• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBAKARAN LAHAN/HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBAKARAN LAHAN/HUTAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 91

PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

TERHADAP PELAKU PEMBAKARAN LAHAN/HUTAN

Oleh: I Gede Dharman Gunawan*

Abstrak

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Dalam berkembangnya kebutuhan hidup manusia, maka pengelolaan hutan tidak terkendali dengan baik dan berkelanjutan. Terdapat upaya-upaya pembakaran lahan/hutan baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja oleh oknum pelaku pembakaran lahan/hutan untuk membuka lahan. Sehingga perlu adanya pencegahan kerusakan lahan/hutan sebagai upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Upaya penanggulangan kerusakan hutan dilakukan dengan upaya penegakan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berupa pemberian sanksi administratif, sanksi perdata, serta sanksi pidana kepada pelaku pembakaran hutan/lahan. Deangan adanya penegakan hukum yang tegas, pemulihan kerusakan akibat kebakaran hutan/lahan dapat mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya. Karena kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dapat mengakibatkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan hutan/lahan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Kata kunci: Penegakan, Undang-Undang UU No. 32 tahun 2009 tentang PPLH, Pelaku Pembakar lahan/hutan

(2)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 92

I. Pendahuluan

Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, mutu kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia. Proses pelaksanaan pembangunan itu sendiri di satu pihak menghadapi masalah karena jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan persebarannya tidak merata. Di lain pihak ketersediaan sumber daya alam juga terbatas. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi akan meningkatkan pemanfaatan terhadap sumber daya alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan tekanan terhadap sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan rakyat harus disertai dengan upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan devisa, maka Pemerintah melakukan pembangunan di berbagai sektor. Sektor pembangunan tersebut antara lain di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, dan pertambangan serta pariwisata. Kegiatan ini dilakukan dengan membuka kawasan-kawasan hutan menjadi kawasan-kawasan budidaya yang dalam proses pelaksanaan kegiatannya rawan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan hutan. Sedangkan pencemaran dapat terjadi terhadap air dan udara. Pengendalian terhadap terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air.

Pengertian hutan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, pertambangan, pariwisata, dan ladang dan kebun bagi masyarakat. Lahan tersebut mempunyai ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur.

Kebakaran hutan dan atau lahan di Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun frekuensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda. Kebakaran paling besar terjadi pada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh lima) propinsi, yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai bencana nasional. Dampak dari terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi setiap tahun tersebut telah menimbulkan kerugian, baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya yang sulit dihitung besarannya. Dampak asap menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia (radang paru), iritasi mata dan

(3)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 93 kulit. Hal ini akibat tingginya kadar debu di udara yang telah melampaui ambang batas.

Dampak asap dari kebakaran hutan dan atau lahan telah mengganggu jarak pandang sehingga mempengaruhi jadwal penerbangan. Akibatnya di beberapa kota terdampak kabut asap jarak pandang kurang dari satu kilometer, yang mengakibatkan penutupan beberapa bandar udara. Selain daripada itu dampak asap mengganggu aktivitas penduduk. Bahkan, asap dari kebakaran tersebut juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya serta upaya penegakan hukum dengan menerapkan sanksi administrasi, perdata, dan pidana secara tegas.

Peristiwa kebakaran hutan dan atau lahan, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor tersebut adalah penyiapan lahan yang tidak terkendali dengan cara membakar, termasuk juga karena kebiasaan masyarakat dalam membuka lahan, kebakaran yang tidak disengaja, kebakaran yang disengaja (arson), dan kebakaran karena sebab alamiah. Kebakaran karena sebab alamiah ini terjadi di daerah yang mengandung batu bara atau bahan lain yang mudah terbakar. Meskipun beberapa faktor tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran, tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah karena tindakan manusia. Terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sangat sulit untuk ditanggulangi, baik untuk pemadaman kebakaran maupun pemulihan dampak dari kebakaran. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana, kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk dapat segera dijangkau serta memerlukan waktu yang cukup lama. Padahal, pemadaman kebakaran memerlukan kecepatan dan keberhasilan untuk mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan terjadinya kebakaran menjadi sangat penting dilakukan, antara lain dengan memperketat persyaratan dalam pemberian izin.

Bagi kegiatan yang tidak memerlukan izin seperti kegiatan perorangan atau kelompok orang yang karena kebiasaannya membuka lahan untuk ladang dan kebun, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran diperlukan pembinaan, bimbingan, dan penyuluhan serta kebijakan khusus dari masing-masing provinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian, maka dalam melakukan tindakan atau kegiatannya tidak dilakukan dengan cara membakar yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan. Mengingat dampak akibat kebakaran hutan dan atau lahan sangat besar, maka setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan dilarang dengan cara membakar. Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 huruf d, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan. Larangan tersebut tidak berlaku bagi pembakaran hutan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Dalam tulisan ini dijelaskan mengenai apa penyebab terjadinya

(4)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 94 kebakaran lahan/hutan, bagaimana dampak dari kebakaran lahan/hutan. Serta bagaimana upaya penegakan hukum Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap pelaku pembakaran, baik perorangan maupun perusahaan/badan hukum.

II. Pembahasan

2.1 Penyebab serta Dampak Kebakaran Lahan/Hutan

Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas kedua di dunia. Keberadaan hutan ini tentunya merupakan berkah tersebdiri. Hutan merupakan ekosistem alamiah yang keanekaragaman hayatinya sangat tinggi. Keberadaan hutan di Indonesia sangat penting tak hanya untuk bangsa Indonesia tetapi juga bagi semua makhluk hidup di bumi. Hutan di Indonesia sering dijuluki sebagai paru-paru dunia. Hal ini wajar mengingat jumlah pepohonan yang ada di dalam kawasan hutan ini bisa mendaur ulang udara dan menghasilkan lingkungan yang lebih sehat bagi manusia. Sayangnya, akhir-akhir ini kebakaran hutan di Indonesia semakin sering terjadi. Penyebabnya bisa beragam yang dibagi ke dalam dua kelompok utama, alam dan campur tangan manusia. Menurut data statistik, kebakaran hutan di Indonesia sebanyak 90 % disebabkan oleh manusian dan selebihnya adalah kehendak alam. Penyebab kebakaran hutan diantaranya adalah:

a) Faktor alam misalnya karena suhu pada musim kemarau yang sangat panas. b) Kecerobohan manusia, contohnya adalah membuang puntung rokok

sembarangan.

c) Pembukaan lahan baru atau membersihkan lahan pertanian dengan membakarnya, dan tindakan vandalisme.

d) Ground fire/ kebakaran yang terjadi di dalam tanah, biasanya terhadu di daerah yang memiliki tanah gambut sehingga dapat menyulut terjadinya api terutama di musim kemarau dengan suhu yang panas.

Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan ternyata sangat kompleks. Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap ekologi dan mengakibatkan kerusakan lingkungan saja. Namun dampak dari kebakaran hutan ternyata mencakup bidang-bidang lain. Menurut Rully Syumanda (2003), menyebutkan ada 4 aspek yang terindikasi sebagai dampak dari kebakaran hutan. Keempat dampak tersebut mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadap hubungan antar negara, serta dampak terhadap perhubungan dan pariwisata.

a. Dampak Terhadap Sosial, Budaya, dan Ekonomi.

Kebakaran hutan memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang diantaranya meliputi:

1. Terganggunya aktivitas sehari-hari; Asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan secara otomatis mengganggu aktivitas manusia sehari-hari, apalagi bagi yang aktivitasnya dilakukan di luar ruangan.

(5)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 95 2. Menurunnya produktivitas; Terganggunya aktivitas manusia akibat kebakaran

hutan dapat mempengaruhi produktivitas dan penghasilan.

3. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan; Selain itu, bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari mengolah hasil hutan, dengan terbakarnya hutan berarti hilang pula area kerja (mata pencarian). 4. Meningkatnya hama; Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies

dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat sebagian binatang kehilangan habitat yang kemudian memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti gajah, monyet, dan binatang lain. 5. Terganggunya kesehatan; Kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara

oleh debu, gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.

6. Tersedotnya anggaran negara; Setiap tahunnya diperlukan biaya yang besar untuk menangani (menghentikan) kebakaran hutan. Pun untuk merehabilitasi hutan yang terbakar serta berbagai dampak lain semisal kesehatan masyarakat dan bencana alam yang diambilkan dari kas negara.

7. Menurunnya devisa negara. Hutan telah menjadi salah satu sumber devisa negara baik dari kayu maupun produk-produk non kayu lainnya, termasuk pariwisata. Dengan terbakarnya hutan sumber devisa akan musnah. Selain itu, menurunnya produktivitas akibat kebakaran hutan pun pada akhirnya berpengaruh pada devisa negara.

b. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan.

Kebakaran hutan memberikan dampak langsung terhadap ekologi dan lingkungan yang diantaranya adalah:

1. Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Bebrabagai spesies endemic (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. 2. Erosi; Hutan dengan tanamannya berfungsi sebagai penahan erosi. Ketika

tanaman musnah akibat kebakaran hutan akan menyisakan lahan hutan yang mudah terkena erosi baik oleh air hujan bahkan angin sekalipun.

3. Alih fungsi hutan; Kawasan hutan yang terbakar membutuhkan waktu yang lama untuk kembali menjadi hutan. Bahkan sering kali hutan mengalami perubahan peruntukan menjadi perkebunan atau padang ilalang.

4. Penurunan kualitas air; Salah satu fungsi ekologis hutan adalah dalam daur hidrologis. Terbakarnya hutan memberikan dampak hilangnya kemampuan hutan menyerap dan menyimpan air hujan.

5. Pemanasan global; Kebakaran hutan menghasilkan asap dan gas CO2 dan gas lainnya. Selain itu, dengan terbakarnya hutan akan menurunkan kemampuan

(6)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 96 hutan sebagai penyimpan karbon. Keduanya berpengaruh besar pada perubahan iklim dan pemansan global.

6. Sendimentasi sungai; Debu dan sisa pembakaran yang terbawa erosi akan mengendap di sungai dan menimbulkan pendangkalan.

7. Meningkatnya bencana alam; Terganggunya fungsi ekologi hutan akibat kebakaran hutan membuat intensitas bencana alam (banjir, tanah longsor, dan kekeringan) meningkat.

c. Dampak Terhadap Hubungan Antar Negara

Asap hasil kebakaran hutan menjadi masalah serius bukan hanya di daerah sekitar hutan saja. Asap terbawa angin hingga ke daerah lain bahkan mencapai berbagai negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

.

d. Dampak Terhadap Perhubungan dan Pariwisata

Kebakaran hutan pun berdampak pada pariwisata baik secara langsung ataupun tidak. Dampaknya seperti ditutupnya objek wisata hutan dan berbagai sarana pendukungnya, terganggunya transportasi, terutama transportasi udara. Kesemunya berakibat pada penurunan tingkat wisatawan secara nasional.

Mengingat sedemikian kompleknya dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan sudah selayaknya kita semua mewaspadai. Sekalipun tinggal jauh dari hutan, menumbuhkan kesadaran akan bahaya kebakaran hutan mungkin salah satunya.

2.2. Upaya Penegakan Hukum UU PPLH Terhadap Pelaku Pembakaran Lahan/Hutan

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Menurut Notitie Handhaving Milieurecht (dalam Hamzah, 2005 : 48), penegakan hukum adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan istrumen administrative, kepidanaan, atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Sedangkan menurut Hamzah menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan meliputi penegakan yang preventif (negosiasi, supervise, penerangan, dan nasehat), maupun penegakan yang represif (dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, sampai pada penerapan sanksi baik administrative, maupun hukum pidana) (Hamzah, 2005 : 49). Berikut ini dijelaskan penegakan sanksi administrative, sanksi perdata, dan sanksi pidana kepada pelaku pembakaran hutan/lahan berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

a. Penegakan Sanksi Administratif

Sanksi administratif merupakan tindakan hukum yang pertama diberikan terhadap perusahaan yang melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan, Sanksi administratif mempunyai fungsi instrumental, yaitu pencegahan dan penanggulangan

(7)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 97 perbuatan terlarang dan terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut.

Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif. Penegakan hukum preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan dugaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Upaya ini dapat dilakukan dengan pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan. (Pasal 71 sampai dengan Pasal 75 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penegakan hukum represif dilaksanakan dalam hal perbuatan melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang itu. Dalam hal ini Gubernur yang berwenang melakukanya atau melalui Peraturan Daerah, Wewenang ini dapat diserahkan oleh Gubernur kepada Bupati / Walikota. Dan apabila ada pelanggaran tertentu yaitu seperti ada warga yang ternganggu kesehatannya akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup maka Kepala Daerah atau pihak yang berkepentigan dapat mengajukan usul pencabutan izin usaha kepada pejabat yang berwenang.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 76 ayat 2. Sanksi administratif terdiri atas: a. Teguran tertulis.

b. Paksaan Pemerintah.

c. Pembekuan izin lingkungan. d. Pencabutan izin lingkungan.

Pasal 80 ayat 1 Paksaan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat 2 huruf b berupa :

a. Penghentian sementara kegiatan produksi. b. Pemindahan sarana produksi.

c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi. d. Pembongkaran.

e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpontensi menimbulkan pelanggaran. f. Penghentian sementara seluruh kegiatan.

g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

Disamping pengawasan administratif, kepada pengusaha hendaknya ditanamkan konsep pencegahan pencemaran menguntungkan (Polition Provention Pays). Konsep ini yaitu menekankan kepada upaya pencegahan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dalam proses produksi dengan penerapkan teknologi lebih bersih sehingga tercapai peningkatan efisiensi dan efektifitas produksi yang kemudian meningkatkan keuntungan perusahaan disamping ikut menjaga lingkungan hidup.

(8)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 98

b. Penegakan Sanksi Perdata

Aspek perdata merupakan tindakan hukum yang kedua yang diberikan terhadap perusahaan atau perorangan yang melakukan pembakaran lahan/hutan. Terhadap penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk menggugat ganti kerugian dan atau biaya pemulihan lingkungan hidup, terdapat dua jalur pada Pasal 84 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu :

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. 2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan menurut Pasal 85 dan Pasal 86 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan / mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negative terhadap lingkungan hidup. Hal ini dilakukan secara sukarela oleh pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang dirugikan dan yang mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait serta dapat pula melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Penyelesaian melalui cara ini dilakukan dengan cara mediasi lingkungan, akibat hukum mediasi lingkungan yang oleh para pihak biasanya dituangkan dalam bentuk persetujuan mediasi tertulis yang dianggap berkekuatan hukum sebagai kontrak yang tunduk pada ketentuan BW.

Namun harus diingat bahwa mediasi lingkungan tidak menjangkau penyelesaian aspek pidananya. Yang diselesaikan hanyalah menyangkut aspek perdatanya saja, dengan demikian meskipun kesepakatan terlaksana hal ini tidak menjadi halangan untuk melakukan tuntutan pidana.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan menurut Pasal 87 s/d Pasal 93 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan diselenggarkan untuk menyelesaikan ganti rugi, pemulihan lingkungan, tanggung jawab mutlak, Tenggat kadaluwarsa untuk pengajuan gugatan, hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah, hak gugat masyrakat, hak gugat organisasi lingkungan hidup, gugatan administrative.

a. Ganti Rugi

Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan usaha ataupun pihak perusahaan untuk membayar ganti rugi dan / atau melakukan tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu yang dimaksud hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu. Penetapan hukum ketentuan ini adalah merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar.

(9)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 99 Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar atau perusakan lingkungan dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu seperti melakukan pemulihan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan.

b. Tanggung Jawab Mutlak

Penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan yang usahanya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang mengunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

c. Tenggat Kadaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan kepengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku dan dihitung sejak korban mengetahui adanya pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup. Ketentuan daluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan / atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan / atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

d. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Instasi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan / atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

e. Hak Gugat Masyarakat

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan / atau kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup.

f. Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

g. Gugatan Administratif

Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan, izin usaha yang tidak memiliki wajib amdal serta tidak dilengkapi dokumen Amdal serta tidak dilengkapi dokumen UKL-UPL terhadap pelaku usaha atau kegiatan usaha.

c. Penegakan Sanksi Pidana

Sanksi pidana merupakan aspek tindakan hukum yang terakhir. Sanksi pidana diberikan terhadap perorangan/perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan melalui pembakaran lahan/hutan, mempunyai fungsi untuk mendidik perusahaan sehubungan dengan perbuatan yang dilakukan, terutama ditujukan terhadap

(10)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 100 perlindungan kepentingan umum yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut. Selain itu fungsinya juga untuk mencegah atau menghalangi pelaku pontensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

Untuk bisa menjatuhkan pidana untuk kasus lingkungan pada perusahaan maka juga berlaku peraturan-peraturan seperti kasus pidana lainnya yaitu asas legalitas maksudnya harus berdasarkan hukum yang ada pada saat perbuatan itu dilakukan dan harus terbukti kesalahannya.

Ketentuan pidana tercantum dalam pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan :

“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh atas nama badan usaha atau perusahaan maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (Pasal 116 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup adalah pidana penjara dan denda. Selain itu ada pidana tambahan atau tindakan tata tertib terhadap badan usaha Pasal 119 UU No.32 Tahun 2009 berupa :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan / atau kegiatan. c. Perbaikan akibat tindak pidana.

d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.

e. Penempatan Perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

III. Penutup

Hukum lingkungan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Penegakan hukum yang diberikan terhadap perusahaan/perorangan yang melakukan pembakaran lahan/hutan terdiri dari aspek administrasi, aspek perdata, aspek pidana. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 76 ayat 2 Sanksi administratif terdiri atas : Teguran tertulis., Paksaan Pemerintah, Pembekuan izin lingkungan, Pencabutan izin lingkungan. Terhadap penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara perdata untuk menggugat ganti kerugian dan atau biaya

(11)

Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015 101 pemulihan lingkungan hidup, terdapat dua jalur pada Pasal 84 ayat 1 yaitu: Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan. Penegakan hukum pidana pembakaran lahan/hutan dilakukan maka tuntutan pidana dan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 108 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh atas nama badan usaha atau perusahaan maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (Pasal 116 ayat 1 dan 2). Ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal adalah pidana penjara dan denda. Selain itu ada pidana tambahan atau tindakan tata tertib terhadap badan usaha Pasal 119 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Daftar Pustaka

Silalahi, Daud. 2001. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. PT. Alumni : Bandung.

Hamzah, Andi. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika : Jakarta

Amsyari, Fuad. 1981. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Ghalia Indonesia : Jakarta.

Soemarwoto, Otto. 1990. Analisis Dampak Lingkungan. Gagjah Mada University Press. Yogyakarta.

Supardi, Niniek. 1992. Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika : Jakarta.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Referensi

Dokumen terkait

Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut

Meskipun pendekatan neural-net sangat ampuh untuk model yang kompleks yang berhubungan dengan data sebelumnya, tetapi masih memiliki kelemahan dalam kemudahan

Hal ini demikian kerana, apabila infrastruktur tong sampah dalam pengurusan sisa pepejal dapat disediakan dengan baik oleh pihak-pihak tertentu seperti Pihak

Berdasarkan hasil pengujian UAT 2 didapatkan hasil presentase 100% bahwa pengguna merasa sistem yang telah dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan serta sistem teruji dapat

sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai resistivitas ini adalah perbedaan kepadatan lapisan pada beton dari atas ke bawah, dan adanya retakan serta kondisi

Nanoenkapsulasi dapat meningkatkan stabilitas pigmen karotenoid minyak buah merah dari perlakuan panas (blansir, pasteurisasi, dan sterilisasi) dan cahaya serta memiliki umur

Variabel pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal pada karakteristik

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi