menghantarkan rakyat mencapai kesejahteraannya.

Pengembangan Sagu : Tantangan dan harapan

 Meski sagu punya potensi besar untuk dikembangkan, namun terdapat beberapa permasalahan yang perlu diwaspadai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamaman.

 Potensi sagu yang menggiurkan dapat mendorong para pengusaha untuk melakukan eksploitasi besar-besaran lahan dan sumber daya yang ada. Kapitalisme dan free market menjadi pilihan jalan untuk meraup keuntungan, dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar seperti perlindungan buruh, kelestarian hutan, dll. Untuk mengatasi ini, maka perlu ada kesadaran dari para pengusaha bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bangsa Indonesia. Untuk itu, perusahaan harus melakukan program corporate social responsibilities kepada masyarakat sekitar perusahaan sebagai wujud tanggung jawab sosial.

 Kebijakan fiskal (perpajakan dan retribusi) dan perizinan investasi guna pengembangan agribisnis sagu belum diatur secara baik. Untuk itu, perlu ada blue brint pengembangan sagu sehingga ada kebijakan yang pasti dalam pengembangan sagu.

 Pemerintah perlu mengubah iklim investasi agar tidak merugikan kepentingan nasional. Selain itu, perlu peningkatan produktivitas lahan yang ada dan peningkatan pengetahuan petani sagu untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara petani kecil dengan perkebunan sagukelapa sawit. Dalam upaya pengembangan perkebunan sagu, pemerintah perlu menyediakan kemudahan pada hal-hal yang berkaitan dengan: (1) investasi dan pembiayaan, seperti penyediaan kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah, (2) manajemen pertanahan dan tata ruang, (3) pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, seperti pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam partisipatif, (4) pengembangan infrastruktur, (5) pengembangan SDM dan pemberdayaan petani, (6) pemberian insentif, pendanaan riset dan pengembangan teknologi, (7) penyusunan kebijakan perdagangan, (8) promosi dan pemasaran hasil, dan (9) pemberian insentif perpajakan dan retribusi.

 Dalam aspek sosial budaya adalah besarnya laju deforstasi hutan di Indonesia yang sebagian besar akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Perluasan perkebunan sawit ini dikhawatirkan akan mengurangi luasan hutan sagu rakyat. Pengembangan Sagu : Penataan regulasi dan kelembagaan

 Masih banyak ditemui regulasi dan kebijakan yang kurang harmonis dan sinkron. Disharmonis regulasi (perkebunan, kehutanan, lingkungan, tata ruang, otonomi daerah) menghasilkan tumpang tindih otoritas sehingga pemerintah sulit untuk

(4)

melakukan perlindungan, perencanaan, pengelolaan, pengawasan, penegakan hukum dan pemulihan, termasuk di dalamnya dalam kerangka pengembangan sagu, baik pengembangan sagu berbasis industri maupun untuk kepentingan usaha ekonmi kerakyatan. Dari peraturan perundang-undangan yang ada dan dikategorikan sebagai dasar hukum pengembangan komoditas sagu masih bersifat umum, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang dikhususkan untuk pengembangan komoditas sagu.

 Lambatnya perkembangan industri sagu ini bisa jadi karena komoditas sagu ini terlalu banyak yang mengurus sehingga tidak ada satu instansipun (baik di Pusat dan juga di Daerah) yang bertanggung jawab dari hulu sampai hilir. Masing-masing instansi bekerja secara parsial sehingga bila suatu program gagal dalam pelaksanaanya tidak ada instansi yang bertanggung jawab. Disamping itu kurangnya komitmen dan konsistensi kebijakan dari pemerintah dalam mengembangkan sagu sehingga dalam perjalanan kegiatan sagu mengalami pasang surut.

ABG+c : Aktor Pengembangan Sagu

 Pengembangan sagu sebaiknya dilakukan secara bersama oleh seluruh pemangku kepentingan. Perlu adanya kesepahaman dan kesatuan tindak dalam mengembangkan sagu.

 Beberapa pihak yang terkait, antara lain : Perguruan Tinggi/Academic (A), Dunia Usaha/Business (B), Pemerintah/Government (G) dan Masyarakat/community (C) atau bisa dikenal ABG+c. Para pihak harus memainkan peran dan fungsi masing-masing.

 Peran dan Fungsi :

1) Akademisi : riset, penilitan dan pengembangan, dll 2) Dunia Usaha : pengembangan investasi, modal, dll

3) Pemerintah : regulasi, fasilitasi, keamanan, infrastruktur, dll 4) Masyarakat : tanah

Simpulan dan saran tindakan

Sagu merupakan potensi yang besar bagi pemenuhan cadangan pangan nasional sekaligus modal penggerak ekonomi daerah dan nasional, jika dikelola secara baik, baik dalam pengembangan berbasis industri maupun dalam kerangka pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan.

Dalam rangka pengembangan sagu, secara umum perlu dilakukan beberapa langkah/kebijakan sebagai berikut :

(a) Penataan Regulasi; dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai lembaga Eksekutif dan pihak legislatif untuk menghasilkan produk hukum yang mengatur dalam hal pengembangan sagu nasional/daerah;

(b) Kebijkan kemudahan investasi, baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan iklim usaha dan investasi.

(5)

(c) Kolaborasi peran Pemerintah, Dunia Usaha, Akademisi dan didukung oleh masyarakat (ABG+c) dalam pengenbangan sagu

(d) Penguatan kelembagaan di masyarakat. Pemerintah (dan Pemerintah Daerah) melalui Kementerian/SKPD terkait harus melakukan pelatihan, magang dan pendampingan kepada pelaku ekonomi kerakyatan dan kelompok masyarakat. Mengkolaborasikan kebijakan Pemerintah terkait pembangunan desa (bagi desa dengan potensi sagu) dengan pengembangan sagu rakyat

(e) Mendorong sagu sebagai salah satu komoditas strategis nasional

(f) Standarisasi produk pati sagu dan diversifikasi produk olahan berbasis sagu; (g) Peningkatan infrastruktur Penunjang bagi pengembangan sagu skala industri

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn materi komponen pemerintahan pusat dengan penerapan model tebak kata lebih baik dari pada

a) Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang di kemas secara utuh dan sistematis, di desain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang

a) Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang di kemas secara utuh dan sistematis, di desain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang

Hukum adat adalah merupakan hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan

Dalam praktikmya, paling tidak ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk menarik investasi (baik perorangan maupun industri) ke suatu daerah, yaitu:. Image Marketing:

Penerapan OVOP sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan produk-produk unggulan yang dimiliki oleh daerah. Penerapan OVOP dalam rangka memajukan industri