• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI

TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

(Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Desa Cirompang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Jawa Barat)

AGUSTINA NURHAENI

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

Abstract

AGUSTINA NURHAENI. Implications of the Appointment of Conservations Areas to Forest Area and Farm Area. (Supervised by: MARTUA SIHALOHO)

Forest displace function in Cirompang Village from production forest become conservation forest generates polemic to community. Community accessibility to forest is also closed although it cannot be completely done until now. Forbidden access to the forest doesn’t decrease level of forest management because community finally realizes that the damage of forest is also their loss so that they decide to preserve nature using their own rule in area which they can manage by themselves. Government decision to make forest in Cirompang Village as conservation area will harm community. If it is closed, farmer will lose their farm area which large is a half from Cirompang village. This will be effected their income although there are others factors that influence their income, like their earnings from SPPT and from another sector besides agriculture. Participative mapping is selected to solve the problems of village area system. Participative map that contains boundary system and farm system can prove that they can manage their farm with their own mores without ignoring preservation of the nature.

Keyword: community, conservation, management of forest, farm area,

(3)

RINGKASAN

AGUSTINA NURHAENI. Implikasi Penunjukan Areal Konservasi Terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan. (di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO).

Penelitian ini hendak mengetahui sejauh mana penunjukan areal konservasi yang berarti pengalihfungsian hutan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat Desa Cirompang dilihat dari beberapa aspek, yaitu aksesibilitas yang diasumsikan berimbas kepada pengelolaan hutan lestari dan penyempitan luas lahan akibat adanya penunjukan kawasan terhadap pendapatan petani. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat bagaimana langkah-langkah masyarakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Penunjukan areal konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi hutan sebagai bentuk pelestarian alam. Hal ini sebenarnya sudah dibicarakan oleh para perwakilan desa namun sayangnya tidak semua masyarakat mendapatkan informasi tersebut. Berita ini baru menjadi perbincangan hangat ketika Lembaga Swadaya Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (LSM RMI) melakukan upaya pendampingan dalam usaha mempertahankan lahan garapan yang diusahakan masyarakat secara turun temurun. Peresmian areal konservasi ini memang belum dilaksanakan dan masyarakat masih dapat berjuang mempertahankan lahan garapan kehutanan yang selama ini sudah digarap masyarakat walaupun aksesnya terhadap hutan kini sudah tertutup. Masyarakat mengusahakan lahan garapan yang ada untuk mempertahankan kelestarian ekosistem yang ada seperti menanam kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan garapan.

Peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode penelitian survey digunakan untuk menganalisis luas lahan dan pendapatan petani dengan menggunakan pertanyaan terstruktur/sistematis sedangkan untuk melihat aksesibilitas dan pengelolaan hutan serta bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik yang ada, digunakan metode wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan. Dalam memilih responden digunakan salah satu teknik penarikan sampel non-probabilita, yaitu teknik penarikan sampel purposive atau disebut juga

judgmental sampling. Peneliti mengambil sampel sebanyak 30 orang karena

dianggap telah dapat mewakili pendapat masyarakat tentang keadaan hutan dan lahan garapan di Desa Cirompang saat ini. Aksesibilitas dan pengelolaan hutan lestari didapatkan dengan wawancara mendalam yang didukung oleh data dari kuesioner untuk menguatkan hasil penelitian. Bentuk penyelesaian konflik yang ada di Desa Cirompang diperoleh dari para informan dengan metode wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informan yang berkompeten, digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling).

Sebelum penunjukan areal konservasi masyarakat masih dapat dengan leluasa memasuki hutan dan menjaga hutan dengan cara lokal (sesuai dengan adat-istiadat Kasepuhan). Masyarakat juga diperbolehkan mengambil hasil hutan tanpa merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut. Hutan

(4)

di Desa Cirompang sampai pada masa Perhutani dibiarkan tetap hijau atau digunakan sebagai hutan lindung sebagai penyeimbang alam. Masyarakat mengelola hutan dengan cara mereka. Setelah penunjukan areal konservasi Masyarakat tidak diperbolehkan lagi masuk ke hutan, walaupun ada sebagian yang memberi pernyataan bahwa akses ke dalam hutan masih ada karena kurangnya pengawasan dari pihak taman nasional. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan. Adanya penurunan kualitas hutan yang cukup signifikan yang kemudian berpengaruh kepada kondisi alam di sekitarnya, seperti terjadinya banjir ketika hujan lebat ataupun debit air yang menurun drastis apabila musim kemarau berkepanjangan.

Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki lahan yang terbilang luas, yaitu di atas satu hektar sedangkan penghasilan yang didapat hanya berkisar antara lima juta sampai sepuluh juta. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memang memiliki korelasi namun tidak kuat. Lemahnya hubungan kedua variabel tersebut disebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani, seperti pendapatan non-pertanian yang jumlahnya bervariasi dari sangat kecil hingga terbilang besar. Pendapatan non-pertanian tersebut ada yang merupakan pekerjaan sambilan dikala tidak bertani, seperti ojek dan buruh bangunan atau pekerjaan yang ditekuni setiap hari seperti guru.

Pemetaan partisipatif dipilih sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa di Desa Cirompang. Adanya peta yang disetujui semua pihak yang terkait dengan tata ruang Desa Cirompang menjadi dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan pengelolaan lahan mereka sehingga mereka dapat mengelola lahan tersebut walaupun menggunakan aturan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kasepuhan berperan untuk mengurusi masalah internal, sementara hubungan eksternal ditangani oleh kepala desa.

(5)

IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI

TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

(Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Desa Cirompang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Jawa Barat)

Oleh:

Agustina Nurhaeni I34051365

SKRIPSI

Sebagai Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(6)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

SKRIPSI

Judul : IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Desa Cirompang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Agustina Nurhaeni Nomor Mahasiswa : I34051365

Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Martua Sihaloho, SP, MSi NIP. 197704172006041007

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 195808271983031001

(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN” BELUM PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA TULISAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

Agustina Nurhaeni I34051365

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan perlindungan serta kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap

Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan”. Penulisan skripsi ini merupakan prasyarat

yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Kawasan Hutan Halimun merupakan daerah yang sarat akan konflik, mulai dari pengelolaan, pemilikan, juga penguasaan akan sumberdaya yang ada. Sejak tahun 2003, pengelolaan kawasan ini berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tahun yang sama diadakan pula perluasan areal konservasi yang banyak menuai kontroversi karena arealnya memakan tanah milik masyarakat desa di sekitarnya. Keresahan masyarakat pun mulai timbul karena jika areal tersebut benar-benar disahkan sebagai areal konservasi, maka banyak dari mereka yang akan kehilangan mata pencaharian karena hilangnya akses terhadap hutan dan lahan yang telah mereka miliki dan kelola.

Berawal dari kenyataan tersebut, penulis mencoba mengidentifikasi hingga sejauhmana hilangnya aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dan bagaimana pula imbasnya terhadap pengelolaan hutan. Di sisi yang lain, penulis juga mencoba melihat seberapa besar hilangnya tanah milik warga yang kemudian berimbas pada pendapatan mereka. Muara dari penelitian ini diharapkan dapat melihat resolusi konflik yang dapat diterima oleh semua pihak-pihak yang terkait dengan sumberdaya hutan, terutama di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Jawa Barat.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat menambah wawasan para pembaca dan meningkatkan semangat untuk lebih banyak belajar lagi. Penulis juga berharap dengan adanya tulisan ini, semakin terbuka apa yang seharusnya dilakukan segenap pihak demi kemajuan bangsa ini.

Bogor, Agustus 2009

Agustina Nurhaeni I34051365

(9)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 6 Agustus 1987 dari Ibu bernama Hj. Sri Winarni, SH dan ayah bernama Ir. H. Ermadi. Penulis adalah anak sulung dari tiga bersaudara dengan adik kandung bernama Afrida Fatharani dan Anang Winardi yang masing-masing berusia delapan belas tahun dan enam belas tahun. Saat ini penulis bertempat tinggal di Jalan Kresek Indah 71 Rt 02/ Rw 03 Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Awal memulai pendidikan dengan masuk Taman Kanak-Kanak Isriyati di Semarang. Penulis pindah ke Jakarta dan meneruskan pendidikan di sana hingga tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 39 Cijantung, Jakarta Timur, setelah itu penulis meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor. Pada semester 3, penulis masuk ke Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) merupakan organisasi terakhir yang diikuti penulis dengan jabatan sebagai Sekretaris I. Penulis pernah juga masuk ke dalam komunitas radio IPB, Agri fm sebagai penyiar dan staf bagian produksi. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Sosiologi Umum selama satu semester dan mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi selama dua semester ditambah dengan semester pendek. Penulis juga menjadi anggota Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMA Negeri 39 dengan jabatan sebagai Sekretaris Bidang Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (Sekbid. PPBN).

Prestasi yang sudah pernah diraih oleh penulis adalah masuk sebagai finalis lima besar lomba presenter pada acara Commnex (Communication and

Community Expo) dan finalis lima besar lomba karya tulis ilmiah Corporate Social Responsibility Bank Rakyat Indonesia (CSR BRI) pada acara Commnex.

(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, mulai dari survey, penelitian, hingga penulisan, baik itu bantuan moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

− Martua Sihaloho, SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dan telah membentuk sikap kritis penulis dalam menggunakan teori untuk menganalisis fakta sosial yang ada serta dorongan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

− Ir. H. Ermadi dan Hj. Sri Winarni, SH, orang tua yang dengan kerja keras dan doa serta kasih sayangnya sehingga penulis dapat menempuh pendidikan dengan baik.

− Afrida Fatharani dan Anang Winardi, adik-adikku tercinta yang senantiasa menghibur dan menjadi penyemangat.

− Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku dosen pembimbing akademik untuk bimbingan dan nasehat selama tiga tahun.

− Ismail Saleh untuk semua dukungan dan semangatnya serta menjadi tempat bercerita di saat senang dan susah.

− Teman-teman KPM 42 yang tidak bisa disebutkan satu per satu namun tidak mengurangi rasa sayangku pada kalian, untuk semua bantuan serta diskusi yang bermanfaat selama penyelesaian penyusunan skripsi ini.

− Teman-teman kost di Puri Fikriyyah (Ryu yang sudah membantu membuatkan

abstract dan juga Ibu Wiwin dan Pak Maman yang sudah menjaga selama tiga

tahun di sana).

− Whenny Sasfira Adly selaku teman satu bimbingan untuk diskusi dan koordinasinya selama melakukan bimbingan.

− Teman-teman dari LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI), terutama Bapak Bagus dan Ibu Nia, atas kerjasama dan masukan serta dukungannya pada saat

pre survey dan penelitian.

− Bapak Imam dari LSM Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) untuk ilmu membuat peta, menggunakan GPS, dan diskusi yang bermanfaat.

− Warga Desa Cirompang atas sambutannya dengan tangan terbuka dengan kedatangan peneliti, terutama Kepala Desa serta Olot Amir beserta keluarganya yang menyambut peneliti dengan hangat dan memberikan pengalaman juga kenangan yang tidak terlupakan.

− Ibu Maria dan Ibu Annisa, serta segenap staf kesekretariatan KPM untuk bantuannya dan menjadi tempat bertanya dalam hal proses administrasi penyelesaian skripsi ini.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………... i

DAFTAR GAMBAR……….. iii

DAFTAR TABEL………... iv DAFTAR LAMPIRAN……… v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1 1.2 Perumusan Masalah...……… 3 1.3 Tujuan Penelitian..………. 5 1.4 Kegunaan Penelitian……….. 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka………... 6

2.1.1 Areal Konservasi dan Taman Nasional...………... 6

2.1.2 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak…….……….. 8

2.1.3 Aksesibilitas Masyarakat……… 13

2.1.4 Pengelolaan Hutan Lestari………..………… 14

2.1.5 Lahan Masyarakat………..……… 15

2.1.6 Pendapatan Petani……….. 16

2.1.7 Konflik Agraria……….. 17

2.1.8 Proses Menyeimbangkan Kekuasaan………. 18

2.1.9 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat………... 20

2.1.10 Pengetahuan Lokal………. 21 2.2 Kerangka Pemikiran..……….24 2.2.1 Kerangka Berpikir…… ………. 24 2.2.2 Hipotesis Uji………... 26 2.2.3 Hipotesis Pengarah………. 26 2.2.4 Definisi Operasional………... 26 2.2.5 Definisi Konseptual……… 28

BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian………..……… 30

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 31

3.3 Teknik Pengumpulan Data…………..……….. 31

3.4 Teknik Analisis Data………. 33

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Asal-Usul Masyarakat Desa Cirompang……… 34

(12)

ii

4.2 Letak Administratif dan Geografis……… 35

4.3 Fasilitas Fisik………. 36

4.4 Kelembagaan Masyarakat……….. 41

4.5 Kependudukan………... 42

4.6 Tata Guna Lahan……… 44

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan……….. 48

5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi……… 48

5.1.2 Setelah Penunjukan Areal Konservasi……….. 49

5.2 Pengelolaan Hutan Lestari………. 50

5.2.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi……… 50

5.2.2 Setelah Penunjukan Areal Konservasi……….. 51

5.3 Hubungan Aksesibiltas dengan Pengelolaan Hutan Lestari……….. 52

5.4 Luas Lahan………. 53

5.5 Pendapatan Petani……….. 56

5.6 Hubungan Luas Lahan dan Pendapatan Petani……….. 59

BAB VI PROSES MENUJU PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT 6.1 Tahapan Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat………... 62

6.1.1 Diskusi Informal Ranah Masyarakat……… 62

6.1.2 Diskusi Para Stakeholder……….. 63

6.1.3 Pemetaan Partisipatif……… 64

6.1.4 Pengesahan Peta dan Penandatanganan Perjanjian…………... 67

6.2 Pengetahuan Lokal………. 68

6.3 Peranan Kasepuhan dalam Menyelesaikan Konflik……….. 69

BAB VII KESIMPULAN……….. 71

DAFTAR PUSTAKA……….. 72

(13)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak………. 10

Gambar 2. Jenjang Aksesibilitas Masyarakat Berdasarkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat………. 14

Gambar 3. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria………. 17

Gambar 4. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan………. 19

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan.………..……….. 25

Gambar 6. Warung Kelontong di Desa Cirompang………. 37

Gambar 7. Leuit atau Lumbung Padi………... 38

Gambar 8. Mandi Cuci Kakus (MCK) Umum……….38

Gambar 9. Masjid-Masjid di Desa Cirompang……… 39

Gambar 10. Jembatan-Jembatan di Kampung Lembur Besar………. 40

Gambar 11. Kantor dan Balai Desa Cirompang……….. 40

Gambar 12. Sekolah Dasar Negeri Cirompang……….... 41

(14)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Asal-Usul Masyarakat di Desa Cirompang………... 34

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Cirompang Tahun 2008... 42

Tabel 3. Sumber Penghidupan di Desa Cirompang Tahun 2008... 43

Tabel 4. Tingkat Pendidikan di Desa Cirompang Tahun 2008... 44

Tabel 5. Tata Guna Lahan di Desa Cirompang Tahun 2008... 45

Tabel 6. Mata Air dan Sungai di Desa Cirompang... 47

Tabel 7. Perbandingan Aksesibilitas dan Pengelolaan Hutan Lestari Periode Sebelum dan Sesudah Penunjukan Areal Konservasi………... 53

Tabel 8. Luas Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009…... 55

Tabel 9. Luas Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009..…….………….. 55

Tabel 10. Luas Lahan Keseluruhan di Desa Cirompang Tahun 2009……... 56

Tabel 11. Pendapatan dari Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009…. 57 Tabel 12. Pendapatan dari Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009……. 57

Tabel 13. Pendapatan Keseluruhan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009... 59

Tabel 14. Pendapatan dari Non-Pertanian di Desa Cirompang Tahun 2009…... 59

Tabel 15. Tabulasi Silang Luas Lahan Keseluruhan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009……….. 60

Tabel 16. Tabulasi Silang Luas Lahan Garapan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009………... 61

(15)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner………. 75

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan……… 80

Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Informan……… 82

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas daratan Indonesia adalah sekitar 192 juta hektar dan dari luasan tersebut yang berupa kawasan hutan 147 juta hektar. Selanjutnya berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dilaporkan bahwa kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta hektar yang terdiri atas hutan produksi seluas 64 juta hektar yang terbagi atas hutan produksi tetap (HP) 33 juta hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) 31 juta hektar, hutan lindung 29,5 juta hektar, hutan konservasi 30,5 juta hektar, hutan suaka alam dan wisata 19 juta hektar (Soetarto

et al. 2000).

Sesuai dengan Keppres 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Perkebunan Besar Milik Swasta dan Negara serta Perkebunan Besar Baru, areal hutan yang dapat dikonversi untuk kepentingan lain termasuk perkebunan mencakup lahan seluas 30,5 juta hektar. Dari luasan hutan konversi tersebut yang telah digunakan untuk berbagai kepentingan pembangunan non-kehutanan seperti untuk perkebunan, transmigrasi dan lainnya terus mengalami penurunan dan pada tahun 1984 hanya tinggal 8,4 juta hektar (Soetarto et al. 2000).

Penggunaan hutan paling besar adalah untuk hutan produksi dimana hutan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, diantaranya untuk dijadikan ladang berpindah, persawahan, pemukiman, lahan perindustrian maupun lahan perkebunan. Perebutan lahan hutan yang awalnya merupakan open access

(17)

kini menjadi persengketaan, dan tidak jarang berujung pada konflik mendalam. Penyebabnya bukan saja perebutan sumber-sumber daya alam di dalamnya tetapi juga proses klaim dan tata guna lahan yang sampai saat ini masih banyak terjadi penyimpangan.

Kawasan hutan Halimun yang sekarang ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Keberadaan kurang lebih 100.000 jiwa penduduk dalam kawasan baik masyarakat asli (adat kasepuhan) maupun masyarakat lokal dan pendatang menjadi persoalan tersendiri selain keberadaan perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kepentingan investasi pertambangan untuk eksploitasi sumberdaya alam Halimun pun tidak kunjung reda sejak jaman Pemerintah Kolonial Belanda, hal yang secara prinsip bertentangan dengan kepentingan konservasi kawasan. Pada sisi lain, hak-hak masyarakat (adat dan lokal) tidak diperhatikan dalam perebutan sumberdaya alam tersebut. Pengakuan masyarakat adat kasepuhan misalnya tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat (Priatna, 2008).

Tahun 1992 muncul kebijakan tentang pengalihfungsian kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi, pengelolaannya pun diserahkan kepada pihak PPA dalam bahasa masyarakat setempat (sekarang taman nasional). Alih fungsi ini bersamaan dengan pemancangan tata batas kawasan secara sepihak, dimana masyarakat tidak mengetahuinya. Wilayah desa Cirompang merupakan wilayah yang masuk ke dalam kawasan konservasi tahun 1992 (Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun) dengan luas 40.000 hektar atau pasca perluasan (tahun 2003) menjadi 113.357 hektar disebut dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tataran masyarakat dan lapangan hampir tidak

(18)

terjadi benturan, akan tetapi kecemasan masih tetap ada. Alasannya adalah perbedaan kepentingan antara masyarakat yang menginginkan ada kombinasi produksi dan konservasi disatu pihak, sedangkan di pihak lain taman nasional yang masih cenderung mempertahankan aspek konservasi (Priatna, 2008).

Perbedaan sudut pandang antara pihak-pihak yang berkepentingan tersebut akan berpengaruh ke semua aspek kehidupan masyarakat. Apabila klaim tata guna hutan konservasi tersebut sudah disahkan dan masyarakat tidak bertindak sesegera mungkin, maka mereka akan kehilangan lahan garapan yang merupakan sumber penghidupan sehari-hari. Hilangnya hak kepemilikan lahan tersebut bukan hanya berdampak pada para penggarap saja tetapi juga pada masyarakat secara tidak langsung. Harga kebutuhan pokok akan meningkat, mengingat hampir semua kebutuhan pangan dipenuhi dari hasil alam desa mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dan analisis masalah secara partisipatif untuk mendapatkan resolusi yang tepat, sehingga masyarakat dapat mengatasi masalahnya dengan didasari oleh pengetahuan yang mereka miliki digabung dengan adanya pengetahuan perkembangan undang-undang yang ada serta teknologi modern yang telah tersedia.

1.2 Perumusan Masalah

Ketidaktahuan masyarakat akan peraturan perundangan serta posisi mereka yang berada di pihak yang lemah merupakan peluang bagi pihak-pihak yang lain untuk menguasai sumberdaya yang ada. Masyarakat akhirnya kehilangan mata pencaharian dan sumber penghidupan sehari-hari, padahal jika dicermati, kebanyakan dari mereka sangat bergantung pada sumberdaya yang

(19)

disediakan oleh alam untuk mencukupi kebutuhan mereka. Fenomena seperti inilah yang kemudian menimbulkan konflik, baik laten, permukaan, maupun terbuka.

Lahan di Desa Cirompang merupakan sumber penghidupan utama. Lahan SPPT digunakan sebagai persawahan dan tempat tinggal kini merupakan hak mereka karena sudah memiliki sertifikat, sedangkan lahan garapan kehutanan masih menjadi konflik karena adanya penunjukan areal konservasi sehingga sewaktu-waktu lahan yang kini mereka garap menjadi perkebunan tersebut dapat ditutup oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Ketika konflik ini terus-menerus mengalami eskalasi sehingga mencapai puncaknya, maka yang terjadi adalah konflik yang diiringi oleh tindakan anarkis sebagai wujud pemberontakan. Namun tidak semua konflik berakhir anarkis, sebagian yang lainnya dapat diselesaikan dengan jalan damai, baik melalui mediasi maupun negoisasi. Adanya keterbukaan serta wadah untuk menyampaikan aspirasi pihak-pihak yang terkait untuk dapat berkomunikasi serta mensejajarkan stakeholders merupakan jalan terbaik yang dapat ditempuh. Sementara pemerintah memahami bahwa peraturan adat dan pengetahuan dapat membantu mereka dalam melestarikan hutan yang ada, masyarakat juga dapat memahami dan menghormati peraturan yang dibuat oleh pemerintah.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada penelitian ini, yaitu:

a. Bagaimana aksesibilitas masyarakat dan pengelolaan hutan sebelum dan setelah adanya penunjukan areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Desa Cirompang?

(20)

b. Apakah luas lahan garapan dan luas lahan keseluruhan (variabel x) memiliki keterkaitan dengan pendapatan petani (variabel y)?

c. Bagaimanakah dinamika penyelesaian konflik menuju Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Cirompang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji aksesibilitas masyarakat dan pengelolaan hutan sebelum dan setelah adanya penunjukan areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Desa Cirompang.

b. Mengidentifikasi luas lahan garapan dan luas lahan keseluruhan (variabel x) dan kaitannya dengan pendapatan petani (variabel y).

c. Mengetahui dinamika penyelesaia konflik menuju Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Cirompang.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan mengenai masalah-masalah sosial yang terjadi di desa-desa berkonflik seperti Desa Cirompang. Bagi akademisi diharapkan laporan ini dapat memberikan sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang terkait, semoga dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam mengambil keputusan khususnya untuk permasalahan yang terjadi di Desa Cirompang.

(21)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Areal Konservasi dan Taman Nasional

Secara umum hutan konservasi sebagai pengemban misi pelestarian plasma nutfah, prioritas pengelolaannya diarahkan kepada upaya menjaga kelestarian ekologis, sementara pembangunan ekonomi dan sosial diarahkan kepada bentuk-bentuk kegiatan yang tidak mengganggu fungsi ekologis yang dibebankan kepada kawasan konservasi tersebut (Ngadiono, 2004).

Menurut Ngadiono (2004), taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Fungsi taman nasional adalah sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaan taman nasional terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional, potensi, keragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, serta untuk menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat. Pembinaan daerah penyangga yang dititikberatkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat di sekitarnya dapat dilaksanakan

(22)

dengan memanfaatkan potensi yang ada dalm kawasan taman nasional sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Taman nasional dengan segala cirinya dan berbagai bentuk ekosistem di dalamnya merupakan suatu kawasan yang sangat penting dijaga kelestariannya. Dalam suatu ekosistem dijumpai hubungan timbal balik antara manusia, tumbuhan, binatang, makhluk isi alam lainnya, suhu, keadaan cuaca, udara, dan lain-lain yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai komponen biotik dan abiotik. Pembentukan taman nasional merupakan salah satu upaya melindungi tipe-tipe ekosistem yang khas, sehingga dalam langkah gerak pembangunan yang gencar ini tetap dapat dipelihara keselarasan antara manusia dengan ekosistem dalam rangkaian kurun waktu dan gerak yang dinamis. Kondisi demikian diharapkan agar ekosistem tetap berada dalam keseimbangan (Arifin, 1990).

Menurut Suratmo sebagaimana dikutip Arifin (1990), banyak definisi dipakai untuk menggambarkan taman nasional. Definisi tersebut biasanya akan berbeda untuk negara yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain keadaan areal yang ada, luas arealnya, kebutuhan perkembangan suatu populasi, latar belakang politik, masyarakatnya, adat kebiasaan, dan lain sebagainya.

Masih menurut Arifin (1990), pengertian taman nasional tidak hanya mencakup kawasan alamiah yang berupa hutan saja, tetapi juga kawasan terrestrial dan bahkan perairan pada umumnya, yang secara kesatuan memiliki keunikan ekologis, biologis, dan geologis. Sesuatu yang penting dikemukakan bahwa dalam pengembangannya, taman nasional terbagi dalam beberapa zonasi

(23)

yang ditujukan sesuai dengan peruntukannya dengan berbagai pertimbangan agar upaya perlindungan dan konservasi dapat tercapai.

2.1.2 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka (TNGH) yang luasnya 40 000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS).

Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.

(24)

Kawasan TNGHS dihuni oleh masyarakat kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal (Desa). Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu: leuweung

titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) dan leuweung sampalan

(hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal. Pada saat ini sebagian anggota Masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007).

Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga (RT) miskin. Secara umum jumlah RT miskin masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi jumlah RT miskin berjumlah 15.699 RT atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga), di Kabupaten Bogor berjumlah 29.718 RT atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2005), sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RT atau 15% dari jumlah RT (data tahun 2005, tidak termasuk Desa Wangun Jaya). Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah

(25)

berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena), pembangunan infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten dan propinsi, desa), dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007).

Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007)

Kawasan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak tidak seluruhnya menjadi hutan konservasi, berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tahun 2007-2026, terdapat bagian-bagian atau zonasi yang memiliki fungsinya masing-masing, yaitu:

a. Zona Inti dan Zona Rimba (=ZI, warna merah dan ZR, warna kuning muda) Pengidentifikasian zona ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang

(26)

daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara keseluruhan. Zona ini meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa.

b. Zona Rehabilitasi (=Zre, warna biru muda)

Wilayah yang menjadi zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan dataran rendah, areal yang rusak akibat PETI, koridor Gunung Halimun-Salak dan sebagainya. Di masa depan, setelah ekosistem dinilai pulih kembali, zona rehabilitasi ini dapat ditetapkan sebagai zona inti atau zona rimba atau zona pemanfaatan.

c. Penetapan Zona Pemanfaatan (=ZP, warna hijau)

Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung, dan lokasi penelitian intensif, seperti seputar Stasiun Penelitian Cikaniki, Cangkuang, dan sebagainya. Untuk zona pemanfaatan yang meiliki obyek wisata dan merupakan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dengan dilandaskan pada MoU kerjasama pengelolaam wisata antara BTNGHS dan Perhutani dengan mekanisme pembagian keuntungan yang jelas. Khusus zona pemanfaatan yang merupakan jalur-jalur pendakian dan wilayah-wilayah yang rawan pengunjung akan tetap dikelola oleh BTNGHS.

d. Zona dengan Fungsi Utama Ekonomi Wilayah (=Zona Khusus, ZKh, warna abu-abu tua)

(27)

Wilayah-wilayah yang telah ada sarana SUTET serta wilayah kuasa pengelolaan PT. Chevron Geothermal Salak di kawasan Gunung Salak dan PT. antam di daerah Cikidang-Gunung Sibentang Gading yang terletak di Kabupaten Lebak, dimasukkan ke dalam zona khusus. Demikian pula dengan jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS, MKK site, yaitu Desa Cipeuteuy dan Desa Gunung Malang.

e. Zona untuk Tujuan Sosial Budaya (=Zona Budaya, Religi, dan Sejarah, ZBs, warna ungu tua dan Zona Tradisional, ZTr, warna kuning tua)

Penelusuran sejarah pengelolaan perlu dilakukan untuk menentukan zonasi ini. Areal yang penting bagi kegiatan religi budaya, seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. Sedangkan wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat sekitar hutan. Dalam peta ini, wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa kasepuhan adalah masyarakat tersendiri yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.

f. Zona Lainnya (=ZL, warna putih)

Zona ini tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini adalah bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.

(28)

2.1.3 Aksesibilitas Masyarakat

Aksesibilitas seperti yang diterangkan oleh Adiwibowo (2008) memiliki beberapa tingkatan, secara umum terbagi atas: hanya memiliki akses dan kontrol, di tingkatan selanjutnya, masyarakat memiliki kewenangan menjaga sumberdaya, mengelola sumberdaya dan yang teratas adalah dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut serta mengolahnya dengan cara mereka. Hal ini juga dijabarkan ke dalam suatu segitiga yang menggambarkan tingkatan-tingkatan dalam betuk yang lain. Di level paling bawah, masyarakat mempunyai kewenangan mengatur diri sendiri untuk akses serta kontrol terhadap sumberdaya alam. Pada level-level selanjutnya, yaitu masyarakat mempunyai kekuatan untuk membuat agenda komunitas dan menegakkan aturan lokal, mengelola sendiri, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan, dan tindak lanjut, selanjutnya masyarakat dapat membangun jaring kerja untuk pengelolaan hutan dan pengembangan ekonomi dan yang terakhir yaitu memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekonomi dan ekologi dari hutan yang telah mereka kelola.

Selain itu, kelima tingkatan di atas masih dibagi lagi dalam tiga tingkatan penataan. Tata kuasa ditempatkan sebagai tingkatan yang paling rendah, dimana masyarakat hanya mempunyai akses dan kontrol namun masih berada di bawah pemerintah, yang kedua yaitu tata kelola, dimana masyarakat dapat mengolah sumberdaya hutan dengan cara mereka sendiri, dan yang terakhir adalah tata produksi, dimana masyarakat sudah mampu mendistribusikan manfaat-manfaat yang mereka peroleh dengan baik.

(29)

Gambar 2. Jenjang Aksesibilitas Masyarakat berdasarkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Adiwibowo, 2008)

2.1.4 Pengelolaan Hutan Lestari

Menurut Ngadiono (2004), pengelolaan hutan lestari merupakan keharusan bagi seluruh pelaku pengelolaan hutan di Indonesia. Hutan sebagai sebuah SDA yang dapat diperbaharui harus dipandang sebagai resource capital,

human capital, dan social capital yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan

secara lestari dan lintas generasi. Ketiga kelestarian fungsi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan adanya saling keterkaitan antar kelestarian fungsi tersebut. Pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari (sustainable forest management) apabila ketiga kelestarian fungsi tersebut telah terpenuhi berdasarkan berbagai kriteria dan indikator yang sudah ditetapkan.

Kaidah pengelolaan hutan lestari mulai mengemuka pada era 90-an ketika kesadaran akan kelestarian ekosistem dibakukan oleh pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1990. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa dalam setiap pengelolaan

(30)

SDA harus dilakukan pengawetan terhadap plasma nutfah, flora, fauna dan ekosistem unik. Selain itu juga perlu dilakukan perlindungan sistem penyangga kehidupan sekaligus perlu dilakukan pemanfaatan secara lintas generasi (Ngadiono, 2004).

2.1.5 Lahan Masyarakat

Menurut FAO sebagaimana dikutip Munibah (2008), lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk di dalamnya adalah akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan juga akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Arsyad seperti dikutip Munibah (2008), menyatakan bahwa sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan non-pertanian antara lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaan, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya.

Lahan pertanian bisa berupa lahan milik sendiri atau lahan milik orang lain yang digarap petani, yang disebut sebagai lahan garapan. Semakin besar persentase luas lahan milik dari luas lahan pengusahaan, maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif besar keuntungannya daripada berusaha tani pada lahan milik orang lain karena berusaha tani pada lahan milik orang lain resikonya akan lebih besar daripada berusaha tani pada lahan milik sendiri. Dengan

(31)

menggarap lahan milik orang lain, paling tidak si peggarap harus membayar sewa, bagi hasil, dan bentuk lainnya. Selain itu, kontinuitas usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Suatu waktu apabila lahan tersebut dijual pemiliknya, atau diganti penggarapnya, maka petani tersebut akan kehilangan lahannya (Ruswandi 2005).

2.1.6 Pendapatan Petani

Pendapatan pertanian menggambarkan tingkat produktivitas lahan tersebut yang digunakan untuk usaha tani. Dalam ekonomi lahan, pendapatan usaha tani disebut land rent (keuntungan bersih atas penggunaan lahan). Usaha tani merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga tani (Ruswandi, 2005).

Usahatani di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh petani-petani kecil dengan cara tradisional. Keterbatasan sumberdaya (khususnya lahan dan modal) menjadi ciri yang utama sehingga petani berusaha untuk memilih dan memutuskan model usahatani dalam memenuhi kebutuhan keluarga melalui usaha yang beresiko rendah. Peningkatan produksi dan produktivitas dapat ditempuh dengan tetap memperhatikan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Petani akan mengalokasikan penggunaan sumberdaya usahataninya, khususnya melalui penambahan jumlah dan jenis input jika diyakini bahwa usaha tersebut akan berdampak pada peningkatan produksi dsn pendapatan. Bagi keluarga petani dengan keterbatasan pemilikan lahan, keamanan produksi dan pendapatan merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelangsungan hidupnya sangat bergantung akan hal ini sehingga untuk menjamin

(32)

kelangsungan cara hidupnya, petani juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, misalnya inovasi teknologi baru. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang berubah, akhirnya menentukan keberlanjutan pertanian (Priyanti, 2007).

2.1.7 Konflik Agraria

Menurut Fisher et al. (2000), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Komunitas

Swasta

Sumber-sumber Agraria

Pemerintah

Gambar 3. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Suhendar et al. 2002) Konflik pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan yang tidak seimbang banyak terjadi di tanah-tanah perkebunan. Konfik ini memicu terjadinya pendudukan tanah-tanah perkebunan yang HGU-nya belum berakhir oleh masyarakat tanpa seizin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (occupatie) dan diklaim sebagai tanah miliknya. Sumber konflik pertanahan yang terjadi antara lain disebabkan oleh (Suhendar et al. 2002):

a. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan merata; b. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non-pertanian;

(33)

d. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat);

e. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemgang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.

Empat faktor yang biasanya menjadi pemicu konflik (Fermata, 2006), yaitu: sejarah lokal, dimana masyarakat merasa tanah itu miliknya karena mereka yang lebih dahulu tinggal; intervensi asing berupa campur tangan pihak luar terhadap permasalahan yang ada; kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan hak ulayat dan masyarakat, dan; dinamika internal, dimana tanah yang tersisa dan alternatif strategi bertahan hidup lainnya tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan mereka.

2.1.8 Proses Menyeimbangkan Kekuasaan

Kerapkali para ahli di masa Orde Baru meragukan kehandalan pengelolaan sumberdaya hutan oleh komunitas lokal. Keraguan itu umumnya bersandar pada fenomena tragedy of common, yaitu kerusakan sumberdaya akibat

penyalahgunaan berlebihan tatkala sumberdaya tersebut ditetapkan sebagai “milik umum”. Padahal, tragedi itu lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumberdaya tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kelimpahan sumberdayanya (resource endowment) atau tatkala kelembagaan pada komunitas lokal justru sedang mengalami proses marjinalisasi sedemikian rupa. (Suhendar et al. 2002)

Strategi konfrontasi nampaknya kini sudah mulai dikurangi, berganti dengan cara yang lebih halus namun lebih ampuh untuk menyelesaikan

(34)

masalah-masalah yang ada. Mulai dari strategi pengelolaan multipihak, negosiasi, mediasi hingga advokasi kebijakan pun ditempuh. LSM-LSM tidak lagi selalu berlawanan arah dengan pemerintah namun kini stakeholders dirangkul untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih ‘manusiawi’ seraya mengelola sumberdaya yang ada secara lebih lestari.

Penindasan, Ketidakadilan, Konflik Laten (Kekuasaan tidak seimbang) Kesadaran Mobilisasi, Pemberdayaan Konfrontasi, Konflik Hubungan yang disetujui (Kekuasaan yang seimbang)

Perubahan sikap Negoisasi, Mediasi

Perubahan hubungan,

Keseimbangan, Kekuasaan baru

Gambar 4. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan (Fisher et al. 2001) Gambar 3 menerangkan bahwa salah satu langkah dalam menyelesaikan konflik sumberdaya, dalam hal ini sumberdaya hutan perlu adanya komunikasi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Adanya kesadaran masing-masing pihak dibutuhkan agar muncul mobilisasi dan pemberdayaan yang sebenarnya sangat riskan terhadap konfrontasi dan konflik dan apabila itu terjadi, maka perlu dimunculkan kembali kesadaran semua pihak. Kesadaran tersebut dapat dimunculkan baik melalui negoisasi, mediasi maupun diskusi formal dan informal lainnya. Siklus ini akan terus berputar sampai terbentuk hubungan yang disetujui oleh stakeholders atas sumberdaya hutan tersebut. Tanpa hal ini, intervensi pada

(35)

satu pihak akan terus terjadi dan konflik tidak akan mencapai titik penyelesaian sehingga ketika muncul konflik yang baru, konflik yang belum selesai tersebut akan terakumulasi sehingga pada akhirnya tidak terbendung lagi dan berakibat pada hancurnya sumberdaya yang ada.

2.1.9 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Menurut Khususiyah (2009), Memasuki era reformasi, menghadapi krisis ekonomi dan adanya euforia otonomi daerah, sejak 2001 diterapkan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang merupakan hasil pembelajaran yang disempurnakan secara bertahap tentang perlunya mengakomodasi aspek sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sesuai Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001, PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa, atau Peru Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara dan proposional.

Pemberdayaan masyarakat bukan suatu program tetapi built in dalam pengelolaan hutan. Proses pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Khususiyah, 2009).

a. Perencanaan menggunakan metoda participatory rural appraisal (PRA) b. Pengambilan keputusan bersama dalam pengelolaan hutan

(36)

d. Pendekatan kelompok masyarakat dalam bentuk wilayah/blok hutan yang secara administratif termasuk wilayah desa

e. Menumbuhkan perekonomian rakyat

f. Membangun sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat tentang arti dan fungsi sumberdaya hutan.

PHBM merupakan Perhutanan Sosial Plus jiwa bersama, berdaya, berbagi, transparan, dan sederhana. Masih menurut Khususiyah (2009), dalam hal ini, PHBM dapat dianggap sebagai praktek social forestry yang lebih difokuskan di kawasan utan produksi khususnya hutan tanman di Pulau Jawa serta hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Tujuannya untuk memecahkan masalah tekanan sosial ekonomi penduduk desa di dalam atau sekitar kawasan hutan terhadap sumberdaya hutan, sehingga aspek sosial dan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan utama. Untuk memperbaiki implementasi di lapangan, PHBM sesuai Keputusan Dewan Pengawas (selaku pengurus perusahaan) Nomor 136/Kpts/Dir/2001 disempurnakan menjadi PHBM Plus sesuai SK 268/Kpts/Dir/2007.

2.1.10 Pengetahuan Lokal

Menurut Pratomo (2005), pengetahuan lokal suatu masyarakat yang hidup di lingkungan spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu terkonogi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem mata pencaharian mereka. Teknologi

(37)

eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama kemungkinan akan menjadi suatu ‘kearifan lokal’. Pada banyak kasus masyarakat lokal tidak mendokumentasikan pengetahuannya, sehingga tidak mudah untuk diakses oleh orang di luar lingkungan masyarakat tersebut. Pengetahuan masyarakat lokal umumnya terbatas pada apa yang dapat mereka rasakan secara langsung, biasanya melalui pengamatan dan apa yang dapat dipahami berdasarkan konsep dan logika mereka.

Walker et al. dalam Pratomo (2005) mengidentifikasi empat alasan utama mengapa harus memasukkan pengetahuan lokal ke dalam penelitian dan program pembangunan agar lebih efisien dan efektif, yaitu:

a. Masyarakat lokal telah mengembangkan pengetahuan yang melengkapi pengetahuan ilmiah

b. Teknis yang dikembangkan secara lokal dapat melengkapi sumberdaya ilmuwan yang terbatas

c. Kombinasi efektif sektor formal dan informal menghindarkan terjadinya duplikasi

d. Kolaborasi, efektif memperbaiki sasaran serta fokus penelitian ilmiah.

Prasodjo (2005) mengemukakan bahwa adanya keragaman pengetahuan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya, penting untuk digali dan dipetakan dalam rangka membantu merumuskan pembangunan lokal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, finansial, manusia, sosial, dan fisik/infrastruktur

(38)

yang berkesinambungan melalui cara-cara membangun komunikasi yang efektif dengan orang lokal dan membuat aksi bersama yang telah mempertimbangkan kendala pengalaman yang dirasakan secara lokal. Dalam kaitan ini memahami pengetahuan lokal berfungsi sebagai: (1) sarana untuk berkomunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal, dan (2) dasar untuk melakukan kajian atau aksi bersama masyarakat yang tepat karena telah mempertimbangkan kendala dan potensi pengalaman lokal.

Kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dikemukakan Berkes dalam Prasodjo (2005) dalam tiga hal, yaitu:

a. Self interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi karena kekuatannya yang datang dari “dalam” dan bukan dari luar. b. Sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa pengetahuan lokal

merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad (summation of millennia of ecological adaptation of

human groups).

c. Pengetahuan tradisional sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumberdaya alam yang efektif karena dukungan local dan tingkat adaptasi serta pertimbangan kepraktisan yang tinggi.

Menurut Prasodjo (2005) pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. Pengetahuan dalam bentuk pragmatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam (tanah, lahan, air, udara, mineral, dan lain-lain), baik yang diakui sebagai milik sendiri, umum/kolektif, maupun aset pemerintah, yang berakibat langsung pada perubahan

(39)

karbon, perubagan kualitas dan kuantitas air, dan lain-lain), serta fungsi-fungsi dari komponen agroekosistem itu. Sedangkan pengetahuan lokal yang berupa pengetahuan supranatural dapat ditelusuri melalui bentuk-bentuk dasar aturan/norma yang dihasilkan oleh kepercayaan/budaya, agama dan moral.

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Kerangka Berpikir

Adanya penunjukan areal konservasi yang batasnya masuk ke Desa Cirompang menyebabkan dampak yang besar bagi masyarakat. Batas yang ditetapkan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memakan sebagian besar hutan milik desa dan lahan garapan masyarakat. Imbasnya atas klaim hutan adalah berkurangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan yang akan berpengaruh pada pengelolaan hutan secara lestari. Sedangkan lahan masyarakat yang terkena klaim, baik lahan milik, lahan pengusahaan maupun lahan garapan kemungkinan juga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat di bidang pertanian.

Fenomena ini kemudian menimbulkan konflik sumberdaya, mengingat hampir seluruh kebutuhan pangan dipenuhi dari dalam desa sendiri dan untuk memperbaiki keadaan perlu adanya proses menyeimbangkan kekuasaan dengan menimbulkan rasa saling percaya diantara para stakeholder sehingga mereka dapat sejajar dalam mengelola hutan. Luasnya areal hutan yang tidak memungkinkan dapat diawasi oleh pemerintah secara keseluruhan, akan dibantu oleh masyarakat menggunakan asas simbiosis mutualisme, dimana masyarakat juga dapat mengelola hutan dengan cara dan hukum yang mereka miliki serta memanfaatkan hasilnya untuk kelangsungan hidup masyarakat lokal sehingga

(40)

kemudian menimbulkan sinergi yang harmonis antar stakeholders, terutama pemerintah dan masyarakat dalam mengelola areal hutan.

Pengelolaan hutan lestari

Lahan Masyarakat

a. SPPT b. Garapan Aksesibilitas masyarakat

Penunjukan areal konservasi

Pendapatan petani

Konflik Agraria

Proses menyeimbangkan kekuasaan

Pengelolaan hutan bersama masyarakat

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan

(41)

2.2.2 Hipotesis Uji

Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa pola yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

a. Terjadi penurunan luas lahan garapan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi tingkat pendapatan keseluruhan petani. b. Terjadi penurunan luas lahan keseluruhan setelah adanya klaim lahan dari

Taman Nasional dan akan mempengaruhi tingkat pendapatan keseluruhan petani.

2.2.3 Hipotesis Pengarah

a. Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan mempengaruhi pengelolaan hutan lestari.

b. Bentuk penyelesaian konflik menuju ke arah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

2.2.4 Definisi Operasional

a. Taman Nasional

Areal konservasi bagi daerah hutan yang ditunjuk oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan

b. Lahan dan areal

Sebidang tanah yang digunakan dan/atau oleh suatu pihak untuk tujuan tertentu. Pada penelitian kali ini, lahan yang dimiliki masyarakat dibedakan atas:

(42)

− Luas lahan SPPT (Surat Peringatan Pajak Terhutang) yaitu lahan yang dimiliki sendiri oleh masyarakat.

− Luas lahan garapan yaitu luas lahan yang dikelola petani sebagai kebun namun masuk pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. − Luas lahan keseluruhan adalah luas lahan SPPT ditambah dengan luas lahan

garapan.

Untuk luas lahan, baik SPPT, garapan, maupun keseluruhan akan dikategorikan sebagai berikut:

1 = < 0,5 hektar 2 = 0,5 - 1 hektar 3 = > 1 hektar

c. Pendapatan petani

Materi yang didapatkan oleh petani baik itu pemilik, penggarap, maupun pemilik penggarap baik dari bidang pertanian maupun non-pertanian. Pada pendapatan akan dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu:

− Pendapatan dari pertanian, yang masih dikategorikan menjadi: pendapatan dari lahan SPPT dan pendapatan dari lahan garapan

− Pendapatan dari non pertanian Hasil data dikategorikan berdasarkan:

1 = < Rp. 1.000.000,00 per tahun untuk pendapatan dari hasil pertanian dan non pertanian dan < Rp 5.000.000,00 per tahun untuk keseluruhan pendapatan

(43)

2 = Rp 1.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per tahun untuk pendapatan dari hasil pertanian dan non pertanian dan Rp 5.000.000,00 – Rp. 10.000.000,00 untuk keseluruhan pendapatan

3 = > Rp 2.500.000,00 per tahun untuk hasil pertanian dan non pertanian dan > Rp 10.000.000,00 per tahun untuk keseluruhan pendapatan

2.2.5 Definisi Konseptual

a. Konflik sumberdaya

Adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengelola hutan. Dalam hal ini antara Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai pemerintah dengan masyarakat lokal.

b. Proses menyeimbangkan kekuasaan

Adalah tahapan dimana para pemangku kepentingan atas suatu sumberdaya menuju posisi yang sejajar, tidak ada yang dominan maupun marjinal, semua pihak memiliki bargaining position yang sama.

c. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat

Sistem tata kelola hutan dimana masyarakat sebagi pengelola yang didampingi oleh pihak-pihak yang terkait demi tercapainya pengelolaan hutan yang lestari dan terpenuhinya tujuan masing-masing stakeholder yang dalam hal ini masyarakat untuk memenuhi kebutuhan subsistennya sedangkan pemerintah

d. Pengelolaan hutan

Kegiatan memelihara, menjaga dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan indikator kelestarian sebagai berikut

(44)

− Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil

− Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil

− Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder

Dari indikator tersebut, dibuat pernyataan-pernyataan yang akan diukur dengan skala 1= Sangat tidak setuju, 2= Tidak setuju, 3= Setuju, dan 4 = Sangat Setuju

e. Aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dapat diketahui dengan

melakukan perbandingan pada setiap masa kekuasaan. Tingkatan dari yang rendah hingga tinggi digunakan adalah sebagai berikut adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai kewenangan untuk mengatur akses dan kontrol terhadap hutan;

2. Mempunyai kekuatan untuk membuat agenda komunitas dan menegakkan aturan lokal;

3. Mengelola sendiri (perencanaan-pelaksanaan-pemeriksaan-tindak lanjut); 4. Membangun jaring kerja pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan

mengembangkan ekonomi;

5. Memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekonomi dan ekologi dengan tujuan konservasi atau pelestarian hutan.

(45)

 

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian

Peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode penelitian survey digunakan untuk menganalisis luas lahan dan pendapatan petani dengan menggunakan pertanyaan terstruktur/sistematis yang sama kepada banyak orang untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis. Sedangkan untuk melihat aksesibilitas dan pengelolaan hutan serta bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik yang ada, digunakan metode wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan kepada orang-orang yang dianggap mengetahui permasalahan tersebut. Kemudian seluruh data akan direduksi, disajikan, dan ditarik kesimpulan melalui verifikasi. Untuk aksesibilitas dan pengelolaan hutan, metode kualitatif akan didukung oleh kuantitatif berupa kuesioner untuk menguatkan hasil.

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian ini berupa tipologi atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menggambarkan mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori (Prasetyo dan Lina, 2006).

(46)

 

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara

purposive (sengaja) dengan didasarkan pada pencarian wilayah dimana lokasi

penelitian mengalami konflik laten dengan akar yang pendek sehingga masih lebih mudah diangkat ke permukaan untuk diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan dan melalui peradilan. Data ini akan mendukung data yang sudah ditemukan oleh peneliti sebelumnya untuk mendapatkan izin atas lahan garapan yang saat ini sudah diklaim sebagai bagian dari kawasan TNGHS namun belum disahkan sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka atas lahan tersebut. Selain itu, hampir seluruh kebutuhan akan bahan pangan dipenuhi sendiri dari dalam desa, sehingga ketika terjadi klaim lahan, kemungkinan dampaknya tidak hanya berpengaruh pada pelaku di sektor pertanian saja tapi juga sektor-sektor lainnya.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diambil dari kuesioner yang telah diisi oleh para responden dan wawancara mendalam dengan beberapa informan. Data sekunder diperoleh dari analisis dokumen dan literatur-literatur lain yang relevan sebagai tambahan juga bahan pembanding untuk data yang sudah yang sudah ditemukan di lapangan. Untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah tentang luas lahan dan tingkat pendapatan petani, digunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Dalam memilih responden digunakan salah satu teknik penarikan sampel non-probabilita,

(47)

 

yaitu teknik penarikan sampel purposive atau disebut juga judgmental sampling yang digunakan untuk menentukan kriteria khusus terhadap sampel. Penelitian kali ini menggunakan sampel petani, baik pemilik maupun penggarap (buruh tani) baik di lahan sawah maupun kebun yang berada di Kampung Lembur Besar (perkampungan besar) karena responden dalam penelitian ini dianggap orang yang dekat dengan pusat pemerintahan desa dan memahami serta merasakan dampak langsung dari perluasan areal konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peneliti mengambil sampel sebanyak 30 orang karena dianggap telah dapat mewakili pendapat masyarakat tentang keadaan hutan dan lahan garapan di Desa Cirompang saat ini.

Aksesibilitas dan pengelolaan hutan lestari didapatkan dengan wawancara mendalam yang didukung oleh data dari kuesioner untuk menguatkan hasil penelitian. Bentuk penyelesaian konflik yang ada di Desa Cirompang diperoleh dari para informan dengan metode wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informan yang berkompeten, digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling) dengan mengetahui satu nama informan, kemudian dari informan inilah peneliti akan memperoleh nama-nama lainnya dan begitu seterusnya. Selain menggunakan teknik wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengamatan berperan serta dimana peneliti ikut juga melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik responden maupun informan dalam usaha memperoleh pengakuan atas lahan mereka.

(48)

 

3.4 Teknik Analisis Data

Data pengelolaan hutan lestari dianalisis dengan menggunakan skala yang terdiri dari empat point yang bergerak dari ekstrim negatif diberi nilai +1 ke ekstrim positif diberi nilai +4. Pernyataan-pernyataan yang ada pada kuesioner untuk pengelolaan hutan diacu pada kriteria yang ditetapkan oleh CIFOR sebagai acuan generik dalam melihat pengelolaan hutan yang lestari. Sedangkan pada aksesibilitas akan digunakan skala ordinal mulai dari mempunyai kewenangan untuk mengatur akses dan kontrol terhadap hutan dengan nilai +1 sampai memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekologi dan ekonomi dengan nilai +5.

Pengolahan data luas lahan dan pendapatan petani akan dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Sebelum dimasukkan ke dalam tabel, terlebih dahulu data-data berbentuk nominal tersebut dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang telah ditentukan untuk memudahkan pengolahan.

Data kualitatif diolah sejak awal pengumpulan data. Analisis data kualitatif, baik primer maupun sekunder diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan juga diorganisir sehingga dapat langsung menjawab perumusan masalah yang ada. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang menggambarkan dinamika konflik serta bentuk penyelesaiannya. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan bersama dengan informan sebelum peneliti menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

(49)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1 Sejarah dan Asal-Usul Masyarakat Desa Cirompang

Menurut sejarah yang terdapat dalam Peta Wilayah Administratif Desa Cirompang, masyarakat yang bermukim di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat, dimana pendahulunya datang ke Cirompang pada masa penjajahan Belanda-Jepang. Bila dilihat dari runutan asal-usulnya, terdapat masyarakat Cirompang dari keturunan Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Ciptagelar-Sirnaresmi yang merupakan masyarakat adat di sekitar dan dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Sebutan atau nama Cirompang sendiri berasal dari cerita setempat yaitu nama sebuah bukit (Gunung Rompang), dimana tanah yang berada di gunung tersebut tidak utuh karena dipakai untuk melempar burung garuda sehingga tampak rarompang/bahasa sunda (tidak utuh).

Tabel 1. Asal-Usul Masyarakat di Desa Cirompang No Asal Kasepuhan Runutan

1 Citorek Olot Sarsiah - Olot Sawa - Olot Sahali - Olot Amir (Sekarang) 2 Ciptagelar Olot Selat - Olot Jasim - Olot-Sali - Olot Opon (Sekarang) 3 Ciptagelar Olot Sata - Olot Nalan - Olot Nasir (Sekarang)

Sumber: Priatna, 2008

Wilayah administratif Desa Cirompang merupakan pemekaran dari wilayah induknya, yaitu Desa Citujah yang kemudian dimekarkan menjadi 3 desa

(50)

(Citujah, Majasari, Sukamaju). Desa Sukamaju kemudian dimekarkan menjadi Desa Sukamaju dan Desa Cirompang1.

Masyarakat mulai menggarap di kawasan hutan sebelum tahun 1942. Pada masa DI/TII masyarakat masih melakukan kegiatan pertaniannya di kawasan garapan kehutanan. Meskipun demikian, pada masa DI/TII masyarakat mengalami ketakutan pada saat menggarap lahan walaupun tidak mengganggu aktivitas masyarakat dalam menggarap lahan. Sampai saat ini, ada masyarakat Citorek yang ikut menggarap di Desa Cirompang terutama di kawasan kehutanan (garapan Blok Cibebek).

Pada masa Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dilakukan penanaman jenis kayu mahoni dan meranti dengan mempekerjakan masyarakat. Tahun 1992, masuk PPA (sebutan masyarakat untuk TNGH) terjadi perubahan atau alih fungsi dari hutan produksi (PT Perum Perhutani Unit III) ke hutan konservasi (TNGH). Kemudian dilakukan pembuatan tata batas di perbatasan lahan milik (ber-SPPT) dan lahan kehutanan. Pada masa pembuatan tata batas ini masyarakat Cirompang ada yang ikut dalam pembuatan tata batas.

4.2 Letak Administratif dan Geografis

Wilayah Desa Cirompang berada di Sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara geografis sedangkan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak-Banten. Luas wilayah

(51)

Desa Cirompang mencapai lebih kurang 637,50 hektar, sedangkan batas-batas administratif Wilayah Desa Cirompang diantaranya meliputi2:

Barat : Berbatasan Dengan Desa Sindang Laya Kec. Sobang (Batas Alam : Sungai Citujah).

Utara : Berbatasan Dengan Desa Sukaresmi Kec. Sobang

(Batas Alam : Sungai Cikiruh, Pasir Pinang, Jalan Raya Cibeas-Cimerak). Timur : Berbatasan Dengan Desa Sukamaju Kec. Sobang

(Batas Alam : Sungai Cibitung, Pamatang Pasir Pinang, Jalan Saidun). Selatan : Berbatasan Dengan Desa Citorek Timur-Tengan-Barat Kec Cibeber (Batas Alam : Gunung Kendeng Membujur Dari Barat ke Timur).

4.3 Fasilitas Fisik

a) Listrik

b) Kebutuhan listrik di Desa Cirompang sudah terakomodasi dengan baik. Dari hasil observasi, hampir semua rumah sudah memiliki televisi sehingga kebutuhan akan informasi dan hiburan dapat terpenuhi.

c) Jalan Aspal

Jalan utama di Kampung Lembur Besar yang merupakan pusat administrasi, umumnya sudah diaspal dan keadaannya masih cukup baik, namun kebanyakan jalan-jalan lain di Desa Cirompang masih berbatu. Beberapa jalan sudah diaspal tetapi saat ini kondisinya sudah rusak berat dan membentuk lubang-lubang besar.Jalan menuju wilayah Desa Cirompang dapat ditempuh

Gambar

Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak  (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007)
Gambar 2. Jenjang Aksesibilitas Masyarakat berdasarkan Pengelolaan Hutan  Berbasis Masyarakat (Adiwibowo, 2008)
Gambar 3. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Suhendar et al. 2002)  Konflik pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan yang tidak seimbang  banyak terjadi di tanah-tanah perkebunan
Gambar 4. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan (Fisher et al. 2001)  Gambar 3 menerangkan bahwa salah satu langkah dalam menyelesaikan  konflik sumberdaya, dalam hal ini sumberdaya hutan perlu adanya komunikasi  untuk menyeimbangkan kekuasaan
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2002) tentang dampak usaha tambak udang terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara,

CBUBO UJSPTJOBTF NBLB VKJ QFOHIBNCBUBO UJSPTJOBTF EJMBLVLBO QBEB NJOHHV LF o 4FUFMBI QFOZJNQBOBO NJOHHV OJMBJ QFSTFO QFOHIBNCBUBO UJSPTJOBTF EBSJ LFEVB LSJN NFOHBMBNJ QFOVSVOBO

Dari sisi konten yang mengandung unsur nasionalisme, beberapa tayangan berupa berita, talkshow , tayangan wisata dan olah raga menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan

following section we shall create a Facelets application with Eclipse 3.7 (OEPE 12 c ), WebLogic Server 12 c , and Oracle Database 11 g XE. Setting the environment Download

Kandungan senyawa antioksidan pada spesies lokal tanaman yang dijadikan microgreens telah terbukti tinggi berdasarkan pengujian laboratorium di Jurusan Biologi UIN Bandung

layer locked layer major axis minor axis object snap override mode primitives regenerate running mode scale factor tangent target virtual screen Key Terms Key Commands Aerial Viewer

Hal ini dapat terjadi pada saat terjadi peralihan hak atas tanah, dan hanya tercantum nama salah satu pihak dari pasan- gan suami isteri tersebut, sehingga mengaki- batkan

Pada gambar 11 atap yang awal mulanya berada di dalam secara otomatis akan bergerak keluar atau menutup ketika cuaca mendung, Sehingga ketika turun hujan,