• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat Kabupaten Dairi dan Desa Bongkaras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat Kabupaten Dairi dan Desa Bongkaras"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Singkat Kabupaten Dairi dan Desa Bongkaras 2.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Dairi.

Dairi merupakan sebuah wilayah kabupaten yang terletak di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data resmi Kabupaten Dairi, pemerintahan ini telah terbentuk sebelum kehadiran kolonial Belanda, yaitu sekitar tahun 1852 - 1942. Adapun struktur pemerintahan saat itu adalah:

1. Raja Ekuten atau Takal Aur, sebagai pemimpin satu suak atau yang terdiri dari beberapa marga.

2. Pertaki, sebagai Pemimpin satu kuta atau kampung setingkat dibawah Raja Ekuten.

3. Sulang Silima, sebagai pembantu Pertaki pada setiap kuta (kampung), yang terdiri dari:

1. Perisangisang 2. Perekurekur 3. Pertulantengah 4. Perpunca Ndiadep 5. Perbetekken

(2)

Sesuai struktur tersebut, maka wilayah Dairi dibagi dalam 5 (lima) Suak, yaitu:

1. Simsim, meliputi wilayah Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe.

2. Keppas, meliputi wilayah Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan Parbuluan.

3. Pegagan, meliputi wilayah Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem.

4. Boang, meliputi wilayah Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Singkil.

5. Kelasen, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas dan Barus. Struktur yang dimaksud dilaksanakan berdasarkan hubungan antar suak. Hubungan tersebut sangat erat kaitannya satu sama lain, hal ini dapat dilihat dari kesamaan kebutuhan aspek sosial budaya dan terjalinnya rantai perekonomian. Kondisi daerah Dairi sebagian besar pengunungan. Mata pencaharian penduduk umumnya memproduksi hasil hutan, seperti rotan, damar, kapur barus, kemenyan dan kayu. Hasil tersebut diperdagangkan melalui pelabuhan Barus, Singkil dan Runding.

Kehadiran kolonial Belanda di Indonesia, sangat mempengaruhi perubahan struktur pemerintahan di Dairi. Perubahan tersebut dapat dilihat dimana Dairi menjadi satu Onder Afdeling yang dipimpin oleh seorang

Controleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang yang

(3)

bagian dari Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Pemerintahan tersebut sudah berlaku ketika adanya perlawanan Sisingamangaraja XII sampai menyerahnya Belanda atas pendudukan Nippon pada tahun 1942.

Setelah perang Sisingamangaraja XII usai (1907), wilayah Dairi dimasukkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke dalam wilayah Keresidenan Tapanuli Utara/Tanah Batak/Bataklanden. Keresidenan Tapanuli Utara berpusat di Tarutung yang dipimpin seorang Residen. Keresidenan Tapanuli Utara dibagi menjadi 5 (lima) onderafdeeling yaitu: onderafdeeling Samosir, Toba (Balige),

Hoogvlakte Van Toba (Siborong-borong), Silindung (Tarutung) dan Dairilanden. Onderafdeeling dipimpin seorang Demang. Wilayah onderafdeeling dibagi atas

beberapa onderdistrik yang dipimpin Asisten Demang. Onderdistrik terdiri dari beberapa negeri (bius) yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri (jaihutan). Negeri terdiri dari beberapa desa (horja) yang dipimpin Kepala Kampung (pengulu). Kampung terdiri dari beberapa dusun (huta) yang dipimpin Raja Huta. Pengulu biasanya dipilih dari salah seorang raja huta. Onderafdeeling Dairilanden berpusat di kota Sidikalang (Sangti, 1967).

Selama penjajahan Belanda, daerah Dairi mengalami pengurangan wilayah. Hal ini dikarenakan tertutupnya hubungan antar wilayah. Adapun wilayah-wilayah yang berkurang dari Dairi antara lain:

1. Tongging yang menjadi wilayah Tanah Karo

(4)

4. Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Gelombang dan Runding menjadi wilayah Aceh Selatan.

Untuk mempermudah Pemerintahan Belanda, maka Belanda membagi daerah Dairi menjadi 3 (tiga) onderdistik antara lain:

1. Onderdistik Van Pakpak yang meliputi 7 kenegerian yakni; Sitelu Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Pegagan Hulu, Parbuluan dan Silalahi Paropo.

2. Onderdistik Van Simsim yang meliputi 6 kenegerian yakni; Kerajaan, Siempat Rube, Mahala Majanggut, Sitellu Tali Urang Jehe, Salak, Ulu Merah dan Salak Pananggalan.

3. Onderdistrik Van Karo Kampung yang meliputi 5 kenegerian yakni; Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik dan Lau Juhar.

Tahun 1942, kolonial Belanda jatuh atas pendudukan Dai Nippon. Pada saat itu hingga Republik Indonesia merdeka, Jepang tidak merubah pemerintahan. Namun Jepang mengganti istilah jabatan pemimpin dengan:

1. Demang menjadi Guntyo

2. Asisten Demang menjadi Huku Guntyo 3. Kepala Negeri menjadi Bun Dantyo 4. Kepala Kampung menjadi Kuntyo

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional di Dairi. Komite tersebut untuk mengatur pemerintahan Dairi sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1945. Untuk

(5)

melengkapi dan menampung aspirasi masyarakat, anggota komite dipilih sebanyak 35 orang yang mewakili setiap daerah Dairi dan setiap Urung (kewedanan). Agar mempermudah kerja komite maka dibentu pembantu Komite Nasionbal . Adapun tugas utama dari Komite Nasional adalah:

1. Menyelesaikan pemilihan Dewan Negeri 2. Menyelesaikan Pemilihan Kepala Kampung 3. Membentuk Pemerintahan dan Badan Perjuangan

Pada tanggal 6 Juli 1947, Agresi Belanda menduduki Sumatera Timur. Hal ini membuat putera Dairi yang berada di sana kembali mengungsi ke Dairi. Demikian juga halnya dengan putera asal Tapanuli. Untuk melancarkan pemerintahan serta menghadapi perang melawan agresi Belanda, maka Residen Tapanuli yang dipimpin oleh Dr. Ferdinan Lumban Tobing selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli menetapkan Tapanuli menjadi 4 (empat) Kabupaten. Pembagian wilayah meliputi; Silindung, Humbang, Toba Samosir dan Dairi. Keputusan tersebut berlaku mulai 1 Oktober 1947, yang kemudian ditetapkan mejadi hari jadi Kabupaten Dairi.

Setelah Dairi ditetapkan menjadi kabupaten, maka diangkat Bupati yang saat itu dipimpin oleh Paulus Manurung. Bupati berkedudukan di Sidikalang dengan memiliki 3 (tiga) wilayah kewedanan antara lain:

(6)

Menjelang Agresi Kedua tanggal 23 Desember 1948, Belanda menduduki Kota Sidikalang dan Tiga lingga. Hal ini membuat Bupati Dairi Paulus Manurung menyerah. Sebagian besar Pegawai Negeri mengungsi dari kota untuk menghindari serangan Belanda. Untuk menyusun strategi melawan agresi Belanda, maka Mayor Slamat Ginting selaku Komandan sektor III Sub teritorium VII menyusun strategi Pemerintahan Militer. Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer, wilayah Dairi dimekarkan dari 6 Kecamatan menjadi 12 Kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Parbuluan, Silalahi Paropo, Pegagan Hilir, Tiga lingga, Gunung Sitember, Tanah Pinem, Silima Pungga-pungga, Siempat Nempu, Kerajaan, Salak.

Tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Dairi kepada Pemerintahan Indonesia. Sejak saat itu, Pemerintahan Militer Dairi kembali dalam Pemerintahan Sipil. Selanjutnya, wilayah dairi kembali dibagi dari 12 kecamatan menjadi 8 kecamatan yakni; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Salak, Kerajaan, Silima Pungga-Pungga, Siempat Nempu, Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Tahun 1950, Kabupaten Dairi kembali masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, yang menyatakan bahwa semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi I dan II harus kembali dilebur. Akibat dari peleburan wilayah, masyarakat Dairi dan tokoh masyarakat meminta kapada pemerintah pusat melalui Propinsi Sumatera Utara untuk menjadikan dairi daerah otonom Tingkat II.

(7)

Tahun 1958, hubungan daerah Dairi terputus dengan Tapanuli Utara (Tarutung). Hal ini dikarenakan terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Melihat hal tersebut serta menjaga Kefakuman pemerintahan, Gubernur KDH Sumatera Utara mengeluarkan Surat Perintah tanggal 28 Agustus 1958 No.565/UPS/1958 dengan menetapkan daerah Dairi menjadi wilayah Administratif yakni Koordinator Shap yang langsung berurusan dengan Propinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, atas dasar pertimbangan efesiensi dan efektivitas pemerintahan, maka pemerintah pusat menyetujui serta menetapkan pembentukan kembali Kabupaten Dairi dengan UU No. 4 Perpu 1964, terhitung mulai 1 Januari 1964, kemudian menjadi UU No.15 Tahun 1964 yang berlaku sekarang.

Tahun 2003, Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. Mulai saat itu hingga sekarang Kabupaten Dairi terbagi dari 15 kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sitinjo, Berampu, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-Pungga, Lae Parira, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga, Gunung Sitember, Pegagan Hilir dan Tanah Pinem. Kecamatan Silima Pungga-Pungga terbagi atas 16 desa, salah satunya adalah Desa Bongkaras yang menjadi lokasi penelitian.

(8)

2.1.2. Sejarah Desa Bongkaras.

Sejarah Desa Bongkaras tidak bisa terlepas dari sejarah marga Cibro selaku pemilih tanah ulayat saat ini. Menurut penuturan seorang keturunan marga Cibro, sekitar 300-an tahun yang lalu, pernah terjadi graha (perang saudara) di wilayah kekuasaan marga Sambo dengan kelompok pendatang yaitu Kerajaan Ujung. Saat peperangan terjadi pihak Sambo meminta bantuan dari seorang laki-laki tangguh dari luar nagari Sambo. Alhasil pihak Sambo memenangkan peperangan. Raja Sambo sangat senang atas bantuan seorang pemuda tersebut sehingga ia tidak menginginkannya pergi dari luar daerahnya. Untuk mencapai keinginannya maka raja berniat menikahkan pemuda tersebut dengan salah satu dari 7 (tujuh) putrinya. Pemuda itupun mengikuti permintaan raja dan memilih putrinya yang paling bungsu dan cantik (tetapi memiliki cacat pada kakinya) untuk dipersunting. Setelah menikah dengan putri raja, laki-laki tersebut berniat pergi ke luar kampung bersama istrinya. Sebelum pergi, istrinya meminta tanah atau hutan (gading meratah) kepada Raja Sambo untuk dijadikan areal perladangan mereka. Raja Sambo dengan senang hati mengabulkan permintaan putrinya. Saat itu, Raja memberikan daerah Tuntung Batu (kini Tuntung Batu telah dimekarkan menjadi empat desa; Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian) atas permintaan putrinya.

Setelah tinggal di daerah pemberian Raja Sambo yaitu Tuntung Batu, putri raja tersebut melahirkan seorang anak dengan kondisi masih terbungkus kulit ari. Melihat kondisi itu suaminya merasa anak itu bukanlah manusia sehingga ia membuangnya ke sungai. Arus sungai yang besar membawa anak tersebut sampai

(9)

ke tengah hutan. Kemudian, seekor rusa menemukan anak itu. Rusa tersebut menjilati dan mengoyak-ngoyak bungkusan itu sampai anak itu mulai kedengaran menangis. Mulai saat itu, rusa tersebut merawat anak itu hingga berumur 7 (tujuh) tahun.

Suatu ketika, penduduk Tuntung Batu berburu rusa. Saat berburu mereka menemukan seekor rusa bersama anak manusia. Oleh karena merasa aneh, mereka membawa rusa dan anak itu ke desa, anak itupun diberi nama Brro (sejenis tanaman seperti tebu). Seiring berjalannya waktu Brro disebut menjadi Cibro. Setelah Cibro tumbuh dewasa, ia menikah dan mempunyai tiga anak. Salah satu anaknya merantau ke daerah Tanah Karo (diyakini menjadi marga Taringan), satu lagi merantau ke daerah Simalungun (diyakini menjadi marga Purba) dan satu lagi tetap tinggal di Tuntung Batu (memakai marga Cibro). Anak Cibro yang tinggal di Tuntung Batu tersebut memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu;

perisang-isang, pertulan tengah, perekur-ekur. Dari mereka inilah keturunan Cibro

berkembang dan tersebar hingga saat ini.

Keturunan marga Cibro mulai tinggal menyebar ke sekitar Tuntung Batu sebagai tanah ulayat mereka (tanah pemberian Raja Sambo). Salah satu wilayahnya adalah Desa Bongkaras yang merupakan salah satu desa hasil pemekaran dari Desa Tuntung Batu (desa induk). Orang yang pertama bermukim di Bongkaras bernama Kunak Cibro yang berasal dari Sapo Komil (salah satu dusun di desa Longkotan).

(10)

Tidak ada warga Bongkaras yang tahu persis asal usul nama desa. Namun menurut penuturun dari marga Cibro bahwa nama bongkaras berasal dari sebuah bongkahan pohon besar yang kerasnya seperti besi dan jumlah pohon seperti itu cukup banyak. Pada zaman dahulu daerah ini tidak dikelola oleh keluarga marga Cibro karena dianggap tidak produktif. Ketika kehadiran kelompok pendatang yang berasal dari Simalungun (marga Purba), pihak marga Cibro memberikan izin untuk di jadikan tempat parsopoan (gubuk) dan pargadong-gadongan (perladangan). Seiring berjalannya waktu, kehadiran kelompok pendatang mulai banyak menghuni Desa Bongkaras. Hingga kondisi saat ini, mayoritas penduduk berasal dari kelompok pendatang.

2.2. Keadaan Alam dan Batas Wilayah.

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Desa Bongkaras merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Luas keseluruhan desa ini 760 Ha dengan batas administrasi sebagai berikut:

- sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bonian

- sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sapo Komil (Longkotan) - sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tuntung Batu

(11)

Desa Bongkaras terdiri dari 3 (tiga) dusun yakni; Dusun I dan II berada di Bongkaras I, dusun III berada di Bongkaras II. Masing-masing dusun dikepalai oleh seorang Kepala Dusun yang diangkat oleh Kepala Desa. Saat ini Kepala Desa Bongkaras adalah Marijon Manik.

Keadaan alam Desa Bongkaras terletak diantara 98°7´30¨ BT dan 2°48´30¨ LU, dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Secara umum, Desa Bongkaras berbentuk perbukitan. Sebagain daerah berbentuk dataran dengan permukaan yang bergelombang. Temperatur udara di desa tersebut 56 sampai dengan 65 C dan kelembapan anatara 70-75%. Luas keseluruhan desa ±760 Ha dengan perincian penggunaan sebagai berikut; persawahan 130 Ha, pemukiman serta perkarangannya 50 Ha, perladangan 200 Ha dan hutan 380 Ha.

Wilayah Desa Bongkaras dikelilingi oleh 7 (tujuh) daerah perbukitan (harangan/tombak) yaitu; harangan Sikalombun, harangan Batu Kapur,

harangan Salapsa, harangan Panapal, harangan Simantas, harangan

Parudang-udangan, harangan Barisan Manik. Pada kaki bukit (harangan) tersebut masyarakat memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman tahunan seperti gambir dan tanaman muda seperti nilam. Daerah dataran rendah desa tersebut dijadikan sebagai tempat pemukiman dan bercocok tanam. Keadaan tanah di desa ini sangat subur dan kualitas air sangat baik. Hal ini dapat terlihat dengan adanya tanaman yang bervariasi seperti padi, nilam, cabe, jagung, kacang-kacangan dan budidaya ikan mas.

(12)

Wilayah Desa Bongkaras yang berbukit tidak terlepas dari bentuk keseluruhan Kabupaten Dairi. Dairi merupakan deretan panjang pegunungan Bukit Barisan yang terbentang sepanjang pulau Sumatera. Di punggung Bukit Barisan tersebut letak Kabupaten Dairi, sehingga topografi dan permukaan tanah terlihat berbukit-bukit, bergunung, berlembah, dan hanya sedikit yang mendatar.

Berikut ini merupkan gambar lokasi Desa Bongkaras:

Foto 17 Foto 28

2.3. Pola Pemukiman dan Tata Lahan.

Desa Bongkaras merupakan desa paling akhir yang dapat ditemui di arah Selatan dari Kecamatan Silima Pungga-pungga. Jarak antara kantor camat dengan Desa Bongkaras ± 4 km dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit menggunakan bus atau sepeda motor. Sebelum menemukan desa ini, jika perjalanan dimulai dari kantor Camat yang terletak di Kelurahan Parongil, maka kelompok pemukiman pertama yang dijumpai setelah ‘simpang tiga’ adalah pemukiman Desa Longkotan (bagian dusun I Desa Longkotan). Perjalanan selanjutnya akan melewati jembatan

Lae Song-sang (sungai) sebagai batas wilayah Desa Longkotan dengan Desa

Tungtung Batu. Kemudian akan ditemui pemukiman penduduk Desa Tuntung

7

(13)

Batu. Selanjutnya akan ditemui Gereja HKBP sebelah kiri jalan dan sekitar 10 meter setelah gereja disisi kanan akan ditemui Masjid, maka daerah itu adalah tanah Bongkaras.

Ketika memasuki Desa Bongkaras, beberapa rumah pertama yang dijumpai terlihat permanen, sebahagian lagi semi permanen dengan lantai semen, dinding setengah batu, setengah papan. Umumnya bangunan rumah cenderung semi permanen. Kebanyakan rumah penduduk dicat berwarna terang dan beratap seng yang sudah berwarna kecoklatan. Hampir seluruh rumah penduduk memiliki perkarangan (halaman) yang luas. Perkarangan tersebut dijadikan sebagai tempat menjemur hasil tani seperti padi, nilam serta sebagai tempat saat acara pesta.

Lokasi pemukiman di desa ini mengelompok pada dua daerah, yaitu dusun bongkaras I dan bongkaras II. Saat ini dusun Bongkaras I dimekarkan menjadi 3 (dua) dusun yaitu dusun I dan II. Sedangkan Bongkaras II menjadi dusun III. Daerah tersebut tidak mempunyai nama khusus untuk tiap dusun.

Begitu memasuki desa ini akan terlihat rumah-rumah penduduk berbaris di kanan dan kiri jalan utama desa. Hanya beberapa rumah yang berlapis dua searah rumah pertama. Beberapa rumah penduduk dibangun di lokasi kebun mereka, sehingga rumah terlihat dikelilingi oleh tanaman kopi, durian, kelapa dan beberapa pisang. Dibeberapa rumah juga memiliki kebun tanaman nilam, kacang-kacangan. Selain itu, rumah penduduk yang beragama Kristen umumnya memiliki kandang ternak babi di belakang perkarangannya sedangkan yang beragama Islam

(14)

Sekitar 300 meter dari gereja HKBP akan dijumpai sebuah persimpangan. Jika ke kiri adalah arah perumahan penduduk dan jalan tanah menuju persawahan dan perladangan. Apabila ke arah kanan akan menuju perumahan penduduk bongkaras II. Sekitar 200 meter ke arah kanan, akan menemukan arah jalan berbelok ke kiri menurun. akan ada sebuah jembatan yang menghubungkan dusun bongkaras-2. Setelah melewati jembatan, akan terlihat areal persawahan penduduk bongkaras. Perjalanan berikutnya sedikit mendaki untuk menuju rumah penduduk dusun 3 bongkaras. Pemukiman dusun 3 berlapis-lapis, beberapa bagian rumah-rumah penduduk terlihat berlapis tiga dengan rumah-rumah yang cenderung tergolong semi permanen dan rata-rata tidak memadai. Pada bagian ujung desa terdapat sebuah SD Negeri dengan halaman yang cukup luas. Dibelakang sekolah tersebut terdapat areal perladangan dan harangan (hutan). Berikut ini gambar pola pemukiman di Desa Bongkaras:

Foto 39 Foto 410

Foto 511 Foto 612

9

(15)

2.4. Keadaan Penduduk.

Penduduk Desa Bongkaras dihuni oleh beberapa etnis yaitu; etnis Pakpak, Batak Toba, Simalungun dan Karo. Etnis Pakpak merupakan penduduk asli Desa Bongkaras. Sementara etnis yang lain merupakan kelompok pendatang. Saat ini penduduk Desa Bongkaras mayoritas berasal dari etnis Batak Toba.

Komposisi penduduk Desa Bongkaras menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

TABEL 2.4.1

KOMPOSISI BERDASARKAN JENIS KELAMIN Dusun Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

Laki-laki Perempuan

Dusun I 162 143 305 32,72532

Dusun II 129 124 253 27,14592

Dusun III 187 187 374 40,12876

Jumlah 478 454 932 100

Sumber: Data Statistik Desa Bongkaras Tahun 2007, dikelola penulis

Berdasarkan tabel I diatas, terlihat perbandingan jumlah jenis kelamin laki-laki dengan perempuan tidak jauh berbeda. Jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 478 jiwa sedangkan jumlah perempuan sebanyak 454 jiwa. Dari setiap dusun juga menunjukkan jumlah yang sebanding. Hal ini terlihat bahwa di Dusun I, jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 162 jiwa, perempuan sebanyak 143 jiwa. Dusun II, jumlah laki-laki sebanyak 129 jiwa, perempuan sebanyak 124 jiwa. Sementara di Dusun III jumlah laki-laki sebanyak 187 jiwa sedangkan

(16)

TABEL 2.4.2

KOMPOSISI BERDASARKAN KEPALA KELUARGA

Dusun KK Persentase (%)

Dusun I 68 33,00

Dusun II 55 27,00

Dusun III 81 40,00

Jumlah 204 100

Sumber: Data Statistik Desa Bongkaras Tahun 2007, dikelola penulis.

Sementara itu, berdasarkan tabel II diatas terlihat komposisi penduduk berdasarkan Kepala Keluarga (KK) di Desa Bongkaras terdapat sebanyak 284 KK. Jika dilihat berdasarkan dusun, lebih banyak penduduk yang bermukim di Dusun III dengan jumlah 81 KK. Sedangkan di Dusun I sebanyak 68 KK dan Dusun II sebanyak 55 KK.

TABEL 2.4.3

KOMPOSISI BERDASARKAN PEKERJAAN

Status Dusun I Dusun II Dusun III Jumlah Persentase (%)

Petani 145 116 168 429 47,00 PNS 4 2 2 8 1,00 Pgw Swasta 12 5 10 27 3,00 Wiraswasta 9 18 22 49 5,00 Pensiunan - 1 1 2 00,00 Tidak bekerja 125 102 178 405 44,00 Jumlah Total 920 100

Sumber: Data Statistik Desa Bongkaras Tahun 2007, dikelola penulis

Berdasarkan Tabel III diatas, umumnya penduduk Desa Bongkaras bekerja sebagai petani dengan berbagai jenis tanaman seperti; padi, jagung, kopi, nilam, gambir, cabai dan sayur-sayuran. Produk unggulan petani di desa ini adalah nilam. Saat ini, hampir setiap kepala keluarga memiliki tanaman nilam. Hal ini

(17)

dikarenakan harga jual nilam sangat tinggi, harga 1Kg (kilogram) nilam saat ini mencapai Rp. 950.000,-. Pasaran nilam paling tinggi pernah mencapai Rp. 1.200.000,-/Kg dan harga yang paling rendah mencapai Rp. 250.000,-. Umumnya nilam ditanam di pinggir hutan, sehingga warga memperluas pembukaan kawasan hutan lindung. Hal ini dikarenakan nilam sangat subur dan banyak mengandung minyak jika ditanami di areal bukaan baru. Selain itu, warga lebih mudah mencari bahan bakar untuk proses penyulingan.

Sebagaian penduduk menjual hasil taninya kepada toke (pengumpul) yang datang membeli ke desa. Selain itu, beberapa warga juga menjual ke pekan (pasar) yang diadakan setiap hari rabu selama satu minggu sekali di Parongil (ibukota kecamatan). Biasanya saat hari pekan, warga bongkaras banyak ke warung kopi atau warung lainnya sampai pertengahan hari. Setelah itu, mereka melanjutkan pekerjaannya di ladang.

Selain bertani, masyarakat bongkaras juga bertenak itik, ayam dan ikan mas sebagai penghasilan tambahan. Dahulunya Desa Bongkaras terkenal dengan penghasil ikan mas yang dibudidaya secara tradisional yang disebut mina padi. Setelah program subsidi bibit padi unggul dari pemerintah berjalan, budidaya ikan mas dibuat pada lokasi yang berbeda dari lahan padi. Hal ini dikarenakan bibit padi unggul tersebut dapat dipanen 2 (dua) kali dalam setahun, sementara ikan yang disemai saat menanam padi tersebut belum dapat dipanen. Saat ini hanya beberapa keluarga yang masih membudidayakan ikan mas.

(18)

dapat menjual 90-100 kaleng tuak ke luar desa. Harga tuak jika dijual di desa Rp. 35.000,-/kaleng sedangkan jika dijual ke luar desa seperti ke sidikalang (ibukota kabupaten) bisa mencapai Rp. 45. 000,-/kaleng. Sebagian penduduk juga bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil seperti guru sekolah dasar dan pegawai kecamatan. Selain itu, penduduk juga bekerja sebagai pegawai swasta, supir, pedagang dengan membuka warung-warung yang menjual bahan pokok.

Berikut ini merupakan gambar beberapa pekerjaan warga:

Foto 713 Foto 814

Foto 915 Foto 1016

13

Foto warga sedang memanen padi 14

Foto warga sedang menyuling nilam 15

(19)

TABEL 2.4.4

KOMPOSISI BERDASARKAN USIA

Usia (thn) Dusun I Dusun II Dusun III Jumlah Persentase (%)

0 – 5 11 15 36 62 7,51 6 – 10 21 16 32 69 8,36 11 – 15 21 26 51 98 11,87 16 – 20 23 32 41 96 11,63 21 – 25 25 31 50 106 12,84 26 – 30 19 38 28 85 10,30 31 – 35 15 11 25 51 6,18 36 – 40 14 9 17 40 4,84 41 – 45 7 12 16 35 4,24 46 – 50 8 15 25 48 5,82 51 – 55 14 16 15 45 5,45 56 – 60 11 15 15 41 4,96 61 – 65 2 5 9 16 1,93 66 – 70 5 4 6 15 1,81 71 – 75 4 3 7 14 1,69 76 – 80 3 - - 3 0,36 81 - 85 - 1 - 1 0,12 Jumlah 203 249 373 825 100

Sumber: Data Statistik Desa Bongkaras Tahun 2007, dikelola penulis

Berdasarkan tabel IV diatas terlihat usia produktif di desa Bongkaras yaitu antara usia 15 – 45 tahun. Selain itu, data tersebut menunjukkan bahwa terdapat penduduk yang masih usia sekolah dan lanjut usia. Usia produktif tersebut, memungkinkan para petani dapat mengelola lahan pertanian mereka. Disamping itu, usia produktif yang masih sekolah dapat membantu orang tua mereka di ladang atau di sawah setelah mereka pulang dari sekolah.

(20)

TABEL 2.4.5

KOMPOSISI BERDASARKAN PENDIDIKAN No Tingkat Pendidikan Dusun I Dusun II Dusun III Jumlah Persentase (%) 1 Tidak Sekolah - - 2 2 0,25 2 SD 120 88 123 331 41,37 3 SMP 72 53 77 202 25,25 4 SMA 53 67 77 197 24,63 5 Tidak Tamat SD 11 7 32 50 6,25 6 Perguruan Tinggi 8 4 6 18 2,25

Sumber: Data Statistik Desa Bongkaras Tahun 2007, dikelola penulis

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap manusia. Sehingga setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Jika dilihat tabel V diatas, komposisi penduduk desa Bongkaras berdasarkan tingkat pendidikan dapat dihitung dari usia produktif masuk sekolah hingga menyelesaikan jejang Sarjana sebagai berikut; tidak sekolah sebanyak 2 jiwa, SD sebanyak 331 jiwa, SLTP sebanyak 202 jiwa, SLTA sebanyak 197 jiwa, ditambah yang telah sampai jenjang Perguruan Tinggi (strata satu–S1, D-III, D-II, D-I) sebanyak 18 orang. Keterbatasan ekonomi keluarga merupakan salah satu penyebab tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Namun pada saat ini, tingkat pendidikan di Desa Bongkaras sudah lebih maju dari pada tahun-tahun sebelumnya.

(21)

TABEL 2.4.6

JUMLAH MURID SD MENURUT KELAS

Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase (%)

I 7 10 17 13,30 II 11 7 18 14,06 III 13 8 21 16,40 IV 12 14 26 20,31 V 11 17 28 21,88 VI 10 8 18 14,06 Jumlah 64 64 128 100

Sumber: Data Statistik Desa Bongkaras Tahun 2007, dikelola penulis

Kemajuan tingkat pendidikan di Desa Bongkaras dapat dilihat lebih rinci dari semua anak berusia sekolah dasar. Berdasarkan tabel VI diatas, jumlah anak sekolah dasar kelas I sebanyak 17 jiwa, kelas II sebanyak 18 jiwa, kelas III sebanyak 21, kelas IV berjumlah 26 jiwa, kelas V berjumlah 28 jiwa dan kelas VI sebanyak 18 jiwa. Namun untuk data anak yang mengikuti pendidikan SLTP dan SLTA tidak dapat dicantumkan. Hal tersebut dikarenakan gedung SLTP dan SLTA di Desa Bongkaras tidak ada sementara anak yang melanjutkan kejenjang pendidikan tersebut harus ke luar desa seperti di ibukota kecamatan atau kabupaten.

TABEL 2.4.7

KOMPOSISI BERDASARKAN AGAMA

No Agama Dusun I Dusun II Dusun III Jumlah Persentase (%)

1 K. Protestan 35 37 57 129 58,37

2 K. Katolik 13 9 28 50 22,63

(22)

Pada tabel VII dapat dilihat bahwa penduduk di dusun I, dusun II, dan dusun III sudah beragama. Agama yang dianut penduduk desa terrsebut yakni; Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam. Bila dilihat dari tabel tersebut jumlah penganut agama terbesar pada tiga dusun adalah Kristen Protestan dengan jumlah 129 KK disusul oleh Kristen Katolik yang berjumlah 50 KK dan Islam sebanyak 42 KK.

Banyaknya penganut agama kristen di Desa Bongkaras, umumnya di Kabupaten Dairi, tidak terlepas dari peranserta missionaris asal Jerman yaitu R. Brinkschmit dan N. Fuchs. Mereka datang ke Sidikalang pada tahun 1908 dalam rangka memperluas daerah kerja zending. Pada pertengahan tahun 1920-an kekristenan sudah berkembang di Dairi, bahkan raja-raja di Dairi pada waktu itu hampir semuanya menerima kekristenan. Sebelum masuknya agama di Dairi, orang Pakpak sebagai penduduk asli saat itu masih memeluk agama suku atau animisme (Purba, 1998; 36-37).

TABEL 2.4.8

KOMPOSISI BERDASARKAN ETNIS

No Etnis Dusun I Dusun II Dusun III Jumlah Persentase (%) 1 Toba 146 131 233 510 54,66 2 Pakpak 121 68 90 279 30,00 3 Simalungun 21 47 55 123 13,09 4 Karo 5 7 3 15 1,60 5 Jawa 6 - - 6 0,64 Total 933 100

(23)

Secara historis, penduduk Desa Bongkaras, umumnya Dairi dihuni oleh etnik Pakpak. Pada tahun 1930-an proses migrasi ke desa tersebut mulai berlangsung. Hal tersebut membuat penduduk Desa Bongkaras dihuni oleh berbagai etnik antara lain; Etnik Pakpak, Toba, Simalungun, Karo dan Jawa. Berdasarkan tabel VIII di atas, penduduk Desa Bongkaras saat ini didonimasi oleh pendatang yang berasal dari etnik Toba. Jika dirinci berdasarkan jumlah, maka etnik Toba sebanyak 510 jiwa, umumnya bermukim di dusun III. Selanjutnya etnik Pakpak sebanyak 279 jiwa, setelah itu etnik Simalungun sebanyak 123 jiwa, etnik Karo sebanyak 15 jiwa dan etnik Jawa sebanyak 6 jiwa. Dominasi oleh kelompok pendatang tersebut membuat penguasaan atas tanah juga banyak beralih kepada kelompok pendatang.

2.5. Sistem Organisasi Sosial.

Penduduk Desa Bongkaras umumnya dikategorikan etnis Batak dengan sub-etnis yang beragam, antara lain; Toba, Pakpak, Simalungun, Karo. Sistem kekerabatan penduduk Bongkaras mengikuti garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Dalam berkomunikasi, biasanya masyarakat bongkaras memakai bahasa Batak Toba. Hal ini dikarenakan penduduk bongkaras mayoritas berasal dari etnik Toba.

Untuk meningkatkan komunikasi atau silahturahmi, warga bongkaras membentuk atau mengikuti organisasi. Terdapat tiga jenis organisasi sosial yang

(24)

beberapa aliran) dan Katholik. Masing-masing agama tersebut memiliki struktur dan lembaga, serta organisasi pemuda. Adapun rumah ibadah di Bongkaras terdapat 4 (empat) gereja dan 1 (satu) mesjid.

Organisasi sosial kedua adalah lembaga adat. Lembaga adat yang dimaksud adalah suatu wadah berinteraksi yang berfungsi sebagai tatanan pelaksanaan mekanisme kebudayaan dan penyelenggaraan adat istiadat seperti acara perkawinan, kematian dan lain-lain. Lembaga adat yang terdapat dibongkaras antara lain; Sulang Silima Marga Cibro, Punguan Marga. Lembaga Adat Sulang Silima Marga Cibro atau disingkat dengan LASMO merupakan lembaga adat pakpak yang dimiliki setiap klen atau marga. LASMO khusus untuk keturunan marga Cibro dan kerabat dari marga Cibro yaitu marga Sambo

(kula-kula) dan marga Boang Manalu (anak berru). Sementara itu, Punguan Marga

merupakan perkumpulan yang dibentuk oleh setiap marga yang berasal dari etnik Batak toba, Simalungun dan kerabat dari marga pembentuk. Misalnya, Punguan

Marga Sinaga, Punguan Siraja Oloan, Punguan Silalahi Sabungan.

Organiasasi sosial ketiga adalah lembaga umum. Lembaga umum yang dimaksud adalah sebuah wadah atau perkumpulan yang mengurusi kepentingan umum, seperti STM (Serikat Tolong Menolong), Kelompok Tani, Perangkat Desa, Karang Taruna. Lembaga umum pertama yaitu STM sedikit berbeda dengan lembaga umum lainnya. Hal ini dapat terlihat dari adanya pembatas dengan perbedaan satu sama lain misalnya STM yang beragama Islam berbeda dengan STM yang beragama Kristen (Protestan dan Katholik). Lembaga umum diatas memiliki struktur dan kelembagaan yang diakui oleh masyarakat Desa Bongkaras.

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok tani pada dasarnya adalah organisasi baik sudah berbadan hukum maupun belum yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani (Mutmainah, 2014). Sebagian

All New Sportage EX dilengkapi dengan lampu LED Posotioning Lamp yang hanya di miliki oleh mobil kelas eropa.. di padu dengan list crhome menambah kegagahan di lihat

(1) Setiap Tenaga Kependidikan yang mengetahui telah terjadinya pelanggaran Peraturan Disiplin memiliki hak untuk melaporkan kepada Dekan, Ketua Jurusan atau Kepala

Kritik intern adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup layak untuk dipercaya kebenarannya. 22 Dalam kritik sumber apabila

Pendidikan multikultural mengajarkan satu kesetaraan ketuhanan, atau dalam bahasa yang lain banyak agama tapi satu Tuhan. Bila demikian berarti pendidikan model

Hal ini dapat disimpulkan bahwa Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Metode Kontrasepsi Dengan Pemilihan Kontrasepsi Selama Menyusui di BPS Umu Hani Kasongan

Sebagai contoh, sebuah visi rumah sakit pemerintah yang salah satu kalimatnya menyatakan bahwa di masa mendatang rumah sakit ini akan menjadi lembaga pelayanan

Pengertian perjanjian kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijke Wetbook) terkesan hanya sepihak saja, yaitu hanya buruh/pekerja yang mengikatkan diri