• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN

A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea)

Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United

Nation Convention on The Law of The Sea) UNCLOS 1982 yang mengatur

tentang perompakan terdapat di dalam pasal 100-107. Didalam pasal 100 disebutkan bahwa aksi kejahatan Piracy (perompakan) merupakan tindakan ilegal yang terjadi di laut lepas atau disuatu tempat diluar yurisdiksi suatu negara. Kemudian dalam pasal 101 UNCLOS 1982, yang isinya sebagai berikut :

a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan ditujukan :

i. Di laut lepas, terhadap suatu kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada diatas kapal atau pesawat udara demikian; ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang disuatu tempat

di luar yurisdiksi Negara manapun;

b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela delam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak.

(2)

c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub ayat (a) atau (b).

Dari isi pasal diatas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa perompakan di laut dapat disebut sebagai piracy apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum; 2. Untuk tujuan pribadi;

3. Yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship atau

private aircraft;

4. Terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar yurisdiksi nasional suatu negara.

Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini merupakan tindakan kejahatan yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Karena pada kenyataannya justru sebagian besar insiden perompakan terjadi di laut teritorial suatu negara. Jadi mengenai aksi perompakan yang sering terjadi di perairan Somalia jika mengacu pada konvensi ini maka hal ini kurang relevan dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengingat bahwa perompakan yang terjadi di Somalia terjadi baik di luar laut teritorial maupun di sekitar perairan laut negaranya.

(3)

Pada pasal 105 UNCLOS yang berbunyi ;

”di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara mananpun setiap negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetap kan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tujuan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik”.19

Dari isi pasal diatas dapat kita menarik suatu kesimpulan bahwa kapal laut yang digunakan untuk melakukan kejahatan perompakan dapat dilakukan penyitaan oleh pihak ketiga atau negara lain yang mana penyitaan kapal perompak tersebut berada diluar yurisdiksi negara manapun. Pengadilan negara ketiga tersebut dapat memberikan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku perompakan serta menetapkan tindakan apa yang akan diambil berkenaan dengan kapal perompak tersebut.

Sedangkan kapal atau pesawat udara yang berhak menyita karena perompakan tercantum dalam Pasal 107 yang berbunyi :

”Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal tersebut.”20

Dalam pasal 105 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa setiap negara manapun dapat menyita suatu kapal yang telah diambil oleh perompakdan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang

19 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, Pasal 105 20

(4)

ada di kapal di setiap tempat lain di luar yurisdiksi negara manapun. Sedangkan dari pengegakan hukum terhadap pelaku perompakan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kapada negara yang telah melakukan tindakan penangkapan untuk menetapkan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku perompakan sesuai dengan hukum nasionalnya, dan juga dapat menetapkan tindakan apa yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal dan barang-barang, yang dilakukan dengan itikad baik dari negara tersebut.

B. Perompakan Menurut IMO (International Maritime Organization)

Perompakan saat ini telah mengalami perubahan-perubahan baik dalam taktik, persenjataan maupun ruang lingkup operasi. Selain itu pada saat sekarang ini, perompakan telah dimasukkan kedalam kejahatan internasional dan diatur dalam hukum internasional. Organisasi Maritim Internasional (International

Maritime Organization-IMO) merupakan salah satu badan organisasi internasional yang mengatur tentang perompakan di dunia. IMO mengeluarkan defenisinya tentang perompakan. Definisi yang dikeluarkan oleh IMO berdasarkan hukum laut internasional (United Nation Convention on the Law of

the Sea) tahun 1982:21

“any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ships or a private aircraft, and directed on the high seas against another ships or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft; against a ship, aircraft, persons, or property in a place outside the jurisdiction of any state.”

“setiap tindakan ilegal kekerasan atau penahanan, atau tindakan penjarahan, berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang dari kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan diarahkan di laut lepas terhadap yang lain kapal atau pesawat udara, atau terhadap orang atau

(5)

properti di kapal atau pesawat udara;. terhadap kapal, pesawat terbang, orang, atau properti di tempat di luar yurisdiksi negara manapun "

Definisi IMO tersebut memiliki lima karakteristik yaitu :22

1) Pembajakan laut harus melibatkan tindakan kriminal seperti kekerasan, penyekapan atau penjarahan.

2) Pembajakan laut harus dilakukan di laut lepas atau tempat lain diluar yurisdiksi sebuah negara. Ketentuan tersebut membatasi defenisi pada sebuah tindakan kekerasan atau penahanan illegal terhadap sebuah kapal di laut bebas atau di wilayah lainnyadi luar yurisdiksi sebuah negara. Sehingga, aksi perompakan dan pembajakan yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorial suatu negara tidak akan dimasukkan kedalam istilah bajak laut. Oleh karena itu IMO mendefinisikan serangan kriminal dengan senjata terhadap kapal di dalam perairan teritorial sebagai perompakan bersenjata, bukan aksi bajak laut. Pembedaan ini akan berdampak sekali kepada perlakuan hukum terhadap para tersangka termasuk prosedur penangkapan, penahanan dan pengadilan serta vonis hukuman.

3) Defenisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua kapal (two ships requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal untuk menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal dari dalam kapal tidak termasuk aksi perompakan. Begitu juga dengan

22

Defenisi Bajak Laut IMO. http://stayaware.wordpress.com/2008/10/29/defenisi-bajak-laut-imo. Diakses Pada 28 Mei 2012

(6)

penyerangan terhadap kapal yang sedang melabuh di pelabuhan dari atas dermaga.

4) Pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak dimasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak laut. 5) Serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi perompakan

karena serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang kapal milik pribadi.

Dan berdasarkan Pasal 2.2 dari International Maritime Organization

Maritime Security Commite (Organisasi Maritim Internasional Komite Keamanan

Maritim) (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the

Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (Naskah

kode praktek Investigasi terhadap Kejahatan Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery against ship (perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut:23

“Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or

detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a State’s jurisdiction over such offenses” “perompakan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan, atau pembunuhan terhadap tawanan, terhadap kapal, individu, harta kekayaan, yang dilakukan didalam wilayah yurisdiksi suatu negara” (IMO Draft Code of Practice).

23

Pembajakan dan Perompakan Bersenjata Terhadap Kapal-Kapal,

http://www.imo.org/OurWork/Security/PiracyArmedRobbery/Pages/Default.aspx Diakses Pada 28 Mei 2012

(7)

Dalam definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi perompakan, yaitu sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa perompakan terjadi diluar yurisdiksi suatu negara. Sedangkan aksi kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara disebut sebagai armed

robbery (perampokan bersenjata).

Kekhawatiran akan tindakan melanggar hukum yang mengancam keselamatan kapal dan penumpang kapal dan awak kapal pada tahun 1980-an, IMO mengadakan sebuah koferensi pada Maret 1988 di Roma. Dalam konferensi ini lahirlah sebuah Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Konvensi Roma 1988). Tujuan utama Konvensi ini adalah memastikan bahwa diambilnya tindakan yang tepat terhadap orang-orang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap kapal-kapal, termasuk penyitaan kapal dengan kekerasan, tindakan kekerasan terhadap orang-orang di kapal.

Tindakan melanggar hukum dalam Konvensi ini terdapat dalam Pasal 3 yang berbunyi:24

“1. Setiap orang yang melakukan kejahatan jika orang tersebut secara melawan hukum dan dengan sengaja:

a) Merebut atau mengambil kendali atas kapal dengan kekerasan atau ancaman daripadanya atau bentuk intimidasi lainnya; atau

24

Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (Rome, march 1988), Pasal 3

(8)

b) Melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal jika tindakan yang kemungkinan besar akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal itu; atau

c) Menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan pada kapal atau muatannya yang kemungkinan akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal itu; atau

d) Ditempatkan atau dengan sengaja menempatkan dikapal, dengan cara apapun alat-alat yang kemungkinan akan merusak kapal itu atau menyebabkan kerusakan pada kapal itu, atau muatannya yang membahayakan atau mungkin membahayakan navigasi yang aman dari sebuah kapal; atau

e) Menghancurkan atau merusak fasilitas nevigasi lautatau mengganggu jalannaya kegiatan mereka, jika tindakan tersebut akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal; atau

f) Memberikan informasi yang salah, sehingga membahayakan navigasi aman kapal;

g) Melukai atau membunuh seseorang,sehubungan dengan percobaan setiap tindak pidana yang ditetapkan dalm sub ayat (a) sampai (f)”

Dilihat dari segi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan di laut (perompakan) IMO menyerahkannya kepada negara-negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana yang dilakukan. Sehingga para pelaku dapat dihukum sesuai dengan hukum nasional negara mereka. Keterlibatan negara yang diharapkan oleh Imo adalah dengan menetapkan suatu tindakan pembajakan sebagai tindak pidana, mengakuinya sebagai perbuatan melawan hukum dan memiliki sifat pida dengan menetapkan kewajiban untuk melarang dilakukan mencegah, menuntut, dan memidana.

(9)

Dalam Pasal 11 Konvensi Roma 1988 dijelaskan bahwa setiap negara mengupayakan untuk memasukkan kejahatan-kejahatan di laut (perompakan) sebagai kejahatan yang dapat di ekstradisi. Hal ini diharapkan dapat memimalkan lepasnya para perompak dari pemidanaan, akibat dari belum adanya hukum nasional yang menetapkan tindakan pembajakan sebgai tindakan yang melawan hukum di negra yang menangkap para pelaku pembajakan.

C. Perompakan Menurut IMB (International Maritime Bureau)

International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi

piracy-perompakan yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa perompakan hendaknya diartikan sebagai: “act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other

crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof”“tindakan menumpang terhadap kapal dengan tujuan untuk mencuri atau tindakan kejahatan lainnya dengan dorongan untuk menggunakan kekerasan”.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, segala tindakan ataupun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan pembajakan. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi pembajakan yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang mempunyai kepentingan besar terhadap

(10)

keselamatan pelayaran di laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional.

Sejalan dengan UNCLOS 1982 dan IMO, IMB juga menekankan penegakan hukum kepada para pelaku perompakan kapada negara-negara yang memiliki kepentingan dalam hal pemberantasan pembajakan. IMB tidak memiliki aturan secara khusus tentang pemidanaan para perompak, tatapi IMB memiliki Pusat Pelaporan Pembajakan yang bertugas untuk memberikan informasi kepada negara pemilik kapal agar dapat melakukan penegakan hukum terhadap aksi tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum di kawasan hutan hujan tropik kekayaan jenis lumut hati meningkat pada elevasi yang lebih tinggi sedangkan kekayaan jenis lumut sejati justru semakin

yurisprudensi masa lampau atau jalan kebenaran menuju kesadaran Eso Terrys Ihwal status penghambaan (ubudiyah) dihadapan Tuhan, tetapi juga dengan tugas- tugas masa

1) Pengelola adalah hak eksekutif mudharib, dan shahibul mal tidak boleh ikut campur operasional teknis usaha yang dikelolanya. Namun, mazhab Hambali

Sehingga, seharusnya jumlah materialitas atas laporan keuangan Tesco seharusnya lebih kecil dari £150juta karena keuntungan sebelum pajak Tesco lebih kecil dari jumlah yang

Semua kegiatan di dalam proyek pertanian lahan kering dan yang berorientasi agroekosistem menggunakan tanaman pakan ternak, baik rumput maupun leguminosa, sebagai tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeliharaan benih ikan kue dilakukan di hatcheri Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, dengan menggunakan bak- bak

Guru Kristen adalah mereka yang sudah mengalami kelahiran kembali di dalam Kristus, harus menjadi model sebuah kehidupan yang bersandar pada realitas, yang

Tuaian menurut Yesaya 5:1-10 dilakukan dengan: strategi tuaian harus tepat guna (ay. 2 e -8) dan kuantitas tuaian harus yang terbanyak (ay.. Teologi Tuaian semestinya tidak