BAB II
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990
2. 1 Letak Geografis
Desa Lumban Silintong terletak di dataran tinggi Danau Toba yang termasuk wilayah
Kecamatan Balige. Pusat kegiatan terdapat di desa itu sendiri, di mana terdapat fasilitas
kantor Kepala Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), Pemberdayaan Kepala Keluarga (PKK) sampai Karang
Taruna. Kecuali fasilitas pendidikan, di desa ini terdapat tempat peribadatan (Gereja) dan
Balai Pelayanan Masyarakat (Polindes).
Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan pusat kecamatan adalah 1,5 kilometer.
Keadaan jalannya belum dapat ditempuh oleh kendaraan roda empat karena belum beraspal.
Di desa ini terdapat areal pertanian yang terhampar luas. Seluruh areal pertanian penduduk
Desa Lumban Silintong merupakan milik perseorangan.
Jalan menuju desa dibangun sejak 1970-an. Saat itu kondisi jalan masih terbuat dari
pasir putih dan belum aspal. Walaupun demikian, jalan tersebut dipelihara dengan baik,
karena di samping berfungsi sebagai penghubung Lumban Silintong dengan pusat pasar
(onan), juga berfungsi sebagai jalan penghubung dengan desa lainnya.
Desa Lumban Silintong terletak antara 905-1200 meter di atas permukaan laut,
pertanian. Seluruh areal pertanian diusahakan seefektif mungkin dengan tanaman padi. Curah
hujan turun pada Agustus hingga Desember dan bulan berikutnya terdapat musim kemarau
yang diselingi oleh hujan yang tidak teratur.
Desa Lumban Silintong dapat ditempuh dari dua arah, yakni dari Simpang Pemandian
dan dari Simpang Meat. Lumban Silintong dapat dilalui transportasi darat dan menggunakan
kapal motor. Jarak desa ini kira-kira 250 km dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara
dan memerlukan waktu sekitar enam jam perjalanan kendaraan roda empat.
Luas wilayah Desa Lumban Silintong meliputi 1,74 Km2 atau 1584, 27 hektar. Dari
areal tersebut dapat diperinci sesuai dengan fungsinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya
No Fungsi Tanah Luas Tanah (Ha)
1 Sawah 100
2 Perumahan 74
Total 174
Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990
Tanah kering pada umumnya tidak ditanami tanaman keras. Tanah kering lebih
banyak dibiarkan kosong dan sebagian jadi tempat penggembalaan ternak seperti kerbau. Di
samping bertani sawah, penduduk juga memiliki ternak sebagai sumber mata pencaharian
Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong
No Jenis Ternak Jumlah Pemilik (orang)
1 Kerbau 20
2 Sapi 4
3 Babi 72
4 Ayam 50
5 Itik/Bebek 250
Jumlah 396
Sumber: Kecamatan Balige dalam Angka 1990
Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan desa-desa di sekitarnya tidaklah begitu
jauh. Jarak antara satu desa dengan desa yang lainnya hanya dipisahkan oleh areal pertanian
penduduk dan pemukiman. Hubungan antara satu desa dengan desa yang lain dihubungkan
oleh jalan yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Adapun batas-batas Lumban
Silintong dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sangkarnihuta dan Silalahi Pagar
Batu
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Longat
- Sebelah Barat Daya berbatasan dengan Desa Hinalang Bagasan
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pardedeonan
2. 2 Latar Belakang Historis
Penduduk Desa Lumban Silintong telah mendiami desanya sejak zaman nenek
moyang mereka. Mereka dari generasi ke generasi hingga sekarang telah menjadi penduduk
asli Lumban Silintong. Jauh sebelum kedatangan Belanda ke Balige, masyarakat Lumban
Silintong hidup rukun dan damai. Berada di bawah Patuan Nagari, penduduk Lumban
Silintong turut berperang membantu Sisingamangaraja XII saat Belanda datang.
Nama Desa Lumban Silintong juga telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda.
Penduduk menamakan desa ini dengan nama Lumban Silintong atas dasar bahwa nama
tersebut berasal dari penamaan terhadap sebuah sudut kampung. Lumban dalam arti luas
dapat diartikan sebagai huta atau pemukiman, namun pada awalnya lumban lebih spesifik
sebagai dusun atau sub-desa.14
Pada umumnya daerah-daerah yang terdapat di kawasan Toba Samosir didiami oleh
suku bangsa Batak Toba, begitu juga halnya dengan Desa Lumban Silintong. Berdasarkan
sensus penduduk tahun 1987 Desa Lumban Silintong mempunyai penduduk 517 jiwa yang Sedangkan Silintong berarti garis-garis. Hal ini berangkat dari
tepian huta tersebut yang melintang seperti garis-garis. Hubungan Desa Lumban Silintong ke
daerah perkotaan seperti Balige, Parapat, Siantar, Tarutung dan seterusnya dihubungkan
melalui jalan provinsi.
2. 3 Penduduk
14
Huta adalah luasan hutan berupa lapangan kecil , di tengahnya sebuah pekarangan dan terbuka. Di
terdiri dari 120 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk tersebut dapat diperinci berdasarkan jenis
kelamin, seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Distribusi penduduk Desa Lumban Silintong berdasarkan jenis kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 250
2 Perempuan 267
Jumlah 517
Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990.
Dari 517 jiwa penduduk Desa Lumban Silintong, penduduknya mayoritas menganut
agama Kristen Protestan. Mereka mengenal agama Kristen sejak abad XIX yang dibawa oleh
missionaris Jerman L. I. Nommensen.15
Namun pada masa ini kearifan budaya lokal belum bisa ditinggalkan sepenuhnya,
meskipun mereka telah menganut agama Kristen. Adapun kearifan budaya lokal yang
dimaksud adalah berupa pelaksanaan upacara ritual yang sudah diterapkan secara
turun-temurun, seperti mengadakan makan bersama yang sebelumnya diawali dengan memberikan
sesajen kepada ruh nenek moyang yang mereka yakini akan memberikan kesuburan bagi
lahan pertanian mereka saat hendak menabur benih/menyemai. Kemudian pada masa panen, Pada awal abad XX penduduk desa ini telah
memeluk agama Kristen Protestan secara keseluruhan.
15
upacara ritual juga dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada nenek moyang yang mereka
percayai telah memberkati pekerjaan mereka dengan memberikan sesajen.
Sebelum mereka mengenal agama Kristen maupun agama yang lain, maka mereka
memiliki aliran kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan
Maha Besar). Penduduk masih percaya akan kekuatan-kekuatan gaib dan ruh-ruh nenek
moyangnya. Pada hari-hari tertentu yang dianggap tepat untuk mengadakan penjamuan bagi
kepercayaan masing-masing, maka mereka pun melakukan upacara-upacara dengan tujuan
untuk meminta rejeki dari unsur-unsur yang dianggap dapat memberikannya. Tradisi ini
perlahan-lahan bertransformasi menjadi adat-istiadat masyarakat setempat.
Adat pertama-tama merupakan kejadian berulang-ulang dan yang teratur, lalu
kemudian menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa. Kebiasaan itu dalam perjalanan
sejarah karena terus-menerus dipraktikkan, jadi bukan karena alasan praktis, kemudian
mendapat kekuatan hukumnya (legalitas). Oleh karena itu adalah kurang tepat untuk
mengerti adat sebagai kebiasaan saja atau hukum kebiasaan.16
Lebih jauh, adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa
susilanya. Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spritual, di mana kedamaian
menyeluruh ada karena kesepakatan bersama. Sebagai kebiasaan, adat dijalankan sesuai
irama alam yang kepadanya terikat kehidupan suku atau huta. Adat yang mengatur dengan
16
kokoh segenap kehidupan ke segala segi dan dalam segala hubungan adalah serentak
rangkuman segala hukum.17
Dalam hukum adat di Desa Lumban Silintong, pola kepemilikan (pembagian) tanah
untuk anak dan boru sangatlah berbeda. Hal ini disebut dengan istilah panjaean dan
pauseang (pemberian kasih sayang). Panjaean yaitu sebidang tanah warisan yang diberikan kepada anak laki-laki, tanah panjaean biasanya diberi orang tuanya setelah anaknya sudah
Sebelum adanya pengaruh modern ataupun pengaruh dari budaya lain, hukum
penguasaan tanah di Desa Lumban Silintong disesuaikan dengan hukum adat dan bius yang
berlaku. Adapun hukum adat penguasaan tanah yaitu: hukum pertanahan tanah adat (ulayat)
merupakan milik Raja Huta (pendiri huta), kawasan sumber daya komunal seperti tombak
(hutan), harangan (padang rumput penggembalaan), dan pemukiman dikuasai secara kolektif berdasarkan hukum yang ditetapakan oleh Raja Huta, hukum adat satu klan atau wilayah adalah hak pendiri huta atau pemilik huta sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Raja Huta.
Adanya pengaruh hukum adat yang menyatakan bahwa sebagian besar kawasan huta
(desa), merupakan hak pendiri huta dan didasarkan garis keturunan dari anak laki-laki.
Sistem kepemilikan tanah di desa ini lebih ditekankan kepada anak laki-laki yang merupakan
penyambung garis keturunan (patrilineal), dan sebagian tanah di berikan kepada boru (anak perempuan).
17
marhasohotan (berumah tangga/ membentuk keluarga baru). Adapun pauseang yaitu sebidang tanah yang menjadi bagian dari boru (anak perempuan), pemberian tanah untuk
boru sama halnya seperti untuk anak yaitu diberi setelah boru-nya marhamulian (menikah dengan lelaki bermarga lain). Antara panjaean dan pauseang memang berbeda, luas tanah panjaean yang diberikan kepada anak biasnya jauh berbeda dengan pauseang yang diberikan
kepada boru.
Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Oleh karena itu, adat bersifat sakral.
Dia datang dari DebataMulajadi Nabolon yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat mengikat orang hidup dengan nenek moyang. Seperti dikatakan Adriani, keturunan
mereka hidup sesuai dengan aturan nenek moyang itu:
“Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang bersifat mutlak—yaitu jalannya dunia itu sendiri—seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang, sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan dengan para nenek moyang.”18
Setelah agama Kristen masuk dan diperkenalkan kepada masyarakat, maka kebiasaan
tradisional seperti upacara-upacara keagamaan tadi lenyap secara lambat laun. Di mana
masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kegaiban-kegaiban dan ruh nenek moyang. Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman dan
merupakan sikap hidup orang Batak Toba untuk dunianya, maka dia bersifat mutlak. Biarpun
orang Batak Toba sudah menjadi Kristen atau Islam atau terpelajar atau merantau, mereka
tetap menghargai dan melaksanakan adatnya. Mungkin pelaksanaannya tidak seperti dahulu
lagi, tetapi isinya tetap sama.
18
Mereka mulai yakin tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka ketahui dari
agama Kristen. Segala sesuatunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dikaitkan dengan
agama yang dianut.
Kebiasaan lama seperti adat-istiadat dipertahankan dengan sesungguhnya asal tidak
bertentangan dengan ajaran agama mereka. Pesta-pesta adat selalu diselingi oleh upacara
agama, misalnya pesta perkawinan biasanya dilakukan dengan cara agama dan cara-cara
adat.
Setelah upacara agama selesai dilanjutkan dengan upacara adat barulah perkawinan
tadi dianggap resmi oleh penduduk. Hidup saling ketergantungan di antara penduduk desa
tercermin melalui hidup beragama. Sarana-sarana sosial dipelihara dengan baik oleh
masyarakat.
Berita kematian, kelahiran, pernikahan dan diberitakan melalui perkumpulan Gereja
yang dilakukan setiap hari Minggu. Adapun sarana sosial yang terdapat di Desa Lumban
Silintong dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Jenis Sarana Sosial
No Jenis Sarana Sosial Jumlah
1 Sarana pendidikan -
2 Sarana kesehatan
-Poliklinik 1
-Gereja
-Masjid
-
-
Total 1
Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990
Dilihat dari segi kepemimpinan masyarakat, Desa Lumban Silintong dipimpin oleh
seorang kepala desa dibantu oleh lembaga-lembaga desanya. Masyarakat desa ini patuh
terhadap perintah pimpinan mereka. Di samping pemimpin formal seperti kepala desa, masih
terdapat satu bentuk kepemimpinan informal yang dipegang oleh pendeta, guru-guru agama
dan penatua-penatua Gereja serta para pemuka adat.
Acapkali cara yang dilakukan seorang kepala desa untuk mengajak warganya
bergotong royong adalah dengan menyampaikannya melalui pertemuan-pertemuan informal,
sehingga kesan demikian tampak tidak kaku. Sebagai contoh pembangunan desa, kebersihan
lingkungan peningkatannya selalu diterapkan melalui ceramah-ceramah agama dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.
Sebelum adanya pengaruh agama Kristen, wilayah Tapanuli dikenal suatu bentuk
lapisan sosial yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Lapisan sosial yang dianggap lebih
tinggi atau golongan elite adalah keturunan marga penguasa tanah dan para datu (dukun).
Selain itu, lapisan sosial juga dibedakan berdasarkan perbedaan umur dan
pernikahan. Meskipun demikian, tidaklah begitu nyata adanya seperti yang dipengaruhi
langsung oleh Hindu. Dalam hal ini lapisan sosial yang lebih tinggi dapat berhubungan bebas
pesta-pesta adat yang sedang dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat lebih menghormati
klan penguasa tanah dan orang berilmu (kebatinan, umpamanya dukun).
Pendapat mereka selalu dihargai oleh penduduk. Namun setelah masuknya pengaruh
agama, di Desa Lumban Silintong pandangan demikian berubah ke arah persamaan hidup
berdasarkan ajaran agama. Masyarakat lebih menghormati marga penguasa tanah, guru
agama dan pendeta daripada dukun-dukun yang ada.
Dalam upacara pesta, baik pesta adat maupun yang lainnya peranan golongan dukun
sudah tidak kelihatan lagi. Mereka tidak mampu menonjolkan diri untuk menarik perhatian
masyarakat. Kegiatan-kegiatan serta pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selalu diawali
doa bersama yang bertujuan untuk menggantungkan diri terhadap Tuhan Maha Pencipta dan
Maha Besar.
Segala kegiatan sosial yang bertentangan dengan ajaran agama mereka sudah tidak
mendapat dukungan lagi dari masyarakat. Masyarakat yang patuh dengan ajaran agamanya
dianggap berhasil di kalangan masyarakat. Sikap tolong-menolong yang timbul di kalangan
masyarakat desa ini lebih besar terlaksana berdasarkan keagamaan daripada berdasarkan
ikatan kekeluargaan.
2.4 Kelembagaan di Desa
Lembaga yang ada di Desa Lumban Silintong:
- Pemerintah desa
- Lembaga adat
- Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
- Kelompok Tani (Koptan)
- Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
- Karang Taruna
2.5 Sosial Budaya
Orang Batak Toba percaya bahwa kehidupan ada tiga yaitu kehidupan Banua Ginjang
(Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah), dan Banua Toru (Dunia Bawah). Kehidupan
Banua Ginjang adalah kehidupan dalam nirwana dan dilambangkan dengan warna putih. Kehidupan Banua Tonga adalah kehidupan sekarang yang penuh dengan permusuhan, taktik, dan pergolakan perilaku lainnya, dan ini disimbolkan dengan warna merah. Sedangkan
kehidupan Banua Toru merupakan kehidupan alam kubur yang dilambangkan dengan warna hitam. Ketiga warna ini sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, baik itu
pada rumah, ulos, ukiran, dan pahatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.
Suku Batak Toba adalah suku yang berdiam di sekitar Danau Toba, yakni di Toba,
Humbang, Samosir, dan Silindung. Menurut sejarahnya, masyarakat Batak berasal dari
dataran Asia, yaitu dari rumpun Melayu Tua (Deutro Melayu) yang mendarat di pantai barat
pulau Sumatera dan meneruskan perjalanan ke pedalaman. Akan tetapi orang Batak percaya
bahwa mereka merupakan titisan dari Debata Mulajadi Nabolon melalui si Deak Parujar
yang turun ke bumi.
Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, yakni mengambil
garis keturunan dari laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba, anak laki-laki memegang
Sementara perempuan akan berhenti garis keturunannya karena menjadi bagian dari marga
suaminya.
Sistem kekerabatan masyarakat di Desa Lumban Silintong menganut sistem
kekerabatan patrinineal, artinya kedudukan ataupun peranan laki-laki lebih tinggi dari
perempuan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan ditentukan laki-laki. Di Desa
Lumban Silintong untuk urusan permasalahan perekonomian keluarga merupakan tanggung
jawab ayah dan ibu.
Bagi masyarakat di Desa Lumban Silintong, laki-laki juga merupakan tokoh utama
dalam tatanan kemasyarakatan. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di
samping kesibukannya sebagai kepala keluarga, berbagai kegiatan pada masyarakat Desa
Lumban Silintong selalu dipimpin dan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan lebih bersifat
sebagai pendukung atau penunjang. Dalam berbagai acara adat, pesta dan upacara-upacara
keagamaan pada umumnya lebih di dominasi oleh kaum laki-laki. Pimpinan-pimpinan
lingkungan seperti Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun yang ada di Desa Lumban
Silintong semuanya dijabat oleh laki-laki.
Sistem kekerabatan di Desa Lumban Silintong masih terlihat satu dan utuh. Pada
umumnya semua tatanan masyarakat mempunyai ikatan kekeluargaan antara satu dengan
yang lainnya. Hubungan marga sebelumnya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial
masyarakat di desa ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila tetangga mereka adalah
juga saudaranya. Dengan demikian, setiap warga saling mengenal antara satu dengan yang
Selanjutnya, masyarakat Batak Toba juga menganut kebudayaan Dalihan Na Tolu. Secara harafiah Dalihan berarti tungku yang terbuat dari batu, sedangkan Tolu berarti numerik tiga dan Na adalah kata penghubung yang dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi yang hampir sama dengan penghubung “yang”. Jadi dalam tafsiran denotatif Dalihan Na
Tolu adalah tiga buah tungku batu tempat diletakkannya periuk untuk memasak.
Pada prinsipnya Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur yang kuat dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba, yakni:
Hula-hula: kelompok pemberi istri
Boru: kelompok penerima istri
Dongan tubu: kelompok semarga
Ketiga unsur ini masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan
kewajibannya sebagai pelaksana tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Di suatu
ketika pihak boru bisa saja menjadi pihak hula-hula atau dongan tubu dan demikian juga sebaliknya tergantung pada pihak yang mengadakan pesta.
Boru tidak lebih rendah dari hula-hula. Ada ungkapan yaitu bahwa hula-hula haruslah “elek mar-boru” artinya agar hula-hula selalu bersikap membujuk dan sayang terhadap boru. Sedangkan setiap boru haruslah “somba mar-hula-hula” artinya bahwa setiap boru haruslah bersikap hormat terhadap hula-hula dan setiap perbuatan hula-hula harus dipandang hormat
Pesta nikah merupakan satu dari sekian banyak kegiatan adat yang di dalamnya
berlaku sistem Dalihan Na Tolu. Salah satu kegiatan sosial budaya yang ada di Desa Lumban Silintong adalah upacara perkawinan. Perkawinan berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu
tersebut atau perkawinan sirkulasi asimetri tersebut berarti harus terdiri dari tiga kelompok
marga, yaitu kelompok ego (dongan tubu), kelompok pemberi istri (hula-hula), dan kelompok penerima istri (boru).
Ketiga kelompok ini selalu dalam bentuk aliansi. Maka kelompok ego ialah ego
sendiri bersama dengan teman semarganya, yang disebut dongan sabutuha. Kelompok hula-hula ialah mertua dan saudara mertua ego, saudara istri dan semua anggota dari garis
keturunan saudara istri. Kemudian masuk dalam kelompok ini juga ialah kelompok garis
keturunan saudara ibu ego dan semua kelompok garis keturunan pengambilan istri dari
nenek, ayah, saudara dan anak ego. Sedangkan yang masuk dalam kelompok boru ialah semua kelompok marga yang mengambil wanita garis keturunan marga ego. Perlu juga
diperhatikan tentang istilah boru ini sebab kata ‘boru’ berlaku baik untuk anak putri maupun marga penerima istri.
Masyarakat Lumban Silintong saling tolong-menolong untuk mengupayakan agar
perayaan ataupun pelaksanaan pesta adat suatu rumah tangga dapat berjalan lancar.
Istilah yang mereka pakai dalam bagian ini adalah marhobas. Marhobas maksudnya membantu pihak suhut yang mengadakan pesta untuk mengerjakan ataupun melengkapi
kebutuhan-kebutuhan dalam pesta, seperti memasak, menerima tamu dan segala sesuatunya
masyarakat Lumban Silintong dan sanak famili dari luar kampung, baik dekat maupun jauh.
Bagi masyarakat setempat pergi marhobas dapat juga dikatakan dengan sebutan manghobasi.
Manghobasi suatu pesta dilakukan secara gotong royong, kecuali pihak tuan rumah. Hal ini berlangsung secara bergantian. Dengan kata lain, setiap rumah tangga akan mendapat
giliran untuk dihobasi. Sebab suatu pesta terlaksana tidak menyesuaikan dengan suatu
peraturan lingkungan. Umpamanya untuk pesta pernikahan bisa terjadi jika seorang anak
sudah tergolong dewasa. Di sisi lain jika orang meninggal, maka siapa menduga suatu
keluarga akan mendapat gilirannya untuk dihobasi.
Marsiadapari biasanya bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sesama warga masyarakat. Kegiatan marsiadapari pada umumnya diwujudkan dalam kegiatan atau aktivitas kerja bersama dengan tujuan yang sama. Seperti kerja bakti
dalam membangun irigasi, menata lingkungan ataupun menyelenggarakan suatu kegiatan
upacara (ritual), masyarakat masih menerapkan sistem marsiadapari dalam mengolah lahan pertanian.19
Ikatan kekeluargaan bagi masyarakat Desa Lumban Silintong masih terjaga erat, baik
yang tinggal di dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Eratnya bentuk
persaudaraan di desa ini terlihat dari kegiatan marsiadapari dan adanya rasa tolong menolong di antara warga masyarakat dalam kehidupan bersama khususnya dalam kehidupan
agama dan adat. Para petani di desa ini menunjukkan adanya rasa senasib dan
sepenanggungan di antara mereka. Hal ini antara lain bila di antara mereka sedang
19
mengadakan suatu pesta (acara adat), ataupun bila di antara mereka sedang mengalami
musibah (dukacita). Dalam kehidupanya sebagai petani, mereka mempunyai tujuan yang
sama, yaitu bagaimana hasil produksi pertanian mereka semakin meningkat. Tujuan utama
sebagai petani ini pulalah yang mendorong adanya semangat gotong-royong dan sikap
tolong-menolong di sesama petani.
Salah satu bentuk marsiadapari dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Lumban Silintong terlihat dalam sebuah acara pesta (adat). Bagi
masyarakat di Desa Lumban Silintong yang melakukan sebuah acara pesta baik pernikahan
(pamasu-masuon), mamestahon huta (pesta tugu / peresmian suatu huta), monding / saur matua (meninggal), ulangtahun, dan sebagainya. Untuk meringankan beban dari keluarga yang mengadakan pesta, para tetanga (dongan sahuta dan dongan saparadaton) biasanya memberikan sumbangan (papungu tumpak) dalam bentuk uang ataupun beras. Sumbangan ini dilakukan dalam bentuk kewajiban bagi anggota masyarakat yang mengadakan acara adat.
Hal ini juga dilakukan secara bergantian dalam setiap acara adat. Selain memberikan
sumbangan, para petani di desa ini juga turut berpatisipasi untuk membantu pihak yang
mengadakan pesta dalam bentuk materi dan tenaga.
Kegiatan tolong-menolong juga terlihat pada sebuah keluarga yang tertimpa
kemalangan, seperti ada salah satu dari anggota keluarga yang kecelakaan. Apabila ada
terdengar salah satu dari warga masyarakat yang kemalangan, para petani di desa ini pada
umumnya berdatangan untuk menjenguk. Biasanya bagi anggota masyarakat yang tertimpa
terdekat yang mengalami musibah biasanya mamboan sipanganon (membawa makanan) sebagai bentuk adanya rasa senasip dan sependeritaan).
Budaya dan hukum adat selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pola
kehidupan masyarakat di desa ini diikat oleh sistem adat yang berlaku. Masyarakat
menggangap bahwa selain hukum agama, hukum tertinggi adalah hukum adat. Segala bentuk
permasalahan/perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, selalu diselesaikan
dengan hukum adat di samping hukum agama.
Adanya umpasa dan umpama (pribahasa dan pepatah) merupakan bagian dari budaya adat yang berlaku di Desa Lumban Silintong. Masyarakat di desa ini menerapkan hukum adat
dalam bentuk pengucapan umpasa dan umpama yang banyak mengandung makna, nilai-nilai
ataupun norma-norma (falsafah hidup). Sistem politik, hukum dan adat diwujudkan/didasari
dari umpasa dan umpama yang merupakan indikator ataupun tolok ukur dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut adat, kehidupan masyarakat di desa ini mempunyai status ataupun golongan
yang berbeda yaitu status parhuta (pemilik huta) dan boru ni huta / sonduk hela / maisolat
(marga boru). Namun, dalam hukum agama status dan golongan masyarakat sama tanpa ada perbedaan. Dalam hukum agama setiap masyarakat yang melanggar hukum, dihukum sesuai
hukum yang berlaku tanpa memandang status maupun golongan.
Dalam pelaksanaan tatanan kehidupan sehari-hari di Desa Lumban Silintong terdapat
dua unsur kepemimpinan yang bekerja sama untuk mengatur tatanan hidup kemasyarakatan.
Kepemimpinan formal yaitu kepemimpinan yang berhubungan dengan pemerintahan desa
seperti kepala desa, kepala dusun, dan sekretaris desa. Kepemimpinan nonformal yaitu
kepemimpinan adat dan agama yang berfungsi sebagai pemimpin kehidupan yang
berhubungan dengan adat dan agama. Setiap acara adat biasanya dipimpin oleh dua unsur
yang berbeda yaitu raja huta dan raja adat. Pemimpin agama sering disebut dengan sintua
(penatua gereja) dan parhangir (pimpinan gereja). Kedua pimpinan ini biasanya berfungsi untuk memimpin acara kerohanian yang ada dalam masyarakat.
2.6 Mata Pencaharian
Bercocok tanam adalah suatu mata pencaharian pokok bagi penduduk daerah
Tapanuli umumnya dan Desa Lumban Silintong khususnya. Hampir setiap rumah tangga di
Desa Lumban Silintong memiliki areal pertanian. Umumnya masyarakat Batak Toba sangat
berkeinginan untuk memiliki lahan pertanian, sehingga petani di daerah Tapanuli jarang
dijumpai tidak memiliki areal sendiri.
Sumber kehidupan masyarakat di Desa Lumban Silintong sangat bergantung kepada
pertanian. Tinggi rendahnya hasil pertanian juga sangat tergantung kepada luas tanah yang
dimiliki oleh masyarakat. Tidak salah masyarakat di desa ini menggangap bahwa tanah
merupakan aset yang sangat berharga.
Lahan pertanian yang cenderung berada di lereng perbukitan mengakibatkan
ketergantungan yang sangat erat dengan berhasil tidaknya pertanian masyarakat. Irigasi
dibangun dengan membuat aliran air yang menggunakan pipa terbuat dari bambu, lalu
mengalami kerusakan akibat kondisi alam bisa mengakibatkan kerusakan bahkan gagal
panen. Batas kepemilikan lahan ditandai dengan adanya parit-parit yang dalam bahasa
setempat disebut dengan bondar (golat),20
20
Gadu -gadu dan bondar artinya parit-parit, tanda pembatas tanah. Istilah gadu-gadu dipakai untuk pembatas tanah di persawahan dan bondar dipakai untuk pembatas tanah di areal perladangan.
di mana jarak antara parit-parit yang satu dengan
yang lain biasanya berkisar 20-40 cm. Selain sebagai pembatas tanah, gadu-gadu digunakan
sebagai jalan umum menuju areal pertanian masyarakat.
Proses keberlangsungan hidup sebagai petani bukan lagi hal baru bagi masyarakat di
Desa Lumban Silintong. Profesi sebagai petani adalah sistem kerja yang dilanjutkan secara
turun-temurun. Rerata mata pencaharian penduduk adalah dari bertani sawah.
Pada hakikatnya di Desa Lumban Silintong areal pertanian tidaklah begitu sempit.
Jika melihat perbandingan antara kepala keluarga dengan luas areal yang ada, ternyata dari
120 kepala keluarga tersedia areal pertanian seluas 150 hektar. Dengan demikian, maka tidak
jarang dijumpai penduduk yang memiliki areal pertanian lebih dari satu hektar.
Umumnya masyarakat di desa ini memiliki areal pertaniannya berdasarkan warisan
orangtuanya, sehingga mereka enggan menjualnya kepada orang lain. Hal ini merupakan
cerminan kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan tanah leluhur mereka. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan tanah bagi orang Batak Toba adalah merupakan
Tradisi adat masyarakat di Desa Lumban Silintong menganggap bahwa tanah itu
sering disebut dengan ulos na so buruk (sumber penghidupan yang tidak ada matinya).21
Masyarakat menjual tanah hanyalah karena adanya kebutuhan tertentu (keadaaan
paksaaan). Pada awalnya penjualan tanah dilakukan masyarakat selalu mengusahakan untuk
menjual tanahnya pada sesama keluarga (keluarga dekat).
Masyarakat juga mengganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga sebagai
warisan dari ompu si jolo-jolo tubu (nenek moyang) dan titipan dari Debata Mulajadi
Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar).
22
Selain bertani, masyarakat Lumban Silintong juga bekerja sebagai nelayan. Pada
umumnya, nelayan dilakoni oleh masyarakat yang bertempat tinggal di tepi Danau Toba. Sebagian masyarakat ada yang
menjual tanahnya dengan cara marbile (tanah dibayar dengan tanah), dan disesuaikan dengan kondisi tanah.
Petani Desa Lumban Silintong umumnya menanam padi. Tanaman palawija ataupun
tanaman keras relatif tidak ada. Untuk pengolahan sawahnya, masyarakat Lumban Silintong
masih mempergunakan cara tradisional, yakni membajak dengan memakai tenaga kerbau.
Bahkan membajak dengan memanfaatkan tenaga hewan juga tidak bagi setiap keluarga.
Sebagian masih mencangkol dengan tenaga manusia.
21
Bagi suku batak Toba tanah sering disebut dengan ulos naso ra buruk. Tanah di ibaratkan seperti
ulos, ulos sebagai pakaian ciri khas batak Toba. Ulos na so ra buruk artinya ulos yang tidak bisa membusuk atau rusak.
22
Meskipun demikian, nelayan bukanlah tergolong mata pencaharian utama mereka. Menjaring
ikan adalah kerja sampingan ketika istirahat dari sawah, saat setelah menanam dan sebelum
panen tiba.
Dalam perjalanannya, banyak ditemukan orang-orang Batak yang tinggal di daerah
persawahan. Pendatang pertama, kedua, dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun
sudah ada yang beralih pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian.
Perhatikan tabel 5 tentang mata pencaharian penduduk di Desa Lumban Silintong.
Tabel 5. Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Petani 456
2 Karyawan
-Pegawai Negeri Sipil
-ABRI
-Swasta
17
1
9
3 Nelayan 12
4 Pedagang/Wiraswasta 5
5 Jasa 2
6 Pertukangan 8
7 Pensiunan 7
Total 517
Para pedagang dan pengusaha juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih
baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya sampai Perguruan
Tinggi seperti di Siantar atau Medan. Sebaliknya petani-petani yang berlahan sempit
mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-anak mereka hanya
tamat SLTA.
Kaum muda tidak ingin tinggal di desa dan bertani, mereka meninggalkan kampung
halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang
ke Kalimantan dan sebagainya.
Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan
berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak-anaknya pun semakin mendapat
prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar
sektor pertanian.
Akan tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan tahun-tahun belakangan jelas
hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus
bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan
tanahnya dan tidak ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif.
Mereka kurang tanggap terhadap perubahan yang hanya berpegang pada apa yang
tampak dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka
kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan,
tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi yang berkembang dengan lebih
Oleh karena itu, banyak dari antara mereka pindah ke daerah lain. Para petani yang
tinggal di desa hanya menggarap sawah tanpa kreatifitas lain yang mendukung. Dengan
demikian terdapat kesan bahwa mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang
lebih tinggi di masa depan.
Ketergantungan hidup pada produksi sawah tidak hanya pada pola pencaharian yang
heterogen. Secara umum para petani di Desa Lumban Silintong banyak yang ketinggalan
dalam pola hidup yang sebagian besar sebagai petani. Sedangkan di beberapa daerah dekat
jalan raya atau tepi pantai petani-petani yang memiliki lahan luas, memiliki hidup dalam
tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Mereka ketinggalan dibandingkan dengan
tetangganya seperti masyarakat Karo yang mengombinasikan pertanian berladang, kebun dan
beternak.
Oleh karena situasi ekonomi keluarga yang sulit, sebagian ada yang bekerja keras dan
ada yang memilih pekerjaan yang dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu
kepala keluarga dengan turut serta bekerja ke sawah atau membawa barang dagangan
seadanya ke pasar guna menambah penghasilan.
Sementara pada era sebelum 1990 kondisi perekonomian Indonesia relatif tergolong
baik, utamanya di kota. Oleh karena itu, seperti Medan dan Jakarta sangat banyak
menampung pendatang baru, baik yang bersekolah atau melanjutkan pendidikannya hingga
pendidikan tinggi maupun sekadar mencari nafkah. Mereka berharap memperoleh sumber
Dengan kata lain, konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas
yang terjadi. Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa
bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang
selalu ketinggalan zaman. Jadilah eksodus dari desa ke kota. Dengan demikian, desa tetaplah
sebagai peta kemiskinan, banyak warganya yang buta huruf sehingga tak mampu merantau
ke kota.
Perlu ditambahkan bahwa kondisi wilayah Tapanuli (Utara) secara umum dikenal
sebagai peta kemiskinan. Tentang peta kemiskinan, penulis mengambil contoh: Tapanuli
yakni pendapatan rata-rata penduduk Tapanuli pada 1986 masih berkisar Rp
240.000/kapita/tahun, sementara rata-rata pendapatan nasional telah mencapai Rp
600.000/kapita/tahun. Namun rata-rata nasional ini agaknya disesuaikan dengan standar batas
garis kemiskinan yang dipakai Bank Dunia, yakni sebesar US$ 370/kapita/tahun atau Rp
600.000.23
Dengan bertolak dari peta kemiskinan yang ada, mereka kemudian turut menyuarakan
agar pembangunan sampai ke Sumatera Utara yang ditempatkan di daerah Tapanuli. Daerah
Angka pendapatan rata-rata penduduk Tapanuli yang jauh di bawah garis kemiskinan
menyatakan bahwa Tapanuli memang peta kemiskinan. Hal ini turut pula didukung oleh
lembaga keagamaan seperti Gereja. Kemudian masyarakat perantau Tapanuli juga
mengatakan keyakinan tersebut, sehingga mereka terlihat turut hendak menghapus kategori
kemiskinan. Dorongan para perantau ditambah lembaga keagamaan dan juga kaum
intelektual perantau berusaha mencari solusi untuk menjawab perihal kemiskinan.
23
ini didorong sesegera mungkin agar didatangkan aroma pembangunan yang juga dianggap
bersamaan dengan datangnya kemajuan. Sekaligus menjawab permasalahan yang melanda
kawasan Tapanuli: kemiskinan.
Dengan desakan sebagian masyarakat, akhirnya pemerintah melakukan pembangunan
dalam bentuk perusahaan. Pembangunan sebuah perusahaan diperkirakan menjadi jawaban
terhadap persoalan yang sudah mendesak. Perkiraan jika sebuah perusahaan berdiri di daerah
Sumatera Utara seperti Tapanuli serta merta pula akan mendatangkan kemajuan. Dengan
demikian, kesejahteraan masyarakat akan meningkat setelah perusahaan tersebut menyerap