• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990 2. 1 Letak Geografis - Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990 – 2003)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990 2. 1 Letak Geografis - Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990 – 2003)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990

2. 1 Letak Geografis

Desa Lumban Silintong terletak di dataran tinggi Danau Toba yang termasuk wilayah

Kecamatan Balige. Pusat kegiatan terdapat di desa itu sendiri, di mana terdapat fasilitas

kantor Kepala Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), Pemberdayaan Kepala Keluarga (PKK) sampai Karang

Taruna. Kecuali fasilitas pendidikan, di desa ini terdapat tempat peribadatan (Gereja) dan

Balai Pelayanan Masyarakat (Polindes).

Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan pusat kecamatan adalah 1,5 kilometer.

Keadaan jalannya belum dapat ditempuh oleh kendaraan roda empat karena belum beraspal.

Di desa ini terdapat areal pertanian yang terhampar luas. Seluruh areal pertanian penduduk

Desa Lumban Silintong merupakan milik perseorangan.

Jalan menuju desa dibangun sejak 1970-an. Saat itu kondisi jalan masih terbuat dari

pasir putih dan belum aspal. Walaupun demikian, jalan tersebut dipelihara dengan baik,

karena di samping berfungsi sebagai penghubung Lumban Silintong dengan pusat pasar

(onan), juga berfungsi sebagai jalan penghubung dengan desa lainnya.

Desa Lumban Silintong terletak antara 905-1200 meter di atas permukaan laut,

(2)

pertanian. Seluruh areal pertanian diusahakan seefektif mungkin dengan tanaman padi. Curah

hujan turun pada Agustus hingga Desember dan bulan berikutnya terdapat musim kemarau

yang diselingi oleh hujan yang tidak teratur.

Desa Lumban Silintong dapat ditempuh dari dua arah, yakni dari Simpang Pemandian

dan dari Simpang Meat. Lumban Silintong dapat dilalui transportasi darat dan menggunakan

kapal motor. Jarak desa ini kira-kira 250 km dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara

dan memerlukan waktu sekitar enam jam perjalanan kendaraan roda empat.

Luas wilayah Desa Lumban Silintong meliputi 1,74 Km2 atau 1584, 27 hektar. Dari

areal tersebut dapat diperinci sesuai dengan fungsinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya

No Fungsi Tanah Luas Tanah (Ha)

1 Sawah 100

2 Perumahan 74

Total 174

Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990

Tanah kering pada umumnya tidak ditanami tanaman keras. Tanah kering lebih

banyak dibiarkan kosong dan sebagian jadi tempat penggembalaan ternak seperti kerbau. Di

samping bertani sawah, penduduk juga memiliki ternak sebagai sumber mata pencaharian

(3)

Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong

No Jenis Ternak Jumlah Pemilik (orang)

1 Kerbau 20

2 Sapi 4

3 Babi 72

4 Ayam 50

5 Itik/Bebek 250

Jumlah 396

Sumber: Kecamatan Balige dalam Angka 1990

Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan desa-desa di sekitarnya tidaklah begitu

jauh. Jarak antara satu desa dengan desa yang lainnya hanya dipisahkan oleh areal pertanian

penduduk dan pemukiman. Hubungan antara satu desa dengan desa yang lain dihubungkan

oleh jalan yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Adapun batas-batas Lumban

Silintong dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sangkarnihuta dan Silalahi Pagar

Batu

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Longat

- Sebelah Barat Daya berbatasan dengan Desa Hinalang Bagasan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pardedeonan

(4)

2. 2 Latar Belakang Historis

Penduduk Desa Lumban Silintong telah mendiami desanya sejak zaman nenek

moyang mereka. Mereka dari generasi ke generasi hingga sekarang telah menjadi penduduk

asli Lumban Silintong. Jauh sebelum kedatangan Belanda ke Balige, masyarakat Lumban

Silintong hidup rukun dan damai. Berada di bawah Patuan Nagari, penduduk Lumban

Silintong turut berperang membantu Sisingamangaraja XII saat Belanda datang.

Nama Desa Lumban Silintong juga telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda.

Penduduk menamakan desa ini dengan nama Lumban Silintong atas dasar bahwa nama

tersebut berasal dari penamaan terhadap sebuah sudut kampung. Lumban dalam arti luas

dapat diartikan sebagai huta atau pemukiman, namun pada awalnya lumban lebih spesifik

sebagai dusun atau sub-desa.14

Pada umumnya daerah-daerah yang terdapat di kawasan Toba Samosir didiami oleh

suku bangsa Batak Toba, begitu juga halnya dengan Desa Lumban Silintong. Berdasarkan

sensus penduduk tahun 1987 Desa Lumban Silintong mempunyai penduduk 517 jiwa yang Sedangkan Silintong berarti garis-garis. Hal ini berangkat dari

tepian huta tersebut yang melintang seperti garis-garis. Hubungan Desa Lumban Silintong ke

daerah perkotaan seperti Balige, Parapat, Siantar, Tarutung dan seterusnya dihubungkan

melalui jalan provinsi.

2. 3 Penduduk

14

Huta adalah luasan hutan berupa lapangan kecil , di tengahnya sebuah pekarangan dan terbuka. Di

(5)

terdiri dari 120 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk tersebut dapat diperinci berdasarkan jenis

kelamin, seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Distribusi penduduk Desa Lumban Silintong berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 250

2 Perempuan 267

Jumlah 517

Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990.

Dari 517 jiwa penduduk Desa Lumban Silintong, penduduknya mayoritas menganut

agama Kristen Protestan. Mereka mengenal agama Kristen sejak abad XIX yang dibawa oleh

missionaris Jerman L. I. Nommensen.15

Namun pada masa ini kearifan budaya lokal belum bisa ditinggalkan sepenuhnya,

meskipun mereka telah menganut agama Kristen. Adapun kearifan budaya lokal yang

dimaksud adalah berupa pelaksanaan upacara ritual yang sudah diterapkan secara

turun-temurun, seperti mengadakan makan bersama yang sebelumnya diawali dengan memberikan

sesajen kepada ruh nenek moyang yang mereka yakini akan memberikan kesuburan bagi

lahan pertanian mereka saat hendak menabur benih/menyemai. Kemudian pada masa panen, Pada awal abad XX penduduk desa ini telah

memeluk agama Kristen Protestan secara keseluruhan.

15

(6)

upacara ritual juga dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada nenek moyang yang mereka

percayai telah memberkati pekerjaan mereka dengan memberikan sesajen.

Sebelum mereka mengenal agama Kristen maupun agama yang lain, maka mereka

memiliki aliran kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan

Maha Besar). Penduduk masih percaya akan kekuatan-kekuatan gaib dan ruh-ruh nenek

moyangnya. Pada hari-hari tertentu yang dianggap tepat untuk mengadakan penjamuan bagi

kepercayaan masing-masing, maka mereka pun melakukan upacara-upacara dengan tujuan

untuk meminta rejeki dari unsur-unsur yang dianggap dapat memberikannya. Tradisi ini

perlahan-lahan bertransformasi menjadi adat-istiadat masyarakat setempat.

Adat pertama-tama merupakan kejadian berulang-ulang dan yang teratur, lalu

kemudian menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa. Kebiasaan itu dalam perjalanan

sejarah karena terus-menerus dipraktikkan, jadi bukan karena alasan praktis, kemudian

mendapat kekuatan hukumnya (legalitas). Oleh karena itu adalah kurang tepat untuk

mengerti adat sebagai kebiasaan saja atau hukum kebiasaan.16

Lebih jauh, adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa

susilanya. Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spritual, di mana kedamaian

menyeluruh ada karena kesepakatan bersama. Sebagai kebiasaan, adat dijalankan sesuai

irama alam yang kepadanya terikat kehidupan suku atau huta. Adat yang mengatur dengan

16

(7)

kokoh segenap kehidupan ke segala segi dan dalam segala hubungan adalah serentak

rangkuman segala hukum.17

Dalam hukum adat di Desa Lumban Silintong, pola kepemilikan (pembagian) tanah

untuk anak dan boru sangatlah berbeda. Hal ini disebut dengan istilah panjaean dan

pauseang (pemberian kasih sayang). Panjaean yaitu sebidang tanah warisan yang diberikan kepada anak laki-laki, tanah panjaean biasanya diberi orang tuanya setelah anaknya sudah

Sebelum adanya pengaruh modern ataupun pengaruh dari budaya lain, hukum

penguasaan tanah di Desa Lumban Silintong disesuaikan dengan hukum adat dan bius yang

berlaku. Adapun hukum adat penguasaan tanah yaitu: hukum pertanahan tanah adat (ulayat)

merupakan milik Raja Huta (pendiri huta), kawasan sumber daya komunal seperti tombak

(hutan), harangan (padang rumput penggembalaan), dan pemukiman dikuasai secara kolektif berdasarkan hukum yang ditetapakan oleh Raja Huta, hukum adat satu klan atau wilayah adalah hak pendiri huta atau pemilik huta sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Raja Huta.

Adanya pengaruh hukum adat yang menyatakan bahwa sebagian besar kawasan huta

(desa), merupakan hak pendiri huta dan didasarkan garis keturunan dari anak laki-laki.

Sistem kepemilikan tanah di desa ini lebih ditekankan kepada anak laki-laki yang merupakan

penyambung garis keturunan (patrilineal), dan sebagian tanah di berikan kepada boru (anak perempuan).

17

(8)

marhasohotan (berumah tangga/ membentuk keluarga baru). Adapun pauseang yaitu sebidang tanah yang menjadi bagian dari boru (anak perempuan), pemberian tanah untuk

boru sama halnya seperti untuk anak yaitu diberi setelah boru-nya marhamulian (menikah dengan lelaki bermarga lain). Antara panjaean dan pauseang memang berbeda, luas tanah panjaean yang diberikan kepada anak biasnya jauh berbeda dengan pauseang yang diberikan

kepada boru.

Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Oleh karena itu, adat bersifat sakral.

Dia datang dari DebataMulajadi Nabolon yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat mengikat orang hidup dengan nenek moyang. Seperti dikatakan Adriani, keturunan

mereka hidup sesuai dengan aturan nenek moyang itu:

“Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang bersifat mutlak—yaitu jalannya dunia itu sendiri—seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang, sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan dengan para nenek moyang.”18

Setelah agama Kristen masuk dan diperkenalkan kepada masyarakat, maka kebiasaan

tradisional seperti upacara-upacara keagamaan tadi lenyap secara lambat laun. Di mana

masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kegaiban-kegaiban dan ruh nenek moyang. Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman dan

merupakan sikap hidup orang Batak Toba untuk dunianya, maka dia bersifat mutlak. Biarpun

orang Batak Toba sudah menjadi Kristen atau Islam atau terpelajar atau merantau, mereka

tetap menghargai dan melaksanakan adatnya. Mungkin pelaksanaannya tidak seperti dahulu

lagi, tetapi isinya tetap sama.

18

(9)

Mereka mulai yakin tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka ketahui dari

agama Kristen. Segala sesuatunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dikaitkan dengan

agama yang dianut.

Kebiasaan lama seperti adat-istiadat dipertahankan dengan sesungguhnya asal tidak

bertentangan dengan ajaran agama mereka. Pesta-pesta adat selalu diselingi oleh upacara

agama, misalnya pesta perkawinan biasanya dilakukan dengan cara agama dan cara-cara

adat.

Setelah upacara agama selesai dilanjutkan dengan upacara adat barulah perkawinan

tadi dianggap resmi oleh penduduk. Hidup saling ketergantungan di antara penduduk desa

tercermin melalui hidup beragama. Sarana-sarana sosial dipelihara dengan baik oleh

masyarakat.

Berita kematian, kelahiran, pernikahan dan diberitakan melalui perkumpulan Gereja

yang dilakukan setiap hari Minggu. Adapun sarana sosial yang terdapat di Desa Lumban

Silintong dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Jenis Sarana Sosial

No Jenis Sarana Sosial Jumlah

1 Sarana pendidikan -

2 Sarana kesehatan

-Poliklinik 1

(10)

-Gereja

-Masjid

-

-

Total 1

Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990

Dilihat dari segi kepemimpinan masyarakat, Desa Lumban Silintong dipimpin oleh

seorang kepala desa dibantu oleh lembaga-lembaga desanya. Masyarakat desa ini patuh

terhadap perintah pimpinan mereka. Di samping pemimpin formal seperti kepala desa, masih

terdapat satu bentuk kepemimpinan informal yang dipegang oleh pendeta, guru-guru agama

dan penatua-penatua Gereja serta para pemuka adat.

Acapkali cara yang dilakukan seorang kepala desa untuk mengajak warganya

bergotong royong adalah dengan menyampaikannya melalui pertemuan-pertemuan informal,

sehingga kesan demikian tampak tidak kaku. Sebagai contoh pembangunan desa, kebersihan

lingkungan peningkatannya selalu diterapkan melalui ceramah-ceramah agama dan

kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.

Sebelum adanya pengaruh agama Kristen, wilayah Tapanuli dikenal suatu bentuk

lapisan sosial yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Lapisan sosial yang dianggap lebih

tinggi atau golongan elite adalah keturunan marga penguasa tanah dan para datu (dukun).

Selain itu, lapisan sosial juga dibedakan berdasarkan perbedaan umur dan

pernikahan. Meskipun demikian, tidaklah begitu nyata adanya seperti yang dipengaruhi

langsung oleh Hindu. Dalam hal ini lapisan sosial yang lebih tinggi dapat berhubungan bebas

(11)

pesta-pesta adat yang sedang dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat lebih menghormati

klan penguasa tanah dan orang berilmu (kebatinan, umpamanya dukun).

Pendapat mereka selalu dihargai oleh penduduk. Namun setelah masuknya pengaruh

agama, di Desa Lumban Silintong pandangan demikian berubah ke arah persamaan hidup

berdasarkan ajaran agama. Masyarakat lebih menghormati marga penguasa tanah, guru

agama dan pendeta daripada dukun-dukun yang ada.

Dalam upacara pesta, baik pesta adat maupun yang lainnya peranan golongan dukun

sudah tidak kelihatan lagi. Mereka tidak mampu menonjolkan diri untuk menarik perhatian

masyarakat. Kegiatan-kegiatan serta pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selalu diawali

doa bersama yang bertujuan untuk menggantungkan diri terhadap Tuhan Maha Pencipta dan

Maha Besar.

Segala kegiatan sosial yang bertentangan dengan ajaran agama mereka sudah tidak

mendapat dukungan lagi dari masyarakat. Masyarakat yang patuh dengan ajaran agamanya

dianggap berhasil di kalangan masyarakat. Sikap tolong-menolong yang timbul di kalangan

masyarakat desa ini lebih besar terlaksana berdasarkan keagamaan daripada berdasarkan

ikatan kekeluargaan.

2.4 Kelembagaan di Desa

Lembaga yang ada di Desa Lumban Silintong:

- Pemerintah desa

- Lembaga adat

(12)

- Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)

- Kelompok Tani (Koptan)

- Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

- Karang Taruna

2.5 Sosial Budaya

Orang Batak Toba percaya bahwa kehidupan ada tiga yaitu kehidupan Banua Ginjang

(Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah), dan Banua Toru (Dunia Bawah). Kehidupan

Banua Ginjang adalah kehidupan dalam nirwana dan dilambangkan dengan warna putih. Kehidupan Banua Tonga adalah kehidupan sekarang yang penuh dengan permusuhan, taktik, dan pergolakan perilaku lainnya, dan ini disimbolkan dengan warna merah. Sedangkan

kehidupan Banua Toru merupakan kehidupan alam kubur yang dilambangkan dengan warna hitam. Ketiga warna ini sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, baik itu

pada rumah, ulos, ukiran, dan pahatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.

Suku Batak Toba adalah suku yang berdiam di sekitar Danau Toba, yakni di Toba,

Humbang, Samosir, dan Silindung. Menurut sejarahnya, masyarakat Batak berasal dari

dataran Asia, yaitu dari rumpun Melayu Tua (Deutro Melayu) yang mendarat di pantai barat

pulau Sumatera dan meneruskan perjalanan ke pedalaman. Akan tetapi orang Batak percaya

bahwa mereka merupakan titisan dari Debata Mulajadi Nabolon melalui si Deak Parujar

yang turun ke bumi.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, yakni mengambil

garis keturunan dari laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba, anak laki-laki memegang

(13)

Sementara perempuan akan berhenti garis keturunannya karena menjadi bagian dari marga

suaminya.

Sistem kekerabatan masyarakat di Desa Lumban Silintong menganut sistem

kekerabatan patrinineal, artinya kedudukan ataupun peranan laki-laki lebih tinggi dari

perempuan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan ditentukan laki-laki. Di Desa

Lumban Silintong untuk urusan permasalahan perekonomian keluarga merupakan tanggung

jawab ayah dan ibu.

Bagi masyarakat di Desa Lumban Silintong, laki-laki juga merupakan tokoh utama

dalam tatanan kemasyarakatan. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di

samping kesibukannya sebagai kepala keluarga, berbagai kegiatan pada masyarakat Desa

Lumban Silintong selalu dipimpin dan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan lebih bersifat

sebagai pendukung atau penunjang. Dalam berbagai acara adat, pesta dan upacara-upacara

keagamaan pada umumnya lebih di dominasi oleh kaum laki-laki. Pimpinan-pimpinan

lingkungan seperti Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun yang ada di Desa Lumban

Silintong semuanya dijabat oleh laki-laki.

Sistem kekerabatan di Desa Lumban Silintong masih terlihat satu dan utuh. Pada

umumnya semua tatanan masyarakat mempunyai ikatan kekeluargaan antara satu dengan

yang lainnya. Hubungan marga sebelumnya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial

masyarakat di desa ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila tetangga mereka adalah

juga saudaranya. Dengan demikian, setiap warga saling mengenal antara satu dengan yang

(14)

Selanjutnya, masyarakat Batak Toba juga menganut kebudayaan Dalihan Na Tolu. Secara harafiah Dalihan berarti tungku yang terbuat dari batu, sedangkan Tolu berarti numerik tiga dan Na adalah kata penghubung yang dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi yang hampir sama dengan penghubung “yang”. Jadi dalam tafsiran denotatif Dalihan Na

Tolu adalah tiga buah tungku batu tempat diletakkannya periuk untuk memasak.

Pada prinsipnya Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur yang kuat dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba, yakni:

Hula-hula: kelompok pemberi istri

Boru: kelompok penerima istri

Dongan tubu: kelompok semarga

Ketiga unsur ini masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan

kewajibannya sebagai pelaksana tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Di suatu

ketika pihak boru bisa saja menjadi pihak hula-hula atau dongan tubu dan demikian juga sebaliknya tergantung pada pihak yang mengadakan pesta.

Boru tidak lebih rendah dari hula-hula. Ada ungkapan yaitu bahwa hula-hula haruslah “elek mar-boru” artinya agar hula-hula selalu bersikap membujuk dan sayang terhadap boru. Sedangkan setiap boru haruslah “somba mar-hula-hula” artinya bahwa setiap boru haruslah bersikap hormat terhadap hula-hula dan setiap perbuatan hula-hula harus dipandang hormat

(15)

Pesta nikah merupakan satu dari sekian banyak kegiatan adat yang di dalamnya

berlaku sistem Dalihan Na Tolu. Salah satu kegiatan sosial budaya yang ada di Desa Lumban Silintong adalah upacara perkawinan. Perkawinan berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu

tersebut atau perkawinan sirkulasi asimetri tersebut berarti harus terdiri dari tiga kelompok

marga, yaitu kelompok ego (dongan tubu), kelompok pemberi istri (hula-hula), dan kelompok penerima istri (boru).

Ketiga kelompok ini selalu dalam bentuk aliansi. Maka kelompok ego ialah ego

sendiri bersama dengan teman semarganya, yang disebut dongan sabutuha. Kelompok hula-hula ialah mertua dan saudara mertua ego, saudara istri dan semua anggota dari garis

keturunan saudara istri. Kemudian masuk dalam kelompok ini juga ialah kelompok garis

keturunan saudara ibu ego dan semua kelompok garis keturunan pengambilan istri dari

nenek, ayah, saudara dan anak ego. Sedangkan yang masuk dalam kelompok boru ialah semua kelompok marga yang mengambil wanita garis keturunan marga ego. Perlu juga

diperhatikan tentang istilah boru ini sebab kata ‘boru’ berlaku baik untuk anak putri maupun marga penerima istri.

Masyarakat Lumban Silintong saling tolong-menolong untuk mengupayakan agar

perayaan ataupun pelaksanaan pesta adat suatu rumah tangga dapat berjalan lancar.

Istilah yang mereka pakai dalam bagian ini adalah marhobas. Marhobas maksudnya membantu pihak suhut yang mengadakan pesta untuk mengerjakan ataupun melengkapi

kebutuhan-kebutuhan dalam pesta, seperti memasak, menerima tamu dan segala sesuatunya

(16)

masyarakat Lumban Silintong dan sanak famili dari luar kampung, baik dekat maupun jauh.

Bagi masyarakat setempat pergi marhobas dapat juga dikatakan dengan sebutan manghobasi.

Manghobasi suatu pesta dilakukan secara gotong royong, kecuali pihak tuan rumah. Hal ini berlangsung secara bergantian. Dengan kata lain, setiap rumah tangga akan mendapat

giliran untuk dihobasi. Sebab suatu pesta terlaksana tidak menyesuaikan dengan suatu

peraturan lingkungan. Umpamanya untuk pesta pernikahan bisa terjadi jika seorang anak

sudah tergolong dewasa. Di sisi lain jika orang meninggal, maka siapa menduga suatu

keluarga akan mendapat gilirannya untuk dihobasi.

Marsiadapari biasanya bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sesama warga masyarakat. Kegiatan marsiadapari pada umumnya diwujudkan dalam kegiatan atau aktivitas kerja bersama dengan tujuan yang sama. Seperti kerja bakti

dalam membangun irigasi, menata lingkungan ataupun menyelenggarakan suatu kegiatan

upacara (ritual), masyarakat masih menerapkan sistem marsiadapari dalam mengolah lahan pertanian.19

Ikatan kekeluargaan bagi masyarakat Desa Lumban Silintong masih terjaga erat, baik

yang tinggal di dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Eratnya bentuk

persaudaraan di desa ini terlihat dari kegiatan marsiadapari dan adanya rasa tolong menolong di antara warga masyarakat dalam kehidupan bersama khususnya dalam kehidupan

agama dan adat. Para petani di desa ini menunjukkan adanya rasa senasib dan

sepenanggungan di antara mereka. Hal ini antara lain bila di antara mereka sedang

19

(17)

mengadakan suatu pesta (acara adat), ataupun bila di antara mereka sedang mengalami

musibah (dukacita). Dalam kehidupanya sebagai petani, mereka mempunyai tujuan yang

sama, yaitu bagaimana hasil produksi pertanian mereka semakin meningkat. Tujuan utama

sebagai petani ini pulalah yang mendorong adanya semangat gotong-royong dan sikap

tolong-menolong di sesama petani.

Salah satu bentuk marsiadapari dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Lumban Silintong terlihat dalam sebuah acara pesta (adat). Bagi

masyarakat di Desa Lumban Silintong yang melakukan sebuah acara pesta baik pernikahan

(pamasu-masuon), mamestahon huta (pesta tugu / peresmian suatu huta), monding / saur matua (meninggal), ulangtahun, dan sebagainya. Untuk meringankan beban dari keluarga yang mengadakan pesta, para tetanga (dongan sahuta dan dongan saparadaton) biasanya memberikan sumbangan (papungu tumpak) dalam bentuk uang ataupun beras. Sumbangan ini dilakukan dalam bentuk kewajiban bagi anggota masyarakat yang mengadakan acara adat.

Hal ini juga dilakukan secara bergantian dalam setiap acara adat. Selain memberikan

sumbangan, para petani di desa ini juga turut berpatisipasi untuk membantu pihak yang

mengadakan pesta dalam bentuk materi dan tenaga.

Kegiatan tolong-menolong juga terlihat pada sebuah keluarga yang tertimpa

kemalangan, seperti ada salah satu dari anggota keluarga yang kecelakaan. Apabila ada

terdengar salah satu dari warga masyarakat yang kemalangan, para petani di desa ini pada

umumnya berdatangan untuk menjenguk. Biasanya bagi anggota masyarakat yang tertimpa

(18)

terdekat yang mengalami musibah biasanya mamboan sipanganon (membawa makanan) sebagai bentuk adanya rasa senasip dan sependeritaan).

Budaya dan hukum adat selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pola

kehidupan masyarakat di desa ini diikat oleh sistem adat yang berlaku. Masyarakat

menggangap bahwa selain hukum agama, hukum tertinggi adalah hukum adat. Segala bentuk

permasalahan/perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, selalu diselesaikan

dengan hukum adat di samping hukum agama.

Adanya umpasa dan umpama (pribahasa dan pepatah) merupakan bagian dari budaya adat yang berlaku di Desa Lumban Silintong. Masyarakat di desa ini menerapkan hukum adat

dalam bentuk pengucapan umpasa dan umpama yang banyak mengandung makna, nilai-nilai

ataupun norma-norma (falsafah hidup). Sistem politik, hukum dan adat diwujudkan/didasari

dari umpasa dan umpama yang merupakan indikator ataupun tolok ukur dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut adat, kehidupan masyarakat di desa ini mempunyai status ataupun golongan

yang berbeda yaitu status parhuta (pemilik huta) dan boru ni huta / sonduk hela / maisolat

(marga boru). Namun, dalam hukum agama status dan golongan masyarakat sama tanpa ada perbedaan. Dalam hukum agama setiap masyarakat yang melanggar hukum, dihukum sesuai

hukum yang berlaku tanpa memandang status maupun golongan.

Dalam pelaksanaan tatanan kehidupan sehari-hari di Desa Lumban Silintong terdapat

dua unsur kepemimpinan yang bekerja sama untuk mengatur tatanan hidup kemasyarakatan.

(19)

Kepemimpinan formal yaitu kepemimpinan yang berhubungan dengan pemerintahan desa

seperti kepala desa, kepala dusun, dan sekretaris desa. Kepemimpinan nonformal yaitu

kepemimpinan adat dan agama yang berfungsi sebagai pemimpin kehidupan yang

berhubungan dengan adat dan agama. Setiap acara adat biasanya dipimpin oleh dua unsur

yang berbeda yaitu raja huta dan raja adat. Pemimpin agama sering disebut dengan sintua

(penatua gereja) dan parhangir (pimpinan gereja). Kedua pimpinan ini biasanya berfungsi untuk memimpin acara kerohanian yang ada dalam masyarakat.

2.6 Mata Pencaharian

Bercocok tanam adalah suatu mata pencaharian pokok bagi penduduk daerah

Tapanuli umumnya dan Desa Lumban Silintong khususnya. Hampir setiap rumah tangga di

Desa Lumban Silintong memiliki areal pertanian. Umumnya masyarakat Batak Toba sangat

berkeinginan untuk memiliki lahan pertanian, sehingga petani di daerah Tapanuli jarang

dijumpai tidak memiliki areal sendiri.

Sumber kehidupan masyarakat di Desa Lumban Silintong sangat bergantung kepada

pertanian. Tinggi rendahnya hasil pertanian juga sangat tergantung kepada luas tanah yang

dimiliki oleh masyarakat. Tidak salah masyarakat di desa ini menggangap bahwa tanah

merupakan aset yang sangat berharga.

Lahan pertanian yang cenderung berada di lereng perbukitan mengakibatkan

ketergantungan yang sangat erat dengan berhasil tidaknya pertanian masyarakat. Irigasi

dibangun dengan membuat aliran air yang menggunakan pipa terbuat dari bambu, lalu

(20)

mengalami kerusakan akibat kondisi alam bisa mengakibatkan kerusakan bahkan gagal

panen. Batas kepemilikan lahan ditandai dengan adanya parit-parit yang dalam bahasa

setempat disebut dengan bondar (golat),20

20

Gadu -gadu dan bondar artinya parit-parit, tanda pembatas tanah. Istilah gadu-gadu dipakai untuk pembatas tanah di persawahan dan bondar dipakai untuk pembatas tanah di areal perladangan.

di mana jarak antara parit-parit yang satu dengan

yang lain biasanya berkisar 20-40 cm. Selain sebagai pembatas tanah, gadu-gadu digunakan

sebagai jalan umum menuju areal pertanian masyarakat.

Proses keberlangsungan hidup sebagai petani bukan lagi hal baru bagi masyarakat di

Desa Lumban Silintong. Profesi sebagai petani adalah sistem kerja yang dilanjutkan secara

turun-temurun. Rerata mata pencaharian penduduk adalah dari bertani sawah.

Pada hakikatnya di Desa Lumban Silintong areal pertanian tidaklah begitu sempit.

Jika melihat perbandingan antara kepala keluarga dengan luas areal yang ada, ternyata dari

120 kepala keluarga tersedia areal pertanian seluas 150 hektar. Dengan demikian, maka tidak

jarang dijumpai penduduk yang memiliki areal pertanian lebih dari satu hektar.

Umumnya masyarakat di desa ini memiliki areal pertaniannya berdasarkan warisan

orangtuanya, sehingga mereka enggan menjualnya kepada orang lain. Hal ini merupakan

cerminan kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan tanah leluhur mereka. Sudah

menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan tanah bagi orang Batak Toba adalah merupakan

(21)

Tradisi adat masyarakat di Desa Lumban Silintong menganggap bahwa tanah itu

sering disebut dengan ulos na so buruk (sumber penghidupan yang tidak ada matinya).21

Masyarakat menjual tanah hanyalah karena adanya kebutuhan tertentu (keadaaan

paksaaan). Pada awalnya penjualan tanah dilakukan masyarakat selalu mengusahakan untuk

menjual tanahnya pada sesama keluarga (keluarga dekat).

Masyarakat juga mengganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga sebagai

warisan dari ompu si jolo-jolo tubu (nenek moyang) dan titipan dari Debata Mulajadi

Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar).

22

Selain bertani, masyarakat Lumban Silintong juga bekerja sebagai nelayan. Pada

umumnya, nelayan dilakoni oleh masyarakat yang bertempat tinggal di tepi Danau Toba. Sebagian masyarakat ada yang

menjual tanahnya dengan cara marbile (tanah dibayar dengan tanah), dan disesuaikan dengan kondisi tanah.

Petani Desa Lumban Silintong umumnya menanam padi. Tanaman palawija ataupun

tanaman keras relatif tidak ada. Untuk pengolahan sawahnya, masyarakat Lumban Silintong

masih mempergunakan cara tradisional, yakni membajak dengan memakai tenaga kerbau.

Bahkan membajak dengan memanfaatkan tenaga hewan juga tidak bagi setiap keluarga.

Sebagian masih mencangkol dengan tenaga manusia.

21

Bagi suku batak Toba tanah sering disebut dengan ulos naso ra buruk. Tanah di ibaratkan seperti

ulos, ulos sebagai pakaian ciri khas batak Toba. Ulos na so ra buruk artinya ulos yang tidak bisa membusuk atau rusak.

22

(22)

Meskipun demikian, nelayan bukanlah tergolong mata pencaharian utama mereka. Menjaring

ikan adalah kerja sampingan ketika istirahat dari sawah, saat setelah menanam dan sebelum

panen tiba.

Dalam perjalanannya, banyak ditemukan orang-orang Batak yang tinggal di daerah

persawahan. Pendatang pertama, kedua, dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun

sudah ada yang beralih pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian.

Perhatikan tabel 5 tentang mata pencaharian penduduk di Desa Lumban Silintong.

Tabel 5. Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang)

1 Petani 456

2 Karyawan

-Pegawai Negeri Sipil

-ABRI

-Swasta

17

1

9

3 Nelayan 12

4 Pedagang/Wiraswasta 5

5 Jasa 2

6 Pertukangan 8

7 Pensiunan 7

Total 517

(23)

Para pedagang dan pengusaha juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih

baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya sampai Perguruan

Tinggi seperti di Siantar atau Medan. Sebaliknya petani-petani yang berlahan sempit

mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-anak mereka hanya

tamat SLTA.

Kaum muda tidak ingin tinggal di desa dan bertani, mereka meninggalkan kampung

halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang

ke Kalimantan dan sebagainya.

Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan

berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak-anaknya pun semakin mendapat

prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar

sektor pertanian.

Akan tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan tahun-tahun belakangan jelas

hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus

bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan

tanahnya dan tidak ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif.

Mereka kurang tanggap terhadap perubahan yang hanya berpegang pada apa yang

tampak dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka

kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan,

tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi yang berkembang dengan lebih

(24)

Oleh karena itu, banyak dari antara mereka pindah ke daerah lain. Para petani yang

tinggal di desa hanya menggarap sawah tanpa kreatifitas lain yang mendukung. Dengan

demikian terdapat kesan bahwa mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang

lebih tinggi di masa depan.

Ketergantungan hidup pada produksi sawah tidak hanya pada pola pencaharian yang

heterogen. Secara umum para petani di Desa Lumban Silintong banyak yang ketinggalan

dalam pola hidup yang sebagian besar sebagai petani. Sedangkan di beberapa daerah dekat

jalan raya atau tepi pantai petani-petani yang memiliki lahan luas, memiliki hidup dalam

tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Mereka ketinggalan dibandingkan dengan

tetangganya seperti masyarakat Karo yang mengombinasikan pertanian berladang, kebun dan

beternak.

Oleh karena situasi ekonomi keluarga yang sulit, sebagian ada yang bekerja keras dan

ada yang memilih pekerjaan yang dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu

kepala keluarga dengan turut serta bekerja ke sawah atau membawa barang dagangan

seadanya ke pasar guna menambah penghasilan.

Sementara pada era sebelum 1990 kondisi perekonomian Indonesia relatif tergolong

baik, utamanya di kota. Oleh karena itu, seperti Medan dan Jakarta sangat banyak

menampung pendatang baru, baik yang bersekolah atau melanjutkan pendidikannya hingga

pendidikan tinggi maupun sekadar mencari nafkah. Mereka berharap memperoleh sumber

(25)

Dengan kata lain, konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas

yang terjadi. Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa

bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang

selalu ketinggalan zaman. Jadilah eksodus dari desa ke kota. Dengan demikian, desa tetaplah

sebagai peta kemiskinan, banyak warganya yang buta huruf sehingga tak mampu merantau

ke kota.

Perlu ditambahkan bahwa kondisi wilayah Tapanuli (Utara) secara umum dikenal

sebagai peta kemiskinan. Tentang peta kemiskinan, penulis mengambil contoh: Tapanuli

yakni pendapatan rata-rata penduduk Tapanuli pada 1986 masih berkisar Rp

240.000/kapita/tahun, sementara rata-rata pendapatan nasional telah mencapai Rp

600.000/kapita/tahun. Namun rata-rata nasional ini agaknya disesuaikan dengan standar batas

garis kemiskinan yang dipakai Bank Dunia, yakni sebesar US$ 370/kapita/tahun atau Rp

600.000.23

Dengan bertolak dari peta kemiskinan yang ada, mereka kemudian turut menyuarakan

agar pembangunan sampai ke Sumatera Utara yang ditempatkan di daerah Tapanuli. Daerah

Angka pendapatan rata-rata penduduk Tapanuli yang jauh di bawah garis kemiskinan

menyatakan bahwa Tapanuli memang peta kemiskinan. Hal ini turut pula didukung oleh

lembaga keagamaan seperti Gereja. Kemudian masyarakat perantau Tapanuli juga

mengatakan keyakinan tersebut, sehingga mereka terlihat turut hendak menghapus kategori

kemiskinan. Dorongan para perantau ditambah lembaga keagamaan dan juga kaum

intelektual perantau berusaha mencari solusi untuk menjawab perihal kemiskinan.

23

(26)

ini didorong sesegera mungkin agar didatangkan aroma pembangunan yang juga dianggap

bersamaan dengan datangnya kemajuan. Sekaligus menjawab permasalahan yang melanda

kawasan Tapanuli: kemiskinan.

Dengan desakan sebagian masyarakat, akhirnya pemerintah melakukan pembangunan

dalam bentuk perusahaan. Pembangunan sebuah perusahaan diperkirakan menjadi jawaban

terhadap persoalan yang sudah mendesak. Perkiraan jika sebuah perusahaan berdiri di daerah

Sumatera Utara seperti Tapanuli serta merta pula akan mendatangkan kemajuan. Dengan

demikian, kesejahteraan masyarakat akan meningkat setelah perusahaan tersebut menyerap

Gambar

Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya
Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong
Tabel 5. Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kegiatan kerjasama litbang yang telah dicapai antara lain : dari RISTEK kegiatan litbang pangan olahan siap saji telah mendapatkan program insentif peningkatan

Tabel 4.12 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki untuk Sub Faktor Persyaratan Mental yang disederhanakan

SIKAP KELUARGA PADA LINGKUNGAN HIDUP DI PERUMNAS BELIMBING KECAMATAN KURANJI KOTA PADANG (Sfudi Korelasi Antara Pengetahuan Tentang Konsep Ekologi Dan Perterimaan In

perancangan data warehouse pada RSUD Palembang Bari ini ialah file-file rawat inap dan rawat jalan dalam bentuk excel. yang merupakan eksport file dari database

1.1.1.3 Mengenal sifat-sifat Allah (Al Ahad dan al Kholiq) melalui kisah Nabi Ibrahim a.s. Membiasakan akhlak terpuji 2.1 Membiasakan sifat disiplin dan hidup bersih

peningkatkan literasi sains siswa kelas V SD pada kelompok tinggi, sedang dan rendah dengan men ggunakan media komik Hari Ini Hujan ; dan untuk mengetahui

In this study, experiments were performed with the plant, Brassica napus, to test whether UV-B directly and indirectly influences (a) the decomposi- tion of litter by a select group

Prosedur Pencairan/ penyaluran dana bantuan Kemitraan Penyelenggaraan Ujian Akhir Madrasah (UAM) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan bahasa Arab untuk MI,