• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pesantren

Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Tuanaya et al, 2007). Istilah pesantren sering kali disebut dengan pondok, atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Depag RI (2003) mendefinisikan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan keagamaan yang berperan besar dalam pengembangan masyarakat yang meliputi bidang perekonomian dan sosial budaya. Fungsi pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan saja, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama (Mastuhu, 1994).

Pondok pesantren menurut Badruzzaman (2009) merupakan salah satu lembaga yang mulai concern terhadap permasalahan ekonomi bangsa ini, mulai menanamkan jiwa kewirausahaan untuk santri-santrinya. Fungsi utama yang diemban setiap pondok pesantren menekankan pada tiga fungsi yaitu; sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (Center of Excellence), sebagai lembaga yang mencetak sumberdaya manusia yang kompeten (Human Resource), dan sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayan pada masyarakat (Agent of Development).

Tipologi pesantren secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu pesantren salafi (tradisional) dan pesantren khalafi (modern). Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Selain penerapan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan1, bandongan2, dan sistem persekolahan terus

1) Metode sorogan merupakan metode atau cara penyampaian ajaran kitab kuning, dimana santri menyodorkan (sorog) kitab yang akan dibahas dan ustadz (guru) mendengarkan santri tersebut

(2)

dikembangkan dengan mengaplikasikan sistem pendidikan keterampilan (Depag RI, 2003).

Pengelompokkan pesantren tersebut kemudian dirinci Daulay (2007) ke dalam pola pesantren yang terdiri dari lima pola. Pesantren yang menerapkan pola I dan II merupakan pola pesantren salafi. Sedangkan pola III, IV, dan V termasuk pola pesantren khalafi. Pesantren pola I merupakan pesantren yang masih terikat kuat dengan dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren pola II tidak jauh berbeda dengan pesantren pola I, hanya saja dalam pola II sistem yang digunakan adalah sistem klasikal, pengetahuan seseorang tidak diukur dari sejumlah kitab-kitab yang telah dipelajarinya. Pesantren yang menerapkan pola III, IV, dan V merupakan jenis pesantren khalafi. Pesantren pola III adalah pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang berciri Islam seperti MA (Madrasah Aliyah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Pesantren pola IV, pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu-ilmu agama dan bentuk pendidikannya adalah nonformal. Pesantren pola V, merupakan pesantren yang mengintegrasikan sistem pendidikan pada pesantren pola III dan pola IV.

2.1.2 Pendidikan Wirausaha Agribisnis di Pesantren

Pemaknaan pendidikan pesantren terdahulu hanya sebagai pusat pendidikan Islam yang bertempat langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Akan tetapi, dari tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren” (Zuhairini, 1997). Dalam perkembangannya, pesantren banyak mengalami perubahan terutama pada sistem pendidikannya. Proses modernisasi pesantren adalah upaya dalam menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Pondok pesantren saat ini mempunyai kecenderungan baru

kemudian beliau (guru) akan memberikan komentar dan bimbingan yang dianggap perlu oleh santri. (Depag RI, 2003).

2) Metode bandongan atau wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning dimana seorang

ustadz, kyai membacakan dan menjelaskan isi ajaran kitab kuning, sementara santri

(3)

dalam rangka renovasi sistem pendidikan yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan dapat dilihat di pesantren modern antara lain adanya metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program, kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 2006).

Salah satu bentuk renovasi pendidikan di pesantren adalah diterapkannya pendidikan yang mengajarkan peserta didik (santri) tentang keterampilan dan berwirausaha. Pendidikan tersebut di pesantren dikenal dengan pendidikan wirausaha (kejuruan). Pendidikan keterampilan kejuruan (wirausaha) dikembangkan di pondok pesantren untuk kepentingan dan kebutuhan para santri sebagai modal menjadi pengusaha yang mandiri, berkompeten, dan berkepribadian Islam (Depag RI, 2003). Sedangkan menurut Sudrajat (2001) pendidikan wirausaha bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan keterampilan sebagai wirausaha. Tujuan pendidikan wirausaha tersebut selaras dengan tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu (1994), yaitu untuk menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian muslim, yakni kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti halnya seorang Rasul, mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam keyakinan, menyebarkan agama Islam ke tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.

Pendidikan wirausaha terintegrasi dalam proses pembelajaran. Artinya, pendidikan wirausaha merupakan penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan kedalam pembelajaran sehingga hasil yang diperoleh adalah kesadaran akan pentingnya nilai, terbentuknya karakter wirausaha, dan pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran wirausaha, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari, dan menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan serta menjadikannya perilaku (Sudrajat, 2011).

(4)

Pendidikan wirausaha yang diterapkan di pesantren lebih banyak mengarahkan pada bidang agribisnis. Karena lokasi pesantren yang mayoritas berada di daerah pedesaan. Sebagaimana yang disebutkan (Depag RI, 2003), mengenai ketersediaan lahan yang menjadi modal dalam penerapan pendidikan wirausaha agribisnis dan adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan perekonomian pedesaan melalui hasil-hasil pertaniannya. Pendidikan wirausaha agribisnis tersebut meliputi pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan.

Jenis pendidikan pesantren yang menitikberatkan pada aspek keterampilan merupakan jenis pendidikan nonformal. Makna pendidikan pesantren yang nonformal oleh Mastuhu (1994) merupakan komplemen dan suplemen pada keterampilan dan kemampuan yang telah dimiliki oleh anak didik agar lebih mampu melayani kebutuhan yang semakin meningkat sehubungan dengan semakin kompleksitasnya tantangan pekerjaan yang dihadapinya. Dari makna pendidikan pesantren tersebut, maka pendidikan pesantren nonformal lebih mengacu pada sistem pendidikan orang dewasa. Sistem pendidikan ini didefinisikan Darkenwald dan Merriam (1982) dalam Mugniesyah (2006) bukan hanya sebagai pendidikan dewasa yang menyiapkan orang untuk hidup, tetapi lebih kepada membantu orang dewasa untuk hidup lebih berhasil. Karenanya pendidikan orang dewasa dimaksudkan untuk membantu orang dewasa dalam meningkatkan kompetensi.

Pendidikan orang dewasa menurut Torrens Valley Institute (1997) dalam Mugniesyah (2006) mempunyai tujuh prinsip dalam proses belajar mengajar yaitu

Pertama, prinsip belajar aktif yang merupakan prinsip belajar mengajar dimana

peserta didik akan belajar lebih cepat dan efektif jika mereka dilibatkan dalam proses belajar secara efektif atau “learning by doing”. Kedua, prinsip materi belajar bermakna, peserta didik akan efektif jika dapat menghubungkan materi pelajaran yang dipelajarinya dengan pengetahuan yang mereka miliki. Ketiga, prinsip belajar multi-indera, yaitu metode belajar yang akan efektif jika menggunakan dua atau lebih indera. Keempat, prinsip kesan pertama dan terakhir, kecenderungan peserta didik dalam mengingat sesuatu yang mereka pelajari adalah pada waktu pertama dan terakhir pengajaran. Kelima, prinsip praktek dan

(5)

penguatan, proses belajar mengajar akan efektif jika penerapan keterampilan dan pengetahuan dilakukan secara lebih sering. Keenam, prinsip umpan balik, belajar efektif akan terdorong jika pendidik dan peserta didik (pembelajar) berbagi umpan balik satu sama lain. Prinsip terakhir adalah prinsip imbalan (reward), pemberian imbalan kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar.

2.1.3 Santri dan Karakteristiknya

Santri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) adalah orang yang mendalami agama Islam di pondok pesantren. Akan tetapi, istilah santri sebenarnya tidak hanya terbatas pada murid yang belajar di sebuah pondok pesantren. Istilah santri menurut Mas’ud (2007) memiliki arti luas dan fleksibel, yang berarti tidak terbatas pada orang yang telah tinggal di pesantren, namun juga pada orang yang cenderung diidentifikasikan sebagai santri, dimana kepercayaan terhadap Islam adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Definisi santri Mas’ud (2007) tidak jauh berbeda dengan definisi Purwoko (2007) yang mengacu pada teori Geertz (1983), santri dalam masyarakat Jawa mencerminkan kehidupan keberagaman sebagian besar orang Jawa yang taat kepada ajaran Islam. Santri sebagai kategori masyarakat tidak dapat dilepaskan dari asal usul istilahnya yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu shastri, yang berarti orang yang memahami kitab suci agama Hindu (Geerz, 1960).

Santri dalam tradisi pesantren oleh Madjid (1990) dibedakan menjadi dua, yaitu santri mukim3 dan santri kalong4. Santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pondok pesantren, sedangkan santri kalong merupakan santri yang berasal dari sekitar pesantren, yang biasanya tidak menetap di pondok pesantren. Perbedaan pembinaan santri mukim dengan santri kalong, hanya terletak pada tempat tinggal dan waktu dalam kegiatan di pondok pesantren. Santri mukim bertempat tinggal di pondok pesantren dan mempunyai waktu di pondok 24 jam. Sedangkan santri kalong berada di pondok ketika terjadi proses pembelajaran.

3) Santri mukim yang dimaksudkan adalah para santri yang datang dari tempat yang jauh sehingga santri tersebut tinggal dan meneta di pondok (asrama) pesantren. (Depag RI, 2003). 4) Sedangkan santri kalong merupakan santri yang berasal dari wilayah sekitar pesantren

sehingga mereka tidak perlu tinggal dan menetap di pondok, mereka nglaju (bolak-balik) dari rumahnya masing-masing. (Ibid).

(6)

Karakteristik santri menurut Maman (2008) merupakan latar belakang sosial ekonomi serta atribut yang inheren dalam diri santri yang meliputi: (a) umur, (b) pendidikan formal, (c) pekerjaan orang tua, (d) pelatihan keterampilan bisnis sebelum masuk pesantren, dan (e) lama tinggal di pesantren. Sedangkan karakteristik santri menurut Purwoko (2007) meliputi: jenis pesantren, usia, jenis kelamin, latar belakang keluarga, lama pendidikan di pondok, motivasi santri, lingkungan pembelajaran pondok, intensitas hubungan kyai dan santri, intensitas membaca, pendidikan sebelum mondok, asal daerah, dan suku bangsa.

2.1.4 Kompetensi Wirausaha Santri pada Usaha Sapi Potong

Kompetensi menurut Maman (2005) merupakan sebuah kontinum antara pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan keahlian dengan karakterisrik dasar seseorang, seperti motif, nilai, sikap, dan konsep diri yang akan mendorong kinerja. Kata kompetensi secara umum oleh Suparno (2001) diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “kemampuan dalam keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan”.

Kompetensi menurut Robbins (1996) dalam Muatip (2008) terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: kompetensi teknis, antarpribadi (sosial), dan pemecahan masalah terkait usahanya (manajerial). Kompetensi teknis diperlukan karena perkembangan teknologi yang semakin cepat. Kompetensi antarpribadi (sosial) berguna untuk memperbaiki interaksi, komunikasi, dan menghargai keanekaragaman budaya. Kompetensi manajerial bertujuan mempertajam logika, penalaran, dan keterampilan mendefinisikan masalah, maupun menilai sebab akibat, mengembangkan alternatif, menganalisis alternatif, dan memilih pemecahan.

Konsep wirausaha pertama ditemukan oleh ekonom Perancis Jean Baptista Say (1767 – 1832) yang terkenal dengan hukum ekonominya yaitu hukum Say

“the supply of goods is always matched by the demand for them”. Say memberi

arti entrepreuner sebagai usaha yang selalu memindahkan segala sumberdaya ekonomi ke wilayah (usaha ekonomi) yang lebih produktif dan berpenghasilan lebih besar (Widodo, 2005). Sedangkan wirausaha menurut Riyanti (2003) menekankan pada kemampuan mengambil risiko pribadi, bertanggung jawab

(7)

penuh atas setiap tindakannya, dan kreatif dalam menerapkan atau menggunakan potensinya.

Kompetensi wirausaha menurut Maman (2008) merupakan nilai, motif, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang mendorong seseorang untuk berwirausaha. Kompetensi wirausaha juga diartikan sebagai sejumlah unsur yang pada intinya terbagi menjadi dua dimensi, yaitu hardskill dan softskill. Kompetensi wirausaha santri menurut Maman (2008) merupakan kemampuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan usaha serta kecenderungan yang bersifat motivasional untuk menjadi pengusaha. Kompetensi wirausaha yang dimiliki santri oleh Maman (2008) terdiri dari pengetahuan, keterampilan, minat, dan sikap mental berwirausaha. Unsur pengetahuan dan keterampilan terdiri dari: pengetahuan tentang peran berhitung dalam perencanaan usaha, kemampuan berkomunikasi, mengelola sumberdaya dan waktu, bekerja dalam tim (team

work), kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan, serta

keterampilan dasar-dasar manajerial untuk merencanakan produksi, segmen pasar, dan melakukan pemasaran produk.

Peranan seseorang dalam menjalankan usaha ternak menurut Mosher (1981) dalam Muatip (2008) ada dua peranan, yaitu sebagai juru tani ternak

(cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager). Seseorang dituntut

memiliki kompetensi wirausaha yang meliputi kompetensi teknis dan kompetensi manajerial. Kompetensi-kompetensi ini diperlukan agar seseorang yang berwirausaha ternak mampu menjalankan perannya sebagai juru tani ternak yang handal dan manajer yang mampu memimpin usahanya secara baik (Muatip, 2008).

Agribisnis pada mulanya diartikan secara sempit, yaitu menyangkut subsektor masukan (input) dan subsektor produksi (on farm). Pada perkembangan selanjutnya agribisnis didefinisikan secara luas dan tidak hanya menyangkut subsektor masukan dan produksi tetapi juga menyangkut subsektor pascaproduksi, meliputi pemrosesan, penyebaran, dan penjualan produk. Dalam penelitian ini, agribisnis yang dikaji adalah agribisnis peternakan sapi potong.

Agribisnis sapi potong dalam budidaya (pengelolaan ternak sapi potong), membutuhkan kompetensi teknis yang meliputi pemilihan bibit, perkandangan,

(8)

pemberian pakan, penanganan kesehatan, dan perkawinan (Yusuf, 2010). Dalam kompetensi manajerial usaha ternak sapi menurut Muatip (2008) membutuhkan kemampuan melakukan perencanaan usaha, mengkoordinasi bidang-bidang yang menjadi tanggungjawabnya, pengawasan, evaluasi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bermitra, mengatasi kendala usaha, dan memanfaatkan peluang usaha. Sedangkan Yusuf (2010), hanya menyebutkan dua kompetensi manajerial yaitu perencanaan usaha dan evaluasi usaha.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pesantren Wirausaha Agrobisnis Abdurrahman bin Auf sebagai suatu lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan memiliki program pendidikan yang dapat menyelenggarakan pendidikan wirausaha agribisnis secara intensif kepada santrinya selama satu tahun. Sebagian besar santri yang bermukim di Pesantren Wirausaha Agrobisnis Abdurrahman bin Auf berasal dari beragam latar belakang, baik dari individu itu sendiri maupun dari keluarganya. Kompetensi wirausaha santri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi faktor internal yaitu karakteristik santri dan faktor eksternal yaitu pendidikan wirausaha agribisnis yang diterapkan Perwira Aba. Kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong dalam penelitian ini meliputi kompetensi teknis dan kompetensi manajerial.

Karakteristik individu dari para santri terdiri dari umur, pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan, pengalaman berwirausaha sebelum masuk pesantren, dan motivadi mengikuti pendidikan. Hal ini terkait teori Staw (1991) dalam Riyanti (2003) tentang karakteristik individu yang mempengaruhi kompetensi wirausahanya.

Pertama, umur (usia) seseorang dapat mempengaruhi kompetensi dalam

berwirausaha, karena menurut Staw (1991) dalam Riyanti (2003) semakin bertambahnya usia seseorang yang berwirausaha maka semakin banyak pengalaman di bidang usahanya dan usia sangat terkait dengan keberhasilan sebuah usaha. Kedua, pekerjaan orang tua berpengaruh pada kompetensi wirausaha seseorang. Staw (1991) dalam Riyanti (2003) membuktikan bahwa wirausahawan mempunyai orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai

(9)

wirausaha. Kemandirian dan fleksibilitas yang ditularkan oleh orang tua akan melekat dalam diri anak-anaknya sejak kecil. Relasi dengan orang tua yang berwirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang menjadi wirausaha. Ketiga, tingkat pendidikan memainkan peranan penting dalam berwirausaha. Berdasarkan pendapat para ahli, pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha. Keempat, pengalaman berwirausaha sebelumnya juga mempengaruhi kompetensi wirausahanya. Staw (1991) dalam Riyanti (2003) berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan indikator terbaik dalam berwirausaha, terutama bila bisnis baru itu berkaitan dengan pengalaman bisnis sebelumnya. Karakteristik individu yang lain, yang juga mempunyai pengaruh dalam berwirausaha adalah motivasi. Motivasi menurut Djiwandono (2006) merupakan salah satu prasyarat yang sangat penting dalam belajar. Motivasi mempunyai intensitas dan arah (direction).

Pendidikan wirausaha agribisnis di pesantren juga memiliki pengaruh terhadap kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial dalam usaha ternak sapi potong, yang meliputi lingkungan belajar di pesantren, materi pembelajaran, tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan materi pendidikan sebagaimana yang disebutkan Mastuhu (1994) dan Arifin (2008).

Pertama, lingkungan kehidupan pesantren oleh Mastuhu (1994) sangat

mempengaruhi pendidikan di pesantren. Konsep lingkungan kehidupan pesantren ini meliputi lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren, baik lingkungan fisik maupun non fisik yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian anak didik atau santri. Hal ini diperkuat oleh Arifin (2008), dimana lingkungan merupakan sarana untuk mengembangkan fitrah (potensi) manusia. Potensi tersebut merupakan faktor pembawaan sejak manusia lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan. Apabila lingkungan lebih kondusif untuk mengembangkan fitrah secara maksimal, akan terjadi perkembangan yang positif. Sebaliknya, jika lingkungan bersifat destruktif, maka akan terjadi perkembangan yang negatif. Kedua, kurikulum menurut Arifin (2008) mengandung materi yang diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang

(10)

telah ditetapkan. Pada hakikatnya antara materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan. Ketiga, tujuan menurut Arifin (2008) merupakan faktor terpenting dalam proses kependidikan, karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Keempat, metode menurut Arifin (2008) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena metode menjadi sarana dalam menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Metode pendidikan yang tidak efektif akan menjadi penghambat kelancaran proses belajar mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Fasilitas pendidikan oleh Mastuhu (1994) merupakan alat-alat yang sangat menunjang dalam proses belajar mengajar di pesantren. Oleh karena itu, kerangka pemikiran dalam penelitian ini lebih jelasnya, dapat dilihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: : mempengaruhi

Kompetensi Wirausaha Santri

pada Usaha Sapi Potong  Kompetensi

teknis  Kompetensi

manajerial Pendidikan Wirausaha Agribisnis

 Lingkungan belajar di pesantren  Materi pembelajaran  Tujuan pendidikan  Metode pendidikan  Fasilitas pendidikan Karakteristik Santri  Umur

 Pekerjaan orang tua  Tingkat pendidikan

 Pengalaman berwirausaha sebelum masuk pesantren

(11)

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Diduga karakteristik individu santri berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial pada usaha sapi potong.

2. Diduga pendidikan wirausaha agribisnis berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial pada usaha sapi potong.

2.4 Definisi Operasional

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka definisi operasional masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Karakteristik santri merupakan latar belakang sosial ekonomi serta atribut yang inheren dalam diri santri yang meliputi:

a) Umur adalah usia hidup santri sejak lahir sampai pelaksanaan pengambilan data, dihitung dalam satuan tahun. Pengkategorian umur menggunakan skala ordinal, dengan kategori:

1. Muda (16 – 19 tahun), skor = 1 2. Sedang (20 - 22 tahun), skor = 2 3. Tua (22 – 26 tahun), skor = 3

b) Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan yang pernah atau sedang dialami orang tua santri. Dikategorikan menjadi dua dengan skala ordinal, yaitu: 1. Non-wiraswasta (Bukan pengusaha), skor = 1

2. Wiraswasta (pengusaha), skor = 2

c) Tingkat pendidikan santri adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang terakhir diikuti oleh santri, dikategorikan menjadi:

1. Rendah, tamat SD/MI dan sederajat 2. Sedang, tamat SLTP/MTs dan sederajat 3. Tinggi, tamat SMA/MA dan sederajat.

d) Pengalaman berwirausaha adalah pengalaman santri terkait dalam kegiatan wirausaha sebelum masuk pesantren, dihitung dalam satuan tahun. Dikategorikan menjadi:

(12)

1. Rendah (belum pernah atau 0 tahun), skor = 1 2. Sedang (1 – 2 tahun), skor = 2

3. Tinggi ( > 2 tahun), skor = 3

e) Motivasi mengikuti pendidikan adalah tujuan santri sebelum memutuskan untuk mengikuti pendidikan wirausaha agribisnis di Perwira Aba. Pengkategorian menggunakan skala ordinal dengan kategori;

1. Rendah, jika motivasi berdasarkan paksaan orang tua, skor = 1 2. Sedang, jika ikut-ikutan teman, skor = 2

3. Tinggi, jika motivasi dari diri sendiri, skor = 3

2. Pendidikan wirausaha agribisnis merupakan serangkaian kegiatan belajar mengajar tentang kewirausahaan di bidang agribisnis (pertanian) yang diterapkan di pesantren. Pengukuran pendidikan wirausaha agribisnis diukur dari penilaian santri yang meliputi aspek:

a) Lingkungan belajar di pesantren merupakan penilaian santri tentang situasi dan kondisi di pesantren dan sekitar pesantren. Pertanyaan lingkungan di pesantren meliputi dukungan santri dalam kemudahan memperoleh informasi mengenai kegiatan bisnis melalui media koran, media televisi, dan internet. Dukungan teman-teman di pesantren untuk mengikuti pendidikan, dukungan guru-guru (asatidz) dalam pelaksanaan program pendidikan, dan dukungan masyarakat dalam kelancaran praktek pendidikan. Setiap jawaban yang diperoleh, dijumlahkan kemudian dikategorikan.

Pengkategorian lingkungan belajar di pesantren terdiri dari: 1. Kurang mendukung, dengan nilai 12 – 15

2. Cukup mendukung, nilai 16 – 20 3. Sangat mendukung, nilai 21 – 24

b) Materi pembelajaran adalah penilaian mengenai manfaat dan pemahaman santri terhadap mata ajaran meliputi materi keislaman, keterampilan agribisnis, dan kewirausahaan.

(13)

1. Kurang bermanfaat, dengan nilai 12 – 15 2. Cukup bermanfaat, nilai 16 – 20

3. Sangat bermanfaat, nilai 21 – 24

c) Tujuan pendidikan adalah penilaian santri mengenai kesesuian tujuan pada setiap materi pelajaran, meliputi tujuan materi keislaman, tujuan materi keterampilan agribisnis, dan tujuan materi kewirausahaan dengan kebutuhan belajar santri. Pengkategorian tujuan pendidikan terdiri dari:

1. Kurang sesuai, dengan nilai 12 – 15 2. Cukup sesuai, nilai 16 – 20

3. Sangat sesuai, nilai 21 – 24

d) Metode pendidikan adalah penilaian santri tentang ketepatan cara/teknik yang diterapkan pihak pesantren dalam kegiatan belajar mengajar meliputi praktek keterampilan bisnis dan cara ustadz (guru) menyampaikan pelajaran. Pengkategorian metode pendidikan terdiri dari:

1. Kurang tepat, dengan nilai 12 – 15 2. Cukup tepat, nilai 16 – 20

3. Sangat tepat, nilai 21 – 24

e) Fasilitas pembelajaran adalah penilaian santri terhadap ketersediaan fasilitas pesantren meliputi jumlah dan kualitas buku/kitab di pesantren dan alat penunjang belajar. Pengkategorian fasilitas pendidikan terdiri dari:

1. Kurang baik, dengan nilai 12 – 15 2. Cukup baik, nilai 16 – 20

3. Sangat baik, nilai 21 – 24

3. Kompetensi wirausaha santri adalah kemampuan santri dalam berwirausaha yang terkait dengan kompetensi teknis dan kompetensi manajerialnya.

(14)

a) Kompetensi teknisnya adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki santri dalam budidaya ternak sapi potong sehingga menghasilkan produk yang berkualitas.

- Pengetahuan budidaya ternak sapi potong meliputi pengetahuan pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan, dan perkawinan.

- Keterampilan budidaya ternak sapi potong meliputi keterampilan pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan, dan perkawinan.

b) Kompetensi manajerialnya adalah pengetahuan dan keterampilan santri terkait perencanaan usaha, mengatasi risiko usaha, komunikasi, membangun jaringan, dan evaluasi usaha dalam usaha ternak sapi potong.

- Perencanaan usaha, merupakan pedoman dalam menjalankan suatu bisnis yang meliputi pada perencanaan produksi, modal, pemasaran, dan keuangan.

- Mengatasi risiko usaha, merupakan cara santri dalam mengantisipasi risiko usahanya meliputi metode mengatasi risiko produksi, risiko modal, risiko sumberdaya, dan risiko adanya kebijakan pemerintah. - Komunikasi merupakan interaksi santri dengan orang lain dalam

menjalankan usahanya yang meliputi komunikasi dengan pembeli, penjual, peternak sapi lainnya, dan pemilik modal.

- Membangun jaringan dalam penelitian ini merupakan cara santri bekerjasama dengan pihak yang terlibat dalam usahanya meliputi kerjasama dengan pemilik modal, toko saprodi, dan peternak lainnya.

- Evaluasi usaha merupakan penilaian akhir santri terhadap usahanya meliputi evaluasi permodalan, produktivitas ternak, prestasi kerja, dan pengembangan usaha.

Pengukuran kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial dalam pengetahuan menggunakan indikator pengukuran pilihan benar salah dari setiap soal yang diberikan.

(15)

1. Jika jawaban salah, skor = 0 2. Jika jawaban benar, skor = 2

Pengukuran kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial dalam keterampilan menggunakan Indikator pengukuran dengan menggunakan skala ordinal.

1. Tidak mudah, skor = 1 2. Cukup mudah, skor = 2 3. Mudah, skor = 3 4. Sangat mudah, skor = 4

Pengkategorian kompetensi wirausaha santri diperoleh dengan menjumlahkan pengetahuan dan keterampilan masing-masing kompetensi kemudian dicari nilai selangnya . Penentuan nilai selang dilakukan dengan cara berikut:

ST ; dengan SD = , dimana

S2 =

SA = nilai skor lebih besar dari ST sampai dengan skor max SB = nilai skor lebih kecil dari ST dengan skor min

Keterangan: ST = Selang tengah

Skor min = penjumlahan skor kuesioner terendah dari semua item jawaban kuesioner

Skor max = penjumlahan skor kuesioner tertinggi dari semua item jawaban kuesioner

SA = Selang atas

Nilai selang sedang (tengah) yang didapatkan dari rumus selang di atas adalah 72 ≤ x ≤ 93. Pengkategorian kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial terdiri dari:

1. Rendah, jumlah skor jawaban berada pada selang bawah (25 ≤ x ≤ 71) 2. Sedang, jumlah skor jawaban berada pada selang tengah (72 ≤ x ≤ 93) 3. Tinggi, jumlah skor jawaban berada pada selang atas (93 ≤ x ≤ 140)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran  Keterangan:        :                     mempengaruhi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode pendidikan dan pola asuh yang diterapkan bagi anak-anak penyandang cacat di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya di

Tetapi, banyak film Hollywood yang mengandung unsur kekerasan verbal maupun non verbal, oleh karena film dapat menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan

Dengan nilai recall yang cenderung rendah ini, algoritma random forest dinyatakan belum dapat untuk melakukan prediksi terhadap kurang lancarnya kredit dari

Gar paused, then nodded like Dave Wilson used to in biology class, trying to look like an innocent three-year-old because he'd just looked the word 'vagina' up in the dictionary

Berdasarkan data yang di ambil dari teknik wawancara Mahasiswa Maluku angkatan 2013 yang menempuh kuliah di kota Malang memiliki jumlah 60 mahasiswa yang

Syukur alhamdulillah bahwa dokumen Rencana Kerja Tahunan (RKT) Politeknik Kesehatan Kemenkes PONTIANAK Tahun 2017 telah dapat diselesaikan sehingga dapat menjadi pedoman

Anggapan wanita lemah dari segi fizikal dan mental dalam faham tradisional telah dibuktikan oleh Erma melalui Embun, dengan watak Embun sendiri bangkit berjuang untuk