• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANTUNU TEDONG. (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANTUNU TEDONG. (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

i

MANTUNU TEDONG

(Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale)

Oleh,

JERIANTO SALUBONGGA NIM: 712008056

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Bapa di sorga dalam nama Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanNya, perlindungan dan berkat yang tiada terkira hingga pada saat ini, sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah beserta Tugas Akhir denga judul : Mantunu Tedong (Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale) dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi.

Begitu juga dengan mama terkasih, terima kasih atas cinta dan kasih sayang mama selama ini. Doa dan dukungan yang tidak pernah putus-putusnya, yang tidak pernah lelah menjadi ayah dan ibu dalam setiap langkah kehidupan penulis. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati dan menyertai mama dalam masa tua, sehingga memperoleh kesehatan, umur yang panjang, supaya kelak penulis bisa membalas semua kasih sayang dan kebaikan mama.

Penghargaan dan ucapan terima kasih juga kepada almarhum papa tercinta yang telah berjuang keras untuk penulis selama hidupnya. Selalu teriring doa dan syukur untuk papa tercinta

yang telah bersama dengan Tuhan Yesus. Cinta dan kasih sayang papa tidak akan pernah penulis lupakan, begitupula dengan nasehat-nasehat dan ajaran yang selalu papa berikan. Sangat bangga, bersyukur, dan berterima kasih kepada Tuhan pernah memiliki papa.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga bagi kakak-kakak dan adik penulis yang telah banyak membantu penulis selama ini. Yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam berbagai hal. Bukan hanya doa akan tetapi lewat pengorbanan materi juga yang selalu mereka berikan kepada penulis. Terima kasih kepada kak Ema, kak Julia, dan adik Tonglo, sangat bersyukur Tuhan Yesus telah memberikan saudara seperti kalian. Begitu juga dengan Kenzo yang selalu menjadi penyemangat dalam kehidupan penulis. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati dan melindungi.

Selain itu penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini diantaranya:

1. Pdt.Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D dan Pdt. Izak Lattu, Ph. D sebagai dosen pengajar dan dosen pembibing penulis, terima kasih banyak atas waktu, ide-ide beserta masukan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir penulis dengan baik.

2. Dekan, Kaprogdi dan dosen-dosen serta staff tata usaha Fakultas Teologi UKSW yang banyak membantu dalam menyelesaikan studi penulis .

3. Sahabat, saudara, dan juga sebagai kakak, Rano dan Felix yang telah banyak membantu penulis, selalu mengajar dan memberikan nasehat-nasehat kepada penulis di tanah

(7)

vii rantau dalam berbagai suka dan duka bersama selama ini. Begitu juga dengan Christian yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir. Semua kebaikan, canda dan tawa kalian tidak akan pernah penulis lupakan. Teima kasih bayak telah hadir menjadi saudara, kakak dalam kehidupan penulis di Salatiga.

4. Teman-teman PKMST Salatiga dan PPGT Semarang tanpa terkecuali yang penulis tidak sempat menyebutkan nama kalian satu persatu, terima kasih telah menjadi keluarga besar penulis selama ini. Bersama kalian penulis bisa merasakan dan memiliki kekeluargaan dalam persekutuan Toraja dan gereja Toraja.

5. Untuk majelis gereja Toraja Surabaya cabang kebaktian Semarang dan bapak Pdt. Mianto sekeluarga, terima kasih atas pelayanan, nasehat-nasehat yang selalu diberikan kepada penulis dalam kehidupan pelayanan penulis.

6. Teman-teman angkatan penulis, yang telah menemani penulis dalam suka maupun duka diantaranya Frendly, Ariel, Lily, Mora, Timo, Ivon, Tasya, Tia dan teman-teman lainnya.

7. Begitu juga dengan mami Sastro dan Tony yang telah banyak membantu penulis selama studi di Salatiga. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama ini yang tidak sempat penulis sampaikan karena keterbatasan penulis sebagai manusia.

Dalam kehidupan dan masa studi, penulis menyadari bahwa sebagai manusia penulis banyak memiliki kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan tersebut. Akhir kata, kiranya kasih dan damai sejahtera Allah dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kita sekalian.

Salatiga, Oktober 2015

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..….. i

HALAMAN PENGESAHAN ……….………... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ……….……….………... iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ………... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………... v

KATA PENGANTAR ……….... vii

DAFTAR ISI ………... ix

ABSTRAK ………..………….... xi

LATAR BELAKANG MASALAH Pendahuluan ………... 1

LANDASAN TEORI Upacara Kematian Secara Umum ... 6

Ritual Pengorbanan ... 7

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 9

Pandangan Para Tokoh Adat/ Budayawan Tentang Mantunu Tedong... 10

Pandangan Warga Masyarakat Lembang Seriale ... 13

ANALISA ... 15

Penutup

Kesimpulan ... 18

Saran ... 19

(9)

ix

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna Mantunu Tedong dalam masyarakat Lembang Seriale. Mantunu Tedong merupakan warisan budaya yang terus bertahan hingga saat ini. Keberadaan warisan budaya mempunyai tujuan untuk mempererat relasi di dalam keluarga besar maupun masyarakat secara luas. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna dari pemotongan kerbau dalam upacara kematian di Lembang Seriale merupakan ungkapan kasih sayang, penghormatan, ungkapan terimakasih kepada orang yang telah meninggal. Namun, tradisi Mantunu Tedong ini juga dalam perkembangannya secara negatif cenderung memperlihatkan prestise atau gengsi dalam masyarakat Lembang Seriale karena terkait dengan kepentingan agar dipandang mampu melalui menyembelih hewan kerbau dalam jumlah yang banyak tanpa mempertimbangkan akibatnya di masa mendatang bagi generasi-generasi berikutnya.

(10)

1

Mantunu Tedong

(Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Makna Pemotongan Kerbau

Dalam Upacara Kematian Di Lembang Seriale)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mantunu Tedong adalah suatu tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat

adat Toraja pada umumnya, hingga saat ini. Istilah Mantunu Tedong. berasal dari dua suku kata dalam tata bahasa daerah Toraja yakni Mantunu berarti memotong, atau mengorbankan. Dalam hal ini memotong (menyembelih) atau mengorbankan kerbau. Dan kata Tedong berarti kerbau. Maka secara harafiah Mantunu Tedong berarti memotong (menyembelih) kerbau.

Mantunu Tedong sendiri adalah merupakan bagian dari rangkaian upacara adat kematian dan

pemakaman masyarakat Toraja yang biasa dikenal dengan istilah Aluk Rambu Solo’.

Secara harafiah, upacara adat kematian dan pemakaman di Tana Toraja oleh masyarakat Toraja disebut dengan aluk rambu Solo’, terdiri atas tiga kata, yakni Aluk berarti keyakinan atau aturan, rambu berarti asap atau sinar dan Solo’ („ = k, kata aksen dalam bahasa Toraja) berarti turun. Berdasarkan makna itu, maka pengertian Aluk Rambu Solo’ adalah upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai terbenam atau turun.1

Secara leksikal, Aluk Rambu Solo’ atau Aluk Rampe Matampu’, adalah upacara pemujaan dengan kurban persembahan berupa hewan yang dilakukan pada bagian barat dari rumah atau Tongkonan yang pelaksanaannya waktu matahari mulai terbenam. Istilah itu juga oleh Tangdilintin, dimaknai sebagai upacara kematian atau pemakaman manusia2. Korban persembahan berupa hewan yang dimaksud adalah pemotongan kerbau, dan yang dikenal dengan istilah Mantunu Tedong.

Dahulu pelaksanaan Mantunu Tedong dalam ritual Rambu Solo’ dilakukan oleh orang-orang Toraja berdasarkan strata sosialnya pembagian kasta. Pertama “bangsawan tinggi” Tana’ Bulaan mempunya kewajiban memotong paling sedikit 24 ekor kerbau. Kedua kasta “bangsawan menengah” atau Tana’ Bassi minimal 6 ekor. Ketiga kasta “orang

1 Mohamad Nasir Sitonda, Toraja, Warisan Dunia, (Makasar: Pustaka Refleksi, 2005), 51. 2

(11)

2 merdeka” atau Tana’ Karurang paling sedikit 2 ekor. Keempat “kasta hamba sahaya” atau

Tana’ Kua-kua cukup memotong seekor babi betina saja atau dako, sehingga tradisi ini strata

sosialnya dibedakan menurut jumlah.3

Alasan mendasar mengapa orang Toraja harus melakukan Mantunu Tedong (pemotongan kerbau) dalam upacara Rambu Solo’, karena orang Toraja begitu menghargai arwah para leluhur atau mereka yang telah lebih dahulu meninggal4. Pada poin inilah orang Toraja memiliki semacam keharusan untuk melakukan Mantunu Tedong (pemotongan kerbau) sebagai bentuk pemujaan tetapi juga sebagai bentuk penghargaan.

Selain itu, kerbau menurut falsafah orang Toraja adalah hewan yang memiliki peranan penting. Kerbau adalah patokan penilaian harga suatu jasa atau barang tertentu. Bagi orang Toraja, kerbau adalah mata uang yang tidak pernah mengalami penurunan nilai. Kerbau menjadi sangat penting dalam upacara kematian karena adanya mitos bahwa kerbau adalah “jembatan” arwah yang meninggal menuju alam baka atau Puya. Jalan penghubung antara alam fana dan alam baka hanya bisa ditempuh dengan menunggang kerbau. Kemegahan upacara kematian seseorang dinilai dari jumlah kerbau yang disembelih selama upacara pemakaman berlangsung5.

Pada masa kini tradisi upacara ini dilakukan dengan tidak lagi mengikuti aturan-aturan yang berlaku pada masa lalu. Karena semakin tinggi strata sosial seseorang tidak dilihat dari pembagian yang dilakukan di masa lalu, tetapi strata sosial diukur dari semakin banyak kerbau yang disembelih (Mantunu Tedong). Perkembangan zaman saat ini kemudian menitik beratkan arti strata sosial terutama pada kondisi ekonomi keluarga, sehingga strata sosial sudah tidak bersifat tetap dalam melakukan tradisi ini. Karena siapapun dapat berusaha dan mampu memperbaiki kondisi ekonomi keluarga maka secara otomatis dapat menyumbangkan kerbau yang banyak dalam pelaksanan Mantunu Tedong (penyembelihan).

Kerbau inilah yang menjadi masalah saat ini sebab terbukti bahkan untuk berusaha melakukan tradisi ini mereka harus berhutang (pinjam), karena keadaan sudah mendesak. Mereka biasanya akan meminjam dari kerabat dekat atau teman-teman dekat, dengan

3 T. Saroengallo, Ayah Anak Berda Warna (Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya, 2010), 109. 4 Bandingkan Sitonda, Toraja, Warisan Dunia.. 53-54. Sitonda berpendapat mengapa orang Toraja melakukan upacara Rambu Solo‟ karena ada konsep dasar terhadap upacara tersebut, yakni:ajaran azas percaya dan memuja kepada tiga dewa. Ajaran azas pemujaan leluhur.

5

(12)

3 persetujuan-persetujuan tertentu.6 Padahal orang Toraja pada umumnya juga memelihara kerbau dan babi guna menyanggupi kewajiban adat-istidat setempat. Akibat dari gengsi telah mewajibkan” mereka untuk wajib melakukan tradisi ini dengan konsekuensi berhutang jangka panjang karena hutang ini dapat dibebankan kepada keturunan berikutnya dari hutang yang berasal dari prosesi Mantunu Tedong yang telah dilakukan di masa lalu. Prosesi ini kemudian cenderung memperlihatkan motif lain selain menjalankan tradisi adat. Motif yang dimaksudkan adalah ingin menunjukkan kemampuan ekonomi keluarga besar sebagai gengsi antara satu sama lain dalam menjalankan tradisi tersebut saat ini.

Konsekuensi dari tradisi ini yang di dasarkan atas gengsi tersebut memunculkan pertanyaan penting terhadap persoalan makna (prosesi mantunu tedong) terutama bagi keluarga-keluarga yang berkewajiban melakukan prosesi tersebut saat ini. Alasannya karena Orang Toraja zaman dahulu, ketika melakukan Rambu Solo’ dan khususnya prosesi Mantunu

Tedong selalu didasarkan pada ketulusan dan pencapaian tuntutan religi yaitu penghormatan

kepada para dewa dan arwah para leluhur (orang yang terlebih dahulu meninggal). Namun akhir-akhir ini tradisi Mantunu Tedong sudah mengalami kemerosotan yang lebih kepada pemborosan karena gengsi.

Mungkin ini adalah dampak dari kenyataan bahwa upacara sudah tidak dilakukan lagi oleh penganut Aluk Todolo (penganut agama suku) tetapi penganut agama Kristen yang karena tidak menjiwai keseluruhan upacara tersebut akhirnya hanya mengambil “kulit kemegahannya” sehingga yang terlihat pada upacara-upacara pemakaman bukanlah dukacita melainkan suasana pesta pora.7 Penyebutan sebagai adat adalah melulu bentuk pembenaran. Budaya Toraja sedang mengalami kemerosotan perilaku terutama di desa Seriale di mana nilai-nilai luhur dari budaya itu tidak lagi menjiwai pelaksanaan-pelaksanaan Mantunu

Tedong melainkan gengsi dan popularitaslah yang ditonjolkan. Apalagi saat ini harga hewan

kerbau sangatlah mahal di tanah Toraja dan bisa sampai kisaran 1 Milyar Rupiah, dan harga rata-rata kebau yang dianggap layak untuk dipotong pada upacara pemakaman minimal diatas 7 jutaan.

Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini memfokuskan pada makna pelaksanaan Mantunu Tedong.

6

Terkadang, kerbau yang dipinjam akan menjadi semacam barang warisan. Jadi pihak peminjam akan mengembalikan jika pihak yang meminjamkan akan melakukan mantunu tedong pada upacara rambu solo nanti, dan jenis kerbaunya disesuaikan dengan kerbau pinjaman yang lalu. Atau keluaraga peminjam akan memberikan uang ganti terhadap kerbau pinjaman. Kedua kasus pengwembalian ini (kerbau ganti kerbau/kerbau ganti uang), disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak yakni peminjam dan yang meminjamkan.

(13)

4

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yakni:

Apa makna Mantunu Tedong bagi masyarakat Lembang Seriale? 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

Mendeskripsikan makna upacara Mantunu Tedong dalam masyarakat Lembang Seriale.

1.4 Manfaat

Secara teoritis

Sebagai salah sumbangan pemikiran dalam mengkaji penelitian budaya lokal khususnya pada konteks masyarakat Toraja tentang upacara kematian, terutama prosesi pemotongan hewan. Guna melengkapi literature-literatur yang telah membahas tentang masyarakat Toraja.

Secara praktis

 Agar dapat memahami makna, serta alasan utama masih dilakukannya tradisi ini dalam kehidupan masyarakat di Toraja.

1.5 Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif.8 Metode penelitian deskriptif menurut Muhamad Nasir adalah untuk mengambarkan atau melukiskan secara sistematis, fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode ini, meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang9 sehingga penulis akan mencoba mendiskripsikan permasalahan yang dibahas pada kehidupan sosial di Seriale secara terbuka dan umum.

8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktika (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 195.

(14)

5 Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini berusaha memahami makna10 dari tradisi Mantunu Tedong dalam masyarakat Lembang Seriale. Cara penulis mengumpulkan data adalah melalui dokumentasi, observasi, partisipasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci11 (terutama tokoh adat dan warga Lembang Seriale). Pendekatan kualitatif lebih lanjut juga, sangat tepat digunakan karena mempunyai kekuatan pada mampu memiliki beragam sumber data mengingat para peneliti kualitatif biasanya memilih mengumpulkan data dari beragam sumber seperti wawancara dengan warga Lembang Seriale, melakukan pengamatan upacara Mantunu

Tedong, dan dokumentasi berupa gambar, literature, dan video sebagai data sekunder,12

yang dapat menunjang dalam penelitian ini terutama Mantunu Tedong dan Lembang Seriale.

1.6 Garis Besar Penulisan

Penulisan ini mengikuti artikel jurnal ilmiah. Pendahuluan meliputi penjelasan latar belakang masalah secara umum, metode penelitian tujuan penulisan, dan tesis utama atau

thesis statement. Isi artikel terdiri dari:

Bagian pertama berisi latar belakang masalah Mantunu Tedong, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bagian kedua berisi tentang teori yang berkaitan dengan upacara kematian.

Pada bagian ketiga berisi tentang penyajian data lapangan berdasarkan hasil penelitian.

Selanjutnya bagian keempat berisi Analisa terhadap data lapangan sesuai dengan teori yang digunakan. Pada bagian terakhir dari tulisan ini merupakan kesimpulan secara keseluruhan dari penelitian ini.

2. Landasan Teori

Pada bagian ini terdiri dari upacara kematian secara umum, upacara kematian dalam masyarakat Toraja atau disebut Rambu Solo, yang di dalamnya membahas tentang hewan kurban kerbau sebagai hewan yang digunakan untuk melakukan prosesi Mantunu Tedong,

10 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 4.

11

Ibid., 261. 12 Ibid., 261.

(15)

6 beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya, yang dapat menjadi dasar memaknai prosesi

Mantunu Tedong dalam upacara kematian.

2.2 Upacara Kematian Secara Umum

Seperti dikutip oleh Koentjaraningrat, Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, ialah kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia mahluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain dari pada upacara inisiasi. Dengan konsep ini Hertz menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-bangsa di dunia ini ada lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisasi pada umumnya. Kelima anggapan itu adalah:13

Pertama, anggapan bahwa peralihan dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat.

Kedua anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacred).

Ketiga anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu kedudukan sosial yang lain itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang sama;

Keempat, anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahapan, yaitu tahap yang melepaskan si obyek dari hubungannya dengan masyarakatnya yang lama, tingkat yang mempersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru.

Kelima, anggapan bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si obyek merupakan seorang mahluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.

13

Seperti dikutip Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982), 71-72.

(16)

7

2.2 Ritual pengorbanan

Kata pengorbanan berasal dari bahasa latin sacrificium yang terambil dari sacer, yakni “kudus” dan facere yakni “untuk membuat” kata ini menjadi dasar secara etimologis dalam bahasa Inggris “sacrifice” yakni artinya pengorbanan.14 Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pengorbanan berasal dari kata dasar korban yang berarti: (1) sebuah pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan; (2) orang, binatang, dsb yang menjadi menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa; (3) binatang yang disembelih untuk dipersembahkan sebagai wujud mendekatkan diri pada Tuhan.15 Lebih lanjut Jeffrey Carter dalam bukunya Understanding Religious Sacrifice, menjelaskan bahwa pengorbanan merupakan elemen terpenting dari sebuah kepercayaan. Jadi, pengorbanan merupakan sebuah proses, cara, atau tindakan memberikan korban.16

Secara sosiologis ritual pengorbanan merupakan sebuah tindakan dalam masyarakat yang dipenuhi dengan simbol-simbol. Terkait dengan itu ritual pengorbanan dipahami secara simbolis untuk tujuan tertentu sehingga Victor Turner mengartikan simbol sebagai sesuatu yang memiliki banyak makna, baik itu makna sosial (ideologi, moral, normatif) maupun individual (emosi, panca indra, keinginan).17

Secara antropologis, ritual pegorbanan merupakan simbol kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Bagi individu yang memakan korban dalam ritual pengorbanan tersebut, dinyatakan sebagai bagian dari masyarakat tersebut.18 Pengorbanan yang dilakukan di Afrika merupakan sebuah korban bagi raja dan dewa-dewa. Korban yang di berikan selalu berupa hewan, hal penting dari pengorbanan tersebut adalah sebagai jalan untuk manusia dan dewa-dewa bertemu serta komunikasi satu dengan lain.19 Jan Van Baal menjelaskan pengertian pengorbanan melalui tiga kata yang berbeda namun memiliki arti yang hampir sama yakni: Offering artinya sesaji/persembahan, Sacrifice artinya pengorbanan, dan Gift yang artinya hadiah/pemberian. Pemberian merupakan kata kunci dari kegiatan yang lainnya baik itu

14 Jeffrey Carter, Understanding Religious Sacrifice…2-3. 15

Kamus besar Bahasa Indonesia, 461.

16 Carter, Understanding Religious Sacrifice… 2-3.

17 Victor Turner, “Sacrifice as Quintessential Process: Prophylaxis or Abandonment?,” dalam Jeffrey Carter Understanding . . . , 292-294.

18

Nancy Jay, Throuhout Your Generations Forever: Sacrifice, Religion, and Paternity,” dalam Jeffrey Carter Understanding . . . , 370-371.

19 Luc De Heucsch, Sacrifice in Africa: A Structualist Approach,” dalam Jeffrey Carter Understanding . . . , 304-305.

(17)

8 persembahan maupun pengorbanan. Kegiatan persembahan dan pengorbanan tidak dapat dilakukan tanpa adanya pemberian.20 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritual pengorbanan juga merupakan bentuk pemberian hadiah untuk menghormati para leluhur atau Tuhan yang disembah.

Secara teologis ritual pengorbanan merupakan hal yang penting bagi sebuah agama. Dalam setiap ritual pengorbanan, dilakukan proses pembunuhan terhadap hewan yang akan di korbankan, hewan yang terbaik dari alam itulah yang dipilih.21 Daly mengemukakan pengertian pengorbanan di kalangan orang kuno Yahudi Kristen, yakni terdapat perbedaan makna dari setiap pengorbanan yang diberikan. Menurut Daly, ritual pengorbanan yang dilakukan adalah sebuah bentuk penyerahan diri dan tanda ketaatan cinta. Pada dasarnya sebuah ritual pengorbanan selalu merupakan pemberian persembahan kepada TUHAN yang memiliki status yang lebih tinggi dari manusia.22

Terdapat lima teori untuk memahami ibadah korban dalam agama Israel. Kelima teori itu antara lain: teori pemberian (gift theory), teori persekutuan-sakramen

(sacramental-communion theory), teori penghormatan (homage theory), teori simbol (symbol-theory) dan

teori penebusan (the piacular theory). Berikut ini isi ringkas dari tiap teori itu sebagaimana dijelaskan Luis Berkhof.23

1. The gift theory melihat korban sebagai hadiah-hadiah atau pemberian kepada dewa untuk memelihara hubungan yang baik dan mendapat perlindungan.

2. The sacramental-communion theory. Latar belakang teori ini adalah pemujaan terhadap totem. Warga komunitas ibadah bertemu pada waktu untuk menyembelih binatang totem untuk dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka dengan ilahi sekaligus menerima khasiat ilahi dari totem itu.

3. The homage-theory. Korban sejatinya adalah ungkapan penghormatan dan ketergantungan. Manusia mendekatkan diri kepada TUHAN bukan karena perasaan bersalah melainkan karena merasa bergantung pada dan menunjukkan

20 Jan Van Baal, “Offering Sacrifice and Gift,” dalam Jeffrey Carter Understanding . . . ,272-291. 21 Jonathan Z Smith, “The Domestocation of Sacrifice,” dalam Jeffrey Carter Understanding . . . , 326-327.

22

Robert J. Daly, “The Power of Sacrifice in Ancient Judaism and Christianity,” dalam Jeffrey Carter Understanding. . . , 345-346.

23

(18)

9 hormat kepada TUHAN.

4. The symbol-theory. Di sini korban dipahami sebagai simbol pemulihan relasi dengan TUHAN yang terganggu. Kehadiran darah binatang korban yang merupakan simbol kehidupan adalah untuk memulihkan kembali relasi itu.

5. The piacular theory. Ritus korban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. Binatang kurban yang disembelih berperan sebagai penebusan yang menggantikan atau menutupi dosa dari pemberi korban. Pemaknaan ini mengakomodir semua praktek korban baik yang ditemukan dalam ibadah Israel maupun ibadah di berbagai agama manusia.

3. HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang gambaran umum tempat penelitian, pandangan para tokoh adat atau budayawan tentang prosesi Mantunu Tedong, dan pandangan warga masyarakat khususnya di Lembang Seriale.

3.1 Gambaran umum tempat penelitian

Lembang seriale merupakan gabungan dari beberapa desa yang terletak di kecamatan Tikala kabupaten Toraja Utara. Toraja Utara merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibukotanya adalah Rantepao. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja.24

Kabupaten Toraja Utara merupakan salah satu Kabupaten dari 24 Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang dibentuk sesuai dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang letaknya berada di sebelah utara Kabupaten dan terletak antara 2o35‟‟ LS – 3o15‟‟ LS dan 119o – 120‟‟ Bujur Timur dengan Luas wilayah 1.151,47 km2 terdiri dari Hutan Lindung 47.900 Ha, Hutan Rakyat 5.260 Ha, 12.790,93 Ha, Kebun 14,620 Ha. Permukiman 9.865 Ha dan berada pada ketinggian 704 – 1.646 Meter diatas permukaan air laut. Jumlah jiwa yang tinggal di kecamatan Tikala berjumlah 10, 40042 jiwa.25

24www.torajautarakab.go.id/profil-daerah/kependudukan.html. diakses 17 september 2015 25

(19)

10

3.2 Pandangan Para Tokoh Adat/ Budayawan Tentang Mantunu Tedong

Pandangan pertama; Tradisi Mantunu Tedong merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi ini dapat dilakukan oleh orang Toraja yang telah dewasa dan mampu memiliki penghasilan sendiri. Pengaturannya disesuaikan dengan adat istiadat yang telah ditetapkan. Selain itu, kemampuan dalam memenuhi hewan kerbau sangat disesuaikan dengan cara pembagian kerbau (dalam bentuk daging) berdasarkan kemampuan pelaksana prosesi tersebut. Alasannya, karena hal ini merujuk pada cara mempertahankan status sosialnya dalam pemahaman orang Toraja secara langsung.26

Mantunu Tedong telah lazim dilakukan pada prosesi kematian orang Toraja pada

umumnya apabila ada kerabat yang meninggal dunia (acara tersebut biasanya disebut dengan upacara Rambu Solo’).

“Sejak masih remaja saya menyaksikan upacara tersebut tetapi belum pernah menjadi pelaku langsung (mantunu tedong)” 27

tujuan upacara ini adalah bentuk penghormatan kepada kerabat yang meninggal dan sekaligus merupakan wujud kasih sayang. Secara spesifik secara positif tradisi ini kemudian berguna mempererat hubungan kekeluargaan sehingga dalam pelaksanaanya tradisi ini mengharuskan peran dari seluruh anak cucu dan kerabat dari orang yang meninggal. Sedang sisi negatifnya adalah menjadi beban keluarga (hutang). Oleh karena itu, prosesi Mantunu Tedong sebaiknya dilakukan sebijaksana mungkin tanpa membebani keluarga.

Jika dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya prosesi Mantunu Tedong masih dilakukan dengan cukup bijaksana (tidak berlebihan), namun sekarang semata-mata mengejar gengsi (prestise). Apalagi, bagi kebanyakan orang beranggapan Mantunu Tedong merupakan suatu keharusan dalam tradisi masyarakat Toraja.

“Saya kurang memahami apa arti sebenarnya hewan kerbau bagi masyarakat toraja”28

tetapi secara umum terdapat dua pemahaman inti yakni yang pertama sebagai tolok ukur status sosial seseorang. Kedua upacara ini merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang dan telah dilakukan bahkan diikuti dari orang tua dahulu tanpa dengan paksaan dalam melakukan tradisi ini. Mantunu Tedong itu dilakukan pada saat upacara Rambu Solo’,

26 Budayawan Toraja (T1) setempat. Agustus, 2015. 27 Budayawan Toraja (T1) setempat. Agustus, 2015. 28

(20)

11 (upacara kematian) yang mana hewan kerbau dipotong dan disembelih berdasarkan upacara adat kematian tersebut dan prosesi Mantunu Tedong harus mengikuti “aluk”29

Tujuannya sebagai ungkapan terima kasih kepada orang tua atau keluarga, dalam membesarkan, merawat kita dari kecil hingga dewasa. Berdasarkan arti dan tujuan tersebut maka dibutuhkan peran dari semua keluarga, keluarga dekat, kerabat dan masyarakat dalam lingkungan itu beserta pemerintah setempat berperan penting dalam tradisi ini. “Saya mengikuti upacara ini sejak memiliki pendapatan atau penghasilan sendiri”30

Adapun Sisi Positif, dari dilakukannya tradisi ini adalah supaya di dalam lingkungan tidak diabaikan, dikucilkan tapi bisa berperan dalam masyarakat sesuai dengan fungsinya dan sesuai dengan posisi keluarga dalam masyarakat adat Toraja. Sedangkan sisi negatifnya adalah ketika keluarga tersebut memaksakan diri padahal kemampuan ekonomi tidak memadai. Alasannya karena dalam hal ini setiap pemotongan kerbau tidak ada paksaan, harusnya dengan sukarela, dan dengan senang hati. Oleh karena itu, Mantunu Tedong sebaiknya dilakukan seperti yang dilakukan nenek moyang orang Toraja dahulu. Namun karena perkembangan zaman, mulai meningkat, (dirapa”i) sapu randanan 24 kerbau (sapu

randanan) karena sekarang ekonomi masyrakat Toraja semakin meningkat, maju (mapan)

pemotongan kerbau sudah bisa melebihi dari 24 kerbau. Selain itu pokok penting yang perlu diingat bahwa tradisi ini sebenarnya dilakukan tanpa paksaan.31

Perbedaan antara dahulu dan sekarang dalam melakukan prosesi Mantunu Tedong adalah kalau dahulu sapu randanan hanya sebatas 24 kerbau, sekarang sudah melebihi dari 24 kerbau, 50 sampai ratusan kerbau. Akan tetapi masih Dilakukan sesuai dengan adat nenek moyang orang Toraja. Namun perbedaan dan perkembangannya di zaman sekarang misalnya perubahan dalam hal sapu randanan (jumlah kerbau yang disembelih) pada zaman dahulu hanya 24. Berbeda dengan saat ini yang mana telah meningkat sampai dapat mencapai 50 kerbau bahkan ratusan kerbau.32

Arti dari hewan kerbau mengarah pada beberapa tingkatan atau posisi orang yang meninggal di dalam masyarakat Toraja setempat. Misalnya dalam suatu prosesi Rambu Solo’ ketika hanya memotong satu kerbau seperti yang terjadi pada konteks pedesaan maka berarti memiliki strata yang lebih rendah. Sedangkan jika prosesi yang dilakukan di kota, dan tidak

29 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 30 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 31 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 32

(21)

12 menentukan berapa kerbau yang harus di sembelih hal ini cenderung ingin memperlihatkan strata sosial yang tinggi dalam masyarakat. Jadi kerbau dapat menentukan posisi almarhum dalam masyarakat. Dengan melihat berapa banyak jumlah kerbau yang telah disembelih.33

Selain itu secara khusus harta orang Toraja selalu dinilai dengan kerbau. Karena menurut orang Toraja pada zaman dahulu, kerbau menjadi ukuran terutama nilai satuan dalam menilai harta kekayaan seseorang beserta keluarganya di Toraja. Atau hal ini sering disebut sebagai rapasan sundun, sapu randanan (hewan berkaki 4 harus ada, rusa, kuda, kerbau, babi 24 kerbau) jika 24 harus ada bonga (jenis kerbau). Sebagai cara menilai kekayaan seseorang di tanah Toraja dilihat dari adat istiadatnya. Lebih lanjut, Prosesi

Mantunu Tedong dilakukang sejak nenek moyang orang Toraja, turun temurun sampai pada

generasi sekarang ini. Pada perkembangannya saat ini yang paling berperan penting dalam pelaksanaan atau terwujudnya prosesi Mantunu Tedong adalah kontribusi dari para perantau yang telah sukses sehingga prosesi ini terus dilakukan tanpa kehilangan maknanya dan menyesuaikan dengan perkembangannya.34

Makna utama dari tradisi ini dilihat dari pemahamannya adalah sebagai bentuk penghormatan, terimah kasih, kepada orang tua. Selain itu arti tradisi ini khususnya untuk kepercayaan suku orang Toraja, Aluk Todolo adalah sebagai jembatan untuk biasa ke puya (surga bagi kepercayaan Aluk Todolo).35 Oleh karena itu, tradisi ini perlu dilestarikan oleh seluruh warga masyarakat khususnya di Toraja utara. Sebab merupakan warisan leluhur sehingga memenuhi kepuasan batin bagi yang melaksanakan dan yang mengikuti. Akan tetapi dalam pelaksanaannya oleh pihak keluarga yang berduka perlu memperhatikan kondisi ekonomi mereka, dan perlu dilakukan dengan iklas senang hati dan tanpa paksaan dari pihak siapapun. Karena hal ini yang paling utama dalam memahami makna ungkapan syukur dan terima kasih yang mana tujuannya agar dapat mempererat hubungan kekerabatan dan penerimaan dari masyarakat.36

“Peran saya dalam tradisi ini adalah Sebagai orang yang memberikan perijinan, dalam setiap acara yang dilakukan karena hal ini menjadi tugas dan peran sebagai seorang kepala lembang yang berada di bawah pimpinan kecamatan Tikala”37 kesulitan utama dalam

33 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 34

Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 35 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 36 Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015.

(22)

13 melakukan Mantunu Tedong ketika dalam suatu upacara Rambu Solo’ telah di tentukan

rapasan (telah menentukan berapa kerbau yang harus di potong) namun setelah acara Rambu Solo’ akan dimulai jumlah kerbau yang telah ditentukan belum mencukupi. Misalnya juga

dalam hal sapu randanan (memotong kerbau di atas 24 ekor) bukan hanya jumlah kerbau yang harus diatas 24 ekor namun semua jenis kerbau yang ada dalam aturan ini harus ada, walaupun jumlah kerbau 100 ekor namun tidak memenuhi syarat jenis kerbau yang diperlukan tetap tidak dianggap sebagai sapu randanan.38

Pada saat mengikuti prosesi saya bertugas untuk membagikan kerbau yang telah disembelih”39, jadi keluarga yang berduka menyerahkan sepenuhnya seluruh kerbau yang telah disembelih kepada tokoh adat untuk mengatur kepada siapa saja daging kerbau yang telah disembelih dibagikan. Manfaat dari prosesi ini adalah untuk mempererat kekerabatan diantara keluarga besar. Sedangkan untuk orang banyak adalah mendapat bagian daging kerbau yang disembelih untuk dimakan. Daging ini juga dibagi secara khusus karena ada terdapat pendelegasian tugas. Artinya bahwa jika keluarga yang meninggal memiliki kerabat di desa yang berbeda maka hak untuk membagikan hewan sembelihan tersebut di berikan tugas kepada tokoh adat desa tersebut untuk dibagikan kepada orang-orang yang menurutnya tepat sesuai dengan kewenangannya.40

3.3 Pandangan Warga Masyarakat Lembang Seriale

Tradisi ini berasal dari nenek moyang orang Toraja. Pada awalnya tidak semua orang dapat memotong kerbau sekalipun orang tua karena masalah strata sosial dan terbatasnya biaya yang ada, namun karena perkembangan zaman sekarang ini orang Toraja seperti orang-orang pada umumnya bisa bekerja dan menghasilkan uang, selain itu juga sudah banyak yang keluar untuk mencari pekerjaan (merantau) dan dapat menghasilkan pendapatan. Mantunu Tedong ialah tradisi yang lazim dilakukan pada prosesi kematian orang Toraja pada umumnya apabila ada kerabat yang meninggal dunia (acara tersebut lasim disebut Rambu Solo’).41

38 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 39 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 40 Wawancara dengan Budayawan Toraja (T2) setempat. Agustus, 2015. 41

(23)

14 Kesan dari dilakukannya tradisi ini terbagi dalam dua bagian yakni pertama secara positif sebagai sarana mempererat hubungan kekerabatan dalam keluarga besar oleh karena itu jika prosesi ini dilakukan hal ini berfungsi untuk mendapatkan kepuasan batin sehingga setiap orang dapat merasa senangan, bahagia ketika prosesi acara telah selesai dengan baik, prosesi ini juga menjadi tempat dimana keluarga besar bisa bertemu satu sama lain.42

Kedua secara negatif meninggalkan beban hutang dan cenderung bersifat memaksakan keluarga dalam melakukan tradisi ini karena gengsi masalah status sosial dimasyarakat. Oleh karena itu, prosesi Mantunu Tedong sebaiknya dilakukan sebijaksana mungkin tanpa membebani keluarga. Karena pada waktu-waktu sebelumnya prosesi Mantunu

Tedong masih dilakukan dengan cukup bijaksana (tidak berlebihan), namun sekarang

semata-mata mengejar gengsi (prestise). Apalgi kebanyakan orang beranggapan Mantunu Tedong merupakan suatu keharusan dalam tradisi masyarakat Toraja untuk memperkuat gengsi tersebut.43

Kerbau kurang dipahami artinya dilihat dari adat istiadatnya namun berdasarkan gaya hidup saat ini maka hewan kerbau sudah menjadi tolok ukur yang menggambarkan status sosial seseorang dan keluarga besarnya dimasyarakat Toraja. Secara langsung tradisi ini kemudian memiliki makna yang baik bagi hubungan kekerabatan dan menjadi jati diri warga masyarakat di Toraja. Namun jika dilaksanakan dengan paksaan dan gengsi akan cenderung meninggalkan hutang, dan dapat berakibat buruk bagi keluarga yang melaksanakan prosesi ini tanpa melihat seberapa besar penghasilannya guna menyanggupi prosesi adat ini. 44

Lebih lanjut nilai makna dari Tedong menurut falsafah kehidupan masyarakat Toraja, adalah kerbau (Tedong) ternak yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat mengingat fungsi dan perannya. Masyarakat Toraja menyebutnya pokok harta benda (garonto’ eanan). Hal ini sangat nyata ketika berdiri di depan rumah adat (tongkonan), maka gambar kepala kerbau (kabongo’) dan tanduk-tanduk kerbau langsung menantang. Kepala kerbau ini menjadi lambang kehidupan kerja (kuat untuk membajak sawah dan berantam) dan kemakmuran orang Toraja (punya banyak kerbau berarti kaya), di samping sebagai kurban utama baik pada upacara ritual Rambu Tuka’ maupun pada upacara ritual

42 Wawancara dengan Warga masyarakat (W. M 2) Agustus, 2015. 43 Wawancara dengan Warga masyarakat (W. M 2) Agustus, 2015. 44

(24)

15

Rambu solo’. Kedua jenis upacara ini sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan orang

Toraja45

Nilai atau makna Tedong secara umum dalam masyarakat Toraja, mempunyai tiga nilai makna utama, yakni:46

1. Nilai filosofi

Kerbau sebagai kurban persembahan pada Upacara Rambu Tuka’ dan sebagai lambang kehidupan kerja masyarakat di seantero Tana Toraja.

2. Nilai material

Kerbau sebagai kurban persembahan pada Upacara Rambu Solo’, termasuk alat satuan perhitungan nilai Tana’ dan pembayaran Kapa’ Rampasan Kapa’.

3. Nilai mana’

Kerbau merupakan satuan penentuan nilai dalam pembagian warisan (mana’) dan selalu dihubungkan dengan jumlah dan nilai kerbau yang dikurbankan seseorang dalam upacara pemakaman (pangangkaran = pa’rinding) seseorang yang sanggup memotong

tedong balean atau tedong bonga saleko (pangangkaran = pangrinding) yang bernilai tinggi,

dia akan mendapatkan warisan yang banyak.

Indikator upacara besar, khususnya untuk menghadapi upacara Rambu Solo’ pada upacara pemakaman tertentu, jumlah kerbau yang dipotong turut menentukan kualitas dan besarnya upacara, selain tingkat upacara dan ukuran prestise seseorang dalam masyarakat. Jadi kerbau pada upacara pemakaman berfungsi sebagai: 1) Penentu tingkat upacara. 2) Penilaian status sosial sang mendiang dan turunannya. 3). Dasar perhitungan dan penilaian pembagian warisan sang mendiang diantara pewaris-pewarisnya.47

4. ANALISA

Tradisi Mantunu Tedong merupakan warisan budaya yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Toraja. Mantunu Tedong merupakan tradisi memotong kerbau dalam upacara kematian. Orang Toraja juga biasa menyebutnya dengan Rambu Solo’. Hal ini telah berlangsung sejak lama dan sudah dikenal dari nenek moyang orang Toraja.

45

Bararuallo, Kebudayaan Toraja ,…113. 46

Bararuallo, Kebudayaan Toraja ,…116-117. 47 Bararuallo, Kebudayaan Toraja…116-118.

(25)

16 Menurut Jeffrey Carter banyak hal mengenai pengorbanan yang dilakukan sebagai elemen terpenting dari sebuah kepercayaan. Sebuah pemberian dimaksudkan untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan. Karena orang, binatang, dan sebagainya dapat menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa sehingga binatang yang disembelih untuk dipersembahkan dianggap sebagai wujud mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan demikian pengorbanan merupakan sebuah proses, cara, atau tindakan memberikan korban untuk menghindari bahaya dan mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama.

Seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Toraja dalam upacara Rambu Solo’ terdapat tradisi Mantunu Tedong, yang mana terdapat tindakan memberikan korban atau

Tedong (kerbau), dari keluarga untuk orang yang telah meninggal. Sebagai wujud kasih

sayang, ungkapan terima kasih, serta penghormatan kepada orang yang telah meninggal dan sekaligus bentuk mendekatkan diri antara satu sama lain di dalam keluarga besar atau disingkat bentuk keakraban.

Alasan mendasar mengapa orang Toraja harus melakukan Mantunu Tedong (pemotongan kerbau) dalam upacara Rambu Solo’, karena orang Toraja begitu menghargai arwah para leluhur atau mereka yang telah lebih dahulu meninggal.

Rambu Solo’ juga secara khusus oleh Tangdilintin, dimaknai sebagai upacara

kematian atau pemakaman manusia. Korban persembahan berupa hewan yang dimaksud adalah pemotongan kerbau, dan yang dikenal dengan istilah Mantunu Tedong. kerbau merupakan simbol budaya yang menunjukkan identitas masyarakat Toraja termasuk Lembang Seriale karena orang-orang Toraja memahami bahwa kekayaan diukur dari seberapa banyak kerbau yang disembelih dalam upacara kematian. Karena sebenarnya kerbau adalah patokan penilaian harga sesuatu jasa atau barang tertentu yang tidak hanya dikonsumsi. Oleh karena itu, secara sosiologis hal ini dapat dipandang sebagai ritual pengorbanan yang menunjukkan tindakan dalam masyarakat yang dipenuhi dengan simbol-simbol. Lebih lanjut Victor Turner mengartikan simbol sebagai sesuatu yang memiliki banyak makna, baik itu makna sosial (ideologi, moral, normatif) maupun individual (emosi, panca indra, keinginan) sehingga kerbau memiliki peran penting dalam memberikan makna simbolis sebagai tanda relasi yang terjalin dengan baik antara yang meninggal dengan orang-orang yang masih hidup.

Terdapat sisi positif dan negatif dilakukannya tradisi Mantunu Tedong. Secara positif tradisi ini sebagai sarana mempererat hubungan kekeluargaan baik dalam keluarga yang melakukan Mantunu Tedong maupun masyarakat sekitar yang turut hadir sebagai solidaritas sosial terhadap orang yang meninggal. Sedangkan secara negatif tradisi yang dilakukan

(26)

17 seperti yang ditemukan cenderung memperlihatkan prestise (gengsi)48 antara keluarga yang satu dengan yang lainnya ketika melakukan tradisi ini. Karena hal ini terkait langsung dengan status sosial keluarga dimata masyarakat Toraja.

Dilihat dari dua hal ini maka secara langsung dapat dipahami bahwa Mantunu Tedong berguna dalam relasi sosial diantara keluarga besar dan di lingkungan masyarakat secara luas. Namun juga merugikan jika cenderung dilakukan dengan mementingkan kedudukan dalam masyarakat49 atau prestise (gengsi) sebab yang terjadi setelah dilakukannya upacara ini terdapat beban hutang yang harus dibayar oleh pihak keluarga, yang diturunkan juga secara turun temurun.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya ritual pengorbanan Mantunu Tedong merupakan bentuk ekspresi penghargaan dan kasih sayang terhadap leluhur atau orang tua yang telah meninggal karena terdapat nilai, dan makna. Karena menurut Herzt nilai dan makna berfungsi dalam mempererat suatu hubungan atau relasi dalam masyarakat.50 Selain itu ritual pengorbanan semacam ini jika dilakukan dengan hanya mementingkan prestise (gengsi) maka tujuan dilakukannya prosesi Mantunu Tedong tidak sampai pada nilai-nilai yang menunjukkan kearifan. Karena yang terjadi adalah persaingan yang berakibat pada kerugian bagi mereka yang hanya mementingkan jumlah kerbau yang disembelih tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga.

Secara teologis dapat dipahami bahwa hewan kerbau dapat dipandang sebagai korban syukur kepada Tuhan, karena dalam prosesnya sebelum memasuki prosesi Mantunu Tedong terlebih dahulu dilakukan peribadahan. Hal ini dapat dipandang sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Bandingkan dalam gambaran cerita-cerita alkitab yang terdapat dalam perjanjian lama peribadahan dan korban persembahan Imamat 1-7 sedangkan di perjanjian baru dapat dilihat dalam Ibrani 11: 4. Karena kerbau yang digunakan sebagai hewan korban dipahami sebagai sebuah akta penebusan.51

Selain itu, tradisi Mantunu Tedong secara langsung berfungsi sebagai sarana untuk

48 Wawancara dengan budayawan dan masyarakat Lembang Seriale. Agustus 2015. 49 Bararuallo, Kebudayaan Toraja …. 114-117.

50 Herzt dalam Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982), 71-72.

51 Bandingkan Luis Berkhof, Systematic Theology, (London: The Banner Of Truth Trust, 1941) 362-363.

(27)

18 mempersatukan kembali keluarga yang terpisah bahkan warga masyarakat melalui penyembelihan kerbau yang dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka dengan orang yang meninggal.52 Berdasarkan hal tersebut hal ini secara langsung memberikan pengajaran tentang berdamai dengan sesama dalam lingkup keluarga maupun masyarakat dalam relasi yang lebih luas.

Selain itu berdasarkan teori-teori tentang pengorbanan baik Carter, Viktor Turner, Daly dan sebagainya cenderung memahami bahwa ritual pengorbanan yang dilakukan hanya lebih kepada bentuk penghormatan terhadap para dewa-dewa, Tuhan, para Leluhur ataupun dianggap sebagai pemberian hadiah, dan para ahli ini tidak melihat pada dampak dari dilakukannya upacara ini dan juga mempertimbangkan motifnya dari para pelaksana tradisi atau ritual yang dilakukan.

Padahal prosesi mantunu tedong ini telah memberikan pemahaman yang menarik bahwa selain upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang telah meninggal, seperti yang diungkapkan juga oleh para ahli-ahli tersebut, namun disisi yang lain prosesi adat ini juga memberikan gambaran tentang adanya persaingan atau prestise sebagai motifnya sehingga menjadi dasar yang kuat selain bentuk-bentuk penghormatan yang dilakukan guna menunjang tetap dilakukannya tradisi ini. Khususnya dalam masyarakat Toraja dengan ritual mantunu tedong. Oleh karena itu ritual-ritual dalam konteks kebudayaan tertentu dengan mempertimbangkan motifnya maka dapat dikatakan bahwa seharusnya dapat dilihat dari dua sisi ini sehingga dapat memahami suatu ritual yang masih dilestarikan pada suatu masyarakat secara utuh dengan mengikuti perkembangannya hingga saat ini.

5. PENUTUP

Pada bagian ini berisi tentang kesimpulan dan Saran.

5.1 Kesimpulan

Kebudayaan yang terus dilestarikan menjadi kekayaan dan ciri khas dari setiap daerah termasuk di Toraja. Mantunu tedong merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan dari para leluhur dan dilanjutkan oleh warga masyarakat Lembang Seriale. Makna dari prosesi tradisi Mantunu Tedong adalah sebagai ungkapan kasih sayang, penghormatan, ungkapan terima kasih kepada orang yang telah meninggal. Dalam pelaksanaannya berdasarkan

52

(28)

19 perkembangan saat ini ternyata terdapat prestise karena menyangkut status sosial yang ingin ditonjolkan sehingga dapat berakibat buruk bagi keluarga yang memaksakan kehendak untuk mengusahakan kerbau diluar kemampuan ekonomi keluarga besar. Karena dapat menghasilkan hutang yang terwariskan turun-temurun.

5.2 Saran

1. Bagi para Tokoh adat / Budayawan Setempat

 Agar dapat selalu mengingatkan, mengajarrkan dan menjaga melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi Mantunu Tedong.

2. Bagi warga masyarakat Lembang Seriale

 Agar tetap melestarikan budaya peninggalan leluhur berdasarkan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya.

Agar dalam melaksanakan tradisi Mantunu Tedong perlu mempertimbangkan secara baik kemampuan ekonomi keluarga agar tidak berakibat pada hutang yang terbawa hingga dapat turun-temurun.

3. Bagi gereja

 Agar dapat belajar dan menggali lebih dalam makna teologis yang terkandung di dalam tradisi ini guna membangun suatu makna teologis yang relevan bagi warga gereja yang ada di Toraja khususnya Lembang Seriale.

(29)

20

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Adams, J. D. Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat Di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Bararuallo, F. Kebudayaan Toraja. Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2010. Bell, C. Ritual Theory, Ritual Practice, New York: Oxford University Press, 1992. Berkhof, L. Systematic Theology, London: The Banner Of Truth Trust, 1941.

Creswell, W. J. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Carter, J. Understanding Religious Sacrifice, London: Continuum, 2003. Dhavamony, M. Fenomenologi Agama.Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Upacara tradisional (upacara kematian) Daerah

Sulawesi Selatan. Jakarta, 1984.

Geertz, C. Kebudayaan Dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Ghazali, M. A. Antropologi Agama Upaya Memahami Keberagaman Kepercayaan,

Keyakinan, Dan Agama. Bandung: Alfabeta, (2011).

Hadiwijono, H. Religi Suku Murba di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Hendropuspito, D. Sosiologi Sistematika, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Kobong, T. Injil dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982. PEMDA Toraja. Toraya Ma’kombongan, Yogyakarta: Penerbit Sopai, 2013.

Sarira, J. A. Aluk Rambu solo’ dan Persepsi orang Kristen terhadap Rambu solo’. Toraja: PUSBANG Gereja Toraja, 1996.

Saroengallo, T. Ayah anak beda warna!. Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya, 2010.

Suharsimi, A. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktika Jakarta: Bina Aksara, 1987. Nasir, M. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1999.

Van Baal, J. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jakarta: Gramedia, 1988.

WEBSITE

(30)

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan komunikasi matematis tinggi mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik daripada siswa dengan

Pembagian tugas dan jadwal kegiatan yang akan dilakukan mengenai program kerja kelompok.. Poster media edukasi

Seperti yang telah diketahui sebuah kenderaan bersistemkan LPG menggunakan LPG sebagai bahan bakar/api menggantikan petrol atau diesel dengan melakukan pemasangan

Implementasi, melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, mengajarkan teknik nonfarmakologi (kompres es), memonitoring TTV, memberikan analgetik sesuai resep

Pada perlakuan T0 pH kefir lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan T3, hal ini karena selama tiga hari penyimpanan bakteri asam laktat mulai melewati fase adaptasi dan

Sedangkan nilai probabilitas pada pengujian pengaruh PDRB terhadap APBD menunjuk- kan nilai probabilitas sebesar 0,00032, yang berarti pada tingkat kepercayaan 99 persen,

Pada babak Elimination Selection Tahap II akan diberikan tantangan berupa cepat tepat, peserta dari masing-masing kategori SMA/MA (9 Peserta) dan SMK (9 Peserta) dibagi menjadi

This presentation does not constitute or form part of any offer for sale or invitation, or solicitation of an offer, to subscribe for or purchase any securities and neither