31
Bab IV
Hasil dan Pembahasan
Beberapa hasil pengolahan data simulasi model kopel akan ditampilkan dalam Bab IV ini, tetapi sebagian lainnya dimasukkan dalam lampiran A.
IV.1 Distribusi Curah Hujan Berdasarkan Variabilitas SST
Hasil plot time series curah hujan bulanan untuk wilayah Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar IV.1, sedangkan untuk kedua wilayah pembanding (Maluku bagian selatan dan Laut Jawa) dapat dilihat pada Lampiran A.1 dan A.2. Sementara plot time series SST bulanan pada ketiga wilayah dapat dilihat pada Lampiran A.3, A.4 dan A.5. Garis putus-putus berwarna hijau menunjukkan hasil skenario coupled on, sedangkan garis tipis berwarna ungu menunjukkan skenario coupled off. Pada Gambar IV.1 ditambahkan juga plot data pengamatan yang digunakan sebagai verifikasi, yaitu data rain gauge bulanan dari beberapa stasiun di sekitar wilayah penelitian (garis tebal penuh berwarna biru). Plot hasil running REMO berdiri sendiri (stand alone) menggunakan forcing batas ERA15 dari penelitian terdahulu (garis titik-titik berwarna merah) juga ditampilkan sebagai pembanding.
Dari plot time series curah hujan bulanan dan SST bulanan wilayah Maluku Utara terlihat bahwa, secara umum hasil simulasi model dengan skenario coupled on dan dengan skenario coupled off menghasilkan fasa yang sama, tetapi amplitudonya bervariasi. Sementara pada kedua wilayah pembanding, terlihat bahwa plot time series curah hujan bulanan dan SST bulanan untuk kedua skenario cenderung sefasa dan memiliki amplitudo yang hampir sama. Hal ini sesuai dengan perlakuan yang diberikan dalam simulasi model kopel dan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada skenario coupled on, di seluruh domain model atmosfer terjadi interaksi dari laut ke atmosfer, karena SST yang digunakan dalam model atmosfer diperoleh dari hasil perhitungan model laut, sehingga pada setiap langkah waktu simulasi, SST yang digunakan dalam REMO terus diperbarui setiap 6 jam. Sementara pada
32
Gambar IV.1 Plot time series curah hujan bulanan wilayah Maluku Utara, (a) tahun 1979 hingga tahun 1986 dan (b) tahun 1987 hingga tahun 1993.
skenario coupled off, di wilayah Maluku Utara tidak terjadi interaksi dari laut ke atmosfer (suplai dari laut diabaikan), karena SST yang digunakan dalam model atmosfer diambil dari data reanalisis, yang merupakan rata-rata interpolasi data mingguan. Sedangkan pada domain model atmosfer yang lain tetap terjadi interaksi dari laut ke atmosfer, karena SST yang digunakan dalam model atmosfer tetap diperoleh dari hasil perhitungan model laut. Dengan demikian dapat
a
33
disimpulkan bahwa untuk wilayah Maluku Utara, variabilitas SST lokal yang diterapkan pada simulasi model kopel menghasilkan distribusi curah hujan bulanan yang berbeda. Pada skenario coupled on (yang menggunakan SST dari hasil perhitungan model laut), distribusi curah hujan bulanan cenderung lebih besar/lebih tinggi daripada hasil simulasi skenario coupled off (yang menggunakan SST yang berasal dari data ERA15). Range distribusi nilai SST skenario coupled on lebih besar daripada coupled off (lihat Lampiran A.6). Sementara untuk kedua wilayah pembanding, variabilitas SST lokal yang diterapkan tersebut tidak menghasilkan distribusi curah hujan bulanan yang berbeda (distribusi curah hujan bulanan cenderung sama).
Kemudian curah hujan bulanan tersebut diverifikasi menggunakan data rain gauge dari beberapa stasiun di sekitar wilayah penelitian, menggunakan metoda statistik korelasi. Hasil perhitungan metoda statistik korelasi (Tabel IV.I) menunjukkan bahwa, korelasi antara hasil skenario coupled on dengan data pengamatan (0,668) paling besar dibanding korelasi antara hasil skenario coupled off dengan data pengamatan (0,633), ataupun antara REMO-ERA dengan data pengamatan (0,569).
Tabel IV.1 Korelasi antara skenario coupled on, coupled off dan data pengamatan
Korelasi antara Koefisien korelasi, R Coupled on vs data pengamatan 0,668
Coupled off vs data pengamatan 0,633 REMO-ERA vs data pengamatan 0,569
Dari hasil curah hujan rata-rata antartahunan (Gambar IV.2) diperlihatkan bahwa, di wilayah Maluku Utara, pola curah hujan rata-rata antartahunan skenario coupled on lebih menyerupai pola curah hujan rata-rata antartahunan data pengamatan yang bertipe anti monsunal, dibanding pola curah hujan rata-rata antartahunan skenario coupled off. Sementara pada wilayah Maluku bagian selatan dan Laut Jawa, hasil pengolahan data curah hujan rata-rata antartahunan kedua skenario menunjukkan pola yang cenderung sama dengan referensi, yaitu
34
bertipe monsunal (Gambar IV.3). Dari hasil korelasi dan grafik curah hujan rata-rata antartahunan dapat disimpulkan bahwa hasil simulasi dengan skenario coupled on lebih baik daripada hasil simulasi dengan skenario coupled off ataupun REMO-ERA.
Gambar IV.2 Curah hujan rata-rata antartahunan (1979-1993) wilayah Maluku Utara.
Gambar IV.3 Curah hujan rata-rata antartahunan (1979-1993) wilayah Maluku bagian selatan dan Laut Jawa.
35
Pada Gambar IV.2 terlihat bahwa secara umum curah hujan rata-rata antartahunan skenario coupled on lebih besar daripada skenario coupled off, kecuali bulan Pebruari, Maret dan April, curah hujan rata-rata antartahunan skenario coupled on-nya lebih kecil daripada skenario coupled off. Jika dilihat per perioda, maka dapat dikatakan bahwa pada perioda MAM, variabilitas SST lokal yang diterapkan dalam penelitian ini, cenderung menghasilkan distribusi curah hujan yang lebih fluktuatif pada kedua skenario, dibanding pada perioda lainnya.
IV.2 Hubungan antara Tipe Hujan Stratiform dan Tipe Hujan Konvektif dengan Variabilitas SST Lokal
Scatter diagram antartahunan antara nilai normalisasi perbedaan tipe hujan stratiform dan tipe hujan konvektif rata-rata bulanan kedua skenario terhadap variabilitas SST lokal rata-rata bulanan dapat dilihat pada Gambar IV.4. Pada masing-masing scatter diagram tersebut terdapat nilai koefisien korelasi dan slop yang kemudian diplot dalam bentuk grafik (Gambar IV.5). Sementara nilai minimum, maksimum, median dan rata-rata bulanan SST dapat dilihat pada Gambar IV.6, sedangkan plot SST rata-rata antartahunan wilayah Maluku Utara dapat dilihat pada Lampiran A.6.
Scatter diagram pada Gambar IV.4 menggambarkan hubungan antara variabilitas SST lokal yang diterapkan dengan perbedaan karakteristik tipe hujan. Terlihat bahwa dengan mengganti SST, misalnya sebesar 0,5°C, akan menghasilkan perbedaan karakteristik tipe hujan yang berbeda setiap bulannya. Hal ini mengindikasikan bahwa variabilitas SST lokal yang diterapkan mempengaruhi perbedaan karakteristik tipe hujan. Ini berarti bahwa variabilitas SST lokal yang lebih dominan. Secara umum, perbedaan karakteristik tipe hujan tersebut lebih berpengaruh terhadap perbedaan tipe hujan konvektif dibanding perbedaan tipe hujan stratiform. Tetapi pada bulan Desember, variabilitas SST lokal menghasilkan pengaruh yang lebih besar terhadap perbedaan tipe hujan stratiform dibanding perbedaan tipe hujan konvektif.
36
Gambar IV.4 Scatter diagram antartahunan antara perbedaan tipe hujan stratiform dan tipe hujan konvektif yang dinormalisasi terhadap SST
37
38
Perbedaan karakteristik tipe hujan terbesar terjadi pada bulan April, yaitu dengan nilai slop sebesar 2,055 untuk perbedaan tipe hujan konvektif dan 1,3982 untuk perbedaan tipe hujan stratiform. Pada bulan April ini, variabilitas SST lokalnya kecil, tetapi ternyata dapat menghasilkan perbedaan karakteristik tipe hujan terbesar. Sebaliknya pada bulan Juli, Agustus dan September, variabilitas SST lokalnya jauh lebih besar, tetapi ternyata perbedaan karakteristik tipe hujan yang dihasilkan tidak signifikan. Perbedaan tipe hujan konvektif terkecil terjadi pada bulan September dengan nilai slop sebesar 0,4247, sementara perbedaan tipe hujan stratiform terkecil terjadi pada bulan Juli, dengan nilai slop sebesar 0,15.
Gambar IV.5 (a) Slop antartahunan dan (b) koefisien korelasi antartahunan antara tipe hujan stratiform dan tipe hujan konvektif/lokal.
a
39
Gambar IV.6 Minimum, maksimum, median dan rata-rata curah hujan antartahunan skenario coupled on dan coupled off wilayah Maluku Utara.
Jika dilihat per perioda, terlihat bahwa sekalipun variabilitas SST lokal pada perioda MAM kecil, tetapi dapat menghasilkan pengaruh yang lebih besar terhadap perbedaan tipe hujan konvektif dan stratiform, sementara variabilitas SST lokal yang lebih besar pada perioda JJA dan SON, tidak menghasilkan pengaruh yang besar pula terhadap perbedaan tipe hujan konvektif dan stratiform. Dengan perkataan lain, perbedaan tipe hujan konvektif dan tipe hujan stratiform tersebut cenderung lebih bervariasi atau lebih fluktuatif pada perioda MAM atau saat musim semi di belahan bumi utara, dibanding perioda JJA atau saat musim panas di belahan bumi utara ataupun perioda lainnya. Hasil yang diperoleh pada
a
40
penilitian ini sesuai dengan pola atau sifat hujan Indonesia yang lebih fluktuatif pada saat MAM dan lebih stabil pada saat JJA (Aldrian dkk, 2004, 2007).
Tipe hujan konvektif ini mengindikasikan pengaruh iklim lokal, sedangkan tipe hujan stratiform mengindikasikan efek skala yang lebih luas seperti sirkulasi angin regional. Karena variabilitas SST lokal menghasilkan pengaruh yang besar terhadap perbedaan tipe hujan konvektif, mak dapat dikatakan bahwa pola curah hujan lokal di wilayah Maluku Utara lebih dipengaruhi oleh variabilitas SST lokal dibanding faktor sirkulasi angin regional. Pernyataan ini diperkuat juga dengan nilai koefisien korelasi antartahunan tipe hujan konvektif yang umumnya lebih besar daripada tipe hujan stratiform. Tetapi kesimpulan dari sub bab ini belumlah menjawab mengapa pola curah hujan lokal di wilayah Maluku Utara cenderung maksimum pada pertengahan tahun.
IV.3 Analisis Mean Difference Significance
Perubahan interaksi laut-atmosfer yang timbul akibat diterapkannya metoda masking ini dapat dilihat juga dari hasil meandiffsignif. Hasil meandiffsignif curah hujan antartahunan dan tipe hujan konvektif skenario coupled off yang di-overlay terhadap hasil skenario coupled on (coupled off Æ coupled on) bulan Maret dan Mei, dengan beda nyata 95%, dapat dilihat pada Gambar IV.7 dan Gambar IV.8. Sementara hasil meandiffsignif curah hujan antartahunan (tipe hujan konvektif antartahunan) bulan lainnya dapat dilihat pada Lampiran A.7 (Lampiran A.8). Sedangkan hasil meandiffsignif tipe hujan stratiform antartahunan diperoleh bahwa kedua skenario menunjukkan hasil distribusi yang tidak berbeda nyata.
Terlihat bahwa distribusi beda nyata curah hujan antartahunan lebih dipengaruhi oleh tipe hujan konvektif antartahunan dibanding tipe hujan stratiform, karena tipe hujan konvektif memiliki pola distribusi beda nyata yang hampir sama dengan curah hujan antartahunan. Beda nyata ini kemudian dirata-ratakan secara wilayah (area average) khusus untuk Maluku Utara saja, sehingga diperoleh gambaran secara kuantitatif, yang dapat dilihat pada Gambar IV.9a (rata-rata wilayah meandiffsignif curah hujan antartahunan) dan Gambar IV.9b (rata-rata wilayah
41
meandiffsignif tipe hujan konvektif antartahunan). Garis tipis berwarna merah merupakan rata-rata meandiffsignif/overlay coupled off terhadap coupled on. Sebaliknya rata-rata meandiffsignif coupled on terhadap coupled off ditunjukkan oleh garis putus-putus berwarna hijau.
Gambar IV.7 Mean difference significance curah hujan antartahunan bulan Maret dan Mei
Gambar IV.8 Mean difference significance tipe hujan konvektif antartahunan bulan Maret dan Mei
Rata-rata wilayah meandiffsignif coupled off terhadap coupled on wilayah Maluku Utara memperlihatkan bahwa fluktuasi beda nyata antara kedua skenario juga terjadi pada perioda MAM, dengan beda nyata terbesar terjadi pada bulan Maret. Sedangkan untuk perioda lainnya beda nyatanya hampir mendekati nol. Sebaliknya, rata-rata wilayah meandiffsignif coupled on terhadap coupled off memperlihatkan bahwa fluktuasi beda nyata antara kedua skenario yang besar terjadi pada perioda JJA dan SON. Hal ini mengindikasikan bahwa pada perioda
42
tersebut, variabilitas SST lokal yang diterapakan menghasilkan nilai naik turun curah hujan dan tipe hujan konvektif yang berbeda.
Gambar IV.9 Rata-rata wilayah meandiffsignif (a) curah hujan antartahunan, (b) tipe hujan konvektif antartahunan
IV.4 Lead-Lag Correlation antara Variabel Curah Hujan dengan SST, Variabel Panas Laten dengan SST, dan Variabel Radiasi Gelombang Pendek di Permukaan dengan SST
Karena hasil simulasi model kopel skenario pertama lebih baik daripada hasil simulasi model kopel skenario kedua, maka untuk selanjutnya pengolahan data keluaran REMO dilakukan terhadap hasil skenario pertama tersebut. Selain itu,
a
43
pengolahan data dimaksudkan juga untuk mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa, perioda MAM lebih fluktuatif dibanding perioda lainnya. Sebagai gambaran umum, dibuat rata-rata antartahunan variabel panas laten dan radiasi gelombang pendek di permukaan yang digabung dalam satu grafik (Lampiran A.9(a)). Sementara curah hujan dan SST rata-rata antartahunan juga digabung dalam satu grafik dan dapat dilihat pada Lampiran A.9(b). Lampiran A.9 tersebut memperlihatkan gambaran secara umum bahwa keempat variabel tersebut memiliki pola equatorial. Dalam hal ini, rata-rata antartahunan panas laten dan radiasi gelombang pendek di permukaan cenderung sefasa dengan rata-rata antartahunan SST, tetapi berkebalikan fasa dengan curah hujan rata-rata antartahunan.
Rata-rata pentad antartahunan monsunal hasil perhitungan lead-lag correlation antara dua variabel dapat dilihat pada Gambar IV.10. Tetapi pembahasan lebih ditekankan pada korelasi yang memiliki nilai diatas tingkat signifikan 0,231. Untuk lebih ringkasnya, grafik-grafik yang memiliki koefisien korelasi terbesarnya diatas tingkat signifikan, digabung dalam sebuah tabel (Tabel IV.2). Masing-masing bentuk grafik tersebut menunjukkan hubungan antara kedua variabel yang berkorelasi. Secara garis besar, bentuk korelasi yang ada terbagi menjadi tiga tipe hubungan yang berbeda, yaitu:
1. Tanda Ð menyatakan bahwa atmosfer mempengaruhi/mengontrol laut 2. Tanda Ï menyatakan bahwa laut mempengaruhi/mengontrol atmosfer 3. Tanda menyatakan bahwa atmosfer dan laut saling mempengaruhi
44
Gambar IV.10 Rata-rata korelasi pentad antartahunan antara variabel-variabel (a) curah hujan dengan SST; (b) panas laten dengan SST; dan (c) radiasi gelombang pendek di permukaan dengan SST.
a
b
45
Tabel IV. 2 Definisi proses interaksi atau hubungan antara variabel-variabel SST dengan curah hujan, panas laten dan radiasi gelombang pendek di permukaan berdasarkan nilai koefisien korelasi yang berada diatas tingkat signifikan.
No Korelasi Variabel Bentuk Korelasi Perioda Keterangan lag lead
1 Curah Hujan vs SST SON
Ð
DJF
Ï
2 Panas Laten vs SST MAM
JJA
Ï
SONÏ
DJF 3 Radiasi Gelombang Pendek di Permukaan vs SST MAMÏ
SONÏ
Dari Gambar IV.10 dan Tabel IV.2 terlihat bahwa pada perioda MAM, korelasi yang koefisien terbesarnya diatas tingkat signifikan adalah korelasi antara panas laten dengan SST dan korelasi antara radiasi gelombang pendek di permukaan dengan SST. Koefisien korelasi panas laten-SST terbesar terjadi pada lead 5/ pentad 5 (-0,47775), sedangkan untuk korelasi antara radiasi gelombang pendek di permukaan dengan SST, koefisien korelasi terbesar terjadi pada lag 1/pentad 1 (0,2638). Dari bentuk grafik korelasi diketahui bahwa SST dan panas laten saling mempengaruhi. SST juga mempengaruhi radiasi gelombang pendek di permukaan tetapi tidak sebaliknya. Sementara pada perioda JJA, hanya terdapat satu korelasi yang koefisien korelasi terbesarnya diatas tingkat signifikan, yaitu korelasi antara panas laten dengan SST, yang terjadi pada lag 1/pentad 1 (0,2513). Dari bentuk grafik korelasi diketahui bahwa SST mengontrol panas laten.
Pada perioda SON, terlihat bahwa ketiga korelasi memiliki koefisien korelasi terbesar diatas tingkat signifikan, yaitu pada lag 1/pentad 1 (-0,3778) untuk curah
46
hujan-SST; pada lag 1/pentad 1 (0,3896) untuk panas laten-SST; dan pada lag 1/ pentad 1 (0,4874) untuk radiasi gelombang pendek di permukaan-SST. Dari bentuk-bentuk grafik korelasinya diketahui bahwa curah hujan mengontrol SST, sebaliknya SST mempengaruhi panas laten dan radiasi gelombang pendek di permukaan. Pada perioda DJF, korelasi yang koefisien korelasi terbesarnya diatas tingkat signifikan adalah korelasi antara curah hujan dengan SST dan korelasi antara panas laten dengan SST, yang terjadi pada lead 2/pentad 2 (0,3064) untuk curah hujan-SST dan pada lead 2/pentad 2 (-0,4) untuk panas laten-SST. Dari bentuk grafik korelasi diketahui bahwa SST mengontrol curah hujan, tetapi panas laten dan SST saling mempengaruhi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab perioda MAM lebih fluktuatif dibanding perioda lainnya adalah karena terjadinya interaksi antara laut dan atmosfer, terutama antara panas laten dan SST. Interaksi ini terjadi pada perioda MAM dan DJF, tetapi pada perioda MAM, koefisien korelasinya lebih besar daripada perioda DJF.